Uploaded by User66425

MAKALAH TBC

advertisement
MAKALAH FARMAKOTERAPI II
TBC (TUBERKULOSIS)
Disusun Oleh:
Afivah Dewi Anggraini
17/411890/FA/11319
Ahmad Naufal
17/411892/FA/11321
Arief Putra Ananda
17/411898/FA/13327
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
I.
GAMBARAN UMUM
Tuberculosis
(TB)
adalah
penyakit
menular
yang
dissebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyaki ini dapat berupa infeksi diam, laten, atau
progresi. Bakteri M. Tuberculosis dapat ditularkan dari orang ke orang melalui
datuk dan bersin oleh penderita TB, selain itu kontak dekat dengan penderita TB
biasanya jga dapat terinfeksi. (Dipiro et. al, 2015)
II.
ETIOLOGI
TB disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium Tuberculosi, merupakan
bakteri obligat aerob yang tumbuh lambat dan parasite intraseluesr fakultatif
(CDC, 2013)
III.
FAKTOR RISIKO
Sebagian besar orang yang terinfeksi bakteri penyebab TB tidak membentuk
penyakit yang aktif. Baerikut adalah faktor yang meningkatkan risiko munculnya
penyait TB aktif yang dibagi menjadi dua kategori yakni:
a) Orang yang baru saja terinfeksi bakteri TB
-
Semua orang yang menhirup bakteri dapat berisiko terkena TB
-
Sebagia besar TB terjadi pada orang dewasa, manum anak dengan
lingkungan yang terkena TB juga berisiko tinggi terkena TB
-
Otang dengan HIV memiliki risiko tinggi terkena TB
-
Orang yang pebergian ke daerah dengan risiko tinggi TB
b) Orang dengan kondisi kesehatan yang melemahkan sistem imunitas
-
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah faktor risiko yang
aling penting dalam TB aktif utamnya pada orang usia 25-44 tahun,
irus akan menyebbakan AIDS dan melemahkan sistem imunitas
-
Disbetes militus
-
Beret badan yang rendah
-
Kanker kepala atau leher, leukemia, atau hosgkin’s disease
-
Trapi menggunakan obat golongan kortikosteroid atau obat-obtaan
yang digunakan dalam terapi penyakit atoimune atau penyakit
faskular seperti rheumatoid arthritis dan lupus, yangmana menekan
sistem imun
-
Silicosis, kondisi sestem respirasi yang disesbabkan karena
menghirup debu silica (CDC, 2013)
IV.
PATOFISIOLOGI
Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang
mengandung tubercle bacilli dan mencapai alveoli paru-paru. Tubercle
bacilli kemudian dicerna oleh makrofag alveolar; sebagian besar basili
akan dihancurkan atau dihambat pertumbuhannya. Sejumlah kecil dapat
berkembang biak secara intraseluler dan dilepaskan ketika makrofag mati.
Jika basili masih hidup, basil dapat menyebar melalui saluran limfatik atau
melalui aliran darah ke jaringan dan organ yang lebih jauh (termasuk area
tubuh di mana penyakit TB paling mungkin berkembang siantaranya
kelenjar getah bening regional, puncak paru-paru, ginjal, otak , dan
tulang). Proses diseminasi ini mengutamakan sistem kekebalan untuk
respons sistemik.
a. Droplet nuclei yang mengandung turbercle
bacilli akan terhirup, masuk ke paru-paru dan
bergerak ke alveolus
b. Tubercle
alveolus.
bacilli
memperbanyak
diri
di
c. Sebagian kecil dari tubercle bacilli masuk ke pembuluh darah
dnamenyebar
tubercle
ke
bacilli
seluruh
dapat
tubuh.
mencapai
bebrapa bagian tubuh yang mungkin
untuk TB terbentuk (seperti otak,
laring, nodus limfa, pari-paru, tulang,
ginjal)
d. Selama 2-8 minggu, sel makrofag akan
menelan dan mengelilingi tubercle
bacilli. Sel kemudian membentuk kulit
barrier yang disebut granuloma yang
akan menjaga agar bacilli tetap didalam
dan di bawah kendali (LTBI)
e. Jika
sistem
imun
tidak
dapat
mengendalikan tubercle bacilli, bacilli
akan mulai untuk memperbanyak diri
secra cepat sehingga timbul TB aktif.
Proses ini dapat terjadi pada bagian
tubuh yagg berbeda.
(CDC, 2013)
V.
KLASIFIKASI
A. Klasifikasi berdasarkan hubungan host-parasit menurut riwayat penyakit dan
infeksi
Klasifikasi ini berdasar hubungan host-parasit menurut riwayat penyakit dan
infeksi dari TB. Klasifikasi ini digunakan sebagai kerangka kerja operasional
untuk penanganan kasus TB. Sistem klasifikasi ini membantu dokter untuk
melacak perkembangan TB pada pasien. Orang yang terkena klasifinaksi kelas 3
datau kelas 5 harus segera dilaporkan ke tenaga kesehatan. Seorang pasien tidak
boleh memiliki klasifikasi kelas 5 selama lebih dari 3 bulan.
Kelas Tipe
Deskripsi
0
No TB exposure
Tidak terdapat riwayat maupun infeksi M.
Not infected
tuberculosis
Reaksi negative terhadap tuberculin skin test
1
TB exposure
Terdapat riwayat M. tuberculosis namun
No evidence of infection
memiliki reaksi negative terhadap tuberculin
skin test.
2
TB infection
Reaksi positif terhadap terhadap tuberculin
No TB disease
skin test
Hasil negative pada kultur bakteri
3
TB clinically active
Reaksi positif pada tuberculin skin test /
IGRA. Hasil positif M. tuberculosis pada
kultur bakteri
4
Previous TB disease
Memiliki riwayat penyakit TB
(not clinically active)
Reaksi positif pada tuberculin skin test atau
IGRA
Hasil negative pada kultur bakteri
5
TB suspected
Tanda and simptoms dar TB ada tetapi
evaluasi medis belum lengkap
(American Thoracic Society, 2000)
B. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
C. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada
TB Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
a. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
b. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
c. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
d. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
e. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
D. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau
keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
E. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:
1. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 10
2. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.
(Kemenkes, 2007)
VI.
TANDA DAN GEJALA
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul
• Penurunan nafsu makan dan berat badan
• Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara ―mengi‖, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalua
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.
(Kemenkes, 2011)
VII.
TARGET DAN TUJUAN TERAPI
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (obat anti tuberkulosis)
(Kemenkes, 2007)
VIII. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Kegiatan pemberian konseling, edukasi kesehatan, dan motivasi pada
pasien TB MDR dan anggota keluarga mereka tentang penyakit dan perlunya
pengobatan teratur sampai selesai adalah sangat penting. Dukungan psikososial
kepada pasien TB MDR untuk tercapainya keberhasilan pengobatan. Penyuluhan
khusus juga diberikan kepada pasien mengenai etika batuk / higiene respirasi
(menutup mulut dengan tangan ketika batuk atau bersin, atau lebih disarankan
menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun setelah batuk atau bersin)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
IX.
TERAPI FARMAKOLOGI
a Saat ini, penyakit TB aktif diobati dengan terapi kombinasi yang terdiri
atas 3 atau lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan TB aktif
umumnya diberikan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA) dan
etambutol (EMB) selama 2 minggu yang merupakan fase intensif. Kemudian
terapi dilanjutkan dengan pemberian isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan lagi
(fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri yang telah masuk kedalam
kondisi dormant. Tujuan awal dari terapi kombinasi tersebut adalah untuk
meminimalkan perkembangan resistensi terhadap streptomisin setelah obat
tersebut diperkenalkan pertama kali. Saat ini, standar terapi untuk infeksi TB
sensitif obat sangat efektif dalam pembersihan bakteri (Hoagland dkk., 2016).
Terapi efektif membutuhkan pemberian obat dalam jangka waktu panjang
karena berbagai karakteristik M. tuberculosis menyebabkan sifat kronis penyakit
ini (Cole dkk., 1998). Karakteristik tersebut adalah waktu tumbuh bakteri (waktu
penggandaan kurang lebih 24 jam), kondisi bakteri dormant di dalam makrofag
dan complex, permeabilitas dan kekerasan permukaan sel bakteri. Monoterapi
mengarahkan pada perkembangan strain resisten obat. Sehingga, terapi kombinasi
seharusnya menjadi satusatunya terapi yang digunakan kecuali untuk pencegahan
TB pada pasien HIV, terapi dengan obat tunggal berupa isoniazid dapat diberikan
(WHO, 2011).
Berbagai obat dalam terapi standar memiliki target populasi M.
tuberculosis yang berbeda-beda (Mitchison, 2005). Isoniazid, suatu inhibitor
sintesis dinding sel, membunuh secara aktif bakteri yang sedang tumbuh dan
memerankan
peran
kunci
dalam
pembasmian
populasi
yang
sedang
memperbanyak diri (replicating bacteria). Rifampisin, suatu inhibitor sintesis
RNA, aktif melawan bakteri baik yang sedang memperbanyak diri maupun tidak
(replicating dan non replicating bacteria). Pirazinamid, diperkirakan sebagai suatu
inhibitor proton motive force, hanya muncul dalam bentuk aktif di bawah kondisi
asam selama 2 bulan pertama terapi. Rifampisin dan pirazinamid memerankan
fungsi utama dalam perpendekan durasi terapi dari lebih dari 24 bulan menjadi
hanya 6 bulan.
Mekanisme aksi tiap agen menentukan peran obat dalam terapi MTB.
Namun, mekanisme beberapa obat belum dapat diungkap sepenuhnya sehingga
beberapa mekanisme aksi pada ilustrasi gambar 22 berikut masih berupa hipotesis
(Ma dkk., 2007).
Obat anti-tuberkulosis (TB) digolongkan menjadi 5 kelompok berdasarkan
bukti efikasi, potensi, kelas obat dan pengalaman penggunaanya (WHO, 2010).
Semua obat lini pertama memiliki standar singkatan dengan 3 huruf atau 1 huruf.
Daftar kelompok obat tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Lini Pertama
Kelompok 1 Oral: isoniazid (INH/H),
rifampisin/rifampin
pirazinamid
(EMB/E),
(RIF/R),
(PZA/Z),
rifapentin
etambutol
(RPT/P)
atau
rifabutin (RFB)
Lini Kedua
Kelompok 2 Aminoglikosida injeksi:
streptomisin (STM/S), kanamisin (Km),
amikasin (Amk). Polipeptida injeksi:
kapreomisin (Cm), viomisin (Vim)
Kelompok 3 Fluoroquinolon oral dan
injeksi:
levofloksasin
ciprofloksasin
(Lfx),
(Cfx),
moxifloksasin
(Mfx), ofloksasin (Ofx), gatifloksasin
(Gfx)
Kelompok
4
Oral:
asam
para-
aminosaslisilat (Pas), sikloserin (Dcs),
terizidon
(Trd),
etionamid
(Eto),
protionamid (Pto),
Lini Ketiga
Kelompok 5 Clofazimin (Cfz), linezolid
(Lzd),
amoksisilin
plus
klavulanat
(Amx/Clv), imipenem plus cilastatin
(Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).
X.
-
MONITORING DAN EVALUASI
Pemeriksaan apusan dan biakan dahak dilakukan setiap bulan pada tahap awal
dan setiap 2 bulan sekali pada tahap lanjutan.
-
Pemantauan terhadap munculnya efek samping obat. Pemantauan efek samping
obat dilakukansetiap hari oleh PMO selama mendampingi pasien menelan obat.
-
Pemantauan berat badan dan keluhan atau gejala klinis. Pemantauan dilakukan
setiap bulan oleh dokter di fasyankes TB MDR.
-
Foto toraks dilakukan setiap 6 bulan atau bila terjadi komplikasi (batuk darah
masif, kecurigaan pneumotoraks, dll).
-
Kreatinin serum dan kalium serum dilakukan setiap bulan selama mendapat
obat suntikan. - Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dilakukan pada bulan ke 6
pengobatan dan diulangi setiap 6 bulan atau bila muncul gejala hipotiroidisme.
-
Enzim hati (SGOT, SGPT) dilakukan setiap 3 bulan atau bila timbul gejala
drug induced hepatitis (DIH).
-
Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi.
KASUS
Seorang pria berusia 43 tahun dengan berat badan 50 kg datang ke klinik paru
dengan keluhan batuk produktif yang persisten. Pasien juga mengeluh nyeri
daerah perut, malaise, mual, penurunan nafsu makan, dan agak kuning sejak tiga
hari yang lalu.
Riwayat penyakit dahulu
Tuberkulosis baru terdiagnosis baru 1 bulan yang lalu
Diabetes tipe 2 sudah 4 tahun —terkontrol dengan baik
Hipertensi sudah 5 tahun —terkontrol
Riwayat sosial
Lahir dan besar di kota Banten hingga saat ini, tidak minum minuman keras,
memiliki usaha bisnis di provinsi Papua dan sering melakukan perjalanan ke
Papua
Riwayat pengobatan
KDT isoniazid/rifampisin/pirazinamid/etambutol 1 x 4 tab PO sudah satu bulan
Lisinopril 1 x 20 mg PO
Amlodipin 1 x 5 mg PO
Metformin 3 x 500 mg PO
Pasien melaporkan bahwa pasien telah berusaha untuk patuh dengan terapinya dan
meminumnya secara teratur kecuali ketika pasien tidak dapat memperoleh tebusan
ulang obatnya
Selama 2 bulan terakhir, pasien hanya menjalani 1-2 hari tanpa obat.
Hasil pemeriksaan fisik
TD 130/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 24 kali/menit, suhu 38oC
Hasil pemeriksaan laboratorium
BTA
(+)
Leukosit
12.000 sel/mm3leukositmeningkat
AST
160 U/L
ALT
170 U/L (meningkat 5X lipat)
ALP
82 U/L normal
GGT
15 U/L normal
GDP
120 mg/dLnormal
G2JPP
170 mg/dL normal
HbA1c
6.5% (prediabetes)
Lain-lain
dalam batas normal
Asesmen dokter
Tuberkulosis kategori I
Pertanyaan
1. Sebutkan tanda dan/atau gejala tuberkulosis pada kasus tersebut!
Batuk produktif yang persisten, malaise, penurunan nafsu makan, berat badan
turun
2. Sebutkan faktor risiko tuberkulosis pada pasien pada kasus tersebut!
Berat badan rendah (imunitas rendah), sering berkunjung di Papua yang
merupakan daerah dengan risiko tinggi TB, diabetes.
3. Sebutkan target/sasaran terapi pasien pada kasus di atas!
- Sembuhkan pasien TB, mengurangi penularan TB ke orang lain,
mencegah perkembangan resistensi obat yang digunakan, mencegah
kekambuhan, mencegah kematian akibat TB atau komplikasinya
- Menjaga tekanan darah agar tetap terkontrol
- Menjaga agar kadar gula tetap terkontrol, agar imunintas tetap terjaga
4. Lakukan asesmen drug-related problems menggunakan tabel bantu asesmen
di bawah ini!
Masalah
medik
Pasien
mengalami
tuberchulosis
kategori 1, dan
menjalani
terapi
hipertensi dan
diabetes
militus
Terapi saat ini
S, O
KDT
S:
isoniazid/rifampisin
/pirazinamid/etamb
utol 1 x 4 tab PO
sudah satu bulan
Lisinopril 1 x 20
mg PO
Amlodipin 1 x 5
mg PO
-
Metformin 3 x 500
mg PO
O:
-
-
A
Pasien
positif
Tuberculosis,
Pasien juga
pasien mengalami
mengeluh nyeri
efek
samping
daerah perut,
hepatitis
imbas
malaise, mual,
obat
dari
penurunan nafsu
penggunaan
makan, dan agak
antibiotik
kuning sejak tiga
isoniazid,
hari yang lalu
rifampisin,
dan
pirazinamid.
Selama 2 bulan
terakhir,
pasien
Terjadi interaksi
hanya menjalani 1obat
antara
2 hari tanpa obat
metformin
dan
lisinopril, glukosa
TD 130/80 mmHg, darah normal jika
nadi 80 kali/menit, terapi dilanjutkan
RR 24 kali/menit, dikhawatirkan
hypoglikemik
suhu 38oC
BTA + ( pada
dewasa positif TB)
-
-
Leukosit
12.000
3
sel/mm
ALT 170 U/L
(indikasi hepatitis)
Hba1C 6.5%
Pada pasien timbul efek samping dari penggunaan terapi
isoniazid/rifampisin/pirazinamid, yang ditandai dengan timbulnya gejala
nyeri daerah perut, malaise, mual, penurunan nafsu makan, dan agak
kuning sejak tiga hari yang lalu. Jundiance (kuning pada kuku, mata, dan
kulit) didukung dengan hasil Laboraturium yang menunjukkan
peningkatan ALT 5X liPat dari ambang batas normal yang menandakan
adanya kerusakan pada sel hati (hepatitis).
Metformin dengan lisinopril, dapat menurunkan kadar gula darah puasa
Isoniazid dapat mempersulit pengendalian kadar gula darah
5. Buat rencana rekomendasi penyelesaian drug-related problemspada kasus
tersebut!
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (Rifampisin, Isoniazid dan
Pirazinamid). Setelah itu, monitor gejala klinik dan hasil laboratorium.
Bila gejala klinik dan hasil laboratorium kembali normal (bilirubin,
SGOT, SGPT), maka tambahkan isoniazid secara perlahan (desensitisasi)
sampai dengan dosis penuh (300 mg). Lakukan pemantauan ketat terhadap
gejala klinik dan periksa hasil laboratorium saat menggunakan isoniazid
dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obat menjadi RHES
- Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi
- Panduan Obat anti tuberkulosis yang dianjurkan / rekomendasi WHO
untuk pasien yang berpotensi atau terbukti mengalami gangguan fungsi
hati meliputi: 2 bulan fase intensif dengan pemberian obat Streptomisin,
Isoniazid, Rifampisin dan Etambutol dan dilanjutkan dengan fase lanjutan
selama 6 bulan dengan pemberian Rifampisin atau Isoniazid (2 SHRE/6
RH) . Atau dapat diberikan dengan regimen 2 bulan fase intensif dengan
pemberian Streptomisin, Isoniazid dan Etambutol dilanjutkan dengan fase
lanjutan selama 10 bulan dengan pemberian Isoniazid dan Etambutol (2
SHE/10 HE).
- Jika hasil laboratorium tidak kembali normal, diberikan terapi antibiotik
ethambutol 15mg/kg BB, streptomycin 15 mg/kgBB, moxifoaxacin
10mg/kg BB selama 18 bulan (konsultasikan dengan pasien)
6. Sebutkan materi edukasi yang harus disampaikan kepada pasien atau
keluarganya pada kasus tersebut!
- Ambil tablet mereka sesuai resep
- Laporkan efek samping ke pendukung perawatan atau perawat klinik
- Kembali ke klinik untuk kunjungan terjadwal
- Bawa spesimen dahak ke klinik untuk pengujian pada waktu yang
diperlukan
- Berikan umpan balik kepada tim jika ada masalah yang mereka alami
- Beri tahu pendukung perawatan dan staf klinik jika mereka pergi dan
membuat rencana untuk minum obat sementara pergi
- Bertanggung jawab untuk menyelesaikan perawatan mereka
7. Sebutkan parameter-parameter efektivitas dan efek samping yang harus
dipantau dari terapi untuk pasien menggunakan tabel bantu di bawah ini!
Efektivitas
Efek samping
Obat
Kondisi klinik
TTV dan lab
Kondisi klinik
TTV dan lab
ALT 5-60 IU/L
AST 5-43 IU/L
ALP
30-115
IU/L
Total Bilirubin
0,2-1,5 mg/dL
Bilirubin
langsung 0,000,03 mg/dL
Albumin 3,95,0 g/dL
Total Protein
6,5-8,2 g/dL
ALT 5-60 IU/L
AST 5-43 IU/L
ALP
30-115
IU/L
Total Bilirubin
0,2-1,5 mg/dL
Bilirubin
langsung 0,000,03 mg/dL
Albumin 3,95,0 g/dL
Antituberkulosis
BTA
Gangguan fungsi hati,
Neuropati
perifer,
Mual, Muntah, Sakit
maag, Nafsu makan
hilang, Pusing, Bicara
cadel,
Refleks
berlebih,
Kejang,
Anemia,
Trombositopenia,
Agranulositosis,
Memicu
timbulnya
lupus
Rifampicin Antituberkulosis
BTA
Gangguan fungsi hati,
Ruam kulit, Nyeri ulu
hati, Mual, Muntah,
Nafsu makan turun,
Diare.
Isoniazid
Etambutol
Antituberkulosis
Metformin
Gula
terkontrol
Lisinopril
Tekanan
terkontrol
Amlodipin
Tekanan
terkontrol
Nyeri perut, Nafsu
makan
turun,
Gangguan fungsi hati,
Mual,
Muntah,
Lemas, Demam, Sakit
kepala,
Delirium,
Gangguan
penglihatan,
Gangguan
saraf,
Gatal,
Ruam,
Anafilaksis,
Penyakit asam urat
BTA
darah GDP <100 mg/L Mual dan muntah,
Penurunan
nafsu
HbA1c < 6%
makan,
Rasa logam
dalam mulut, Sakit
perut, Batuk dan suara
serak, Diare, Nyeri
otot dan kram, Lemas
dan mengantuk
darah Tekanan darah < Pusing, Sakit kepala,
Tekanan
darah
140/90 mmHg
rendah,
Batuk,
Kelelahan,
Ruam
kulit, Nyeri dada,
Mual atau muntah,
Diare, Hiperkalemia,
Penyakit
ginjal,
Pembengkakan
di
bagian wajah, bibir,
tenggorokan,
atau
usus (angioedema)
darah Tekanan darah < Merasa lelah, Pusing,
Mual, Pembengkakan
140/90 mmHg
tungkai,
Jantung
berdebar
***
Total Protein
6,5-8,2 g/dL
ALT 5-60 IU/L
AST 5-43 IU/L
ALP
30-115
IU/L
Total Bilirubin
0,2-1,5 mg/dL
Bilirubin
langsung 0,000,03 mg/dL
Albumin 3,95,0 g/dL
Total Protein
6,5-8,2 g/dL
-
Jumlah kalium
dalam
darah
3,5-5,0
mmol//L.
GFR, Kreatinin
darah, BUN,
Tes urine
-
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society, 2000, Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children, American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine, 161(4), 1376–1395. doi:10.1164/ajrccm.161.4.16141
Cole, S. T., Brosch, R., Parkhill, J., Garnier, T., Churcher, C., Harris, D., Gordon,
S.V., Eiglmeier, K., Gas, S., Barry, C. E., Tekaia, F., Badcock, K., Basham,
D., Brown, D., Chillingworth, T., Connor, R., Davies, R., Devlin, K.,
Feltwell, T., Gentles, S., Hamlin, N., Holroyd, S., Hornsby, T., Jagels, K.,
Krogh, A., McLean, J., Moule, S., Murphy, L., Oliver, K., Osborne, J., Quail,
M. A., Rajandream, M.- A., Rogers, J., Rutter, S., Seeger, K., Skelton, J.,
Squares, R., Squares, S., Sulston, J. E., Taylor, K., Whitehead, S., Barrell, B.
G., 1998, Deciphering the Biology of Mycobacterium tuberculosis from The
Complete Genome Sequence, Nature, 393: 537–544.
Dipiro, et. al, 2015, Pharmacotherapy Handbook 9th edition, McGraw-Hill
education, United states,
CDC, 2013, Core Curriculum on Tuberculosis: What the Clinician Should Know,
central desease center, United states
Hoagland, D.T., Liu, J., Lee, R.B. & Lee., R.E., 2016, New Agents for the
Treatment of DrugResistant Mycobacterium tuberculosis, Advanced Drug
Delivery Reviews, 102, 55–72.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Petunjuk Teknis Manajemen
Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat, Kemenkes RI, Jakarta.
Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia,
2011,
Pedoman
Nasional
Pedoman
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Kemenkes RI, Jakarta
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia,
2007,
Penanggulangan Tuberkulosis, Kemenkes RI, Jakarta.
Ma, Z., Ginsberg, A.M. & Spigelman, 2007, Antimycobacterium Agents, Global
Alliance for TB Drug Development, New York, USA.
Mitchison, D., 2005, Antimicrobial Therapy of Tuberculosis: Justification for
Currently Recommended Treatment Regimens, Semin Respir Crit Care Med,
25, 307-315.
World Health Organization, 2010, Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th Ed.
World Health Organization, 2011, Guidelines for Intensified Tuberculosis CaseFinding and Isoniazid Preventive Therapy for People Living with HIV in
Resource
Constrained
Settings,
http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241500708_eng.pdf?ua=1,
23 Oktober 2019.
Download