TUGAS KELOMPOK Mata Kuliah :Boimetri & Epidemiologi Gizi Lanjut Dosen : Prof. Dr.drg. Andi Zulkifli, M.Kes SURVEILANS GIZI BURUK Oleh: SUGIRAH NOUR RAHMAN (P1803215013) ASRIANY TUNRU (P1803215014) DEPARTEMEN GIZI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 BAB I PENDAHULAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut WHO, Surveilans adalah kegiatan pengamatan berkelanjutan melalui proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi serta penyebarluasan informasi kepada unit yang membutuhkan untuk tindakan.Surveilens merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit dan masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang memperbesar risiko terjadinya peningkatan dan penularan penyakit serta masalahmasalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Surveilens adalah kegiatan perhatian yang terus menerus pada distribusi dan kecenderungan penyakit melalui sistematika pengumpulan data, konsolidasi, dan evaluasi laporan morbiditas serta mortalitas juga data lain yang sesuai, kemudian disebarkan kepada mereka yang ingin tahu (a) Pengumpulan data yang sistematik, (b) Konsolidasi dan evaluasi data, (c) Diseminasi awal pada mereka yg butuh informasi, terutama mereka yang berposisi pengambil keputusan. (Langmuir, 1963). Surveilens berfungsi sebagai otak dan sistem saraf untuk program pencegahan dan pemberantasan penyakit. (D.A. Henderson, 1976). Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) dan Undangundang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sekaligus investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi dan pendidikan, serta berperan penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Oleh karenanya, pembangunan kesehatan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja namun merupakan tanggung jawab bersama dengan masyarakat termasuk swasta. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang tidak baik . Di samping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas . Anak yangkekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhandan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30% . Masalah gizi di Indonesia terutama Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah kesehatan anak yang menjadi problem khusus. Angka kejadian tertinggi terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun (Anonim, Kompas, Mei 2005). KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 sekitar 5 juta anak balita menderita gizi kurang (berat badan menurut umur), 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat. Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita pada tahun 2007 yang diukur berdasarkan BB/U adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Prevalensi nasional untuk gizi buruk dan kurang adalah 18,4%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk Indonesia sebesar 18,5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi. Sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (26,5%), Sumatera Utara (22,7%), Sumatera Barat (20,2%), Riau (21,4%), Jambi (18,9%), Nusa Tenggara Barat (24,8%), Nusa Tenggara Timur (33,6), Kalimantan Barat (22,5%), Kalimantan Tengah (24,2%), Kalimantan Selatan (26,6%), Kalimantan Timur (19,2%), Sulawesi Tengah (27,6%), Sulawesi Tenggara (22,7%), Gorontalo (25,4%), Sulawesi Barat (16,4%), Maluku (27,8%), Maluku Utara (22,8%), Papua Barat (23,2%)dan Papua (21,2). Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita tertinggi berturut-turut adalah Aceh Tenggara (48,7%), Rote Ndao (40,8%), Kepulauan Aru (40,2%), Timor Tengah Selatan (40,2%), Simeulue (39,7%), Aceh Barat Daya (39,1%), Mamuju Utara (39,1%), Tapanuli Utara (38,3%), Kupang (38,0%), dan Buru (37,6%). Sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita terendah adalah Kota Tomohon (4,8%), Minahasa (6,0%), Kota Madiun (6,8%), Gianyar (6,8%), Tabanan (7,1%), Bantul (7,4%), Badung (7,5%), Kota Magelang (8,2%), Kota Jakarta Selatan (8,3%), dan Bondowoso (8,7%). Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 25,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Sulawesi Selatan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi tinggi. Diantara 24 kabupaten/kota, terdapat tiga kabupaten/kota termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Bone, Pangkep dan Bantaeng. Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada balita, KEP timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian kepala keluarga.. Marasmus sering dijumpai pada anak < 1 tahun, di daerah urban, sedangkan kwasiorkor sering dijumpai pada usia > 2 tahun di daerah yang kumuh dan padat penduduk.( Abbott, R. A, 2009) KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya pengetahuan dibidang gizi. (Grover, Z. and L. C. Ee, 2009). Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD–3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated malnutrition) (Grover, Z. and L. C. Ee 2009). BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengertian Gizi Buruk Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan keduaduanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada dibawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency,2005). Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut (Pardede, J, 2006). 2.2 Pengukuran Gizi Buruk Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain: Pengukuran klinis : metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita tersebut gizi buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh perubahanperubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, rambut, atau mata. Misalnya pada balita marasmus kulit akan menjadi keriput sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk bercak-bercak putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis). Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa macam pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya (Dewi,2012). 2.3 Klasifikasi Gizi Buruk Terdapat 3 tipe gizi buruk yaitu marasmus, kwarshiorkor, dan marasmuskwarshiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda. Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000): Anak tampak sangat kurus, tinggal terbungkus kulit Wajah seperti orang tua Cengeng, rewel Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada Sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta penyakit kronik Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam Wajah membulat dan sembab Pandangan mata anak sayu Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tandatanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000). 2.4 Etiologi Gizi Buruk Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. Siti Fadilah menyebutkan ada tiga hal yang saling kait-mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit. PENYEBAB MASALAH GIZI STATUS GIZI ASUPAN GIZI Ketersediaan Pangan tingkat Rumah Tangga INFEKSI PENYAKIT Perilaku/asuhan Ibu dan Anak Pelayanan kesehatan KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIANAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA KRISIS POLITIK DAN EKONOMI Penyebab LANGSUNG Penyebab TAK LANGSUNG Masalah UTAMA Masalah DASAR UNICEF dalam Soekirman (2002) juga telah memperkenalkan dan sudah digunakan secara internasional mengenai berbagai faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada balita, yaitu : 1. Penyebab langsung : makanan tidak seimbang untuk anak dan penyakit infeksi yang mungkin di derita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi diserang diare atau infeksi, nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita, gizi kurang. Sebaliknya, anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuh melemah, mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih, dan berperilaku hidup bersih dan sehat akan menentukan tingginya kejadian penyakit infeksi. 2. Penyebab tidak langsung : Pertama, ketahanan pangan dalam keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan untuk seluruh anggota keluarga baik dalam jumlah maupun dalam komposisi zat gizinya. Kedua, pola pengasuhan anak, berupa perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan makan, merawat, kebersihan, pemberian kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan kesehatan ibu (fisik dan mental), status gizi, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, adat kebiasaan dan sebagainya dari si ibu dan pengasuh lainnya. Ketiga, faktor pelayanan kesehatan yang baik, seperti; imunisasi, penimbangan anak, pendidikan dan kesehatan gizi, serta pelayanan posyandu, puskesmas, praktik bidan, dokter dan rumah sakit. Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005). Bagan I Penyebab Gizi Buruk 2.5 Kriteria Anak Gizi Buruk 1) Gizi Buruk Tanpa Komplikasi a. BB/TB: < -3 SD dan atau; b. Terlihat sangat kurus dan atau; c. Adanya Edema dan atau; d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan 2) Gizi Buruk dengan Komplikasi Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda komplikasi medis berikut: a. Anoreksia b. Pneumonia berat c. Anemia berat d. Dehidrasi berat e. Demam sangat tinggi f. Penurunan kesadaran 2.6 Klasifikasi Status Gizi Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah menurut Kepmenkes RI No:1995/MENKES/SK/XII/2010. Untuk menentukan klasifikasi status gizi diperlukan ada batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini disetiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di Negara tersebut, berdasarkan data empiris dan keadaan klinis. Klasifikasi menurut No:1995/MENKES/SK/XII/2010 adalah sebagai berikut: Kepmenkes RI 2.7 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Menurut laporan Surveilans epidemiolodi gizi buruk diwilayah provinsi NTT dan NTB yang ditulis oleh Andi Zulkifli, adapun program-program upaya penanggulangan masalah gizi buruk dapat dilakukan baik ditingkat pusat (pemerintah) maupun tingkat daerah antara lain: Peningkatan cakupan deteksi gizi buruk melalui penimbangan balita di posyandu dan puskesmas Program pola asuh gizi Peningkatan suplementasi gizi pada anak Meningkatkan jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di rumah tangga, puskesmas dan rumah saskit Pembentukan keluarga sadar gizi Promosi pemberian ASI ekslusif Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) Pemberian makanan tambahan (PMT) Pemberian Suplementassi vitamin A dan zat besi Pendampingan keluarga Program Keluarga Sadar Gizi BAB III LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN SURVEILANS Kegiatan surveilans gizi dimulai dengan pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, diseminasi informasi dan tindak lanjut/ respon. 3.1 Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Laporan Rutin Puskesmas Pengumpulan data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat di Kabupaten/Kota antara lain meliputi pembinaan pencatatan dan pelaporan serta melakukan rekapitulasi hasil kegiatan di Puskesmas/Kecamatan. Dalam pelaksanaan pengumpulan data, bila ada puskesmas yang tidak melapor atau melapor tidak tepat waktu, data laporan tidak lengkap dan atau laporan tidak akurat maka pengelola kegiatan gizi diharuskan melakukan pembinaan secara aktif untuk melengkapi data. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui telepon, Short Message Service (SMS) atau kunjungan langsung ke puskesmas. 2. Pengumpulan Laporan Kasus Gizi Buruk Selain merekap data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dari Puskesmas, pengelola kegiatan gizi juga perlu melakukan kompilasi laporan kasus gizi buruk yang dirawat di RS atau informasi dari masyarakat dan media. Bila ada laporan kasus gizi buruk dari masyarakat atau media, pengelola gizi perlu melakukan klarifi kasi ke puskesmas mengenai laporan/informasi tersebut untuk melakukan konfi rmasi status gizinya. Klarifikasi laporan kasus gizi buruk dapat dilakukan melalui telepon dan sms. Bila hasil konfi rmasi ternyata balita tersebut benar gizi buruk (BB/PB atau BB/TB <-3 SD dengan atau tanpa gejala klinis) maka perlu dilakukan pelacakan atau penyelidikan kasus. Pelacakan kasus meliputi waktu kejadiannya, tempat/lokasi kejadian dan identitas orangnya termasuk umur,jenis kelamin dan penyebab terjadinya kasus gizi buruk. Pelacakan kasus gizi buruk dilakukan apabila: a. Kasus gizi buruk belum mendapatkan penanganan. b. Kasus gizi buruk terkonsentrasi pada satu wilayah. c. Dicurigai kemungkinan adanya rawan pangan. Keluaran yang diharapkan dari langkah pengumpulan data adalah adanya rekapitulasi laporan terkait dengan jumlah puskesmas yang melapor, ketepatan waktu, kelengkapan dan kebenaran data yang dilaporkan. 3.2 Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data Pengolahan, analisis dan penyajian data di Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan hasil rekapitulasi laporan kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dari puskesmas. Kegiatan ini dilakukan oleh pengelola gizi setiap bulan 1. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dapat dilakukan secara manual maupun komputerisasi. Hasil pengolahan berupa cakupan masingmasing indikator Pembinaan Gizi Masyarakat, sedangkan analisis data dilakukan dengan; 1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang data cakupan kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Tujuannya adalah untuk menetapkan daerah prioritas untuk pembinaan wilayah dan menentukan kecenderungan antar waktu. a. Menetapkan daerah prioritas untuk pembinaan wilayah Analisis deskriptif untuk membandingkan antar wilayah dilakukan dengan membandingkan hasil cakupan antar wilayah dengan target yang harus dicapai. Wilayah yang cakupannya rendah harus mendapat prioritas pembinaan. b. Membandingkan Kecenderungan antar Waktu Analisis deskriptif untuk membandingkan kecenderungan antar waktu di suatu wilayah dilakukan dengan membandingkan hasil cakupan dalam satu periode waktu tertentu dengan target yang harus dicapai. 1.2 Analisis Analitik Analisa analitik dimaksudkan untuk memberikan gambaran hubungan antar 2 (dua) atau lebih indicator yang saling terkait, baik antar indikator gizi maupun indikator gizi dengan indikator program terkait lainnya. Tujuan analisis ini antara lain untuk menentukan upaya yang harus dilakukan bila terdapat kesenjangan cakupan antara dua indicator. 2.Penyajian Data Hasil pengolahan dan analisis data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dapat disajikan dalam bentuk narasi, tabulasi, grafik dan peta. BAB IV MEKANISME PENCATATAN & PELAPORAN Pencatatan dan pelaporan bertujuan untuk mencatat dan melaporkan hasil pelaksanaan surveilans gizi secara berjenjang.Pengelola kegiatan gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merekap laporan pelaksanaan surveilans gizi dari Puskesmas/Kecamatan, rumah sakit dan masyarakat/media kemudian melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 4.1 . Jenis dan Frekuensi Pelaporan 1. Laporan kejadian kasus gizi buruk disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat dalam waktu 1 x 24 jam dengan menggunakan formulir laporan KLB Giz. Sedangkan pelaporan hasil pelacakan kasus gizi buruk dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam. 2. Laporan rekapitulasi hasil pemantauan pertumbuhan balita (D/S), kasus gizi buruk disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat setiap bulan. 4.2 Alur Pelaporan dan Umpan Balik BAB V INDIKATOR KEBERHASILAN Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan surveilans gizi di Kabupaten/Kota perlu ditetapkan indikator atau parameter objektif yang dapat dipahami dan diterima oleh semua pihak. Dengan menggunakan indikator tersebut diharapkan dapat Kabupaten/Kota, diketahui keberhasilan kegiatan surveilans gizi di dapat pula digunakan untuk membandingkan keberhasilan kegiatan surveilans gizi antar Kabupaten/Kota di Propinsi yang sama. Penentuan indikator keberhasilan kegiatan surveilans gizi didasarkan pada : A. Indikator Input a. Adanya tenaga khusus pengelola data gizi di Kabupaten/Kota. b. Tersedianya biaya operasional surveilans gizi di Kabupaten/Kota. c. Tersedianya sarana dan prasarana pengolahan data di Kabupaten/Kota B. Indikator proses a. Persentase ketepatan waktu laporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan b. Persentase kelengkapan laporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan c. Dilakukannya umpan balik hasil kegiatan pembinaan gizi ke puskesmas sesuai dengan frekuensi pelaporan. d. Dilaksanakannya pertemuan diseminasi informasi hasil surveilans gizi lintas program dan lintas sektor secara berkala. e. Adanya tindak lanjut hasil pertemuan berkala, yang dilakukan oleh program dan sektor terkait. C. Indikator Output a. Tersedianya informasi gizi buruk yang ditangani/dirawat b. Tersedianya informasi cakupan pemantauan pertumbuhan (D/S) DAFTAR PUSTAKA Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali. Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1, Januari 2010 Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA (http://books.google.co.id/book) Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Soekirman. 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta : Akademi Gizi. UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5 and is widespread in Asia and Africa (Online), (http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara. Wayan, Sujana. 2011. Kekurangan Energi Protein (KEP), (Online) (http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/)