Uploaded by iwanisisskarda

Rhinosinusitis Kronik Baru diedit

advertisement
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN KASUS
MARET 2020
RHINOSINUSITIS KRONIK
Disusun oleh :
Nurul Madinah Zainal
C014182144
Pahista Pamberiaski
C014182145
Idvianty Wulandari
C014182150
Pembimbing Residen :
dr. Helta
Supervisor :
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dengan judul
Rhinosinusitis Kronik, yang disusun oleh:
Nama:
Nurul Madinah Zainal
C014182144
Pahista Pamberiaski
C014182145
Idvianty Wulandari
C014182150
Asal Institusi: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas pada
bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada waktu
yang telah ditentukan.
Makassar, Maret 2020
Supervisor Pembimbing
Dr. dr. Masyita Gaffar, SpTHT-KL(K)
Residen Pembimbing
dr. Helta
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2
Definisi.................................................................................................................. 2
Anatomi ................................................................................................................ 2
Epidemiologi ......................................................................................................... 7
Faktor risiko .......................................................................................................... 7
Klasifikasi ............................................................................................................. 15
Patofisiologi .......................................................................................................... 15
Diagnosis .............................................................................................................. 16
Tatalaksana ........................................................................................................... 22
Diagnosis Banding ................................................................................................ 31
Komplikasi ............................................................................................................ 31
LAPORAN KASUS ............................................................................................. 32
PEMBAHASAN ................................................................................................... 39
KESIMPULAN ..................................................................................................... 40
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinosinusitis merupakan peradangan pada cavum nasi dan sinus paranasal.
Penyakit ini sering dialami di masyarakat. Rhinosinusitis dapat dibagi berdasarkan
lama durasi timbulnya gejala.
1–4
Rhinosinusitis dapat dikatakan akut bila durasi
timbulnya gejala berlangsung kurang dari 4 minggu, subakut bila durasi timbulnya
gejala berlangsung antara 4-12 minggu dan dikatakan rhinosinusitis kronik apabila
durasinya berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Rhinosinusitis kronik
diperkirakan dialami dengan prevalensi sekitar 5-13% diseluruh dunia. 4
Rhinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor
alergi yang merupakan salah satu penyebab terbanyak rhinosinusitis. Kondisi alergi
memerlukan kondisi atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama.5 Rhinosinusitis kronik et causa alergi memerlukan diagnosis dan penanganan
yang tepat karena menyebabkan gangguan terhadap kualitas hidup serta gangguan
tidur yang dialami pada 75% pasien.6 Kondisi rhinosinusitis kronik juga dapat
menimbulkan berbagai komplikasi.7,8
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Rhinosinusitis adalah peradangan yang bersifat simtomatik pada sinus
paranasalis dan cavum nasi. Istilah rhinosinusitis lebih sering dipakai daripada
sinusitis, oleh karena sinusitis selalu diikuti juga dengan adanya peradangan pada
mukosa cavum nasi. Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu
akut dan kronis. Disebut akut jika durasinya kurang dari 4 minggu, atau kronis jika
durasinya berlangsung selama 12 minggu.1–4
2.2. ANATOMI
a. Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5)
kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).9
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)
tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus
nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4)
tepi inferior kartilago septum.9
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.9
2
Gambar 1 Anatomi eksternal dan inding lateral nasal6
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.9
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os
etmoid, 2) vomer, 3)krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah kartilago septum dan kolumela. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluar dilapisi oleh mukosa hidung.9
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus
media, dan meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior
bermuara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.9
3
Pendarahan hidung pada bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah berasal dari a.
maksilaris interna. Dan bagian depan berasal dari a. Fasialis. Bagian depan
anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior,
dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kieselbach.
Vena-vena
membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh
vena-vena yang menyertai arteri.9
Gambar 3 Vaskularisasi dan Inervasi Cavum Nasal6
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung
lainnya saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.9
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih
sering terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah
menjadi epitel skuamosa.9
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel
4
mempunyai arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi
yang didorong ke arah nasofaring.9
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior
dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu yang tidak bersilia.9
b. Sinus paranasal
Gambar 5. Anatomi Sinus paranasalis6,7
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla,
sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid.
-
Sinus maxilla
Sinus maxiilla berbentuk piramid dan terletak didalam corpus
maxillaris dibelakang pipi. Atap dibentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar
berhubungan dengan akar gigi premolar dan molar. Sinus maxillaris bermuara
kedalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Dari segi klinis yang
perlu diperhatikan dari segi anatomi adalah 1) dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar
(M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinu, sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis, 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan kompikasi orbita, 3) ostium sinus maksilla terletak lebih tinggi
dari dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula
5
drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian
dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.9,10
-
Sinus frontal
Sinus frontal ada dua buah, terdapat didalam os frontal. Mereka
dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum tulang. Setiap sinus berbentuk
segitiga, meluas keatas di ujung medial alis mata dan ke belakang sampai
kebagian medial atap orbita. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fos serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Masing-masing sinus frontalis bermuara
kedalam meatus nasi medius melalui infundibulum. 9,10
-
Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terletak dianterior, medius dan posterior, serta
tedapat didalam os ethmoidale, diantara hidung dan orbita. Sinus ini dipisahkan
dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah dapat
menjalar dari sinus kedalam orbita. Sinus ethmoidalis kelompok anterior
bermuara kedalam infundibulum, kelompok media bermuara kedalam meatus
nasi medius, pada atau diatas bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior
bermuara kedalam meatus nasi superior. 9,10
-
Sinus sphenoidal
Sinus sphenoidal ada dua buah, terletak didalam corpus ossis
sphenoidal. Setiap sinus bermuara kedalam recessus sphenodal diatas concha
nasalis superior. 10
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus fontal dan sinus etmoid anterior. Daerah
ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, resesus frontal,
bula etmoid dan sel-sel etmoid anterioe dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.9
c. Sistem Mukosiliar
6
Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir diatasnya. Didalam sinus silia begerak secara teratur
untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur
yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran
transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang beraal dari kelompok sinus anterior
yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring didepan muara
tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
ke resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara
tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca nasal (post nasal drip),
tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. 9
2.3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi rhinosinusitis kronik sebanyak 5% hingga 13% di Amerika Serikat,
Eropa dan Tiongkok, cukup tinggi karena tidak adanya konfirmasi oleh CT sinus atau
rinoscopy. CRS paling banyak terjadi pada orang dewasa, karena sinus tidak
sepenuhnya terbentuk hingga remaja. Usia rata-rata diagnosis adalah 48,4 tahun untuk
CRS dengan polip hidung (CRSwNP) dan 40,3 tahun untuk CRS tanpa polip hidung
(CRSsNP). 4
Tingkat prevalensi puncak antara Usia 35 dan 64 tahun, dan 20% pasien CRS
memiliki polip hidung (NP). Pria sebanyak 54% dari pasien dengan CRSwNP dan 42%
dari mereka yang memiliki CRSsNP. Tingkat kejadian CRSwNP dan CRSsNP dalam
populasi perawatan primer di Amerika Serikat 83 dan 1.048 kasus per 100.000
orang/tahun. Pasien dengan CRSwNP lebih tua dan laki-laki lebih mungkin
dibandingkan dengan CRSsNP. 4
2.4. FAKTOR RISIKO
Rhinosinusitis kronis (CRS) dapat disertai dengan polip nasal (CRSwNP) atau tanpa
polip nasal (CRSsNP). Memiliki faktor risiko mulai dari genetika, penyakit penyerta
dan faktor lingkungan. 4
-
Penurunan fungsi silia
7
Pasien dengan sindrom Kartagener, diskinesia silia primer, dan fibrosis
kistik sering terjadi pada pasien CRS. Berdasarkan anatomi dan fisiologi,
fungsi ciliary memainkan peran penting dalam pembersihan sinus dan
pencegahan peradangan kronis. Diskinesia ciliary sekunder ditemukan pada
pasien dengan rhinosinusitis kronis, dan mungkin reversibel, walaupun
membutuhkan beberapa waktu. Ini akan menjadi jelas bahwa pada pasien
dengan sindrom Kartagener dan diskinesia silia primer, rhinosinusitis kronis
adalah masalah umum. Pasien-pasien ini biasanya memiliki riwayat infeksi
pernapasan yang panjang. Pada pasien dengan cystic fibrosis (CF),
ketidakmampuan silia untuk menghasilkan lendir yang kental menyebabkan
kerusakan silia dan akibatnya terjadi rhinosinusitis kronis. Polip hidung hadir
di sekitar 40% pasien dengan CF . Polip ini umumnya lebih neutrofilik
daripada eosinofilik di alam tetapi dapat merespon steroid juga, seperti steroid
inhalasi pada pasien dengan CF mengurangi peradangan neutrofilik.4,7
-
Alergi
Salah satu faktor resiko yang prevalensinya cukup tinggi yang dapat
menyebabkan CRS. Atopi diduga menjadi predisposisi CRS, karena jika terjadi
pembengkakan mukosa hidung pada rinitis alergi dapat mengganggu ventilasi
ditempat sinus ostia dan juga peradangan sinus dapat diinduksi melalui
ekstensi lokal dari peradangan hidung awal. Sejumlah penelitian melaporkan
bahwa penanda atopi lebih umum pada populasi dengan rhinosinusitis kronis.
Benninger melaporkan bahwa 54% pasien rawat jalan dengan rhinosinusitis
kronis memiliki skin prick test positif. Di antara CRS pasien yang menjalani
operasi sinus, prevalensi skin prick test positif berkisar antara 50 hingga
84%.4,7
Secara keseluruhan, data epidemiologis menunjukkan peningkatan prevalensi
rinitis alergi pada pasien dengan CRS, tetapi peran alergi pada CRS masih
belum jelas. Studi radiologis tidak membantu dalam mengungkap korelasi
antara alergi dan rhinosinusitis. Persentase tinggi kelainan sinus mukosa
ditemukan pada gambar radiologis pasien alergi, mis. 60% kejadian kelainan
pada CT menandakan di antara subjek dengan alergi ragweed selama musim.4,7
8
Namun, data ini harus ditafsirkan dengan hati-hati, fakta bahwa
persentase tinggi temuan insidental ditemukan pada gambar radiologis mukosa
sinus pada individu tanpa keluhan hidung, mulai dari 24,7% hingga 49,2%,
bahwa siklus hidung normal menginduksi perubahan siklikal pada volume
mukosa hidung, dan kelainan radiologis itu berkontribusi minimal pada gejala
pasien. Meskipun kurangnya bukti epidemiologi hubungan sebab akibat yang
jelas antara alergi dan CRS, jelas bahwa kegagalan untuk mengatasi alergi
sebagai faktor penyebab CRS mengurangi kemungkinan keberhasilan
intervensi bedah. Di antara pasien alergi yang menjalani imunoterapi, mereka
yang merasa paling terbantu dengan imunoterapi adalah subjeknya dengan
riwayat rhinosinusitis berulang, dan sekitar setengahnya dari pasien, yang telah
menjalani operasi sinus sebelumnya, percaya bahwa operasi itu sendiri tidak
cukup untuk menyelesaikan sepenuhnya
episode infeksi berulang 4,7
-
Asma
Dalam sebuah studi terbaru lebih dari 52.000 orang dewasa, peneliti
GA2LEN menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat antara asma dengan
CRS begitupun dari penelitian lainnya. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
peradangan alergi pada saluran napas atas dan bawah saling berdampingan dan
harus dilihat sebagai sebuah kontinum peradangan, dengan peradangan di satu
bagian jalan napas mempengaruhi bagian disekitarnya. Argumennya dan
konsekuensi dari pernyataan ini dirangkum dalam Dokumen ARIA.
Rhinosinusitis dan keterlibatan saluran napas bawah juga sering dikaitkan pada
pasien yang sama, tetapi hubungan timbal balik mereka kurang dipahami.
Buktinya, pengobatan rhinosinusitis meningkatkan gejala asma dan karenanya
mengurangi kebutuhan akan obat untuk mengendalikan asma terutama hasil
dari penelitian pada anak-anak. Singkatnya, perbaikan pada gejala asma dan
pengobatannya diperoleh setelah operasi untuk rhinosinusitis pada anak-anak
dengan kedua kondisi4,7.
Studi tentang kelainan radiografi sinus pada penderita asma
menunjukkan prevalensi tinggi sinus abnormal mukosa. Semua pasien dengan
9
asma tergantung steroid memiliki perubahan mukosa abnormal pada CT
dibandingkan dengan 88% dengan asma ringan hingga sedang.
Secara
radiografis kelainan sinus yang terdeteksi pada pasien yang peka dapat
mencerminkan peradangan yang terkait dengan keadaan alergi daripada infeksi
sinus. 4,7
-
Mikroorganisme
a. Bakteri
Meskipun sering dihipotesiskan bahwa CRS berasal dari rhinosinusitis
akut, peran bakteri dalam CRS belum begitu jelas. Sejumlah penulis telah
menggambarkan mikrobiologi meatus tengah dan sinus. Namun jika dan
yang Patogen ini yang berkontribusi terhadap penyakit tetap menjadi
masalah perdebatan. Arouja mengisolasi aerob dari 86% sampel meatus
tengah pasien CRS, anaerob diisolasi pada 8%. Mikroorganisme yang
sering
adalah
Staphylococcus
aureus
(36%),
koagulase-negatif
Staphylococcus (20%), dan Streptococcus pneumoniae (17%). Meatus
tengah dan kultur sinus maksilaris mempresentasikan patogen yang sama
pada 80% kasus. Pada orang sehat, Staphylococcus coagulase-negatif
(56%), S. aureus (39%), dan S. pneumoniae (9%) adalah yang paling sering.
Beberapa penulis berpendapat bahwa semakin kronis, aerobik semakin
berkembang dan spesies fakultatif secara bertahap digantikan oleh anaerob.
Perubahan ini dapat terjadi karena tekanan selektif agen antimikroba yang
memungkinkan organisme resisten untuk bertahan hidup dan dari
pengembangan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan anaerob, yang
meliputi pengurangan tekanan oksigen dan peningkatan keasaman dalam
sinus. Seringkali kolonisasi polymicrobial ditemukan, kontribusi terhadap
penyakit patogen yang berbeda masih belum jelas.7
b. Jamur
Jamur telah dibiakkan dari sinus manusia dengan berbagai percabangan
yang berbeda. Kehadiran mereka mungkin relatif jinak, menjajah sinus
normal
atau membentuk saprofitik
remah.
Mereka juga dapat
10
menyebabkan berbagai patologi, mulai dari bola jamur non-invasif untuk
penyakit invasif dan melemahkan7.
Peningkatan dari penyakit sinus yang disebabkan oleh jamur mungkin
disebabkan oleh peradangan yang distimulasi oleh antigen jamur di udara.
Pada tahun 1999 diusulkan bahwa sebagian besar pasien dengan CRS
menunjukkan infiltrasi eosinofilik dan adanya jamur oleh histologi atau
budaya. Penegasan ini didasarkan pada temuan kultur jamur positif dengan
menggunakan teknik kultur baru (96%) pasien dengan CRS yang
prospektif dievaluasi dalam penelitian kohort. Tidak ada peningkatan
sensitivitas tipe I ditemukan pada pasien dibandingkan dengan kontrol.
Istilah‘‘eosinophilic
chronic
rhinosinusitis’’
diusulkan
untuk
menggantikan nomenklatur yang sebelumnya digunakan. Menggunakan
teknik budaya baru ini, persentase yang sama dari kultur jamur positif juga
ditemukan pada kontrol normal. Sejumlah besar jamur telah diidentifikasi
di rongga sinus pasien dengan sinusitis melalui berbagai pewarnaan dan
teknik kultur. Lain halnya dengan isolasi bakteri di rongga sinus pasien,
keberadaan jamur tidak membuktikan bahwa patogen ini secara langsung
menciptakan atau menyebabkan penyakit.7
-
Sensitif Aspirin
Pada pasien dengan sensitivitas aspirin, hingga 90% memiliki CRS
dengan perubahan radiografi. Pasien dengan sensitivitas aspirin, asma dan CRS
dengan polip nasal biasanya non-atopik.4
-
Immunocompromised
Disfungsi sistem kekebalan tubuh seperti proliferasi limfosit T yang
abnormal atau defisiensi imunoglobulin selektif ada kaitannya dengan CRS. Di
antara kondisi yang berhubungan dengan disfungsi kekebalan tubuh sistem,
imunodefisiensi bawaan memanifestasikan diri dengan gejala di awal
kehidupan dan akan ditangani di pediatrik bagian CRS. Namun, disfungsi
sistem kekebalan tubuh dapat terjadi di kemudian hari dan hadir dengan CRS.
Dalam ulasan retrospektif pasien sinusitis refrakter, Chee et al. menemukan
insiden yang sangat tinggi dengan disfungsi imun. Dari 60 pasien dengan
11
pengujian fungsi limfosit T in vitro, 55% menunjukkan proliferasi abnormal.
Titer imunoglobulin G, A dan M yang rendah ditemukan pada masing-masing
18, 17 dan 5% pasien dengan sinusitis refrakter. Variabel imunodefisiensi
umum adalah didiagnosis pada 10% dan defisiensi IgA selektif pada 6% pasien.
Oleh karena itu, tes imunologis harus menjadi bagian integraldari jalur
diagnostik pasien dengan CRS yang respon pengobatan konservatif. Secara
cross-sectional studi untuk menilai prevalensi keseluruhan penyakit
otolaringologis pada pasien dengan infeksi HIV.4,7
Dilaporkan bahwa sinusitis hadir pada lebih dari setengah populasi
penderita HIV-positif, peringkat kondisi ini salah satu yang paling lazim pada
orang HIV-positif. Namun, relevansi data ini dipertanyakan karena tidak ada
perbedaan dalam gejala sinonasal dengan tingkat keparahan antara pasien HIVpositif dan AIDS juga tidak ada korelasi antara jumlah CD4 + dan keparahan
gejala. Dalam studi yang lebih detail, Garcia-Rodrigues et al. melaporkan
insiden rhinosinusitis yang lebih rendah (34%), tetapi dengan korelasi yang
baik antara jumlah CD4 + rendah dan kemungkinan rhinosinusitis. Itu juga
harus disebutkan di sini bahwa organisme atipikal seperti Aspergillus spp,
Pseudomonas aeruginosa dan microsporidia sering diisolasi dari sinus yang
terkena dan neoplasma seperti non- Limfoma Hodgkin dan sarkoma Kaposi,
bisa menjadi penyebab masalah sinonasal pada pasien dengan AIDS. 4,7
-
Autoimun dan penyakit inflamasi
Penderita dengan penyakit granulomatosa kronis memerlukan terapi
farmakologis dan pembedahan dengan CRS 4
-
Faktor genetik
Meskipun CRS telah diamati di anggota keluarga, belum ada latar
belakang secara resmi yang diidentifikasi terkait dengan CRS. Namun, peran
faktor genetik dalam CRS telah terlibat pada pasien dengan cystic fibrosis (CF)
dan ciliary primer diskinesia (sindrom Kartagener). CF adalah salah satu
gangguan resesif autosom yang sering dari populasi Kaukasia, disebabkan oleh
mutasi gen CFTR pada kromosom 7. Mutasi yang paling umum, DF508,
ditemukan di 70 hingga 80% dari semua gen CFTR di Eropa Utara. Manifestasi
12
jalan napas atas pasien CF termasuk rhinosinusitis kronis dan polip hidung,
yang ditemukan pada 25 hingga 40% pasien CF di atas usia 5 tahun.
Menariknya, Jorissen et al. melaporkan bahwa homozigositas DF508 mewakili
faktor risiko penyakit sinus paranasal pada CF.4,7
-
Struktur anatomi
Variasi anatomi tertentu seperti concha bullosa, deviasi septal hidung
dan proses uncinate yang terlantar, merupakan sebagai faktor risiko potensial
untuk mengembangkan CRS. Namun, Bolger et al. tidak menemukan korelasi
antara CRS dan variasi anatomi tulang di hidung. Juga di survei oleh Min et
al., tidak ada korelasi yang ditemukan antara deviasi septum dan prevalensi
CRS. Namun, yang harus disebutkan di sini bahwa sejauh ini belum ada
penelitian yang diselidiki apakah variasi anatomi tertentu dapat mengganggu
drainase kompleks ostiomeatal. Sementara beberapa penulis mengatakan
bahwa variasi anatomi sinus paranasal dapat berkontribusi terhadap obstruksi
ostial. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan prevalensi variasi anatomi
adalah tidak lebih umum pada pasien dengan rhinosinusitis atau poliposis
daripada dalam populasi kontrol. Satu area yang diduga adalah efek dari
septum yang menyimpang. Sementara di sana tidak ada metode yang diakui
untuk secara objektif mendefinisikan tingkat yang menyimpang septum,
beberapa penelitian telah menemukan penyimpangan lebih dari 3mm dari garis
tengah menjadi lebih lazim pada rhinosinusitis, sementara yang lain tidak.
Diambil bersama-sama, tidak ada bukti untuk korelasi kausal antara variasi
anatomi hidung secara umum dan kejadian CRS. Terlepas dari pengamatan
bahwa keluhan sinonasal sering terjadi setelah operasi, ini tidak selalu berarti
bahwa variasi anatomi secara etiologis terlibat. 4,7
-
Pregnancy dan Endocrine State
Selama kehamilan, hidung tersumbat terjadi pada sekitar seperlima
wanita. Patogenesis gangguan ini tetap tidak dapat dijelaskan, tetapi ada
beberapa teori mengatakan bahan selain efek hormonal estrogen langsung,
progesteron dan hormon pertumbuhan plasenta pada hidung mukosa, efek
13
hormon tidak langsung seperti perubahan vaskular mungkin ikut terlibat.
Perkembangan sinusitis, tidak jelas. Secara prospektif kecil, Sobol et al.
melaporkan bahwa 61% wanita hamil memiliki hidung tersumbat selama
trimester pertama, sedangkan hanya 3% menderita sinusitis. Dalam penelitian
ini, persentase yang sama wanita tidak hamil dalam kelompok kontrol
mengalami sinusitis selama periode penelitian. Juga dalam laporan sebelumnya,
kejadian insiden sinusitis pada kehamilan terbukti sangat rendah, yaitu 1.5%.
Selain itu, disfungsi tiroid telah terlibat dalam CRS, tetapi hanya ada data
terbatas tentang prevalensi CRS di Indonesia pasien dengan hipotiroidisme. 7
-
Lingkungan
Merokok dikaitkan dengan prevalensi yang lebih tinggi CRS di negaranegara Eropa. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gaya hidup dapat
terlibat dalam CRS seperti ekonomi rendah, polusi, racun, pekerjaan yang
berhubungan dengan tanaman atau mesin, dan kerajinan, meskipun
patogenesis CRS masih belum jelas. 4,7
-
Reflux Gastro - Laryngopharyngeal
Tidak ada cukup bukti untuk pertimbangkan refluks asam sebagai
faktor penyebab yang signifikan pada CRS tanpa polip nasal.
4
Refluks
laringofaringeal (LPR) meupakan salah satu faktor resiko CRS. Ada 3
penyebab yaitu paparan asam lambung langsung ke rongga hidung dan sinus
paranasal menyebabkan peradangan mukosa dan gangguan MCC, adanya
respon vagal yang diperantarai oleh mukosa hidung dari stimulasi
kerongkongan, dan infeksi Helicobacter pylori.11
-
Iatrogenik
Di antara faktor risiko CRS, faktor iatrogenik seharusnya tidak
dilupakan karena mereka mungkin bertanggung jawab atas kegagalan operasi
sinus. Meningkatnya jumlah mucoceles sinus tampaknya berkorelasi dengan
perluasan prosedur operasi sinus endoskopi. Di antara sekelompok 42 pasien
dengan mucocoeles, 11 memiliki operasi sebelumnya dalam 2 tahun sebelum
presentasi. Alasan lain untuk kegagalan setelah operasi adalah resirkulasi
lendir hidung keluar dari ostium rahang atas dan kembali melalui antrostomi
14
yang dibuat secara operasi terpisah yang dihasilkan dalam peningkatan risiko
infeksi sinus persisten. 7
2.5. KLASIFIKASI
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa nasal dan sinus paranasal
dengan durasi setidaknya 12 minggu atau lebih. Rhinosinusitis kronik terbagi
menjadi beberapa fenotipe utama, yaitu:
-
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyposis (CRSwNP)
CRSwNP terbagi menjadi beberapa endotipe seperti
o Aspirin exacerbated respiratory disease (AERD)
o Central Compartment Atopic Disease (CCAD) 14
o Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS). 14
AFRS merupakan rhinosinusitis berpolip yang non invasif,
eosinofilik yang terdapat pada host imunokompeten. AFRS paling
sering terjadi pada kondisi iklim yang hangat dan lembab. Pasien
AFRS biasanya terdiagnosa pada usia yang lebih muda
dibandingkan CRSwNP dan CRSsNP (28 tahun vs 28 dan 43 tahun)
-
Chronic Rhinosinusitis without Nasal Polyposis (CRSsNP)
2.6. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam Kompleks Osteomeatal
(KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan.9
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, yang mulanya adalah
sekret serous. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi dari mikroorganisme.
Hal ini akan menjadikan sekret menjadi purulen. 9
15
Jika terapi pada fase akut tidak berhasil (misalnya akibat faktor predisposisi),
inflamasi akan berlanjut yang menyebabkan hipoksia dan tumbuhnya bakteribakteri yang bersifat anaerob. Mukosa akan semakin membengkak sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid bahkan
pembentukan polip dan kista.9
2.7.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada kasus rhinosinusitis et causa alergi perlu dilakukan anamnesis secara
menyeluruh untuk dapat menegakkan diagnosis
a. Gejala utama rhinosinusitis: 11,12
o Gejala nasal
: Obstruksi, adanya rhinorrhea, hiposmia maupun
anosmia
o Gejala facial
: Nyeri facial, nyeri kepala
o Gejala orofaring: Post nasal drip, nyeri telinga, halitosis, nyeri gigi,
batuk
o Gejala sistemik : Malaise, fatigue
b. Anamnesis tambahan: 11,12
o Sejak kapan gejala timbul (seasonal atau perennial maupun intermiten
atau persisten)
o Dampak gejala terhadap aktifitas (mild atau moderate-severe)
o Terdapat faktor pemicu atau paparan alergen (polen, hewan peliharaan,
tungan, kecoa, debu, bahan bangunan, polutan, lingkungan lembab,
pekerjaan)
o Onset pertama kali umumnya terjadi di usia < 20 tahun
o Terdapat riwayat atopi dalam keluarga (Asma, Alergi)
o Obat-batan yang digunakan (Beta-blockers, ASA, NSAIDs, ACE
inhibitor, Hormone therapy) karena obat antihipertensi, psikotropik dan
decongestan nasal dapat menimbulkan keluhan gejala nasal.
o Komorbid (Asma, alergi makanan, dermatitis atopi, mouth breathing,
mengorok ± apnea, otitis media)
16
2. Pemeriksaan fisis
a. Rinoskopi anterior5,11,13,15,16
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dibantu dengan penggunaan decongestan
kemudian dilakukan evaluasi pada septum nasi, meatus nasi dan concha

Permukaan mukosa membengkak, hiperemis atau pucat, bisa disertai
darah

Concha Kongesti, hipertrofi dan pucat

Sekret berwarna bening, pucat, hingga purulen

Polip atau kelainan struktural lainnya

Obstruksi anatomis / deviasi septum

Crusting
b. Faringoskopi dan Rinoskopi Posterior5,11,13,15,16

Akumulasi mukus di sisi posterior nasal dan faring (Post nasal drip)

Hiperplasia limfoid (cobblestone)

Hipertrofi tonsil
c. Otoskopi5

Normal

Pneumatic otoscope untuk memeriksa patensi tuba Eustachius

Valsava manuver untuk mendeteksi adanya cairan di belakang
membran tympani
d. Endoskopi nasal
Pemeriksaan endoskopi nasal umumnya dilakukan dengan bantuan anestesi
lokal dan decongestan. Pemeriksaan endoskopi dapat mengevaluasi lebih baik
nasal, nasofaring, drainase sinus pada meatus media, nasofaring dan resessus
sphenoethmoidal. Nasal endoskopi berperan sebagai alat diagnostik dan
evaluasi terapi serta evaluasi post operatif pada CRS. 11,13
17
Gambar 10 Gambaran sekret (panah biru) pada pemeriksaan endoskopi.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Xray Polos
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk mengevaluasi sinus.
Pemeriksaan foto xray polos dapat dilakukan untuk mengevaluasi kondisi sinus.
Pemeriksaan xray polos dilakukan dengan posisi Waters’, Caldwell, lateral dan
submentovertex. Foto Xray polos memiliki keterbatasan untuk menilai secara
akurat kondisi ostiomeatal kompleks serta soft tissue sekitarnya.17,18
b. CT-Scan
CT-scan sinus tanpa kontras merupakan pilihan radiologi terbaik untuk
mengevaluasi kondisi sinus paranasal. Pemeriksaan CT scan menilai inflamasi
pada sinus paranasal. Pemeriksaan CT-Scan umumnya dilakukan pada
potongan coronal. Pada rhinosinusitis kronis ditemukan adanya hallmark
berupa penebalan mukosa, apabila sedang terjadi eksarsebasi akut dapat
ditemukan adanya air-fluid level. CT scan digunakan sebagai alat konfirmasi
diagnosis, menentukan staging dan mengevaluasi kondisi anatomis untuk
menentukan pembedahan. Pemeriksaan CT scan dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosis adanya malignancy yang ditandai dengan adanya
osseus destruction, penyebaran dan invasi lokal diluar sinus.13
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras dapat digunakan pada kondisi
rhinosinositis kronik baik yang disertai polip maupun tidak untuk
mengevaluasi terapi dan persiapan operasi. 13,18
18
Pada pemeriksaan CT kasus rhinosinusitis kronik dapat ditemukan
penebalan mukosa, sklerosis dan penebalan bony wall sinus (terutama pada
sinus
maksillaris
dan
sphenoidal),
high
density
opasifikasi
yang
mengrepresentasikan sekret yang lengket atau mengering.18
Pada polip sinonasal didapatkan gambarah lesi polypoid low-density
yang mengisi cavum nasi dan sinus bilateral. Polip dapat menyebabkan
obstruksi drainase pada berbagai titik sehingga menghambat aliran sekresi dan
akan nampak pada CT scan sebagai opasifikasi pada sinus. Pada kasus
neglected, tekanan berlebih pada sinonasal menyebabkan pelebaran kavitas
sinonasal dan remodelling tulang.18
Gambar 11 CT Scan rhinosinusitis kronik
potongan aksial menunjukkan opasifikasi sinus
sphenoidal sinistra disertai bony sklerosis dan
penebalan dinding sinus
Gambar 12 CT Scan potongan aksial
menunjukkan adanya opasifikasi pada kavum nasi
dengan soft tissue density yang proyeksi hingga
ke nostril.
19
Gambar 13 Pemeriksaan CT scan coronal dan aksial non contrast menunjukkan gambaran khas
peningkatan densitas di dalam kavum sinus menunjukkan adanya AFRS
Pada AFRS melibatkan beberapa sinus dan kavum nasi, namun sering
pula hanya melibatkan satu sinus tanpa melibatkan kavum nasi. Pada CT scan
ditemukan opasifikasi sinus oleh mucin disertai perubahan struktur tulang yang
bervariasi meliputi sklerotik tulang akibat obstruksi hingga ekspansi sinus,
remodelling dan penipisan tulang karena nekrosis. Dapat pula ditemukan
adanya fungus ball pada satu sinus (paling sering pada sinus maksillaris)
dengan gambaran massa high density dalam lumen sinus yang bisa maupun
tidak disertai kalsifikasi.18
Staging Rhinosinusitis kronik alergi dapat ditentukan berdasarkan gambaran
CT scan menurut Lund-Kennedy13
Tabel 1 Staging Lund-Keneddy
Stage
I
Temuan CT Scan
Kelainan Anatomi
Penyakit sinus unilateral
Penyakit sinus ethmoid bilateral
II
Penyakit sinus ethmoid bilateral dengan melibatkan satu
sinus dependen
III
Penyakit sinus ethmoid bilateral dengan melibatkan dua atau
lebih sinus dependen pada kedua sisi
IV
Polip sinonasal difus
c. MRI
MRI digunakan terutama apabila dicurigai diagnosis lebih mengarah ke
malignancy atau disebabkan oleh jamur. 13
20
d. Kultur
Pemeriksaan kultur dapat dilakukan pada rhinosinusitis kronik meskipun peran
kultur lebih sedikit dibanding rhinosinusitis akut. Kultur dapat digunakan
untuk mengevaluasi pasien dengan eksarsebasi akut pada rhinosinusitis kronik
untuk menentukan terapi dan mengevaluasi efektivitas terapi. Gold standard
kultur sinus dapat dilakukan dengan maxillary sinus taps melalui fossa canina
atau meatus inferior namun bersifat invasif. Pemeriksaan kultur dapat
dilakukan melalui swab atau aspirasi dibantu endoskopi. 13
e. Pemeriksaan alergi
Metode utama untuk menentukan adanya alergi adalah dengan melakukan
pemeriksaan alergi yaitu hipersensitifitas IgE baik secara in vivo maupun in
vitro namun disarankan menggunakan keduanya.17
-
Pemeriksaan In Vivo
Pemeriksaan In vivo dapat dilakukan melalui skin prick test ataupun
intradermal test. Pemeriksaan In vivo tidak dilakukan apabila curiga
rhinosinusitis kronik berulang akibat alergi, namun perlu diperhatikan
kemungkinan timbulnya reaksi anafilaksis. Pemeriksaan skin prick test
menggunakan ekstrak alergen, kontrol positif (histamine dichloride (10 mg/mL)
dan kontrol negatif (normal saline). Pemeriksaan dinyatakan positif apabila
dalam 15-20 menit setelah tes ditemukan adanya wheal dengan ukuran lebih
dari 3 mm atau wheal dengan ukuran yang sama besar maupun wheal yang
lebih besar dari kontrol positif. Pemeriksaan intradermal dilakukan pada
alergen yang memberi hasil negatif pada skin prick test dengan cara
menginjeksikan 0.02 – 0.05 ml alergen ke dermis.23
-
Pemeriksaan In vitro
Pemeriksaan In vitro memeriksa kadar serum IgE baik IgE spesifik terhadap
alergen maupun total IgE. Pemeriksaan In vitro lebih unggul dibanding In vivo
karena:tidak berisiko reaksi anafilaksis, tidak dipengaruhi obat yang sedang
dikonsumsi, tidak dipengaruhi penyakit kulit pada pasien, mudah, serta akurat
untuk tes alergi makanan. Pemeriksaan In vitro dapat berupa immunoassay
maupun pemeriksaan kadar IgE total.
21
Pemeriksaan imunoassay mendeteksi adanya IgE spesifik terhadap alergen
dengan menilai interaksi antigen-antibodi baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Imunoassay dapat berupa Enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA), Fluorescent enzyme immunoassay (FEIA), atau Radioallergosoroent
test (RAST).23
Pada pemeriksaan IgE, dapat ditemukan kondisi pemeriksaan alergi
sistemik dinyatakan negatif tapi terdapat IgE secara lokal pada kavitas
sinonasal yang disebut dengan Rhinitis alergi lokal atau entopy. Rhinitis alergi
lokal ditandai dengan adanya IgE lokal, inflamasi tipe 2 dan tes provokasi
alergi nasal positif. 14
4. Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis dari Rhinosinusitis kronik adalah adanya 2 atau lebih
dari kriteria berikut selama setidaknya 12 minggu: 17,18
-
Nasal drainage (anterior rhinorrhea or postnasal drip)
-
Nasal obstruction/congestion
-
Hyposmia or anosmia
-
Facial pain/pressure
Pemeriksaan penunjang
-
Adanya inflamasi sinus paranasal pada pemeriksaan CT Scan
-
Adanya pus yang berasal dari sinus atau kompleks ostiomeatal pada
pemeriksaan endoskopi
Untuk membedakan CRSwNP dan CRSsNP adalah dengan melihat ada
tidaknya polip. Pada pemeriksaan, CRSwNP tampak adanya polip, sedangkan
pada CRSsNP tidak tampak adanya polip nasi.
2.8.
TATALAKSANA
Tujuan pengobatan untuk rhinosinusitis kronik adalah untuk mengembalikan
integritas fungsional dari mukosa yang mengalami inflamasi dengan cara
meredakan gejala dan meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien.
Tatalaksana ditujukan untuk meningkatkan klirens mukosiliar, meningkatkan
drainase sinus, eradikasi infeksi local dan inflamasi, dan meningkatkan akses
untuk pengobatan topical.
22
1. Dekongestan
Dekongestan terbagi menjadi dekongestan topical (intranasal) dan oral.
Dekongestan merupakan golongan obat simpatomimetik, yaitu a-adrenergik
agonis yang menginduksi pelepasan norepinefrin dari nervus simpatis
menyebabkan vasokonstriksi pada vaskularisasi nasal dan efektif dalam
meredakan
gejala
kongesti
nasal.
Dekongestan
intranasal,
seperti
xylomethazoline dapat memperbaiki ventilasi sinus melalui dekongesti nasal.
Dekongestan intranasal merupakan pengobatan yang efektif dalam
meredakan gejala obstruksi nasi pada rhinosinusitis kronik terutama akibat
alergi. Namun, perlu diperhatikan agar penggunaan dekongestan intranasal
tidak diberikan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan penggunaan
dekongestan intranasal jangka panjang dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa. Sementara penggunaan dekongestan oral, seperti efedrin,
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit jantung,
serta karena efek samping yang dapat ditimbulkan, seperti hipertensi,
palpitasi, tremor, insomnia, cefalgia, retensi urin, membran mukus kering,
dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Kombinasi antihistamin
dengan dekongestan oral dapat memberikan efektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan secara terpisah, namun dengan efek
samping yang juga lebih tinggi. 4,24–26
2. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid topical berupa kortikosteroid intranasal merupakan
salah satu terapi paling efektif pada kasus rhinitis alergi dan merupakan terapi
lini pertama pada rhinosinusitis kronik. Permberian kortikosteroid intranasal
terbukti lebih efektif dibandingkan terapi lainnya atau setara dengan
kombinasi antihistamin dan antileukotrien. Pada metaanalisis EPOS
menunjukkan bukti yang mendukung kegunaan dari kortikosteroid intranasal,
baik pada CRSsNP maupun CRSwNP. Kortikosteroid berfungsi untuk
mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutrofilik dan eosinofilik. Target
pemberian kortikosteroid
intranasal, yaitu meredakan inflamasi yang
23
menyebabkan kongesti nasal, memperlancar drainase kompleks osteomeatal,
dan meningkatkan indra penghidu. Selain itu, juga dilaporkan bahwa
penggunaan kortikosteroid intranasal dapat mengurangi ukuran polip pada
kasus CRSwNP. Pemberian kortikosteroid intranasal sebaiknya dilakukan
dengan cara kepala pasien ditekuk ke bawah dan disemprotkan ke lateral
menjauhi septum nasi. Pasien sebaiknya tidak menghirup terlalu kuat setelah
disemprotkan kortikosteroid intranasal.4,26
Penggunaan kortikosteroid intranasal terutama agen generasi kedua,
yaitu mometasone furoate, fluticasone propionate, ciclesonide, dan
fluticasone furoate telah dibuktikan aman pada banyak penelitian, baik pada
dosis yang lebih tinggi , penggunaan jangka panjang, dan bahkan kehamilan.
Sementara
penggunaan
kortikosteroid
generasi
pertama
tidak
direkomendasikan dalam jangka waktu lama berkaitan dengan efek samping
yang ditimbulkan, seperti epistaksis, gatal pada hidung, bersin, iritasi nasal,
hidung terasa kering, dan terbentuknya krusta. 4,26
3. Kortikosteroid sistemik
Dalam
banyak
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberikan
kortikosteroid sistemik jangka pendek dapat meringankan gejala sinonasal
dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan CRSwNP. Kortikosteroid
sistemik telah dilaporkan efektif dalam mengatasi rhinitis alergi, mengurangi
resiko nasal polip, dan sinusitis fungal alergi. Efek samping yang dapat
ditimbulkan dari penggunaan kortikosteroid sistemik, meliputi bekrurangnya
toleransi glukosa, osteoporosis, dan peningkatan berat badan. Oleh sebab itu
pemberian
kortikosteroid
sistemik
sebaiknya
dilakukan
setelah
mempertimbangkan keuntungan dan efek samping yang ditimbulkan.
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya diberikan dalam 2 sampai 3
dosis dalam 1 tahun dengan dosis rekomendasi 0.5 mg/kgBB selama 5-10
hari. 4,26
4. Cromone Intranasal
Cromone intranasal, seperti Cromoglycate dan Nedocromil, juga dapat
diberikan pada penderita rhinitis alergi, namun mekanisme kerjanya belum
24
dapat diketahui secara pasti. Cromone intranasal dibuktikan aman diberikan
pada pasien rhinitis alergi, namun efektivitasnya lebih rendah dan singkat,
dengan efek samping minimal.24
5. Antikolinergik Intranasal
Antikolinergik intranasal, seperti Ipratroprium, berfungsi terutama
untuk meredakan gejala rinore pada rhinitis alergi dan rhinosinusitis kronik.
Selain itu, efek samping yang ditimbulkan juga minimal dan hampir tidak
ada aktivitas antikolinergik sistemik. Pemberian antikolinergik juga dapat
diberikan pada kasus rinore non alergi. 24
6. Antileukotrien
Antileukotrien
merupakan
atau
pengobatan
Leukotrien
sistemik
Receptor
Antagonist
yang biasanya
digunakan
(LTRA)
dalam
penatalaksanaan rhinosinusitis kronik yang berkaitan dengan asma dan
rhinitis alergi. Mekanisme kerjanya adalah memblok leukotriene, yang
menyebabkan
kontraksi
otot
polos,
kemotaksis,
dan
peningkatan
permeabilitas vascular. Penggunaan LTRA harus dipertimbangkan ketika
kortikosteroid topical dan sistemik tidak dapat ditoleransi dengan baik atau
tidak efektif dalam mengurangi gejala pada rhinosinusitis kronik khususnya
akibat alergi. 4,24–26
7. Antibiotik
Peran dari antibiotik pada rhinosinusitis kronik hingga saat ini belum
dapat dijelaskan dengan pasti. Pada pasien dengan rhinosinusitis kronik yang
disertai dengan bukti infeksi direkomendasikan pemberian antibiotik jangka
pendek berdasarkan hasil kultur cairan melalui endoskopi. Pemberian
antibiotic oral bersamaan dengan kortikosteroid telah terbukti bekerja secara
sinergis, meskipun antibiotic lebih ditujukan pada kasus rhinosinusitis kronik
eksaserbasi akut. Antibiotic golongan macrolide dosis rendah telah
digunakan sebagai antibiotic jangka panjang pada rhinosinusitis kronik,
sementara antibiotic topical merupakan pilihan pada kasus refrakter di mana
pemberian kortikosteroid topical dan antibiotik oral tidak efektif. Antibiotic
golongan macrolide dapat mengurangi inflamasi melalui penekanan produksi
25
IL-8
(antineutrofilik),
perubahan
formasi
biofilm
bacterial,
dan
meningkatkan apoptosis sel inflamasi. Antibiotic golongan macrolide dosis
rendah telah direkomendasikan selama 12 minggu untuk kasus CRSsNP
moderat atau berat pada pasien dengan kadar IgE normal, ketika
kortikosteroid intranasal dan irigasi nasal tidak efektif. Namun, penggunaan
macrolide sebaiknya dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,
serta pada pasien yang mengonsumsi obat golongan statin dan citalopram.
Oleh karena efek samping yag dapat ditimbulkan dan peningkatan resiko
resistensi, penggunaan macrolide jangka panjang pada kasus rhinosinusitis
kronik sebaiknya ditunda hingga diagnosis rhinosinusitis kronik telah
dikonfimasi dari hasil endoskopi atau radiologi.4,26
8.
Irigasi nasal
Irigasi nasal merupakan metode yang aman dan murah dengan efek
menguntungkan, seperti peningkatan klirens mucus, meningkatkan aktivitas
silia, menghilangkan antigen atau alergen, biofilm, atau mediator inflamasi,
dan melindungi mukosa sino-nasal. Banyak studi menunjukkan bahwa irigasi
hidung dengan larutan saline dapat mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan rhinosinusitis kronik. Irigasi saline dengan
tekanan rendah dan volume yang tinggi (240 ml) dapat meringankan gejala
sinonasal secara signifikan pada 50% pasien dan lebih efektif dibandingkan
dengan spray saline nasal. Dalam studi terbaru, irigasi dengan saline isotonic
direkomendasikan sebagai komponen dalam manajemen terapi standar pada
rhinosinusitis kronik. Irigasi dengan saline umumnya dikombinasikan
dengan spray kortikosteroid intranasal.4,25,26
Terdapat beberapa jenis cairan saline yang dapat digunakan untuk
irigasi nasal, yaitu saline hipertonik dan isotonic. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Talbot dkk, menunjukkan penggunaan cairan saline
hipertonik dapat meningkatkan klirens mukosiliar dibandingkan dengan
saline isotonic. Irigasi dengan saline hipertonik juga dilaporkan dapat
meredakan kongesti nasal melalui mekanisme osmotic. Namun, irigasi
dengan saline hipertonik dapat menyebabkan sensasi rasa terbakar dan resiko
26
iritasi yang lebih besar. Terdapat zat tambahan pada saline yang dapat
diberikan untuk irigasi nasal, seperti Xylitol, sodium hypoclorite 0.05%, dan
surfaktan. 4,25,26
9.
Pembedahan
Tatalaksana
pembedahan
merupakan
tatalaksana
efektif
pada
rhinosinusitis kronik ketika tatalaksana farmakologi tidak berhasil. Tujuan
dari pembedahan ini adalah untuk menyediakan ventilasi dan drainase sinus
paranasalis serta untuk melebarkan sinus untuk menyediakan akses yang
lebih besar untuk pengobatan topical. Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS) merupakan salah satu teknik pembedahan pada rhinosinusitis kronik
dengan keuntungan memiliki pendekatan yang lebih spesifik terhadap sinus
yang terlibat, mengurangi kerusakan jaringan, dan meminimalisasi
komplikasi post operatif. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa
tatalaksana pembedahan ini lebih efektif pada pasien dengan rhinosinusitis
kronik berulang. 4,26
Gambar 15 Algoritma tatalaksana rhinosinusitis kronik di layanan primer 7
27
Apabila alergi berkontribusi dalam terjadinya rhinosinusitis kronik dan telah
dikonfirmasi dengan hasil tes alergi yang positif, maka tatalaksana tambahan
yang dapat diberikan berupa antihistamin, imunoterapi allergen, anti-IgE, dan
anti-sitokin (IL-4, IL-5, IL-13).
Gambar 16. Algoritma diagnostic dan tatalaksana rhinosinusitis kronik CRSwNP dan CRSsNP4
Secara umum, tujuan dari pengobatan untuk segala kondisi medis adalah untuk
mencapai dan memelihara kontrol klinis penyakit. Kontrol penyakit pada
rhinosinusitis kronik ditentukan sebagai kondisi penyakit di mana pasien tidak
memiliki gejala atau gejala yang tidak mengganggu, dan bila mungkin disertai dengan
mukosa yang sehat dan hanya membutuhkan pengobatan local. Pasien yang tidak
mencapai kontrol penyakit yang sesuai, meskipun telah dilakukan tatalaksana adekuat
seperti pembedahan, pemberikan kortikosteroid intranasal hingga pemberian 2 kali
antibiotic
jangka
pendek
atau
kortikosteroid
sistemik
sebelumnya
dapat
dipertimbangkan mengalami rhinosinusitis yang sulit ditangani. Dalam EPOS 2012,
suatu metode untuk mengevaluasi kontrol penyakit telah diusulkan. Saat ini,
modifikasi dari metode untuk mengevaluasi kontrol penyakit dalam EPOS 2012 telah
diusulkan, yaitu system staging “NOSE”, yang hanya menilai obstruksi nasal,
28
pengobatan sistemik, dan tanda inflamasi dari endoskopi. Telah diperkirakan sekitar
20% dari pasien rhinosinusitis kronik tidak memiliki kontrol penyakit yang baik
meskipun telah mendapatkan kombinasi terapi medis maksimal dan telah menjalani
pembedahan sinus endoskopi. Terdapat berbagai factor yang dapat berkontribusi
dalam terjadinya kontrol penyakit yang tidak adekuat, termasuk factor yang berkaitan
dengan pasien, seperti rhinosinusitis kronik eosinofilik, osteitis, biofilm, penyakit
dasar lainnya seperti fibrosis kistik dan vaskulitis, serta dapat pula akibat factor yang
berkaitan dengan tenaga medis, seperti pembedahan sinus yang tidak adekuat atau
terapi topical yang tidak dapat diakses. Penilaian berkala terhadap kontrol penyakit
perlu dilakukan untuk menentukan perubahan terapi dan mengoptimalkan tatalaksana
rhinosinusitis kronik.4
Tabel 6 Penilaian kontrol klinis pada rhinosinusitis kronik berdasarkan EPOS 2012 4
Gambar 17. Tatalaksana rhinosinusitis kronik berdasarkan kontrol klinis penyakit. 4
29
2.9.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada pasien dengan gejala-gejala rhinosinusitis:6
Common
Rhinitis
Cold
Alergi
+
+
+
+ (kental,
+ (encer,
purulent)
purulent)
Sneezing
+
+
+
-
Anosmia/hiposmia
+
+
+
+
Fever
+
+
-
-
Malaise
+
+
-
-
Nasal Pruritus
-
+
+
-
Facial pain
+
+
-
-
Gejala
Rhinosinusitis
Obstruksi nasal
Rhinorrhea
Polip Nasi
+
+ (encer,
jernih,
-
banyak)
2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi yang ditimbulkan pada rhinosinusitis kronik lebih jarang
ditemukan dan terutama terjadi akibat keterlibatan tulang di sekitarnya.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan berupa erosi tulang dan penyebarannya
akibat pembentukan mucocele atau polip, osteitis, dan pembentukan tulang
metaplastik serta terjadinya neuropati optic. Komplikasi yang terjadi pada
rhinosinusitis kronik umunya merupakan hasil dari ketidakseimbangan proses
normal resorpsi, regenerasi, dan remodeling tulang.7
1. Pembentukan mucocele
Mucocele merupakan suatu kantung yang dilapisi oleh epitel yang
seutuhnya mengisi sinus paranasalis dan dapat menyebar hingga ke sinus
kontalateral yang mengalami obstruksi dan berisikan mucus. Pathogenesis
terbentuknya mucocele masih belum dapat dijelaskan secara pasti, namun
diduga berhubungan dengan aliran sinus yang mengalami obstruksi dan
akibat suatu inflamasi kronik atau infeksi. Distribusi mucocele dalam sinus
paranasalis paling sering terbentuk pada region fronto-ethmoid (86%),
30
sementara sinus maxillaris jarang terlibat. Hal ini menyebabkan pasien paling
sering datang dengan keluhan gejala dan tanda orbital (proptosis aksial,
diplopia, dan perubahan posisi bola mata ke lateral dan inferior). Pada
mucocele fronto-ethmoid, ketajaman penglihatan jarang terganggu,
sementara pada mucocele sphenoid sering memberikan gejala hilangnya
tajam penglihatan. 7
2. Osteitis
Terjadinya osteitis dapat dihubungkan dengan rhinosinusitis kronik,
namun patogenesisnya masih belum dapat dijeaskan dengan pasti. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kennedy, menunjukkan bahwa keberadaan
osteitis berperan sebagai stimulant terjadinya inflamasi mukosa persisten
dengan
resorpsi
Radionukleotida
osteoklas
tulang
skintigrafi
telah
dalam
sinus
digunakan
yang
untuk
terinfeksi.
menunjukkan
peningkatan turnover tulang secara konsisten yang disertai dengan osteitis
pada rhinosinusitis kronik dibandingkan dengan kelompok kontrol. 7
3. Erosi tulang dan penyebarannya
Erosi tulang dan penyebarannya merupakan proses yang berlawanan
dari osteitis yang sering ditemui pada CRSwNP yang lebih agresif. Hal ini
harus dibedakan dengan pembentukan mucocele dan paling sering
melibatkan sinus ethmoid, yang disertai oleh penyebaran terhadap sel
ethmoid yang teropasifikasi dan biasanya merupakan proses bilateral, yang
dapat mengakibatkan perubahan posisi dari bagian dalam orbita. 7
4. Metaplasia osseus
Metaplasia osseus jarang ditemukan pada traktus digestivus bagian atas
sebagai respon dari inflamasi kronik yang disertai atau tanpa polyposis.
Pembentukan tulang baru terjadi yang disertai dengan system Haversian dan
sumsum tulang yang berkembang dengan baik di mana terbentuk di tempat
yang tidak seharusnya, seperti di dalam lumen sinus paranasalis atau cavum
nasi. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi nasi dan berdampak pada orbita,
menghasilkan tampilan massa jinak pada CT yang terdiri dari hiperdensitas
31
tulang dan jaringan lunak yang mungkin membutuhkan tindakan
pembedahan, untuk menyingkirkan proses neoplastic. 7
5. Neuropati optic
Neuropati optic telah dilaporkan berhubungan dengan rhinosinusitis
kronik terutama yang melibatkan region sphenoid atau ethmoidalis posterior,
bahkan tanpa terjadinya penyebaran seperti pada mucocele, namun biasanya
disertai dengan erosi tulang antara sinus dan apeks orbita. 727
32
BAB III
LAPORAN KASUS
1.1. Data Identitas Pasien
 Nama
: Tn.Z
 Jenis Kelamin
: Laki-laki
 Umur
: 75 Tahun (10-11-1944)
 Pekerjaan
:-
 Agama
: Islam
 Alamat
: Makassar
 Status
: Belum Menikah
 No. RM
: 279538
 Tanggal/Jam Masuk : 27-02-2020
1.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada pada pipi kanan dan kiri.
Anamnesis Terpimpin :
Pasien usia 75 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada pipi
kanan dan kiri sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit disertai hidung tersumbat
dan beringus. Ingus keluar melalui tenggorokan. Bersin dan gatal pada hidung
tidak dikeluhkan. Nyeri kepala ada, batuk ada. Riwayat alergi disangkal. Keluhan
ini telah dirasakan berulang sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan gangguan
pendengaran dan mendengung tidak ada. Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri saat
menelan tidak ada.
Pasien memiliki riwayat operasi deviasi septum pada tahun 2015 akibat
keluhan yang sama.
33
1.3.Pemeriksaan Fisis
 Status Generalis

Keadaan Umum
: Sakit ringan

Gizi
: Baik

Kesadaran
: Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)

BB/TB
: 80 kg/170 cm
 Tanda Vital

Tekanan Darah
: 120/90 mmHg

Nadi
: 80 kali/menit

Respirasi
: 20 kali/menit

Suhu
: 37,3oC
 Pemeriksaan Hidung
A. Bagian Luar Hidung
:
B. Bagian Dalam Hidung
:

Vestibulum

Dasar rongga Hidung
dalam batas normal
:
tampak sekret
tampak sekret
- Sekret
:
mukopurulen
mukopurulen
- Edema/Polip
:
tidak ada
tidak ada
- Polip
:
tidak ada
tidak ada
- Edema
:
ada
ada
- Sekret
:
mukopurulen
mukopurulen
- Warna
:
tidak hiperemis
tidak hiperemis
- Sekret (Sifat)
:
mukopurulen
mukopurulen
- Permukaan
:
licin
licin
- Ukuran
:
kongesti
kongesti
- Edema
:
ada
ada
- Sekret (Sifat)
:
mukopurulen
mukopurulen
C. Dinding Lateral



Meatus Nasi Inferior
Konka Inferior
Meatus Nasi Medial
34
- Polip

:
tidak ada
tidak ada
- Permukaan
:
licin
licin
- Warna
:
tidak hiperemis
tidak hiperemis
- Sekret
:
mukopurulen
mukopurulen
- Ukuran
:
kongesti
kongesti
Konka Medial
D. Dinding Media Rongga Hidung

Warna
:
tidak hiperemis

Permukaan (Deviasi)
:
tidak ada

Edema (Hipertrofi)
:
ada

Eksoriasi
:
tidak ada

Perforasi
:
tidak ada
:
tidak dilakukan pemeriksaan
:
tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Telinga
:
dalam batas normal
 Gigi, Mulut, Tenggorokan
:
Faring hiperemis, Tonsil T1-T1
E. Dinding Belakang
F. Sinus Paranalis

Transiluminasi
Hiperemis(-)
 Pemeriksaan Laboratorium
 Darah(26-02-2020)
:
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
WBC
15,67
4,4 – 11,3
103/uL
HGB
13,1
11,7 – 15,5
g/dL
MCV
85,0
84 – 96
fL
MCH
30,6
26,5 – 33,5
Pg
PLT
168
150 – 450
103/uL
LED
33
0 – 10
mm
GDS
199
70 – 200
mg/dL
HbsAg
Negatif
Negatif
-
35
 Urin
: tidak dilakukan pemeriksaan
 Bakteriologis
: tidak dilakukan pemeriksaan
 Dan Lain-Lain
: tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Radiologi
 Foto Kepala
-
: CT-Scan kepala
Kesan
- Rhinitis kronik
- Sinusitis maxillaris bilateral
36
1.4. Resume
Pasien usia 24 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada ujung
hidung atas dan pipi kanan dan kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
disertai hidung tersumbat dan beringus. Ingus keluar melalui tenggorokan. Bersin
dan gatal pada hidung tidak dikeluhkan. Nyeri kepala ada, batuk ada. Riwayat
alergi disangkal. Keluhan ini telah dirasakan berulang sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien memiliki riwayat operasi deviasi septum pada tahun 2015 akibat keluhan
yang sama.
1.5. Diagnosis
Rhinosinusitis Kronik
1.6. Pengobatan
-
Ciprofloxacin 500mg/12 jam/oral
-
Methylprednisolon 4mg/8jam/oral
-
Asam Mefenamat 500mg/8jam/oral
1.7. Anjuran
Operasi FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)
1.10. Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationem
: dubia ad bonam
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Rhinosinusitis kronik (RSK) ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini. Pada anamnesis
pasien didapatkan adanya keluhan nyeri pada kantus medius dan kedua pipi
dikeluhkan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit disertai rinore dan post nasal
drip. Keluhan dirasakan berulang dalam 5 tahun terakhir. Hal ini sesuai dengan Orlandi
et al yang menyatakan bahwa gejala rhinosinusitis dapat berupa gejala nasal, facial,
orofaring, dan sistemik.11 Pada pasien kami, untuk gejala nasal didapatkan adanya
rinore dan obstruksi nasi. Untuk gejala facial, didapatkan nyeri pada wajah dan kepala.
Untuk gejala orofaring, pasien mengeluhkan adanya batuk. Sedangkan untuk gejala
sistemik, tidak ada keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Pemeriksaan fisik rinoskopi anterior didapatkan sekret mukopurelen pada
dinding lateral dari meatus medius disertai konka yang kongesti tanpa adanya tanda
mukosa hiperemis. Hal ini sesuai dengan gambaran rhinosinusitis kronik dimana
terjadi kongesti konka dan produksi sekret yang bersifat mukopurulen, walaupun tidak
ada tanda hiperemis pada mukosa dalam hidung.9 Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior juga, tidak didapatkan adanya polip nasi. Sehingga pasien ini tergolong
kedalam Rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi (CRSsNP). Pasien tidak memiliki
riwayat alergi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halderman
yang menyebutkan bahwa pasien CRSsNP cenderung tidak memiliki riwayat alergi
dibandingkan dengan pasien rhinosinusitis kronik dengan polip nasal.19
Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan CT Scan sinus paranasal.
Pemeriksaan ini dibutuhkan sebelum dilakukan karena dapat menentukan letak lesi
dan bisa mengetahui secara pasti apakah telah ada komplikasi sinusitis sehingga
operasi dapat direncanakan dengan baik.23 Pada pasien kami telah dilakukan CT Scan
sinus paranasal dan didapatkan adanya multisinusitis serta rhinitis hipertrofi unilateral.
Karena RSK adalah penyakit radang kronis, pengobatan harus diarahkan untuk
mengendalikan peradangan dan mengobati eksaserbasi sehingga pasien ini
mendapatkan kortikostroid dan antibiotik sistemik selama 7-14 hari. Analgetik
38
diberikan apabila pasien mengeluhkan nyeri. Pemberian terapi tambahan untuk pasien
RSK dengan faktor predisposisi (deviasi septum, polip nasi, kista, jamur) seperti
analgetik dan dekongestan dapat dipertimbangkan.24 Studi dari Vaidyanathan et. al.
pada tahun 2011 menunjukkan penggunaan kortikosteroid sistemik pada RSK sering
digunakan pada eksaserbasi penyakit, namun penggunaan antibiotik masih
kontroversial.25 Pasien kami diberikan antibiotik sistemik Cefadroxil 500mg dua kali
sehari, Dekongestan Tremenza 1 tablet per hari, kortikosteroid sistemik
metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari, serta analgetik Asam Mefenamat 500mg 3 kali
sehari
Pasien dievaluasi kembali dengann CT Scan setelah pemberian pengobatan
medikamentosa untuk melihat adanya perbaikan secara klinis dan anatomis. Setelah
dilakukan pemantauan kembali namun tidak ditemukan perbaikan gejala, pasien
dianjurkan untuk dilakukan tindakan operatif seperti operasi Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS).26 Sebuah studi prospektif terbaru yang membandingkan medis
manajemen dengan manajemen bedah RSK menunjukkan itu pasien yang menjalani
FESS mengalami peningkatan yang lebih besar dalam kualitas hidup dan mengurangi
penggunaan terapi medikamentosa yang berkepanjangan.27
39
BAB V
KESIMPULAN
Rhinosinusitis kronis dapat menjadi penyebab morbiditas yang signifikan karena
perlangsungannya yang persisten. Jika tidak ditangani, itu dapat menyebabkan
komplikasi dan mengurangi kualitas hidup dan produktivitas orang yang terkena
dampaknya. Pembedahan mungkin diperlukan dalam kasus ini karena faktor
predisposisi yang ada setelah pemberian terapi medikamentosa tidak memberikan
perbaikan yang signifikan.
40
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Ashok Kumar K,
Kramper M, et al. Clinical practice guideline (update): Adult sinusitis.
Otolaryngol - Head Neck Surg (United States). 2015;
2.
Lam K, Schleimer R, Kern RC. The Etiology and Pathogenesis of Chronic
Rhinosinusitis: a Review of Current Hypotheses. Current Allergy and Asthma
Reports. 2015.
3.
ENT UK. Commissioning guide: Chronic Rhinosinusitis. 2016.
4.
European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Global Atlas of
Allergic Rhinitis and Chronic Rhinosinusitis. Akdis CA, Hellings PW, Agache
I, editors. European Academy of Allergy and Clinical Immunology. European
Academy of Allergy and Clinical Immunology; 2015.
5.
Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma Clin Immunol
[Internet]. 2018;14(2):51. Available from: https://doi.org/10.1186/s13223-0180280-7
6.
Alt JA, DeConde AS, Mace JC, Steele TO, Orlandi RR, Smith TL. Quality of
life in patients with chronic rhinosinusitis and sleep dysfunction undergoing
endoscopic sinus surgery: A pilot investigation of comorbid obstructive sleep
apnea. JAMA Otolaryngol - Head Neck Surg. 2015;
7.
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. EPOS
2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A
summary for otorhinolaryngologists. Rhinology. 2012;
8.
European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Global Atlas of
Allergy. Akdis CA, Agache I, editors. Immunology, European Academy of
Allergy and Clinical; 2014.
9.
Soepardi E. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,
& Leher. 7th ed. Jakarta: FK UI; 2014.
41
10.
Snell RS. Clinical Anatomy by Regions. 9th ed. Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins Health,; 2012.
11.
Orlandi RR, Kingdom TT, Hwang PH. International Consensus Statement on
Allergy and Rhinology: Rhinosinusitis Executive Summary. Int Forum Allergy
Rhinol. 2016;
12.
Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et
al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngol Neck Surg.
2015;
13.
Sataloff RT. Sataloff’s Comprehensive Textbook of Otolaryngology: Head and
Neck Surgery (Facial Plastic and Reconstructive Surgery) - Volume 3. Jp
Medical Ltd; 2016.
14.
Marcus S, DelGaudio JM, Roland LT, Wise SK. Chronic Rhinosinusitis: Does
Allergy Play a Role? Med Sci (Basel, Switzerland) [Internet]. 2019 Feb
18;7(2):30. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30781703
15.
Scadding GK, Kariyawasam HH, Scadding G, Mirakian R, Buckley RJ, Dixon
T, et al. BSACI guideline for the diagnosis and management of allergic and nonallergic rhinitis (Revised Edition 2017; First edition 2007). Clin Exp Allergy.
2017;
16.
Kaplan A. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis: Clinical summary.
Can Fam Physician. 2013;
17.
Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th
ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2014.
18.
Marcus S, Roland LT, DelGaudio JM, Wise SK. The relationship between
allergy and chronic rhinosinusitis. Laryngoscope Investig Otolaryngol
[Internet].
2018
Dec
20;4(1):13–7.
Available
from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30828613
19.
Halderman AA, Tully LJ. The Role of Allergy in Chronic Rhinosinusitis.
Otolaryngol Clin North Am [Internet]. 2017;50(6):1077–90. Available from:
42
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0030666517301299
20.
Brożek JL, Bousquet J, Agache I, Agarwal A, Bachert C, Bosnic-Anticevich
S, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines—2016
revision. J Allergy Clin Immunol. 2017;
21.
Sedaghat AR. Chronic Rhinosinusitis. American family physician. 2017.
22.
Slovick A, Long J, Hopkins C. Updates in the management of chronic
rhinosinusitis. Clinical Practice. 2014.
23.
Rimmer, J., Fokkens, W., Chong, L.Y., Hopkins, C., 2014. Surgical versus
medical interventions for chronic rhinosinusitis with nasal polyps. Cochrane
Database Syst. Rev.https://doi.org/10.1002/14651858.CD006991.pub2
24. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple BF, Kicklas RA, et
al.Rhinosinusitis: establishing definitions for clinical research and patient care.
J Allergy Clin Immunol 2004; 114:155-212.
25. Vaidyanathan S, Barnes M, Williamson P, Hopkinson P, Donnan PT, Lipworth B.
Treatment of chronic rhinosinusitis with nasal polyposis with oral steroids
followed by topical steroids: a randomized trial. Ann Intern Med 2011; 154:293302.
26. Ocampo CJ, Grammer LC. Grand rounds: Chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin
Immunol: In Practice 2013;1:205-11. http://dx.doi.org/10.1016/j.jaip.2012.12.001.
27. Smith T, Kern R, Palmer J, Schlosser R, Chandra RK, Chiu AG, et al. Medical
therapy vs surgery for chronic rhinosinusitis: a prospective, multi-institutional
study. Int Forum Allergy Rhinol 2011;1:235-41
43
44
Download