REFERAT TUBERKULOSIS EKSTRAPARU Disusun oleh: Della Septa 030.15.053 Pembimbing: dr. Santi Andiani, Sp.B KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH PERIODE 15 JULI – 20 SEPTEMBER 2019 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2019 LEMBAR PENGESAHAN REFERAT TUBERKULOSIS EKSTRAPARU Diajukan untuk memenuhi syarat Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Periode 15 Juli - 20 September 2019 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Disusun oleh : Della Septa 030.15.053 Pembimbing, RSUD Budhi Asih dr. Santi Andiani, Sp.B KATA PENGANTAR Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul "Tuberkulosis Ekstraparu". Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepanitiaan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih. Saya sangat berharap referat ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan ilmu pengetahuan kita mengenai tuberkulosis ekstraparu (TBEP). Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam referat ini terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Saya berharap adanya kritik, saran dan masukan demi perbaikan referat telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran serta masukkannya yang membangun. Semoga referat ini dapat dipahami dan berguna bagi yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam pengejaan kalimat serta penyebutan nama tempat, istilah serta nama orang. Wasalammuallaikum, wr.wb. Penulis Della Septa, S.Ked 030.15.053 iii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii DAFTAR ISI.................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN........................................................................... BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstraparu (TBEP) ................................ 2.2 Epidemiologi ............................................................................. 2.3 Etiologi ...................................................................................... 2.4 Faktor Risiko ............................................................................. 2.5 Patogenesis ................................................................................ 2.6 Limfadenitis Tuberkulosis ......................................................... 2.6.1 Definisi .............................................................................. 2.6.2 Gejala Klinis ...................................................................... 2.6.3 Diagnosis ........................................................................... 2.6.4 Diagnosis Banding ............................................................. 2.6.5 Komplikasi......................................................................... 2.7 Tuberkulosis Abdominal ........................................................... 2.7.1 Definisi .............................................................................. 2.7.2 Patofisiologi ....................................................................... 2.7.3 Manifestasi Klinis .............................................................. 2.7.4 Klasifikasi .......................................................................... 2.7.5 Diagnosis ........................................................................... 2.7.6 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 2.7.7 Diagnosis Banding ............................................................. 2.7.8 Pembedahan ....................................................................... 2.8 Tatalaksana ................................................................................ 1 2 2 2 2 3 5 7 7 8 9 14 19 20 20 20 20 21 24 24 26 26 28 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29 iv BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan tahan asam. Penyakit ini umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain selain paru.(1) Berdasarkan lokasi, tuberkulosis dikelompokkan menjadi tuberkulosis paru dan ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat terjadi di berbagai organ seperti kelenjar getah bening, pleura, abdomen, kulit, tulang, sendi, saluran kencing, dan sebagainya. Manifestasi ekstraparu yang sering dijumpai adalah limfadenitis TB yang merupakan proses peradangan pada kelenjar limfe akibat bakteri M. tuberculosis.(2) Indonesia menduduki peringkat kedua dari daftar tujuh negara teratas dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Diikuti oleh Tiongkok, Filipina, Pakistan, Nigeria dan Afrika. Kasus TB di India merupakan 64% dari 10 juta kasus baru TB di seluruh dunia pada tahun 2016.(3) Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi human immunodeficiency virus (HIV), dimana limfadenitis TB merupakan manifestasi utama pada 5% pasien immunocompromised dengan lokasi yang paling banyak mengalami infeksi yaitu pada kelenjar limfe servikal.(4) Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.(2,4) Tuberkulosis abdomen adalah bentuk dari TBEP yang menyerang traktus gastrointestinal dari esofagus hingga anus, peritoneum, mesentrium, KGB abdomen, hepar, limpa dan pankreas. Hasil penelitian di Singapura tahun 2008, manifestasi TB abdomen yang paling sering terjadi adalah pada illeum (63.6%) dan caecum (48.5%), diikuti oleh KGB mesentrika (42.1%) dan peritoneum (22.8%). 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstraparu (TBEP) Tuberkulosis ekstraparu (TBEP) adalah tuberkulosis (TB) yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening (KGB), pleura, abdomen, kulit, selaput otak, tulang, sendi, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.(1) 2.2 Epiedemiologi Indonesia menduduki peringkat kedua dari daftar tujuh negara teratas dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Diikuti oleh Tiongkok, Filipina, Pakistan, Nigeria dan Afrika. Kasus TB di India merupakan 64% dari 10 juta kasus baru TB di seluruh dunia pada tahun 2016.(3) Tahun 2017, Indonesia kembali menduduki peringkat ketiga dengan persentase sebanyak 8% dari seluruh kasus TB di dunia.(3) Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi human immunodeficiency virus (HIV), dimana limfadenitis TB merupakan manifestasi utama pada 5% pasien immunocompromised.(4) World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa terdapat 15-20% kasus TBEP baru dan kambuh yang meliputi seluruh kasus TB pada tahun 2017.(3) Kasus TBEP terbanyak menyerang KGB, pleura dan abdomen. Penelitian di pusat TB di India tahun 2016 menyatakan bahwa 80% kasus TB ekstrapulmonal yang paling sering terjadi adalah limfadenitis TB dan 11% kasus adalah TB abdomen. Sebanyak 204 kasus limfadenitis TB, 92.6% kasus diantaranya terjadi pembesaran KGB servikal terutama kelenjar suprascapular, 10.8% KGB axilla, dan 2.5% KGB inguinal.(8) 2.3 Etiologi Tuberkulosis ekstraparu umumnya disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Spesies patogen lain yang termasuk dalam Mycobacterium complex antara lain adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti, M. pinnipedii, dan M. canetti.(1) 2 Mycobacterium tuberculosis menular melalui droplet. Berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Bakteri ini bersifat aerob gram positif, yang senang hidup di daerah dengan kandungan oksigen tinggi, terutama di apeks paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.(1) Bakteri ini tidak tahan terhadap paparan langsung terhadap sinar ultraviolet yang akan mematikan sebagian besar kuman dalam waktu beberapa menit.(1,2) Gambar 2.1 (A) basil tahan asam - Ziehl Neelsen (B) penyebarab kuman TB Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis adalah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebutcord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol pada metode Ziehl Neelsen.(2,4) 2.4 Faktor risiko Penyakit tuberkulosis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok, komorbiditas, dan kontak erat dengan penderita TB.(1,3,4) 2.4.1 Riwayat kontak erat dengan penderita TB Kontak erat dengan penderita TB merupakan salah satu faktor penularan utama untuk terjadinya TB karena kontak dengan penderita memungkinkan risiko penularan TB melalui droplet.(1) 3 2.4.2 Usia Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, penderita TB paru sekitar 75% ditemukan pada usia produktif secara ekonomi (15-49 tahun) namun tidak dicantumkan penyebabnya.(4) 2.4.3 Jenis kelamin Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa ditemukan 10% lebih banyak kasus TB pada kelompok laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lain seperti perbedaan perilaku dimana lebih banyak laki laki yang merokok (96,3%) dibandingkan dengan perempuan (3,7%).(4,5) 2.4.4 Sosial ekonomi Sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan padat penduduk, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk yang dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena dengan pendapatan minimum dapat menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi kecukupan gizi dan rendahnya akses dalam pelayanan fasilitas kesehatan.(4) 2.4.5 Status gizi Keadaan malnutrisi seperti kurangnya asupan makronutrien, mikronutrien, vitamin dan mineral akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru.(4) 2.4.6 Merokok Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik, antara lain tar dan nikotin yang terdapat dalam kandungan rokok telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi respons kekebalan tubuh, mengurangi kemampuan fagosit alveolus, penurunan motilitas silia yang membersihkan mukus pada saluran pernapasan serta meningkatkan kerentanan terhadap infeksi termasuk infeksi paru pada penderita TB. (4) 4 2.4.7 Komorbiditas Koinfeksi HIV juga merupakan faktor risiko imunosupresif yang paling kuat untuk mengembangkan penyakit TB aktif.(1) Serta DM yang tidak terkontrol juga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita DM lebih rentan terserang infeksi.(3) 2.5 Patogenesis Secara umum penyakit TB dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. Tuberkulosis pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Tuberkulosis primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil TB masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit.(2,4,8) 5 Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post primer. Imunitas seluler akan membatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti TB primer, TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru.(2,4,8) Gambar 2.2 Patofisiolog TB Paru dan TBEP 6 2.6 Limfadenitis Tuberkulosis Kelenjar getah bening (KGB) terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel pembentuk sistem pertahanan tubuh dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah bening yang melewatinya. Manusia memiliki 600 KGB dalam tubuh dan dalam keadaan normal, KGB tidak dapat diraba kecuali pada KGB submandibular, axilla dan inguinal. Apabila KGB dapat teraba, maka KGB mengalami pembesaran yang dapat disebabkan oleh infeksi, proses autoimun, pengaruh obat-obatan, tumor primer ataupun metastasis dan idiopatik. Istilah "limfadenopati" digunakan untuk pembersaran dan perubahan konsistensi KGB yang belum diketahui penyebabnya, sedangkan istilah "limfadenitis" digunakan untuk pembesaran KGB yang disebabkan oleh agen infeksi yang menyebabkan suatu reaksi inflamasi.(7,8) Gambar 2.3 Kelenjar getah bening dan pembuluh limfatik tubuh Sistem limfatik mempunyai tiga fungsi utama yaitu; 1) Mempertahankan konsentrasi protein yang rendah dalam cairan interstisial sehingga protein-protein darah yang difiltrasi oleh kapiler akan tertahan dalam jaringan, memperbesar volume cairan jaringan dan meninggikan tekanan cairan interstitial, 2) Absorpsi asam lemak, transpor lemak dan kilus (chyle) ke sistem sirkulasi, 3) Memproduksi sel-sel imun (seperti limfosit, monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang disebut sel plasma).(4) 7 2.6.1 Definisi Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.(4,5) Gambar 2.4 (A) pembesaran KGB servikal (B) aksila (C) inguinal 2.6.2 Gejala Klinis Berdasarkan penelitian terbaru di India tahun 2016, dari 204 sampel pasien limfadenitis TB, keluhan yang paling sering dijumpai adalah berupa: • Teraba benjolan, satu atau lebih (100%) • Nafsu makan menurun (32.4%) • Penurunan berat badan >3 kg selama 3 bulan (27.9%) • Keringat malam (23%) • Demam (13.7%) • Batuk lebih dari 2 minggu (12.2%) Gejala klinis limfadenitis TB memiliki banyak variasi dari beberapa penelitian– penelitian lain. Tidak dapat dikatakan dengan pasti apabila dengan memiliki gejala klinis seperti yang disebutkan sebelumnya dapat ditegakkannya diagnosis sebagai limfadenitis TB. Secara umum sedikit susah untuk menentukan sindroma klinis dari pasien secara pasti, hal ini dikarenakan karena subjektivitas atau persepsi dari masing–masing pasien sangat bervariasi dan juga terkadang pasien lupa atau tidak mengetahui bahwa mereka memiliki sindroma klinis tersebut. Selain itu, melalui anamnesis tentang faktor risiko TB yang dapat mengarahkan ke diagnosis TB juga harus ditanyakan.(6) 8 2.6.3 Diagnosis 2.6.3.1 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan status lokalis berupa inspeksi dan palpasi pada benjolan/massa yang dikeluhkan pasien, menurut lokasi, jumlah, bentuk, warna, batas tegas/tidak, konsistensi, mobil/imobil dan nyeri tekan. Gambar 2.5 (A) palpasi KGB servikal (B) inguinal (C) aksila Karakteristik massa yang dicurigai disebabkan oleh infeksi: • Lokasi yang paling sering adalah di KGB servikal, axilla dan inguinal(8) • Single atau multipel • Pertumbuhan lambat atau konstan • Dapat berwarna kemerahan • Batas tegas • Konsistensi kenyal-kistik • Umumnya mobil • Nyeri tekan +/• Fluktuasi +/Karakteristik massa yang dicurigai disebabkan oleh keganasan: • Lokasi dapat diseluruh KGB, apabila metastasis maka umumnya akan ipsilateral dengan tumor primer • Single atau multipel • Pertumbuhan relatif cepat • Batas difus • Konsistensi padat • Umumnya terfiksir • Nyeri tekan +/- • Fluktuasi 9 2.6.3.2 Pemeriksaan Penunjang Limfadenitis TB tidak dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun harus dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan hematologi, tuberculin skin test, radiologi, fine-needle aspiration biopsy (FNAB), kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan pemeriksaan histopatologi (biopsi). Gold standard penegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah dengan cara kultur dan excisional biopsy.(10) • Pemeriksaan hematologi Meski tidak ada pemeriksaan darah yang spesifik untuk limfadenitis TB, leukositosis, trombositosis, anemia, hiponatremia, peningkatan laju endap darah (LED), dan peningkatan enzim alkali phospatase (ALP) dapat menandakan terjadinya suatu inflamasi kronik dalam tubuh seperti infeksi TB. • Tuberculin skin test (TST) Tuberkulin adalah komponen antigen kelompok bakteri mycobacterium yang jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang dicurigai TB. Positif apabila timbul suatu reaksi delayed-type-hypersensitivity berupa indurasi di lokasi suntikan ≥ 10 mm setelah 48-72 jam pasca penyuntikan. Positif pada 1. Infeksi TB alamiah Negatif pada 1. Tidak ada infeksi TB • Infeksi TB tanpa sakit TB 2. Masa inkubasi infeksi TB • Infeksi TB dan sakit TB 3. Anergi • Tuberkulosis yang telah sembuh 2. Imunisasi Bacille Calmette-Guerin 3. Infeksi mycobacterium atipik 10 • Radiologi Pemeriksaan radiologi berupa foto thorax, ultrasonografi (USG), computed tomography scan (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan apabila terdapat suatu limfadenopati. Foto thorax dapat menggambarkan suatu gambaran TB pada 10-40% pasien dengan diagnosis limfadenitis TB.(10) Gambar 2.6 USG KGB servikal Ultrasonografi soft-tissue tidak dapat menggambarkan suatu gambaran spesifik limfadenitis TB, namun dapat digunakan untuk membedakan suatu keganasan dan untuk guided aspirasi. Apabila USG dikombinasi dengan FNAB maka akan meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas limfadenitis TB.(10) • Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau FNAB dilakukan dengan cara memasukkan jarum halus pada area yang membengkak atau terinfeksi dan dilakukan aspirasi jaringan melalui jarum tersebut. Jaringan yang telah diaspirasi dapat dilakukan pemeriksaan sitologi, pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) untuk bakteri tahan asam, kultur dan PCR. Gambar 2.7 Sitologi limfadenitis TB 11 • Kultur Diagnosis definitif limfadenitis TB ditentukan oleh ditemukannya bakteri M. tuberculosis pada saat kultur jaringan KGB yang terinfeksi. Namun, hasil kultur juga dapat negatif karena angka keberhasilan kultur isolasi mycobacterium yang hanya 10-69% kasus. Kultur memakan proses yang cukup lama dan harga yang lebih mahal. • Histopatologi (Biopsi Diagnostik) Diagnosis definitif limfadenitis TB selain dapat ditentukan oleh kultur, dapat ditentukan oleh pemeriksaan histopatologi dari jaringan eksisional pasien yang telah dilakukan pembedahan. Ditemukan Langerhan's giant cells, nekrosis kaseosa, inflamasi granulomatosa dan kalsifikasi. Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios:hidup dan opsi: tampilan. Ada dua macam bentuk biopsi bedah, yaitu biopsi insisional dan biopsi eksisional. Gambar 2.8 Histopatologi limfadenitis TB • Biopsi insisional adalah pengambilan sebagian tumor atau jaringan yang sakit. Biopsi ini dilakukan bila tumor memiliki ukuran yang terlalu besar (lebih dari 2 atau 3 cm), sehingga tidak dapat dilakukan pengangkatan seluruh jaringan yang sakit tanpa tindakan rekonstruksi untuk menutup defek. 12 Gambar 2.9 Biopsi insisiolnal • Biopsi eksisional adalah pengangkatan seluruh tumor atau jaringan yang sakit sampai tepi yang sehat. Biopsi ini dapat dilakukan apabila tumor kecil (kurang dari 2 atau 3 cm) sehingga defek masih dapat ditutup secara primer. Gambar 2.10 Biopsi eksisional Syarat dilakukan biopsi adalah tidak boleh dilakukan undermining atau pembuatan flap, karena berpotensi menyebabkan penyebaran jaringan yang ganas. Eksisi jaringan melalui pembedahan sangat direkomendasikan untuk KGB yang terinfeksi dibandingkan insisi, karena akan menimbulkan pembentukan fistula dan merupakan kontra indikasi operasi apabila tumor berukuran kecil yang dapat diangkat secara keseluruhan. 13 Jaringan yang diperoleh dari hasil biopsi difiksasi dan dikirim untuk pemeriksaan patologi dan atau imunohistokimia. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah lesi tersebut jinak atau ganas dan membedakan jenis histologisnya. Biopsi dari KGB juga dapat menentukan staging dari keganasan. Tepi dari spesimen biopsi eksisional juga diperiksa untuk mengetahui apakah seluruh lesi sudah terangkat (tepi bebas dari infiltrat tumor). • Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah tes amplifikasi asam nukleat spesifik dari bakteri M. tuberculosis yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi menggunakan sampel jaringan yang diaspirasi dati KGB yang terinfeksi.(10) 2.6.4 Diagnosis Banding Limfadenopati dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan dapat timbul secara generalisata ataupun lokal. Sehingga pada pemeriksaan fisik harus dipikirkan kemungkinan beberapa diagnosis banding. Limfadenopati generalisata hampir selalu mengindikasikan terjadinya suatu penyakit sistemik. Limfadenopati lokal dapat dipikirkan diagnosis banding sesuai lokasi. 14 2.6.4.1 Berdasarkan gejala klinis 15 Gambar 2.10 Diagnosis banding limfadenitis TB berdasarkan gejala klinis 2.6.4.2 Berdasarkan lokasi • Limfadenopati daerah kepala dan leher Penyebab utama limfadenopati servikal adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut. Pada infeksi mikobakterium atipikal, catscratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenopati dapat berlangsung selama beberapa bulan. Limfadenopati supraklavikula kemungkinan besar (54%- 85%) disebabkan oleh keganasan. Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan petunjuk infeksi mycobacterium, atau mycobacterium atipikal.(5,6) 16 Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dapat menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus). Limfadenopati servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus).(5,6) Gambar 2.11 Diagnosis banding limfadenopati kepala dan leher • Limfadenopati aksila dan epitroklear Sebagian besar limfadenopati aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke KGB aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor primer. Limfadenopati antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral.(5,6,7) Gambar 2.12 Diagnosis banding limfadenopati aksila dan epitroklear 17 • Limfadenopati inguinal Limfadenopati inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenopati reaktif yang jinak dan infeksi merupakan penyebab tersering limfadenopati inguinal. Limfadenopati inguinal jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenopati inguinal. Limfadenopati inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau uretra.(5,6,7) Gambar 2.13 Diagnosis banding limfadenopati inguinal • Limfadenopati generalisata Limfadenopati generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenopati lokalisata. Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenopati generalisata dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut. Limfadenopati generalisata pada penderita luluh imun (immunocompromised) dan AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, dan toksoplasmosis.(5,6) 18 2.6.4.3 Berdasarkan riwayat pengobatan Konsumsi jenis obat-obatan seperti dibawah ini dapat mengakibatkan timbulnya pembesaran KGB.(10) Allopurinol Phenytoin Atenolol Primidone Captopril Pyrimethamine Carbamazepine Quinidine Cephalosporins Sulfonamides Hydralazine Penicillin Gambar 2.14 Limfadenopati oleh karena obat-obatan 2.6.5 Komplikasi • Scrofuloderma Scrofuloderma adalah infeksi yang terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang telah diserang mycobacterium, paling sering berasal dari KGB, namun dapat juga berasal dari sendi, tendon, cairan sinovial dan tulang.(10) Gambar 2.15 Scrofuloderma aksila dan servikal Gambaran klinik berupa limfadenitis berkelompok maupun soliter tanpa disertai rasa sakit. Dasar massa pada kulit mengalami perlunakan, konsistensinya kenyal sehingga terbentuk cold abcess (abses dingin; berkembang secara perlahan tanpa rasa sakit, nyeri tekan positif pada daerah disekitarnya), kemudian abses mengalami supurasi, pecah dan membentuk ulkus linier dan tidak teratur, di sekitarnya berwarna merah kebirubiruan (livide).(10) 19 2.7 Tuberkulosis Abdominal 2.7.1 Definisi Tuberkulosis abdomen adalah bentuk dari TBEP yang menyerang traktus gastrointestinal dari esofagus hingga anus, peritoneum, mesentrium, KGB abdomen, hepar, limpa dan pankreas. Hasil penelitian di Singapura tahun 2008, manifestasi TB abdomen yang paling sering terjadi adalah pada illeum (63.6%) dan caecum (48.5%), diikuti oleh KGB mesentrika (42.1%) dan peritoneum (22.8%).(11-13) 2.7.2 Patofisiologi Terdapat beberapa cara bagaimana bakteri TB dapat masuk dan berkembang di abdomen. Pertama, basil TB masuk ke traktus gastrointestinal akibat teringesti dari makanan atau sputum yang tertelan. Lapisan mukosa dari traktus gastrointestinal dapat terinfeksi oleh basil tuberkulosis melalui pembentukan tuberkel epiteloid di jaringan limfoid pada lapisan submukosa. Setelah 2 sampai 4 minggu, terjadi nekrosis kaseosa dari tuberkel epiteloid yang mengakibatkan proses ulserasi pada lapisan mukosa sehingga dapat menyebar ke lapisan yang lebih dalam, ke KGB sekitar, apabila mengalami ruptur atau perforasi dapat masuk ke dalam rongga peritoneum. Meskipun jarang, basil TB dapat masuk ke dalam sirkulasi vena porta dan menyerang hepar, pankreas dan limpa.(11,13,16) Kedua, penyebaran secara hematogen dari fokus basil TB dan menyebar ke organ-organ abdomen seperti ginjal, KGB, peritoneum. Ketiga, dapat menyebar secara percontinuitatum pada organ-organ sekitar dari tempat pertumbuhan utama fokus basil TB dan yang terakhir menyebar secara limfogen dari KGB yang terinfeksi.(11,13,16) 2.7.3 Manifestasi Klinis Tuberkulosis abdominal dapat menimbulkan gejala akut, kronik, dan kronik eksaserbasi akut. Gejala TB abdominalis kronik yang sering dikeluhkan pasien adalah nyeri perut, demam, mual, muntah, diare, atau konstipasi, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan yang signifikan dan perut terasa melebar (distensi). Gejala akut berupa nyeri perut yang hebat, mual, muntah yang dapat disebabkan oleh peritonitis, perforasi usus, dab ileus obstruktif.(12,13,14) 20 2.7.4 Klasifikasi 2.7.4.1 Limfadenitis TB abdominal Limfadenitis TB abdominal sering ditemukan pada kasus TB abdominal, KGB yang paling sering terinfeksi adalah KGB mesentrika, omental, vena porta dan peripankreas. Disebabkan transmisi basil TB dari ingesti dari makanan/minuman yang terinfeksi atau oleh karena penyebaran hematogen dan limfogen dari organ atau KGB sekitar. Tidak terdapat gejala klinis yang khas namun dapat terlihat pada USG, lesi hipoekoik akibat nekrosis kaseosa dengan peripheral enhancement.(11) Gambar 2.16 USG abdomen, lesi hipoekoik pada limfadenitis KGB mesentrika 2.7.4.2 Peritonitis TB Peritonitis TB dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu: (1) wet ascitic, yaitu tipe peritonitis TB yang tersering, terdapat jumlah cairan bebas yang banyak pada rongga peritoneum, ascites tersebut berhubungan dengan peningkatan jumlah protein eksudat berwarna kuning seperti jerami; (2) fixed fibrotic type, terdapat keterlibatan omentum dan mesentrium serta penampakan "matted" bowel loops dan localized abdomen swelling pada imaging. Ascites juga dapat dijumpai; (3) dry plastic, ditandai oleh reaksi fibrosa peritoneal dimana terdapat nodul dan adhesi/perlengketan dari dinding abdomen dengan usus, sehingga didapatkan pemeriksaan fisik berupa "chess-board phenomenon" yaitu apabila dilakukan perkusi pada regio abdomen akan ditemukan bunyi timpani dan redup yang disebabkan oleh adhesi dari usus dengan dinding abdomen. Dapat ditemukan tanda tanda ascites seperti shifting dullness.(11,15,16) 21 C Gambar 2.17 (A) laparaskopi - tuberkel pada dinding peritoneum; (B) adhesi pada peritoneum; (C) CT scan abdomen polos - ascites 2.7.4.4 Tuberkulosis Traktus Gastrointestinal Tuberkulosis abdomen dapat menyerang seluruh bagian dari traktus gastrointestinal dari esofagus hingga anus, namun gastroduodenal sangat jarang terinfeksi (1%) karena terdapat asam lambung, sedikit jaringan limfoid mukosa, dan waktu pengosongan lambung yang cepat. Berbeda dengan ileocaecal, lokasi yang paling sering terjadi infeksi pada TB abdominal. Hal ini terjadi karena terjadi statis yang cukup lama pada illeum, aktivitas digesti yang minimal, dan banyaknya jaringan limfoid (Peyer's patches). Hasil penelitian di Singapura tahun 2008, manifestasi TB abdomen yang paling sering terjadi adalah pada illeum (63.6%) dan caecum (48.5%) sedangkan yang paling jarang terjadi adalah TB pada organ viscera, limpa (12.5%), hepar (3.5%) dan pankreas (3.5%).(11,12,16) • Jejunum dan illeocaecal TB Illeum terminal merupakan lokasi yang tersering dari TB abdominal dan illeum terminal yang terinfeksi oleh basil TB biasanya juga melibatkan caecum ataupun jejunum. Gejala klinis yang paling sering ditimbulkan adalah nyeri abdomen. Komplikasi yang tersering adalah illeus obstruktif akibat dari hiperplasia mukosa, dan adhesi usus dan perforasi usus. Tuberkulosis adalah penyebab perforasi usus halus terbanyak di India (5-9%).(11,15,16) Gambar 2.18 (A) matting of small bowel loops; (B) penyempitan lumen pada ileum terminal dan ileocaecal junction dengan kontraksi caecum; (C) nekrosis kaseosa pada illeum 22 Secaara morfologi, lesi TB usus dibagi menjadi dua yaitu tipe ulseratif dan ulsero-hipertrofik yang dapat dibedakan melalui gambaran endoskopi. Pada pemeriksaan endoskopi dapat ditemukan granuloma konfluens, nekrosis kaseosa dan lesi granulamatosa pada jaringan limfoid dan usus halus, Nekrosis kaseosa sangat penting untuk diagnosis histologik dari TB usus. Pada pemeriksaan foto abdomen polos, dapat ditemukan gambaran illeus obstruktif dengan air fluid level multipel, dilatasi usus dan enterolit. Apabila terdapat gambaran udara dibawah diafragma maka telah terjadi perforasi. Pada pemeriksaan dengan barium dapat ditemkan penyempitan lumen usus dengan gambaran usus yang "matting", dan striktur multipel.(11,13) • Tuberkulosis kolorectal Infeksi basil TB pada colorectal terjadi sebanyak 10.8% kasus TB gastrointestinal. Tubrkulosis kolorektal berhubungan dengan peningkatan insiden kasus HIV dengan lokasi yang sering dijumpai adalah pada caecum dan kolon transversum. Gejala klinis yang paling sering timbul adalah nyeri perut, penurunan berat badan yang signifikan, konstipasi atau diare dan penurunan nafsu makan. Pada kolonoskopi akan transversal/sirkumferensial didapatkan dengan ulserasi eksudat berwarna linear/ putih kekuningan. Pada foto abdomen dengan barium enema dapat ditemukan multipel striktur dan gambaran mukosa yang ireguler.(11) Gambar 2.19 (A) TB colitis - striktur konsentrik pada flexura colon transversum sinistra; (B) TB colitis mukosa ireguler 23 2.7.5 Diagnosis Diagnosis dari TB abdominal dapat ditegakkan dengan satu dari dua kriteria ini terpenuhi: 1) diagnosis definitif, yaitu dengan pemeriksaan histologi dan mikrobiologi dari M. tuberculosis, dengan gambaran nekrosis kaseosa, hasil kultur yang positif dari M. tuberculosis, atau ditemukan gambaran TB abdominal saat operasi; 2) diagnosis klinis dan radiologi yang mendukung serta respon terapi yang baik pada obat anti-tuberkulosis (OAT) tanpa diagnosis definitif.(11,12,16) 2.7.6 Pemeriksaan Penunjang • Hematologi Tidak ada pemeriksaan darah yang spesifik, namun pada TB abdominalis dapat ditemukan peningkatan LED pada 79% kasus, anemia, leukositosis dan hipoalbuminemia pada penelitian tahun 2016.(16) • Foto thorax Untuk mengetahui apakah terdapat fokus infeksi primer paru.(11) • Foto polos abdomen Dapat deitemukan enterolit, gambaran ileus obstruktif dengan dilatasi usus dan air fluid level multipel, ascites, gambaran perforasi atau intususepsi.(11) Gambar 2.20 (A) supine (B) erect air fluid level multipel • Small bowel barium meal dan barium enema Dapat ditemukan multipel striktur dengan dilatasi segmental pada usus halus, gambaran matting, hipersegmentasi usus halus seperti chicken intestine, penebalan katup illeocaecal, illeum yang irreguler.(11) 24 • USG abdomen Sangat berguna untuk menilai peritonitis TB, akan ditemukan cairan intraabdomen bebas atau terlokalisir, clear atau kompleks (dengan debris dan septa). Pada limfadenitis abdomen juga dapat terlihat gambaran hipoekoik jaringan limfoid. Jaringan yang anekoid menggambarkan terjadinya area yang mengalami nekrosis kaseosa.(11,14) • CT scan abdomen Pada penelitian Tan dkk di Singapura, ditemukan penebalan usus pada sebanyak 66% kasus, limfadenopati mesentrik 48%, ascites 40%, udara bebas suspek perforasi 4% pada hasil pemerisksaan CT scan abdomen pasien dengan diagnosis TB abdominal. CT scan juga berguna untuk mendeteksi abses intraperitoneal yang disebabkan oleh TB.(11) • Kolonoskopi Dapat dilakukan kolonoskopi pada pengambilan ileum spesimen terminal dan biopsi katup saat dilakukan ileocaecal yang memperlihatkan gambaran ulserasi, tuberkel dan formasi granulasi.(11,13) • Pemeriksaan analisis cairan peritoneum Cairan ascites pada TB abdominalis akan berwarna kuning seperti jerami (straw coloured) dengan protein >3 g/dL dengan total cell count 1504000/ µl, dengan limfosit dominan (> 70%) dan gradien serum albumin ascites < 1.1 g/dL. Pemeriksaan kadar enzim adenosine deaminase (ADA) dapat dilakukan dengan sampel cairan ascites, ADA akan meningkat pada ascites TB karena stimulasi sel T oleh mycobacterium. Penelitian oleh Bhargava et al bahwa serum ADA diatas 54U/I, ADA pada cairan ascites > 36U/I dapat diduga infeksi TB. Apabila terdapat koinfeksi dengan HIV, nilai ADA dapat rendah ataupun normal.(16) • Laparaskopi Laparaskopi sangat minimal-invasif untuk mendiagnosis TB abdominalis, dapat mengambil sampel dari tuberkel yang berada di peritoneum dan organ lain untuk pemeriksaan histopatologi.(14) 25 • Histopatologi Gambar 2.21 (A) biopsi peritoneal (HE) - nekrosis kaseosa; (B) jaringan granuloma dengan sel epiteloid 2.7.7 Diagnosis Banding Tuberkulosis abdominal tidak mempunyai gejala klinis maupun pemeriksaan laboratorium yang spesifik sehingga dapat menyerupai gejala dari penyakit lain. Diagnosis banding yang pertama kali perlu dipertimbangkan untuk TB usus adalah Crohn's disease, yaitu inflamatory bowel disease yang tidak diketahui penyebabnya, limfoma intestinal, dan malignancy. Diagnosis dari peritonitis TB yaitu peritonitis yang disebabkan oleh bakteri lainnya, perforasi appendicitis, malignancy dan penyakit liver kronik.(14,16) 2.7.8 Pembedahan Indikasi pembedahan yang paling sering ditemukan pada penelitian Singh dkk, 2018 adalah ileus obstruksi (66%), perforasi usus (29%) dan perdarahan (6%). Hasil penelitian tersebut melampirkan temuan intraoperatif yang paling banyak ditemukan adalah striktura (80%), limfadenopati mesentrika (80%), tuberkel pada peritoneal dan usus (54%) dan massa pada ileosekal (11%). Berbeda pada penelitian Rajandeep, 2017 temuan intraoperatif yang terbanyak adalah perforasi illeum (30.3%), perforasi usus halus multipel (18.4%), striktura intestinal (11.8%), massa illeocaecal (11.8%) dan adhesi intestinal (9.2%).(14,15) 26 Gambar 2.22 Penemuan intraoperatif: jaringan granulomatosa + tuberkel pada omentum, colon dan intestinum saat laparatomi eksploratif Pembedahan juga dilakukan apabila terjadi perforasi dengan atau tanpa abses dan fistula, massa abdominal yang belum diketahui penyebabnya, perdarahan masif, obstruksi total pada usus halus dan obstruksi yang tidak respon terhadap pengobatan. Obstruksi sering terjadi pada pasien TB abdominal dengan striktur multiple dengan manifestasi klinis akut abdomen yang membutuhkan tindakan pembedahan secepatnya. Apabila terjadi peritonitis TB akut dapat dilakukan laparatomi dan mengambil sampel jaringan untuk dilakukan biopsi dan kultur.(14,15) Gambar 2.23 (A) perforasi illeum; (B) adhesi usus besar Terdapat tiga tipe pembedahan secara garis besar untuk TB abdominal: (1) dilakukan untuk bypass segmen usus halus dengan enterostom/ileostomy atau ileotransversal colonostomy; (2) reseksi radikal seperti hemikolektomi dikombinasi dengan OAT untuk eradikasi basil TB seluruhnya; (3) konservatif seperti strictureplasty.(14-16) 27 Pembedahan yang seringkali dilakukan pada kasus TB abdominalis dalam penelitian Rajandeep, 2017 adalah ileostomy yaitu sebanyak 32 pasien. Reseksi dan anastomosis sebanyak 12 pasien, repair perforasi 10 pasien, hemikolektomi dextra 8 pasien, adhesiolisis 6 orang, dan strikturoplasty 4 pasien.(15) 2.8 Tatalaksana Pedoman internasional dan nasional menurut WHO menggolongkan TBEP dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan dengan regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau 2HRZ/6HE. American Thoracic Society (ATS) merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan dengan paduan obat 2RHZE/10RH, British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH, sedangkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan TB ekstraparu dengan paduan obat 2RHZE/7-10 RH.(1) Gambar 2.24 Panduan OAT PDPI Indonesia Evaluasi klinik, pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik dan penunjang dan kepatuhan minum obat.(1) 28 DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Citra Grafika 2011;2-8. 2. Harrison’s Principles of Internal Medicine19th Edition [Internet]. Available from: 015-Harrison’s Principles of Internal Medicine-19th Edition 2017. 3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Geneva: World Health Organization 2017 & 2018;1-10. 4. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran 2009;15-8. 5. Bruzgielewicz A, Rzepakowska A, Osuch-Wojcikewicz E, et al. Tuberculosis of the head and neck - epidemiological and clinical presentation. Arch Med Sci. 2014 Dec 22. 10(6):1160-6. 6. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam Physician. 2013;58:1315. 7. Singh SK, Tiwari KK. Tuberculous lymphadenopathy: Experience from the referral center of Northern India. Niger Med J. 2016;57(2):134–138. 8. Zeppa P, Cozzolino I: Lymph Node FNC. Cytopathology of Lymph Nodes and Extranodal Lymphoproliferative Processes. Monogr Clin Cytol. Basel, Karger, 2018(23):19-33 https://doi.org/10.1159/000478879 9. Salvador F, Los-Arcos I, Sánchez-Montalvá A, et al. Epidemiology and diagnosis of tuberculous lymphadenitis in a tuberculosis low-burden country. Medicine (Baltimore). 2015;94(4):e509. doi:10.1097/MD.0000000000000509 10. Deveci HS, Kule M, Kule ZA, Habesoglu TE. Diagnostic challenges in cervical tuberculous lymphadenitis: A review. North Clin Istanb. 2016;3(2):150–155. Published 2016 Sep 28. doi:10.14744/nci.2016.20982 11. Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, Sinha SK, Sharma AK. Abdominal tuberculosis of the gastrointestinal tract: revisited. World J Gastroenterol. 2014;20(40):14831–14840. doi:10.3748/wjg.v20.i40.14831 12. Tan, K.-K., Chen, K., & Sim, R. The Spectrum of Abdominal Tuberculosis in a Developed Country: A Single Institution’s Experience Over 7 Years. Journal of Gastrointestinal Surgery 2008;13(1), 142–147. doi:10.1007/s11605-008-0669 29 13. Singh H, Krishnamurthy G, Rajendran J, Sharma V, Mandavdhare H, Kumar H, Singh R. Surgery for Abdominal Tuberculosis in the Present Era: Experience from a Tertiary-Care Center. Surgical Infections. 2018 doi:10.1089/sur.2018.077 14. Zhang, R., Xu, Z., Yao, J., Shi, R., Zhang, D., Mei, Y., Zhong, Y., Lai, M., Wang, L."Tuberculous peritonitis diagnosed using laparoscopy with assistance of a central venous catheter". Experimental and Therapeutic Medicine 2018(16) 5265-71. 15. Bali RS et al. Abdominal tuberculosis: a surgical emergency. Int J Res Med Sci 2017;5(9):3847-50. 16. Weledji EP, Pokam BT. Abdominal tuberculosis: Is there a role for surgery?. World J Gastrointest Surg. 2017;9(8):174–181. doi:10.4240/wjgs.v9.i8.174 30