MODUL PRAKTIKUM GENETIKA IKAN Oleh : Dr. Ayi Yustiati Ibnu Dwi Buwono, M.Si. Walim Lili, M.Si. Ujang Subhan, M.Si. LABORATORIUM BASAH DAN KOLAM PERCOBAAN DEPARTEMEN AKUAKULTUR PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2018 LATAR BELAKANG Genetika ikan merupakan konsep dasar dari pemuliaan ikan, dengan pemahaman genetika diharapkan mahasiwa dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan pemuliaan komoditas perairan. Cakupannya meliputi kegiatan genetika kuantitatif pada spesies ikan, pola pewarisan gen, peranan program sleksi, program hibridisaisi, triploidisasi, ginogenesis dan peranan bioteknologi (program sex reversal). Kegiatan ini mencangkup pemahaman mahasiswa mengenai : 1. Pola pewarisan gen (genetika populasi) 2. Seleksi fenotip kuantitatif 3. Program hibridisasi (eksploitasi varian genetika dominan) 4. Triploidisasi 5. Ginogenesis 6. Sex reversal Diharapkan dengan kegiatan praktikum genetika ikan mahasiswa dapat memahami konsep dasar dari kegiatan pemuliaan ikan untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasi ikan baik dalam pertumbuhan dan kenampakan. POLA PEWARISAN GEN (GENETIKA POPULASI) Tujuan Praktikum Praktikum dengan topik pola pewarisan gen ini atau mengenai genetika populasi bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui kosekuensi pewarisan gen berdasarkan hukum Mendel dalam suatu populasi yang menyangkut frekuensi gen, frekuensi alel dan rasio genotif dan fenotif. Teori Dasar Genetika populasi merupakan genetika kuantitatif sebagai pelengkap pemecahan masalah -masalah konstitusi genetika pada Genetika Mendel. Pengertian mengenai komposisi genetika pada populasi dan pemindahan gen dari suatu generasi ke generasi berikutnya sangat penting sehubungan dengan perubahan komposisi genetika pada populasi akibat seleksi alam maupun seleksi buatan. Saat ini genetika kuantitatif membantu dalam menentukan apakah suatu populasi mempunyai potensi untuk diseleksi atau tidah dan berapa kenaikan hasil yang dapat diharapkan serta metode seleksi mana yang paling efisien (Suryo 1992). Pola pewarisan gen dalam populasi berhubungan dengan frekuensi dan interaksi alel dalam suatu populasi Mendel (Mendel Population), yaitu suatu kelompok interbreeding dari suatu organisme yang masing-masing memiliki gene pool. Gene pool adalah jumlah dari semua alel yang berlainan dalam populasi. Gen-gen ini mempunyai hubungan dinamis dengan alel yang lainnya dan dengan lingkungan seperti seleksi mempunyai kecenderungan untuk mengubah frekuensi gen yang dapat menyebabkan perubahan evolusi dalam populasi. Hardy dan Weinberg (1908) adalah pakar matematika yang menemukan dasar-dasar yang ada hubungannya dengan frekuensi gen di dalam populasi yang dikenal dengan prinsip equilbrium Hardy Weinberg. Hukum tersebut menyatakan bahwa frekuensi gen akan tetap dari generasi ke generasi seterusnya dalam populasi yang besar, keadaan populasi tersevar secara acak, tidak ada seleksi dan migrasi. Hukum ini ternyata mengikuti model matematis dengan rumus binomium (a + b)n dimana memperlihatkan pemisahan dari sepasang alel tunggal (Aa) pada persilangan monohibrid dapat digambarkan sebagai berikut : (a + b) = (A + a)2 = 1 AA + 2 Aa + 1 aa Penggunaan istilah frekuensi gen yang ditinjau dari aspek genetika adalah sebagai berikut : Definisi Frekuensi Gen : f (A) = Jumlah dari alel-alal A Jumlah total semua alel dalam populasi f (a) = Jumlah dari alel-alal a Jumlah total semua alel dalam populasi Aplikasi hukum Hardy Weinberg dalam genetika ikan dapat diuraikan seperti di bawah ini. HUKUM HARDY - WEINBERG (KONSEP “GENE - POOL” ) 1. Dalam populasi persilangan acak (random mating), frekuensi genotif ditunjukkan oleh frekuensi gen. Jika frekuensi gen sebagai berikut : p = f ( A ) dan q = f ( a ) dan p + q = 1, Frekuensi genotif akan : p 2 + 2 pq + q 2 = 1 A 2 + 2 Aa + a 2 = 1 2. Jika frekuensi gen tetap konstan , maka frekuensi genotif akan sama pada setiap generasi dan populasi tersebut dalam keseimbangan genetis (genetic equilibrium). Frekuensi gen berubah karena adanya mutasi, seleksi, dan migrasi. Dalam praktikum ini akan digunakan teknik “ peniruan “ untuk menjelaskan konsep-lonsep utama dari pada populasi genetik, yaitu : 1). Deskripsi genetika yang lengkap dari suatu populasi dapat dilakukan dengan mencatat satu persatu genotif yang ada dan frekuensi relatifnya. 2). Dalam menyusun pengertian frekuensi genetik : a. Frekuensi relatif dari alel – alel pada satu lokus. b. Sistem dari “ persilangan “ yang diperlukan untuk menerangkan secara sederhana “ penurunan secara Mendel “ . Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum adalah kancing baju yang terdiri dari dua ukuran yaitu kancing besar dan kancing kecil, toples plastik sebagai wadah kancing untuk persilangan individu jantan dan betina serta kertas karton untuk membuat kotak-kotak Punnet dalam persilangan individu jantan dan betina dalam suatu populasi. no 1 2 3 4 5 6 7 no 1 no 1 2 3 4 5 6 7 no 1 praktikum 1 frekuensi gen p (A) == q (a) = 0,5 alat jumlah kancing baju ukuran besar 32 kancing baju ukuran kecil 32 kancing baju ukuran besar 32 kancing baju ukuran kecil 32 toples plastik 2 alat tulis 1 alat dokumentasi 1 bahan kertas karton jumlah 1 praktikum 2 frekuensi gen p (A) = 0,75 q (a) = 0,25 alat jumlah kancing baju ukuran besar 48 kancing baju ukuran kecil 48 kancing baju ukuran besar 16 kancing baju ukuran kecil 16 toples plastik 2 alat tulis 1 alat dokumentasi 1 bahan kertas karton jumlah 1 fungsi warna putih sebagai gamet jantan warna putih sebagai gamet betina warna hitam sebagai gamet jantan warna putih sebagai gamet betina sebagai sumber gamet produktif alat catat dokumentasi gambar dan kegiatan fungsi untuk menggambar kotak punet fungsi warna putih sebagai gamet jantan warna putih sebagai gamet betina warna hitam sebagai gamet jantan warna putih sebagai gamet betina sebagai sumber gamet produktif alat catat dokumentasi gambar dan kegiatan fungsi untuk menggambar kotak punet Cara Kerja Praktikum 1 1. Gunakan frekuensi gen p ( A ) = q ( a ) = 0,5. Sediakan masing-masing 32 buah kancing besar warna putih dan hitam sebagai gamet Jantan Sediakan masing-masing 32 buah kancing kecil warna putih dan hitam sebagai gamet Betina 2. Masukkan semua kancing besar ke dalam 1 (satu) wadah plastik dan semua kancing kecil ke dalam wadah plastik yang lain.(masing-masing dalam satu wadah plastik). Wadah plastik tersebut dianggap sebagai sumber (pool) gamet yang produktif. 3. Buatlah 64 zigot secara acak (random) , dianggap sebagai hasil persilangan bebas. Cara membuat zigot ini adalah sebagai berikut : Seorang mahasiswa bertindak sebagai yang menggambarkan gamet jantan dan seorang lagi bertindak sebagai yang menggambarkan gamet betina dengan mengambil kancing besar atau kancing kecil setelah terlebih dulu dilakukan pengocokan terlebih dahulu terhadap wadah plastik tadi. Kancing besar dan kancing kecil yang terambil akan merupakan zigot. Tuliskan setiap zigot yang terbentuk pada kolom yang tersedia . Setelah itu masukkan lagi gamet-gamet ke dala tempatnya dan agar diperhatikan jumlah gamet dalam setiap pool tetap. Lakukan kembali pengecekan kotak dan pembentukan zigot sampai terbentuk 64 zigot. 4. Jawablah pertanyaan di bawah ini : a) Jumlahkan genotip yang dihasilkan dan hitunglah frekuensi gen pada generasi keturunan yang dihasilkan . b) Bagaimanakah penyebaran zigot dari populasi yang dihasilkan oleh gamet-gamet induknya dengan frekuensi gen 0,5 . Apakah sesuai dengan Genetika Mendel ? Praktikum 2 Gunakan frekuensi gen : p (A) = 0,75 dan q (a) = 0,25 Induk betina dilambangkan dengan kancing besar. Warna putih melambangkan gen dominan (A) dan warna hitam melambangkan gen resesif (a). Induk jantan dilambangkan dengan kancing kecil. Warna putih melambangkan gen dominan (A) dan warna hitam melambangkan gen resesif (a). 1. Masukkan semua kancing besar warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke dalam toples plastik 2. Masukkan juga semua kancing kecil warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke dalam toples plastik yang lain 3. Kocok masing-masing toples plastik tersebut sehingga warnanya diasumsikan tercampur secara merata (masing-masing toples dipegang oleh seorang mahasiswa) 4. Mahasiswa yang memegang toples berisi kancing besar menggambarkan gamet betina dan yang memegang toples berisi kancing kecil menggambarkan gamet jantan 5. Ambil satu kancing dari masing-masing toples, apabila yang terambil warna putih maka tulis A dan kalau yang terambil warna hitam tulis a. Hal ini diulang sampai 64 kali, dengan catatan setiap kancing yang telah diambil dikembalikan lagi ke tempat asalnya (merupakan gene pool) sambil terus dikocok 6. Mahasiswa lain dalam kelompoknya bertugas mencatat hasilnya ke dalam kotak Punnet yang telah disediakan (lembar pengamatan). Pengamatan Lembar Pengamatan: Praktikum 1 (Genetika Populasi) Kelompok :………………… Nama Hari/tgl :………………………... : 1. ………………………….. 2 …………………………. 3 …………………………. Perlakuan : p (A) = q (a) = 0,5 Jantan : Kancing Besar : - Warna …………………….: A - Warna …………………….: a Betina : Kancing Kecil : - Warna …………………….: A - Warna …………………….: a Kotak Punnet : Frekuensi Alel : f ( A ) =……………………………………………………. f ( a ) =…………………………………………………….. Frekuensi Gen : f ( AA ) = …………………………………………………. f ( Aa ) = ………………………………………………….. .f ( aa ) =………………………………………………….. Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan hukum “Hardy – Weinberg” ? Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi dalam keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”) Lembar Pengamatan: Praktikum 2 Genetika Populasi) Kelompok :………………… Nama Hari/tgl :………………………... : 1. ………………………….. 4 …………………………. 5 …………………………. Perlakuan : p (A) = 0,75 dan q (a) = 0,25 Jantan : Kancing Besar : - Warna …………………….: A - Warna …………………….: a Betina : Kancing Kecil : - Warna …………………….: A - Warna …………………….: a Kotak Punnet : Frekuensi Alel : f ( A ) =……………………………………………………. f ( a ) =…………………………………………………….. Frekuensi Gen : f ( AA ) = …………………………………………………. f ( Aa ) = ………………………………………………….. .f ( aa ) =………………………………………………….. Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan hukum “Hardy – Weinberg” ? Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi dalam keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”) SELEKSI FENOTIP KUANTITATIF Tujuan Praktikum Dengan menjabarkan peranan genetik kuantitatif pada suatu fenotip ikan dalam program seleksi diharapkan mahasiswa dapat memilih benih dan induk unggul dalam budidaya ikan Teori Dasar Salah satu sifat fenotip kuantitatif penting dalam budidaya ikan adalah sifat pertumbuhan yang sangat bervariasi nilainya baik di dalam suatu populasi atau dalam satu strain ikan . Pertumbuhan ikan dapat diukur dari panjang atau berat tubuh, dimana variasi-variasi perbedaan yang cukup besar akan memudahkan seleksi trait pertumbuhan tersebut. Variasi perbedaan trait tersebut dapat dilihat dari koefisien variasi trait di dalam populasi ikan. Seleksi bertujuan untuk mengumpulkan populasi dengan koefisien variasi besar pada trait pertumbuhan. seleksi merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki produktivitas budidaya ikan (Tave 1986). Sebagai contoh, rata-rata koefisien variasi untuk fenotip pertumbuhan calon induk ikan Tilapia sebesar 26 % dan nilai heritabilitas (tingkat pewarisan trait) untuk induk Tilapia sebesar 38 % (h2 = 0,38). Hal ini menunjukkan respon terhadap seleksi juga meningkat. Apabila dalamprogram seleksi, nilai koefisien variasinya kecil atau varian genetik aditif (VA) yang dapat dieksploitasi kecil, maka tidak memungkinkan untuk memperbaiki suatu fenotip kuantitatif dengan seleksi. Hal ini terkait dengan kecilnya nilai heritabilitas dalam populasi tersebut, dimana apabila pengubahan VA h2 15 % untuk memperbaiki pertumbuhan ikan dengan program seleksi akan lebih menyulitkan. Peningkatan nilai h2 dapat dilakukan dengan menyeleksi berat rata-rata induk ikan (kuantitatif trait) untuk mengetahui standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (CV) berat rata-rata populasi. Populasi dengan SD dan CV besar lebih memudahkan pengeksploitasian varian genetik (termasuk VA), oleh karena jumlah perbedaan semakin besar dan tingkat pewarisannya alan lebih besar dari 15 %. Untuk mengetahui h2 suatu fenotip kuantitatif, dapat diprediksi dari suatu respon terhadap seleksi dengan rumus R = S . h2 dimana R = respon terhadap seleksi (dalam %) (Tave 1986) S = selisih perbedaannilai trait rata-rata antara kelompok terseleksi dan kelompok kontrol h2 = heritabilitas (tingkat pewarisan) Adapun nilai R diperoleh dari rumus : (Y2 – Y1) R = x 100 % (Falconer 1981) Y1 dimana Y2 = rata-rata dari trait kelompok terseleksi Y1 = rata-rata dari trait kelompok kontrol R = respon terhadap seleksi (dalam %) Alat dan Bahan Praktikum no 1 2 4 5 6 7 8 alat bak fiber happa jangka sorong lamit timbangan alat tagging ember no 1 2 3 bahan ikan nila MS 222 hiprovit 781-2 jumlah 1 1 1 1 1 1 1 fungsi wadah sleksi ikan wadah pemeliharaan ikan alat hitung panjang alat untuk mengambil ikan alat hitung berat (0,00 gr) alat untuk menandai ikan wadah ikan sementara jumlah 100 10 ml 15 kg fungsi objek ikan praktikum anastasi ikan pakan komersil ikan Peralatan Kegiatan praktikum ini dapat dilakukan di kolam ikan atau di tanki pemeliharaan ikan di tempat terbuka (out door). Beberapa peralatan yang diperlukan : (a) Bak fiberglass volume 1 m3 air sebagai wadah pemeliharaan ikan sementara (b) Hapa dari kain nilon ukuran 2 x 1 x 1 m untuk pembesaran ikan di kolam (c) Mistar dan timbangan untuk mengukur panjang dan berat ikan (d) Jaring atau serok untuk menangkap ikan (e) Alat tagging untuk penanda individu ikan Bahan-bahan (a) Ikan yang memiliki siklus pertumbuhan relatif cepat (mujahir atau nila) (b) MS 222 untuk bahan anastesi ketika seleksi (c) Pakan buatan (pelet protein 30 %) untuk memacu pertumbuhan Cara Kerja Dalam praktikum seleksi fenotip kuantitatif ini diperlukan kurang lebih 40 ekor calon induk ikan Nila yang kira-kira berumur 3 – 3,5 bulan setiap 1 kolam. Kolam yang diperlukan 2 unit yang masing-masing dilengkapi dengan 1 buah hapa ukuran 2 x 1 x 1 m untuk pemeliharaan ikan, dimana digunakan untuk kelompok ikan terseleksi dan kelompok ikan kontrol. Sirkulasi air dipertahankan agar terjadi pergantian air untuk membuang sisa-sisa kotoran ikan dan pakan yang tidak termakan. Penentuan kelompok ikan yang terseleksi dan kelompok ikan kontrol dilakukan sebelum pemeliharaan di hapa dengan mengukur panjang atau berat setiap ikan. Untuk ikan dengan ukuran panjang atau berat yang memiliki SD (standar deviasi) atau koefisien variasi (CV) besar dimasukkan ke dalam kelompok terseleksi dan sebaliknya untuk SD dan CV yang relatif kecil dimasukkan dalam kelompok kontrol. Jumlah ikan pada masing-masing kelompok terseleksi dan kontrol sebanyak 20 ekor. Setiap ikan pada kedua kelompok tersebut ditagging dengan mengikatkan benang warna pada sirip ikan agar tidak tertukar saat pengukuran trait pertumbuhan. Selama proses pengelompokkan ikan dan tagging dilakukan pada media yang diberi MS 222 agar tidak menimbulkan stres pada ikan. Selama pemeliharaan kurang lebih 1 – 1,5 bulan pada hapa di kolam, baik untuk kelompok terseleksi dan kontrol diberikan pakan buatan dengan takaran 5 % berat biomas sebanyak 2 kali pemberian setiap hari. Pengamatan Parameter yang diamati dan diukur untuk menentukan keberhasilan seleksi dapat dilihat dari nilai R dan h2 sebagai ukuran besarnya tingkat pewarisan suatu trait (fenotip) kuantitatif. Setelah pemeliharaan di hapa 1,5 bulan, semua ikan diambil dengan jaring atau serok pada kedua kelompok dan diukur masing-masing panjang atau berat tubuh ikan. Nilai SD dan CV dapat ditentukan dari rata-rata panjang atau berat tubuh ikan pada kelompok terseleksi maupun kontrol. Dengan demikian nilai R adalad selisih rata-rata panjang atau berat ikan kelompok terseleksi dan kelompok kontrol dibagi rata-rata panjang atau berat ikan kelompok kontrol dikali 100 %. Sedangkan S dapat ditentukan dari selisih perbedaan nilai rata-rata panjang atau berat ikan kelompok terseleksi dan kelompok kontrol. Dengan demikian nilai heritabilitasnya (h 2) adalah R dibagi S (h2 = R/S) yang menunjukkan seberapa besar tingkat pewarisan trait (fenotip) kuantitatif tersebut pada keturunannya sebagai akibat dari efek seleksi. EKSPLOITASI VARIAN GENETIK DOMINAN DENGAN PROGRAM HIBRIDISASI Tujuan Praktikum Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat menerapkan program hibridisasi yang mengumpulkan varian genetik dominan apabila program seleksi induk tidak mencapai hasil yang diharapkan karena nilai SD dan CV suatu trait relatif kecil. Teori Dasar Seleksi dapat mengubah nilai rata-rata fenotip kuantitatif pada populasi, karena seleksi mampu mengeksploitasi varian genetik aditif (VA) yang merupakan fungi dari alel-alel. Varian genetik aditif ini merupakan ukuran superioritas alel yang dimiliki induk ikan dan dapat diwariskan seluruhnya pada keturunannya, oleh karena VA tidak dapat dirubah oleh peristiwa segregasi ataupun pindah silang (crossing over) alel selama meiosis (Chapman 1985 ; Tave 1986. Proporsi jumlah gen-gen autosomal dengan aksi gen aditif (VA) yang mengontrol varian fenotip kuantitatif (VP) menentukan tingkat pewarisan trait (heritabilitas). Apabila nilai heritabilitas (h 2) lebih kecil dari 0,15 (15 %), pengubahan VA untuk memperbaiki suatu trait yang menguntungkan dengan prgram seleksi akan lebih menyulitkan. Salah satu teknik genetika yang dapat dilakukan apabila nilai V A yang dieksploitasi kecil adalah aplikasi program hibridisasi untuk menimbulkan kembali kombinasi baru pasangan alel yang berinteraksi. Jika dalam kombinasi pasangan alel terdapat alel dominan yang bersifat superior, alel dominan ini dapat diwariskan pada keturunannya (eksploitasi varian genetik dominan atau V D). Eksploitasi VD pada program hibridisasi ini akan menghasilkan strain baru yang memiliki efek heterosis (H) akan memperbaiki suatu trait ikan. Alat dan Bahan Praktikum Alat yang diperlukan (a) Tanki fiberglass volume 1 m3 air untuk wadah pemeliharaan induk ikan (b) Aerator dan perlengkapannya untuk suplai oksigen (c) Serok untuk mengambil induk ikan (d) Mistar dan timbangan untuk mengukur panjang dan berat tubuh induk ikan (e) Akuarium kecil dan besar untuk pemeliharaan larva dan benih ikan (f) Heater sebagai alat stabilisasi suhu air (g) Ember berfungsi sebagai tempat sementara ikan yang akan di suntik dan di streaping Bahan yang diperlukan (a) Hormon ovaprim untuk mempercepat ovulasi dan pemijahan induk ikan (b) Spuit volume 1 ml dan 2 ml untuk alat injeksi hormon (c) Syringe dan cawan porselin untuk penampung sperma dan telur ikan (d) Nauplii artemia dan tubifex (cacing rambut) sebagai makanan larva dan benih (e) Pelet (protein 30 %) sebagai makanan induk ikan (f) Malachyte green untuk obat yang mencegah telur dari serangan jamur (g) Larutan NaCl fisiologis sebagai pengencer sperma ikan. (h) Ikan Komet betina berfungsi sebagai sampel ikan yang akan diuji (i) Ikan koi jantan berfungsi sebagai sampel ikan yang aka diuji (j) Ikan mas dengan 3 perbedaan strain (sinyonya, majalaya, wanayasa) (k) Aquades berfungsi sebagai cairan untuk mengencerkan ovaprim Cara Kerja Program hibridisasi ini dilakukan dengan cara mengawinkan secara silang induk ikan mas strain Majalaya (berwarna hijau gelap)/ikan koi dengan induk mas strain Si Nyonya (berwarna kuning)/ikan komet dengan teknik fertilisasi buatan pada persilangan tersebut. Tahapan praktikum adalah sebagai berikut : (a) Menyiapkan dan menyeleksi kematangan gonad induk ikan mas strain Majalaya jantan dan betina sebanyak 2 pasang yang terlebih dahulu diukur panjang dan berat tubuhnya. Demikian juga untuk dua pasang induk ikan mas strain Si Nyonya dengan perlakuan tersebut pada tanki pemeliharaan induk. (b) Setelah terpilih 2 pasang induk ikan mas strain Majalaya dan Si Nyonya yang matang gonad, kemudian dilakukan injeksi dengan hormon ovaprim dosis 0,5 ml/ kg berat induk jantan atau betina pada kedua strain tersebut. (c) Makanan alami nauplii artemia sudah ditetaskan sebelumnya untuk stok pakan larva yang baru menetas dan akuarium pemeliharaan larva yang dilengkapi heater dan aerator telah dipersiapkan terlebih dahulu. (d) Delapan jam setelah penyuntikan dengan hormon ovaprim, induk ikan jantan dan betina kedua strain diambil dengan serok, dan dipegang induk betina dengan tangan untuk distripping dengan pengurutan dari arah perut ke anus agar keluar telur-telurnya dan ditampung pada cawan porselin. Sperma diambil dengan syringe yang dimasukkan ke dalam lubang urogenital induk jantan dan dihisap sampai terambil 0,5 ml cairan sperma. Fertilisasi buatan dilakukan dengan mencampurkan sperma ke dalam cawanporselin yang berisi telur sambil diaduk dengan bulu ayam steril dan kemudian ditambahkan larutan Na fisiologis sedikit demi sedikit Fertilisasi buatan tersebut dilakukan menurut program hibridisasi sebagai berikut : Program Hibridisasi Telur : Sperma : Majalaya Si Nyonya Si Nyonya Majalaya Majalaya Majalaya Si Nyonya Si Nyonya Komet Koi (e) Selanjutnya telur-telur yang telah difertilisasi dengan sperma dibilas dengan air bersih dan diinkubasikan pada akuarium yang berbeda sesuai notasi persilangan induk secara hibrid. Heater sebagai stabilisator suhu diaktifkan pada kisaran suhu 26 – 28 0C untuk penetasan telur. (f) Setelah mnetas, 2 hari kemudian diberikan nauplii artemia sampai umur 15 hari. Pemeliharaan larva di akuarium kecil tersebut diteruskan sampai umur 30 hari dengan pemberian remahan kuning telur ayam sebagai makanannya. (g) Pemeliharaan benih selanjutnya sampai umur 2 bulan dilakukan pada akuarium yang lebih besar untuk masing-masing jenis persilangan hibrid tersebut dan diberikan pelet ukuran kecil selama pemeliharaan. Pengamatan FR FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan derajat pembuahan telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada proses hibridisasi, selesai dilakukan. Telur yang terbuahi adalah telur yang berwarna cerah, sedangkan telur yang mati adalah telur yang berwarna kusam. FR yang dihitung adalah telur yang terdapat dalam akuarium. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : FR (%) = 𝐏𝐨 𝐏 x 100 % Keterangan : FR : Derajat fertilisasi telur (%) P : Jumlah telur sampel Po : jumlah telur yang dibuahi HR HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat penetasan telur dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung adalah telur yang menetas dalam akuarium. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : HR (%) = 𝐏𝐭 𝐏𝐨 x 100 % Keterangan : HR : Derajat penetasan telur Pt : Jumlah telur yang menetas Po : Jumlah telur yang dibuahi SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan derjat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploidisasi setelah larva ikan berumur tujuh hari. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : SR (%) = 𝐍𝐭 𝐍𝐨 x 100 % Keterangan : SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum No : Jumlah ikan pada awal praktikum Ukuran Heterosis (H) yang menunjukkan superioritas dari ekspresi alel-alel dominan pada kombinasi persilangan antar strain induk ikan ditentukan dengan mengukur fenotip pertumbuhan (panjang atau berat) benih hasil persilangan tersebut yang berumur kurang lebih 2 bulan. Jumlah benih yang diukur panjangnya (mm/ekor) dan beratnya (g/ekor) pada setiap persilangan ditentukan sebanyak 10 - 15 ekor. Rumus yang digunakan untuk menghitung heterosis (H) pada persilangan induk adalah : Nilai rata-rata fenotip hibrid F1 – Nilai rata-rata fenotip bawaan induk H= x 100% Nilai rata-rata bawaan induk Dimana : ~ Keturunan persilangan Majalaya x Majalaya dan Si Nyonya x Si Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip induk ~ Keturunan persilangan Majalaya x Si Nyonya dan Majalaya x Si Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip hibrid F1 Setelah diperoleh nilai rata-rata dari fenotip hibrid F1 dan fenotip bawaan induk, kemudian dihitung heterosis (H) keturunan hibrid F1 dengan rumus diatas. TRIPLOIDISASI Tujuan Praktikum Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan padat menerapkan teknik manipulasi kromosom kelamin ikan dari status diploid (2N) menjadi status triploid (3N) yang memiliki keunggulan pertumbuhan. Teori Dasar Poliploidi merupakan istilah bagi spesies hewan yang mempunyai kromosom tiga set atau lebih. Salah atu bentuk poliploid adalah triploid yang memiliki kromosom tiga set. Ikan triploid bersifat steril, memiliki pertumbuhan yang pesat dan konversi penggunaan pakan yang baik karena sebagian besar energi yang diperoleh dari makanan dipergunakan untuk pertumbuhan sel somatik (Husain dkk. 1995). Triploidisasi merupakan kromosom kelamin pada ikan yang memiliki keuntungan ditinjau dari segi produksi budidaya (pertumbuhan relatif tinggi), mengurangi interaksi genetik dengan ikan asli di suatu perairan (perlindungan biodiversitas ikan asli) dan mengendalikan reproduksi tidak terkontrol pada budidaya ikan nila (Bramick dkk. 1995 dan Guo dkk. 1996). Produksi ikan triploid (memiliki 3N kromosom kelamin) dapat dilakukan dua metoda yaitu (1) metode interploid yaitu ikan tetraploid (4N) disilangkan dengan diploid normal (2N) dan (2) pemberian kejutan suhu (panas atau dingin). Kejutan suhu dilakukan dengan cara mengubah suhu medium penetasan menjadi sublethal yang peka.kejutan panas lebih mudah diterapkan dan memberikan hasil yang lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan triploidisasi dengan kejutan panas adalah waktu awal kejutan, suhu dan lama kejutan panas (Reddy dkk. 1990). Pada sebagian besar spesies ikan, proses pembuahannya terjadi secara eksternal sehingga memungkinkan manipulasi kromosom kelamin khususnya fase meiosis II (triploidisasi) dan mitosis I (tetraploidisasi). Prinsip pemberian kejutan suhu panas dalam triploidisasi bertujuan untuk mencegah berkurangnya jumlah kromosom telur dengan cara menahan keluarnya polar bodi kedua pada fase meiosis II. Periode meiosis II pada perkembangan embrio ikan mas (telur yang sudah dibuahi) adalah 3 – 5 menit setelah pembuahan pada suhu kejutan 38 – 40 0C dengan lama kejutan berkisar 2 – 2,5 menit (Hollebeq 1986). Ketika terjadi penetrasi sperma pada telur yang sudah dibuahi, pada inti sel telur akan diperoleh dua pasang kromosom (1N dari telur dan 1N dari sperma) yang menjadikan telur dalam status diploid (2N). Sebelum berakhirnya meiosis II tersebut, polar bodi kedua (1N) akan keluar dari inti sel telur. Oleh karena adanya perlakuan kejutan suhu pada periode ini, maka polar bodi kedua ini ditahan agar tidak keluar sehingga status kromosom telur menjadi 3N (triploid), dimana 1N berasal dari telur, 1N berasal dari sperma dan 1N berasal dari polar bodi kedua (Bromage 1995). Pada Gambar 1 disajikan prinsip dasar teknik triploidisasi. Alat dan Bahan Praktikum Alat-alat yang digunakan : Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktikum troploidisasi sebagai berikut : (a) Waterbath untuk memanaskan air sampai suhu yang dikehendaki, (b) Thermometer untuk mengukur suhu air, (c) Seperangkat alat hipofisasi (sentrifuse, dissecting set, pisau bedah, talenan dan jarum suntik) untuk pemijahan dan pembuahan buatan, (d) Kotak styrofoam dan saringan perendaman telur sebagai wadah penetasan telur, (e) Petridish, pipet dan sendok untuk wadah sampel telur dan alat pengambil telur, (f) Hemasitometer, mikroskop cahaya, gelas obyek dan mikrometer okuler dan obyektif untuk pengambilan sampel darah dan pengukuran sel darah merah, (g) Akuarium dan aerator. Bahan-bahan yang digunakan : (a) Ikan uji yang telah matang gonad dan bulu ayam steril, (b) Hormon ovaprim untuk mempercepat pemijahan, spermiasi dan ovulas induk ikan, (c) Larutan NaCl fisiologis sebagai larutan pengencer sperma untuk meningkatkan derajat pembuahan telur, (d) Air panas yang digunakan sebagai kejutan suhu panas (40 0C), (e) Larutan Hayem’s sebagai pengawet dan pengencer sel darah merah ikan, (f) Metanol digunakan untuk fiksasi preparat apus darah, (g) Larutan Giemsa digunakan untuk pewarnaan preparat apus darah, (h) Minyak imersi diperlukan untuk mengumpulkan cahaya saat pengamatan ukuran sel darah merah di bawah mikroskop monokuler dengan pembesaran 1600 kali. Cara Kerja Untuk mempercepat ovulasi dan spermiasi, dilakukan penyuntikan induk ikan dengan menggunakan hormon ovaprim (gonadotropin ikan salmon) dengan dosis 0,5 ml/kg berat induk. Pengurutan (stripping) dilakukan 8 jam setelah penyuntikan. Pembuahan Secara bersamaan induk jantan dan betina diurut, sperma dan telur ditampung dalam baki, kemudian diaduk dengan bulu ayam sambil ditambahkan larutan NaCl fisiologis sebanyak 1 – 2 kali campuran telur dan sperma. Lama pengadukan campuran telur dan sperma 1 menit. Telurtelur tersebut kemudian dibilas dengan air bersih untuk membuang sisa sperma agar tidak terjadi pembusukan sperma pada tempat penetasan telur. Selanjutnya telur-telur dimasukkan dalam saringan perendaman pada suhu 25 0C di akuarium penetasan. Kejutan suhu Kejutan suhu dilakukan 2 menit setelah pembuahan telur, dengan cara memindahkan telur dari akuarium penetasan (suhu air 25 0C) ke dalam kotak styrofoam berisi air panas yang bersuhu 40 0C. lama kejutan suhu panas ini adalah 2 menit dan kemudian dipindahkan ke dalam akuarium penetasan (suhu air 25 0C) sampai terlihat adanya telur-telur yang menetas. Pemeliharaan larva Larva-larva yang telah menetas kemudian dipindahkan dalam akuarium pemeliharaan larva yang berukuran lebih besar. Pakan larva berupa suspensi kuning telur yang diberikan ketika larva umur 3 sampai 15 hari. Selanjutnya diberikan tubifex dan pelet remah sampai ikan berumur 2,5 bulan. Pengambilan sampel darah Pengujian tingkat ploidi benih triploid dilakukan dengan metode apus darah. Metode apus darah dipergunakan untuk menentukan ukuran sel darah merah. Contoh darah diambil dari pembuluh darah arteri ekor yaitu dengan memotong bagian ekor ikan. Darah langsung dihisap dengan pipet Thoma hemasitometer sampai skala 0,5 dan langsung diencerkan dengan larutan Hayem’s sampai skala 101 (pengenceran 200 kali) dengan cara menghisap memakai pipet thoma. Penghitungan jumlah sel darah merah dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Pembuatan preparat apus darah diawali dengan menghisap sampel darah dengan pipet thoma hemasitometer, darah ikan langsung diteteskan di gelas obyek. Darah yang telah diapus pada gelas obyek, difiksasi dengan methanol selama 3 – 5 menit, kemudian direndam dalam larutan Giemsa 20 % selama 45 menit. Ukuran sel darah merah ditentukan dengan penggunaan mikrometer okuler pada mikroskop monokuler pada pembesaran 1600 kali. Pengamatan Triploid Untuk membedakan genotip ikan diploid (2N) dan triploid (3N), maka dilakukan pengujian ukuran sel darah merah. Perbandingan ukuran sel darah merah (panjang, lebar, dan volume sel) dapat memperlihatkan rasio 3N : 2N, dimana ikan triploid, rata-rata volume sel darah merahnya dapat mencapai 1,5 kali dari ikan diploid (Sugama 1990). Jumlah benih triploid ditentukan berdasarkan volume sel darah merah. Menurut Carman (1990), perhitungan volume sel darah merah dilakukan dengan rumus 4/3 ab2, dimana a adalah panjang sel darah merah dan b adalah lebar sel darah merah. Jumlah benih triploid Presentase triploid = x 100 % Jumlah benih contoh GINOGENESIS Tujuan Praktikum Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami dan melakukan aplikasi genetika dalam budidaya perikanan khususnya metode ginogenesis untuk menghasilkan induk betina yang bergalur murni melalui manipulasi kromosom. Teori Dasar Ginogenesis adalah proses pembentukan zigot tanpa kontribusi genetis gamet ikan jantan, sehingga perkembangan embrio dikontrol oleh sifat-sifat induk betina (maternal heridity) (Purdom 1993). Ginogenesis memberikan manfaat besar dalam program breeding ikan. Galur-galur inbred dapat dihasilkan dengan cara ginogenesis homosigot yang hanya memerlukan dua generasi untuk memperoleh keturunan homosigot (galur murni). Proses ginogenesis satu generasi identik dengan hasil 14 generasi silang dalam (inbreeding) (Gervari dan Csanyi 1984). Dalam perkawinan sekerabat (sibmating) memerlukan waktu relatif lama yaitu 6 generasi untuk menghasilkan galur murni. Penggunaan ikan ginogenetik merupakan bagian dari peningkatan mutu genetik ikan melalui seleksi dan hibridisasi. Induk awal untuk ginogenesis merupakan induk hasil seleksi yang akan digunakan sebagai keturunan ginogenetik dalam hibridisasi, oleh karena dalam program hibridisasi memerlukan induk murni. Keturunan ginogenetik adalah individu betina yang homosigot dan secara identik satu sama lainnya sama (klon-klon). Umumnya kelangsungan hidup keturunan ginogenesis rendah terutama pada tahap larva karena adanya efek Hertwigh selama kejutan panas sehingga menumbulkan abnormalitas dan mortalitas larva. Kelangsungan hidup embrio ikan mas (Carrasius auratus) selama 1 – 2 minggu pemeliharaan kira-kira 50 % (Cherfas 1981). Perbaikan line-line (galur) homosigot ini dapat dilakukan dengan cara persilangan (crossing) dua galur yang akan menghasilkan galur baru hibrid yang akan memperbaiki kelangsungan hidup line homosigot tersebut. Berdasarkan teknik manipulasinnya, ada 2 macam ginogenesis yaitu (1) diploid ginogenesis meiosis (meiogyno) dan (2) diploid ginogenesis mitosis (mitogyno). Diploid ginogenesis meiosis adalah manipulasi penahanan keluarnya polar bodi kedua saat meiosis II pada telur yang dibuahi sperma yang diinaktivasi dengan sinar UV (ultra violet). Pada ginogenesis tipe ini, hasil keturunannya menjurus menjadi individu heterosigot (ada perbedaan fenotip tertentu dengan induk). Sebaliknya diploid ginogenesis mitosis merupakan manipulasi penahanan pembelahan sel ketika tahap telofase dan anafase setelah mitosis I pada telur yang dibuahi sperma inaktif (diradiasi sinar UV). Perlakuan ginogenesis ini menjurus pada individu homosigot (klon) yang memiliki sifat-sifat sama dengan induk (Purdom 1993). Umumnya perlakuan suhu baik kejutan panas (suhu tinggi) dan kejutan dingin (suhu rendah) paling banyak diaplikasikan dalam metode ginogenesis tersebut (Gambar 2). Gambar 2. Skema prosedur ginogenesis (Purdom 1993) Keberhasilan teknik ginogenesis tergantung pada rata-rata atau sumber spermatozoa yang dilemahkan secara genetik, ketepatan perlakuan kejutan suhu setelah fertilisasi, saat awal pemberian perlakuan kejutan suhu dan lamanya pemberian perlakuan tersebur serta pemilihan spesies yang respon terhadap perlakuan ginogenesis. Agar sperma tidak menyumbangkan 1 set kromosom (1 N), maka sperma harus di inaktivasi menggunakan sinar UV (Ultra Violet) yang berfungsi merusak kromosom sperma, namun tidak sampai mengganggu pergerakan ekor sperma, sehingga sperma masih dapat berpenetrasi ke lubang mikropil telur, tetapi tidak menyumbangkan kromosomnya (sebagai triger atau stimulan pembuahan telur). Proses pembuahan telur di atas dapat berlangsung normal, apabila polar bodi kedua (PB II) yang akan keluar ketika terjadi pemasukan sperma ke dalam lubang mikropil telur dicegah agar tidak keluar dengan perlakuan kejutan suhu panas (heat shock), sehingga PB II telur (1 N) akan masuk kembali ke dalam inti sel telur (1 N) yang menghasilkan gamet Diploid (2 N) dan individu yang terbentuk dari gamet tersebut adalah Betina (Gino). Pada Gambar 1 dan 2a dan 2 b disajikan mekanisme pembuahan telur secara normal dan secara induksi ginogenesis. Gambar 1. Mekanisme pembuahan telur dengan sperma ikan normal (gamet diploid / 2 N) Gambar 2a. Mekanisme Induksi pembuahan secara Ginogenesis Meiosis (Iradiasi sperma; penahanan PB II sehingga gamet diploid 2 N) Gambar 2b. Mekanisme Induksi pembuahan secara Ginogenesis Mitosis (iradiasi sperma; iradiasi sperma ; kejutan suhu pada pembelahan 2 sel pertama sehingga gamet diploid 2 N) Ginogenesis memberikan manfaat besar dalam program breeding ikan. Galur-galur inbred dapat dihasilkan dengan cara ginogenesis homosigot yang hanya memerlukan dua generasi untuk memperoleh keturunan homosigot (galur murni). (2) Protokol Ginogenesis Oleh karena keberhasilan ginogenesis, salah satunya terletak pada in aktivasi sperma induk jantan agar tidak menyumbangkan kromosomnya, maka dalam praktikum ini digunakan 2 jenis induk jantan yaitu (a) induk jantan dari ikan komet (Cyprinus carpio auratus) dan (b) induk jantan dari ikan mas (Cyprinus carpio carpio). Sebelum dilaksanakan perlakuan iradiasi dengan sinar UV, semua induk jantan (ikan komet dan ikan mas) serta induk betina ikan komet disuntik terlebeih dahulu dengan hormon Ovaprim. Dosis penyuntikan hormon Ovaprim berdasarkan masing-masing berat 5 ekor induk betina komet. Sebagai pedoman untuk induk ikan yang beratnya 1 kg, dosis pemberian Ovaprim yang digunakan sebanyak 0,5 ml. Atau dilakukan perhitungan praktisnya sebagai berikut : ~ diambil 0,5 ml hormon ovaprim ke dalam tube eppendorf 1,5 ml yang kemudian diencerkan dengan menambahkan 1 ml Lar. NaCl physiologis lalu divorteks 1 menit agar homogen ~ volume campuran larutan tersebut (1,5 ml) di bagi menjadi 5, sehingga 1 kali penyuntikan ke induk betina komet sebanyak 0,3 ml ~ oleh karena perlakuan ginogenesis memerlukan teknik pembuahan buatan, maka diperlukan perlakuan stripping baik pada induk jantan dan betina, dalam praktikum ini, penyuntikan ovaprim dilaksanakan rabu malam pk. 22-24.00 dan hari kamisnya (pk 12.00) baru dilakukan stripping untuk perlakuan ginogenesis Alat dan Bahan Praktikum Alat-alat yang digunakan Berbagai peralatan yang dipergunakan dalam praktikum ginogenesis meliputi : a) Seperangkat alat hipofisa yang terdiri atas pisau (untuk memotong kepala ikan yang akan diambil kelenjar hipofisanya), pinset (untuk mengambil kelenjar hipofisa), cawan porselin dan mortar (untuk menggerus kelenjar hipofisa), tabung reaksi beserta sentrifuse elektrik (untuk menampung ekstrak hipofisa dan memisahkan endapan dengan suspensi yang berisi hormon gonadotropin) b) Jarum suntik (spuit volume) ukuran 2 – 2,5 ml untuk menyuntikkan suspensi hormon gonadotropin dalam ekstrak hipofisa ke dalam induk-induk ikan yang telah matang gonad c) Kotak radiasi UV, digunakan untuk menempatkan petridish-petridish yang berisi sperma yang telah diencerkan untuk diradiasi dengan lampu germicidal (UV) 2 buah masing-masing 15 watt d) Lampu neon germicidal UV 15 watt digunakan untuk meradiasi sperma sehingga kromosom sperma inaktif, namun motilitasnya dipertahankan e) Waterbath digunakan untuk memanaskan air sampai suhu yang diinginkan f) Kotak styrofoam yang digunakan sebagai tempat penampungan air panas untuk perlakuan kejutan panas telur yang dibuahi sperma inaktif tersebut g) Saringan penetasan telur yang digunakan untuk wadah telur yang akan diperlakukan dengan kejutan panas dalam kotak styrofoam tersebut h) Petridish untuk tempat telur dan untuk mencampurkan sperma yang telah diradiasi dan yang non radiasi i) Akuarium untuk inkubasi dan pemeliharaan larva yang dilengkapi dengan selang aerasi dan termometer untuk mengukur suhu air. j) Termometer sebagai alat ukur suhu ketika perlakuan k) Stop watch (timer) l) Timbangan digital m) Petridisk n) Beaker glass o) Toples plastik 3 liter Bahan-bahan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam praktikum ginogenesis ini meliputi : a) Induk-induk ikan mas jantan dan betina yang telah matang gonad digunakan sebagai resipien dan untuk donor digunakan ikan mas jantan dengan bobot yang sebanding dengan berat induk betina sebagai resipien b) Induk-induk ikan koi doitsu kohaku jantan dan betina yang telah matang gonad digunakan sebagai resipien dan untuk donor digunakan ikan mas jantan dengan bobot yang sebanding dengan berat induk betina sebagai resipien c) Air tawar bersih yang digunakan sebagai media kejutan panas, pembilasan telur yang dibuahi dan media inkubasi penetasan telur d) Larutan fertilisasi yaitu NaCl fisiologis sebagai larutan pengencer sperma dan larutan pembuahan telur ikan e) Akuabides untuk melarutkan ekstrak hipofisa yang mengandung hormon gonadotropin f) Ovaprim sebagai hrmon pemijahan g) Artemia sebagai pakan larva h) Garam sebagai bahan kultur artemia i) Pakan komersil j) Cacing sutra sebagai pakan ikan Cara Kerja Oleh karena keberhasilan ginogenesis, salah satunya terletak pada in aktivasi sperma induk jantan agar tidak menyumbangkan kromosomnya, maka dalam praktikum ini digunakan 2 jenis induk jantan yaitu (a) induk jantan dari ikan koi (Cyprinus carpio) dan (b) induk jantan dari ikan mas (Cyprinus carpio carpio). Sebelum dilaksanakan perlakuan iradiasi dengan sinar UV, semua induk jantan (ikan koi dan ikan mas) serta induk betina ikan koi disuntik terlebeih dahulu dengan hormon Ovaprim. Dosis penyuntikan hormon Ovaprim berdasarkan masing-masing berat 5 ekor induk betina koi. Sebagai pedoman untuk induk ikan yang beratnya 1 kg, dosis pemberian Ovaprim yang digunakan sebanyak 0,5 ml. Atau dilakukan perhitungan praktisnya sebagai berikut : ~ diambil 0,5 ml hormon ovaprim ke dalam tube eppendorf 1,5 ml yang kemudian diencerkan dengan menambahkan 1 ml Lar. NaCl physiologis lalu divorteks 1 menit agar homogen ~ volume campuran larutan tersebut (1,5 ml) di bagi menjadi 5, sehingga 1 kali penyuntikan ke induk betina koi sebanyak 0,3 ml ~ oleh karena perlakuan ginogenesis memerlukan teknik pembuahan buatan, maka diperlukan perlakuan stripping baik pada induk jantan dan betina, dalam praktikum ini, penyuntikan ovaprim dilaksanakan rabu malam pk. 22-24.00 dan hari kamisnya (pk 12.00) baru dilakukan stripping untuk perlakuan ginogenesis Sebelum dilakukan stripping pada induk ikan, terlebih dahulu dilakukan persiapan penyediaan bak penetasan yang telah diisi air, disediakan saringan untuk penetasan telur, disediakan heater untuk stabilisasi suhu air dan suplai oksigen dari blower untuk penyediaan oksigen telur. Demikian pula dilakukan pemeriksaan kotak radiasi beserta lampu UV (kondisi aktiv) untuk perlakuan radiasi yangdiberikan pada sperma. Setiap petridish dilabel untuk radiasi 0,5 menit ; 1 menit ; 1,5 menit dan 2 menit serta digunakan perlakuan kontrol, yaitu sperma ikan yang tidak diradiasi UV. Setelah kira-kira 12 jam penyuntikan induk betina dan jantan, dilakukan terlebih dahulu stripping pada ikan komet jantan (dan ikan mas jantan) untuk menampung milt (cairan berisi sperma ikan) ke dalam beaker glass. Dilakukan pengenceran sperma sebanyak 100 x, caranya : ke dalam beaker glass diisikan dulu 39 ml Lar. NaCl physiologis, kemudian ditambahkan 1 ml sperma ikan dan sebelumnya telah diisi 10 ml NaCl physiologis. Masing-masing petridish yang sudah dilabel diisikan sperma ikan dari beaker glass sampai ketebalan sperma dalam petridish 1 mm, sambil digoyang-goyang perlahan, kemudian diletakkan dalam permukaan kaca kotak radiasi dan selanjutnya ditutup lalu lampu UV dinyalakan sesuai dengan lama perlakuan radiasi pada masing-masing label. Dengan segera dilakukan stripping pada induk komet betina, dan telur-telurnya ditampung dalam wadah porselen, kemudian diambil telur-telur hasil stripping diambil dengan sendok kecil untuk ditambahkan ke masing-masing petridish untuk proses pembuahan buatan dengan waktu fertilisasi selama 1 menit pada air bersuhu kamar Semua proses ini dilakukan secara serentak agar dapat dilakukan kejutan suhu secara bersamaan pula. Setelah busa styrofoam diisi air dan suhu air dipertahankan 40 0C dan saringan-saringan plastik telah ditempatkan dalam styrofoam, maka setelah radiasi sperma, segera telur-telur dalam petridish dipindahkan ke dalam saringan tersebut untuk perlakuan kejutan suhu 40 0C selama 2 menit untuk memperoleh gamet diploid 2 N yang semuanya individu betina. Selanjutnya saringan plastik berisi telur-telur tersebut dipindahkan ke dalam masingmasing bak fiber penetasan telur, dan dilakukan pengamatan kurang 1 jam untuk proses pembelahan sel, dan berikutnya dilakukan penghitungan derajat pembuahan dan derajat penetasan telur. Persiapan kejutan panas dan pengambilan sperma Agar diperoleh ketepatan waktu dalam perlakuan dan kegiatan praktikum dapat dilakukan secara serentak, maka terlebih dahulu perlu dikerjakan : Menyiapkan air panas bersuhu 40 0C yang diperoleh dari waterbath yang kemudian ditampung dalam kotak styrofoam Menyalakan kotak radiasi sekitar 10 – 15 menit agar kondisi intensitas sinarnya dapat stabil tidak berubah-ubah Mengambil sperma dari induk jantan dengan cara stripping. Sperma yang telah diambil lalu dilarutkan ke dalam NaCl fisiologis (bila tidak diberi larutan tersebut sperma akan menumpuk) dan kemudian diaduk perlahan. Selanjutnya dimasukkan larutan sperma tersebut ke dalam petridish (cawan petri) dengan ketebalan 1 mm Menempatkan pertidish berisi sperma tepat 15 cm di bawah lampu UV agar memperoleh sinar merata Radiasi sperma Memasukkan masing-masing petridish ke dalam kotak radiasi tepat di bawah lampu UV selama 10 – 15 menit Sebaiknya penyinaran ultra violet dilakukan di bagian atas dan bawah atau sampai ke bagian samping petridish, sehingga radiasi akan lebih sempurna Untuk sperma yang tidak diradiasi digunakan sebagai kontrol untuk menguji keberhasilan ginogenesis dan juga dapat digunakan sperma ikan nilem untuk pengujian tersebut. Fertilisasi Sementara meradiasi sperma, induk betina yang telah diinjeksi 8 jam kemudian distripping dan telur-telur yang keluar ditampung dalam cawan porselin Telur-telur yang diperoleh tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu untuk sperma yang diradiasi dan untuk sperma yang tidak diradiasi Mencampurkan sperma yang diradiasi ke dalam telur kelompok I dan sperma yang tidak diradiasi ke dalam kelompok telur II yang diaduk secara perlahan dengan bulu ayam steril dan ditambahkan akuabides sedikit demi sedikit. Setelah itu dibilas dengan air bersih untuk menghilangkan sperma yang tidak gagal membuahi telur sebanyak 2 kali pembilasan. Oleh karena telur ikan mas bersifat menempel, sebaiknya dilekatkan pada slides-slides mikroskop yang berupa lempengan kaca kecil untuk tempat melekat telur tersebut. Dibiarkan selama 2 menit (sampai tahapan meiosis setelah pembuahan). Kejutan panas Memasukkan telur yang sudah dibuahi dengan sperma radiasi ke dalam saringan penetas telur dan kemudian dipindahkan ke dalam kotak styrofoam (suhu air 40 0C) Perendaman telur dalam styrofoam tersebut dilakukan hati-hati sampai telur terendam semua dan lama kejutan dalam media tersebut 2 menit Untuk kelompok kontrol tidak dilakukan kejutan panas Penetasan dan pemeliharaan larva Memasukkan telur yang berhasil dibuahi oleh sperma inaktif ke dalam akuarium penetasan dan pemeliharaan larva Untuk kelompok telur yang dibuahi dengan sperma yang tidak diradiasi setelah 2 menit segera dimasukkan ke dalam akuarium penetasan dan pemeliharaan larva Mengamati perkembangan telur dan membandingkan antara telur yang dibuahi dengan sperma yang diradiasi dengan yang tidak Khususnya untuk penetasan dan pemeliharaan larva, suhu air akuarium dibuat konstan pada kisaran 25 – 26 0C. Pengamatan Ginogenesis Agar memudahkan pengamatan keberhasilan ginogenesis, maka sebaiknya yang digunakan sebagai pembanding perlakuan manipulasi ginogenesis adalah sperma ikan nilem jantan. Ketika dilakukan fertilisasi antara telur ikan mas dengan sperma nilem jantan, maka apabila telur berhasil dibuahi oleh sperma tersebut akan terbentuk zigot yang semuanya indivudu betina sebagai hasil keturunan ginogenetik. Khususnya pada ikan mas, maka sebaiknya yang dipilih sebagai induk betina adalah strain Majalaya (warna hijau kehitaman) yang dominan terhadap warna kuning (strain Si Nyonya sebagai induk jantan) apabila disilangkan. Dengan demikian apabila terjadi ginogenesis pada kedua strain ikan mas tersebut, maka keturunannya akan berwarna hijau kehitaman (efek dominansi warna) dan genotipnya betina seperti induknya. Beberapa pengamatan yang akan dilakukan meliputi derajat pembuahan, derajat penetasan, derajat kelangsungan hidup dan persentase ikan ginogenetik dengan rumus seperti di bawah. Jumlah telur yang dibuahi Derajat pembuahan = x 100 % Jumlah telur awal Jumlah telur menetas Derajat penetasan = x 100 % Jumlah telur yang dibuahi Jumlah larva hidup Derajat kelangsungan hidup = x 100 % Jumlah larva awal Untuk pengamatan ikan ginogenetik dapat dilakukan setelah warna pada benih ikan yang dipelihara muncul (kira-kira berumur 1 bulan), sehingga untuk benih ikan mas keturunan ginogenetik harus berwarna hijau kehitaman sebagai cerminan pewarisan induk ikan mas betina dari strain Majalaya (oleh karena dominan terhadap warna kuning dari induk ikan mas jantan dari strain Si Nyonya). Jumlah benih mas warna hijau kehitaman % ikan Ginogenetik = x 100 % jumlah benih mas selain warna hijau kehitaman Induk ♂ Ikan Komet atau Mas Stripping beaker glass sperma 1 ml di + 39 ml NaCl physiologyst pengenceran 100 x diisi dulu dengan 10 ml NaCl physiologist Petridish masuk Kotak Radiasi 1 2 3 4 5 6 7 8 1 mm ketebalan sperma Radiasi sperma dengan sinar UV Kelas A : 1 = radiasi 0,5 menit 2 = radiasi 1 menit 3 = radiasi 1,5 menit 4 = radiasi 2 menit sisi Kelas B : 5 = radiasi 0,5 menit 6 = radiasi 1 menit 7 = radiasi 1,5 menit 8 = radiasi 2 menit ♀ Komet sinar Ultra Violet Fertilisasi Buatan Berurutan sesuai dengan selesainya radiasi sperma dan inkubasi 1 menit pada air 26 0C stripping sperma radiasi 0,5 menit sperma + telur diaduk ♀ sperma radasi 1 menit ♀ sperma radiasi 1,5 menit ♀ sperma radiasi 2 menit KEJUTAN SUHU 40 0C (HEAT SHOCK) busa styrofoam (diisi air suhu 40 0C) saringan telur saringan LAMA KEJUTAN SUHU 2 MENIT Pindahkan Saringan Telur ke Bak Fiber Penetasan Telur saringan telur saringan Heater STABILISASI SUHU AIR DLM Bak Fiber PENGAMATAN DAN PENGHITUNGAN PEMBUAHAN DAN DERAJAT PENETASAN TELUR SEX REVERSAL Sex reversal merupakan teknik mengarahkan atau membalikan kelamin, merubah fenotip ikan tanpa mengubah genotipnya. Ada dua jenis pengarahan jenis kelamin ikan yaitu maskulinisasi dengan mengunakan hormon astrogen salah satunya 17α-Metiltestosteron dan feminisasi dengan mengunakan hormon estrogen salah satunya 16β-Estradiol. Dalam praktikum kali ini kita melakukan proses maskulinisasi dengan tujuan membentuk ikan nilem jantan fungsional, kenapa disebut fungsional karena ikan ini adalah ikan betina dengan kromosom XX yang kita arahkan perkembangan organ reproduksi primernya (gonad) ke arah jantan, secara genotip ikan jenis ini memiliki kromosom XX betina tetapi secara fenotip ikan ini menghasilkan sperma pada gonadnya, maka dari itu ikan jenis ini disebut dengan ikan jantan fungsional. Ikan jenis ini bila di kawinkan dengan ikan nilem normal akan menghasilkan mayoritas populasi ikan nilem betina, atau yang sekarang lebih kita kenal dengan nama nilem padjadjaran (GFO) Metode sex reversal Dipping (perendaman) diping merupakan metode sex reversal dengan melarutkan hormon pada media pemeliharaan (air) metode ini banyak dilakukan kepada ikan ketika embrio berada pada fase bintik mata (organogenesis) pada fase ini embrio sudah tahan untuk diberi perlakuan hormon, di fase ini ikan berada dalam kondisi indiferen dimana bakal bakal jantan dan betina sudah diwariskan induknya tinggal menunggu proses pengarahan (diferensiasi) organ reproduksi primer ke arah jantan atau betina. Diping merupakan metode yang singkan perendaman biasanya dilakukan dari embrio berada pada fase bintik mata hingga embrio menetas Oral (lewat pakan) oral merupakan metode sex reversal dengan bantuan pakan, disini hormon yang digunakan di rekatkan pada pakan dengan bantuan alcohol. Metode ini dilakukan dengan waktu yang relatif lama yaitu ketika proses diferensiasi berlangsung sekitar 3 bulan dari telur menetas Gabungan (diping dan oral) merupakan pengabungan antara metode diping dan oral, dengan metode ini diharapkan proses pengarahan kelamin berlangsung dengan stabil dan konstan sehingga menghasilkan jumlah populasi jantan yang lebih banyak. Alat dan bahan Alat Praktikum - Alat suntik - Kain lap - Tissue - Petridisk - Baskom - Akuarium - Heater - Instalasi aerasi - Skopnet - Mikroskop - Spray - Nampan - Plastik obat - Botol vial - Gelas ukur - Timbangan analitik dan timbangan pakan - Pipet teetes - Almunium foil - heandcounter Bahan - Ikan uji - Hormon ovaprim - Aquades - NaCl fisiologis - Hormon 17α-Metiltestosteron - Alkohol - Tepung kuning telur - Pakan komersil Prosedur praktikum a. Persiapan alat praktikum - Akuarium percobaan dicuci bersih - Pastikan instalasi aerasi berfungsi dengan baik b. Perendaman embrio ikan nilem Dengan Hormon MT - Akuarium diisi air sebanyak 5 liter - Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan - Pengamatan embrio ikan nilem hingga memasuki fase bitnik mata (organogenesis) - Larutkan hormon MT yang sudah ditimbang dengan alkohol 70% sebanyak 1 ml pada botol vial - Masukan Hormon MT yang sudah dilarutkan dengan alkohol ke akuarium percobaan, kemudian di arasi selama 30 menit - Masukan ikan uji, yaitu embrio ikan nilm (fase bitnik mata) sebanyak 200 ekor dengan kepadatan 10 ekor/L air pada akuarium berisi air yang mengandung hormon MT, lakukan perendaman embrio selama 12 jam (hingga menetas). - Perendaman selesai, volum air pada aquarium di tambah hingga 20 L.. c. Pemeliharaan Larva Ikan Nilem - Larva ikan nilem diberi pakan berhormon setiap hari secara setiation (ketersediaan pakan secara berkala dengan jumlah yang sesuai ) dengan frekunsi pemberian pakan 3 kali sehari selama 4 minggu. - Di minggu selanjutnya pakan diberikan secara restricted feed (pemberian pakan berdasarkan biomasa) sebesar 30%. - Lakukan pemeliharaan kualitas air pada akuarium percobaan Pembuatan pakan dan larutan berhormon Pembuatan pakan berhormon Dosis hormone yang digunakan dalam pembuatan pakan berhormon ini sebesar 30, 40 dan 50 mg/kg pakan di sini kita membuat dua jenis pakan yaitu pakan larva berupa tepung kuning telur dan pakan burayak berupa pellet tepung - Menimbang tepung kuning telur (20g) dan plet tepung (50g) - Menimbang hormon sesuai dosis yang telah di tentukan untuk kuning telur dan plet tepung - Melarutkan hormon dengan 2 ml alcohol pada botol spray dan menyemprotkanya secara merata pada pellet tepung dan mengangin-anginkannya hingga kering - Melarutkan hormone dengan 1 ml alcohol pada botol spray dan meenymprotkan secara merata pada teepung kuning telur dan mengangin-anginkannya hingga kering Pembuatan larutan berhormon Dosis hormone yang digunakan dalam pembuatan larutan berhormon ini sebesar 600µg.L-1 17α metiltestosteron - Mengisi akuarium dengan 5 liter air (5 liter air merupakan media perendaman embrio di dalam homon) - Menimbang homon sesuai dosis, sebesar jumlah media perendaman embrio - Hormone yang telah di timbang kemudian di simpan untuk kemudian di larutkan ke dalam media pleiharaan setelah embrio memasuki fase bitnik mata - Hormone terlebih dahulu dilarutkan pada 1 ml alcohol pada botol vial, hal ini dilakukan agar hormone tercampur secara homogen pada media perendaman. Setelah larutan hormone masuk ke dalam media perendaman biarkan selama 30 sambil di aerasi - Hitung embrio dengan padat tebar 10 ekor/liter kemudian masukan pada media pmeliharaan - Perendaman berlangsung selama 12 jam, setelahnya masukan 15 liter air pada media pemeliharaan Prosedur pengamatan FR FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan derajat pembuahan telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada proses hibridisasi, selesai dilakukan. Telur yang terbuahi adalah telur yang berwarna cerah, sedangkan telur yang mati adalah telur yang berwarna kusam. FR yang dihitung adalah telur yang terdapat dalam akuarium. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : FR (%) = Keterangan : FR : Derajat fertilisasi telur (%) 𝐏𝐨 𝐏 x 100 % P : Jumlah telur sampel Po : jumlah telur yang dibuahi HR HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat penetasan telur dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung adalah telur yang menetas dalam akuarium. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : HR (%) = 𝐏𝐭 𝐏𝐨 x 100 % Keterangan : HR : Derajat penetasan telur Pt : Jumlah telur yang menetas Po : Jumlah telur yang dibuahi SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan derjat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploidisasi setelah larva ikan berumur tujuh hari. Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : SR (%) = 𝐍𝐭 𝐍𝐨 x 100 % Keterangan : SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum No : Jumlah ikan pada awal praktikum Pengamatan embryogenesis Waktu Fase Gambar keterangan Aturan pemberian pakan berhormon Selama pemeliharaan ikan diberi pakan secara satiasi yaitu pemberian secara berkala dengan jumlah yang sama dalam satu hari ikan di beri makan sebanyak 3 kali, pagi, siang dan sore. Ikan di beri pakan tepung kuning telur berhormon ketika fase larva yaitu 7 hari setelah yolksak habis. Tepung kuning telur terlebih dahulu dilumatkan pada mangkok dengan mengunakan kurang lebih satu sendok air kemudian di berikan kepada ikan . selanjutnya ikan di beri pakan berhormon selama 3 minggu. Untuk pemeliharaan selanjutnya ikan di beri pakan komersil tanpa homron yang disediakan asisten. Untuk hari libur lab hanya di buka dari jam 9-10 pagi, 1-2 siang, 4-5 sore. Sisa pakan di simpan di dalam kulkas. Catatan : 1 mikro gram = 10-3 mili gram = 10-6 gram 600 mikro gram = 0,6 mili gram = 0,0006 gram 50 mili gram = 0,05 gram TEKNIK GINOGENESIS DAN TRIPLOIDISASI SELEKSI INDUK MATANG GONAD (JANTAN DAN BETINA) PENYUNTIKAN DENGAN HORMON OVAPRIM (0,2 ML/KG) SECARA INTRA M Dilakukan setelah ovulasi (lubang genital terdapat telur) dan bila dilakukan pijatan ke arah genital, telur akan keluar dengan lancar Telur Ditampung Pada Wadah Kering TELUR DISEBARKAN PADA SETIAP WADAH (PETRIDISCH) SEBANYAK 1 SENDOK BERDASARKAN KELOMPOK PENGAMBILAN CAIRAN SPERMA Bagian perut dipijit ke arah genital dengan posisi di atas, akan keluar cairan berwarna putih, kemudian disedot dengan syringe/suntikan yang telah diisi larutan Na-Physiol. Selanjutnya encerkan sampai 100 x dan dilakukan pengadukan Isi Petridisch dengan ketebalan sekitar 1 mm yang telah diencerkan untuk setiap kelompok terdapat 5 petridisch. (1.unt.triploid 1 buah 2.unt.ginogenesis 2 buah dan 3.unt. kontrol (tanpa perlak) 2 buah) GINOGENESIS Larutan Sperma pada petridisch dipindahkan ke kotak radiasi selama 2 menit PROSES PEMBUAHAN Campurkan sperma dengan telur untuk setiap petridisch dan aduk secara merata dengan cara menggoyangkan petridisch ± 60 detik pada air dengan suhu 26 0 C Inkubasi telur masing-masing perlakuan pada saringan di akuarium yang telah diisi air dan beri label Kontrol Telur didiamkan pada wadah atau akuarium Ginogenesis dan Triploid Telur yang telah dibuahi didiamkan selama 2 menit. Telur yang ada pd saringan diberi perlakuan heat shock pada styrofoam dg suhu 39-400C selama 2 menit Inkubasi Telur pada Akuarium pada Wadah Saringan Perhitungan derajat pembuahan Setelah 6 jam setelah inkubasi Pengamatan embriogenesis (perkembangan telur) sampai menetas di bawah mikroskop di dalam petridisch (3 perlakuan) selama 24 jam Telur yang dibuahi (warna bening) ________________________________ x 100 % Telur yg tidak dibuahi (warna putih) Usia Perkembangan (jam) 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam PENGHITUNGAN DERAJAT PENETASAN ± 36 jam setelah Inkubasi Telur yang menetas ___________________ x 100 % Telur yang dibuahi PENGHITUNGAN KELANGSUNGAN HIDUP Setelah 2 minggu masa pemeliharaan Total larva akhir _________________ x 100 % Telur yang menetas Gambar Keterangan Cleavage Morula Blastula Gastrula Organogenesis DAFTAR PUSTAKA Bramick, U., B. Puckhaber, H.J. Langholz dan G.B. Schwarh. 1995. Testing of Triploid Tilapia (Oreochromis niloticus) Under Tropical Pond Conditions. Aquaculture, 137 : 343-353. Bromage, R.N. 1995. Broodstock Management and Larval Quality. University Press, Cambridge. 450 hlm. Carman, O. 1990. Ploidy Manipulation in Some Warm Water Fish. Thesis. Tokyo University. Japan. 90 hlm. Chapman, A.B. 1985. General and Quantitative Genetics. Elsevier Science Publishers B.V. AmsterdamNew York. Tokyo. 401 hlm. Cherfas, N.B. 1981. Gynogenesis in Fishes. Dalam : Kirpichnikov (Ed.). Genetics Bases of Fish Selection. Springer-Verlag. Berlin. Hlm, 225-273. Falconer, D.S. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. Second Edition. Longman Group. London. 340 hlm. Gervari, R. dan V. Csanyi. 1984. Investigation on carp (Cyprinus carpio L.), Gynogenesis. J. Fish Biol., 13 : 215-224. Guo, X., G.A. DeBosse dan S.K. Allen. 1996. All-triploid Pacific Oyster (Crassostrea gigas) Production by Mating Tetraploid and Diploid. Aquaculture, 142: 149-161. Hollebeq, M.G. 1986. Diploid Gynogenesis Induced by Heat Shock After Activation with Uv-Irradiated Sperm in Common carp. Aquaculture, 54 : 69-76. Hussain, M.G., D.J. Penman, B.J. McAndrew dan R. Johnstone. 1995. Supression of First Cleavage in the Nile Tilapia, Oreochromis niloticus L. A Comparison of the Relative Effectiveness od Pressure and Heat Shock. Aquaculture, 111 :263-270. Purdom, C.E. 1993. Genetics and Fish Breeding. Chapman & Hall Ltd., New York, Tokyo, Meulbourne. 271 hlm. Reddy, P.V.G.K, G.V. Kowtal dan M.S. Tantia. 1990. Preliminary Observation on Induced Polyploidy in Indian Major Carps, Labeo rohita (Ham.) and Catla catla (Ham.). Aquaculture, 87 : 279-287. Sugama, K. 1990. The Induction of Triploidy in Red Sea Bream Pagrus major. Using Heat Shock Treatment. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 6 (1) : 3-19. Suryo. 1992. Genetic strata I. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. 344 hlm. Tave, D. 1986. Genetics for Fish Hatchery Manager. Second edition. New York. 415 hlm. Woynarovich dan Horvath. 1985. The Artificial Propagation on Warm Water Finfishes. A Manual for Extention. FAO. Rome. 57 hlm.