PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN SALAH

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI INDONESIA
( Studi Kasus Di Jombang )
JURNAL ILMIAH
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UntukMemperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
PERONNIKA M S
NIM: 090200128
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
ABSTRAKSI
Peronnika M S
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu
atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga
agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam
penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara
penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan di
pidana tanpa berdasarkan undang-undang. Kesalahan dalam penegakan hukum
terjadi di Jombang lima tahun yang lalu. Kepolisian Resort Jombang menangkap
dan mengadili 3 orang yang disebut sebagai pelaku pembunuhan yaitu Imam
Hambali, Devid Eko Priyanto dan Maman Sugianto. Imam dan Devid masingmasing di hukum 17 Tahun dan 12 Tahun, serta Mamam Sugianto masih dalam
proses persidangan sampai adanya Putusan dari Mahkamah Agung melalui
pengajuan permohonan peninjauan kembali yang membebaskan 3 orang tersebut
dari segala dakwaan.
Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas,
yaitu tentang bagaimana ketentuan hukum perlindungan korban salah tangkap
dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia, bagaimana faktor penyebab
terjadinya salah tangkap dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap
perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan tersebut.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode
penelitian, yaitu penelitian normatif atau studi kepustakaan yang dilakukan
terhadap dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan Indonesia.
Kedudukan korban salah tangkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia
ternyata relatif kurang diperhatikan, dan belum memberikan perlindungan secara
langsung terhadap korban. Ketentuan hukum mengenai perlindungan terhadap
korban salah tangkap tersebut meliputi Undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman, Udang-undang tentang Hak Asasi Manusia, KUHP, KUHAP dan
Peraturan Pelaksanaanya. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik,
berupa pelanggaran terhadap prosedur upaya paksa yang tidak menghormati asas
praduga tidak bersalah, kekeliruan tindakan identifikasi korban pembunuhan yang
tidak akurat, serta adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam
mempertimbangankan yudex facti pengadilan, merupakan faktor penyebab
terjadinya salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan. Kebijakan hukum
pidana terhadap perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana
pembunuhan, digunakan dengan pendekatan integral dan keseimbangan antara
kebijakan penal ( penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy) guna
mencapai kesejahteraan masyarakat.

Mahasiswa
A. Latar Belakang
Di dalam suatu negara hukum atau Rule of law sesungguhnya mempunyai
sendi-sendi yang sifatnya universal dan bahkan cukup fundamental, seperti
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya aturan hukum yang
mengatur tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal ini tentunya,
akan membawa konsekuensi pada hukum pidana khususnya. 1
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu
atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga
agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam
penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara
penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan di
hukum tanpa salah karena dicap sebagai penjahat. Maka para ahli hukum pidana
mengemukakan pendapat sebagai berikut :2
1. Hukumlah penjahat, dan bebaskanlah yang tidak bersalah dari tindakan
hukum karena kekeliriuan.
2. Lebih baik 10 penjahat lolos, daripada kekeliruan menghukum 1 orang
yang tidak bersalah.
Perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap
korban termasuk korban salah tangkap merupakan salah satu bentuk perwujudan
atas penghormatan, penegakan , dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan
menunjukkan adanya persamaan prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat
digambarkan bahwa antara negara hukum dan penegakan hak asasi manusia
merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda.3
Sehingga
upaya
perlindungan hak asasi tersebut perlu adanya peraturan-peraturan larangan bagi
sistem hukum dan keefektifan sistem peradilan pidana (SPP) dalam rangka
perlindungan hak asasi manusia.
1
Djoko Prakoso.Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP,(Jakarta: Ghalia
Indonesia,1984), halaman. 51
2
Soedjono Dirdjosisworo.,Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,
(Bandung : CV.Armico,1984), halaman.17
3
H.A.Mansyur Effendi., Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia,1993),halaman . 33
Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ternyata
relatif kurang diperhatikan, hal ini dikarenakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia
masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied ). Padahal,
dari perspektif kriminologis dan hukum pidana , kejahatan adalah suatu konflik
yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan pelanggar sendiri.
Perlindungan korban kejahatan masih bersifat perlindungan abstrak atau
perlindungan tidak langsung yang dirumuskan dalam Undang-undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), serta Peraturan
Pelaksanaan KUHAP.
Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah
terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan.
Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran
adminstratif , pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada
pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu
perkara.4 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak
pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata perolehannya atas
dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan phisik
dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut
harus dinyatakan tidak sah
karena bisa saja berisi suatu pengakuan yang
terekayasa.5
Adanya pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi
terhadap korban tindak pidana, dipadang sebagai akibat lemahnya kemampuan
profesionalisme aparat penegak hukum.
Kasus salah prosedur dan salah
identifikasi korban pembunuhan dapat mengakibatkan
kesalahan dalam
menentukan pelakunya atau yang sering disebut dengan salah tangkap. Salah
identifikasi korban pembunuhan tersebut terjadi di Jombang lima tahun yang lalu
dan telah sampai kepada suatu proses pengadilan dengan tuduhan melakukan
4
O.C.Kaligis.,Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana.(Bandung: PT.Alumni,2006),halaman . 233
5
Djoko Prakoso, Op.cit, halaman.116
pembunuhan berencana terhadap korban disertai vonis pidana penjara selama 17
tahun dan 12 Tahun terhadap 2 (dua) orang terdakwa. Korban akibat akibat
pelanggaran hukum yang bersifat administratif, dimana kepolisian Resort
Jombang Jawa Timur menyakini bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu,
Dusun Berakan Jombang pada September 2007 adalah Asrori. Penelusuran sidik
jari tidak dilakukan dengan kondisi mayat rusak. 6
Polres Jombang kemudian menangkap 3 orang yang disebut sebagai
pelaku pembunuhan Asrori, yaitu Imam Hambali alias Kemat, Devid Eko
Priyanto dan Maman Sugianto alias Sugik. Penyidik berhasil menciptakan suatu
pembunuhan yang seolah-olah dilakukan oleh Devid Eko Priyanto dan Imam
Chambali hanya dari keterangan keduanya, Pengakuan Devid Eko Priyanto dan
Imam Chambali bahwa memang benar telah membunuh disebabkan tidak tahan
atas siksaan dan rasa ketakutan karena terror yang bertubi-tubi. Ketakutan akan
siksaan fisik dan mental yang lebih keras dari yang sudah dialaminya serta adanya
ancaman dan penyesatan. Ada pula ancaman dari luar tembok tahanan, bila tidak
mengaku dan tidak menurut pada penyidik, akan dihukum berat bahkan akan
dihukum mati, anggota keluarganya pun akan dihabisi. 7
Kesalahan yang dilakukan oleh penyidik Polri bermula dari proses
penyidikan dan penangkapannya. Penyidik melakukan tindakan penangkapan
terhadap Imam Chambali meskipun yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa
orang yang hendak ditangkap bukanlah dia namun penyidik tetap menangkapnya.
Penyidik menduga bahwa Imam Chambali yang telah membunuh korban bernama
Moch. Asrori yang dilakukan bersama dua orang rekannya. Namun setelah proses
perkara dilimpahkan ke pengadilan dan telah diputus oleh hakim, belakangan
diketahui bahwa korban pembunuhan atau mayat yang dinyatakan oleh polisi
bernama Moch. Asrori itu ternyata bukan mayat Asrori melainkan mayat orang
lain telah teridentifikasi bernama Fauzin Suyanto alias Antonius. Terjadinya
kesalahan identifikasi terhadap mayat korban kemudian berakibat fatal pada
kesalahan penangkapannya pula. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru
6
H.R.Abdussalam,Forensik,(Jakarta;Restu Agung,2006),halaman . 3-4
Di akses dari http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-TigaPembunuh-Asrori, tanggal 9 Februari 2013, pukul 00.31
7
ini dimana bahwa polisi telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka
fakta ini dapat digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat
dijadikan alasan kuat bagi terpidana ini untuk mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan.
Tidak adanya atau lemahnya kontrol terhadap dijalankan atau tidaknya
suatu kewajiban/wewenang, juga memperkuat kemungkinan untuk melakukan
suatu pelanggaran/penyimpangan baik tindak pidana maupun pelanggaran kode
etik aparat penegak hukum. Bicara tentang kontrol formal terhadap pelaksanaan
tugas aparat penegak hukum dan penyimpangan terhadap hukum, sesungguhnya
juga bicara adanya perbedaan landasan pijak. Rendahnya etika seseorang yang
professional dalam menjalankan tugas profesinya memungkinkan orang lain
menjadi korban.8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah Penulis paparkan, penulis dapat
merumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi
ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana ketentuan hukum dalam perlindungan Korban Salah
Tangkap dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Indonesia ?
2. Bagaimana penyebab terjadinya korban salah tangkap dalam Tindak
Pidana Pembunuhan di Indonesia ?
3. Bagaimana kebijakan hukum terhadap perlindungan korban yang salah
tangkap dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Indonesia ?
8
Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan krah Putih, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), halaman .57
C. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis pakai adalah sebagai
berikut :
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga
penelitian kepustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis serta bahan-bahan
hukum tertulis (data sekunder) lainnya yang relevan dengan substansi skripsi
ini.9
Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas
hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori
baru.10
2.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai
data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari
objek penelitian. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah
bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan
dan menjawab permasalahan pada objek penelitian.11
3.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,
9
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta : Ghalia Indonesia,
1982), halaman . 24
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2005), halaman . 27
11
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum. (Medan : Pustaka Bangsa
Press, 2005), halaman .21
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti
yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
4.
Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif,
yaitu dengan:12
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang
relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah
dan
menginterpretasikan
data
guna
mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
D. Hasil Penelitian
1.
Ketentuan hukum perlindungan korban salah tangkap dalam tindak
pidana pembunuhan di Indonesia
A. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap
yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3)
Pasal 9 Undang-Undang No.48 Tahun 2009
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau
karena
kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak
menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
12
Ibid.,halaman.75-76.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian,
rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undangundang.
Dalam ketentuan Pasal 9, nyatalah bahwa meskipun seseorang
yang di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana, haruslah dianggap
belum bersalah sampai suatu Pengadilan menyatakan kesalahannya dan
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dengan
demikian maka orang yang di dakwa telah melakukan tindak pidana harus
dijamin hak asasinya. 13
B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Sesungguhnya
Hak Asasi Manusia lahir bersama-sama dengan
manusia, artinya sejak manusia ada maka permasalahan Hak Asasi
Manusia sudah timbul. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No. XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998,
menugaskan Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur
pemerintahan untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia kepada seluruh masyarakat.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang,
dengan
maksud
semata-mata
untuk
menjamin
pengakuan
serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbanagn moral, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat.14
Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap
yang termuat dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
13
Loebby Logman, Pra Peradilan di Indonesia , (Jakarta : Ghalia Indonesia,1990)
,halaman.10
14
Darwin Prinst, Sosialisasi dan Disemisasi Penegakan Hak Asasi Manusia,( Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), halaman .3-7
Manusia, dimuat dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 17,
Pasal 33, dan Pasal 34.
C. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana ( KUHP)
Dari pasal-pasal yang ada di dalam KUHP, setelah diteliti ternyata
tidak satu pasalpun yang memberikan perlindungan terhadap korban
secara langsung. Semua tindak pidana hanya dilihat sebagai tindakan yang
melanggar tertib hukum semata. Akibatnya korban tidak mendapatkan
perlindungan secara langsung.
Pasal 14c ayat (1) KUHP
sering disebut telah memberikan
perlindungan terhadap korban secara langsung, namun pasal tersebut
belumlah banyak berarti bagi upaya memberikan perlindungan terhadap
korban. Apabila syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian
yang ditentukan oleh pasal tersebut ditujukan bagi terhukum yang dijatuhi
pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, maka dapat
di duga tindak pidana yang dilakukan dan akibatnya terhadap korban tentu
tidaklah begitu serius, sebab adalah mustahil dijatuhi pidana penjara
kurang dari satu tahun atau pidana kurungan apabila tindak pidana yang
dilakukan dan akibatnya terhadap korban serius. Sementara korban yang
semestinya diberikan ganti kerugian justru korban yang disebut
belakangan, yakni korban yang mengalami penderitaan serius.
D. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dan Peraturan Pelaksanaan KUHAP
Nomor 27 Tahun 1983
Pemberian perlindungan kepada korban salah tangkap dan telah
dijadikan tersangka/terdakwa tidaklah semata-mata sebagai perwujudan
perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, tetapi sekaligus juga merupakan pengejawantahan asas
presumption of innocence (praduga tidak bersalah. Pengakuan atas asas
praduga tidak bersalah menghendaki juga diakuinya asas equality before
the law, yang tercermin dari diberikannya kesempatan yang sama antara
penuntut umum dan tersangka/terdakwa dalam suatu legal fight. Dalam
kaitan inilah pemberian hak-hak kepada tersangka/terdakwa oleh KUHAP
tadi menjadi relevan. 15
Perumusan perlindungan terhadap korban salah tangkap dalam UU
No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang dimuat dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu
dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83,
tentang permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi , yakni yang menjadi wewenang
praperadilan, diajukan tersangka, keluarga atau penasihat hukumnya
hanyalah berkenaan dengan seseorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan, dengan kata lain yang tidak dan
belum diajukan ke pengadilan. 16
Rumusan lain yang juga memuat perlindungan terhadap korban
salah tangkap termaktub dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 100
KUHAP, yaitu ganti kerugian dan rehabilitasi bagi korban akibat dari
kekeliruan terhadap orangnya atau korban akibat pelanggaran hukum yang
bersifat administratif , yang diadili tanpa alasan yang berdasar undangundang atau adanya kekeliruan mengenai orang atau hukumnya, yang
sudah sampai pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, menjadi
wewenang hakim pengadilan negeri. 17
2.
Penyebab
terjadinya
salah
tangkap
dalam
tindak
pidana
pembunuhan di Indonesia
A. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses
penegakan hukum
1) Adanya pelanggaran prosedur upaya paksa oleh penyidik
Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggung
jawabnya berdasarkan peraturan yang berlaku. Tindakan hukum ini
15
O.C.Kaligis,Op.cit,halaman.21
S.Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:Alumni,
1983), halaman .2
17
Loebby Loqman,Op cit,halaman.74-75
16
dapat mengurangi dan membatasi hak-hak seseorang, seperti antara
lain penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
dan pemeriksaan surat. Artinya, apabila aparat penegak hukum
melaksanakan tindakan hukum dengan tidak berdasarkan hukum,
tindakan itu pasti merupakan pelangaran HAM.18
Oleh karena mereka menolak dan menyangkal serta tidak mau
mengaku, mereka harus merasakan siksaan yang berat dari oknum
petugas kepolisian, dan disinyalir penegak hukum banyak yang
menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Diantaranya ada yang
tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, oleh karena itu,
Hukum Acara Pidana haruslah mampu menjaga batas antara
dilaksanakannya “ upaya paksa”, yakni
penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan baik barang maupun badan dan pembukaan
surat-surat, dengan hak seseorang yang di dakwa telah melakukan
suatu tindak pidana, sehingga dapat dicerminkan bahwa Hukum Acara
Pidana masih dalam ruang lingkup suatu Negara.19
Sebagaimana kasus salah tangkap oleh Kepolisian Jombang
yang kemudian dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri Jombang,
disebutkan bahwa pengakuan terdakwa, baik Devid Eko Priyanto dan
Imam Chambali terungkap mengalami penyiksaan dan mengaku
sebagai pelaku pembunuhan. Pembuktian bersalah dan tidak bersalah
tersangka/terdakwa, aparat penegak hukum lebih mengutamakan pada
pengakuan tersangka/terdakwa . pembuktian tersebut dilakukan dengan
jalan pintas dengan melakukan penganiayaan dan penyiksaan kepada
tersangka/terdakwa.
2) Kesalahan identifikasi oleh penyidik terhadap korban tindak pidana
pembunuhan
Kasus salah identifikasi korban pembunuhan dalam kasus
Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali di jombang, merupakan
18
O.C.Kaligis,Op.cit,halaman. 370
Ibid, halaman. l19
19
akibat dari tindakan para penyidik yang tidak melakukan suatu proses
identifikasi yang akurat terhadap mayat yang tidak lagi dapat dikenali
secara utuh. Mengingat perkembangan zaman saat ini, dalam
membuktikan kebenaran meterill terhadap bersalah dan tidak bersalah
tersangka/terdakwa dalam memberikan keyakinan kepada Hakim,
dapat dilakukan
pembuktian dengan cara pembuktian ilmiah
berdasarkan keahlian disiplin ilmu lain.
Sesuai perkembangannya, dalam mengusut dan mengadili
kejahatan, lahirlah ilmu tambahan lain pendukung keberhasilan suatu
proses penegakan hukum, salah satu diantaranya adalah Ilmu
Kedokteran Forensik. Ilmu forensik adalah suatu ilmu pengetahuan
yang dapat membantu memberi keterangan atau penjelasan bagi
peradilan secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiah yng akan
mendukung kebenaran peradilan dalam menetapkan keputusannya
apabila ia dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam masyarakat
modern adanya alat bukti seperti tes DNA merupakan sarana yang
efektif untuk mengugkap pembukitan dalam kasus pidana.
Pentingnya melakukan test DNA terhadap mayat yang di duga
telah rusak dan sulit dikenali
ternyata dilupakan oleh Kepolisan
Jombang. Penyidik hanya menduga korban dari tampak luar dan
keterangan pihak keluarga, yang sebenarnya mungkin terjadi kesalahan
diakibatkan kondisi mayat yang sudah rusak, dan sulit dikenali. Hal ini
kemudian berakibat kepada kekeliruan penangkapan terhadap pelaku
yang sebenarnya dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak
bersalah.
Hal ini terbukti dengan adanya surat hasil test Laboratorium
DNA yaitu No.Pol.R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol tanggal 27
Agustus 2008, dan dapat disimpulkan bahwa dengan nilai pemeriksaan
DNA lebih dari 99,99 % bahwa Moh.Asrori adalah Mr.X yang
dibunuh oleh Riyan, dan yang ditemukan di di belakang rumah orang
tua Riyan. Kemudian mayat yang ditemukan di kebun tebu di desa
Braan, Desa/ Kec. Bandar Kedungmulyo tanggal 29 September, yang
tadinya
disebutkan
oleh
Kepolisian
Jombang,
dengan
tanpa
pemeriksaan DNA adalah Moh.Asrori ternyata adalah Fauzin Suyanto
alias
Antonius
berdasarkan
hasil
test
DNA
no.R/08012.E/DNA/IX/2008/Biddokpol.
B. Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Yang Nyata dalam
Mempertimbangkan Judex Facti Pengadilan
Adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam
pertimbangan
yudex
facti
Pengadilan
Negeri
Jombang
yang
mengakibatkan amar putusannya keliru juga sebagai salah satu faktor
penyebab terjadinya salah penangkapan terhadap Devid Eko Priyanto dan
Imam Chambali, selain atas adanya novum dengan ditemukannya
tersangka yang mengakui bersama Riyan adalah yang telah membunuh
Fauzin Suyanto alias Antonius yang sebelumnya di nyatakan adalah
Moh.Asrori. Novum ini memaksa untuk dilakukan tes DNA atau
pemeriksaan kembali terhadap mayat yang di duga Moh.Asrori, yang
secara nyata telah menunjukkan terjadinya kekeliruan tindakan identifikasi
korban dalam penyidikan.
Kekhilafan artinya kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja.
Pihak yang melakukan kekhilafan dalam putusan ini adalah hakim. Baik
buruknya putusan pengadilan dapat diukur dari pertimbangan hukum
putusan dan ammar yang ditarik berdasarkan pertimbangan hukumnya
tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Agung No.90 PK/PID/2008
disebutkan, bahwa
“kekhilafan yang nyata” dalam praktek hukum
dimaksudkan sebagai salah atau cacat dalam pertimbangan atau perbuatan.
Atau dengan kata lain, tidak sempurna pertimbangan putusan yang
diambil, atau juga bahwa putusan atau tindakan yang diambil atau
diartikan atau dilakukan, menyimpang dari ketentuan yang semestinya,
bahkan pertimbangan yang ringkas dan tidak cermat dapat dikualifikasikan
sebagai putusan yang mengandung kekhiliafan.
Oleh
karena
kurang
cermat
dan
kurang
hati-hati
mempertimbangkan semua faktor dan aspek yang relevan dan urgen, maka
dikualifikasikan sebagai kekhilafan yang mengabaikan fungsi mengadili.
Kekhilafan adalah pelanggaran atas implementasi hukum yang mesti
dipertimbangkan atau diterapkan dalam memberikan putusan dalam suatu
perkara.
3.
Kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan korban salah
tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia
A. Kebijakan Penal ( Penal Policy )
Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang
dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut, dalam jangka pendek adalah
resosialisasi ( memasyarakatkan kembali ) pelaku tindak pidana, jangka
menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang
yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan
sosial.20 Hukum pidana disini berfungsi ganda yakni sebagai sarana
penanggulangan kejahatan yang rasional, serta sebagai sarana pengaturan
tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan oleh Negara dengan alat
perlengkapannya.
Kebijakan kriminal dengan menggunkan sarana penal ( penal
policy ) dalam perkara salah tangkap yang dimajukan ke depan pengadila ,
ditentukan atas dasar adanya 2 (dua ) masalah , pertama adalah perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana yaitu untuk menyatakan
seseorang melanggar hukum, pengadilan harus dapat menentukan
“kebenaran” akan hal tersebut, dan untuk menentukan kebenaran
diperlukan bukti-bukti.21
20
M. Hamdan , Politik Hukum Pidana, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997),
halaman .49
21
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana,( Jakarta: Sinar Grafika,2009)
,halaman . 22
Hal ini dinyatakan dalam muatan KUHAP yang menganut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu dalam Pasal 183
KUHAP yang mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang
terdakwa dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kesalahan harus
dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas
keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebagaimana kasus
salah tangkap oleh Kepolisian Jombang disebutkan bahwa tidak
dipenuhinya batas minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal
183 KUHAP. Disebutkan bahwa pengakuan terdakwa, baik Devid Eko
Priyanto dan Imam Chambali terungkap mengalami penyiksaan dan
mengaku sebagai pelaku pembunuhan, sehingga pengakuan terdakwa
tidaklah dapat dibenarkan sebagai suatu alat bukti yang sah.
Dan yang kedua adalah rumusan tentang bentuk perlindungan bagi
korban akibat kekeliruan penangkapan, penahanan, penuntutan oleh aparat
penegak
hukum
yang
tidak
berdasarkan
undang-undang.
Setiap
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori berat atau
bukan,
senantiasa
menerbitkan
kewajiban
bagi
Negara
untuk
mengupayakan pemulihan kepada korbannya, apakah itu pemulihan secara
materill maupun immaterill. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hakhak korban tersebut harus dilihat sebagai usaha dari
pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Dan diharapkan
Negara dapat menegaskan supaya tidak ada pelanggaran hak asasi manusia
tanpa pemulihan terhadap korbannya. 22
Dalam kasus ini, korban akibat dari kekeliruan terhadap orangnya
atau korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif,
mengenai penerapan hukum ataupun melakukan penangkapan, penahanan
ataupun memeriksa dan mengadili tanpa alasan yang didasarkan undangundang dan telah di sidagkan di depan persidangan, Undang-undang No.
22
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban.(Jakarta : Elsam,2002), halaman . xiii
48 Tahun 2009, Undang-undang No.39 Tahun 1999, KUHP , KUHAP
serta Peraturan Pelaksanaan KUHAP menghendaki adanya pemberian
ganti kerugian dan rehabilitasi serta kompensasi bagi tersangka/terdakwa
yang ditangkap, ditahan, diadili dan dipidana tanpa alasan yang didasarkan
undang-undang.23
B. Kebijakan Non Penal ( Non Penal Policy )
Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat dilakukan tanpa
menggunakan upaya hukum pidana, upaya lain yang dapat dilakukan,
adalah penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan
tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; serta kegiatan
pengawasan yang efektif dan berkesinambungan oleh polisi dan aparat
keamanan, serta penyantunan dalam rangka mempertanggungjawabkan
kelalaian yang dilakukan oleh alat kelengkapan Negara dan lainnya.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non
penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan,
maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif
terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya peradilan
sesat terhadap kekeliruan penangkapan dan tidak berdasarkan undangundang, diantaranya rendahnya budaya hukum aparat penegak hukum
yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.
Dalam hal pertanggungawaban
terhadap segala tugas yang
dijalankan sebagai alat Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas
kenegaraan tesebut adalah Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum,
yang dipandang mungkin perlu dikoreksi atau dianggap tidak cakap
menjalankan tugasnya, maka hal tersebut diserahkan sepenuhunya kepada
masing-masing instansi.24
Terjadinya penyimpangan tindakan-tindakan yang bersumber dari
wewenang adalah tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai warga
23
Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, ( Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), halaman .28
24
Ibid
Negara dan anggota ABRI, sehingga tidak lepas dari tanggung jawab
pidana, perdata, administratif dan hukum, disiplin militer serta tatanan
masyarakat.25
Dalam Kasus salah tangkap di Jombang, Jawa Timur, Kebijakan
non penal ( non penal policy ) dapat dilihat , bahwa para polisi dijatuhi
sanksi oleh Sidang Komisi Kode Etik Polri. Menurut Juru Bicara Polisi,
Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira 13 polisi tersebut diminta untuk
minta maaf pada korban, Imam Hambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto,
dan Maman Sugianto alias Sugik, berupa "Permintaan maaf secara terbatas
dan langsung. Selain itu, para pelaku yang terdiri dari Kepala Kepolisian
Sektor Bandar Kedungmulyo, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal
Kepolisian Sektor Bandar Kedungmulyo, dan para penyidik, serta
pembantu penyidik, juga diberi sanksi, yaitu pemberian "Sanksi variatif
yang dilihat dari tanggungjawabnya. Ada yang mendapat sanksi tidak
boleh melakukan penyidikan perkara selama satu tahun, ada yang
dipindahkan dari jabatan atau penugasan dari fungsi reserse. "Ada yang
selamanya tidak boleh ditempatkan mengemban fungsi reserse. Menurut
Abubakar, selain mendapat permintaan maaf, Kemat Cs juga mendapatkan
uang silaturahmi dari Kepala Kepolisian Jawa Timur, Inspektur Jenderal,
Herman S. Sumawiredja. Kemat dan Devid masing-masing mendapat
Rp.20 juta, sedangkan Maman Rp.10 Juta Rupiah.26
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan penulisan yang telah diuraikan oleh penulis, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Perlindungan
terhadap korban salah tangkap sesungguhnya telah
diletakkan dalam :
25
M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian, ( Jakarta:Pradnya Paramita,
1990), halaman .59
26
Di akses dari http://www.tempo.co/read/fokus/2009/12/07/974/Lagi-Lagi-Polisi-SalahTangkap tanggal 27 Februari, pukul 09.47 WIB.
a.
Undang-undang
No.48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman, Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
dan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), serta Peraturan
Pelaksanaan KUHAP No. 27 Tahun 1983.
b.
Kedudukan korban dalam peraturan perundang-undangan tersebut
relatif kurang diperhatikan, dan belum memberikan perlindungan
secara langsung . Kalau korban hendak mendapatkan ganti
kerugian akibat kesalahan dalam penegakan hukum, ia harus
mengusakannya sendiri baik melalui upaya hukum praperadilan
sebelum perkara pokok di proses di sidang pengadilan, ataupun
melalui penggabungan perkara ganti kerugian yang dimungkinkan
oleh Pasal 98-100 KUHAP. Perlindungan terhadap korban salah
tangkap dalam peraturan perundang-undangan merupakan bentuk
perwujudan atas penghormatan, penegakan , dan penjaminan atas
hak asasi manusia.
2)
Perwujudan selanjutnya dari penegakan hukum pidana mendapatkan
permasalahan-permasalahan, terutama dalam implementasinya. Penyebab
salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan ini adalah :
a.
Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses
penegakan hukum. Hal ini di lihat dari pelanggaran prosedur upaya
paksa terhadap diri pribadi tersangka berupa tindak kekerasan,
ancaman dan siksaan yang berlebihan yang dilakukan oleh
penyidik guna mencari suatu pembuktian, khususnya pengakuan
tersangka dan dengan segera menghadapkan tersangka ke sidang
pengadilan. Kesalahan identifikasi terhadap korban tindak pidana
pembunuhan oleh penyidik, juga merupakan faktor penyebab salah
tangkap dalam proses penegakan hukum. Penyidik hanya menduga
korban dari tampak luar dan keterangan pihak keluarga, yang
sebenarnya mungkin terjadi kesalahan diakibatkan kondisi mayat
yang sudah rusak, dan sulit dikenali. Hal ini kemudian berakibat
kepada kekeliruan penangkapan terhadap pelaku yang sebenarnya
dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak bersalah.
b.
Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata dalam
Mempertimbangkan Judex Facti Pengadilan. Kekhilafan atau
kekeliruan yang nyata berupa tidak cermat dan kurang hati-hati
dalam pertimbangan semua faktor dan aspek yang relevan dan
urgen oleh Hakim, merupakan kekhilafan yang mengabaikan
fungsi mengadili. Kekhilafan dan kekeliruan yang nyata tersebut,
sebagai salah satu
alasan pengajuan permohonan peninjauan
kembali sebagaimana di mungkinkan oleh Pasal 263 ayat (2) huruf
c KUHAP . Pengajuan permohonan peninjauan kembali juga di
dasarkan adanya keadaan baru ( novum ) yang dapat dijadikan
landasan yang mendasari permintaan yaitu keadaan baru yang
mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugan kuat”. Adanya
aturan hukum yang mengatur tindakan negara atau pemerintah
sehingga
tindakan
aparatur
negara
tersebut
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
3)
Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori berat
atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan
pemulihan kepada korbannya. Kewajiban tersebut dinyatakan dengan adanya
Kebijakan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan hukum, baik bagi pelaku
maupun korban. Kebijakan hukum pidana tersebut adalah
a.
Kebijaka Penal ( Penal Policy )
Kebijakan penal ( Penal Policy ), kebijakan yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill,
hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana yang
dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana. Kebijakan penal ( penal
policy ) sebagagai bentuk perlindungan terhadap korban akibat
pelanggaran dalam proses penegakan hukum ditentukan atas dasar
adanya perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
upaya perlindungan bagi korban berupa pemberian ganti kerugian dan
rehabilitasi guna perlindungan masyarakat dan mencapai kesejahteraan
kesejahteraan sosial.
b. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy)
Kebijakan ini dilakukan tanpa menggunakan upaya hukum
pidana, dan terhadap kekeliruan penangkapan dan tindakan yang tidak
berdasarkan undang-undang sebagai bentuk rendahnya budaya hukum
aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum,
dalam hal ini adalah Kepolisian, “kebijakan non penal” ini dinyatakan
dengan adanya upaya perlindungan terhadap korban salah tangkap
berupa pemberian ganti kerugian tanpa menggunakan upaya hukum
pidana oleh Kepolisan. Upaya-upaya rasional ini merupakan upaya
mengatasi masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan “Kebijakan
penal” sebagai upaya perlindugan masyarakat ( social defence ) dan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare ).
2. Saran
1.
Adanya hal-hal mengenai salah penangkapan, kepada pejabat pembuat
suatu
peraturan
pengawasan
perundang-undangan,
terhadap
pelaksanaan
sesungguhnya
penegakan
diperlukan
hukum
guna
penyempurnaan peraturan perundang-undangan demi terlaksananya
rasa keadilan dan kepastian hukum.
2.
Dalam
rangka
meningkatkan
efektivitas
penegakan
hukum,
penyempurnaan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum
sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing harus di
percepat peningkatan kemampuannya maupun kewibawaan peradilan
disertai upaya untuk membina sikap aparat penegak hukum sebagai
pengayom abdi Negara dan abdi masyarakat yang memiliki keahlian,
jujur, tegas, adil, bersih dan berwibawa. Hal ini perlu dilakukan untuk
menepis persepsi masyarakat bahwa belum efektifnya penegakan
hukum di Indonesia tidak terlepas dari kinerja dan sikap penegak
hukum. Aparat penegak hukum yang diharapkan mampu melaksanakan
tugasnya secara professional dan penuh tanggung jawab , serta
penguasaan pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana sangat
diharapkan dari aparat penegak hukum. Dan dituntut tumbuhnya
kesadaran akan harkat serta martabat manusia yang harus dijunjung
tinggi.
3.
Kebijakan hukum pidana Indonesia, baik kebijakan penal (penal policy)
dan kebijakan non penal ( non penal policy ) diharapkan mampu
memberikan perlindungan terhadap korban korban pelanggaran
penegakan hukum tanpa harus diminta secara formal kepada Negara
melalui pengajuan permohonan ke Pengadilan Negeri, melainkan dapat
diberikan setelah adanya putusan yang menyatakan terdakwa
tidak
terbukti melakukan suatu tindak pidana dan dinyatakan bebas dari
segala dakwaan.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku/ Text Book
Dirdjosisworo, Soedjono. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan
Hukum. Bandung : CV.Armico.1984
Effendi, H. A. Mansyur. Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Hukum Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. 1993
Faal, M . Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian . Jakarta:Pradnya
Paramita. 1997
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
1997
Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa
dan Terpidana.Bandung: PT.Alumni. 2006
Loqman, Loebby . Pra Peradilan di Indonesia . Jakarta : Ghalia
Indonesia.1990
Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika. 2009
Marzuki, Peter Mahmud . Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup. 2005
Meliala, Adrianus. Menyingkap Kejahatan krah Putih. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1993
Prakoso, Djoko. Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1984
Prinst, Darwin. Sosialisasi dan Disemisasi Penegakan Hak Asasi Manusia.
Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001
Prodjohamidjojo, Martiman. Proses Tuntuan Ganti Kerugian dan
Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo.
1997
Soemitro, Ronny Hanitijo . Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia
Indonesia. 1982
Siregar, Tampil Anshari . Metodologi Penelitian Hukum. Medan : Pustaka
Bangsa Press. 2005
Tabusubroto, S. Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana.
Bandung:Alimni.1983
Van Boven, Theo. Mereka yang Menjadi Korban. Jakarta : Elsam. 2002
2. Internet
http://www.tempo.co/read/fokus/2009/12/07/974/Lagi-Lagi-Polisi-SalahTangkap
http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-TigaPembunuh-Asrori,
Download