BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katarak merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia. Sesuai dengan distribusi penyebab kebutaan estimasi global, katarak merupakan penyebab utama dari kebutaan yaitu sebesar 51%, diikuti oleh glaucoma dan Age related Macular Degeneration (AMD). Indonesia merupakan Negara urutan ketiga dengan angka kebutaan terbanyak di dunia dan urutan pertama terbanyak di Asia Tenggara (WHO, 2010). Data terakhir menunjukkan angka kebutaan disebabkan oleh katarak di Indonesia sangat besar yaitu diperkirakan lebih dari 50% atau sekitar 240.000 orang setiap tahunnya memerlukan operasi katarak (Depkes RI, 2015). Data ini tersebar diseluruh kepulauan Indonesia termasuk Provinsi Bali. Rumah Sakit Mata Bali Mandara yang merupakan Rumah Sakit khusus Indera di Bali, menunjukan bahwa angka morbidity akibat katarak dari tahun ke tahun masih merupakan kasus terbanyak dari sepuluh besar penyakit gangguan penglihatan, dimana hal ini perlu mendapat penanganan yang serius. Sampai saat ini penanganan utama pada penderita katarak adalah dengan teknik operasi. Teknik operasi katarak ada beberapa teknik diantaranya mulai dari insisi korneoskleral pada Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE), teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) yang melibatkan pemotongan pada konjunctiva dan sclera, hingga phacoemulsificasi (PHACO) dengan insisi transkorneal dengan variasi lokasi insisi di superior dan temporal, (Steinert, 2010). Di Rumah Sakit Mata Bali Mandara sendiri memakai teknik SICS dan PHACO dalam penanganan operasi katarak. Data terakhir di tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara 150 orang/bulan, yaitu terdiri dari SICS rata-rata 70 orang/bulan dan PHACO rata-rata 80 orang/bulan (Catatan RM RSMBM, 2015) Teknik insisi katarak tersebut akan mengakibatkan kerusakan dari bagian mata antara lain pada kornea, konjungtiva dan lapisan air mata (LAM) sehingga memicu timbulnya beberapa komplikasi pasca operasi katarak. Apabila terjadi gangguan pada salah satu komponen seperti timbulnya disrupsi lengkung neuronal yang disebabkan oleh insisi pada operasi katarak maka mengakibatkan ketidakstabilan LAM yang dapat mencetuskan terjadinya sindrom mata kering (SMK). Sindroma mata kering atau dry eye syndrome merupakan kumpulan gangguan pada LAM yang disebabkan oleh penurunan produksi air mata dan atau peningkatan penguapan air mata, sehingga timbul gejala mata terasa tidak nyaman (seperti iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, merasa mengantuk, mudah lelah) dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi, dimana Dry eye ini sering dijumpai, mengenai hampir 10-30% penduduk, tidak pandang ras, gender maupun umur (Asyari, 2007). Menurut Asbell & Lemp (2011), operasi katarak merupakan salah satu penyebab terjadinya sindroma mata kering (dry eye) disamping dipengaruhi oleh factor penyebab lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cho & Kim, (2009) juga menyatakan operasi katarak menyebabkan terjadinya sindroma mata kering. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Retnaniadi S, dkk (2012) menyatakan bahwa jenis operasi ECCE lebih banyak menyebabkan SMK, operasi jenis phaco lebih sedikit menimbulkan SMK dan operasi jenis SICS paling sedikit menimbulkan SMK. Berdasarkan catatan rekam medis pasien, dari sekian banyak pasien yang telah mendapat tindakan operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara, pasien sering menunjukan gejala sindroma mata kering, diantaranya pasien mengeluhkan mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada mengganjal, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk dan cepat lelah. Dari data keluhan pasien tersebut, selama ini belum ada penelitian atau kajian khusus yang dilakukan untuk memastikan apakah pasien pasca operasi katarak tersebut mengalami sindroma mata kering atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut maka penting untuk melakukan suatu penelitian terhadap keluhan pasien tersebut, karena apabila pasien mengalami sindroma mata kering akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi dan cenderung akan mempengaruhi kemajuan visus atau tajam penglihatan pasien. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui hubungan antara jenis insisi katarak (SICS dan PHACO) dengan kejadian sindroma mata kering yang dialami oleh pasien pasca operasi katarak. Hasilnya yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan pelayanan dan mempercepat proses penyembuhan serta peningkatan tajam penglihatan pasien. B. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi jenis insisi yang digunakan pasien pada saat operasi katarak. b. Mengidentifikasi kejadian SMK pada pasien pasca operasi katarak c. Mengetahui hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian SMK D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Memberikan sumbangan pengetahuan kepada institusi atau mahasiswa sehingga dapat dipakai sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis Sebagai bahan pertimbangan kepada pemberi pelayanan kesehatan khususnya dibidang kesehatan mata sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan kwalitas hidup pasien. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sindroma Mata Kering (Dry Eye Syndrome) 1. Pengertian Sindroma Mata Kering (Dry eye syndrome) merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk, cepat lelah, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan (Asyari, 2007). Kelembaban permukaan mata merupakan keseimbangan antara produksi dan ekskresi air mata melalui sistem drainase melalui duktus nasolakrimalis serta penguapan. Apabila keseimbangan ini terganggu, mata terasa kering, timbul suatu dry spot pada permukaan kornea sehingga menimbulkan rasa iritasi, perih diikuti refleks berkedip, lakrimasi dan mata berair. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut dalam waktu yang lama akan terjadi kerusakan sel epitel kornea dan konjungtiva, bahkan dapat terjadi infeksi, ulkus, dan kebutaan. Sangat banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry eye baik pada wanita maupun pria, beberapa diantaranya adalah (Steinert, 2010): 1. Usia, Dry eye dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut, 75% di atas 65 tahun baik laki maupun perempuan. 2. Jenis kelamin, yang lebih sering dialami oleh wanita karena factor hormonal seperti kehamilan, menyusui, pemakaian obat kontrasepsi,dan menopause. 3. Ras, angka prevalen terbanyak ditemukan pada ras Cina, Asia, Hispanics dan Pasific Islander. 4. Operasi mata (ophthalmic surgery), jenis operasi katarak dapat mengakibatkan terjadinya dry eyes. 5. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus, Stevens-johnsons. syndrome,Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis, nodosa,sarcoidosis, Mickulick.s syndrome. 6. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan, dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi, oral, diuretik, obat-obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum. 7. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung kadar air tinggi akan menyerap airmata sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa kontak, dan menimbulkan deposit protein. 8. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara, angin, berada diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi air mata. 2. Patofisiologi Lapisan air mata (tear film) yang terdapat pada permukaan mata berfungsi untuk membasahi serta melumasi mata agar terasa nyaman. Pada setiap berkedip lapisan airmata ini terbentuk yang terdiri atas 3 lapis/komponen: a. Lapisan lemak dengan ketebalan 0,1 μm, merupakan lapisan paling luar yang berfungsi mencegah penguapan berlebihan. Lapisan lemak ini mengandung esters , gliserol dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar Meibom yang terdapat pada kelopak mata atas dan bawah. Infeksi atau kerusakan berulang pada kelenjar ini (seperti hordeolum, kalazion serta blefaritis) akan menyebabkan gangguan lapisan lemak sehingga terjadi lipid deficiency dry eye akibat penguapan berlebihan. b. Lapisan aquous (air mata) dengan ketebalan 7 μm, dihasilkan oleh kelenjar lakrimal dan merupakan komponen yang paling besar. Lapisan ini berfungsi sebagai pelarut bagi oksigen, karbondioksida dan mengandung elektrolit, protein, antibodi, enzim, mineral, glukosa, dan sebagainya. Lysozyme, suatu enzim glikolitik, merupakan komponen protein terbanyak (20-40%), bersifat alkali dan mampu menghancurkan dinding sel bakteri yang masuk ke mata. Lactoferrin juga memiliki sifat antibakteri serta antioksidan sedangkan epidermal growth factor (EGF) berfungsi mempertahankan integritas permukaan mata normal serta mempercepat penyembuhan jika terjadi luka kornea. Albumin, transferrin, immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin M (IgM), dan immunoglobulin G (IgG) juga terdapat dalam lapisan aqueous air mata. c. Lapisan musin: sangat tipis 0,02-0,05 μm, dihasilkan oleh sel Goblet yang banyak terdapat pada selaput konjungtiva (konjungtiva bulbi, forniks dan caruncula). Lapisan musin ini akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang bersifat hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat hidrofilik agar air mata dapat membasahinya, serta berfungsi mempertahankan stabilitas lapisan air mata. 3. Gejala Klinis Pasien dengan sindrom mata kering paling sering mengeluhkan tentang iritasi, benda asing (berpasir), sensasi terbakar, ketidaknyamanan ocular yang tidak spesifik, fotosensitivitas, mata merah, nyeri, air mata berlebihan (refleks lakrimasi) dari hanya akibat lingkungan yang kecil seperti tiupan angin, dingin, kelembaban rendah atau membaca dalam waktu yang lama, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel, bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan. Pada kebanyakan pasien, ciri yang paling khas pada pemeriksaan slit-lamp adalah terputusnya atau tiadanya meniscus air mata di tepian mata palpebra inferior. 4. Diagnosis Sindrom Mata Kering Diagnosis biasanya cukup ditegakkan atas dasar gejala klinis, anamnesis yang lengkap keluhan pasien, usia, pekerjaan, penyakit serta pemakaian obat-obatan yang mungkin dapat menjadi penyebab. Pemeriksaan klinis segmen anterior mata termasuk kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus penting dapat dilakukan untuk menilai fungsi air mata secara kualitas maupun kuantitas seperti: a. Tes Schirmer Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul de sac konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dianggap abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal. Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadangkadang dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin. b. Tear film break-up time pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk dalam film air mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini pada akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan daerah-daerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan kornea dibasahi flourescein. Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta agartidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam lapisan flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal, memanipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin. c. Tes Ferning Mata Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggakan parut (pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva difus), arborisasi berkurang atau hilang. d. Sitologi Impresi Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada ksus keratokonjungtivitis sicc, trachoma, pemphigoid mata cicatrix, sindrom stevens johnson, dan avitaminosis A. e. Pemulasan Flourescein Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat. Flourescein akan memulas daerahdaerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel kornea. f. Pemulasan Bengal Rose Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan memulas semua sel epitel non-vital yang mengering dari kornea konjungtiva. g. Penguji Kadar Lisozim Air Mata Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pad awal perjalanan sindrom Sjorgen dan berguna untuk mendiagnosis penyakit ini. Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya. Cara paling umum adalah pengujian secara spektrofotometri. h. Osmolalitas Air Mata Hiperosmollitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca dan pemakaian kontak lens dan diduga sebagai akibat berkurangnya sensitivitas kornea. Laporan-laporan menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi keratokonjungtivitis sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada pasien dengan Schirmer normal dan pemulasan bengal rose normal. i. Lactoferrin Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar lakrimal. B. Operasi Katarak Operasi katarak telah mengalami perubahan yang sangat dramatis selama 30 tahun terakhir dengan diperkenalkannya alat mikroskop dan instrumen untuk bedah refraktif, berkembangnya lensa intraocular dan perubahan dalam teknik untuk anestesi lokal. Perkembangan lebih lanjut terjadi dengan ditemukannya instrumen yang bekerja secara otomatis dan modifikasi dari lensa intraocular sehingga memungkinkan dilaksanakannya operasi melalui insisi kecil. Dalam bedah katarak, lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intracapsular atau ekstracapsular. Ekstraksi lensa melalui metode intrakapsulat yang jarang dilakukan lagi sekarang adalah mengangkat lensa intoto, yakni di dalam kapsulnya melalui insisi limbus superior 140 hingga 160 derajad. Pada ekstraksi ekstrakapsular, juga dilakukan insisi di limbus superior, bagian inferior kapsul dipotong dan diangkat, nucleus diekstraksi dan korteks dibuang dari mata dengan irigasi atau tanpa aspirasi sehingga meninggalkan kapsul posterior. Teknik operasi katarak ada beberapa jenis, diantaranya : 1. Teknik Fakoemulsifikasi Teknik fakoemulsifikasi adalah teknik ekstrakapsuler yang menggunakan getaran-getaran ultrasonic untuk mengangkat nucleus dan korteks dengan insisi yang kecil (2-5mm). Fakoemulsifikasi menggunakan alat dengan gelombang ultrasonic untuk memfragmentasi nucleus dari katarak kemudian mengemulsifikasi fragmen-fragmen tersebut. Teknik ini juga menggunakan alat dengan system aspirasi otomatis yang dikendalikan oleh ahli bedah untuk memindahkan materi korteks melalui jarum yang dimasukkan melalui insisi kecil. Fakoemulsifikasi menghasilkan komplikasi yang berhubungan dengan luka operasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tehnik yang memerlukan insisi yang lebih besar, penyembuhan luka juga bias lebih cepat, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat. Tehnik ini bermanfaat pada katarak congenital dan traumatic dan kebanyakan katarak senilis. Tehnik ini kurang efektif pada katarak senilis yang padat, dan keuntungan insisi limbus yang kecil agak berkurang kalau akan dimasukkan lensa intraokuler, meskipun sekarang sering digunakan lensa intraokuler yang fleksibel yang dapat dimasukkan melalui insisi kecil (Steinert, 2010). 2. Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan evolusi dari teknik Ekstracapsular Cataract Surgery (ECCE) dimana keseluruhan lensa dikeluarkan dari mata melalui jalan luka di sclera. Jalan luka di sclera ini dibuat sedemikian sehingga kedap air dan tidak membutuhkan jahitan. Kata “small” mengacu pada luka yang relative kecil jika dibandingkan dengan luka yang dibutuhkan pada teknik ECCE, walaupun luka pada SICS masih lebih besar jika dibandingkan luka pada teknik fakoemulsifikasi, penelitian mengenai katarak yang padat yang akan diangkat dengan teknik SICS dibandingkan dengan teknik fakoemulsifikasi ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi waktu operasi yang lebih singkat dan biaya yang lebih sedikit secara signifikan ditemukan pada teknik SICS (Steinert, 2010). BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN VARIABEL PENELITIAN A. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Nursalam, 2011). Adapun kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut : Faktor resiko SMK : Operasi mata (operasi Katarak) Kontak Lens Pemakaian Obat Lingkungan Penyakit Jenis Kelamin Ras Usia Sindroma mata kering Keterangan gambar : : Diteliti : Tidak diteliti (Faktor lain yang mempengaruhi) Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Jenis insisi Katarak Dengan Kejadian Sindroma Mata Kering Penjelasan gambar : berdasarkan gambar kerangka konsep tersebut, kejadian SMK dipengaruhi oleh beberapa faktor, tetapi peneliti hanya meneliti hubungan antara jenis operasi katarak dengan kejadian SMK. B. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pernyataan penelitian. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (Nursalam 2014). Penelitian ini merujuk pada hipotesis alternative (Ha), yaitu terdapat hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara. C. Variabel Penelitian 1. Variable independen (bebas) Variable yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variable lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variable dependen. Variable bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk diketahui hubungannya dan pengaruhnya terhadap variable lain (Nursalam, 2014). Variable independen dalam penelitian ini adalah jenis insisi katarak. 2. Variabel dependen (terikat) Variable yang dipengaruhi nilainya oleh variable lain. Variable respon akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variable-variabel lain. Dalam ilmu perilaku, variable terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu organism yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variable terikat adalah factor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variable bebas (Nursalam, 2014). Dalam penelitian ini variable dependen adalah kejadian sindroma mata kering. 3. Definisi operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2014). Definisi operasional dalam penelitian ini seperti pada tabel 3.1 berikut : Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Jenis Insisi Katarak Dengan Kejadian Sindroma Mata Kering Pada Pasien Pasca Operasi Katarak Di Rumah Sakit Mata Bali Mandara Tahun 2016 No. Variable Definisi operasional Alat Hasil Skala ukur Pengukuran Ukur 1 2 3 4 5 6 1 Variable Jenis insisi operasi Tindakan Phacoemulsif Nominal independen : katarak adalah jenis operasi ikasi dan jenis insisi insisi operasi yang yang SICS operasi digunakan dalam dilakukan katarak penanggulangan katarak pada yang dibagi menjadi dua pasien macam yaitu phacoemulsifikasi dan SICS 2 Variable Sindroma mata kering Kuesioner Ya dependen adalah suatu kelompok baku Tidak adalah gejala pada mata yang untuk kejadian ditandai dengan rasa sindroma sindroma mengganjal pada mata, mata mata kering rasa berair, perih dan kering pasca operasi seperti terdapat benda (OSDI) katarak asing pada mata yang dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, salah satunya adalah operasi katarak Nominal BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya (Nursalam, 2014). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain deskriptif korelasi melalui pendekatan cross sectional yaitu rancangan penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara variable yaitu jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak di Rumah Sakit Bali Mandara. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara dan akan dilaksanakan selama dua bulan mulai pada bulan Agustus hingga bulan Oktober tahun 2016. C. Populasi-Sampel-Sampling 1. Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Hidayat, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsifikasi dan SICS pada periode penelitian. 2. Sampel Penelitian Sampel didefinisikan sebagai bagian dari populasi yang diambil untuk diketahui karakteristiknya (Hidayat, 2014). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2014). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien katarak yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsifikasi dan SICS di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada periode penelitian, yaitu dengan kriteria inklusi dan eksklusi: a. kriteria Inklusi: 1) Pasien yang tidak didiagnosis SMK sebelum operasi katarak 2) Pasien pasca operasi katarak dengan jenis Phacoemulsifikasi maupun SICS. 3) Pasien yang bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan menjadi responden. b. kriteria eksklusi: 1) Pasien mengalami infeksi pasca operasi katarak selama periode penelitian. 2) Pasien yang tidak bersedia diteliti 3. Sampling Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2014). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan tidak memberikan peluang yang sama dari setiap anggota populasi, yang bertujuan tidak untuk generalisasi. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutive sampling, yaitu semua pasien pasca operasi katarak dengan teknik phacoemulsi dan SICS yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. D. Pengumpulan Data 1. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode survey dengan kuisioner (questionnaires) yang terdiri dari data demografi empat pertanyaan (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan), OSDI (Ocular Surface Desease Index) yang terdiri dari 12 pertanyaan. Kuisioner ini langsung diberikan kepada pasien pasca operasi katarak yang telah memenuhi kriteria sebagai responden. Disamping kuisioner peneliti juga menggunakan catatan rekam medis pasien dalam mencari riwayat diagnosis pasien serta jenis insisi yang telah dilakukan terhadap pasien pasca operasi katarak. 2. Alat pengumpulan data Alat yang dipakai dalam pengumpulan data penelitian ini adalah kuisioner yang terdiri dari dua bagian, pertama data demografi reponden yang terdiri dari empat pertanyaan (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan), OSDI (Ocular Surface Desease Index) yang terdiri dari 12 pertanyaan. OSDI (Ocular Surface Desease Index) adalah instrument yang valid dan reliable untuk mengukur sindroma mata kering (Schiffman, Christianson, Jacobsen, Hirsch, & Reis, 2000). Selain itu peneliti juga menggunakan catatan rekam medis pasien, lembar persetujuan menjadi responden, informed consent, dan surat ijin pengumpulan data dari Rumah Sakit Mata Bali Mandara. 3. Teknik pengumpulan data Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu dimulai dengan pengurusan permohonan surat rekomendasi dari istitusi pendidikan (STIKES Bali), pengurusan ijin penelitian ke Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali dan ijin penelitian pada Komite Etika Penelitian Rumah Sakit Mata Bali Mandara, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan responden penelitian sesuai dengan criteria inklusi dan eksklusi. Responden menandatangani lembar persetujuan menjadi responden, peneliti melalui catatan rekam medis pasien mencari teknik insisi operasi katarak yang telah lakukan, kemudian responden diberikan kuisioner untuk diisi sesuai dengan pertanyaan yang tertera di lembar kuisioner yang terdiri dari data demografi empat pertanyaan (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) dan OSDI yang terdiri dari 12 pertanyaan . E. Rencana Analisis Data Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Informasi yang diperoleh dipergunakan untuk memproses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis (Hidayat, 2014). Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu: 1. Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. 2. Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisa data menggunakan computer. Jadi semua data akan diberikan kode untuk memudahkan proses pengolahan data. Pemberian kode yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah Jenis insisi katarak (SICS : 1, PHACO : 2), sindroma mata kering (SMK : 1, Tidak SMK : 2), Usia (45 – 54 tahun : 1, 55 – 64 tahun : 2, 65 – 74 tahun : 3, > 75 tahun : 4), Jenis kelamin (Laki-laki : 1, Perempuan : 2), Pendidikan (Tidak sekolah : 1, SD : 2, SMP : 3, SMA : 4, Diploma/PT : 5), Pekerjaan (Tidak bekerja : 1, Petani : 2, PNS : 3, Swasta : 4). 3. Entry data Entry yaitu kegiatan memasukan data kedalam program computer untuk diolah menggunakan komputer. Entry dilakukan jikan sudah yakin bahwa data yang ada sudah benar, baik dari kelengkapan maupun pengkodeannya. 4. Melakukan teknik analisis Uji analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah : a. Analisis univariat Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah distribusi frekuensi dari sampel penelitian, diantaranya : 1) Distribusi frekuensi sampel menurut usia 2) Distribusi frekuensi sampel menurut jenis kelamin 3) Distribusi frekuensi sampel menurut pendidikan 4) Distribusi frekuensi sampel menurut pekerjaan 5) Distribusi frekuensi sampel menurut jenis insisi katarak 6) Distribusi frekuensi sampel yang mengalami SMK berdasarkan jenis insisi katarak. b. Analisis bivariat Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi. Analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara dua variable, arah hubungan dan signifikan tidaknya hubungan (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji statistik Chi Square yaitu uji statistik yang digunakan untuk menguji 2 variabel (independen dan dependen variable) yang keduanya berkategori nominal. Nilai expected tidak boleh kurang dari 5 (maksimal 20% expected frequencies < 5) (Weiss and Weiss, 2008 dalam Swarjana, 2015). Dengan menggunakan program SPSS didapatkan nilai Asymp. Sig, bila < 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan (Ha diterima), bila > 0,05 maka tidak ada hubungan (Ha ditolak). F. Etika Penelitian Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut Hidayat (2014), masalah etika yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Informed consent (lembar persetujuan menjadi responden) Merupakan bentuk persetujuan antar peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan agar responden mengerti maksud, tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika responden bersedia diteliti maka responden harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak klien. 2. Anonymity (tanpa nama) Memberikan jaminan mengenai kerahasiaan identitas responden penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan. 3. Confidentiality (kerahasiaan) Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset. Selain hal tersebut diatas peneliti juga harus mempersiapkan hal berikut dalam hubungannya dengan masalah etika penelitian. 1. Peneliti mohon surat rekomendasi Ketua STIKES Bali untuk mengurus ijin penelitian ke Dinas Penanaman Modan dan Perijinan Provinsi Bali. 2. Peneliti mengurus ijin penelitian kepada Komite Etika Penelitian Rumah Sakit Mata Bali Mandara. 3. Peneliti menyediakan surat pernyataan menjadi responden. DAFTAR PUSTAKA Asbell, P. A., & Lemp, M. A. (2011). Dry Eye Disease: The Clinician’s Guide to Diagnosis and Treatment. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016, dari https://books.google.co.id/books?id=8MP1c1TyjXYC Asyari. (2007) Dry Eye Syndrome (Sindroma Mata Kering), Dexa Media no 4, vol 20, hal 162-167, 2007. Cho, Y. K., & Kim, M. S. (2009). Dry eye after cataract surgery and associated intraoperative risk factors. Korean Journal of Ophthalmology : KJO, 23(2), 65–73. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016, dari http://doi.org/10.3341/kjo.2009.23.2.65 Depkes RI. (2015). Katarak Dapat Disembuhkan. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016, dari http://www.depkes.go.id/article/view/15060300002/ Hidayat.A A. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Ilyas Sidarta, dkk. (2012). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Notoatmojdo, S. (2012). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. (2014). Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis. Jakarta : Salemba Medika Retnadi, dkk. (2012) Pengaruh Jenis Insisi Pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering, Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol 27. Schiffman, R. M., Christianson, M. D., Jacobsen, G., Hirsch, J. D., & Reis, B. L. (2000). Reliability and validity of the Ocular Surface Disease Index. Archives of Ophthalmology, 118(5), 615–621. Diperoleh tanggal 2 Mei 2016, dari http://doi.org/10.1001/archopht.118.5.615 Steinert, R. F. (2010). Cataract Surgery. Saunders Elsevier. Diperoleh tanggal 2 Mei 2016, dari https://books.google.co.id/books?id=NbM_MAd0dLIC Swarjana, K. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan : Edisi Revisi. Yogyakarta : ANDI WHO. (2010). Visual Impairment and Blindness 2010. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016, dari http://www.who.int/blindness/publications/globaldata/en/