BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Hingga saat ini, tuberkulosis masih menjadi penyakit infeksi menular yang paling berbahaya di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 1,5 juta orang meninggal karena TB (1.1 juta HIV negatif dan 0.4 juta HIV positif) dengan rincian 89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak.Pada tahun 2014, kasus TB diperkirakan terjadi pada 9,6 juta orang dan 12% diantaranya adalah HIVpositif.1,2,3,4 Berdasarkan hasil laporan Riskesdas (2010), angka kesakitan Tuberkulosis Paru terjadi hampir seluruh wilayah Indonesia. Prevalansi Tuberkulosis Paru pada tahun 2009 sampai tahun 2010 sebanyak 725 per 100.000 penduduk berdasarkan hasil pemeriksaan dahak dan/atau foto paru. Di Indonesia sejak tahun 20002010,Case Detection Rate (CDR) mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari 20% pada tahun 2000 menjadi 78,3% pada tahun 2010 yang sekaligus merupakan capaian tertinggi.2,3,4,5 Indonesia merupakan Negara dengan penderita terbanyak ke-5 didunia setelah Inida, Cina, Afrika Selatan, dn Nigeria.Merujuk pada angka kejadian yang tinggi, Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) menggalangi strategi penanggulangan TB di Indonesia yang kemudian disebut strategi Directly Obbserved Treatment Short Course (DOTS).Salah satu programnya adalah melaksanakan pengobatan tuberculosis dengan Obat Anti Tuberkulosis.3,4,5 Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi dua fase, yakni fase awal dan fase lanjutan.Obat lini pertama yang digunakan adalah isoniazid, rimpafisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.Obat lini pertama inilah yang paling sering digunakan dan menimbulkan beragam efek samping.1,2,3,4,5 1 Meskipun 85% kasus TB berhasil diobati, kejadian buruk yang berkaitan dengan pengobatan termasuk hepatotoksisitas, reaksi kulit, pencernaan dan gangguan neurologis menjelaskan morbiditas yang signifikan dimana bisa menyebabkan penurunan efektivitas terapi. Hepatotoksisitas adalah hal yang paling sering menimbulkan efek samping yang menyebabkan penghentian obat pada 11% pasien yang diobati dengan kombinasi isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid.3,4.5,6,11 Obat anti-TB adalah salah satu dari kelompok tersering yang mendasari hepatotoksisitas yang terjadi di seluruh dunia. Hepatotoksisitas yang dicetuskani oleh obat anti-TB bervariasi sangat tergantung pada karakteristik kelompok tertentu, rejimen obat yang terlibat, penggunaan sampai ambang batas yang menimbulkan hepatotoksik, pemantauan dan pelaporan praktik. Secara keseluruhan, hepatotoksisitas berkaitan dengan obat anti-TB telah dilaporkan pada 5% - 28% dari orang yang diobati dengan obat anti-TB. Namun, sulit untuk menilai seberapa banyak dari konsensus internasional yang mendefinisikan tetntang hepatoksisitas akibat obat (DILI). Sebagian besar laporan menjelaskan tentang nilai SGOT 3 kali lebih tinggi dari batas normal berkaitan dengan gejala (abdominal) nyeri, mual, muntah, kelelahan yang tidak dapat dijelaskan atau penyakit kuning yang disebakan oleh cedera hati atau SGOT 5 kali lebih tinggi tanpa gejala menunjukkan hepatotoksisitas.3,4,5,6,7,11 2