Uploaded by User60503

Laporan Kasus Crush Injury-Githa Nur Afiefah

advertisement
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
Makassar, Juli 2020
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
“CRUSH INJURY IN CRURIS”
Disusun Oleh:
Githa Nur Afiefah
111 2018 2041
Pembimbing
dr. Syarif Hidayatullah, M.Kes, Sp.OT
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ORTHOPEDI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
1
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama
: Githa Nur Afiefah
NIM
: 111 2018 2041
Judul Refarat : Crush Injury in Cruris
Adalah benar telah menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Crush Injury in Cruris” dan telah disetujui serta telah dibacakan
dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik
pada bagian Orthopedi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia
Makassar, Juli 2020
Supervisor Pembimbing,
dr. Syarif Hidayatullah, M.Kes, Sp.OT
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Crush Injury in
Cruris” disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi program
profesi dokter bagian Orthopedi di Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.
Keberhasilan
penyusunan
laporan
kasus ini
adalah
berkat
bimbingan, kerja sama, serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak
yang telah diterima penulis sehingga penyusunan laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas
kepada dr. Syarif Hidayatullah, M.Kes, Sp.OT pembimbing yang telah
ikhlas memberikan petunjuk dan saran serta nasehat penyusunan laporan
kasus ini
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala
dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Sebagai manusia biasa, penulis
menyadari sepenuhnya akan keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu
maupun pengalaman, sehingga laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
3
berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan karya tulis ilmiah
ini.
Aamiin ya robbal alamin. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Makassar, Juli 2020
Githa Nur Afiefah
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
A. Definisi ........................................................................................... 7
B. Indikasi Amputasi ........................................................................... 8
C. Faktor Penentu Keputusan Amputasi ............................................ 9
D. Amputasi pada Kondisi Trauma ................................................... 10
E. Level Amputasi ............................................................................ 12
F. Teknik Amputasi .......................................................................... 14
G. Penanganan Pasca Operasi ........................................................ 11
H. Komplikasi.................................................................................... 21
KESIMPULAN .......................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 32
5
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama
: Hasan Istanto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur
: 25 tahun
Alamat
: Padang sambian, Denpasar
MRS
: 05/06/2018
B. ANAMNESIS
Pasien datang sadar mengeluhkan nyeri pada kaki kanannya setelah
terkena mesin 4 jam sebelum MRS. Riwayat tidak sadar (-), muntah (-)
sesak (-).
MOI : Pasien sedang memperbaiki masin yang rusak, tiba-tiba kaki
kanan pasien terpleset dan tergilas mesin.
Pasien dirujuk oleh Dokter Umum dari Rumah Sakit Balimed dengan
OF Tibia 1/3 distal dextra.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
A : Clear
B : Spontaneous, RR 18 x/min
C : Stable Hemodynamic, BP120/70 mmHg, HR 98 x/min
D : Alert
6
Secondary Survey
-
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
-
Sensorium
: Compos mentis
-
Temperatur
: 36,80C
-
Berat badan
: 55 kg
-
Tinggi badan
: 160 cm
-
IMT
: 21.4
-
Status gizi
: Normo Weight
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,
diameter 3mm, refleks cahaya (+/+)
Leher
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
Neck
Aktif
Pasif
Flexi
0-45o
0-45o
Extensi
0-45o
0-45o
Rotasi ke
0-90o
0-90o
0-90o
0-90o
kanan
Rotasi ke
kiri
Thorax
Pulmo
Inspeksi
: statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi
: stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi
Palpasi
: ictus cordis tidak terlihat
: ictus cordis tidak teraba
7
Perkusi
Auskultasi
: dalam batas normal
: HR 86 x/menit, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
: lemas, H/L tidak teraba
Perkusi
: timpani, nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Genitalia
: tidak ada kelainan
Ekstremitas
: Hangat
Status Lokalis
Right Leg Region
Look:
Fraktur terbuka (+) di sisi anteromedial 1/3 distal, Exposure
(+), Exposure Tendon (+), Deformitas (+) Angulasi, Rotasi
Eksternal
Feel:
Tenderness (+) pada area 1/3 distal, dorsalis pedis dan arteri
tibialis posterior teraba, CRT <2 ", SpO2 98%, Sensorik (+)
normal
Motion:
ROM terbatas karena nyeri
8
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Right Leg X-Ray AP/ Lateral View Balimed Hospital (04/06/2018)
Right Leg X-Ray AP/ Lateral View Sanglah Hospital (04/06/2018)
Darah Rutin
HASIL
NILAI NORMAL
HB
9,0 gr/dl
12-16 gr/dl
Leukosit
10.000/ul
4.000-10.000/ul
23%
36-46%
Eritrosit
3,79x106/ul
4-6x106/ul
LED
15 mm/jam
< 15 mm/jam
Trombosit
118.000/ul
140.000-440.000/ul
Hematokrit
GDS: 98 mg/dl
E. MESS Score
Kategori
A. Kerusakan skeletal/jaringan lunak
Energi rendah
Energi medium
Energi tinggi
B. Iskemik pada tungkai
Nadi tidak teraba/menurun, perfusi normal
Nadi (+), parastesi, CRT menurun
Akral dingin, paralysis, sensasi (-), baal
C. Syok
Tekanan sistolik > 90 mmHg
Hipotensi yang transient
Hipotensi yang persisten
D. Usia
< 30 tahun
30-50 tahun
> 50 tahun
Score
Skor
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
9
F. DIAGNOSIS
Crush Injury

Open Fracture Right Tibia Grade IIIB (AO42-C3) ( S82.0)

Open Fracture Right Fibula Grade IIIB (AO42-C3) (S82.4)

Right Extensor Hallucis Longus Tendon Rupture (S66.3)

Right Tibialis Anterior Tendon Rupture (S86.2)
G. PENATALAKSANAAN

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV

Inj. Santagesik 1 amp/ 8 jam/ IV

Antitetanus

Debridement

Intramedullary wire Fibula

External Fixation Tibia

Repair Tendon

Backslab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Crush Injury adalah cedera langsung akibat kompresi otot. Crush
Syndrome adalah manifestasi sistemik dari kerusakan sel otot yang
dihasilkan dari tekanan atau himpitan.[1]
B. Epidemiologi dan Sejarah
Korban Crush Injury banyak dijumpai pada daerah dengan keadaan
seperti berikut [2]:
-
Perang dan pemberontakan
-
Gempa bumi dan tanah longsor serta reruntuhan di pertambangan
-
Kecelakaan lalu lintas
-
Terorisme
C. Etio-Patogenesa
Kompresi langsung dari otot yang menyebabkan crush injury lokal
adalah mekanisme yang paling umum dari rhabdomyolysis traumatis.
Kompresi menyebabkan iskemia otot, sebagai tekanan jaringan meningkat
ke tingkat yang melebihi tekanan perfusi kapiler. Ketika kompresi hilang,
akan terjadi reperfusi jaringan otot. Iskemia otot diikuti oleh reperfusi
(iskemia-reperfusi cedera) merupakan dasar pathophysiologic mekanisme
rhabdomyolysis dan dibahas secara ekstensif.
[2]
Gempa bumi, tanah longsor, dan keruntuhan bangunan adalah
bencana besar yang menghasilkan jumlah besar korban dengan crush
injury dan rhabdomyolysis. [2]
Vascular kompromi dari ekstremitas karena trombosis arteri, emboli,
gangguan traumatis, atau kompresi eksternal merupakan penyebab umum
cedera otot iskemik dan rhabdomyolysis. Cedera vena atau trombosis juga
dapat menyebabkan hipertensi vena, yang selanjutnya menurunkan
tekanan perfusi kapiler. Durasi iskemia menentukan tingkat cedera otot.
Otot rangka dapat mentolerir iskemia hangat sampai 2 jam tanpa
kerusakan histologis permanen. Dua sampai empat jam iskemia
menyebabkan perubahan anatomi dan fungsional yang ireversibel, dan
nekrosis otot biasanya terjadi pada 6 jam iskemia. Dalam 24 jam,
perubahan histologis akibat cedera skemia-reperfusi menjadi maksimal. [2]
Infeksi jaringan lunak juga dapat menyebabkan rhabdomyolysis.
Spesies Legionella dan Streptococcus adalah agen bakteri yang paling
umum, tetapi tularemia, spesies Staphylococcus, dan spesies Salmonella
juga menjadi agen penyebab. Influenza adalah etiologi yang paling umum
dari rhabdomyolisis oleh karena virus, tetapi HIV, virus Coxsackie, dan
Epstein- Barr juga telah terlibat. Invasi langsung ke sel otot dan toxin yang
dikeluarkan adalah dua mekanisme yang telah diajukan terhadap
terjadinya rhabdomyolsis. Risiko kegagalan ginjal akut sekunder untuk
rhabdomyolysis parah setelah infeksi berkisar dari 25% menjadi 100%. [2]
Cedera listrik dari sambaran petir atau saluran listrik tegangan tinggi
memiliki potensi untuk menghasilkan rhabdomyolysis yang cukup untuk
menyebabkan gagal ginjal myoglobinuric. Cedera otot disebabkan langsung
oleh arus listrik (elektroporasi) dan oleh tinggi suhu yang dihasilkan.
Pembuluh darah juga dapat mengental, mengakibatkan kerusakan iskemik
tambahan untuk otot. Sampai dengan 10% pasien dengan luka listrik yang
parah dapat mengarah ke gagal ginjal. [2]
Steroid
dan
blokade
neuromuskuler
telah
dikaitkan
rhabdomyolysis, meskipun mekanisme yang tepat belum diketahui.
dengan
[2]
D. Patogenesis
1. Patogenesis Kerusakan Sel Otot/ Rhabdomiolisis
Gambar 1: Patogenesis Rhabdomiolisis
Terjadinya kontraksi otot memperlihatkan terdapat hubungan yang
erat antara konsentrasi intraselular ion Sodium Na+ dan kalsium Ca2+.
Enzim sarkolemik Na/K ATPase mengatur konsentrasi intraselular ion
Na+ agar konsentrasinya tetap berada pada kisaran 10 mEq/L. Adanya
gradien konsentrasi Na+ antara intra dan ekstraselular menyebbabkan
refflux dari ion Ca2+ sebagai pertukaran dengan ion Na+ namun melalui
kanal ion yang terpisah. Ini memelihara agar ion Ca+ tetap pada
konsentrasi yang lebih rendah dari ekstraselular.[2]
Kompresi otot menyebabkan stres mekanik yang membuka kanal
ion yang diaktivasi oleh regangan pada memban sel. Hal ini
menyebabkan influx cairan dan elektrolit termasuk Na+ dan Ca2+. Sel
membengkak dan konsentrasi Ca2+ intraselular meningkat sehingga
menyebabkan proses patologi dimulai (Gambar 1)
Peningkatan dalam aktivitas enzim cytoplasmic neutral proteases
menyebabkan degradasi protein myofibrillar [38]; enzim phosphorylaseCa2+ dependent diaktifkan, dan terjadi degradasi membran sel. Selain
itu, nucleases diaktifkan, dan produksi ATP di mitokondria berkurang
karena adanya hambatan respirasi aerob selular.
Iskemia otot yang disebabkan oleh kompresi berkepanjangan atau
hasil cedera vaskular menyebabkan metabolisme anaerobik dan
penurunan lebih lanjut produksi ATP. Hal ini mengurangi aktivitas Na / K
ATPase, yang mengarah ke akumulasi cairan dan ion Ca2+ intraselular.
Selain itu peningkatan konsentrasi kemotraktans dari neutrofil juga terjadi
pada jaringan post-ischemic yang menyebabkan peningkatan netropil
teraktivasi
bila
terjadi
reperfusi.
Netropil
teraktivasi
ini
akan
mengahncurkan jaringan dengan melepaskan enzim-enzim proteoliktik;
menghasilkan radikal bebas; memproduksi asam hipoklorit serta
meningkatkan resistensi vaskular.
Radikal bebas yang dilepaskan netropil mendegradasi membran
sel yang dikenal dengan lipid peroksidasi. Degradasi membran sel
menyebabkan permeabilitas membran berkurang dan terjadinya influx
cairan dan ion Na+ berlebihan dan berlanjut menjadi edema intra selualar
dan lisis sel. Sel otot yang lisis melepas berbagai konten intra selular ke
sirkulasi. Efek tersebut terjadi pada iskemia otot lebih dari tiga jam. Pada
kelompok otot tertentu, tekanan
intracompartmental
naik
dengan
cepat
Ketika tekanan ini melebihi tekanan arteriol-perfusi, tamponade
otot dan kerusakan myoneuronal terjadi, menghasilkan sindrom
kompartemen. Tanda dan gejala sindrom kompartemen termasuk
tegang, otot kompartemen bengkak, nyeri dengan peregangan pasif,
parestesia atau anestesi, kelemahan atau kelumpuhan ekstremitas yang
terkena, dan pada tahap akhir, denyut nadi perifer berkurang.
2. Crush Syndrome
Setelah kompresi otot dihilangkan atau gangguan vaskular
diperbaiki, isi seluler dari jaringan otot yang terkena dilepaskan ke
sirkulasi. Cairan intravaskular juga dapat berpindah ke ekstremitas yang
terkena karena permeabilitas kapiler meningkat. Manifestasi sistemik
rhabdomyolysis, yang disebabkan oleh hipovolemia dan paparan toksin,
adalah komponen dari crush syndrome.
Hipovolemia adalah manifestasi pertama yang tersering dari crush
syndrome. Pada tahun 1931, Blalock mampu menunjukkan bahwa cairan
plasma
dalam
jumlah
besar
terakumulasi
dalam
ekstremitas,
menurunkan volume intravaskular dan menyebabkan syok[3].
Substansi sel otot yang dilepaskan dari sel otot yang terkena
setelah reperfusi dapat menyebabkan efek sistemik dan mempengaruhi
organ-organ vital.
Tabel 1. Konten intraselular yang dilepaskan saat rhabdomyolisis dan
efeknya[2]
Agen
Efek
Potassium
Hiperkalemia
dan
kardiotoksik,
disebabkan
karena
hipovolemi dan hipokalsemia
Fosfat
Hiperfosfatemia,
memperburuk
Asam Organik
Asidosis metabolik dan aciduria
Mioglobin
Mioglobinuria dan nefrotoksik
Creatin Kinase
Peningkatan kreatin kinase serum
Tromboplastin
Disseminated intravacular coagulation
hipokalsemia
3. Patofisiologi Kerusakan Ginjal
Sebanyak 4%-33% pasien dengan rhabdomyolysis akan berujung
pada ARF/ Acute Renal Failure dengan tingkat kematian terkait dari 3%
sampai 50%. Ada tiga mekanisme utama rhabdomyolysis dapat
menyebabkan gagal ginjal : menurunkan perfusi ginjal, pembentukan
kristal dengan obstruksi tubular, dan efek langsung dari toksik mioglobin
pada tubulus ginjal.
dan
Gambar 2: Patofisiologi Kerusakan Ginjal
E. Manifestasi Klinis
Beberapa atau semua hal berikut mungkin menjadi tanda dan
gejala crush injury [4]:

Kulit cedera - mungkin halus.

Pembengkakan - biasanya ditemukan terlambat.

Kelumpuhan - menjadi diagnosis banding untuk cedera spinal

Parestesia, mati rasa - dapat menutupi tingkat kerusakan.

Nyeri - sering menjadi parah setelah dibebaskan.

Pulsasi – pulsasi arteri distal mungkin atau tidak mungkin ada.

Myoglobinuria - urin mungkin menjadi merah gelap atau coklat,
menunjukkan adanya mioglobin.

Hiperkalemia- ditandai dengan timbulnya disritmia jantung

Sindrom kompartemen
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ini meliputi:

Parah nyeri pada ekstremitas yang terlibat.

Nyeri pada pasif peregangan otot-otot yang terlibat.

Penurunan sensasi di cabang-cabang saraf perifer terlibat.

Peningkatan intracompartmental tekanan pada manometry
langsung.
Kebocoran membran sel dan kapiler menyebabkan cairan
intravaskular ke terakumulasi dalam jaringan terluka. Hal ini menyebabkan
hipovolemia signifikan dan akhirnya syok hipovolemik
[4]
Pelepasan mendadak dari ekstremitas yang terhimpit dapat menyebabkan
sindrom reperfusi- hipovolemia akut dan kelainan metabolik . Kondisi ini
dapat menyebabkan aritmia jantung yang mematikan. Selanjutnya,
pelepasan tiba-tiba racun dari otot nekrotik ke dalam sistem peredaran
darah menyebabkan myoglobinuria, yang menyebabkan gagal ginjal akut
jika tidak diobati. [1]
F. Diagnosa
1. Tes Darah

Pemeriksaan Mioglobin
Pelepasan mioglobin ke dalam sirkulasi harus dipertimbangkan setiap
kali ada cedera otot yang signifikan. Nilai serum yang normal bervariasi
tergantung pada hasil laboratorium, tapi biasanya kurang dari 85 ng /
mL. Dengan kerusakan otot yang signifikan, nilai serum dapat
mencapai lebih dari 150.000 ng / mL. Tingat miogloin serum lebih tinggi
daripada mioglobin urin, namun, eksresi di ginjal menyebabkan
mioglobin urin akan lebih tinggi dari serum. Pelacakan nilai mioglobin
baik
serum
dan
urin
adalah
cara
terbaik
untuk
mengikuti
perkembangan dan resolusi Crush Injury.

Pemeriksaan dipstick Urin
Sebuah tes sederhana namun cepat untuk rhabdomyolysis dapat
dilakukan dengan dipstick urin standar. Bagian heme dari mioglobin
menyebabkan pembacaan positif untuk darah pada tes strip, dan
heme-positif pada urin bila tidak adanya sel darah merah pada
pemeriksaan mikroskopis menunjukkan myoglobinuria.
Namun,
temuan dipstick positif hanya sekitar setengah dari pasien dengan
rhabdomyolysis.

Phosphokinase creatine (CPK)
Penanda kerusakan otot. CPK dilepaskan dengan adanya kerusakan
otot. Dengan rhabdomyolysis, tingkat yang sangat tinggi, seringkali
lebih dari 30.000 unit / L dan berkorelasi dengan jumlah otot yang
rusak. Kejadian gagal ginjal menjadi signifikan pada ambang batas
hanya 5.000 unit / L. Tingkat ini harus segera evaluasi dan intervensi
agresif.
2. Pemeriksaan Lain [7]:
 EKG bisa menunjukkan perubahan sekunder untuk hiperkalemia.
 Penilaian biasa untuk trauma, termasuk X-ray, harus dilakukan.
 Penilaian tekanan kompartemen (lihat 'Komplikasi', di bawah ini)
H. Tatalaksana
1. Manajemen Pra-rumah sakit[1]:
 Administer cairan intravena sebelum melepaskan bagian tubuh yang
hancur. Langkah ini sangat penting dalam kasus crush injury yang
berkepanjangan (> 4 jam), namun, Crush Syndrome dapat terjadi
<1jam.
 Jika prosedur ini tidak mungkin, pertimbangkan penggunaan jangka
pendek dari tourniquet pada anggota badan yang terkena sampai
hidrassi intravena (IV) dapat dimulai.
2. Manajemen Rumah Sakit[4]:

Umum
Korban crush injury harus diperlakukan awalnya sebagaimana
setiap korban trauma multipe lainnya, sesuai dengan pedoman
bantuan hidup dasar. Jalan nafas harus dijamin dan terlindung dari
debu. Ventilasi yang memadai harus dipastikan dan dipelihara
bersama dengan oksigenasi yang memadai. Dalam situasi bencana
dengan persediaan terbatas, mungkin bijaksana untuk menghemat
oksigen dengan menggunakan laju aliran terendah yang diperlukan
untuk mengoksidasi seperti yang ditunjukkan dengan pengukuran
saturasi oksigen dan penilaian klinis. Sirkulasi harus didukung dan
syok harus segera diatasi.
Seperti
disebutkan
sebelumnya,
sangat
penting
untuk
berkoordinasi dengan tim penyelamatan sehingga pengobatan dapat
dimulai sebelum pasien diselamatkan dari himpitan.

Cairan intravena
Normal saline adalah pilihan awal yang baik. Setelah kompresi
diangkat, sangat penting untuk mempertahankan output urine yang
tinggi. Penempatan kateter Foley akan memungkinkan pengukuran
output urin yang lebih akurat serta pH. Satu rumus yang dapat
digunakan untuk mempertahankan output urin alkali dari 8 L / hari
adalah infus dari 12 L / hari. Cairan yang digunakan adalah Normal
Saline Solution (NSS) dengan 50 mEq natrium bikarbonat per liter
cairan, ditambah 120 gram sehari manitol untuk mempertahankan
output urin dan mencegah gagal ginjal akut.
Rejimen lain adalah 12 hari / d (500 ml / jam) dari larutan yang
mengandung natrium, 110 mmol / L, klorida, 70 mmol / L, bikarbonat,
40 mmol / L, dan manitol, 10 gm / L.

Sodium Bikarbonat
Sodium Bikarbonat akan memperbaiki asidosis yang sudah ada
sebelumnya yang sering hadir. Ini adalah salah satu langkah pertama
dalam mengobat hiperkalemia. Hal ini juga akan meningkatkan pH
urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di
ginjal. Disarankan bahwa 50 sampai 100 mEq bikarbonat, tergantung
pada tingkat keparahan cedera, akan diberikan kepada korban
sebelum kompresi dihilangkan. Hal ini dapat diikuti dengan infus
bikarbonat.

Pengobatan Hiperkalemia
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan
untuk membalikkan hiperkalemia, tergantung pada tingkat keparahan
cedera:
1. Insulin dan glukosa.
2. Kalsium - intravena untuk memperbaiki disritmia.
3. Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dl
4. Dialisis, terutama pada pasien dengan akut gagal ginjal.

Alkaline diuresis
Pengobatan lain yang telah digunakan adalah dopamin dengan
dosis 2 sampai 5 mg / kg / menit dan furosemide di 1 mg / kg.
Acetazolamide, 250 sampai 500 mg, dapat digunakan jika pasien
menjadi terlalu alkalotic.

Intravena Manitol
Manitol intravena memiliki tindakan menguntungkan terhadap
korban
crush
injury.
Manitol
melindungi
ginjal
dari
efek
rhabdomyolysis, meningkatkan volume cairan ekstraselular, dan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu, administrasi manitol
intravena selama 40 menit berhasil mengobati sindrom komparteme.
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram / kg atau ditambahkan ke
cairan intravena pasien sebagai infus kontinyu. Dosis maksimum
adalah 200 gm / d, dosis yang lebih tinggi dari ini dapat menyebabkan
ginjal kegagalan. Manitol harus diberikan hanya setelah aliran urin
yang baik telah dibentuk dengan cairan IV.

Operatif
Indikasi Operasi
1. Fraktur terbuka
2. Gagal terapi konservatif
3. Fraktur tidak stabil
4. Adanya nonunion
Jika tibia dan fibula fraktur yang diperhatikan adalah reposisi
tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah
terlihat dan dikoreksi. Pemendekan kurang 2 cm tidak akan jadi
masalah karena akan dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai
berjalan. Sekalipun demikian pemendekan sebaiknya dihindari.
Fraktur tibia dan fibula dengan garis fraktur transversal atau
oblik yang stabil, cukup diimobilisasi dengan gips dan jan kaki sampai
puncak paha dengan lutut posisi fisiologis yaitu fleksi ringan, untuk
mngatasi rotasi pada daerah fragmen. Setelah dipasang, harus
ditunggu
samapi
gips
menjadi
kering
betul
yang
biasanya
membutuhkan waktu dua hari. Saat itu gips tidak boleh dibebani.
Penyambungan fraktur diafisis biasanya terjadi antara 3-4 bulan.
Angulasi dalam gips biasanya dapat dikoreksi dengan membentuk
insis baji pada gips. Pada fraktur yang tidak dislokasi diinstruksikan
untuk menopang berat badan dan berjaian. Makin cepat fraktur
dibebani maka makin cepat penyembuhan. Gips tidak boleh dibuka
sebelum penderita dapat jalan tanpa nyeri.
Garis fraktur yang oblik dan membentuk spiral merupakan
fraktur yang tidak stabil karena cenderung membengkok dan
memendek sesudah reposisi. Oleh karena itu diperlukan tindakan
reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi interna atau eksterna. Fraktur
dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil membutuhkan traksi
kalkaneus terus menerus. Setelah terbentuk kalus fibrosis, dipasang
gips sepanjang tungkai dan jan hingga paha.
Metode terapi alternatif lain pada fraktuf shaft tibia tertutup
adalah dengan intramedullary nailing dan bagian teratas tibia

Perawatan Luka
Luka harus dibersihkan, debridement, dan ditutup dengan
dressing steril dalam biasa fashion. Belat dahan di tingkat jantung akan
membantu untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi.
Antibiotik intravena sering digunakan. Obat-obatan untuk mengontrol
rasa sakit dapat diberikan sebagai yang sesuai. Torniket yang
kontroversial dan biasanya tidak diperlukan.

Hyperbaric Oksigen
Ada laporan kasus oksigen hiperbarik meningkatkan hasil
korban crush injury. Penggunaan modalitas ini akan terbatas dalam
situasi bencana karena kurangnya akses ke ruang hiperbarik

Amputasi
Amputasi di lapangan harus digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Ini . adalah strateggi penyelamatan untuk korban yang tidak
dapat dilepaskan dari himpitan reruntuhan. Ini adalah prosedur sulit
yang sangat meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan.

Fasciotomy
Fasciotomy di lapangan juga merupakan prosedur yang
kontroversial, yang selanjutnya dapat mengekspos pasien dengan
risiko infeksi dan perdarahan. Mengkonversi cedera tertutup ke yang
terbuka, dapat menyebabkan infeksi dan sepsis. Beberapa studi
menunjukkan hasil yang buruk pada pasien yang menerima fasciotomy
dibandingkan dengan mereka tidak. Hal ini dilakukan bila adanya
peningkatan tekanan intracompartemental . Fasciotomy dirasakan
berguna dalam kasus mencegah kontraktur iskemik Volkman dari. Di
Israel, fasciotomy disediakan sebagai pengobatan pilihan terakhir
Algoritma tatalaksana Crush Syndrome dan pencegahan gagal ginjal[8]
H. Komplikasi
1. Hiperkalemia dan infeksi adalah penyebab kematian paling umum.
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia dan cardiac arrest.
2. Infeksi merupakan penyebab utama kematian di zona bencana.
3. Cedera ginjal akut dapat terjadi.
4. Sindrom kompartemen dapat terjadi karena penyerapan cairan ke
dalam sel otot yang terkandung dalam kompartemen yang ketat.
Fasciotomy berguna dalam mengurangi kerusakan otot dari sindrom
kompartemen. Ini harus dilakukan sejak dini.
5. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dapat terjadi dengan
kerusakan jaringan besar.
I. Prognosis[7]
Prognosis korban crush injury dapat dipengaruhi beberapa faktor
berikut:
1. Dukungan cairan yang cukup dapat meningkatkan prognosis.
2. Tingkat kematian untuk crush syndrome menyusul gempa di Turki
utara pada tahun 1999 adalah 15,2%. Namun, tingkat kematian pada
gempa berikutnya telah bervariasi dan diperkirakan bahwa banyak
faktor
dapat
mempengaruhi
kelangsungan
hidup,
seperti
penyelamatan terhambat dan transportasi, menghancurkan fasilitas
medis , ketersediaan terapi canggih dan metode konstruksi
bangunan yang roboh.
3. Waktu di bawah reruntuhan tidak memiliki efek buruk pada hasil tapi
ini mungkin karena orang-orang yang bertahan hidup telah terluka
parah. Telah direkomendasikan bahwa pemulihan korban harus
terus setidaknya selama lima hari
4. Siapapun yang telah terkubur di bawah reruntuhan untuk jangka
waktu akan mengalami dehidrasi dan karenanya lebih rentan
terhadap kerusakan ginjal. Mungkin pula ada luka lain, misalnya
kompresi dada dan cedera tulang belakang.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Crush injury adalah cedera langsung akibat kompresi pada otot
yang dapat bermanifestasi secara sistemik yang dikena sebagai crush
syndrome. Penyebab terbanyak dari crush syndrome adalah trauma
langsung seperti tertimpa reruntuhan bangunan saat terjadi gempa,
kecelakaan lalu lintas, reruntuhan tambang dan lainya. Konsekuensi
medis dari Crush Syndrome mulai dikenal sejak perang dunia II.
Konsekuensi
crush
injury
adalah
Crush
syndrome.
Berpindahnya cairan intravaskular dalam jumlah besar ke jaringan yang
cedera akan menyebabkan syok hipovolemik yang menjadi penyebab
kematian utama pada onset awal crush injury. Kerusakan sel-sel otot
akan melepaskan zat-zat intraseluler yang toksik terhadap sistemik
seperti mioglobin, ion kalsium, ion pospat, dan zat-zat pendukung
radang lainnya. Lepasnya zat-zat terssebut ke sirkulasi dapat
menyebabkan gagal ginjal akut karena obstruksi oleh mioglobin di
tubulus ginjal. Pemeriksaan yang dilakukan, disesuaikan dengan
gejala-gejala
yang
timbul
sistemik
sesuai
dengan
perjalanan
penyakitnya terutama ditujukan pada kadar encim Creatine Pospatase
dan Mioglobin dalam urin. Diagnosis ditegakkan adalah berdasarkan
manifestasi klinik dan pemeriksaan urin. Kejadian crush syndrome ini
biasanya
dibarengi
dengan
Sindro
Kompartmen
yang
akan
memperparah rhabdomyolisis.
Pencegahan crush syndrome harus dilakukan sedini mungkin
bahkan sebelum dilakukan evakuasi korban dari kompresinya.
Manajemen pre hospital berperan sangat krusial agar crush syndrome
dengan gagal ginjal akut tidak terjadi sehingga dialisis yang biayanya
mahalpun tak perlu dilakukan. Komplikasi yang terjadi berkaitan dengan
28
multiple trauma terbuka yakni infeksi, perdarahan, serta gangguan
pembekuan darah Disseminata intravaskular koagulasi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1.
Solomon L. et al. Aplley’s Sistem of Orthopaedic and fractures. Ed
8th. Arnold Hedder Headline group,London. 2001
2.
David Seligson, Craig S. Roberts,Cyril Mauffrey. External Fixation
in Orthopedic Traumatology. Springer-Verlag London Limited.
2012
3.
Craig S. Roberts, Hans-Christoph Pape, Alan L. Jones, Arthur L.
Malkani, Jorge L. Rodriguez and Peter V. Giannoudis. Damage
Control Orthopaedics. Evolving Concepts in the Treatment of
Patients Who Have Sustained Orthopaedic Trauma. J Bone Joint
Surg Am. 87. 2005. p434-449.
4.
David P.Biomechanics of External Fixation: A Review of the
Literature. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases. Vol
65(4). 2007. p294-9
5.
HJ Park, et al. Immediate interlocking nailing versus external
fixation followed by delayed interlocking nailing for Gustilo type
IIIB open tibial fractures. Journal of Orthopaedic Surgery. Vol
15(2). 2007. p131-6
30
31
Download