PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI INDONESIA ( Studi Kasus Di Jombang ) JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UntukMemperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH: PERONNIKA M S NIM: 090200128 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA ABSTRAKSI Peronnika M S Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan di pidana tanpa berdasarkan undang-undang. Kesalahan dalam penegakan hukum terjadi di Jombang lima tahun yang lalu. Kepolisian Resort Jombang menangkap dan mengadili 3 orang yang disebut sebagai pelaku pembunuhan yaitu Imam Hambali, Devid Eko Priyanto dan Maman Sugianto. Imam dan Devid masingmasing di hukum 17 Tahun dan 12 Tahun, serta Mamam Sugianto masih dalam proses persidangan sampai adanya Putusan dari Mahkamah Agung melalui pengajuan permohonan peninjauan kembali yang membebaskan 3 orang tersebut dari segala dakwaan. Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu tentang bagaimana ketentuan hukum perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia, bagaimana faktor penyebab terjadinya salah tangkap dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian, yaitu penelitian normatif atau studi kepustakaan yang dilakukan terhadap dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedudukan korban salah tangkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia ternyata relatif kurang diperhatikan, dan belum memberikan perlindungan secara langsung terhadap korban. Ketentuan hukum mengenai perlindungan terhadap korban salah tangkap tersebut meliputi Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Udang-undang tentang Hak Asasi Manusia, KUHP, KUHAP dan Peraturan Pelaksanaanya. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik, berupa pelanggaran terhadap prosedur upaya paksa yang tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, kekeliruan tindakan identifikasi korban pembunuhan yang tidak akurat, serta adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam mempertimbangankan yudex facti pengadilan, merupakan faktor penyebab terjadinya salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan. Kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan, digunakan dengan pendekatan integral dan keseimbangan antara kebijakan penal ( penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy) guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Mahasiswa A. Latar Belakang Di dalam suatu negara hukum atau Rule of law sesungguhnya mempunyai sendi-sendi yang sifatnya universal dan bahkan cukup fundamental, seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya aturan hukum yang mengatur tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal ini tentunya, akan membawa konsekuensi pada hukum pidana khususnya. 1 Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan di hukum tanpa salah karena dicap sebagai penjahat. Maka para ahli hukum pidana mengemukakan pendapat sebagai berikut :2 1. Hukumlah penjahat, dan bebaskanlah yang tidak bersalah dari tindakan hukum karena kekeliriuan. 2. Lebih baik 10 penjahat lolos, daripada kekeliruan menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap korban termasuk korban salah tangkap merupakan salah satu bentuk perwujudan atas penghormatan, penegakan , dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan menunjukkan adanya persamaan prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat digambarkan bahwa antara negara hukum dan penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda.3 Sehingga upaya perlindungan hak asasi tersebut perlu adanya peraturan-peraturan larangan bagi sistem hukum dan keefektifan sistem peradilan pidana (SPP) dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. 1 Djoko Prakoso.Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP,(Jakarta: Ghalia Indonesia,1984), halaman. 51 2 Soedjono Dirdjosisworo.,Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, (Bandung : CV.Armico,1984), halaman.17 3 H.A.Mansyur Effendi., Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia,1993),halaman . 33 Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ternyata relatif kurang diperhatikan, hal ini dikarenakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied ). Padahal, dari perspektif kriminologis dan hukum pidana , kejahatan adalah suatu konflik yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan pelanggar sendiri. Perlindungan korban kejahatan masih bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan dalam Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), serta Peraturan Pelaksanaan KUHAP. Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif , pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara.4 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata perolehannya atas dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan phisik dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja berisi suatu pengakuan yang terekayasa.5 Adanya pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi terhadap korban tindak pidana, dipadang sebagai akibat lemahnya kemampuan profesionalisme aparat penegak hukum. Kasus salah prosedur dan salah identifikasi korban pembunuhan dapat mengakibatkan kesalahan dalam menentukan pelakunya atau yang sering disebut dengan salah tangkap. Salah identifikasi korban pembunuhan tersebut terjadi di Jombang lima tahun yang lalu dan telah sampai kepada suatu proses pengadilan dengan tuduhan melakukan 4 O.C.Kaligis.,Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.(Bandung: PT.Alumni,2006),halaman . 233 5 Djoko Prakoso, Op.cit, halaman.116 pembunuhan berencana terhadap korban disertai vonis pidana penjara selama 17 tahun dan 12 Tahun terhadap 2 (dua) orang terdakwa. Korban akibat akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif, dimana kepolisian Resort Jombang Jawa Timur menyakini bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu, Dusun Berakan Jombang pada September 2007 adalah Asrori. Penelusuran sidik jari tidak dilakukan dengan kondisi mayat rusak. 6 Polres Jombang kemudian menangkap 3 orang yang disebut sebagai pelaku pembunuhan Asrori, yaitu Imam Hambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto dan Maman Sugianto alias Sugik. Penyidik berhasil menciptakan suatu pembunuhan yang seolah-olah dilakukan oleh Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali hanya dari keterangan keduanya, Pengakuan Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali bahwa memang benar telah membunuh disebabkan tidak tahan atas siksaan dan rasa ketakutan karena terror yang bertubi-tubi. Ketakutan akan siksaan fisik dan mental yang lebih keras dari yang sudah dialaminya serta adanya ancaman dan penyesatan. Ada pula ancaman dari luar tembok tahanan, bila tidak mengaku dan tidak menurut pada penyidik, akan dihukum berat bahkan akan dihukum mati, anggota keluarganya pun akan dihabisi. 7 Kesalahan yang dilakukan oleh penyidik Polri bermula dari proses penyidikan dan penangkapannya. Penyidik melakukan tindakan penangkapan terhadap Imam Chambali meskipun yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap bukanlah dia namun penyidik tetap menangkapnya. Penyidik menduga bahwa Imam Chambali yang telah membunuh korban bernama Moch. Asrori yang dilakukan bersama dua orang rekannya. Namun setelah proses perkara dilimpahkan ke pengadilan dan telah diputus oleh hakim, belakangan diketahui bahwa korban pembunuhan atau mayat yang dinyatakan oleh polisi bernama Moch. Asrori itu ternyata bukan mayat Asrori melainkan mayat orang lain telah teridentifikasi bernama Fauzin Suyanto alias Antonius. Terjadinya kesalahan identifikasi terhadap mayat korban kemudian berakibat fatal pada kesalahan penangkapannya pula. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru 6 H.R.Abdussalam,Forensik,(Jakarta;Restu Agung,2006),halaman . 3-4 Di akses dari http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-TigaPembunuh-Asrori, tanggal 9 Februari 2013, pukul 00.31 7 ini dimana bahwa polisi telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka fakta ini dapat digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan alasan kuat bagi terpidana ini untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Tidak adanya atau lemahnya kontrol terhadap dijalankan atau tidaknya suatu kewajiban/wewenang, juga memperkuat kemungkinan untuk melakukan suatu pelanggaran/penyimpangan baik tindak pidana maupun pelanggaran kode etik aparat penegak hukum. Bicara tentang kontrol formal terhadap pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dan penyimpangan terhadap hukum, sesungguhnya juga bicara adanya perbedaan landasan pijak. Rendahnya etika seseorang yang professional dalam menjalankan tugas profesinya memungkinkan orang lain menjadi korban.8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah Penulis paparkan, penulis dapat merumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana ketentuan hukum dalam perlindungan Korban Salah Tangkap dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Indonesia ? 2. Bagaimana penyebab terjadinya korban salah tangkap dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Indonesia ? 3. Bagaimana kebijakan hukum terhadap perlindungan korban yang salah tangkap dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Indonesia ? 8 Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan krah Putih, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), halaman .57 C. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis pakai adalah sebagai berikut : 1. Jenis dan Sifat Penelitian Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis serta bahan-bahan hukum tertulis (data sekunder) lainnya yang relevan dengan substansi skripsi ini.9 Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru.10 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan dan menjawab permasalahan pada objek penelitian.11 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, 9 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), halaman . 24 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2005), halaman . 27 11 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005), halaman .21 mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 4. Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:12 a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. D. Hasil Penelitian 1. Ketentuan hukum perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia A. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) Pasal 9 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 12 Ibid.,halaman.75-76. (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undangundang. Dalam ketentuan Pasal 9, nyatalah bahwa meskipun seseorang yang di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana, haruslah dianggap belum bersalah sampai suatu Pengadilan menyatakan kesalahannya dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dengan demikian maka orang yang di dakwa telah melakukan tindak pidana harus dijamin hak asasinya. 13 B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Sesungguhnya Hak Asasi Manusia lahir bersama-sama dengan manusia, artinya sejak manusia ada maka permasalahan Hak Asasi Manusia sudah timbul. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998, menugaskan Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia kepada seluruh masyarakat. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbanagn moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.14 Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yang termuat dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 13 Loebby Logman, Pra Peradilan di Indonesia , (Jakarta : Ghalia Indonesia,1990) ,halaman.10 14 Darwin Prinst, Sosialisasi dan Disemisasi Penegakan Hak Asasi Manusia,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), halaman .3-7 Manusia, dimuat dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 33, dan Pasal 34. C. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) Dari pasal-pasal yang ada di dalam KUHP, setelah diteliti ternyata tidak satu pasalpun yang memberikan perlindungan terhadap korban secara langsung. Semua tindak pidana hanya dilihat sebagai tindakan yang melanggar tertib hukum semata. Akibatnya korban tidak mendapatkan perlindungan secara langsung. Pasal 14c ayat (1) KUHP sering disebut telah memberikan perlindungan terhadap korban secara langsung, namun pasal tersebut belumlah banyak berarti bagi upaya memberikan perlindungan terhadap korban. Apabila syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian yang ditentukan oleh pasal tersebut ditujukan bagi terhukum yang dijatuhi pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, maka dapat di duga tindak pidana yang dilakukan dan akibatnya terhadap korban tentu tidaklah begitu serius, sebab adalah mustahil dijatuhi pidana penjara kurang dari satu tahun atau pidana kurungan apabila tindak pidana yang dilakukan dan akibatnya terhadap korban serius. Sementara korban yang semestinya diberikan ganti kerugian justru korban yang disebut belakangan, yakni korban yang mengalami penderitaan serius. D. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dan Peraturan Pelaksanaan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983 Pemberian perlindungan kepada korban salah tangkap dan telah dijadikan tersangka/terdakwa tidaklah semata-mata sebagai perwujudan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam sistem peradilan pidana Indonesia, tetapi sekaligus juga merupakan pengejawantahan asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah. Pengakuan atas asas praduga tidak bersalah menghendaki juga diakuinya asas equality before the law, yang tercermin dari diberikannya kesempatan yang sama antara penuntut umum dan tersangka/terdakwa dalam suatu legal fight. Dalam kaitan inilah pemberian hak-hak kepada tersangka/terdakwa oleh KUHAP tadi menjadi relevan. 15 Perumusan perlindungan terhadap korban salah tangkap dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimuat dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83, tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi , yakni yang menjadi wewenang praperadilan, diajukan tersangka, keluarga atau penasihat hukumnya hanyalah berkenaan dengan seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, dengan kata lain yang tidak dan belum diajukan ke pengadilan. 16 Rumusan lain yang juga memuat perlindungan terhadap korban salah tangkap termaktub dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 100 KUHAP, yaitu ganti kerugian dan rehabilitasi bagi korban akibat dari kekeliruan terhadap orangnya atau korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif , yang diadili tanpa alasan yang berdasar undangundang atau adanya kekeliruan mengenai orang atau hukumnya, yang sudah sampai pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, menjadi wewenang hakim pengadilan negeri. 17 2. Penyebab terjadinya salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia A. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses penegakan hukum 1) Adanya pelanggaran prosedur upaya paksa oleh penyidik Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan yang berlaku. Tindakan hukum ini 15 O.C.Kaligis,Op.cit,halaman.21 S.Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:Alumni, 1983), halaman .2 17 Loebby Loqman,Op cit,halaman.74-75 16 dapat mengurangi dan membatasi hak-hak seseorang, seperti antara lain penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Artinya, apabila aparat penegak hukum melaksanakan tindakan hukum dengan tidak berdasarkan hukum, tindakan itu pasti merupakan pelangaran HAM.18 Oleh karena mereka menolak dan menyangkal serta tidak mau mengaku, mereka harus merasakan siksaan yang berat dari oknum petugas kepolisian, dan disinyalir penegak hukum banyak yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Diantaranya ada yang tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, oleh karena itu, Hukum Acara Pidana haruslah mampu menjaga batas antara dilaksanakannya “ upaya paksa”, yakni penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan baik barang maupun badan dan pembukaan surat-surat, dengan hak seseorang yang di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana, sehingga dapat dicerminkan bahwa Hukum Acara Pidana masih dalam ruang lingkup suatu Negara.19 Sebagaimana kasus salah tangkap oleh Kepolisian Jombang yang kemudian dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri Jombang, disebutkan bahwa pengakuan terdakwa, baik Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali terungkap mengalami penyiksaan dan mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Pembuktian bersalah dan tidak bersalah tersangka/terdakwa, aparat penegak hukum lebih mengutamakan pada pengakuan tersangka/terdakwa . pembuktian tersebut dilakukan dengan jalan pintas dengan melakukan penganiayaan dan penyiksaan kepada tersangka/terdakwa. 2) Kesalahan identifikasi oleh penyidik terhadap korban tindak pidana pembunuhan Kasus salah identifikasi korban pembunuhan dalam kasus Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali di jombang, merupakan 18 O.C.Kaligis,Op.cit,halaman. 370 Ibid, halaman. l19 19 akibat dari tindakan para penyidik yang tidak melakukan suatu proses identifikasi yang akurat terhadap mayat yang tidak lagi dapat dikenali secara utuh. Mengingat perkembangan zaman saat ini, dalam membuktikan kebenaran meterill terhadap bersalah dan tidak bersalah tersangka/terdakwa dalam memberikan keyakinan kepada Hakim, dapat dilakukan pembuktian dengan cara pembuktian ilmiah berdasarkan keahlian disiplin ilmu lain. Sesuai perkembangannya, dalam mengusut dan mengadili kejahatan, lahirlah ilmu tambahan lain pendukung keberhasilan suatu proses penegakan hukum, salah satu diantaranya adalah Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu forensik adalah suatu ilmu pengetahuan yang dapat membantu memberi keterangan atau penjelasan bagi peradilan secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiah yng akan mendukung kebenaran peradilan dalam menetapkan keputusannya apabila ia dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam masyarakat modern adanya alat bukti seperti tes DNA merupakan sarana yang efektif untuk mengugkap pembukitan dalam kasus pidana. Pentingnya melakukan test DNA terhadap mayat yang di duga telah rusak dan sulit dikenali ternyata dilupakan oleh Kepolisan Jombang. Penyidik hanya menduga korban dari tampak luar dan keterangan pihak keluarga, yang sebenarnya mungkin terjadi kesalahan diakibatkan kondisi mayat yang sudah rusak, dan sulit dikenali. Hal ini kemudian berakibat kepada kekeliruan penangkapan terhadap pelaku yang sebenarnya dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak bersalah. Hal ini terbukti dengan adanya surat hasil test Laboratorium DNA yaitu No.Pol.R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol tanggal 27 Agustus 2008, dan dapat disimpulkan bahwa dengan nilai pemeriksaan DNA lebih dari 99,99 % bahwa Moh.Asrori adalah Mr.X yang dibunuh oleh Riyan, dan yang ditemukan di di belakang rumah orang tua Riyan. Kemudian mayat yang ditemukan di kebun tebu di desa Braan, Desa/ Kec. Bandar Kedungmulyo tanggal 29 September, yang tadinya disebutkan oleh Kepolisian Jombang, dengan tanpa pemeriksaan DNA adalah Moh.Asrori ternyata adalah Fauzin Suyanto alias Antonius berdasarkan hasil test DNA no.R/08012.E/DNA/IX/2008/Biddokpol. B. Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Yang Nyata dalam Mempertimbangkan Judex Facti Pengadilan Adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan yudex facti Pengadilan Negeri Jombang yang mengakibatkan amar putusannya keliru juga sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya salah penangkapan terhadap Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali, selain atas adanya novum dengan ditemukannya tersangka yang mengakui bersama Riyan adalah yang telah membunuh Fauzin Suyanto alias Antonius yang sebelumnya di nyatakan adalah Moh.Asrori. Novum ini memaksa untuk dilakukan tes DNA atau pemeriksaan kembali terhadap mayat yang di duga Moh.Asrori, yang secara nyata telah menunjukkan terjadinya kekeliruan tindakan identifikasi korban dalam penyidikan. Kekhilafan artinya kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja. Pihak yang melakukan kekhilafan dalam putusan ini adalah hakim. Baik buruknya putusan pengadilan dapat diukur dari pertimbangan hukum putusan dan ammar yang ditarik berdasarkan pertimbangan hukumnya tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Agung No.90 PK/PID/2008 disebutkan, bahwa “kekhilafan yang nyata” dalam praktek hukum dimaksudkan sebagai salah atau cacat dalam pertimbangan atau perbuatan. Atau dengan kata lain, tidak sempurna pertimbangan putusan yang diambil, atau juga bahwa putusan atau tindakan yang diambil atau diartikan atau dilakukan, menyimpang dari ketentuan yang semestinya, bahkan pertimbangan yang ringkas dan tidak cermat dapat dikualifikasikan sebagai putusan yang mengandung kekhiliafan. Oleh karena kurang cermat dan kurang hati-hati mempertimbangkan semua faktor dan aspek yang relevan dan urgen, maka dikualifikasikan sebagai kekhilafan yang mengabaikan fungsi mengadili. Kekhilafan adalah pelanggaran atas implementasi hukum yang mesti dipertimbangkan atau diterapkan dalam memberikan putusan dalam suatu perkara. 3. Kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan korban salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan di Indonesia A. Kebijakan Penal ( Penal Policy ) Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut, dalam jangka pendek adalah resosialisasi ( memasyarakatkan kembali ) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.20 Hukum pidana disini berfungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional, serta sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan oleh Negara dengan alat perlengkapannya. Kebijakan kriminal dengan menggunkan sarana penal ( penal policy ) dalam perkara salah tangkap yang dimajukan ke depan pengadila , ditentukan atas dasar adanya 2 (dua ) masalah , pertama adalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana yaitu untuk menyatakan seseorang melanggar hukum, pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut, dan untuk menentukan kebenaran diperlukan bukti-bukti.21 20 M. Hamdan , Politik Hukum Pidana, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), halaman .49 21 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana,( Jakarta: Sinar Grafika,2009) ,halaman . 22 Hal ini dinyatakan dalam muatan KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu dalam Pasal 183 KUHAP yang mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kesalahan harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebagaimana kasus salah tangkap oleh Kepolisian Jombang disebutkan bahwa tidak dipenuhinya batas minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Disebutkan bahwa pengakuan terdakwa, baik Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali terungkap mengalami penyiksaan dan mengaku sebagai pelaku pembunuhan, sehingga pengakuan terdakwa tidaklah dapat dibenarkan sebagai suatu alat bukti yang sah. Dan yang kedua adalah rumusan tentang bentuk perlindungan bagi korban akibat kekeliruan penangkapan, penahanan, penuntutan oleh aparat penegak hukum yang tidak berdasarkan undang-undang. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan kepada korbannya, apakah itu pemulihan secara materill maupun immaterill. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hakhak korban tersebut harus dilihat sebagai usaha dari pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Dan diharapkan Negara dapat menegaskan supaya tidak ada pelanggaran hak asasi manusia tanpa pemulihan terhadap korbannya. 22 Dalam kasus ini, korban akibat dari kekeliruan terhadap orangnya atau korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif, mengenai penerapan hukum ataupun melakukan penangkapan, penahanan ataupun memeriksa dan mengadili tanpa alasan yang didasarkan undangundang dan telah di sidagkan di depan persidangan, Undang-undang No. 22 Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban.(Jakarta : Elsam,2002), halaman . xiii 48 Tahun 2009, Undang-undang No.39 Tahun 1999, KUHP , KUHAP serta Peraturan Pelaksanaan KUHAP menghendaki adanya pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi serta kompensasi bagi tersangka/terdakwa yang ditangkap, ditahan, diadili dan dipidana tanpa alasan yang didasarkan undang-undang.23 B. Kebijakan Non Penal ( Non Penal Policy ) Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat dilakukan tanpa menggunakan upaya hukum pidana, upaya lain yang dapat dilakukan, adalah penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; serta kegiatan pengawasan yang efektif dan berkesinambungan oleh polisi dan aparat keamanan, serta penyantunan dalam rangka mempertanggungjawabkan kelalaian yang dilakukan oleh alat kelengkapan Negara dan lainnya. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan dan tidak berdasarkan undangundang, diantaranya rendahnya budaya hukum aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum. Dalam hal pertanggungawaban terhadap segala tugas yang dijalankan sebagai alat Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas kenegaraan tesebut adalah Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum, yang dipandang mungkin perlu dikoreksi atau dianggap tidak cakap menjalankan tugasnya, maka hal tersebut diserahkan sepenuhunya kepada masing-masing instansi.24 Terjadinya penyimpangan tindakan-tindakan yang bersumber dari wewenang adalah tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai warga 23 Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), halaman .28 24 Ibid Negara dan anggota ABRI, sehingga tidak lepas dari tanggung jawab pidana, perdata, administratif dan hukum, disiplin militer serta tatanan masyarakat.25 Dalam Kasus salah tangkap di Jombang, Jawa Timur, Kebijakan non penal ( non penal policy ) dapat dilihat , bahwa para polisi dijatuhi sanksi oleh Sidang Komisi Kode Etik Polri. Menurut Juru Bicara Polisi, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira 13 polisi tersebut diminta untuk minta maaf pada korban, Imam Hambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto, dan Maman Sugianto alias Sugik, berupa "Permintaan maaf secara terbatas dan langsung. Selain itu, para pelaku yang terdiri dari Kepala Kepolisian Sektor Bandar Kedungmulyo, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Sektor Bandar Kedungmulyo, dan para penyidik, serta pembantu penyidik, juga diberi sanksi, yaitu pemberian "Sanksi variatif yang dilihat dari tanggungjawabnya. Ada yang mendapat sanksi tidak boleh melakukan penyidikan perkara selama satu tahun, ada yang dipindahkan dari jabatan atau penugasan dari fungsi reserse. "Ada yang selamanya tidak boleh ditempatkan mengemban fungsi reserse. Menurut Abubakar, selain mendapat permintaan maaf, Kemat Cs juga mendapatkan uang silaturahmi dari Kepala Kepolisian Jawa Timur, Inspektur Jenderal, Herman S. Sumawiredja. Kemat dan Devid masing-masing mendapat Rp.20 juta, sedangkan Maman Rp.10 Juta Rupiah.26 E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan penulisan yang telah diuraikan oleh penulis, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Perlindungan terhadap korban salah tangkap sesungguhnya telah diletakkan dalam : 25 M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian, ( Jakarta:Pradnya Paramita, 1990), halaman .59 26 Di akses dari http://www.tempo.co/read/fokus/2009/12/07/974/Lagi-Lagi-Polisi-SalahTangkap tanggal 27 Februari, pukul 09.47 WIB. a. Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), serta Peraturan Pelaksanaan KUHAP No. 27 Tahun 1983. b. Kedudukan korban dalam peraturan perundang-undangan tersebut relatif kurang diperhatikan, dan belum memberikan perlindungan secara langsung . Kalau korban hendak mendapatkan ganti kerugian akibat kesalahan dalam penegakan hukum, ia harus mengusakannya sendiri baik melalui upaya hukum praperadilan sebelum perkara pokok di proses di sidang pengadilan, ataupun melalui penggabungan perkara ganti kerugian yang dimungkinkan oleh Pasal 98-100 KUHAP. Perlindungan terhadap korban salah tangkap dalam peraturan perundang-undangan merupakan bentuk perwujudan atas penghormatan, penegakan , dan penjaminan atas hak asasi manusia. 2) Perwujudan selanjutnya dari penegakan hukum pidana mendapatkan permasalahan-permasalahan, terutama dalam implementasinya. Penyebab salah tangkap dalam tindak pidana pembunuhan ini adalah : a. Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses penegakan hukum. Hal ini di lihat dari pelanggaran prosedur upaya paksa terhadap diri pribadi tersangka berupa tindak kekerasan, ancaman dan siksaan yang berlebihan yang dilakukan oleh penyidik guna mencari suatu pembuktian, khususnya pengakuan tersangka dan dengan segera menghadapkan tersangka ke sidang pengadilan. Kesalahan identifikasi terhadap korban tindak pidana pembunuhan oleh penyidik, juga merupakan faktor penyebab salah tangkap dalam proses penegakan hukum. Penyidik hanya menduga korban dari tampak luar dan keterangan pihak keluarga, yang sebenarnya mungkin terjadi kesalahan diakibatkan kondisi mayat yang sudah rusak, dan sulit dikenali. Hal ini kemudian berakibat kepada kekeliruan penangkapan terhadap pelaku yang sebenarnya dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak bersalah. b. Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata dalam Mempertimbangkan Judex Facti Pengadilan. Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata berupa tidak cermat dan kurang hati-hati dalam pertimbangan semua faktor dan aspek yang relevan dan urgen oleh Hakim, merupakan kekhilafan yang mengabaikan fungsi mengadili. Kekhilafan dan kekeliruan yang nyata tersebut, sebagai salah satu alasan pengajuan permohonan peninjauan kembali sebagaimana di mungkinkan oleh Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP . Pengajuan permohonan peninjauan kembali juga di dasarkan adanya keadaan baru ( novum ) yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan yaitu keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugan kuat”. Adanya aturan hukum yang mengatur tindakan negara atau pemerintah sehingga tindakan aparatur negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 3) Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan kepada korbannya. Kewajiban tersebut dinyatakan dengan adanya Kebijakan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan hukum, baik bagi pelaku maupun korban. Kebijakan hukum pidana tersebut adalah a. Kebijaka Penal ( Penal Policy ) Kebijakan penal ( Penal Policy ), kebijakan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana. Kebijakan penal ( penal policy ) sebagagai bentuk perlindungan terhadap korban akibat pelanggaran dalam proses penegakan hukum ditentukan atas dasar adanya perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan upaya perlindungan bagi korban berupa pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi guna perlindungan masyarakat dan mencapai kesejahteraan kesejahteraan sosial. b. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Kebijakan ini dilakukan tanpa menggunakan upaya hukum pidana, dan terhadap kekeliruan penangkapan dan tindakan yang tidak berdasarkan undang-undang sebagai bentuk rendahnya budaya hukum aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum, dalam hal ini adalah Kepolisian, “kebijakan non penal” ini dinyatakan dengan adanya upaya perlindungan terhadap korban salah tangkap berupa pemberian ganti kerugian tanpa menggunakan upaya hukum pidana oleh Kepolisan. Upaya-upaya rasional ini merupakan upaya mengatasi masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan “Kebijakan penal” sebagai upaya perlindugan masyarakat ( social defence ) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare ). 2. Saran 1. Adanya hal-hal mengenai salah penangkapan, kepada pejabat pembuat suatu peraturan pengawasan perundang-undangan, terhadap pelaksanaan sesungguhnya penegakan diperlukan hukum guna penyempurnaan peraturan perundang-undangan demi terlaksananya rasa keadilan dan kepastian hukum. 2. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum, penyempurnaan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing harus di percepat peningkatan kemampuannya maupun kewibawaan peradilan disertai upaya untuk membina sikap aparat penegak hukum sebagai pengayom abdi Negara dan abdi masyarakat yang memiliki keahlian, jujur, tegas, adil, bersih dan berwibawa. Hal ini perlu dilakukan untuk menepis persepsi masyarakat bahwa belum efektifnya penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari kinerja dan sikap penegak hukum. Aparat penegak hukum yang diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara professional dan penuh tanggung jawab , serta penguasaan pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana sangat diharapkan dari aparat penegak hukum. Dan dituntut tumbuhnya kesadaran akan harkat serta martabat manusia yang harus dijunjung tinggi. 3. Kebijakan hukum pidana Indonesia, baik kebijakan penal (penal policy) dan kebijakan non penal ( non penal policy ) diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap korban korban pelanggaran penegakan hukum tanpa harus diminta secara formal kepada Negara melalui pengajuan permohonan ke Pengadilan Negeri, melainkan dapat diberikan setelah adanya putusan yang menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan suatu tindak pidana dan dinyatakan bebas dari segala dakwaan. F. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku/ Text Book Dirdjosisworo, Soedjono. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung : CV.Armico.1984 Effendi, H. A. Mansyur. Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. 1993 Faal, M . Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian . Jakarta:Pradnya Paramita. 1997 Hamdan, M. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997 Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.Bandung: PT.Alumni. 2006 Loqman, Loebby . Pra Peradilan di Indonesia . Jakarta : Ghalia Indonesia.1990 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009 Marzuki, Peter Mahmud . Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. 2005 Meliala, Adrianus. Menyingkap Kejahatan krah Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993 Prakoso, Djoko. Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984 Prinst, Darwin. Sosialisasi dan Disemisasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001 Prodjohamidjojo, Martiman. Proses Tuntuan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo. 1997 Soemitro, Ronny Hanitijo . Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1982 Siregar, Tampil Anshari . Metodologi Penelitian Hukum. Medan : Pustaka Bangsa Press. 2005 Tabusubroto, S. Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung:Alimni.1983 Van Boven, Theo. Mereka yang Menjadi Korban. Jakarta : Elsam. 2002 2. Internet http://www.tempo.co/read/fokus/2009/12/07/974/Lagi-Lagi-Polisi-SalahTangkap http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-TigaPembunuh-Asrori,