Uploaded by User54066

490997 CSS - Tumor Kepala Leher

advertisement
CLINICAL SCIENCE SESSION
TUMOR KEPALA LEHER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Laboratorium Ilmu Kesehatan
THT-KL
Pembimbing:
Evy Shavilla, dr.,Sp.THT-KL
Disusun Oleh:
Sri Siskawati
Rano Juan Salma T
Fatharani Khairunisa
Rachmatulisa Putri R
Bella Sugih Laksono
(4151171403)
(4151171407)
(4151171425)
(4151171441)
(4151171464)
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saluran pernapasan adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai
tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernapasan. Saluran
pernapasan dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan pernapasan bawah
yang dibatasi oleh laring. Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring
dan laring. Sumbatan pada system pernapasan atas dapat disebabkan oleh
trauma, sumbatan dari benda asing, tumor, infeksi dan gangguan persarafan
pada daerah kepala dan leher.1
Tumor dalam istilah umum adalah pertumbuhan massa atau jaringan
abnormal dalam tubuh. Tumor terbagi menjadi 2 yaitu tumor jinak dan tumor
ganas. Manifestasinya dapat berbagai bentuk, mulai dari lesi kecil, massa atau
granulasi sampai dengan tumor yang sudah meluas. Letak tumor Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) yang tersembunyi dan gejala
yang tidak khas menyebabkan sulitnya diagnosa dini. Tumor Kepala dan
leher biasanya digunakan untuk menggambarkan semua karsinoma yang
timbul dari saluran aerodigestive atas seperti saluran sinonasal, rongga mulut,
faring, dan larynx, biasanya tertuju pada karsinoma sel skuamosa yang
merupakan faktor risiko utama secara histopatology.2
National Cancer Institute di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada
tahun 1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas. Dari seluruh tumor ganas
tersebut, insiden karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa ialah
sebanyak 600.000 penderita. Tercatat jumlah penderita tumor ganas kepala
dan leher sebanyak 78.000 orang, di Amerika serikat tahun 2001 tumor
orofaring menempati urutan ke 7 tumor paling banyak di antara pria dengan
angka kejadian 16,7 per 10.000 orang. Karsinoma sel skuamosa mencakup
90% karsinoma orofaring, sedangkan limfoma merupakan keganasan ke 2
terbanyak.3
Prognosis untuk tumor kepala dan leher tergantung pada stadium.
Penderita stadium awal tumor kepala dan leher memiliki kualitas hidup yang
lebih baik pasca perawatan bila dibandingkan dengan pasien stadium lanjut.
Hubungan anatomi kepala dan leher menyebabkan jaringan yang tidak
terkena tumor ganas akan tetap terkena radiasi, sehingga radioterapi
merupakan pilihan modalitas penting pada tumor ganas kepala dan leher. Jika
tumor ini tidak mendapat perhatian yang tepat, maka kejadian tumor kepala
leher akan semakin meningkat. Berdasarkan penulisan laporan kasus ini dapat
mengetahui mengenai tanda dan gejala, patofisiologi, penegakkan diagnosis,
komplikasi, serta penatalaksanaan pada penyakit tumor kepala dan leher.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tumor Sinonasal
2.1.1 Definisi
Tumor sinonasal adalah suatu keadaan dimana terjadinya pertumbuhan sel
(ganas) pada rongga hidung dan sinus paranasal. Tumor hidung dan sinus
paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas.
Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya sekitar 1%
dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh
tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit untuk
ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam
keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga
hidung dan seluruh sinus.1,2
2.2.2 Anatomi dan Fisiologi
a. Hidung
Hidung terbagi atas dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Hidung
bagian luar berbentuk piramida yang tersusun oleh sepasang tulang hidung pada
bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur hidung
bagian luar dibentuk oleh kulit, otot, dan tulang. Kulit yang melapisi tulang
hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk
digerakkan serta mengandung banyak kelenjar sebasea. Kartilago hidung
dibungkus oleh beberapa otot yang berfungsi dalam pergerakan hidung.1,2
Bagian dalam hidung terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan
yang dibatasi oleh septum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka
inferior, media, superior, dan meatus. Meatus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
meatus superior (terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid), meatus
media (terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris, sinus etmoid anterior), dan
meatus inferior (terdapat muara duktus nasolakrimalis).1,2
Gambar 1. Anatomi Hidung.
Vaskularisasi pada bagian anterior terdapat anastomosis dari arteri
sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialis superior dan arteri etmoidalis
anterior yang membentuk Pleksus Kiesselbach. Pada bagian posterior, terdapat
anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri faringeal
ascendens. Inervasi hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang
sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion
sphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya
yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus
superfisial terbesar. 1,2
Gambar 2. Vaskularisasi Hidung.
Gambar 3. Inervasi Hidung.
Secara umum, fungsi hidung paling utama adalah fungsi respirasi dan indera
penciuman.3
a. Fungsi respirasi: air conditioning, peyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan, mekanimse imunologik lokal.
b. Fungsi penghidu: terdapat mukosa olfaktorius.
c. Fungsi fonetik: resonansi suara, membantu proses bicara, dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
d. Fungsi statik dan mekanis: untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.
e. Reflex nasal: mukosa hidung merupakan respetor yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular, dan pernapasan.
b. Sinus Paranasal
Sinus paranasal terdiri dari dua bagian, yaitu anterior dan posterior. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang–tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung. Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis anterior masuk dalam
kelompok anterior, kesemua sinus ini bermuara pada meatus medius. Kelompok
posterior terdiri atas sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus
ethmoidalis bermuara dengan meatus superius cavum nasi dan sinus sphenoidalis
bermuara pada resesus sphenoethmoidalis.2,3
Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasal.
Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel
pernapasan, disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus maksilaris
adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia.
Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan
sekret ke dalam meatus media.2,3
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus – sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.2,3
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid. Sinus frontalis mempunyai kapasitas total
volume 6-7 ml. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis
sedangkan sinus sfenoidalis mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus
sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan
etmoid posterior.2,3
Secara umum, fungsi dari sinus adalah sebagai kondisi udara, membantu
keseimbangan kepala, melindungi komponen beberapa organ dalam tengkorak
akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi suara, dan
membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2,3
2.2.3
Histopatologi
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di
daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial, yaitu adenoma dan papilloma.
Tumor
jinak
non-epitelial,
yaitu
fibroma,
angiofibroma,
hemangioma,
neurilemomma, osteoma, displasi fibrosa, dan lain-lain.2
Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur,
adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi. Jenis non-epitelial ganas adalah
hemangioperisitoma, bermacam-macam sarcoma termasuk rabdomiosarkoma dan
osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma
malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis.2
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat
ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papilloma inverted,
displasia fibrosa ataupun ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi harus
radikal.2
Gambar 5. Contoh: Sinonasal Papilloma.
2.2.4
Stadium
Penilaian stadium tumor menggunakan klasifikasi AJCC (American Joint
Committee on Cancer) edisi ke-6 tahun 2002, yang mengklasifikasikan tumor
berdasarkan ukuran tumor primer (T), metastasis kelenjar getah bening regional
(N) dan metastasis jauh (M).4
Penentuan tumor primer bersadarkan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan
neurologi saraf kranial. Pemeriksaan dengan endoskopi dianjurkan. Pemeriksaan
pencitraan baik Computed Tomography scan (CT scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI) diperlukan untuk mendapatkan stadium yang akurat sebelum
pengobatan. 4
Penilaian pembesaran kelenjar getah bening leher dilakukan dengan palpasi
dan pencitraan, sedangkan metastasis jauh ditentukan dengan berbagai
pemeriksaan seperti radiologi, kimia darah dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. 4
Klasifikasi menurut AJCC 2002 sebagai berikut: 4
Tumor Primer (T)
TX
: Tumor primer tidak dapat dinilai.
T0
: Tidak terdapat tumor primer.
Tis
: Carcinoma in situ.
Sinus Maksila
T1
: Tumor terbatas pada mukosa sinus maksila, tidak terdapat erosi atau
destruksi tulang.
T2
: Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang termasuk perluasan ke
palatum durum, dan atau meatus medius namun tidak terdapat perluasan
ke dinding posterior sinus maksila dan fossa pterigoid.
T3
: Tumor telah mengenai tulang dinding posterior sinus maksila, jaringan
subkutan, dinding medial atau lantai orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid.
T4a
: Tumor telah mengenai orbita anterior, kulit pipi, pterygoid plates, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau sinus frontal.
T4b
: Tumor telah mengenai apeks orbita, dura, otak, fossa kranial media, saraf
kranial selain N. Maksilaris (V2), nasofaring atau clivus.
Rongga Hidung Dan Sinus Etmoid
T1
: Tumor terbatas pada satu sisi dengan atau tanpa invasi ke tulang.
T2
: Tumor telah mengenai dua sisi dengan atau tanpa perluasan ke jaringan
sekitar di kompleks nasoetmoid dengan atau tanpa invasi tulang.
T3
: Tumor telah meluas ke dinding medial atau lantai orbita, sinus maksila,
palatum atau fossa kribriformis.
T4a
: Tumor telah mengenai orbita anterior, kulit hidung atau pipi, perluasan
minimal ke fossa kranial anterior, pterygoid plates, sinus sfenoid atau
sinus frontal.
T4b
: Tumor telah mengenai apeks orbita, dura, otak, fossa kranial media, saraf
kranial selain N.V2, nasofaring atau clivus.
Metastasis ke Kelenjar Getah Bening Regional (N)
NX
: Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional tidak dapat dinilai.
N0
: Tidak terdapat pembesaran KGB
N1
: Metastasis ke KGB singel ipsilateral dengan diameter terpanjang ≤3 cm.
N2
: Metastasis ke KGB singel ipsilateral lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari
6 cm, atau multiple ipsilateral ≤6 cm atau bilateral atau kontralateral ≤6
cm.
N2a
: Metastasis ke KGB singel ipsilateral lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari
6cm.
N2b
: Metastasis ke KGB multipel ipsilateral ≤ 6 cm.
N2c
: Metastasis ke KGB bilateral atau kontralateral ≤6 cm.
N3
: Metastasis ke KGB dengan diameter terpanjang > 6 cm.
Metastasis Jauh(M)
MX
: Metastasis jauh tidak dapat ditentukan.
M0
: Tidak terdapat metastasis jauh.
M1
: Terdapat metastasis jauh.
Stadium Tumor
Stadium 0
: Tis N0 M0
Stadium I
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III
: T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
Stadium IVA : T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Stadium IVB : T4b setiap N M0
Setiap T N3 M0
Stadium IVC : Setiap T setiap N M1
2.2.5
Epidemiologi
Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Insiden tertinggi keganasan
sinonasal ditemukan di Jepang, yaitu 2 sampai 3,6 per 100.000 penduduk
pertahun. Umumnya ditemukan di Asia dan Afrika. Di Asia, keganasan sinonasal
adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring. Di
Departemen THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo keganasan ini ditemukan pada
10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak
dibanding perempuan dengan rasio 2:1, sekitar 80% terjadi pada orang berusia 4585 tahun.2
2.2.6
Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab anatra lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, minyak isopropil, dan lain-lain. Pekerja di bidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Banyak
laporan mengenai kasus adenokarsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja
industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan
yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya
keganasan.2
2.2.7
Diagnosis
Keganasan pada hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat
asimptomatik. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan
dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan
faktor risiko. Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah perluasannya.
Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding
tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita, dan intrakranial.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:2,5
a. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekret
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak
hidung sehingga terjadi deformitas. Khas pada tumor ganas sekret berbau karena
mengandung jaringan nekrotik.
b. Gejala orbital. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia,
proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus, dan epifora.
c. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak
tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali pasien datang dengan keluhan
nyeri gigi tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
d. Gejala fasial. Perluasan tumor ke area wajah dimana akan menyebabkan
penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang sensasi jika mengenai nervus
trigeminus.
e. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan nyeri
kepala hebat, oftalmoplegia, serta gangguan visus yang dapat disertai likuorea
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa
kranii media maka nervus kranial lainnya dapat terkena. Jika tumor meluas ke
arah belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai
anesthesia dan paresthesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan
mandibularis.
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata.
Jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah
dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Kemudian periksa
kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsi
massa dilihat dari permukaannya licin atau berbenjol-benjol untuk membedakan
jenis tumor, rapuh dan mudah berdarah merupakan jenis tumor ganas. Jika
dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus
maksila. Untuk memeriksa rongga oral, lakukan palpasi gusi rahang atas dan
palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyah. Pemeriksaan nasoendoksopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor dini. Pembesaran
kelenjar leher juga perlu diperhatikan meskipun tumor jarang bermetastasis.2
2.2.8
Pemeriksaan Penunjang
- Pencitraan radiologi penting untuk menentukan staging:2
a) Foto polos sinus paranasal dapat menunjukkan erosi tulang dan perselubungan
padat unilateral.
b) CT scan lebih akurat daripada foto polos karena lebih jelas memperlihatkan
perluasan tumor dan destruksi tulang.
c) MRI digunakan untuk membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal di
sekitarnya.
d) Foto thorax untuk melihat adanya metastase tumor di paru.
- Biopsi
Biopsi jaringan dilakukan dengan teknik yang paling tidak invasif tetapi
mendapatkan jaringan yang cukup representatif untuk diperiksa. Menghindari
biopsi terbuka dengan alasan 1) akan menyebabkan gangguan keutuhan struktur
anatomi dan batas tumor, 2) kemungkinan sel tumor mengkontaminasi jaringan
normal dan 3) menyebabkan lokalisasi tumor dan batas-batas tumor terganggu
yang menyulitkan pada saat operasi.4
Pendekatan endoskopi melalui hidung (naso-endoskopi) merupakan teknik
yang optimal untuk biopsi tumor sinonasal. Kelebihan teknik ini adalah visualisasi
yang lebih baik, morbiditas yang minimal, perubahan pada jaringan tumor dan
organ sekitar minimal. Apabila tumor terbatas pada kavum nasi, biopsi lokal di
poliklinik dapat dilakukan dengan memastikan sebelumnya bahwa tidak ada
hubungan dengan cairan serebrospinal dan tidak mengandung vaskularisasi yang
banyak. Pada tumor dengan vaskularisasi yang banyak, diperlukan pemeriksaan
pencitraan tambahan sebelum dilakukan biopsi.4
Pada kasus tumor sinus maksila yang tidak dapat dicapai melalui hidung,
biopsi dilakukan dengan punksi fossa kanina dan dengan bantuan endoskop.
Biopsi tumor maksila biasanya dilakukan melalui pendekaan Caldwell-Luc, yang
insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Biospi tumor sinus etmoid biasanya
diambil dari perluasan dari tumor di rongga hidung atau di kantus medius. Biopsi
tumor sinus sfenoid dilakukan melalui pendekatan transnasal, tetapi sering kali
biopsi didapat dari perluasan tumor ke nasofaring atau ronggga hidung. Biopsi
tumor sinus frontal dilakukan dengan insisi supraorbital dan osteotomi.2,4
2.2.9 Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masingmasing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Pembedahan di kontraindikasikan pada kasus yang telah bermetastasis
jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau sudah mengenai orbita.1,2,5,6
Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor, bila perlu dilakukan dengan cara
pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan). Pada tumor ganas,
tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi,
dapat juga berupa maksilektomi medial, total atau radikal. Maksilektomi radikal
dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus
maksila dan sering masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila
dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke
rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial, bila perlu kraniotomi. 1,2,5,6
b. Radioterapi
Pada tahap awal tumor sinonasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal
alternatif untuk operasi. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada
pasien dengan kanker tahap lanjut. Jenis terapi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachiterapi (radiasi internal). Pemberian
radioterapi berdasarkan pada jenis histopatologi karena adanya radiosensitif dan
sebaliknya. 1,2,5,6
c. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor ganas (stadium
lanjut). Tujuan kemoterapi untuk tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan
(baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi,
ataupun sebagai terapi paliatif. 1,2,5,6
2.2.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan
yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan,
status imunologis, lamanya follow up, dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.2
2.2 Tumor Tonsil
2.2.1 Definisi
Tumor tonsil merupalah salah satu jenis tumor yang terdapat di rongga mulut,
karena tonsil merupakan bagian rongga mulut yang terdapat di palatum durum.
Tumor tonsil dapat bersifat jinak maupun ganas,biasanya hanya mengenai satu
tonsil. Tumor jinak tonsil jarang ditemui, karena penderita tidak mengalami
gangguan yang berarti sehingga mereka jarang datang berobat ke dokter, tumor
ganas terlambat ditangani karena gejalanya yang kurang khas.1,2
Karsinoma tonsil sering terjadi pada tonsil palatina yang terletak pada kedua
sisi tenggorok, meskipun demikian karsinoma ini dapat terjadi pada tonsil
faringeal atau yang biasa kita sebut dengan adenoid, yang terletak di belakang
kavum nasi ataupun dapat terjadi pada tonsil lingual yang terletak pada bagian
belakang lidah. Pada karsinoma tonsil yang paling sering dijumpai adalah
karsinoma sel skuamosa yang tampak sebagai lesi ulserasi dengan dasar nekrosis.2
2.2.2 Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina (fausial), tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan
tonsil tuba eustachius.
Gambar 6 Anatomi Tonsil
Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arcus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.1
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina terletak didalam fossa tonsil. Pada bagian atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel
yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam
kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fascia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri
palatina minor, arteri palatina ascenden, cabang tonsil arteri maksila eksterna,
arteri faring ascenden dan arteri lingualis dorsal.5
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus thorasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.5
Aliran Limfe
Aliran limfe dari tonsil menembus otot konstriktor superior dan mengalir ke
dalam kelenjar limfe servikalis dalam khususnya jugulodigastrik yang terletak di
bawah sudut mandibula.5 Karsinoma yang terdapat pada orofaring termasuk
didalamnya adalah tonsil, biasanya dijumpai metastase ke kelenjar jugular
superior atau terdapat pada daerah peyebaran II.6
Fossa tonsil
Fossa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batasnya adalah:

Lateral
: Musculus konstriktor faring superior

Superior
: Fossa supra tonsil
Vaskularisasi:
Suplai darah pada tonsil palatina pada umumnya, disuplai oleh beberapa
cabang dari arteri karotis eksterna, yaitu : arteri faringeal asending, arteri palatina
asending, dan cabang dari arteri lingualis yaitu arteri lingualis dorsal serta arteri
fasialis. Suplai darah masuk dari kutub bawah tonsil. Sedangkan suplai darah
yang masuk dari kutub atas tonsil merupakan cabang dari arteri maksilaris yaitu
arteri palatina desending.6
Gambar 7. Vaskularisasi pada Tonsil
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel limfoid.8
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
utama yaitu menangkap, mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.
Gambar 8. Tonsil palatina
B. Tonsil Faringeal
Tonsil faringeal adalah tonsil tunggal yang terdapat dibagian postero-superior
faring. Tonsil faringeal merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan
celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih
rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Tonsil faringeal tidak
mempunyai kriptus dan terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan tonsil
faringeal di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi.1,5
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara khusus
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus
tiroglosus.5
Gambar 9. Lokasi Tonsil
2.2.3 Etiologi
Karsinoma tonsil adalah 90-95% squamous cell carcinoma pada pemeriksaan
histopatologi. Penyebabnya sama dengan keganasan tumor lain pada upper
aerodigestive tract seperti merokok dan alkohol. Banyak pasien mengalami
karsinoma tonsil dengan stadium berat karena tumor awal yang berukuran kecil
dan gejala tidak spesifik. 67-77% pasien mengalami tumor >2 cm dan sering
disertai dengan metastasis nodul regional. 45% lesi pilar tonsil anterior 76% lesi
fossa tonsil. Mayoritas tumor primer yang tidak diketahui berasal dari cincin
Waldeyers.8
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan tanda dari karsinoma tonsil ini adalah nyeri tenggorok yang
dapat juga menjalar ke telinga, kesukaran dalam menelan, pembesaran tonsil yang
tidak simetris, lesi pada tonsil, massa pada leher serta turunnya berat badan yang
tidak diketahui penyebabnya. Stadium awal biasanya penyakit muncul tanpa
gejala. Keadaan lebih lanjut biasanya dapat terjadi dijumpai berdarah pada mulut,
mulut berbau serta dapat terjadi trismus.
Gambar 10. Karsinoma Tonsil
2.2.5 Klasifikasi
A. Tumor Tonsil Jinak
1. Kista Tonsil
Kista epitel tonsil yang merupakan jenis yang cukup seing. Permukaannya
berkilau, halus dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak
memberikan gejala, akan tetapi kista yang lebih besar akan menyebablan
suatu benjolan ditenggorokan.5,9
Gambar 11. Kista Tonsil
2. Papiloma Tonsil
Papiloma squamosa iasanya terlihat menggantung dari pedcle uvula, tonsil
atau pilar. Tampak masa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada
bagian posteriornya.9
Gambar 12. Papiloma Tonsil
3. Polip Tonsil
Masa tonsil menunjukan gambaran polip pada pemeriksaan histologi.
Gambar 13. Polip Tonsil
B. Tumor Tonsil Ganas
1. Karsinoma Tonsil
Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari
tonsil, tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir
sama dengan limfoma dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan
histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor
ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70. Perbandingan laki – laki
dan perempuan adalah 3 – 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok dan
peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral
sebanyak 15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.9
Gambar 14. Karsinoma Sel skuamosa
Etiologi
Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa
termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini ada indikasi bahwa
etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Virus Epstein – Barr ( EBV )
merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma
Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.5,8
HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel
dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.
Gambaran histologis
Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk.
Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah
ini telah dijelaskan yaitu Carcinoma Basosquamos Nonkeratinizing carcinoma
(sel transisional atau tipe sinonasal) dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau
lymphoepithelioma type.11
2. Limfoma Tonsil
Limfoma sulit dibedakan dengan “ undifferentiated “ karsinoma dan
limfoma marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut
memerlukan sejumlah besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar (dalam
normal saline, bukan dalam larutan formaldehida) kepada ahli patologi. Ini
merupakan alasan mengapa setelah tonsilektomi lebih baik di periksa
jaringannya.9
Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil.
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna / ganas yang muncul
dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstra nodal yang ditandai dengan
proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit
dengan pra-sel dan derivatnya). Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu
kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan
berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah
kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma hodgkin sering pada Usia
20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-hodgin sering pada
usia tua dengan puncak di atas 60 tahun.9
Dua kategori besar
limfoma dilakukan
atas dasar histopatologi
mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin.
Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang
ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV.1,5
2.2.6
Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk
mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering
menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar
terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir
metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi.
Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat
membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca
operatif. Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal
diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang
ditangani oleh ginjal. Pembekuan dan koagulasi (termasuk jumlah trombosit
dan lain – lain). Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya
akan vaskularisasi dalam tubuh manusia.
Perdarahan adalah salah satu
masalah besar dalam operasi tonsil.8
B. Radiologi
CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi
metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor. Hal ini
penting dalam staging tumor tonsil.
MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan
lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan
metastasi ke paru-paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan,
setidaknya pada pasien berisiko tinggi stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun
tumor yang timbul dari orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.5
C. Biopsi
Biopsi adalah satu-satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil
berupa limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk
menangani jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin
diperlukan untuk studi, yang tergantung waktu dan memerlukan penanganan
segera. Beberapa jaringan harus dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan
lain yang sangat penting adalah kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa
biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal ini memerlukan ahli bedah untuk
mengambil biopsy yang mendalam sehingga neoplasma tidak meleset.
Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan perdarahan yang
merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk yang hal
yang tak terduga.5,9
Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk
menilai sepenuhnya tentang tumor. Hal ini sangat membantu ketika memilih
antara pendekatan bedah terbuka dan endoskopi. Bronkoskopi dan
esofagoskopi digunakan untuk menilai tumor primer yang mungkin hadir
pada saat diagnosis.
2.2.7
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma tonsil ini dapat berupa non-bedah ataupun bedah.
Penatalaksanaan non-bedah dapat berupa radioterapi pada letak primer dan leher
pada stadium I maupun II. Untuk stadium lanjut yaitu stadium III dan IV, terapi
non-bedah berupa kemoradioterapi konkomitan dengan tujuan mempertahankan
organ.1,5
Penatalaksanaan bedah pada stadium awal dapat dilakukan tonsilektomi,
setelah itu dilakukan radioterapi. Sedangkan penatalaksanaan bedah pada stadium
lanjut, ada beberapa pendekatan operasi yang dapat dilakukan. Pendekatan yang
dilakukan termasuk diantaranya lip-splitting.5
Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar
getah bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening
tonsil. Karena metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher
biasanya termasuk dalam tindakan bedah.
Gambar 15. Lokasi Radiasi
2.2.8
komplikasi
Komplikasi dari berbagai bentuk terapi saat ini yaitu nyeri, xerostomia,
infeksi, penyembuhan luka yang lama, disfagia, fistula, trismus, insufisiensi
velofaringeal, kelelahan. Keluarga dan pasien harus memahami semua
komplikasinya sebelum melakukan terapi apapun.5
2.3 Tumor Parotis
2.3.10 Definisi
Tumor didefinisikan sebagai massa jaringan abnormal dengan pertumbuhan
berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal dan
tetap tumbuh secara berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan perubahan
tersebut berhenti. Tumor parotis adalah tumor yang menyerang kelenjar saliva.11
2.3.10 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Parotis
Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva yang berpasangan, berjumlah
dua.Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar. Masing-masing
beratnya rata-rata 25 gram dan bentuknya irregular, berlobus, berwarna antara
hijau dan kuning (yellowish) terletak dibawah meatus akustikus eksternus
diantara mandibula dan muskulus sternokleidomastoideus. Kelenjar parotis
memiliki saluran untuk mengeluarkan sekresinya yang dinamakan Stensen’s
duct yang akan bermuara di mulut dekat gigi molar 2, lokasi biasanya ditandai
oleh papilla kecil.11,14
Gambar 16. Kelenjar Saliva Tampak Lateral
Kelenjar parotis bentuknya bervariasi, jika dilihat dari lateral 50%
berbentuk segitiga, 30% bagian atas dan bawahnya membulat. Biasanya
kelenjar parotis berbentuk seperti piramida terbalik dengan permukaan-
permukaannya sebagai berikut: permukaan superior yang kecil, superficial,
anteromedial, dan posteromedial. Bentuk konkav pada permukaan superior
berhubungan dengan bagian tulang rawan dari meatus akustikus eksternus
dan
bagian
posterior
dari
sendi
temporomandibular.
Disini
saraf
auriculotemporal mempersarafi kelenjar parotis. Permukaan superfisialnya
ditutup oleh kulit dan fascia superficial yang mengandung cabang fasial dari
saraf aurikuler, nodus limfatikus parotis superficial, dan batas bawah dari
platisma.11
Gambar 17. Kelenjar parotis Tampak lateral
Bagian anterior kelenjar berbatasan dengan tepi posterior ramus
mandibula dan sedikit melapisi tepi posterior muskulus masseter.Bagian
posterior kelenjar dikelilingi oleh telinga, prosesus mastoideus, dan tepi
anterior muskulus sternokleidomastoideus. Bagian dalam yang merupakan
lobus medial meluas ke rongga parafaring, dibatasi oleh prosesus stiloideus
dan ligamentum stilomandibular, muskulus digastrikus, serta selubung
karotis. Di bagian anterior lobus ini terletak bersebelahan dengan bagian
medial pterygoideus. Bagian lateral hanya ditutupi oleh kulit dan jaringan
lemak subkutaneus. Jaringan ikat dan jaringan lemak dari fasia leher dalam
membungkus kelenjar ini. Kelenjar parotis berhubungan erat dengan struktur
penting di sekitarnya yaitu vena jugularis interna beserta cabangnya, arteri
karotis eksterna beserta cabangnya, kelenjar limfa, cabang auriculotemporalis
dari nervus trigerninus dan nervus fasialis.11
Gambar 18. Vaskularisasi Kelenjar Parotis
Vaskularisasi kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabang di dekat kelenjar parotis. Darah vena mengalir ke vena
jugularis eksterna melalui vena yang keluar dari kelenjar parotis.11
Nodul kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada di atas kelenjar
parotis (kelenjar preaurikuler) dan pada bagian dari kelenjar parotis itu
sendiri. Ada 10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian
besar ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar diatas bidang yang
berhubungan dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar
parotis mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas.11
Vaskularisasi kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabang di dekat kelenjar parotis. Darah vena mengalir ke vena
jugularis eksterna melalui vena yang keluar dari kelenjar parotis. Nodul
kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada di atas kelenjar parotis
(kelenjar preaurikuler) dan pada bagian dari kelenjar parotis itu sendiri. Ada
10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian besar
ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar diatas bidang yang
berhubungan dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar
parotis mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas.11
Gambar 19. Kelenjar Parotis dan Nervus Facialis
Persarafan kelenjar parotis oleh saraf preganglionic yang berjalan pada
cabang petrosus dari saraf glossopharyngeus dan bersinaps pada ganglion
otikus
Serabut
postganglionik
mencapai
kelenjar
melalui
saraf
auriculotemporal.11
Nervus kranialisVII yang berfungsi motorik untuk wajah, masuk ke
kelenjar parotis dan membaginya menjadi 2 zona surgical (lobus superfisialis
dan profunda). Nervus ini keluar dari skull base melalui foramen
stylomastoid. Trunkus kemedian bercabang dua yakni cabang temporofasialis
(atas, bercabang dua: temporal dan zigomaticus) dan cervicofasialis (bawah,
bercabang tiga: bucal, marginal mandibular, dan cervical).11
Nervus fasialis ini dalam kelenjar parotis bercabang menjadi 5, yaitu:
1. Cabang temporal ke otot frontalis
2. Cabang zigoma ke otot orbicularis oculi
3. Cabang bucal ke otot wajah dan bibir atas
4. Cabang mandibular ke otot bibir bawah dagu
5. Cabang cervical ke otot plastisma
Nervus auticulotemporal yang merupakan cabang dari n.
trigeminus bagian mandibularis, berjalan pararel dengan arteri dan vena
temporalis superfisialis. Nervus ini membawa serabut parasimpatik ke parotis
jika cedera akan mengakibatkan terjadinya sindrom Frey’s. nervus
auriculotemporalis ini juga berperan dalam penyebaran tumor parotis ganas
ke basis crania dan intracranial melalui perineuralsheat-nya, terutama untuk
jenis adenoid kistik karsinoma (cylindroma).11
2.3.10 Epidemiologi
Setiap tahunnya ditemukan 2500 kasus baru tumor glandula salivatorius
dan 80 % kasus merupakan tumor glandula parotis. Adanya massa di kelenjar
parotis, 75 % merupakan tumor sedangkan 25 % sisanya disebabkan oleh proses
non neoplasma infiltrative, seperti kista dan inflamasi. Pada tumor parotis, 70
sampai dengan 80 % kasus merupakan kasus benigna.Tumor parotis paling
banyak ditemukan pada bangsa kulit putih.2
2.3.10 Etiologi
Penyebab pasti tumor kelenjar liur belum diketahui secara pasti, dicurigai
adanya keterlibatan faktor lingkungan dan faktor genetik. Paparan radiasi
dikaitkan dengan tumor jinak warthin
dan tumor ganas
karsinoma
mukoepidermoid. Epstein-Barr virus mungkin merupakan salah satu faktor
pemicu timbulnya tumor limfoepitelial kelenjar liur. Kelainan genetik, misalnya
monosomi dan polisomi sedang diteliti sebagai faktor timbulnya tumor kelenjar
liur.6
2.3.10 Klasifikasi
Klasifikasi Histopatologi WHO/ AJCC
Benign
Malignant
plemorphic adenoma ( mixed benign mucoepidermoid carcinoma
tumor)
Warthin’s tumor
adenoid cystic carcinoma
Lymphoepithelial lesion
Adenocarcinoma
Oncocytoma
acinic cell carcinoma
monomorphic adenoma
Malignant mixed tumor
Benign cysts
epidermoid carcinoma
Other ananplastic carcinoma
2.3.10 Tumor jinak
1) Pleomorfik adenoma (mixed tumor jinak):
Merupakan tumor tersering pada kelenjar liur dan paling sering terjadi
pada kelenjar parotis. Dinamakan pleomorfik karena terbentuk dari sel-sel
epitel dan jaringan ikat. Pertumbuhan tumor ini lambat, berbentuk bulat, dan
konsistensinya lunak. Secara histologi dikarakteristik dengan struktur yang
beraneka ragam.biasanya terlihat seperti gambaran lembaran, untaian atau
seperti pulau-pulau dari spindel atau stellata. Penatalaksanaanya yaitu eksisi
bedah dari kelenjar yang terkena.11,17
Gambar 19. Pleomorfik adenoma
2) Warthin's tumor (kistadenoma limfomatosum papiler, adenoma kistik papiler)
Tumor ini tampak rata, lunak pada daerah parotis, memiliki kapsul apabila
terletak pada kelenjar parotis dan terdiri atas kista multipel. Histologi Warthin's
tumor yaitu memiliki stroma limfoid dan sel epitelial asini. Perubahan menjadi
ganas tidak pernah dilaporkan. Lebih sering ditemukan pada kelenjar mayor.4
Gambar 20. Bentuk Whartin’s tumor (kanan). Gambaran histologi Whartin’s
tumor dari kelenjar parotis (kiri).
3) Papiloma intraduktal
Berbentuk kecil, lunak dan biasanya ditemukan pada lapisan submukosa.
Gambaran mikroskopiknya tampak dilatasi kistik duktus parsial dengan epitel
kuboid. Sangat jarang terjadi pada kelenjar minor.11
4) Oxyphil adenoma (oncosistoma)
Sangat jarang ditemukan, lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pria dengan ratio 2:1. Diameternya kecil (< 5 cm), pertumbuhannya lambat dan
berbentuk sferis. Dapat terjadi rekurens jika eksisi tumor tidak komplit.11
2.3.7 Tumor Ganas Kelenjar Liur
1) Mukoepidermoid karsinoma
Kebanyakan berasal dari kelenjar parotis dan biasanya memiliki gradasi yang
rendah. Sering terjadi pada orang dewasa dan wanita > laki-laki dekade antara
30-40 tahun. Hampir 75% pasien mempunyai gejala pembengkakan yang
asimtomatis, 13 % dengan rasa sakit, dan sebagian kecil lainnya dengan
paralisis nervus fasialis. Tumor ini tidak berkapsul, dan metastasis kelenjar
limfe ditemukan sebanyak 30-40 %.11
Gambar 21. Gambaran klinis karsinoma mukoepidermoid
2) Kista Adenoma karsinoma
Merupakan karsinoma yang paling banyak pada kelenjar minor.
Pertumbuhannya lambat dan kebanyakan memiliki gradasi yang rendah. Dapat
berulang setelah dilakukan pembedahan, kadang-kadang beberapa bulan
setelah operasi. Umumnya melibatkan penderita antara usia 40 dan 60 tahun.11
Gambar 22. Gambaran klinis karsinoma adenokistik
3) Adenokarsinoma
Terdapat beberapa tipe adenokarsinoma:
a)
Karsinoma sel asinik
Paling banyak berasal dari kelenjar parotis dan pertumbuhannya
lambat. Tumor ini berkapsul, merupakan suatu proliferasi sel-sel yang
membentuk masa bulat, dengan diameter kurang dari 3 cm.11
Gambar 23. Gambaran klinis pederita karsinoma sel asini (kanan).
Pembedahan pada kasus karsinoma sel asini kelenjar saliva (kiri).
b)
Adenokarsinoma polimorfik grade rendah
Kebanyakan berasal dari kelenjar minor
c)
Adenokarsinoma yang tidak dispesifikasikan:
Bila dilihat di mikroskop tumor ini memiliki penempakan yang cukup
untuk disebut adenokarsinoma, tetapi belim memiliki penampakan
untuk dispesifikasikan.sering berasal dari kelenjar parotis dan kelenjar
minor.4
d)
Adenokarsinoma yang jarang:
Contohnya
seperti
basal
sel
adenokarsinoma,
clear
cell
adenokarsinoma, kista adenokarsinoma, sebaceus adenokarsinoma,
musinous adenokarsinoma.11
b.
Mixed tumor maligna
Terdiri atas 3 tipe yaitu, karsinoma ex pleomorfik adenoma,
karsinosarkoma dan mixed tumor metastasis. Kasrinoma ex pleomorfik
adenoma merupakan tipe yang paling banyak. Karsinoma ex pleomorfik
adenoma merupakan kanker yang berkembang dari mixed tumor jinak
(pleomorfik adenoma). Kebanyakan terjadi pada kelenjar liur mayor.11
c. Kanker kelenjar liur lainnya yang jarang

Squamous sel karsinoma: terutama pada laki-laki yang tua. Dapat
berkembang setelah terapi radiasi untuk kanker yang lain pada area
yang sama.

Epitelial-mioepitelial karsinoma

Anaplastik small sel karsinoma

Karsinoma yang tidak berdiferensiasi

Limfoma non hodgkin .11
2.3.10 Patofisiologi
Teori multiseluler: teori ini menyatakan bahwa tumor kelenjar liur berasal dari
diferensiasi sel-sel matur dari unit-unit kelenjar liur. Seperti tumor asinus berasal
dari sel-sel asinar, onkotik tumor berasal dari sel-sel duktus striated, mixed tumor
berasal darisel-sel duktus interkalated dan mioepitelial, squamous dan
mukoepidermoid karsinoma berasal dari sel-sel duktus ekskretori.
Teori biseluler: teori ini menerangkan bahwa sel basal dari glandula ekskretorius
dan duktus interkalated bertindak sebagai stem sel. Stem sel dari duktus
interkalated dapat menimbulkan terjadinya karsinoma acinous, karsinoma adenoid
kistik, mixed tumor, onkotik tumor dan Warthin's tumor. sedangkan stem sel dari
duktus ekskretorius menimbulkan terbentuknya skuamous dan mukoepidermoid
karsinoma.3
2.3.10 Manifestasi Klinik
A. Gejala
Biasanya terdapat pembengkakan di depan telinga dan kesulitan menggerakkan
salah satu sisi wajah. Pada tumor parotis benigna biasanya asimtomatis (81%),
nyeri didapatkan pada sebagian pasien (12%), dan paralisis nervus fasialis (7%).
Paralisis nervus facialis lebih sering didapatkan pada pasien dengan tumor parotis
maligna, tetapi paralisis nervus facialis lebih sering berhubungan dengan Bell
palsy. Adanya bengkak biasanya mengurangi kepekaan wilayah tersebut terhadap
rangsang (painless) dan menyebabkan pasien kesulitan dalam menelan.11,15
B. Tanda
Pada tumor benigna benjolan bisa digerakkan, soliter, dan keras. Namun, pada
pemeriksaan tumor maligna diperoleh benjolan yang terfiksasi , konsistensi keras,
dan cepat bertambah besar.15
2.3.8
Staging tumor Parotis
Union Internationale Contre le Cancer (UICC) tahun 1997 dan American
Joint Commitee (AJCC) tahun 2002, membagi stadium dari tumor ganas kelenjar
parotis berdasarkan ukuran tumor (T), pembesaran kelenjar getah bening regional
(N), dan ada atau tidaknya metastasis (M).
Klasifikasi TNM tumor ganas parotis.15
T
T0
Tidak ada tumor primer
T1
Ukuran tumor ≤2 cm, penyebaran ekstra parenkim (-)
T2
Ukuran tumor 2-4 cm, penyebaran ekstraparenkim (-)
T3
Ukuran tumor 4-6 cm, atau ada penyebaran ekstraparenkim tanpa adanya
keterlibatan NVII
T4
Ukuran tumor ≥6 cm, atau ada keterlibatan NVII, atau ada infiltrasi intracranial
N
Nx
Metastasis kgb belum dapat ditentukan
N0
Metastasis kgb (-)
N1
Metastasis kgb <3 cm, ipsilateral, soliter
N2
Metastasis kgb 3-6 cm, soliter/multipel, ipsilateral/kontralateral/bilateral
N2a
Metastasis kgb 3-6 cm, soliter, ipsilateral
N2b
Metastasis kgb 3-6 cm, multipel, ipsilateral
N2c
Metastasis kgb 3-6 cm, multipel, bilateral
N3
Metastasis kgb ≥ 6 cm
M
M0
Metastasis jauh (-)
M1
Metastasis jauh (+)
Stadium tumor ganas parotis.14
Stadium
I
T1-2 N0 M0
II
T3
N0
M0
III
T1-2 N1
M0
IV
T4
N0
M0
T3-4 N1
M0
Tany N2-3 M0
Tany Nany M1
2.3.9 Diagnosis
a.Pemeriksaan Klinis
1)
Anamnesa
Anamnesa dengan cara menanyakan kepada penderita atau keluarganya
tentang :
a.)
Keluhan

Pada umumnya hanya berupa benjolan
soliter, tidak nyeri, di
pre/infra/retro aurikula (tumor parotis), atau di submandibula (tumor
sumandibula), atau intraoral (tumor kelenjar liur minor)

Rasa nyeri sedang sampai hebat (pada keganasan parotis atau
submandibula)

Paralisis n. fasialis, 2-3% (pada keganasan parotis)

Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran (lobus profundus
parotis terlibat)

Paralisis n.glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus, pleksus
simpatikus (pada karsinoma parotis lanjut)

Pembesaran kelenjar getah bening leher (metastase)
b.)
Perjalanan penyakit ( progresivitas penyakit)
c.)
Faktor etiologi dan resiko (radioterapi kepala leher, ekspos radiasi)
d.)
Pengobatan
yang
telah
diberikan
serta
bagaimana
hasil
pengobatannya
e.)
2)
Berapa lama kelambatan.15,18
Pemeriksaan fisik
a.)
Status general
Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan :

Penampilan (Karnofski / WHO)

Keadaan umum
Adakah anemia, ikterus, periksa T,N,R,t, kepala, toraks, abdomen,
ekstremitas,vertebra, pelvis

Apakah ada tanda dan gejala ke arah metastase jauh (paru, tulang
tengkorak, dll)
b.)
Satus lokal

Inspeksi (termasuk inraoral, adakah pedesakan tonsil/uvula)

Palpasi (termasuk palpasi bimanual, untuk menilai konsistensi,
permukaan, mobilitas terhadap jaringan sekitar)

Pemeriksaan fungsi n.VII,VIII,IX,X,XI,XII
c.)
Status regional
Palpasi apakah ada pembesaran kelenjar getah bening leher ipsilateral dan
kontralaeral. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukuran
terbesar, dan mobilitasnya.18
2.3.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis (Atas Indikasi)
a)
Imaging

Foto Polos
Foto polos sekarang jarang digunakan untuk mengevaluasi glandula
salivatorius mayor.
Foto polos paling baik untuk mendeteksi adanya
radioopaque ada sialolithiasis, kalsifikasi, dan penyakit gigi. Foto
madibula AP/Eisler, dikerjakan bila tumor melekat tulang. Sialografi,
dibuat bila ada diagnosa banding kista parotis / submandibula. Foto toraks
terkadang dilakukan untuk mencari metastase jauh. Meskipun foto polos
dapat diperoleh secara cepat dan relatif murah, namun memiliki
keterbatasan nilai klinis karena hanya dapat mengidentifikasi kalsifikasi
gigi. Sialolit atau kalsifkasi soft tissue lebih mudah diidentifikasi lebih
mudah diidentifikasi menggunakan USG dan CT Scan.8

USG
USG pada pemeriksaan penunjang berguna untuk evaluasi kelainan
vaskuler dan pembesaran jaringan lunak dari leher dan wajah, termasuk
kelenjar saliva dan kelenjar limfe. Cara ini ideal untuk membedakan massa
yang padat dan kistik. Kerugian USG pada daerah kepala dan leher adalah
penggunaannya terbatas hanya pada struktur superficial karena tulang akan
mengabsopsi gelombang suara.8
Gambar 2.10. Warthin tumor of the right parotid gland: The above
sonographic images of the right parotid gland show an obvious well
defined, hypoechoic mass within the middle third of the gland in this
middle aged male. Measuring 2.7 x 1.8 cms., the mass shows mild
posterior acoustic enhancement (a feature of pleomorphic adenoma).

CT Scan
Gambaran CT tumor parotis adalah suatu penampang yang tajam dan pada
dasarnya mengelilingi lesi homogen yang mempunyai suatu kepadatan yang lebih
tinggi dibanding glandular tisssue. Tumor mempunyai intensitas yang lebih besar
ke area terang (intermediate brightness. Foci dengan intensitas signal rendah (area
gelap/radiolusen) biasanya menunjukkan area fibrosis atau kalsifikasi distropik.
Kalsifikasi ditunjukkan dengan tanda kosong (signal void) pada neoplasma
parotid sebagai tanda diagnosa.7
Pemeriksaan radiografi CT dan MRI berguna untuk membantu menegakkan
diagnosa pada penderita tumor parotid. Dengan CTI, deteksi tumor 77% pada
bidang aksial dan 90% pada bidang aksial dengan CE CT.
Pemeriksaan Tumor parotis dengan CTI oleh radiolog untuk mengetahui
lokasi dan besar tumor, deteksi lesi, batas tumor, batas lesi, aspek lesi, kontras
antara lesi dengan jaringan sekitarnya, gambaran intensitas dari lesi, keberhasilan
pemakaian medium kontras, aspek lesi setelah injeksi medium kontras, deteksi
kapsul nya dan resorpsi tulang yang terjadi di sekitar lesi tersebut.8
Deteksi lesi dapat diklasifikasikan menjadi positif atau negatif. Pinggir lesi
dapat diklasifikasikan menjadi kurang jelas atau semuanya jelas. Batas lesi dapat
diklasifikasikan menjadi halus atau berlobus. Aspek lesi dapat diklasifikasikan
menjadi homogen atau tidak homogen. Kontras antara lesi dengan jaringan
sekitarnya dapat diklasifikasikan menjadi tinggi atau rendah. Gambaran intensitas
dari lesi dengan otot disebelah lesi diklasifikasikan kedalam empat kelompok:
tinggi, intrermediet, rendah, atau gabungan tinggi dengan rendah. Aspek lesi
terhadap injeksi medium kontras diklasifikasikan menjadi homogen, tidak
homogen dan perifer. Deteksi kapsulnya dan resorpsi tulang diklasifikasikan
menjadi positif atau negatif.8

MRI
Pemeriksaan MRI bisa membantu untuk membedakan massa parotis yang bersifat
benigna atau maligna. Pada massa parotis benigna, lesi biasanya memiliki tepi
yang halus dengan garis kapsul yang kaku. Namun demikian, pada lesi malignansi
dengan grade rendah terkadang mempunyai pseudokapsul dan memiliki gambaran
radiografi seperti lesi benigna.Lesi malignansi dengan grade tinggi memiliki tepi
dengan gambaran infiltrasi.7
Gambar 24. Karsinoma ex pleomorphicadenoma

PET (Positron Emission Tomography)
Alat ini menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai fluorine18 atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan
dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk
mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan
bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respon terhadap sel-sel yang
terkena kanker.8
b)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin, globulin, albumin, serum elektrolit, faal hemostasis,
untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.10
c)
Pemeriksaan Patologi

FNA
Belum merupakan pemeriksaan baku. Pemeriksaan ini harus
ditunjang oleh ahli sitopatologi handal yang khusus menekuni
pemeriksaan kelenjar liur.

Biopsi insisional
Dikerjakan pada tumor ganas yang inoperabel.

Biopsi eksisional

Pada tumor parotis yang
operabel dilakukan parotidektomi
superfisial

Pada tumor submandibula
yang operabel dilakukan eksisi
submandibula

Pada tumor sublingual dan kelenjar liur minor yang operabel
dilakukan eksisi luas ( minimal 1 cm dari batas tumor).

Pemeriksaan potong beku
Dikerjakan terhadap spesimen operasi pada biopsi eksisional.

Pemeriksaan spesimen operasi. 4
2.3.11 Diagnosis Banding 8
a. Inflamasi:
1) Abses/sellulitis/reactive adenopathy
2) Benign lymphoepithelialcysts (AIDS)
3) Autoimun/Sjogren syndrome
b. Benign tumor :
1) Benign mixed tumor (pleomorphic adenoma)
2) Warthin tumor
3) Lipoma
c. Malignansi :
1) Mucoepidermoid carcinoma
2) Adenoid cystic carcinoma;
3) Non-Hodgkin lymphoma
4) Malignant mixed tumor;
5) Lainnya: acinar cell carcinoma, adenocarcinoma, squamouscell carcinoma
d. Metastasis:
1) Skin squamous cell carcinoma or melanoma
2) Breast orlung carcinoma
3) Nodal non-Hodgkin lymphoma.
2.3.12 Komplikasi
Komplikasi pasca operasi parotis

Sindrom Frey

Kelumpuhan saraf fasialis.

Fistula kelenjar liur. 9
2.3.13 Penatalaksanaan
Pengobatan tumor parotis adalah multidisipliner termasuk bedah, neurologi,
radiologi diagnostik dan inventersional, onkologi dan patologi. Faktor tumor
dan pasien harus diperhitungkan termasuk keparahannya, besarnya tumor,
tingkat morbiditas serta availabilitas tenaga ahli dalam bedah, radioterapi dan
khemoterapi.
a. Tumor operable
1) Terapi utama
Terapi
utama pada tumor parotis yang operable adalah pembedahan, dapat
berupa:
a. Parotidektomi superfisial, dilakukan pada tumor jinak parotis lobus
superfisialis.
b. Parotidektomi total, dilakukan pada :
Tumor ganas parotis yang belum ada ekstensi ekstraparenkim dan n.VII

Tumor jinak parotis yang mengenai lobus profundus

Parotidektomi total diperluas, dilakukan pada tumor ganas parotis yang
sudah ada ekstensi ekstraparenkim atau n.VII

Deseksi leher radikal (RND), dikerjakan bila terdapat metastase kelenjar
getah bening leher yang masih operabel.9
2) Terapi tambahan
Terapi tambahan berupa radioterapi pasca bedah dan diberikan pada tumor
ganas dengan kriteria :
a. High grade malignancy
b. Masih ada residu makroskopis atau mikroskopis
c. Tumor
menempel
pada
syaraf
(n.fasialis,
n.lingualis,
n.hipoglosus, n. asesorius )
d. Setiap T3,T4
e. Karsinoma residif
f. Karsinoma parotis lobus profundus
Radioterapi sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah pembedahan untuk
memberikan penyembuhan luka operasi yang adekuat, terutama bila telah
dikerjakan alih tandur syaraf.
-
Radioterapi lokal diberikan pada lapangan operasi meliputi bekas insisi
sebanyak 50 Gy dalam 5 minggu.
-
Radioterapi regional/leher ipsilateral diberikan pada T3,T4, atau high
grade malignancy. 13
b. Tumor inoperabel
1) Terapi utama
: 65 – 70 Gy dalam 7-8 minggu
Radioterapi
2) Terapi tambahan
Kemoterapi :
a) Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma,
malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma)

adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1

5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1

sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
diulang tiap
3minggu
b) Untuk jenis karsinoma sel sqamous (squamous cell carcinoma,
mucoepidermoid carcinoma)

methotrexate 50mg/m2 iv pada hari ke 1 dan 7

sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2. 9
diulang tiap
3minggu
c. Metastase Kelenjar Getah Bening (N)
1) Terapi utama
a) Operabel
: deseksi leher radikal (RND)
b) Inoperabel
: radioterapi 40 Gy/+kemoterapi preoperatif, kemudian
dievaluasi
- menjadi operabel  RND
- tetap inoperabel  radioterapi dilanjutkan sampai 70Gy
2) Terapi tambahan
Radioterapi leher ipsilateral 40 Gy. 10
d. Metastase Jauh (M)
Terapi paliatif : khemoterapi
1) Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma,
malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma)

adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1

5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1

sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
2) Untuk jenis karsinoma sel squamous (squamous cell carcinoma,
mucoepidermoid carcinoma)

methotrexate 50mg/m2 iv pd hari ke 1 dan 7

sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2. 13
diulang tiap
3minggu
2.3.14 Prognosis
Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histology,
perluasan local dan besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher.Jika
sebelum penanganan tumor maligna telah ada kehilangan fungsi saraf, maka
prognosisnya lebih buruk. Untuk tumor maligna, pengobatan dengan eksisi dan
radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50%, bahkan pada keganasan
dengan derajat tertinggi. Ketahanan hidup 5 tahun kira-kira 5%, namun hal ini
masih tetap tergantung kepada histologinya.5
2.4 Tumor Laring
2.4.1
Definisi
Karsinoma laring atau tumor ganas laring merupakan suatu keganasan
yang terjadi pada sel skuamosa laring. Karsinoma sel skuamosa merupakan 95% 98% jenis kelainan histopatologi dari semua tumor ganas laring. Tumor ganas
laring bukanlah hal yang jarang ditemukan di bidang THT. Sebagai gambaran,
diluar negeri tumor ganas laring menempati urutan pertama dalam urutan
keganasan di bidang THT, sedangkan di RSCM menempati urutan ketiga setelah
karsinoma nasofaring, tumor ganas hidung dan sinus paranasal.1 Tumor Ganas
laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan, dengan perbandingan
5:1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun. Laring berperan sebagai organ sentral
dalam koordinasi dari fungsi saluran aerodigestif atas pada respirasi, bicara dan
menelan. Harapan hidup dan keberhasilan terapi pada keganasan laring ditentukan
oleh stadium dan lokasi tumor. Laring dibagi menjadi tiga bagian yaitu supraglotis
(kranial dari plika vokalis), glotis (plika vokalis) dan subglotis (kaudal dari plika
vokalis). Tumor ganas laring berasal dari bagian glotis diikuti supra glotis
kemudian subglotis.1,2
Untuk menegakkan diagnosa tumor ganas laring masih belum memuaskan,
hal ini disebabkan antara lain karena letaknya dan sulit untuk dicapai sehingga
dijumpai bukan pada stadium awal lagi. Biasanya pasien datang dalam keadaan
yang sudah berat sehingga hasil pengobatan yang diberikan kurang memuaskan.
Yang terpenting pada penanggulangan tumor ganas laring ialah diagnosa dini.
Suara serak adalah gejala dini yang utama pada keganasan laring, terutama bila
tumor berasal dari pita suara atau glotis. Hal ini menyebabkan adanya gangguan
fungsi fonasi laring akibat ketidakteraturan pita suara, gangguan pergerakan /
getaran pita suara dan penyempitan celah pita suara.2,3
2.4.2 Anatomi Laring
Laring dibentuk oleh sebuah tulang di bagian atas dan beberapa tulang
rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan
ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa.14
Gambar 25. Tulang dan kartilago laring
Tulang dan tulang rawan laring yaitu :
1. Os Hioid: terletak paling atas, berbentuk huruf “U”, mudah diraba pada leher
bagian depan. Pada kedua sisi tulang ini terdapat prosesus longus dibagian
belakang dan prosesus brevis bagian depan. Permukaan bagian atas tulang ini
melekat pada otot-otot lidah, mandibula dan tengkorak.
2. Kartilago tiroid : merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua
lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang.
3. Kartilago Krikoid : terletak di belakang kartilago tiroid dan merupakan tulang
rawan paling bawah dari laring. Di setiap sisi tulang rawan krikoid melekat
ligamentum krikoaritenoid, otot krikoaritenoid lateral dan di bagian belakang
melekat otot krikoaritenoid posterior.
Otot-otot laring terdiri dari 2 golongan besar, yaitu :
1. Otot-otot ekstrinsik :
Otot elevator :
- M. Milohioid, M. Geniohioid, M. Digrastikus dan M. Stilohioid
Otot depressor :
- M. Omohioid, M. Sternohioid dan M. Tirohioid
2. Otot-otot Intrinsik : Otot Adduktor dan Abduktor :
- M. Krikoaritenoid, M. Aritenoid oblique dan transversum
Otot yang mengatur tegangan ligamentum vokalis :
- M. Tiroaritenoid, M. Vokalis, M. Krikotiroid
Otot yang mengatur pintu masuk laring :
- M. Ariepiglotik, M. Tiroepiglotik.4-7
Gambar 26. Otot ekstirnsik dan intrinsik laring
2.4.3 Histologi
Epitel yang menutupi laring terdiri dari epitel gepeng tanpa keratinisasi atau
epitel berlapis bersilia. Mukosa laring mengandung banyak kelenjar seromukus,
terutama banyak di pita suara palsu dan ventrikel dan kemungkinan menjadi
tempat kista retensi. Di bawah epitel laring terdapat membran basalis yang
jumlahnya dan sifatnya bervariasi pada berbagai lokasi laring. Jaringan
submukosa berisi stroma longgar dan fibrosa, kecuali pada permukaan laring
epiglotis dan pita suara, di mana epitelnya melekat erat.11
Gambar 26. Histologi laring
a. Histopatologi Laring
Gambaran terdapatnya invasi sel karsinoma adalah desmoplasia di sekitar sel
skuamosa. Pertumbuhan dan perkembangan tumor pada daerah laring hampir
sama dengan karsinoma sel skuamosa pada kulit. Derajat perkembangan tumor
dapat dilihat berdasarkan aktivitas mitosis, jembatan antar sel, pembentukan
Mutiara dan tingkat keratinisasi.8,11
Gambar 27. histologi
b. Struktur Penyangga Laring
Os hyoid terdiri dari korpus, dua kornu mayor dan dua kornu minor.
Permukaan posterior superior hyoid merupakan tempat perlekatan membran
hyoepiglotik dan tirohyoid, karena itu hyoid membentuk batas anterosuperior
ruang praepiglotik dengan valekula yang berada diatasnya. Perlekatan os hyoid ke
mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohyoid dan otot-otot digastrikus,
stilohyoid, milohyoid, hyoglosus, dan geniohyoid akan mempertahankan posisi
laring pada leher dan mengangkat laring selama proses menelan dan fonasi.
Perlekatan m. Sternohyoid dan m. Omohyoid pada os hyoid penting untuk
gerakan laring bagian inferior. 11
Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin dan yang terbesar di laring.
Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior dan membentuk sudut
lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin, 90 derajat pada pria dewasa dan
120 derajat pada wanita. Pada pria, bagian superior sudut tersebut membentuk
penonjolan subkutan disebut Adam’s apple atau jakun. Bagian atas ala dipisahkan
dengan lekukan yang dalam, insisura tiroid superior.3,4
c. Bagian dalam Laring
Batas superior laring ditandai oleh pinggir bebas epiglotis, plika ariepiglotik,
kartilago kornikulatum, dan batas superior daerah interaritenoid. Batas inferior
adalah pinggir inferior kartilago krikoid.10
Vestibulum laring adalah bagian di atas pita suara. Dinding anterior supraglotis
dibentuk oleh epiglotis yang meruncing ke inferior, batas bawahnya ditandai oleh
suatu penonjolan, yaitu tuberkulum epiglotikum, yang terletak 1 sampai 1,5 cm
diatas komisura anterior ada penonjolan dua masa yang lunak ke dalam
vestibulum, yaitu plika ventrikularis atau pita suara palsu yang di anterior melekat
pada epiglotis dekat tangkai dan di posterior bersatu dengan mukosa di
permukaan arytenoid.14
2.4.4 Vaskularisasi Laring
Pendarahan laring berasal dari a. Laringius superior, a. Laringius inferior, dan
a. Krikotiroid. A. tiroid superior berasal dari bagian bawah a. Karotis eksterna
atau a. Karotis komunis (15%). Arteri keluar jauh di dalam lapisan otot pengikat
dan bercabang ke a. Laringius superior dekat tempat asalnya. A. Laringius
superior terbagi menjadi dua cabang, a. Infrahyoid dan a. Krikotiroid sebelum
memasuki laring melalui membran tirohyoid bersama n. laringius internus. A.
krikotiroid berjalan menuju inferior, bersama ramus eksterna n. laringius superior.
Arteri ini berjalan jauh di dalam otot pengikat pada waktu menempel pada m.
Konstriktor inferior dan akhirnya memasuki laring melalui membran krikotiroid
sedikit lateral dari garis tengah. A. tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus
tiroservikal dari a. Subklavia, a. tiroid inferior memberikan cabang a. Laringius
inferior sewaktu menyilang n. laringius rekuren. Aliran balik vena laring dibawa
oleh v. Laringius superior, v. Tiroid superior dan media, yang semuanya akan
bermuara di v. Jugularis interna.1.8
2.4.5 Fisiologi Laring
Laring merupakan sebuah katup yang mengatur terbukanya saluran nafas
bawah. Bersuara dan berbicara adalah fungsi sekunder daripada laring . pita suara
mengabduksi untuk membuka saluran nafas dan mengadduksi untuk menutup
saluran nafas. Pinggiran pita suara dilapisi oleh mukosa yang sangat khusus untuk
bervibrasi, dengan struktur berlapis dari submukosa. Suara dihasilkan ketika udara
menekan keluar dari paru-paru sehingga mengadduksi laring. 8
Mekanisme perlindungan jalan napas oleh laring mempunyai tingkatan
perlindungan pertama melalui elevasi daripada laring. Laring bergerak ke atas dan
ke depan, epiglotis bergerak ke bawah dan ke belakang, pita suara palsu dan asli
menyempit.8,9
Batuk juga merupakan mekanisme perlindungan jalan napas oleh laring. Batuk
adalah ekshalasi yang kuat dan melawan goltis yang tertutup sehingga terbuka
secara tiba-tiba. Batuk mempunyai 3 fase pada laring, pertama abduksi laring
selama fase inspiratori, penyempitan laring selama fase kompresif, dan abduksi
yang luas ketika fase ekspulsif.3,9
2.4.6 Faktor risiko dan Etiologi
Penyebab kanker laring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok dan peminum alkohol memiliki
risiko tinggi terhadap kanker laring. Analisis internasional menunjukkan kurang
lebih 89% terjadinya kanker laring disebabkan dampak kombinasi merokok dan
konsumsi alkohol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko
terjadinya kanker laring pada pekerja-pekerja yang terpapar asbes dan debu kayu.
Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayur-sayuran berhubungan dengan
menurunnya risiko kanker kepala dan leher subtipe apapun. Sehingga hal ini
menunjukan buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan faktor protektif pada
kanker laring. Peran Human Papilloma Virus subtipe 16 dan 18 diketahui
berpengaruh terhadap kanker laring, yaitu 21% kanker laring pada wanita
terdeteksi HPV subtipe 16 dan 18.10,11
2.4.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis karsinoma laring berbeda-beda tergantung letak tumor yang
dimulai di laring. Kondisi kesehatan lainnya juga dapat menyebabkan gejala yang
sama seperti karsinoma laring. Gejala karsinoma laring biasanya ditandai
perubahan suara seperti suara serak dan suara lemah yang terjadi lebih dari
beberapa minggu. Manifestasi lain kanker laring meliputi:

Sakit tenggorokan yang terus menerus

Merasa ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan

Sulit menelan atau sakit saat menelan

Batuk

Sakit telinga

Kesulitan bernapas

Napas berisik (mengi)

Benjolan terasa di leher

Napas berbau busuk

Penurunan berat badan
Serak merupakan gejala dini dari karsinoma laring yang berlokasi di glotis. Serak
disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Jika ada tumor ganas laring,
pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara
oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot 1okalis, sendi dan
ligamen krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di
pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. 5
Keluhan serak sebagai gejala awal tumor supraglotis dan subglotis
berkaitan dengan prognosis yang buruk. Dispnea dan stridor merupakan gejala
yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap tumor laring.
Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan
kotoran atau sekret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan
transglotik terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan
dapat dikompensasi. Batuk merupakan keluhan yang jarang ditemukan pada
tumor ganas glotik. Keluhan ini biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring
disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Keluhan lainnya yaitu nyeri tekan
laring yang merupakan gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi
tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.5,8
2.4.8. Patofisiologi
Timbulnya karsinoma pada laring dapat mengganggu fungsi laring karena
karsinoma tersebut dapat mengobstruksi serta merusak struktur dan fungsi laring.
Gejala dapat bervariasi tergantung struktur yang terlibat dalam keganasan dan
ada/tidaknya reaksi inflamasi.7,14
2.4.9 Klasifikasi
Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, membagi tumor
ganas laring berdasarkan letak tumor, yaitu 5
1.
Supraglotis
Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglotis sampai batas atas glotis
termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.
2.
Glotis
Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotis adalah 10 mm dibawah tepi
bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot – otot intrinsik pita
suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu, tumor glotis
dapat mengenai satu atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglotis sejauh
10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosesus
vokalis kartilago aritenoid.
3.
Subglotis
Tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas
inferior krikoid.
Klasifikasi Tumor Ganas Laring ( AJCC dan UICC 1988 ) sebagai berikut :
1.
Tumor primer (T)
Supra glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tidak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal
T1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika,
ventrikel atau pita suara palsu satu sisi.
T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau
pita suara palsu
T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan atau adanya infiltrasi
ke dalam
T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.
2.
Glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan
posterior) dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli
T 1b : tumor mengenai kedua pita suara
T2 :
tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis
maupun sub glotis dengan pergerakan pita suara normal atau
terganggu
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau kedua pita
suara
T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring
3.
Sub glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada subglotis
T 1a : tumor terbatas pada satu sisi
T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi
T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita
suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara
T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan atau meluas keluar
laring
4.
Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)
N x : kelenjar tidak dapat dinilai
N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar
N 1 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter ≤ 3 cm
N 2 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 – <6 cm
atau klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter
≤ 6 cm
N 2a : klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter > 3 cm ≤ 6 cm.
N 2b : klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6
cm
N 3 : kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra
lateral
N 3 a : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm
N 3 b : klinis terdapat kelenjar bilateral
N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral
5.
Metastase jauh (M)
M 0 : tidak ada metastase jauh
M 1 : terdapat metastase jauh
6.
Stadium :
Stadium I
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III
: T3 N0 M0 ; T1, T2, T3, N1, M0
Stadium IV
: T4, N0, M0 ; Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1.3,6
2.4.10 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada
anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita sudah cukup
lama, tidak bersifat hilang-timbul meskipun sudah diobati dan cenderung makin
lama makin berat. Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung
menggunakan kaca laring atau atau langsung dengan menggunakan laringoskop.
Pemeriksaan ini untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor, kemudian
dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomik. Pemeriksaan penunjang
yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium darah, juga diperlukan
pemeriksaan radiologik. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada
atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT Scan laring dapat
memperlihatkan keadaan tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-epiglotis
serta metastasis kelenjar getah bening leher. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan patologi anatomik dari bahan biopsi laring, dan biopsi jarum halus
pada pembesaran kelenjar getah bening di leher. Dari hasil patologi anatomik
yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.13
2.4.11 Pemeriksaan Penunjang
Untuk melihat laring dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi melalui
laringoskopi fleksibel menggunakan fiber optics atau stroboscopy. Penggunaan
videoostroboscopy memiliki sensitivas 96,8% dan spesifitas 92,8% terhadap
memprediksi invasif lesi. Selain itu juga penting untuk melakukan biopsi pada
lokasi yang diduga tumor secara langsung atau dengan fine needle aspiration pada
nodus limfatikus yang terlibat.14
Imaging dapat dilakukan pada untuk mendukung derajat dari keganasan,
seperti penggunaan Computed Axial Tomography yang berguna dalam menilai
efek keganasan terhadap struktur tulang.10
2.4.12 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi pada karsinoma laring yaitu:
1. Menyembuhkan penyakit
2. Mempertahankan fungsi laring
3. Menurunkan tingkat morbiditas
Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan, maka ditentukan tinfakan
yang akan diambil sebagai penanggulangannya.
Ada 3 cara penanggulangan yan lazim dilakukan, yakni pembedahan,
radiasi, obat sitostatik ataupun kombinasi, tergantung pada stadium penyakit
dan keadaan umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1
dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan
operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi, bila masih
memungkinkan atau untuk mendapatkan radiasi. Jenis pembedahan adalah
laringektomia totalis atau pun parsial, tergantung lokasi dan penjalaran tumor,
serta dilakukan lokasi diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar
limfa leher.
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa
tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang
baik. rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation
dan Social Rehabilitation”.3,13,14
2.4.13 Komplikasi
Komplikasi yang bisa timbul adalah :

Sulit bernafas,

infeksi stoma

Disfagi3,5
2.4.14 Prognosis
Prognosis karsinoma laring secara umum dikatakan five years survival
pada karsinoma laring stadium I : 90 – 98% stadium II : 75 – 85%, stadium III :
60 – 70% dan stadium IV : 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe
regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%. Selain itu, umumnya
gejala sesak napas dan stridor menunjukan prognosis yang kurang baik karena
menunjukan adanya sumbatan jalan napas.
2.5 OSNA (Obstruksi Saluran Napas Atas)
2.5.1
Definisi
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yakni
hidung, faring dan laring yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing,
trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada
saluran pernapasan terganggu.7
Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan darurat
yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat bersifat
sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat menyebabkan
sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada sedikit celah dapat
menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang
disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan
kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat
menyebabkan kematian.7,21
2.5.2 Penyebab dan Gejala Klinis
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh kelainan kongenital,
trauma, tumor, infeksi, paralysis satu atau kedua plika vokalis, maupun karena
benda asing.
20
Gambar 28. Obstruksi jalan napas atas
2.5.3 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :
a) Serak (disfoni) sampai afoni
b) Sesak napas (dispnea)
c) Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
d) Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari
otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
e) Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
f) Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Gejala-gejala yang mengindikasikan adanya obstruksi pada jalan nafas, dibagi 4
stadium menurut Jackson: 21
Stadium I :
Retraksi tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu
inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium II :
Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalan, ditambah
lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai
gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi.
Stadium III :
Retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
Infrakalvikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor saat
inspirasi dan ekspirasi
Stadium IV :
Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan tampak sangat ketakutan
serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka pasien akan kehabisan
tenaga, pusat pernafasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur
dan akhirnya meninggal karena asfiksia. 21
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
letak dan penyebab sumbatan, diantaranya adalah :
a. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat
dilakukan secara direk dan indirek.
b. Nasoendoskopi
c. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas.
Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran radiolusen.
Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
d. Foto polos sinus paranasal
e. CT-Scan kepala dan leher
f. Biopsi
2.5.4 Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas
Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas
atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.
Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta
pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada obstruksi laring stadium I
yang disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut
(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat
trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III, atau
melakukan krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV.7,21
Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :
1.Intubasi
Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulutatau
hidung. Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving
procedure) dan dapat
denganxylocain 10%.
dilakukan tanpa atau dengan analgesia
topikal
21
• Indikasi intubasi endotrakea adalah :
- Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas.
- Membantu ventilasi.
-
Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
- Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari
lambung.
• Keuntungan intubasi, yaitu:
-
Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut.
-
Mudah dikerjakan.
• Kerugian intubasi, yaitu:
-
Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas.
-
Tidak dapat digunakan dalam waktu lama.Orang dewasa 1 minggu, anakanak 7-10 hari.
-
Tidak enak dirasakan penderita
-
Tidak bisa makan melalui mulut.
-
Tidak bisa bicara.
• Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea.
Teknik intubasi endotrakea:

Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensiLaringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,
dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri.
Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop
diangkatkeatas, sehingga pita suara dapat terlihat.

Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut
terusmelalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea.

Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.

Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur
telentang itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga
kepalamudah diekstensikan maksimal.

Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri
dandimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis
diangkathorizontal ketas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.

Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui
celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa
endotrakeadifiksasi dengan plester.
21
Gambar 29. Intubasi Endotrakea
2. Laringotomi (Krikotirotomi)
Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid untuk dipasang kanul.
Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat. Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di
bawah usia 12tahun, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke
subglotik dan terdapat laringitis. Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan
timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi
jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan
sebaiknya diganti dengantrakeostomi dalam waktu 48 jam.
22
Teknik krikotirotomi:
-
Pasien
tidur
telentang
dengan
kepala
ekstensi
pada
artikulasiatlantooksipitalis
-
Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari
tangankiri.
-
Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke
bawahsampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di
antara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum
kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit.
-
Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.
-
Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke
bawah.
-
Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastik untuk sementara.
22
Gambar 30. Krikotirotomi
3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat
lubang sehingga terjadi hubungan langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk
mengatasi gangguan pernapasan bagian atas.
21
• Indikasi trakeostomi adalah:
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus.
4. Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator).
5. Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas bronkoskopi.
• Keuntungan trakeostomi yaitu:
-
Dapat dipakai dalam waktu lama.
-
Trauma saluran napas tidak ada.
-
Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat
dihindari.
-
Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
-
Penderita dapat makan seperti biasa.
-
Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
-
Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.
• Kerugian trakeostomi, yaitu:
-
Tindakan lama.
-
Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.
• Jenis irisan trakeostomi ada dua macam:
-
Irisan vertikal di garis median leher.
-
Irisan horizontal
• Berdasarkan jenis trakeostomi:
-
Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3.
-
Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3-4.
-
Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4-5.
Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah:
1. Kelembaban udara masuk.
-
Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat.
-
Nebulizer.
-
Kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma.
2. Kebersihan dalam kanul.
-
Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½-1 jam pada 24 jam
pertama dan tidak boleh terlalu lama setiap suksion, biasanya 10-15detik.
Bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau cardiac arrest.
-
Lakukanlah berkali-kali sampai bersih
3. Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali.
7,21
Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi berikut:
-
Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak.
-
Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup
waktu tidur, makan dan bekerja.
-
Penderita sudah dapat bersuara.
• Komplikasi trakeostomi:
-
Waktu operasi: Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock.
-
Pasca operasi:Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau
desakan pada pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan
trakea, disfagia,granulasi.
• Teknik trakeostomi:
-
Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk menurun
kantekanan vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga
terjadi ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi.
-
Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol.
-
Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan
epinefrin atau adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap
diberikan meskipun trakeostomi dilakukan secara anestesi umum.
-
Dilakukan insisi.
21

Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa
suprasternum, insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah.

Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa
sternum,membentang antara kedua tepi depan dan medial
m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm. Irisan mulai dari
kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisialsecara tumpul.
Bila tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah.
Bila mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong saja.
-
Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian
suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada
waktu memasang kanul.
-
Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan
trakea yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas
tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.
-
Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan
longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.
21
Gambar 31. Teknik Trakeostomi
4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)
Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak
dihipofaring. Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi
tekanan pada paru. Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara
yang tertutupoleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan
terlempar keluar. Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan
juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati
danfraktur iga.23
Teknik perasat heimlich:
-
Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.
-
Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan
diletakkan pada perut bagian atas.
-
Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan
kearah atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan
4-5 kali benda asing akan terlempar keluar. Pada anak, penekanan cukup
dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan.
-
Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara
penolong berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan
tangan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium.
-
Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara
dalam paru akan mendorong benda asing keluar.
23
Gambar 32. Perasat Manouver
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher
(edisi 13). Binarupa Aksara.
2. Roezin AA, In Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Tumor
Hidung dan Sinonasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. p. 154-157.
3. Armiyanto. Keganasan Hidung dan Sinus Paranasal. Dibawakan pada
Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung
Tenggorok. Hotel Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT
FKUI/RSCM.
4. Rahman S, Firdaus MA. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan
Intrakranial dan Metastasis ke Paru. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012.
5. Hillger P, Adam G. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala
Leher. In Effendi H, Santoso R. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. 6 th Ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;212.p. 235-137, 429-444.
6. Dhingra P. Anatomy of Nose. In Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th ed.
India: Elsevier; 2010. p. 130-135, 141, 165.
7. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of
otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010.
8. Gregory Masters, Bruce Brockstein. Dalam : Head and Neck Cancer. USA:
Kluwer Academic Publishers, 2003: 158-161.
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2011.)
10. Anil K. 2004. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &
Neck Surgery. USA : Mc Graw Hill.
11. Robbins & Kumar.1995; Buku Ajar Patologi I. Edisi 4. Jakarta: EGC.
12. Lee K.J. 2003. Essential Otolaryngology-Head & Neck surgery ed.8
.Connecticut : McGraw-Hill.
13. Dr. Rahman, sukri. Diagnosis Dini Tumor ganas Laring. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Available on line in
https://www.researchgate.net/publication/329359306_Diagnosis_Dini_Tum
or_Ganas_Laring (accesed @ December 28 2019)
14. Edge S, Byrd DR, Compton CC, Fritz AG, Greene FL, Trotti A. American
Joint Comittee on Cancer - Head and Neck cancer staging 2007. 7th.
Philadelphia: Springer; 2010
15. Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. USA: Elsevier,
2005
16. Harnsberger H.R.,Osborn A.G. 1991. Differential Diagnosis of Head and
Neck Lesions Based on Their Space of Origin.AJR 157:147-154.
17. Joe V.Q., Westesson P.L. 1994. Tumors of the Parotid Gland: MR Imaging
Characteristics of Various Histologic Types. AJR163:433-438
18. Peraboi.2003. Protokol Penatalaksanaan Tumor/ Kanker Kelenjar Air Liur.
19. Beers MH, Porter RS. Dalam: Merck Manual of Diagnosis and Theraphy,
Ver.10.2.3. USA: Merck Research Laboratories,2007.
20. Yataco JC, Mehta AC. Upper airway obstruction. In: Raoof S, George L,
Saleh A, Sung A, editors. Manual of critical care. New York: McGraw Hill
Medical; 2009:388-397.
21. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan TelingaHidung-Tenggorok. Edisi 7. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
22. Fagan J. Open Access Atlas Of Otolaryngology, Head & Neck Operative
Surgery. Cricothyroidotomy & Needle Cricothyrotomy. University of Cape
Town. South Africa. 2010: 1-10
23. Mc Person K, Stephen CM. Managing Airway Obstruction. British Journal
of Hospital Medicine, October 2012, Vol 73, No 10.
Download