2.1. 2.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang.4(Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan) Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid Diambil dari (Sitorus, 2004)4 Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. T3 selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin di dalam koloid dari folikel, prealbumin pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah.4(Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan) Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating hormone) dan adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga melalui pengaruh persarafan.5 Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid Diambil dari (Hidayat, 2009)5 1. Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hopofisis. Sekresi TSH diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun. Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga meningkatkan produksi T3 dan T4.5(Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 21 September 2012 available from http://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistemhormon-hormon-adalah-zat-kimia.html) Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa langkah, yaitu:6 (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) 2.2.1. Iodide trapping Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan berhubungan dengan Na,K,ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah kedalamnya (20 kali lebih kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug yodida untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) 2.2.2. Organifikasi (oksidasi dan yodinasi) Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke yodium yang kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal dari residu tirosil, dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT) dan diiodothyrosine (DIT). (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) 2.2.3. Coupling Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT sehingga terbentuk T3 dan T4 yang terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan dari pada T3 meskipun efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam koloid. (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) 2.2.4. Sekresi Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas dari tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah dengan perbandingan T3:T4 = 1:5. Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan hormon diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu tirosil. Hanya sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah (normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3% dan 0,02% dari total hormon keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7 hari (T4). (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) Gambar 3. Produksi dan Regulasi Hormon Tiroid Diambil dari (Price and Lorraine, 2006)6 Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada metabolisme karbohidrat, protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan fungsi katekolamin dalam tubuh.6 (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta) 2.2.5. Pembentukan kalori Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada hampir semua jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior, limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan tubuh akan semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti memperbanyak pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan bertambahnya curah jantung. 2.2.6. Metabolisme karbohidrat Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa oral yang sangat khas. 2.2.7. Metabolisme protein Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar yang berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling pada proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas bertambah. 2.2.8. Metabolisme lemak dan kolesterol Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar kholesterol disebabkan oleh proses metabolisme melebihi proses sintesisnya. 2.2.9. Pertumbuhan Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. 2.2.10. Sistem saraf 2.3.Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif. Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh lebih cepat daripada normal. 2.4.DEFINISI Hipertiroid adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh peningkatan sintesis dan sekresi hormon oleh Kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh tubuh. Tirotoksikosis didefinisikan sebagai manifestasi klinis terkait untuk meningkatkan kadar hormon tiroid. Graves disease (GD) adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy (pretibial myxedema). PATOFISIOLOGI Pada penyakit Graves, autoimunitas yang diperantarai limfosit B dan T diketahui diarahkan pada 4 antigen tiroid yang terkenal: tiroglobulin, tiroid peroksidase, simpanan natrium-iodida dan reseptor tirotropin. Namun, reseptor thyrotropin itu sendiri adalah autoantigen utama penyakit Graves dan bertanggung jawab atas manifestasi hipertiroidisme. Pada penyakit ini, antibodi dan respon imun spesifik antigen tiroid yang diperantarai sel didefinisikan dengan baik. Bukti langsung gangguan autoimun yang dimediasi oleh autoantibodi adalah perkembangan hipertiroidisme pada subjek sehat dengan mentransfer antibodi reseptor thyrotropin dalam serum dari pasien dengan penyakit Graves dan transfer pasif antibodi reseptor thyrotropin ke janin pada wanita hamil. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019) Kelenjar tiroid berada di bawah stimulasi terus menerus dengan mensirkulasi autoantibodi terhadap reseptor thyrotropin, dan sekresi thyrotropin hipofisis ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Aktivitas stimulasi antibodi reseptor thyrotropin kebanyakan ditemukan di subkelas imunoglobulin G1. Antibodi yang merangsang tiroid ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan tiroglobulin yang dimediasi oleh 3, '5'-siklik adenosin monofosfat (siklik AMP), dan mereka juga merangsang penyerapan yodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019) Antibodi anti-natrium-iodida, antithyroglobulin, dan antibodi peroksidase antitiroid tampaknya memiliki sedikit peran dalam etiologi hipertiroidisme pada penyakit Graves. Namun, mereka adalah penanda penyakit autoimun terhadap tiroid. Infiltrasi limfositik intrathyroidal adalah kelainan histologis awal pada orang dengan penyakit tiroid autoimun dan dapat dikorelasikan dengan titer antibodi tiroid. Selain menjadi sumber autoantigen, sel-sel tiroid mengekspresikan molekul yang memediasi adhesi sel T dan regulasi komplemen (Fas dan sitokin) yang berpartisipasi dan berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh. Pada pasien ini, proporsi limfosit CD4 lebih rendah di tiroid daripada di darah perifer. Peningkatan ekspresi Fas dalam limfosit T CD4 intrathyroidal mungkin menjadi penyebab penurunan limfosit CD4 pada orang-orang ini. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019) Beberapa gen kerentanan penyakit tiroid autoimun telah diidentifikasi: CD40, CTLA-4, tiroglobulin, reseptor TSH, dan PTPN22. Beberapa gen kerentanan ini khusus untuk penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto, sementara yang lain memberikan kerentanan terhadap keduanya. kondisi. Predisposisi genetik terhadap autoimunitas tiroid dapat berinteraksi dengan faktor lingkungan atau kejadian untuk memicu timbulnya penyakit Graves. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019) Dua lokus kerentanan baru ditemukan: wilayah RNASET2-FGFR1OP-CCR6 pada 6q27 dan wilayah intergenik pada 4p14. Selain itu, ditemukan hubungan yang kuat antara reseptor hormon perangsang tiroid dan varian kompleks kompleks histokompatibilitas utama varian II dengan autoantibodi reseptor hormon tiroid perangsang tiada tara (TRAb) yang positif. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019) Pasien penyakit kuburan memiliki tingkat konversi sel mononuklear darah perifer yang lebih tinggi menjadi CD34 + fibrosit dibandingkan dengan kontrol sehat. Sel-sel ini dapat berkontribusi pada patofisiologi oftalmopati dengan menumpuk di jaringan orbital dan memproduksi sitokin inflamasi, termasuk TNF-alpha dan IL-6. Dalam sebuah studi asosiasi genom-lebar lebih dari 1500 pasien penyakit Graves dan 1500 kontrol, 6 lokus kerentanan ditemukan terkait dengan penyakit Graves (kompleks histokompatibilitas utama, reseptor TSH, CTLA4, FCRL3, FCN3, RNASET2-FGFR1OP-CCR6 pada 6q27, dan wilayah intergenik pada 4p14. (Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019. Available from https://emedicine.medscape.com/article/120619-print) Gambar 4. TSH dan Kelenjar Tiroid Orang Sehat dan Penderita Graves Disease 2. Diambil dari (Toft, 2001)7 (Toft AD, Subclinical hyperthyroidism [Clinical Practice], N. Engl. J. Med. 345:512-516, 2001) Gambar 5. Patogenesis Graves Disease 1. Diambil dari (Paulev and Zubieta)8 (Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 13 Juli 2019 available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html) 2.5.Diagnosis 2.5.1. Anamnesis Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu:2 (Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta) − Nervositas − Kelelahan atau kelemahan otot-otot − Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik − Diare atau sering buang air besar − Intoleransi terhadap udara panas − Keringat berlebihan − Perubahan pola menstruasi − Tremor − Berdebar-debar − Penonjolan mata dan leher Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari penyakitnya.2 (Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta) Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.2(Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta) 2.5.2. Pemeriksaan Fisik 2.5.2.1.Inspeksi 2.5.2.1.1. Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m. sternokleidomastoideus relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi 2.5.2.1.2. Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen berikut: 2.5.2.1.2.1.Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus 2.5.2.1.2.2.Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler 2.5.2.1.2.3.Jumlah: uninodusa atau multinodusa 2.5.2.1.2.4.Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal 2.5.2.1.2.5.Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak 2.5.2.1.2.6.Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan 2.5.2.2.Palpasi Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi: 2.5.2.2.1. Perluasan dan tepi 2.5.2.2.2. Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba trakea dan kelenjarnya 2.5.2.2.3. Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan 2.5.2.2.4. Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari musculus ini) 2.5.2.2.5. Limfonodi dan jaringan sekitarnya 2.5.2.3.Auskultasi “Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid. Gambar 6. Goiter pada Penderita Graves Disease Diambil dari (Toft, 2001)7 2.5.2.4.Tes Khusus 2.5.2.4.1. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah 2.5.2.4.2. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan 2.5.2.4.3. Oftalmopati Tabel 1. Pemeriksaan Oftalmopati Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan dahi Von Stelwag Mata jarang berkedip Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak dapat mengikuti bulbus okuli sehingga antara palpebra superior dan cornea terlihat jelas sklera bahagian atas Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika mata tertutup Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata pasien di medial, pasien sukar mengadakan dan mempertahankan konvergensi Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar Diambil dari (Hermawan, 2000)2 (Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta) Gambar 7. Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease Diambil dari (Toft, 2001)7 Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila basil BMR > ± 30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.3 (Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri EndokrinologiMetabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18) Tabel 2. Indeks Wayne Diambil dari (Shahab, 2002)3 Tabel 3. Indeks New Castle Diambil dari (Shahab, 2002)3 Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41). Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis GD, yakni : adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.3 (Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18) 2.5.3. Pemeriksaan Penunjang 2.5.3.1.Pemeriksaan laboratorium3 2.5.3.1.1. Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis) Gambar 8. Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme Diambil dari (Shahab, 2002)3 2.5.3.1.2. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave disease. 2.5.3.1.3. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antitiroid seperti thioamides. 2.5.3.1.4. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang meningkat dalam darah 2.5.3.1.5. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang sedang aktif. 2.5.3.2.Pemeriksaan Radiologi3 2.5.3.2.1. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar. 2.5.3.2.2. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid. 2.5.3.2.3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium 2.5.3.2.4. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi). 2.5.3.2.5. MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid) 2.5.3.2.6. Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai terapi. DAFTAR PUSTAKA 1. Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan 2. Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 21 September 2012 available from http://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistem-hormon-hormon-adalah-zatkimia.html 3. Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta 4. Sai-Ching. 2018. Graves Disease. Diakses tanggal 23 Juli 2019. Available from https://emedicine.medscape.com/article/120619-print 5. Toft AD, Subclinical hyperthyroidism [Clinical Practice], N. Engl. J. Med. 345:512516, 2001 6. Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 13 Juli 2019 available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html 7. Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta 8. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18