CLINICAL SCIENCE SESSION TUMOR KEPALA LEHER Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Laboratorium Ilmu Kesehatan THT-KL Pembimbing: Evy Shavilla, dr.,Sp.THT-KL Disusun Oleh: Sri Siskawati Rano Juan Salma T Fatharani Khairunisa Rachmatulisa Putri R Bella Sugih Laksono (4151171403) (4151171407) (4151171425) (4151171441) (4151171464) LABORATORIUM ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saluran pernapasan adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernapasan. Saluran pernapasan dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan pernapasan bawah yang dibatasi oleh laring. Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sumbatan pada system pernapasan atas dapat disebabkan oleh trauma, sumbatan dari benda asing, tumor, infeksi dan gangguan persarafan pada daerah kepala dan leher.1 Tumor dalam istilah umum adalah pertumbuhan massa atau jaringan abnormal dalam tubuh. Tumor terbagi menjadi 2 yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Manifestasinya dapat berbagai bentuk, mulai dari lesi kecil, massa atau granulasi sampai dengan tumor yang sudah meluas. Letak tumor Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) yang tersembunyi dan gejala yang tidak khas menyebabkan sulitnya diagnosa dini. Tumor Kepala dan leher biasanya digunakan untuk menggambarkan semua karsinoma yang timbul dari saluran aerodigestive atas seperti saluran sinonasal, rongga mulut, faring, dan larynx, biasanya tertuju pada karsinoma sel skuamosa yang merupakan faktor risiko utama secara histopatology.2 National Cancer Institute di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada tahun 1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas. Dari seluruh tumor ganas tersebut, insiden karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa ialah sebanyak 600.000 penderita. Tercatat jumlah penderita tumor ganas kepala dan leher sebanyak 78.000 orang, di Amerika serikat tahun 2001 tumor orofaring menempati urutan ke 7 tumor paling banyak di antara pria dengan angka kejadian 16,7 per 10.000 orang. Karsinoma sel skuamosa mencakup 90% karsinoma orofaring, sedangkan limfoma merupakan keganasan ke 2 terbanyak.3 Prognosis untuk tumor kepala dan leher tergantung pada stadium. Penderita stadium awal tumor kepala dan leher memiliki kualitas hidup yang lebih baik pasca perawatan bila dibandingkan dengan pasien stadium lanjut. Hubungan anatomi kepala dan leher menyebabkan jaringan yang tidak terkena tumor ganas akan tetap terkena radiasi, sehingga radioterapi merupakan pilihan modalitas penting pada tumor ganas kepala dan leher. Jika tumor ini tidak mendapat perhatian yang tepat, maka kejadian tumor kepala leher akan semakin meningkat. Berdasarkan penulisan laporan kasus ini dapat mengetahui mengenai tanda dan gejala, patofisiologi, penegakkan diagnosis, komplikasi, serta penatalaksanaan pada penyakit tumor kepala dan leher. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Tumor Sinonasal 2.1.1 Definisi Tumor sinonasal adalah suatu keadaan dimana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada rongga hidung dan sinus paranasal. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1,2 2.2.2 Anatomi dan Fisiologi a. Hidung Hidung terbagi atas dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Hidung bagian luar berbentuk piramida yang tersusun oleh sepasang tulang hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur hidung bagian luar dibentuk oleh kulit, otot, dan tulang. Kulit yang melapisi tulang hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk digerakkan serta mengandung banyak kelenjar sebasea. Kartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang berfungsi dalam pergerakan hidung.1,2 Bagian dalam hidung terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh septum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior, dan meatus. Meatus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu meatus superior (terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid), meatus media (terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris, sinus etmoid anterior), dan meatus inferior (terdapat muara duktus nasolakrimalis).1,2 Gambar 1. Anatomi Hidung. Vaskularisasi pada bagian anterior terdapat anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialis superior dan arteri etmoidalis anterior yang membentuk Pleksus Kiesselbach. Pada bagian posterior, terdapat anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri faringeal ascendens. Inervasi hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion sphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial terbesar. 1,2 Gambar 2. Vaskularisasi Hidung. Gambar 3. Inervasi Hidung. Secara umum, fungsi hidung paling utama adalah fungsi respirasi dan indera penciuman.3 a. Fungsi respirasi: air conditioning, peyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan, mekanimse imunologik lokal. b. Fungsi penghidu: terdapat mukosa olfaktorius. c. Fungsi fonetik: resonansi suara, membantu proses bicara, dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. d. Fungsi statik dan mekanis: untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. e. Reflex nasal: mukosa hidung merupakan respetor yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskular, dan pernapasan. b. Sinus Paranasal Sinus paranasal terdiri dari dua bagian, yaitu anterior dan posterior. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang–tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis anterior masuk dalam kelompok anterior, kesemua sinus ini bermuara pada meatus medius. Kelompok posterior terdiri atas sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus ethmoidalis bermuara dengan meatus superius cavum nasi dan sinus sphenoidalis bermuara pada resesus sphenoethmoidalis.2,3 Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasal. Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel pernapasan, disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia. Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media.2,3 Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus – sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.2,3 Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. Sinus frontalis mempunyai kapasitas total volume 6-7 ml. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis sedangkan sinus sfenoidalis mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.2,3 Secara umum, fungsi dari sinus adalah sebagai kondisi udara, membantu keseimbangan kepala, melindungi komponen beberapa organ dalam tengkorak akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi suara, dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2,3 2.2.3 Histopatologi Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial, yaitu adenoma dan papilloma. Tumor jinak non-epitelial, yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasi fibrosa, dan lain-lain.2 Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi. Jenis non-epitelial ganas adalah hemangioperisitoma, bermacam-macam sarcoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis.2 Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papilloma inverted, displasia fibrosa ataupun ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi harus radikal.2 Gambar 5. Contoh: Sinonasal Papilloma. 2.2.4 Stadium Penilaian stadium tumor menggunakan klasifikasi AJCC (American Joint Committee on Cancer) edisi ke-6 tahun 2002, yang mengklasifikasikan tumor berdasarkan ukuran tumor primer (T), metastasis kelenjar getah bening regional (N) dan metastasis jauh (M).4 Penentuan tumor primer bersadarkan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan neurologi saraf kranial. Pemeriksaan dengan endoskopi dianjurkan. Pemeriksaan pencitraan baik Computed Tomography scan (CT scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) diperlukan untuk mendapatkan stadium yang akurat sebelum pengobatan. 4 Penilaian pembesaran kelenjar getah bening leher dilakukan dengan palpasi dan pencitraan, sedangkan metastasis jauh ditentukan dengan berbagai pemeriksaan seperti radiologi, kimia darah dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. 4 Klasifikasi menurut AJCC 2002 sebagai berikut: 4 Tumor Primer (T) TX : Tumor primer tidak dapat dinilai. T0 : Tidak terdapat tumor primer. Tis : Carcinoma in situ. Sinus Maksila T1 : Tumor terbatas pada mukosa sinus maksila, tidak terdapat erosi atau destruksi tulang. T2 : Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang termasuk perluasan ke palatum durum, dan atau meatus medius namun tidak terdapat perluasan ke dinding posterior sinus maksila dan fossa pterigoid. T3 : Tumor telah mengenai tulang dinding posterior sinus maksila, jaringan subkutan, dinding medial atau lantai orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid. T4a : Tumor telah mengenai orbita anterior, kulit pipi, pterygoid plates, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau sinus frontal. T4b : Tumor telah mengenai apeks orbita, dura, otak, fossa kranial media, saraf kranial selain N. Maksilaris (V2), nasofaring atau clivus. Rongga Hidung Dan Sinus Etmoid T1 : Tumor terbatas pada satu sisi dengan atau tanpa invasi ke tulang. T2 : Tumor telah mengenai dua sisi dengan atau tanpa perluasan ke jaringan sekitar di kompleks nasoetmoid dengan atau tanpa invasi tulang. T3 : Tumor telah meluas ke dinding medial atau lantai orbita, sinus maksila, palatum atau fossa kribriformis. T4a : Tumor telah mengenai orbita anterior, kulit hidung atau pipi, perluasan minimal ke fossa kranial anterior, pterygoid plates, sinus sfenoid atau sinus frontal. T4b : Tumor telah mengenai apeks orbita, dura, otak, fossa kranial media, saraf kranial selain N.V2, nasofaring atau clivus. Metastasis ke Kelenjar Getah Bening Regional (N) NX : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional tidak dapat dinilai. N0 : Tidak terdapat pembesaran KGB N1 : Metastasis ke KGB singel ipsilateral dengan diameter terpanjang ≤3 cm. N2 : Metastasis ke KGB singel ipsilateral lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm, atau multiple ipsilateral ≤6 cm atau bilateral atau kontralateral ≤6 cm. N2a : Metastasis ke KGB singel ipsilateral lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6cm. N2b : Metastasis ke KGB multipel ipsilateral ≤ 6 cm. N2c : Metastasis ke KGB bilateral atau kontralateral ≤6 cm. N3 : Metastasis ke KGB dengan diameter terpanjang > 6 cm. Metastasis Jauh(M) MX : Metastasis jauh tidak dapat ditentukan. M0 : Tidak terdapat metastasis jauh. M1 : Terdapat metastasis jauh. Stadium Tumor Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 T1 N1 M0 T2 N1 M0 T3 N1 M0 Stadium IVA : T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N2 M0 T4a N2 M0 Stadium IVB : T4b setiap N M0 Setiap T N3 M0 Stadium IVC : Setiap T setiap N M1 2.2.5 Epidemiologi Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang, yaitu 2 sampai 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Umumnya ditemukan di Asia dan Afrika. Di Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring. Di Departemen THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dibanding perempuan dengan rasio 2:1, sekitar 80% terjadi pada orang berusia 4585 tahun.2 2.2.6 Etiologi Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab anatra lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropil, dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Banyak laporan mengenai kasus adenokarsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya keganasan.2 2.2.7 Diagnosis Keganasan pada hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatik. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor risiko. Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah perluasannya. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita, dan intrakranial. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:2,5 a. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekret sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak hidung sehingga terjadi deformitas. Khas pada tumor ganas sekret berbau karena mengandung jaringan nekrotik. b. Gejala orbital. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus, dan epifora. c. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali pasien datang dengan keluhan nyeri gigi tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. d. Gejala fasial. Perluasan tumor ke area wajah dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang sensasi jika mengenai nervus trigeminus. e. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan nyeri kepala hebat, oftalmoplegia, serta gangguan visus yang dapat disertai likuorea yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka nervus kranial lainnya dapat terkena. Jika tumor meluas ke arah belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anesthesia dan paresthesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Kemudian periksa kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsi massa dilihat dari permukaannya licin atau berbenjol-benjol untuk membedakan jenis tumor, rapuh dan mudah berdarah merupakan jenis tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, lakukan palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyah. Pemeriksaan nasoendoksopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor dini. Pembesaran kelenjar leher juga perlu diperhatikan meskipun tumor jarang bermetastasis.2 2.2.8 Pemeriksaan Penunjang - Pencitraan radiologi penting untuk menentukan staging:2 a) Foto polos sinus paranasal dapat menunjukkan erosi tulang dan perselubungan padat unilateral. b) CT scan lebih akurat daripada foto polos karena lebih jelas memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi tulang. c) MRI digunakan untuk membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal di sekitarnya. d) Foto thorax untuk melihat adanya metastase tumor di paru. - Biopsi Biopsi jaringan dilakukan dengan teknik yang paling tidak invasif tetapi mendapatkan jaringan yang cukup representatif untuk diperiksa. Menghindari biopsi terbuka dengan alasan 1) akan menyebabkan gangguan keutuhan struktur anatomi dan batas tumor, 2) kemungkinan sel tumor mengkontaminasi jaringan normal dan 3) menyebabkan lokalisasi tumor dan batas-batas tumor terganggu yang menyulitkan pada saat operasi.4 Pendekatan endoskopi melalui hidung (naso-endoskopi) merupakan teknik yang optimal untuk biopsi tumor sinonasal. Kelebihan teknik ini adalah visualisasi yang lebih baik, morbiditas yang minimal, perubahan pada jaringan tumor dan organ sekitar minimal. Apabila tumor terbatas pada kavum nasi, biopsi lokal di poliklinik dapat dilakukan dengan memastikan sebelumnya bahwa tidak ada hubungan dengan cairan serebrospinal dan tidak mengandung vaskularisasi yang banyak. Pada tumor dengan vaskularisasi yang banyak, diperlukan pemeriksaan pencitraan tambahan sebelum dilakukan biopsi.4 Pada kasus tumor sinus maksila yang tidak dapat dicapai melalui hidung, biopsi dilakukan dengan punksi fossa kanina dan dengan bantuan endoskop. Biopsi tumor maksila biasanya dilakukan melalui pendekaan Caldwell-Luc, yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Biospi tumor sinus etmoid biasanya diambil dari perluasan dari tumor di rongga hidung atau di kantus medius. Biopsi tumor sinus sfenoid dilakukan melalui pendekatan transnasal, tetapi sering kali biopsi didapat dari perluasan tumor ke nasofaring atau ronggga hidung. Biopsi tumor sinus frontal dilakukan dengan insisi supraorbital dan osteotomi.2,4 2.2.9 Penatalaksanaan a. Pembedahan Pembedahan yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masingmasing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Pembedahan di kontraindikasikan pada kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau sudah mengenai orbita.1,2,5,6 Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor, bila perlu dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan). Pada tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi, dapat juga berupa maksilektomi medial, total atau radikal. Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus maksila dan sering masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial, bila perlu kraniotomi. 1,2,5,6 b. Radioterapi Pada tahap awal tumor sinonasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tahap lanjut. Jenis terapi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachiterapi (radiasi internal). Pemberian radioterapi berdasarkan pada jenis histopatologi karena adanya radiosensitif dan sebaliknya. 1,2,5,6 c. Kemoterapi Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor ganas (stadium lanjut). Tujuan kemoterapi untuk tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi, ataupun sebagai terapi paliatif. 1,2,5,6 2.2.10 Prognosis Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up, dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.2 2.2 Tumor Tonsil 2.2.1 Definisi Tumor tonsil merupalah salah satu jenis tumor yang terdapat di rongga mulut, karena tonsil merupakan bagian rongga mulut yang terdapat di palatum durum. Tumor tonsil dapat bersifat jinak maupun ganas,biasanya hanya mengenai satu tonsil. Tumor jinak tonsil jarang ditemui, karena penderita tidak mengalami gangguan yang berarti sehingga mereka jarang datang berobat ke dokter, tumor ganas terlambat ditangani karena gejalanya yang kurang khas.1,2 Karsinoma tonsil sering terjadi pada tonsil palatina yang terletak pada kedua sisi tenggorok, meskipun demikian karsinoma ini dapat terjadi pada tonsil faringeal atau yang biasa kita sebut dengan adenoid, yang terletak di belakang kavum nasi ataupun dapat terjadi pada tonsil lingual yang terletak pada bagian belakang lidah. Pada karsinoma tonsil yang paling sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa yang tampak sebagai lesi ulserasi dengan dasar nekrosis.2 2.2.2 Anatomi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina (fausial), tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba eustachius. Gambar 6 Anatomi Tonsil Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arcus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.1 A. Tonsil Palatina Tonsil palatina terletak didalam fossa tonsil. Pada bagian atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fascia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatina ascenden, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring ascenden dan arteri lingualis dorsal.5 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus thorasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.5 Aliran Limfe Aliran limfe dari tonsil menembus otot konstriktor superior dan mengalir ke dalam kelenjar limfe servikalis dalam khususnya jugulodigastrik yang terletak di bawah sudut mandibula.5 Karsinoma yang terdapat pada orofaring termasuk didalamnya adalah tonsil, biasanya dijumpai metastase ke kelenjar jugular superior atau terdapat pada daerah peyebaran II.6 Fossa tonsil Fossa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batasnya adalah: Lateral : Musculus konstriktor faring superior Superior : Fossa supra tonsil Vaskularisasi: Suplai darah pada tonsil palatina pada umumnya, disuplai oleh beberapa cabang dari arteri karotis eksterna, yaitu : arteri faringeal asending, arteri palatina asending, dan cabang dari arteri lingualis yaitu arteri lingualis dorsal serta arteri fasialis. Suplai darah masuk dari kutub bawah tonsil. Sedangkan suplai darah yang masuk dari kutub atas tonsil merupakan cabang dari arteri maksilaris yaitu arteri palatina desending.6 Gambar 7. Vaskularisasi pada Tonsil Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid.8 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu menangkap, mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Gambar 8. Tonsil palatina B. Tonsil Faringeal Tonsil faringeal adalah tonsil tunggal yang terdapat dibagian postero-superior faring. Tonsil faringeal merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Tonsil faringeal tidak mempunyai kriptus dan terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan tonsil faringeal di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.1,5 C. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara khusus merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus tiroglosus.5 Gambar 9. Lokasi Tonsil 2.2.3 Etiologi Karsinoma tonsil adalah 90-95% squamous cell carcinoma pada pemeriksaan histopatologi. Penyebabnya sama dengan keganasan tumor lain pada upper aerodigestive tract seperti merokok dan alkohol. Banyak pasien mengalami karsinoma tonsil dengan stadium berat karena tumor awal yang berukuran kecil dan gejala tidak spesifik. 67-77% pasien mengalami tumor >2 cm dan sering disertai dengan metastasis nodul regional. 45% lesi pilar tonsil anterior 76% lesi fossa tonsil. Mayoritas tumor primer yang tidak diketahui berasal dari cincin Waldeyers.8 2.2.4 Manifestasi Klinis Gejala klinis dan tanda dari karsinoma tonsil ini adalah nyeri tenggorok yang dapat juga menjalar ke telinga, kesukaran dalam menelan, pembesaran tonsil yang tidak simetris, lesi pada tonsil, massa pada leher serta turunnya berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. Stadium awal biasanya penyakit muncul tanpa gejala. Keadaan lebih lanjut biasanya dapat terjadi dijumpai berdarah pada mulut, mulut berbau serta dapat terjadi trismus. Gambar 10. Karsinoma Tonsil 2.2.5 Klasifikasi A. Tumor Tonsil Jinak 1. Kista Tonsil Kista epitel tonsil yang merupakan jenis yang cukup seing. Permukaannya berkilau, halus dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak memberikan gejala, akan tetapi kista yang lebih besar akan menyebablan suatu benjolan ditenggorokan.5,9 Gambar 11. Kista Tonsil 2. Papiloma Tonsil Papiloma squamosa iasanya terlihat menggantung dari pedcle uvula, tonsil atau pilar. Tampak masa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian posteriornya.9 Gambar 12. Papiloma Tonsil 3. Polip Tonsil Masa tonsil menunjukan gambaran polip pada pemeriksaan histologi. Gambar 13. Polip Tonsil B. Tumor Tonsil Ganas 1. Karsinoma Tonsil Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil, tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir sama dengan limfoma dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70. Perbandingan laki – laki dan perempuan adalah 3 – 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok dan peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral sebanyak 15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.9 Gambar 14. Karsinoma Sel skuamosa Etiologi Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Virus Epstein – Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.5,8 HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring. Gambaran histologis Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk. Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini telah dijelaskan yaitu Carcinoma Basosquamos Nonkeratinizing carcinoma (sel transisional atau tipe sinonasal) dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau lymphoepithelioma type.11 2. Limfoma Tonsil Limfoma sulit dibedakan dengan “ undifferentiated “ karsinoma dan limfoma marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar (dalam normal saline, bukan dalam larutan formaldehida) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya.9 Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna / ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstra nodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya). Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma hodgkin sering pada Usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-hodgin sering pada usia tua dengan puncak di atas 60 tahun.9 Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. Etiologi Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV.1,5 2.2.6 Pemeriksaan Penunjang A. Laboratorium Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi. Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca operatif. Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang ditangani oleh ginjal. Pembekuan dan koagulasi (termasuk jumlah trombosit dan lain – lain). Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi dalam tubuh manusia. Perdarahan adalah salah satu masalah besar dalam operasi tonsil.8 B. Radiologi CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor. Hal ini penting dalam staging tumor tonsil. MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi ke paru-paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada pasien berisiko tinggi stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun tumor yang timbul dari orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.5 C. Biopsi Biopsi adalah satu-satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang tergantung waktu dan memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan lain yang sangat penting adalah kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy yang mendalam sehingga neoplasma tidak meleset. Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk yang hal yang tak terduga.5,9 Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai sepenuhnya tentang tumor. Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan bedah terbuka dan endoskopi. Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai tumor primer yang mungkin hadir pada saat diagnosis. 2.2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan karsinoma tonsil ini dapat berupa non-bedah ataupun bedah. Penatalaksanaan non-bedah dapat berupa radioterapi pada letak primer dan leher pada stadium I maupun II. Untuk stadium lanjut yaitu stadium III dan IV, terapi non-bedah berupa kemoradioterapi konkomitan dengan tujuan mempertahankan organ.1,5 Penatalaksanaan bedah pada stadium awal dapat dilakukan tonsilektomi, setelah itu dilakukan radioterapi. Sedangkan penatalaksanaan bedah pada stadium lanjut, ada beberapa pendekatan operasi yang dapat dilakukan. Pendekatan yang dilakukan termasuk diantaranya lip-splitting.5 Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk dalam tindakan bedah. Gambar 15. Lokasi Radiasi 2.2.8 komplikasi Komplikasi dari berbagai bentuk terapi saat ini yaitu nyeri, xerostomia, infeksi, penyembuhan luka yang lama, disfagia, fistula, trismus, insufisiensi velofaringeal, kelelahan. Keluarga dan pasien harus memahami semua komplikasinya sebelum melakukan terapi apapun.5 2.3 Tumor Parotis 2.3.10 Definisi Tumor didefinisikan sebagai massa jaringan abnormal dengan pertumbuhan berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal dan tetap tumbuh secara berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan perubahan tersebut berhenti. Tumor parotis adalah tumor yang menyerang kelenjar saliva.11 2.3.10 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Parotis Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva yang berpasangan, berjumlah dua.Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar. Masing-masing beratnya rata-rata 25 gram dan bentuknya irregular, berlobus, berwarna antara hijau dan kuning (yellowish) terletak dibawah meatus akustikus eksternus diantara mandibula dan muskulus sternokleidomastoideus. Kelenjar parotis memiliki saluran untuk mengeluarkan sekresinya yang dinamakan Stensen’s duct yang akan bermuara di mulut dekat gigi molar 2, lokasi biasanya ditandai oleh papilla kecil.11,14 Gambar 16. Kelenjar Saliva Tampak Lateral Kelenjar parotis bentuknya bervariasi, jika dilihat dari lateral 50% berbentuk segitiga, 30% bagian atas dan bawahnya membulat. Biasanya kelenjar parotis berbentuk seperti piramida terbalik dengan permukaan- permukaannya sebagai berikut: permukaan superior yang kecil, superficial, anteromedial, dan posteromedial. Bentuk konkav pada permukaan superior berhubungan dengan bagian tulang rawan dari meatus akustikus eksternus dan bagian posterior dari sendi temporomandibular. Disini saraf auriculotemporal mempersarafi kelenjar parotis. Permukaan superfisialnya ditutup oleh kulit dan fascia superficial yang mengandung cabang fasial dari saraf aurikuler, nodus limfatikus parotis superficial, dan batas bawah dari platisma.11 Gambar 17. Kelenjar parotis Tampak lateral Bagian anterior kelenjar berbatasan dengan tepi posterior ramus mandibula dan sedikit melapisi tepi posterior muskulus masseter.Bagian posterior kelenjar dikelilingi oleh telinga, prosesus mastoideus, dan tepi anterior muskulus sternokleidomastoideus. Bagian dalam yang merupakan lobus medial meluas ke rongga parafaring, dibatasi oleh prosesus stiloideus dan ligamentum stilomandibular, muskulus digastrikus, serta selubung karotis. Di bagian anterior lobus ini terletak bersebelahan dengan bagian medial pterygoideus. Bagian lateral hanya ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak subkutaneus. Jaringan ikat dan jaringan lemak dari fasia leher dalam membungkus kelenjar ini. Kelenjar parotis berhubungan erat dengan struktur penting di sekitarnya yaitu vena jugularis interna beserta cabangnya, arteri karotis eksterna beserta cabangnya, kelenjar limfa, cabang auriculotemporalis dari nervus trigerninus dan nervus fasialis.11 Gambar 18. Vaskularisasi Kelenjar Parotis Vaskularisasi kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang di dekat kelenjar parotis. Darah vena mengalir ke vena jugularis eksterna melalui vena yang keluar dari kelenjar parotis.11 Nodul kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada di atas kelenjar parotis (kelenjar preaurikuler) dan pada bagian dari kelenjar parotis itu sendiri. Ada 10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian besar ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar diatas bidang yang berhubungan dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar parotis mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas.11 Vaskularisasi kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang di dekat kelenjar parotis. Darah vena mengalir ke vena jugularis eksterna melalui vena yang keluar dari kelenjar parotis. Nodul kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada di atas kelenjar parotis (kelenjar preaurikuler) dan pada bagian dari kelenjar parotis itu sendiri. Ada 10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian besar ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar diatas bidang yang berhubungan dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar parotis mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas.11 Gambar 19. Kelenjar Parotis dan Nervus Facialis Persarafan kelenjar parotis oleh saraf preganglionic yang berjalan pada cabang petrosus dari saraf glossopharyngeus dan bersinaps pada ganglion otikus Serabut postganglionik mencapai kelenjar melalui saraf auriculotemporal.11 Nervus kranialisVII yang berfungsi motorik untuk wajah, masuk ke kelenjar parotis dan membaginya menjadi 2 zona surgical (lobus superfisialis dan profunda). Nervus ini keluar dari skull base melalui foramen stylomastoid. Trunkus kemedian bercabang dua yakni cabang temporofasialis (atas, bercabang dua: temporal dan zigomaticus) dan cervicofasialis (bawah, bercabang tiga: bucal, marginal mandibular, dan cervical).11 Nervus fasialis ini dalam kelenjar parotis bercabang menjadi 5, yaitu: 1. Cabang temporal ke otot frontalis 2. Cabang zigoma ke otot orbicularis oculi 3. Cabang bucal ke otot wajah dan bibir atas 4. Cabang mandibular ke otot bibir bawah dagu 5. Cabang cervical ke otot plastisma Nervus auticulotemporal yang merupakan cabang dari n. trigeminus bagian mandibularis, berjalan pararel dengan arteri dan vena temporalis superfisialis. Nervus ini membawa serabut parasimpatik ke parotis jika cedera akan mengakibatkan terjadinya sindrom Frey’s. nervus auriculotemporalis ini juga berperan dalam penyebaran tumor parotis ganas ke basis crania dan intracranial melalui perineuralsheat-nya, terutama untuk jenis adenoid kistik karsinoma (cylindroma).11 2.3.10 Epidemiologi Setiap tahunnya ditemukan 2500 kasus baru tumor glandula salivatorius dan 80 % kasus merupakan tumor glandula parotis. Adanya massa di kelenjar parotis, 75 % merupakan tumor sedangkan 25 % sisanya disebabkan oleh proses non neoplasma infiltrative, seperti kista dan inflamasi. Pada tumor parotis, 70 sampai dengan 80 % kasus merupakan kasus benigna.Tumor parotis paling banyak ditemukan pada bangsa kulit putih.2 2.3.10 Etiologi Penyebab pasti tumor kelenjar liur belum diketahui secara pasti, dicurigai adanya keterlibatan faktor lingkungan dan faktor genetik. Paparan radiasi dikaitkan dengan tumor jinak warthin dan tumor ganas karsinoma mukoepidermoid. Epstein-Barr virus mungkin merupakan salah satu faktor pemicu timbulnya tumor limfoepitelial kelenjar liur. Kelainan genetik, misalnya monosomi dan polisomi sedang diteliti sebagai faktor timbulnya tumor kelenjar liur.6 2.3.10 Klasifikasi Klasifikasi Histopatologi WHO/ AJCC Benign Malignant plemorphic adenoma ( mixed benign mucoepidermoid carcinoma tumor) Warthin’s tumor adenoid cystic carcinoma Lymphoepithelial lesion Adenocarcinoma Oncocytoma acinic cell carcinoma monomorphic adenoma Malignant mixed tumor Benign cysts epidermoid carcinoma Other ananplastic carcinoma 2.3.10 Tumor jinak 1) Pleomorfik adenoma (mixed tumor jinak): Merupakan tumor tersering pada kelenjar liur dan paling sering terjadi pada kelenjar parotis. Dinamakan pleomorfik karena terbentuk dari sel-sel epitel dan jaringan ikat. Pertumbuhan tumor ini lambat, berbentuk bulat, dan konsistensinya lunak. Secara histologi dikarakteristik dengan struktur yang beraneka ragam.biasanya terlihat seperti gambaran lembaran, untaian atau seperti pulau-pulau dari spindel atau stellata. Penatalaksanaanya yaitu eksisi bedah dari kelenjar yang terkena.11,17 Gambar 19. Pleomorfik adenoma 2) Warthin's tumor (kistadenoma limfomatosum papiler, adenoma kistik papiler) Tumor ini tampak rata, lunak pada daerah parotis, memiliki kapsul apabila terletak pada kelenjar parotis dan terdiri atas kista multipel. Histologi Warthin's tumor yaitu memiliki stroma limfoid dan sel epitelial asini. Perubahan menjadi ganas tidak pernah dilaporkan. Lebih sering ditemukan pada kelenjar mayor.4 Gambar 20. Bentuk Whartin’s tumor (kanan). Gambaran histologi Whartin’s tumor dari kelenjar parotis (kiri). 3) Papiloma intraduktal Berbentuk kecil, lunak dan biasanya ditemukan pada lapisan submukosa. Gambaran mikroskopiknya tampak dilatasi kistik duktus parsial dengan epitel kuboid. Sangat jarang terjadi pada kelenjar minor.11 4) Oxyphil adenoma (oncosistoma) Sangat jarang ditemukan, lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan ratio 2:1. Diameternya kecil (< 5 cm), pertumbuhannya lambat dan berbentuk sferis. Dapat terjadi rekurens jika eksisi tumor tidak komplit.11 2.3.7 Tumor Ganas Kelenjar Liur 1) Mukoepidermoid karsinoma Kebanyakan berasal dari kelenjar parotis dan biasanya memiliki gradasi yang rendah. Sering terjadi pada orang dewasa dan wanita > laki-laki dekade antara 30-40 tahun. Hampir 75% pasien mempunyai gejala pembengkakan yang asimtomatis, 13 % dengan rasa sakit, dan sebagian kecil lainnya dengan paralisis nervus fasialis. Tumor ini tidak berkapsul, dan metastasis kelenjar limfe ditemukan sebanyak 30-40 %.11 Gambar 21. Gambaran klinis karsinoma mukoepidermoid 2) Kista Adenoma karsinoma Merupakan karsinoma yang paling banyak pada kelenjar minor. Pertumbuhannya lambat dan kebanyakan memiliki gradasi yang rendah. Dapat berulang setelah dilakukan pembedahan, kadang-kadang beberapa bulan setelah operasi. Umumnya melibatkan penderita antara usia 40 dan 60 tahun.11 Gambar 22. Gambaran klinis karsinoma adenokistik 3) Adenokarsinoma Terdapat beberapa tipe adenokarsinoma: a) Karsinoma sel asinik Paling banyak berasal dari kelenjar parotis dan pertumbuhannya lambat. Tumor ini berkapsul, merupakan suatu proliferasi sel-sel yang membentuk masa bulat, dengan diameter kurang dari 3 cm.11 Gambar 23. Gambaran klinis pederita karsinoma sel asini (kanan). Pembedahan pada kasus karsinoma sel asini kelenjar saliva (kiri). b) Adenokarsinoma polimorfik grade rendah Kebanyakan berasal dari kelenjar minor c) Adenokarsinoma yang tidak dispesifikasikan: Bila dilihat di mikroskop tumor ini memiliki penempakan yang cukup untuk disebut adenokarsinoma, tetapi belim memiliki penampakan untuk dispesifikasikan.sering berasal dari kelenjar parotis dan kelenjar minor.4 d) Adenokarsinoma yang jarang: Contohnya seperti basal sel adenokarsinoma, clear cell adenokarsinoma, kista adenokarsinoma, sebaceus adenokarsinoma, musinous adenokarsinoma.11 b. Mixed tumor maligna Terdiri atas 3 tipe yaitu, karsinoma ex pleomorfik adenoma, karsinosarkoma dan mixed tumor metastasis. Kasrinoma ex pleomorfik adenoma merupakan tipe yang paling banyak. Karsinoma ex pleomorfik adenoma merupakan kanker yang berkembang dari mixed tumor jinak (pleomorfik adenoma). Kebanyakan terjadi pada kelenjar liur mayor.11 c. Kanker kelenjar liur lainnya yang jarang Squamous sel karsinoma: terutama pada laki-laki yang tua. Dapat berkembang setelah terapi radiasi untuk kanker yang lain pada area yang sama. Epitelial-mioepitelial karsinoma Anaplastik small sel karsinoma Karsinoma yang tidak berdiferensiasi Limfoma non hodgkin .11 2.3.10 Patofisiologi Teori multiseluler: teori ini menyatakan bahwa tumor kelenjar liur berasal dari diferensiasi sel-sel matur dari unit-unit kelenjar liur. Seperti tumor asinus berasal dari sel-sel asinar, onkotik tumor berasal dari sel-sel duktus striated, mixed tumor berasal darisel-sel duktus interkalated dan mioepitelial, squamous dan mukoepidermoid karsinoma berasal dari sel-sel duktus ekskretori. Teori biseluler: teori ini menerangkan bahwa sel basal dari glandula ekskretorius dan duktus interkalated bertindak sebagai stem sel. Stem sel dari duktus interkalated dapat menimbulkan terjadinya karsinoma acinous, karsinoma adenoid kistik, mixed tumor, onkotik tumor dan Warthin's tumor. sedangkan stem sel dari duktus ekskretorius menimbulkan terbentuknya skuamous dan mukoepidermoid karsinoma.3 2.3.10 Manifestasi Klinik A. Gejala Biasanya terdapat pembengkakan di depan telinga dan kesulitan menggerakkan salah satu sisi wajah. Pada tumor parotis benigna biasanya asimtomatis (81%), nyeri didapatkan pada sebagian pasien (12%), dan paralisis nervus fasialis (7%). Paralisis nervus facialis lebih sering didapatkan pada pasien dengan tumor parotis maligna, tetapi paralisis nervus facialis lebih sering berhubungan dengan Bell palsy. Adanya bengkak biasanya mengurangi kepekaan wilayah tersebut terhadap rangsang (painless) dan menyebabkan pasien kesulitan dalam menelan.11,15 B. Tanda Pada tumor benigna benjolan bisa digerakkan, soliter, dan keras. Namun, pada pemeriksaan tumor maligna diperoleh benjolan yang terfiksasi , konsistensi keras, dan cepat bertambah besar.15 2.3.8 Staging tumor Parotis Union Internationale Contre le Cancer (UICC) tahun 1997 dan American Joint Commitee (AJCC) tahun 2002, membagi stadium dari tumor ganas kelenjar parotis berdasarkan ukuran tumor (T), pembesaran kelenjar getah bening regional (N), dan ada atau tidaknya metastasis (M). Klasifikasi TNM tumor ganas parotis.15 T T0 Tidak ada tumor primer T1 Ukuran tumor ≤2 cm, penyebaran ekstra parenkim (-) T2 Ukuran tumor 2-4 cm, penyebaran ekstraparenkim (-) T3 Ukuran tumor 4-6 cm, atau ada penyebaran ekstraparenkim tanpa adanya keterlibatan NVII T4 Ukuran tumor ≥6 cm, atau ada keterlibatan NVII, atau ada infiltrasi intracranial N Nx Metastasis kgb belum dapat ditentukan N0 Metastasis kgb (-) N1 Metastasis kgb <3 cm, ipsilateral, soliter N2 Metastasis kgb 3-6 cm, soliter/multipel, ipsilateral/kontralateral/bilateral N2a Metastasis kgb 3-6 cm, soliter, ipsilateral N2b Metastasis kgb 3-6 cm, multipel, ipsilateral N2c Metastasis kgb 3-6 cm, multipel, bilateral N3 Metastasis kgb ≥ 6 cm M M0 Metastasis jauh (-) M1 Metastasis jauh (+) Stadium tumor ganas parotis.14 Stadium I T1-2 N0 M0 II T3 N0 M0 III T1-2 N1 M0 IV T4 N0 M0 T3-4 N1 M0 Tany N2-3 M0 Tany Nany M1 2.3.9 Diagnosis a.Pemeriksaan Klinis 1) Anamnesa Anamnesa dengan cara menanyakan kepada penderita atau keluarganya tentang : a.) Keluhan Pada umumnya hanya berupa benjolan soliter, tidak nyeri, di pre/infra/retro aurikula (tumor parotis), atau di submandibula (tumor sumandibula), atau intraoral (tumor kelenjar liur minor) Rasa nyeri sedang sampai hebat (pada keganasan parotis atau submandibula) Paralisis n. fasialis, 2-3% (pada keganasan parotis) Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran (lobus profundus parotis terlibat) Paralisis n.glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus, pleksus simpatikus (pada karsinoma parotis lanjut) Pembesaran kelenjar getah bening leher (metastase) b.) Perjalanan penyakit ( progresivitas penyakit) c.) Faktor etiologi dan resiko (radioterapi kepala leher, ekspos radiasi) d.) Pengobatan yang telah diberikan serta bagaimana hasil pengobatannya e.) 2) Berapa lama kelambatan.15,18 Pemeriksaan fisik a.) Status general Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan : Penampilan (Karnofski / WHO) Keadaan umum Adakah anemia, ikterus, periksa T,N,R,t, kepala, toraks, abdomen, ekstremitas,vertebra, pelvis Apakah ada tanda dan gejala ke arah metastase jauh (paru, tulang tengkorak, dll) b.) Satus lokal Inspeksi (termasuk inraoral, adakah pedesakan tonsil/uvula) Palpasi (termasuk palpasi bimanual, untuk menilai konsistensi, permukaan, mobilitas terhadap jaringan sekitar) Pemeriksaan fungsi n.VII,VIII,IX,X,XI,XII c.) Status regional Palpasi apakah ada pembesaran kelenjar getah bening leher ipsilateral dan kontralaeral. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukuran terbesar, dan mobilitasnya.18 2.3.10 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologis (Atas Indikasi) a) Imaging Foto Polos Foto polos sekarang jarang digunakan untuk mengevaluasi glandula salivatorius mayor. Foto polos paling baik untuk mendeteksi adanya radioopaque ada sialolithiasis, kalsifikasi, dan penyakit gigi. Foto madibula AP/Eisler, dikerjakan bila tumor melekat tulang. Sialografi, dibuat bila ada diagnosa banding kista parotis / submandibula. Foto toraks terkadang dilakukan untuk mencari metastase jauh. Meskipun foto polos dapat diperoleh secara cepat dan relatif murah, namun memiliki keterbatasan nilai klinis karena hanya dapat mengidentifikasi kalsifikasi gigi. Sialolit atau kalsifkasi soft tissue lebih mudah diidentifikasi lebih mudah diidentifikasi menggunakan USG dan CT Scan.8 USG USG pada pemeriksaan penunjang berguna untuk evaluasi kelainan vaskuler dan pembesaran jaringan lunak dari leher dan wajah, termasuk kelenjar saliva dan kelenjar limfe. Cara ini ideal untuk membedakan massa yang padat dan kistik. Kerugian USG pada daerah kepala dan leher adalah penggunaannya terbatas hanya pada struktur superficial karena tulang akan mengabsopsi gelombang suara.8 Gambar 2.10. Warthin tumor of the right parotid gland: The above sonographic images of the right parotid gland show an obvious well defined, hypoechoic mass within the middle third of the gland in this middle aged male. Measuring 2.7 x 1.8 cms., the mass shows mild posterior acoustic enhancement (a feature of pleomorphic adenoma). CT Scan Gambaran CT tumor parotis adalah suatu penampang yang tajam dan pada dasarnya mengelilingi lesi homogen yang mempunyai suatu kepadatan yang lebih tinggi dibanding glandular tisssue. Tumor mempunyai intensitas yang lebih besar ke area terang (intermediate brightness. Foci dengan intensitas signal rendah (area gelap/radiolusen) biasanya menunjukkan area fibrosis atau kalsifikasi distropik. Kalsifikasi ditunjukkan dengan tanda kosong (signal void) pada neoplasma parotid sebagai tanda diagnosa.7 Pemeriksaan radiografi CT dan MRI berguna untuk membantu menegakkan diagnosa pada penderita tumor parotid. Dengan CTI, deteksi tumor 77% pada bidang aksial dan 90% pada bidang aksial dengan CE CT. Pemeriksaan Tumor parotis dengan CTI oleh radiolog untuk mengetahui lokasi dan besar tumor, deteksi lesi, batas tumor, batas lesi, aspek lesi, kontras antara lesi dengan jaringan sekitarnya, gambaran intensitas dari lesi, keberhasilan pemakaian medium kontras, aspek lesi setelah injeksi medium kontras, deteksi kapsul nya dan resorpsi tulang yang terjadi di sekitar lesi tersebut.8 Deteksi lesi dapat diklasifikasikan menjadi positif atau negatif. Pinggir lesi dapat diklasifikasikan menjadi kurang jelas atau semuanya jelas. Batas lesi dapat diklasifikasikan menjadi halus atau berlobus. Aspek lesi dapat diklasifikasikan menjadi homogen atau tidak homogen. Kontras antara lesi dengan jaringan sekitarnya dapat diklasifikasikan menjadi tinggi atau rendah. Gambaran intensitas dari lesi dengan otot disebelah lesi diklasifikasikan kedalam empat kelompok: tinggi, intrermediet, rendah, atau gabungan tinggi dengan rendah. Aspek lesi terhadap injeksi medium kontras diklasifikasikan menjadi homogen, tidak homogen dan perifer. Deteksi kapsulnya dan resorpsi tulang diklasifikasikan menjadi positif atau negatif.8 MRI Pemeriksaan MRI bisa membantu untuk membedakan massa parotis yang bersifat benigna atau maligna. Pada massa parotis benigna, lesi biasanya memiliki tepi yang halus dengan garis kapsul yang kaku. Namun demikian, pada lesi malignansi dengan grade rendah terkadang mempunyai pseudokapsul dan memiliki gambaran radiografi seperti lesi benigna.Lesi malignansi dengan grade tinggi memiliki tepi dengan gambaran infiltrasi.7 Gambar 24. Karsinoma ex pleomorphicadenoma PET (Positron Emission Tomography) Alat ini menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai fluorine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respon terhadap sel-sel yang terkena kanker.8 b) Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali fosfatase, BUN/kreatinin, globulin, albumin, serum elektrolit, faal hemostasis, untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.10 c) Pemeriksaan Patologi FNA Belum merupakan pemeriksaan baku. Pemeriksaan ini harus ditunjang oleh ahli sitopatologi handal yang khusus menekuni pemeriksaan kelenjar liur. Biopsi insisional Dikerjakan pada tumor ganas yang inoperabel. Biopsi eksisional Pada tumor parotis yang operabel dilakukan parotidektomi superfisial Pada tumor submandibula yang operabel dilakukan eksisi submandibula Pada tumor sublingual dan kelenjar liur minor yang operabel dilakukan eksisi luas ( minimal 1 cm dari batas tumor). Pemeriksaan potong beku Dikerjakan terhadap spesimen operasi pada biopsi eksisional. Pemeriksaan spesimen operasi. 4 2.3.11 Diagnosis Banding 8 a. Inflamasi: 1) Abses/sellulitis/reactive adenopathy 2) Benign lymphoepithelialcysts (AIDS) 3) Autoimun/Sjogren syndrome b. Benign tumor : 1) Benign mixed tumor (pleomorphic adenoma) 2) Warthin tumor 3) Lipoma c. Malignansi : 1) Mucoepidermoid carcinoma 2) Adenoid cystic carcinoma; 3) Non-Hodgkin lymphoma 4) Malignant mixed tumor; 5) Lainnya: acinar cell carcinoma, adenocarcinoma, squamouscell carcinoma d. Metastasis: 1) Skin squamous cell carcinoma or melanoma 2) Breast orlung carcinoma 3) Nodal non-Hodgkin lymphoma. 2.3.12 Komplikasi Komplikasi pasca operasi parotis Sindrom Frey Kelumpuhan saraf fasialis. Fistula kelenjar liur. 9 2.3.13 Penatalaksanaan Pengobatan tumor parotis adalah multidisipliner termasuk bedah, neurologi, radiologi diagnostik dan inventersional, onkologi dan patologi. Faktor tumor dan pasien harus diperhitungkan termasuk keparahannya, besarnya tumor, tingkat morbiditas serta availabilitas tenaga ahli dalam bedah, radioterapi dan khemoterapi. a. Tumor operable 1) Terapi utama Terapi utama pada tumor parotis yang operable adalah pembedahan, dapat berupa: a. Parotidektomi superfisial, dilakukan pada tumor jinak parotis lobus superfisialis. b. Parotidektomi total, dilakukan pada : Tumor ganas parotis yang belum ada ekstensi ekstraparenkim dan n.VII Tumor jinak parotis yang mengenai lobus profundus Parotidektomi total diperluas, dilakukan pada tumor ganas parotis yang sudah ada ekstensi ekstraparenkim atau n.VII Deseksi leher radikal (RND), dikerjakan bila terdapat metastase kelenjar getah bening leher yang masih operabel.9 2) Terapi tambahan Terapi tambahan berupa radioterapi pasca bedah dan diberikan pada tumor ganas dengan kriteria : a. High grade malignancy b. Masih ada residu makroskopis atau mikroskopis c. Tumor menempel pada syaraf (n.fasialis, n.lingualis, n.hipoglosus, n. asesorius ) d. Setiap T3,T4 e. Karsinoma residif f. Karsinoma parotis lobus profundus Radioterapi sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah pembedahan untuk memberikan penyembuhan luka operasi yang adekuat, terutama bila telah dikerjakan alih tandur syaraf. - Radioterapi lokal diberikan pada lapangan operasi meliputi bekas insisi sebanyak 50 Gy dalam 5 minggu. - Radioterapi regional/leher ipsilateral diberikan pada T3,T4, atau high grade malignancy. 13 b. Tumor inoperabel 1) Terapi utama : 65 – 70 Gy dalam 7-8 minggu Radioterapi 2) Terapi tambahan Kemoterapi : a) Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma) adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1 5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1 sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2 diulang tiap 3minggu b) Untuk jenis karsinoma sel sqamous (squamous cell carcinoma, mucoepidermoid carcinoma) methotrexate 50mg/m2 iv pada hari ke 1 dan 7 sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2. 9 diulang tiap 3minggu c. Metastase Kelenjar Getah Bening (N) 1) Terapi utama a) Operabel : deseksi leher radikal (RND) b) Inoperabel : radioterapi 40 Gy/+kemoterapi preoperatif, kemudian dievaluasi - menjadi operabel RND - tetap inoperabel radioterapi dilanjutkan sampai 70Gy 2) Terapi tambahan Radioterapi leher ipsilateral 40 Gy. 10 d. Metastase Jauh (M) Terapi paliatif : khemoterapi 1) Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma, adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell carcinoma) adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1 5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1 sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2 2) Untuk jenis karsinoma sel squamous (squamous cell carcinoma, mucoepidermoid carcinoma) methotrexate 50mg/m2 iv pd hari ke 1 dan 7 sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2. 13 diulang tiap 3minggu 2.3.14 Prognosis Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histology, perluasan local dan besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher.Jika sebelum penanganan tumor maligna telah ada kehilangan fungsi saraf, maka prognosisnya lebih buruk. Untuk tumor maligna, pengobatan dengan eksisi dan radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50%, bahkan pada keganasan dengan derajat tertinggi. Ketahanan hidup 5 tahun kira-kira 5%, namun hal ini masih tetap tergantung kepada histologinya.5 2.4 Tumor Laring 2.4.1 Definisi Karsinoma laring atau tumor ganas laring merupakan suatu keganasan yang terjadi pada sel skuamosa laring. Karsinoma sel skuamosa merupakan 95% 98% jenis kelainan histopatologi dari semua tumor ganas laring. Tumor ganas laring bukanlah hal yang jarang ditemukan di bidang THT. Sebagai gambaran, diluar negeri tumor ganas laring menempati urutan pertama dalam urutan keganasan di bidang THT, sedangkan di RSCM menempati urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring, tumor ganas hidung dan sinus paranasal.1 Tumor Ganas laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan, dengan perbandingan 5:1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun. Laring berperan sebagai organ sentral dalam koordinasi dari fungsi saluran aerodigestif atas pada respirasi, bicara dan menelan. Harapan hidup dan keberhasilan terapi pada keganasan laring ditentukan oleh stadium dan lokasi tumor. Laring dibagi menjadi tiga bagian yaitu supraglotis (kranial dari plika vokalis), glotis (plika vokalis) dan subglotis (kaudal dari plika vokalis). Tumor ganas laring berasal dari bagian glotis diikuti supra glotis kemudian subglotis.1,2 Untuk menegakkan diagnosa tumor ganas laring masih belum memuaskan, hal ini disebabkan antara lain karena letaknya dan sulit untuk dicapai sehingga dijumpai bukan pada stadium awal lagi. Biasanya pasien datang dalam keadaan yang sudah berat sehingga hasil pengobatan yang diberikan kurang memuaskan. Yang terpenting pada penanggulangan tumor ganas laring ialah diagnosa dini. Suara serak adalah gejala dini yang utama pada keganasan laring, terutama bila tumor berasal dari pita suara atau glotis. Hal ini menyebabkan adanya gangguan fungsi fonasi laring akibat ketidakteraturan pita suara, gangguan pergerakan / getaran pita suara dan penyempitan celah pita suara.2,3 2.4.2 Anatomi Laring Laring dibentuk oleh sebuah tulang di bagian atas dan beberapa tulang rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa.14 Gambar 25. Tulang dan kartilago laring Tulang dan tulang rawan laring yaitu : 1. Os Hioid: terletak paling atas, berbentuk huruf “U”, mudah diraba pada leher bagian depan. Pada kedua sisi tulang ini terdapat prosesus longus dibagian belakang dan prosesus brevis bagian depan. Permukaan bagian atas tulang ini melekat pada otot-otot lidah, mandibula dan tengkorak. 2. Kartilago tiroid : merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang. 3. Kartilago Krikoid : terletak di belakang kartilago tiroid dan merupakan tulang rawan paling bawah dari laring. Di setiap sisi tulang rawan krikoid melekat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoaritenoid lateral dan di bagian belakang melekat otot krikoaritenoid posterior. Otot-otot laring terdiri dari 2 golongan besar, yaitu : 1. Otot-otot ekstrinsik : Otot elevator : - M. Milohioid, M. Geniohioid, M. Digrastikus dan M. Stilohioid Otot depressor : - M. Omohioid, M. Sternohioid dan M. Tirohioid 2. Otot-otot Intrinsik : Otot Adduktor dan Abduktor : - M. Krikoaritenoid, M. Aritenoid oblique dan transversum Otot yang mengatur tegangan ligamentum vokalis : - M. Tiroaritenoid, M. Vokalis, M. Krikotiroid Otot yang mengatur pintu masuk laring : - M. Ariepiglotik, M. Tiroepiglotik.4-7 Gambar 26. Otot ekstirnsik dan intrinsik laring 2.4.3 Histologi Epitel yang menutupi laring terdiri dari epitel gepeng tanpa keratinisasi atau epitel berlapis bersilia. Mukosa laring mengandung banyak kelenjar seromukus, terutama banyak di pita suara palsu dan ventrikel dan kemungkinan menjadi tempat kista retensi. Di bawah epitel laring terdapat membran basalis yang jumlahnya dan sifatnya bervariasi pada berbagai lokasi laring. Jaringan submukosa berisi stroma longgar dan fibrosa, kecuali pada permukaan laring epiglotis dan pita suara, di mana epitelnya melekat erat.11 Gambar 26. Histologi laring a. Histopatologi Laring Gambaran terdapatnya invasi sel karsinoma adalah desmoplasia di sekitar sel skuamosa. Pertumbuhan dan perkembangan tumor pada daerah laring hampir sama dengan karsinoma sel skuamosa pada kulit. Derajat perkembangan tumor dapat dilihat berdasarkan aktivitas mitosis, jembatan antar sel, pembentukan Mutiara dan tingkat keratinisasi.8,11 Gambar 27. histologi b. Struktur Penyangga Laring Os hyoid terdiri dari korpus, dua kornu mayor dan dua kornu minor. Permukaan posterior superior hyoid merupakan tempat perlekatan membran hyoepiglotik dan tirohyoid, karena itu hyoid membentuk batas anterosuperior ruang praepiglotik dengan valekula yang berada diatasnya. Perlekatan os hyoid ke mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohyoid dan otot-otot digastrikus, stilohyoid, milohyoid, hyoglosus, dan geniohyoid akan mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama proses menelan dan fonasi. Perlekatan m. Sternohyoid dan m. Omohyoid pada os hyoid penting untuk gerakan laring bagian inferior. 11 Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin dan yang terbesar di laring. Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior dan membentuk sudut lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin, 90 derajat pada pria dewasa dan 120 derajat pada wanita. Pada pria, bagian superior sudut tersebut membentuk penonjolan subkutan disebut Adam’s apple atau jakun. Bagian atas ala dipisahkan dengan lekukan yang dalam, insisura tiroid superior.3,4 c. Bagian dalam Laring Batas superior laring ditandai oleh pinggir bebas epiglotis, plika ariepiglotik, kartilago kornikulatum, dan batas superior daerah interaritenoid. Batas inferior adalah pinggir inferior kartilago krikoid.10 Vestibulum laring adalah bagian di atas pita suara. Dinding anterior supraglotis dibentuk oleh epiglotis yang meruncing ke inferior, batas bawahnya ditandai oleh suatu penonjolan, yaitu tuberkulum epiglotikum, yang terletak 1 sampai 1,5 cm diatas komisura anterior ada penonjolan dua masa yang lunak ke dalam vestibulum, yaitu plika ventrikularis atau pita suara palsu yang di anterior melekat pada epiglotis dekat tangkai dan di posterior bersatu dengan mukosa di permukaan arytenoid.14 2.4.4 Vaskularisasi Laring Pendarahan laring berasal dari a. Laringius superior, a. Laringius inferior, dan a. Krikotiroid. A. tiroid superior berasal dari bagian bawah a. Karotis eksterna atau a. Karotis komunis (15%). Arteri keluar jauh di dalam lapisan otot pengikat dan bercabang ke a. Laringius superior dekat tempat asalnya. A. Laringius superior terbagi menjadi dua cabang, a. Infrahyoid dan a. Krikotiroid sebelum memasuki laring melalui membran tirohyoid bersama n. laringius internus. A. krikotiroid berjalan menuju inferior, bersama ramus eksterna n. laringius superior. Arteri ini berjalan jauh di dalam otot pengikat pada waktu menempel pada m. Konstriktor inferior dan akhirnya memasuki laring melalui membran krikotiroid sedikit lateral dari garis tengah. A. tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus tiroservikal dari a. Subklavia, a. tiroid inferior memberikan cabang a. Laringius inferior sewaktu menyilang n. laringius rekuren. Aliran balik vena laring dibawa oleh v. Laringius superior, v. Tiroid superior dan media, yang semuanya akan bermuara di v. Jugularis interna.1.8 2.4.5 Fisiologi Laring Laring merupakan sebuah katup yang mengatur terbukanya saluran nafas bawah. Bersuara dan berbicara adalah fungsi sekunder daripada laring . pita suara mengabduksi untuk membuka saluran nafas dan mengadduksi untuk menutup saluran nafas. Pinggiran pita suara dilapisi oleh mukosa yang sangat khusus untuk bervibrasi, dengan struktur berlapis dari submukosa. Suara dihasilkan ketika udara menekan keluar dari paru-paru sehingga mengadduksi laring. 8 Mekanisme perlindungan jalan napas oleh laring mempunyai tingkatan perlindungan pertama melalui elevasi daripada laring. Laring bergerak ke atas dan ke depan, epiglotis bergerak ke bawah dan ke belakang, pita suara palsu dan asli menyempit.8,9 Batuk juga merupakan mekanisme perlindungan jalan napas oleh laring. Batuk adalah ekshalasi yang kuat dan melawan goltis yang tertutup sehingga terbuka secara tiba-tiba. Batuk mempunyai 3 fase pada laring, pertama abduksi laring selama fase inspiratori, penyempitan laring selama fase kompresif, dan abduksi yang luas ketika fase ekspulsif.3,9 2.4.6 Faktor risiko dan Etiologi Penyebab kanker laring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok dan peminum alkohol memiliki risiko tinggi terhadap kanker laring. Analisis internasional menunjukkan kurang lebih 89% terjadinya kanker laring disebabkan dampak kombinasi merokok dan konsumsi alkohol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya kanker laring pada pekerja-pekerja yang terpapar asbes dan debu kayu. Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayur-sayuran berhubungan dengan menurunnya risiko kanker kepala dan leher subtipe apapun. Sehingga hal ini menunjukan buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan faktor protektif pada kanker laring. Peran Human Papilloma Virus subtipe 16 dan 18 diketahui berpengaruh terhadap kanker laring, yaitu 21% kanker laring pada wanita terdeteksi HPV subtipe 16 dan 18.10,11 2.4.7 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis karsinoma laring berbeda-beda tergantung letak tumor yang dimulai di laring. Kondisi kesehatan lainnya juga dapat menyebabkan gejala yang sama seperti karsinoma laring. Gejala karsinoma laring biasanya ditandai perubahan suara seperti suara serak dan suara lemah yang terjadi lebih dari beberapa minggu. Manifestasi lain kanker laring meliputi: Sakit tenggorokan yang terus menerus Merasa ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan Sulit menelan atau sakit saat menelan Batuk Sakit telinga Kesulitan bernapas Napas berisik (mengi) Benjolan terasa di leher Napas berbau busuk Penurunan berat badan Serak merupakan gejala dini dari karsinoma laring yang berlokasi di glotis. Serak disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Jika ada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot 1okalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. 5 Keluhan serak sebagai gejala awal tumor supraglotis dan subglotis berkaitan dengan prognosis yang buruk. Dispnea dan stridor merupakan gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau sekret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi. Batuk merupakan keluhan yang jarang ditemukan pada tumor ganas glotik. Keluhan ini biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Keluhan lainnya yaitu nyeri tekan laring yang merupakan gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.5,8 2.4.8. Patofisiologi Timbulnya karsinoma pada laring dapat mengganggu fungsi laring karena karsinoma tersebut dapat mengobstruksi serta merusak struktur dan fungsi laring. Gejala dapat bervariasi tergantung struktur yang terlibat dalam keganasan dan ada/tidaknya reaksi inflamasi.7,14 2.4.9 Klasifikasi Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, membagi tumor ganas laring berdasarkan letak tumor, yaitu 5 1. Supraglotis Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglotis sampai batas atas glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring. 2. Glotis Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotis adalah 10 mm dibawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot – otot intrinsik pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu, tumor glotis dapat mengenai satu atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglotis sejauh 10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosesus vokalis kartilago aritenoid. 3. Subglotis Tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas inferior krikoid. Klasifikasi Tumor Ganas Laring ( AJCC dan UICC 1988 ) sebagai berikut : 1. Tumor primer (T) Supra glotis : T is : tumor insitu T 0 : tidak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal T1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi. T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara palsu T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan atau adanya infiltrasi ke dalam T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring. 2. Glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli T 1b : tumor mengenai kedua pita suara T2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun sub glotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring 3. Sub glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada subglotis T 1a : tumor terbatas pada satu sisi T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan atau meluas keluar laring 4. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) N x : kelenjar tidak dapat dinilai N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar N 1 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter ≤ 3 cm N 2 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 – <6 cm atau klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm N 2a : klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter > 3 cm ≤ 6 cm. N 2b : klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm N 3 : kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral N 3 a : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm N 3 b : klinis terdapat kelenjar bilateral N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral 5. Metastase jauh (M) M 0 : tidak ada metastase jauh M 1 : terdapat metastase jauh 6. Stadium : Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 ; T1, T2, T3, N1, M0 Stadium IV : T4, N0, M0 ; Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1.3,6 2.4.10 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita sudah cukup lama, tidak bersifat hilang-timbul meskipun sudah diobati dan cenderung makin lama makin berat. Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan kaca laring atau atau langsung dengan menggunakan laringoskop. Pemeriksaan ini untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomik. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium darah, juga diperlukan pemeriksaan radiologik. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT Scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomik dari bahan biopsi laring, dan biopsi jarum halus pada pembesaran kelenjar getah bening di leher. Dari hasil patologi anatomik yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.13 2.4.11 Pemeriksaan Penunjang Untuk melihat laring dibutuhkan untuk mengidentifikasi lesi melalui laringoskopi fleksibel menggunakan fiber optics atau stroboscopy. Penggunaan videoostroboscopy memiliki sensitivas 96,8% dan spesifitas 92,8% terhadap memprediksi invasif lesi. Selain itu juga penting untuk melakukan biopsi pada lokasi yang diduga tumor secara langsung atau dengan fine needle aspiration pada nodus limfatikus yang terlibat.14 Imaging dapat dilakukan pada untuk mendukung derajat dari keganasan, seperti penggunaan Computed Axial Tomography yang berguna dalam menilai efek keganasan terhadap struktur tulang.10 2.4.12 Penatalaksanaan Tujuan utama terapi pada karsinoma laring yaitu: 1. Menyembuhkan penyakit 2. Mempertahankan fungsi laring 3. Menurunkan tingkat morbiditas Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan, maka ditentukan tinfakan yang akan diambil sebagai penanggulangannya. Ada 3 cara penanggulangan yan lazim dilakukan, yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatik ataupun kombinasi, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi, bila masih memungkinkan atau untuk mendapatkan radiasi. Jenis pembedahan adalah laringektomia totalis atau pun parsial, tergantung lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan lokasi diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar limfa leher. Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation”.3,13,14 2.4.13 Komplikasi Komplikasi yang bisa timbul adalah : Sulit bernafas, infeksi stoma Disfagi3,5 2.4.14 Prognosis Prognosis karsinoma laring secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I : 90 – 98% stadium II : 75 – 85%, stadium III : 60 – 70% dan stadium IV : 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%. Selain itu, umumnya gejala sesak napas dan stridor menunjukan prognosis yang kurang baik karena menunjukan adanya sumbatan jalan napas. 2.5 OSNA (Obstruksi Saluran Napas Atas) 2.5.1 Definisi Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas yakni hidung, faring dan laring yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.7 Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian.7,21 2.5.2 Penyebab dan Gejala Klinis Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh kelainan kongenital, trauma, tumor, infeksi, paralysis satu atau kedua plika vokalis, maupun karena benda asing. 20 Gambar 28. Obstruksi jalan napas atas 2.5.3 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah : a) Serak (disfoni) sampai afoni b) Sesak napas (dispnea) c) Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi. d) Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat. e) Gelisah karena pasien haus udara (air hunger) f) Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia. Gejala-gejala yang mengindikasikan adanya obstruksi pada jalan nafas, dibagi 4 stadium menurut Jackson: 21 Stadium I : Retraksi tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang. Stadium II : Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalan, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi. Stadium III : Retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di Infrakalvikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor saat inspirasi dan ekspirasi Stadium IV : Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan tampak sangat ketakutan serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia. 21 Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak dan penyebab sumbatan, diantaranya adalah : a. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan indirek. b. Nasoendoskopi c. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas. Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like. d. Foto polos sinus paranasal e. CT-Scan kepala dan leher f. Biopsi 2.5.4 Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali. Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan. Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV.7,21 Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu : 1.Intubasi Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulutatau hidung. Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving procedure) dan dapat denganxylocain 10%. dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal 21 • Indikasi intubasi endotrakea adalah : - Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas. - Membantu ventilasi. - Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial - Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari lambung. • Keuntungan intubasi, yaitu: - Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut. - Mudah dikerjakan. • Kerugian intubasi, yaitu: - Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas. - Tidak dapat digunakan dalam waktu lama.Orang dewasa 1 minggu, anakanak 7-10 hari. - Tidak enak dirasakan penderita - Tidak bisa makan melalui mulut. - Tidak bisa bicara. • Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea. Teknik intubasi endotrakea: Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensiLaringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkatkeatas, sehingga pita suara dapat terlihat. Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terusmelalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepalamudah diekstensikan maksimal. Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dandimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkathorizontal ketas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakeadifiksasi dengan plester. 21 Gambar 29. Intubasi Endotrakea 2. Laringotomi (Krikotirotomi) Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid untuk dipasang kanul. Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat. Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah usia 12tahun, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis. Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya diganti dengantrakeostomi dalam waktu 48 jam. 22 Teknik krikotirotomi: - Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasiatlantooksipitalis - Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangankiri. - Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawahsampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. - Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. - Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. - Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara. 22 Gambar 30. Krikotirotomi 3. Trakeostomi Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat lubang sehingga terjadi hubungan langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas. 21 • Indikasi trakeostomi adalah: 1. Mengatasi obstruksi laring. 2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas. 3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus. 4. Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator). 5. Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi. • Keuntungan trakeostomi yaitu: - Dapat dipakai dalam waktu lama. - Trauma saluran napas tidak ada. - Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat dihindari. - Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah - Penderita dapat makan seperti biasa. - Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus. - Jalan napas lancar, meringankan kerja paru. • Kerugian trakeostomi, yaitu: - Tindakan lama. - Cacat dengan adanya jaringan sikatrik. • Jenis irisan trakeostomi ada dua macam: - Irisan vertikal di garis median leher. - Irisan horizontal • Berdasarkan jenis trakeostomi: - Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3. - Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3-4. - Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4-5. Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah: 1. Kelembaban udara masuk. - Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat. - Nebulizer. - Kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma. 2. Kebersihan dalam kanul. - Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½-1 jam pada 24 jam pertama dan tidak boleh terlalu lama setiap suksion, biasanya 10-15detik. Bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau cardiac arrest. - Lakukanlah berkali-kali sampai bersih 3. Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali. 7,21 Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi berikut: - Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak. - Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur, makan dan bekerja. - Penderita sudah dapat bersuara. • Komplikasi trakeostomi: - Waktu operasi: Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock. - Pasca operasi:Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan pada pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea, disfagia,granulasi. • Teknik trakeostomi: - Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk menurun kantekanan vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga terjadi ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi. - Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol. - Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan epinefrin atau adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap diberikan meskipun trakeostomi dilakukan secara anestesi umum. - Dilakukan insisi. 21 Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum, insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah. Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum,membentang antara kedua tepi depan dan medial m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm. Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisialsecara tumpul. Bila tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong saja. - Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada waktu memasang kanul. - Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakea yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator. - Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit. 21 Gambar 31. Teknik Trakeostomi 4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver) Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak dihipofaring. Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan pada paru. Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang tertutupoleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan terlempar keluar. Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati danfraktur iga.23 Teknik perasat heimlich: - Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya. - Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan pada perut bagian atas. - Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan kearah atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar keluar. Pada anak, penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan. - Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara penolong berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium. - Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong benda asing keluar. 23 Gambar 32. Perasat Manouver DAFTAR PUSTAKA 1. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (edisi 13). Binarupa Aksara. 2. Roezin AA, In Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Tumor Hidung dan Sinonasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. p. 154-157. 3. Armiyanto. Keganasan Hidung dan Sinus Paranasal. Dibawakan pada Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM. 4. Rahman S, Firdaus MA. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan Intrakranial dan Metastasis ke Paru. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012. 5. Hillger P, Adam G. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. In Effendi H, Santoso R. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. 6 th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;212.p. 235-137, 429-444. 6. Dhingra P. Anatomy of Nose. In Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th ed. India: Elsevier; 2010. p. 130-135, 141, 165. 7. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010. 8. Gregory Masters, Bruce Brockstein. Dalam : Head and Neck Cancer. USA: Kluwer Academic Publishers, 2003: 158-161. 9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.) 10. Anil K. 2004. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. USA : Mc Graw Hill. 11. Robbins & Kumar.1995; Buku Ajar Patologi I. Edisi 4. Jakarta: EGC. 12. Lee K.J. 2003. Essential Otolaryngology-Head & Neck surgery ed.8 .Connecticut : McGraw-Hill. 13. Dr. Rahman, sukri. Diagnosis Dini Tumor ganas Laring. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Available on line in https://www.researchgate.net/publication/329359306_Diagnosis_Dini_Tum or_Ganas_Laring (accesed @ December 28 2019) 14. Edge S, Byrd DR, Compton CC, Fritz AG, Greene FL, Trotti A. American Joint Comittee on Cancer - Head and Neck cancer staging 2007. 7th. Philadelphia: Springer; 2010 15. Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. USA: Elsevier, 2005 16. Harnsberger H.R.,Osborn A.G. 1991. Differential Diagnosis of Head and Neck Lesions Based on Their Space of Origin.AJR 157:147-154. 17. Joe V.Q., Westesson P.L. 1994. Tumors of the Parotid Gland: MR Imaging Characteristics of Various Histologic Types. AJR163:433-438 18. Peraboi.2003. Protokol Penatalaksanaan Tumor/ Kanker Kelenjar Air Liur. 19. Beers MH, Porter RS. Dalam: Merck Manual of Diagnosis and Theraphy, Ver.10.2.3. USA: Merck Research Laboratories,2007. 20. Yataco JC, Mehta AC. Upper airway obstruction. In: Raoof S, George L, Saleh A, Sung A, editors. Manual of critical care. New York: McGraw Hill Medical; 2009:388-397. 21. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan TelingaHidung-Tenggorok. Edisi 7. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2012. 22. Fagan J. Open Access Atlas Of Otolaryngology, Head & Neck Operative Surgery. Cricothyroidotomy & Needle Cricothyrotomy. University of Cape Town. South Africa. 2010: 1-10 23. Mc Person K, Stephen CM. Managing Airway Obstruction. British Journal of Hospital Medicine, October 2012, Vol 73, No 10.