Artikel Pluralisme

advertisement
ANTARA PLURALISME HUKUM DAN PANCASILA: MENYIKAPI
PLURLITAS HUKUM DI INDONESIA
Sa’diyah (186010100111003)
Pendahuluan
Dalam ranah hukum dan kemasyarakatan (socio-legal studies), Pengertian pluralisme
hukum pada masa awal sangat berbeda dengan masa sekarang. Pada masa awal
pluralisme hukum diartikan sebagai ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum dalam
lapangan sosial tertentu yang dikaji. Dalam hal ini para ahli “sekedar” melakukan
pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam lapangan kajian tertentu (mapping of
legal universe). Paradigma baru dalam pluralisme hukum sangat berkaitan dengan
fenomena globalisasi, di mana hukum dari berbagai level bergerak memasuki wilayahwilayah yang tanpa batas, dan terjadi persentuhan dan adopsi yang kuat di antara hukum
internasional, transnasional, nasional dan lokal. Dalam keadaan ini tidak mungkin lagi
dapat dibuat suatu pemetaan seolah-olah hukum tertentu (internasional, nasional, lokal)
merupakan entitas yang jelas dengan garis-garis batas yang tegas dan terpisah dari sistem
hukum yang lain. Lalu pertanyaannya apakah yang harus dilakukan untuk menyikapinya?
Untuk menjawab itu penulis akan memulai dengan memaparkan secara singkat sejarah
perkembangan pluralisme hukum.
1. Pluralisme Hukum pada Masa Awal
Pluralisme pada masa ini diartikan sebagai a situation in which two or more legal
systems coexist in the same social field1, sedangkan john Griffith2 mendefinisikannya
sebagai adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu ranah sosial. Pada fase ini para
ahli hanya melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam
bidang sosial tertentu. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati
bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan
sehari-hari. Artinya, dalam konteks apakah orang memilih aturan hukum tertentu, dan
dalam konteks apa ia memilih aturan hukum lain atau kombinasi dari beberapa aturan
hukum, dalam kehidupan sehari-hari atau penyelesaian sengketa.3
Selanjutnya Griffith membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu weak
legal pluralism dan strong legal pluralism.4 Weak legal pluralism mengakui adanya
keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara
apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara),
dengan servient law yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.
Sedangkan strong legal pluralism adalah adanya kemajemukan tatanan hukum yang
terdapat di semua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang
sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan
sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain, semuanya dipakai dan sama kuatnya.
Menurut Tamanaha sebenarnya konsep pluralisme hukum bukanlah hal yang baru,
1
Sulistyowati Indro, Pluralisme hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam Hukum dan Kemajemukan
Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 67
2 I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran konsep Pluralisme Hukum, Makalah untuk dipersentasekan
dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan kekayaan Alam di Indonesia yang sedang
berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai jawaban”, Hotel Santika jakarta, 11- 12 oktober, h. 10
3 Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum dan Tantangannya Bagi Pembentukan Sistem Hukum Nasional,
(Makasar: FH Universitas Hasanuddin, 2007), h.1
4 Sulistyowati Indro, Pluralisme hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam Hukum dan Kemajemukan
Budaya,... h. 67
1
karena Eugene Ehrlich telah membicarakan hal yang sama sejak lama, ketika ia berbicara
mengenai konsep living law(folk law/hukum adat) yang menurtnya tidak diturunkan dari
negara.5 Namun pada masa ini terlihat jelas adanya dikotomi anatar sistem hukum negara
dan sitem hukum diluar negara seperti sistem hukum kebiasaan, hukum agama, dan
hukum adat.
2. Perkembangan pada 1990
Aliran pluralisme hukum pada masa ini mengalami perkembangan dengan tidak lagi
mendikotomikan sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang
lain, yang mana menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan
sistem hukum rakyat disisi lain akibat datangnya sejumlah kritikan, seperti dari
Tamahana6yang mengatakan bahwa pandangan kaum legal pluralist cenderung
menonjolkan adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat. Pada tahap ini
konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “a variety of interacting, competing
normative orders –each mutually influencing the emergence and operation of each
other’s rules, processes and institutions”. Pada masa ini kajian lebih ditekankan bahwa
tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat
keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung
dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut
saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari
sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian
tertentu.
Pemikiran di atas sekaligus juga menunjukkan segi-segi metodologis, yaitu cara
bagaimana melakukan kajian terhadap keberagaman system hukum dalam suatu lapangan
kajian tertentu.Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah, suatu “adagium” yang
hidup di ranah Minagkabau, menunjukkan adanya interaksi yang sangat erat antara
hukum adat dan hukum agama,7 hal ini dibuktikan dengan 80 % putusan hakim
pengadilan negeri di Sumatera Barat berisi hukum adat, menunjukkan bahwa telah terjadi
saling pengaruh di antara hukum Negara dan hukum adat.
Pada tahap akhir masa ini 1990-an kajiannya juga dikaitkan dengan tataran individu
yang menjadi subyek dari pluralisme hukum tersebut. Menurut penulis.
munculnya pendekatan yang tidak mendasarkan diri semata pada mapping of the legal
universe, merupakan masukan yang cukup berarti dalam rangka mencari pendekatan
yang dapat menyederhanakan gejala hukum yang rumit dalam masyarakat. Lihatlah
bahwa pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law), seperti
hukum agama, adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang saling “bersaing”. Sementara
itu sistem hukum negara juga plural sifatnya. Pluralisme dalam hukum negara tidak saja
berasal dari pembagian jurisdiksi normatif secara formal seperti pengaturan pada badanbadan korporasi, lembagal-lembaga politik, badan-badan ekonomi, dan badan-badan
administrasi yang berada dalam satu sistem, tetapi juga dalam banyak situasi dapat
dijumpai adanya choice of law, bahkan conflict of law. Pada prinsipnya state law itself
typically comprises multiple bodies of law, with multiple institutional reflections and
multiple sources of legitimacy.
5
Ibid, h.68
Ibid
7 Annisha Putri Andini, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Penerapan Syariat Islam di Aceh dalam Hukum
Dalam Bunga Rampai Pemikiran, (Yogyakarta: Genta press, 2015), h. 247
6
2
3.
Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global
Dalam era globalisasi ini telah terjadi pertukaran uang, barang dan jasa melalui
perdagangan bebas dan berbagai aktivitas bisnis secara luas. Hal ini sangat didukung
oleh adanya kemajuan teknologi informasi yang juga sangat pesat. Hampir tidak ada lagi
negara yang dapat hidup sendirian tanpa melakukan transaksi ekonomi dengan negara
lain sekarang ini. Kebijakan pasar bebas yang “diprakarsai” terutama oleh negara-negara
maju, telah menyebabkan kita menjadi suatu warga pasar dunia yang besar. Hampir
semua barang dan jasa dari manapun dapat ditemukan dimanapun. Seiring dengan
ini terjadinya pertukaran ekonomi, terjadi juga pertukaran dalam bidang politik, melalui
berbagai aktivitas dan kerjasama politik bilateral dan multilateral. Kerjasama diplomatik,
termasuk diadakannya perjanjian ekstradisi, atau perjanjian penaggulangan perdagangan
manusia, pencucian uang, dsb, menjadi contoh dimana kerjasama dalam bidang politik
terjadi.
Efek globalisasi juga dapat sangat terlihat dalam bidang hukum. Telah terjadi
pertukaran yang luar biasa dalam bidang hukum, di mana suatu hukum dari wilayah
tertentu dapat menembus ke wilayah-wilayah lain yang tanpa batas. Hukum internasional
dan transnacional dapat menembus ke wilayah negara-negara manapun, bahkan wilayah
lokal yang manapun di akar rumput. Atau sebaliknya, bukan hal yang mustahil bila
hukum lokal diadopsi sebagian atau seluruhnya menjadi hukum internasional. Terjadi
interaksi, Inter.- relasi, saling pengaruh, saling adopsi, tumpang tindih yang sangat rumit
di antara hukum internasional, nasional, dan lokal.
Seorang berkebangsaan Indonesia dapat berdagang dengan seorang berkebangsaan
Meksiko, dan mereka dapat mengadakan perjanjian dagang transnational untuk keperluan
tersebut. Hukum yang muncul dari transaksi perdagangan inilah yang antara lain dikenal
sebagai transnational law. Atau hukum yang mengatur bidang transportasi yang dianut di
wilayah Bogota, misalnya, dipinjam oleh warga Jakarta untuk diterapkan di wilayahnya
sendiri, dan inilah yang dikenal sebagai transnasionalized law. Dengan demikian, hukum
bergerak sangat dinamis karena dapat berubah sepanjang waktu.
Globalisasi hukum tidak saja memunculkan persoalan-persoalan global, tetapi juga
menyebabkan hukum internasional tidak hanya mengatur soal-soal kenegaraan saja, akan
tetapi juga mengatur kerjasama non-kenegaraan yang mana berkaitan
dengan intervensi humanitarian, promosi nilai-nilai demokrasi, “rule of law”, dan
“transntional accountability”. Sistem hukum lokal pun dapat diadopsi ke dalam hukum
berskala internasional.
Bila hari ini lapangan praktik hukum modern
mengembangkan Alterrnative Dispute Resolution (ADR), prinsip-prinsip dalam ADR
tersebut sebenarnya dapat ditemukan dalam karakter sengketa yang dipelajari secara
antropologis. Penyelesaian sengketa bertujuan untuk mencapai win-win solution
(compromise) yang semua pihak merasa diuntungkan dan dimenangkan.
Dengan demikian, ciri pluralisme hukum dalam perspektif global adalah memberi
perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan, adopsi, atau saling pengaruh
(interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang
dimaksud terutama adalah antara hukum internasional, nasional, dan hukum lokal.
Kajian pada fase ini fokus melihat bagaimanakah kebijakan dan kesepakatankesepakatan internasional memberi pengaruh atau bersinggungan dengan sistem hukum
dan kebijakan di tingkat nasional, dan selanjutnya memberi imbas kepada sistem hukum
dan kebijakan di tingkat lokal.
3
Kekurangannya, terjadi kekaburan batas-batas hukum karena persinggungan batas
antar sistem hukum yang semakin tipis, akibatnya berkembang bentuk-bentuk hukum
baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum
agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, dan banyak pengarang lain
menyebutnya unnamed law. Dengan demikian, bisa penulis simpulkan bahwa argumen
yang mengatakan bahwa lapangan pluralisme hukum terdiri dari system-sistem hukum
yang dapat dibedakan batasnya, tidak laku lagi. Terlalu banyak fragmentasi, overlapping
dan ketidakjelasan. Batas antara hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal
ini merupakan proses yang dinamis.
4. Pluralisme
Hukum
Sebagai
Pengejewantahan
Pancasila
Dalam
Mengakomodir Kemajemukan Masyarakat Indonesia dalam konteks globalisasi
Secara umum, kompleksitas entitas sistem hukum yang umum bisa kita
kategorikan kedalam sistem hukum negara, yang di wakili oleh sistem hukum civil
law dan common law, dan sistem hukum rakyat, yang diwakili oleh Hukum Adat
masing-masing daerah dan hukum Islam. kompleksitas pluralisme hukum, baik
dalam sistem hukum negara maupun sistem hukum rakyat dalam kehidupan sehari-hari
selalu saja dapat dijumpai adanya bermacam-macam sistem hukum lain disamping
hukum negara, yaitu Hukum Adat, agama kebiasaan-kebiasaan, kesepakatankesepakatan atau konvensi-konvensi sosial lainnya yang sudah di hayati sebagai
“hukum” oleh masyarakat. Sangat perlu disadari, bahwa dalam hal ini hukum negara
bukanlah satu-satunya acuan yang mengatur hubungan sosial warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Semua sistem hukum tersebut menjadi acuan dan
sama-sama dalam mempengaruhi tiap prilaku orang dalam berinteraksi dengan satu
samalain. Ketika masing- masing sistem hukum yang berbeda tersebut, bertemu
dalam suatu kasus, biasanya yang terjadi adalah konflik, meskipun bisa juga terjadi
sebaliknya. Contoh kasus yang bisa kita lihat terhadap bentuk dari konflik yang
sebagaimana dimaksud ialah kerusuhankerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di
tanah air beberapa waktu silam, seperti kiris Aceh dengan adanya Gerakan Aceh
Merdeka/GAM (1976), krisis Papua dengan gerakan Papua merdeka (1965), krisis
Ambon yang memicu perpecahan antar bangsa karena keyakinan (1999/2000), krisis
Poso yang juga bernuansa SARA di sulawesi tengah (1998), persitiwa DayakMadura dari peristiwa Sanggau Leddo di Kalimantan Barat (1996) dan Sampit di
Kalimantan Tengah (2001), kerusuhan ketapang di Jakarta (1998), peristiwa bom Bali
(2002 dan 2005), peristiwa seputar jamaah Ahmadiyah di Cikeustik, Banten (2011),
peristiwa Sunni-Syiah di Sampang, Madura (2012) dan masih beragamnya konflikkonflik yang terjadi hingga yang terbaru insiden di Tolikara, Papua (2015). Dengan
demikian menurut hemat penulis, satu-satunya jalan keluar dan upaya memahami
realitas pluralisme hukum yang terjadi di Indonesia itu sendiri, ialah bercermin kepada
entitas sejarah bangsa kita sendiri.
Apa yang dikatakan oleh Von Savigny, mengenai tiap bangsa mempunyai jiwanya
masing-masing yang kemudian disebut dengan Volkgeist, di Indonesia, bangsa
mendahului adanya negara, sehingga kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu
kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman.8 Hakikat Indonesia
adalah suatu cita-cita politik untuk mempersatukan unsur-unsur tradisi dan inovasi
8
Yudi latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,(Jakarta: Gramedia, 2011),
h.250
4
serta keragaman etnis, agam, budaya, dan kelas sosial ke dalam suatu “boto baru”
bernama “negara-bangsa”.9
Sekali lagi, penulis tekankan bahwasikap paling tetap dalam menghadapi pluralitas
hukum di indo adalah dengan memahami pluralita-spluralitas dalam pliralisme hukum
yang terjadi tanpa menciderai esensi dari negara kesatuam kita ialah selalu melihat
prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan
Indonesia sebagai suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam
keragaman dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang
dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”.
Kesimpulan
Pendekatan pluralisme hukum dalam perspektif global mengajak kita untuk berhatihati dalam menyikapi keragaman hukum. Kita tidak lagi dapat membuat mapping of
legal universe, menarik garis batas yang tegas untuk membedakan suatu entitas hukum
tertentu dari yang lain. Kita sukar untuk menarik batas yang tegas antara hukum
internasional, nasional dan lokal, karena sistem hukum yang berasal dari tataran yang
berbeda-beda
itu
saling
bersentuhan,
berinteraksi,
berinter-relasi,
berpengaruh, menyesuaikan diri dan mengadopsi satu sama lain secara luas. Hal itu
sangat kelihatan dari bagaimana hukum internasional bahkan memberi dampak sampai
kepada masyarakat lokal dan mendiseminasi nilai-nilai humanitarian, demokrasi, rule of
law, dan akuntabilitas internasional. Atau sebaliknya, hukum lokal juga dapat memberi
kontribusinya kepada sistem hukum dalam skala internasional atau hukum lokal dari
masyarakat lain.
Realitas Pluralisme hukum diIndonesia merupakan sesuatu keniscayaan yang
tidak dapat dihindari. Pluralisme hukum layaknya sebuah koin memiliki dua mata sisi,
di sisi lain hal ini merupakan realitas yang bisa memecah integritas kesatuan
nasional Indonesia akibat kesemrawutan atau ketidakpastian hukum yang terjadi
dalam skala negara kesatuan, tetapi di sisi lain bisa menjadi manfaat dan perekat bagi
perbedaan-perbedaan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam merajut persatuan
Indonesia jika dipahami dengan cara yang benar melalui sudut pandang sosiolog
hukum dan Pancasila sebagai jiwa bangsa (Volkgeist) Indonesia. maka dari itu
sebagai saran dari penulis untuk kedepannya dalam merancang dan membentuk
hukum nasional Indonesia ialah baiknya selalu memperhatikan semangat, nilai-nilai
atau jiwa bangsa dari Indonesia yang tersebar di tiap suku adat yang ada di
pelosok negeri Indonesia, sehingga harapannya hukum nasional bisa menjadi sarana
perekat dari kemajemukankemajemukan masyarakat Indonesia yang mempunyai
bangsa yang majemuk paripurna (par excellence) untuk selalu bisa mengokohkan
semangat kebersamaan dalam persatuan bangsa dan tetap kokoh dari segala goncangan
pengaruh negatif globalisasi dari luar.
Daftar referensi
Annisha Putri Andini, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Penerapan Syariat Islam di
Aceh dalam Hukum Dalam Bunga Rampai Pemikiran, (Yogyakarta: Genta press, 2015),
h. 247
9
Ibid
5
I Nyoman Nurjaya. Perkembangan Pemikiran konsep Pluralisme Hukum. Makalah untuk
dipersentasekan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan kekayaan
Alam di Indonesia yang sedang berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai jawaban”,
Hotel Santika jakarta. 11- 12 oktober.
Sulistyowati Indro.Pluralisme hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam Hukum dan
Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003.
Sulistyowati Irianto. Pluralisme Hukum dan Tantangannya Bagi Pembentukan Sistem
Hukum Nasional. Makasar: FH Universitas Hasanuddin. 2007.
Yudi latif. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia. 2011.
6
Download