Uploaded by User60469

REFERAT CELIN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidur adalah upaya tubuh untuk melepaskan kelelahan jasmani dan
kelelahan mental. Tidur mengurangi berbagai keluhan dan dapt mengembalikan
tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Tidur
didefinisikan sebagai suatu kondisi bawah sadar saat seseorang dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya.
Namun pada beberapa orang tidur merupakan hal yang sulit dilakukan karena
adanya gangguan tidur. Gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan adalah
insomnia.1
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.2
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan
beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan
memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di
antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.3
Insomnia merupakan gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan
untuk itu. Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering terjadi, prevalensi
insomnia berkisar 10-15% tergantung dengan kriteria diagnostik yang
digunakan. Dalam 1 tahun insiden insomnia meningkat sebanyak 5%. Kesulitan
dalam mempertahankan tidur merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan.2,4
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
1
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien.5 Insomnia kronis juga memiliki banyak
konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan
yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit
jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak
mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis
dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.6
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh
mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,
dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan
fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup,
pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk
tidur siang.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan
resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan
dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien mereka.5,6
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi Tidur Normal
Tidur adalah suatu kondisi bawah sadar saat seseorang dapat dibangunkan
dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur
merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga.
Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur.1,2
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian.2,6
Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuronneuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai
pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut
sebagai pusat penggugah (arousal center).
Gambar 1. Anatomi otak yang bekerja pada saat tidur
3
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1.
Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2.
Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Tidur NREM yang meliputi 75% dari
keseluruhan wa ktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain:

Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini
dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang
sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang
dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan
dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5
siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak,
sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau
delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagibagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.2,6
4
Gambar 2. Siklus Tidur
Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang
dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan
gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan
mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic
(NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran
berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lainlain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam,
meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC
segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan,
kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang
pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin
adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap,
melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi
serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai
meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang
pada jam 9 pagi.
5
2.2 Definsi Insomnia
Insomnia diartikan sebagai kesulitan dalam memulai atau mempertahankan
tidur. Insomnia merupakan keluhan tidur paling sering dan dapat bersifat sementara
atau menetap. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5)
mendefinisikan insomnia sebagai ketidakpuasan dengan kuantitas atau kualitas
tidur berkaitan dengan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: kesulitan dalam
memulai tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur dengan periode terbangun
berulang kali atau masalah untuk kembali tidur, dan terbangun pagi-pagi sekali
dengan ketidakmampuan untuk kembali tidur.8
Penderita insomnia berbeda dengan orang yang memang waktu tidurnya
pendek (short sleepers), pada short sleepers meskipun waktu tidur mereka pendek,
mereka tetap merasa bugar sewaktu bangun tidur, berfungsi secara normal di siang
hari, dan mereka tidak mengeluh tentang tidur mereka di malam hari.9
2.3 Epidemiologi Insomnia
Prevalensi gejala insomnia di seluruh dunia adalah sekitar 30-35%, dan studi
epidemiologis dari beberapa negara memberikan perkiraan prevalensi yang mirip.
Berdasarkan pada kriteria diagnosis yang digunakan, prevalensi gangguan
insomnia berkisar antara 3,9% sampai 22,1%, dengan rata-rata 10% untuk studi
multinasional yang menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV (DSM IV). Insidensi 1 tahun insomnia bervariasi antara 7%
dan 15%. Walaupun insomnia dapat bersifat situasional atau berulang,
perjalanannya seringkali kronis dengan durasi rata-rata 3 tahun dan angka
persistensi berkisar dari 56-74% pada penilaian follow-up 1 tahun dan 46% pada
penilaian follow-up 3 tahun. Suatu studi menyebutkan angka remisi hanya sebesar
56% dalam 10 tahun pada individu dengan gejala insomnia berat.10
6
2.4 Klasifikasi Insomnia
A. Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.
Transient insomnia: insomnia yang berhubungan dengan kejadiankejadian tertentu yang berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan
stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis
transient insomnia biasanya dibuat setelah keluhan pasien sudah hilang.
Keluhan ini kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita dan
episode berulang juga cukup sering ditemukan, faktor yang memicu antara
lain akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian
sementara akibat jet lag atau rotasi waktu kerja, stres situasional akibat
lingkungan kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak
memerlukan terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter.
2.
Short-term insomnia: Berlangsung kurang dari 3 minggu dan biasanya
disebabkan oleh kejadian-kejadian stres yang lebih persisten, seperti
kematian salah satu anggota keluarga.
3.
Cyclical insomnia (recurrent insomnia): Kondisi ini lebih jarang daripada
transient insomnia. Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara
tidur dan bangun. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun
seumur hidup. Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan
fisiologis seperti siklus premenstrual ataupun perubahan psikologik seperti
manik depresif, anorexia nervosa, atau kambuhnya perubahan perilaku
tertentu seperti kecanduan obat, dan lain sebagainya.
4.
Chronic insomnia (persistent insomnia): berlangsung lebih dari 3 malam
setiap minggunya yang terus berlangsung selama lebih dari satu bulan.
Dibagi menjadi 2, yaitu insomnia primer dan sekunder.
B. Berdasarkan etiologinya, insomnia dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
 Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur
seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.
7
 Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya
kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan
dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari
10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan
rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan
biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan
obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini
dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.
2.5 Etiologi Insomnia
a)
Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur.
Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari
orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan
insomnia.
b) Kecemasan dan depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena
kekhawatiran yang menyertai depresi.
c)
Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
Ritalin) dan kortikosteroid.
d) Kafein, nikotin dan alkohol.
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang
terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur,
8
tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di
tengah malam.
e)
Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering
buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru,
gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan
penyakit Alzheimer.
f)
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur.
Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun,
metabolisme, dan suhu tubuh.
g) 'Belajar' insomnia
Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur
dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang
dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan
tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika
mereka menonton TV atau membaca.11
2.6 Faktor Risiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada :2,6
1.
Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama
siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
2.
Usia lebih dari 60 tahun
9
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan
usia.
3.
Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan posttraumatic stress disorder, mengganggu tidur.
4.
Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia
kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko
terjadinya insomnia.
5.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.2,6
2.7 Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a)
Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk.
b) Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c)
Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.
e)
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
f)
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis
di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan
penyesuaian (F43.2)
10
2.8 Dampak Insomnia
Dampak dari gangguan tidur, deprivasi tidur, dan merasa mengantuk yaitu
penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan kemungkinan
kecelakaan, resiko morbiditas dan mortilitas lebih tinggi, penurunan kualitas hidup.
Adapun dampak insomnia adalah sebagai berikut:13
a)
Efek fisiologis
Insomnia lebih sering diakibatkan oleh stres sehingga dapat disertai dengan
peningkatan noradrenalin serum, peningkatan Adrenocorticotropic hormone
(ACTH) dan kortisol, juga penurunan produksi melatonin.
b) Efek psikologis, dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi,
kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.
c)
Efek fisik/somatik, dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan
sebagainya.
d) Efek sosial, dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah
mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati
hubungan sosial dan keluarga.
e)
Kematian, orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka
harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini
mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang
memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang
terdapat pada insomnia mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi
kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain itu, orang yang menderita insomnia
memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu
lintas jika dibandingkan dengan orang normal.13
2.9 Tatalaksana Insomnia
1.
Non Farmakoterapi
a)
Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
11
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia. Terapi tingkah laku meliputi :

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

Teknik Relaksasi. Meliputi merelaksasikan otot secara progresif,
membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat
membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat
membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.

Kontrol stimulus Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu
yang dihabiskan untuk beraktivitas.

Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.7
b) Gaya hidup dan pengobatan di rumah2,3,7
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
12
2.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik.2,3,7
Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a)
Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b) Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur) Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine
(Short Acting). Misalnya pada gangguan anxietas.
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali
ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong
latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan
(Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecahpecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan
adalah
bersifat
“Sleep
Maintining
AntiInsomnia”,
yaitu
golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada
gangguan stres psikososial. Pengaturan Dosis.7
Pengaturan Dosis
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah
timbulnya rebound dan toleransi obat) .
13
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahanlahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut
Lama Pemberian
 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih
dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2
minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6
bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur
dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat antiinsomnia
(waktu paruh) :
 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih
berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik.Waktu paruh sedang,
seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over”
pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.
Interaksi obat
 Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi
efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory
failure”
 Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme
atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan
interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
14
 Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau
“CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus
 Kontraindikasi :
o
Sleep apneu syndrome
o
Congestive Heart Failure
o
Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan
Benzodiazepine
pada
wanita
hamil
mempunyai
risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya
pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI,
berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).2,14
2.10 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Gambar 3. Komplikasi Insomnia
15
Komplikasi insomnia meliputi
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.
2.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Insomnia merupakan suatu masalah dalam kesulitan untuk masuk tidur,
kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak
ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia sendiri dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti stres,
kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan
lingkungan, dan kondisi medis.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non
farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan
yang biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan
benzodiazepin (seperti obat nitrazepam, obat trizolam, dan obat estazolam),
dan non benzodiazepine (seperti obat chloral-hydrate, obat phenobarbital).
Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah
laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur
jadwal tidur.
17
Download