BIOINSEKTISIDA MIKROBA DAN VIRUS Kelompok 3 ERISKA REGITA CH CHARMELIA ASMA S RAFIQI BARID AFIFAH MAHDIYYAH H031171303 H031171307 H031171308 H031171513 Bioinsektisida Bioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian serangga hama. Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen hayati pada pengendalian hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Menurut Agrios, 1998, Bioinsektisida adalah bahan-bahan alami yang bersifat racun serta dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi organisme pengganggu tanaman. Bioinsektisida terdiri dari empat kelompok sebagai berikut 1. Insektisida Mikrobial Jenis insektisida mikrobial yang paling banyak digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis, virus, dan fungi karena banyak menyerang serangga dengan tingkat penyebaran dan serangan lebih intensif dibanding kelompok mikroorganisme lain. 2. Protektan-Bagian Integral-Tanaman ( PBIT) PBIT adalah bahan insektisida yang telah ditambahkan (dimasukkan) ke dalam tanaman. Kelompok ini sering disebut sebagai tanaman transgenik. 3. Insektisida Biokimia Insektisida biokimia mencakup bahan-bahan seperti feromon seks dan berbagai ekstrak tanaman yang memikat serangga hama kepada perangkap. Insektisida hayati tumbuhan atau insektisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok insektisida biokimia karena mengandung biotoksin. 4. Insektisida Hayati Tumbuhan Penggunaan insektisida hayati tumbuhan merupakan salah satu alternative pilihan. Secara alamiah nenek moyang telah mengembangkan insektisida hayati tumbuhan yang ada di lingkungan pemukiman. Penggunaan Bioinsektisida Mikroba Pemanfaatan bioinsektisida mikroba dapat menggunakan berb agai organisme, misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri bahkan virus. Insektisida mikroba adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh mikroba yang berfungsi untuk membunuh spesies insekta atau mempunyai kemampuan menginfeksi insekta target spesifik. Insektisida mikroba yang paling efektif dan paling sering digunakan adalah toksin yang disintesis oleh Bacillus thuringiensis. Bacillus thuringiensis. Bakteri ini terdiri dari sejumlah strain yang berbeda (subspecies disingkat subsp.), dimana masing-masing subspecies menghasilkan toksin yang berbeda yang membunuh insekta yang berbeda pula. B. thuringiensis sub sp. kurstaki, misalnya, menghasilkan toksin yang membunuh larva lepidopteran. B. thuringiensis subsp. israelensis membunuh diptera seperti, mosquito dan black fly. B. thuringiensis subsp. tenebrionis (juga d ikenalsebagai san diego) efektif membunuh beetle, seperti potato beetle dan boll weevil. Ada banyak strain B. thuringiensis yang lain dan masingmasing menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap insekta yang berbeda. Kerja toksin insektisida B. thuringiensis mengalami hambatan dalam aplikasinya. Untuk membunuh hama insekta, B. thuringiensis harus dicerna oleh insekta. Kontak bakteri atau toksin insektisida dengan permukaan insekta tidak mempunyai pengaruhterhadap insekta target. Faktor pembatas kedua dari kerja toksin insektisida B. thuringiensis adalah toksin ini hanya membunuh insekta pada tahap perkembangan spesifik. Dengan demikian,toksin harus diterapkan ketika populasi hama pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya. Adapun proses dan mekanisme keracunan dan kematian ulat yang disebabkan oleh bioinsektisida B. thuringiensis ditunjukkan pada Gambar disamping 1. Larva ulat memakan tanaman yang telah mengandung spora dan kristal protein B. thuringiensis subsp. kurstaki . 2. Dalam beberapa menit, kristal protein berikatan dengan reseptor spesifik pada dinding usus dan ulat berhenti makan. 3. Beberapa menit kemudian, dinding usus pecah sehingga spora dan bakteri memasuki jaringan tubuh, toksin pun larut dalam darah. 4. Dalam waktu 1-2 hari ulat akan mati. Bioinsektisida dan Virus Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organik biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Dalam sel inang, virus merupakan parasit obligat dan di luar inangnya menjadi tak berdaya. Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal), sementara istilah bakteriofag atau fag digunakan untuk jenis yang menyerang jenis-jenis sel prokariota (bakteri dan organisme lain yang tidak berinti sel). Klasifikasi virus serangga berdasarkan International Committee on Taxonomy Viruses (1991) A. Virus DNA 1. Baculoviruses a.Nuclear polyhedrosis viruses (NPV) b.Granuloviruses (GV) 2. DNA Virus lain a.Ascoviruses b.Iridoviruses c.Parvoviruses d.Polydnaviruses e.Poxviruses B. Virus RNA 1. Reoviruses a. Cytoplasmic polyhedrosis viruses 2. RNA Virus a.Nodaviruses b.Picorna-like viruses c.Tetraviruses pathogen serangga Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan suatu agen pengendali bagi hama, statusnya sebagai musuh alami bagi ulat grayak. Keunggulan dari penggunaan NPV efektif membunuh hama ulat yang menyerang tanaman. NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus). NPV memiliki badan inklusi berbentuk polihedral yang merupakan kristal protein pembungkus virion dengan diameter 0.2 – 20 mm. Kristal protein ini disebut dengan protein polihedrin yang berukuran kurang lebih 29.000 sampai 31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai pelindung infektifitas partikel virus dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA virus dari degradasi akibat sinar ultra violet matahari. NPV ini memiliki sifat menguntungkan antara lain : 1. Memiliki inang spesifik. 2. Tidak mempengaruhi parasitoid dan predator. 3. Dapat mengatasi masalah resistensi akibat penggunaan insektisida 4. Efektif membunuh hama/ulat sasaran yang menyerang pada tanaman bawang merah, bawang putih, bawang daun, kacang-kacangan, tembakau, tomat dan cabe. 5. Ramah lingkungan. Pemanfaatan NPV sebagai Bioinsektisida Potensi pemanfaatan NPV untuk mengendalikan hama pertama kali diketahui pada awal tahun 1900-an. Saat ini di luar negeri, beberapa jenis NPV telah diperjualbelikan sebagai produk bio-insektisida, misalnya : Elcar (berbahan aktif HzNPV) digunakan untuk mengendalikan Helicoverpa zea pada tanaman kapas di Amerika Serikat, Helicoverpa armigera NPV digunakan pada tanaman kapas, tomat dan tembakau di Cina, SAN 404 (berbahan aktif AcMNPV) dan Diprion (berbahan aktif NsSNPV) telah dipasarkan secara bebas. Di Indonesia pemanfaatan NPV sebelumnya hanya terbatas pada tingkat petani- petani pemandu PHT yang jumlahnya sangat kecil, dan belum diproduksi secara komersial di dalam negeri. Mekanisme dan Siklus Hidup NPV di Alam Di alam, NPV biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dan tanah. Manakala termakan oleh serangga inang (ulat) dan masuk ke dalam saluran pencernaan yang memiliki pH tinggi (> 10), maka polihedra akan pecah melepaskan virion infektif. Virion yang terlepas dari matrik protein (pembungkus) akan memulai infeksi ke dalam sel-sel saluran pencernaan ulat yang kemudian DNA akan mengadakan replikasi di inti sel. Proses infeksi SlNPV atau SeNPV dimulai dari tertelannya polihedra (berisi virus) bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, polihedra larut sehingga membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami gejal a abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya. Aplikasi dan Efektivitas Pemakaian Bioinsektisida Bakteri B. thuringiensis umumnya diterapkan dengan penyemprotan, sehingga bakteri ini selalu dicampurkan dengan zat penarik insekta untuk meningkatkan ke mungkinan insekta mencerna toksin. Akan tetapi, insekta yang terdapat di dalam t anaman atau insekta yang menyerang akar tanaman tidak dapat dijangkau oleh t oksin insektisida B. thuringiensis dengan penyemprotan, sehingga strategi yang lain harus dipilih untuk mengendalikan hama insekta tersebut. Salah satu kemung kinannya adalah membuat tanaman transgenik yang membawa dan mengekspre sikan gen toksin B. thuringiensis. VIR-L dan VIR-X yang berbahan aktif SeNPV dan SlNPV diaplikasikan dengan alat semprot, sama seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida (knapsack sprayer). Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk mengendalikan ulat instar 1–3. Penyemprotan sebaiknya diarahkan ke permukaan daun bagian bawah dan dilakukan pada sore atau malam hari agar tidak langsung terkena pengaruh sinar matahari, disamping itu ulat grayak Spodoptera memiliki sifat nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari. KESIMPULAN Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, bioinsektisida yang berbahan aktif bakteri B. thuringiensis, fungi B. bassiana, dan ekstrak tumbuhan cukup prospektif untuk dimanfaatkan sebagai alternatif dalam pengendalian hama pada hutan tanaman karena efektif, selektif, dan aman terhadap lingkungan. Penggunaan B. thuringiensis dalam dua bentuk, yaitu sebagai microbial spray biopesticide dan tanaman transgenik Bt. Virus NPV merupakan virus yang dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami terutama dalam menurunkan populasi hama. Oleh karena itu, daripada memberantas hama menggunakan insektisida yang dimana tidak aman bagi lingkungan dan manusia sebaiknya menggunakan virus NPV yang aman terhadap lingkungan dan sebagai agen hayati. THANK YOU