Lazarus (1991a, b) mengusulkan sebuah klasifikasi antara emosi yang tidak sama dengan tujuan (goal-incongruent emotions), yang menghalangi pencapaian tujuan-tujuan pribadi, dan emosi yang sama dengan tujuan (goal-incongruent emotions), yang memudahkan pencapaian tujuan-tujuan pribadi: Emosi yang tidak sama dengan tujuan biasanya negatif (berkaitan dengan afek negatif), sementara emosi yang sama dengan tujuan biasanya positif. Klasifikasi emosi ini konsisten dengan pendekatan terkini pada motivasi dimana tujuan menjadi titik pusat (Locke & Latham, 1990). Di dalam kerangka ini, emosi-emosi yang terlibat dalam perilaku-perilaku berorientasi tujuan menjadi topik yang paling menarik menurut perspektif motivasional. Frasa “emosi negatif” (biasanya dipakai oleh psikolog dan disebut dalam judul bab ini) adalah sebuah oxymoron1. Apabila emosi terbentuk guna menjaga kelangsungan hidup kita, sebagaimana kita telah mempercayainya, maka emosi tidak mungkin bersifat negatif. Saya menyertakan kata ‘negatif’ ke dalam judul karena para penulis sering menganggap emosi sebagai negatif. Saat kami memakai istilah emosi negatif, apa yang sebenarnya kami maksud adalah emosi tersebut menghasilkan afek negatif. Kami tidak mengatakan kalau emosi tersebut adalah sesuatu yang harus dihindari. Sangatlah penting untuk membedakan antara perasaan dan emosi karena meskipun kita mungkin tidak menyukai sebuah perasaan tertentu, perasaan tersebut mungkin tetap menjadi sarana terbaik bagi kita untuk mengetahui kondisi emosional. Saya mungkin rentan terhadap serangan jantung. Namun demikian, apabila saya mendengarkan perasaaan saya, saya dapat belajar mencegah dan terhindar dari serangan jantung tersebut. Dalam menghadapi perasaan negatif, kita terbiasa untuk mengabaikannya dan, saat mereka muncul, kita mengalihkan perhatian kita dengan cara memasang wajah bahagia. Meskipun tehnik ini memiliki keuntungan tersendiri, tetap saja ada bahayanya. Di bab ini, saya akan menunjukkan bahwa meskipun beberapa emosi terasa tak menyenangkan walau sementara dan mengganggu perilaku pencapaian tujuan, mereka masih perlu didengar. Perasaan merupakan suara emosi kita dan juga “suara gen kita” (Buck, 1999). Semakin baik kita dalam mendengarkan mereka, semakin tinggi peluang kita dalam bertahan hidup. Ketakutan dan Kecemasan Apakah ada perbedaan antara ketakutan dan kecemasan? Sejumlah pakar menyebut keduanya sama (lzard & Tomkins, 1966; Rosen & Schulkin, 1998); sementara lainnya menganggap 1 Penggunaan dua kata atau lebih yang sesungguhnya memiliki arti-arti berlawanan secara bersamaan, namun justru membentuk kata baru yang bermakna lebih baru serta mendalam (contoh: rahasia umum). bahwa keduanya cukup berbeda karena melibatkan struktur-struktur otak yang berbeda-beda. Konsensus tampaknya memandang keduanya sebagai dua hal yang berbeda, sehingga kita mengikuti pandangan tersebut. Penelitian terkini menunjukkan bahwa ketakutan dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah sistem emosional yang sensitif terhadap isyarat, baik yang ditinggalkan maupun dipelajari, yang menandakan hukuman fisik (rasa sakit). Sebaliknya, kecemasan dapat dipahami sebagai sebuah sistem emosional yang sesuai dengan situasi-situasi yang ditandai oleh ketidakpastian, perbandingan sosial, kegagalan pribadi, serta evaluasi negatif atas kekayaan pribadi. Menurut pembedaan ini, ketakutan muncul guna menjamin kelangsungan hidup fisik sesegera mungkin sementara kecemasan muncul guna menjamin kelangsungan hidup sosial (White & Depue, 1999). Sebagaimana telah disinggung di bab sebelumnya, para psikolog telah memandang manusia sebagai mahluk sosial. Gagasan ini berasal dari sebuah analisis revolusioner yang berpendapat bahwa kelangsungan hidup nenek moyang kita bergantung pada kesesuaiannya dengan kebutuhan kelompok. Individu yang tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok dapat mengancam kelangsungan hidup kelompok sehingga kemungkinan akan diasingkan- sebuah tindakan yang seringnya bermakna kematian. Seiring berjalannya waktu, tekanan-tekanan evolusioner memunculkan kapasitas dalam diri manusia untuk dapat sensitif terhadap stimulus evaluatif sosial. Individu yang memiliki kapasitas semacam itu akan memperoleh dukungan materiil dan sosial dari kelompok. Menurut konseptualisasi ini, kecemasan adalah sebuah emosi negatif yang memperingatkan kita mengenai situasi-situasi yang berpotensi sebagai ancaman. Selain itu, ia (1) membantu kita fokus pada stimulus evaluatif sosial dan (2) mengaktifkan sirkuit bergema (reverberating circuits) yang memunculkan pemikiran ruminatif. Sirkuit bergema mengacu pada fenomena bahwa sekali sebuah sirkuit (otak) neurologis telah diaktifkan, maka ia cenderung terus aktif meskipun stimulus yang mengaktifkannya telah hilang hingga waktu tertentu. Dalam konteks ini, pemikiran ruminatif mengacu ke memikirkan cara-cara untuk mencegah penolakan atau pengucilan sosial (White & Depue,1999). Kita nanti akan membahas peran ruminasi/pengulangan pikiran dalam depresi dan kecemasan. Namun untuk saat ini, anda cukup menyadari bahwa kata ruminasi (yang mana juga bisa berarti memamah biak) mengacu ke analisis berlebihan atas tindakan kita. Kecemasan bawaan (trait anxiety) tampaknya termasuk di dalam sebuah kontinum/rangkaian, sehingga para individu yang kecemasan bawaannya tinggi dapat dipandang sebagai individu yang ‘terlalu’ sensitif sementara individu yang kecemasan bawaannya rendah dapat dipandang sebagai “kurang” sensitif. Salah satu problem bagi individu dengan kecemasan bawaan tinggi adalah meskipun mereka tidak berada di dalam sebuah situasi sosial, mereka cenderung terlibat dalam pemikiran ruminatif. Pendeknya, mereka kurang lebih terus memikirkan situasi-situasi dimana... Format halaman teks terjemahan jadi Ukuran Kertas: A4 Huruf: Times New Roman Ukuran Huruf: 12 cm Spasi: 1,5 cm Margin (keempat sisi): 2,54 cm