Sintasan dan Pertumbuhan Larva Kepiting Bakau (Scylla

advertisement
Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 03 No. 12 Sep 2013
(81– 93)
ISSN : 2303-3959
Sintasan dan Pertumbuhan Larva Kepiting Bakau (Scylla paramamosain) Zoea 2
Sampai Zoea 5 Melalui Pemberian Jenis Bakteri Probiotik yang Berbeda
Survival Rate and Growth of Mud Crab Larvae (Scylla Paramamosain) Zoea 2 to 5 through Different
Probiotic Addition
Soelkifli Saputra*), Moh Nuh Ibrahim **), dan Yusnaini ***)
Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232
E-mail: *[email protected], **@yahoo.co.id,
***
@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sintasan dan pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain)
zoea 2 sampai zoea 5 melalui pemberian jenis probiotik yang berbeda. Penelitian dilakukan selama 1 bulan
(Februari sampai Maret 2012) di Instalasi Penelitian Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau (BPPBAP) Maros, Sulawesi Selatan. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3
perlakuan dan 3 ulangan. Jenis probiotok yang diuji cobakan yaitu A. Probiotik Nitrosomonas eutorpha (EM),
B. Probiotik bacillus lichenhormis (BPPBAP), C. Probiotik nitrobacter (NB). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian probiotik yang berbeda berpengaruh nyata terhadap sintasan dan pertumbuhan larva kepiting
bakau. Persentase sintasan larva kepiting bakau terbaik adalah pada perlakuan B Probiotik bacillus
lichenhormis (BPPBAP) dengan nilai sintasan sebesar 7,84 %; kemudian pada perlakuan C Probiotik nitrobacter
(NB) 4,31 %; perlakuan A Probiotik Nitrosomonas eutorpha (EM) 0,78 %. Pertumbuhan panjang karapaks larva
kepiting bakau terbaik adalah pada perlakuan A Probiotik Nitrosomonas eutorpha (EM) dengan nilai sebesar
43,33 µm; kemudian pada perlakuan perlakuan B Probiotik bacillus lichenhormis (BPPBAP) 33,33 µm;
perlakuan C Probiotik nitrobacter (NB) 20 µm. Pertumbuhan lebar karapaks larva kepiting bakau (S.
paramamosain) terbaik adalah pada perlakuan A (Probiotik EM) dengan nilai sebesar 37,67 µm; kemudian pada
perlakuan C Probiotik nitrobacter (NB) 29,33 µm; perlakuan B Probiotik bacillus lichenhormis (BPPBAP)
14,67 µm. Pengamatan kualitas air selama penelitian menunjukkan nilai kisaran yang mendukung kelangsungan
hidup larva kepiting bakau, dimana suhu berada pada kisaran 29-31oC; nilai pH 7,3-8,2; oksigen terlarut 4,9-6,8
mg/l; salinitas pada kisaran 28-30 ppt; amoniak dengan kisaran 0,103-0,583 mg/l dan nitrit kisaran 0,015-4,722.
Kata kunci : Sintasan, pertumbuhan, probiotik, Scylla Paramamosain
Abstract
This study aimed to determine the survival rate and growth of mud crab larvae (Scylla paramamosain) zoea 2 to
5 through the addition of different probiotics. This research was conducted on February-March 2012 in
Intstallation of Marana Research, Central of Brackish Water Aquaculture of Maros, South Sulawesi. This
research used Complete Randomized Block Design (CRBD) with 3 treatments and 3 replications. The probiotics
types tested were A A. Probiotik Nitrosomonas eutorpha (EM), B. Probiotik bacillus lichenhormis (BPPBAP),
and C Probiotics nitrobacter (NB). Results showed that different probiotic had significantly response on the
survival rate and the growth of mud crab larvae. The best survival rate percentage was in treatment B i.e.
probiotics Bacillus lichenhormis (BPPBAP) with survival rate reaching 7,87%; followed by treatment C
probiotics nitrobacter (NB) 4,31 %; while the lowest survival rate was in treatment A i.e probiotics
Nitrosomonas eutorpha (EM) reaching 0,78%. The highest absolute growth of long carapace of mud crab larvae
was in treatment A, probiotics Nitrosomonas eutorpha (EM) with reaching 43,33 µm; followed by treatment B,
probiotics Bacillus lichenhormis (BPPBAP) 33,33 µm; while the lowest was in treatment C, probiotics
nitrobacter (NB) 20 µm. The highest growth of width carapace was in treatment A, probiotics Nitrosomonas
eutorpha (EM) with reaching 37,67 µm; followed by treatment C probiotics nitrobacter (NB) 29,33 µm; and
while the lowest was in treatment B probiotics Bacillus lichenhormis (BPPBAP) 14,67 µm. Observations of
water quality throughout the study supported the survival of mud crab larvae, i.e. temperature ranged 29-31oC;
pH ranged 7,3-8,2; dissolved oxygen ranged 4,9-6,8 mg/l; salinity ranged 28-30 ppt; ammonia ranged 0,1030,583 mg/l and nitrite ranged 0,015-4,722 mg/l.
Keywords : Survival rate, growth, probiotics, Scylla Paramamosain
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
81
Pendahuluan
Kepiting bakau termasuk satu diantara
komoditas perikanan bernilai ekonomis penting
di wilayah Indo-Pasifik. Kepiting bakau dikenal
sebagai salah satu sumber pangan yang memiliki
nilai gizi cukup tinggi yakni mengandung
berbagai nutrien penting dan potensial untuk
dibudidayakan. Berkembangnya pangsa pasar
kepiting bakau baik di dalam maupun di luar
negeri
merupakan
tantangan
untuk
meningkatkan
produksi
secara
berkesinambungan (Catacutan, 2002).
Kebutuhan ekspor kepiting bakau
selama ini masih mengandalkan hasil
penangkapan di hutan bakau, akibatnya
produktifitas dan kontinuitasnya tidak menentu
dari waktu ke waktu sehingga perlu suatu upaya
alternatif. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor
yang terus meningkat, maka peningkatan
produksi kepiting bakau hanya mungkin
dilakukan melalui usaha budidaya (Direktorat
Jenderal Perikanan, 1992). Untuk mengatasi hal
tersebut adalah perlu di kembangkan usaha
pembenihan dan pembesaran kepiting bakau.
Kendala yang dihadapi selama ini adalah masih
rendahnya presentase sintasan pada benih yang
dihasilkan dan belum ada teknologi pembenihan
kepiting bakau yang mudah diaplikasikan.
Dari 4 spesies kepiting bakau yang
terdapat di perairan Indonesia, Scylla
paramamosain
merupakan
salah
satu
diantaranya
yang
potensial
untuk
dibudidayakan. Spesies ini banyak ditemukan di
perairan pulau Jawa, Madura dan Bali. Dengan
demikian, pengembangan kepiting ini dapat
membawa konsekuensi terhadap peningkatan
pendapatan petani tambak. Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP)
Maros telah berhasil melakukan produksi massal
benih kepiting bakau. Upaya pengontrolan
lingkungan media pemeliharaan larva saat ini
dilakukan secara biologis dengan memanfaatkan
bakteri yang menguntungkan yaitu bakteri yang
dapat menekan populasi mikroorganisme yang
merugikan sebagai alternatif penggunaan
antibiotik.
Sebagai pengontrol biologis
digunakan isolate bakteri yang mampu menekan
populasi bakteri patogen dan memacu sistem
pencernaan
larva
kepiting
bakau
(S.
paramamosain).
Penggunaan desinfektan dan antibiotik
pada organisme budidaya masih sering
dilakukan oleh para petani tambak tanpa di
sadari pemberian desinfektan dan antibiotik itu
malah merugikan, dalam proses pembesaran
maupun pembenihan (pemeliharaan larva) telah
dianjurkan karena untuk tidak menggunakan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
desinfektan atau antibiotik karena dapat
mengurangi tingkat kelangsungan hidup pada
larva itu sendiri. Sampai saat ini pengendalian
penyakit dalam kegiatan budidaya ikan atau
crustacea di Indonesia masih mengandalkan
pada penggunaan desinfektan dan antibiotik
meskipun tingkat keberhasilannya relative kecil
(Balcázar dan Rojas-Luna, 2007). Penggunaan
antibiotik
yang
tidak
bijaksana
telah
meningkatkan kekhawatiran terhadap produk
perikanan dan kesehatan manusia.
Astin dan Austin (1999) menyatakan,
diantara strategi pengendalian penyakit pada
budidaya perikanan yang banyak dilakukan dan
memberikan hasil yang baik adalah melalui
kontrol biologis, salah satunya adalah dengan
aplikasi probiotik. Penerapan probiotik dalam
usaha budidaya terbukti dapat meningkatkan
resistensi biota yang dibudidayakan terhadap
infeksi, karena itu penggunaan probiotik
merupakan salah satu cara preventif yang dapat
mengatasi penyakit.
Tujuannya untuk
memperbaiki dan mempertahankan lingkungan,
menekan bakteri merugikan, menghasilkan
enzim yang dapat membantu sistem pencernaan,
menghasilkan nutrisi yang bermanfaat serta
meningkatkan kekebalan organisme itu sendiri
(Fahri, 2009).
Pribadi (2002) menyatakan bahwa
pemberian probiotik juga dapat memperbaiki
kualitas air, probiotik juga dapat mengatur
kondisi
mikrooganisme,
meningkatkan
keragaman mikroorganisme, meningkatkan
kesehatan inang dengan menghambat atau
meminimalisasikan efek bakteri pathogen. Jenis
bakteri probiotik antara lain: Bacillus sp.,
Nitrosomonas
eutorpha.,
Nitrobacter
winogradskyi.,
Paracoccus
pantotrophus.,
Bacillus megaterium., Bacillus licheniformis.
Oleh karena itu penelitian mengenai sintasan
dan pertumbuhan larva kepiting bakau (S.
paramamosain) melalui pemberian jenis bakteri
probiotik yang berbeda penting untuk dilakukan,
dengan asumsi bahwa pemberian jenis bakteri
probiotik yang berbeda terhadap larva kepiting
bakau
dapat meningkatkan sintasan, dan
pertumbuhan, dan secara tidak langsung dapat
mengoptimalkan konsentrasi kualitas air.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari – Maret 2012 bertempat di Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau (BPPBAP) Maros Sulawesi Selatan.
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
82
Tabel 1. Alat dan bahan beserta kegunaannya
No.
I.
II
Alat dan bahan
Alat
Galon
Selang air
Filter bag
Aerator/blower
Seser
Kamera
Thermometer
Kertas pH
Jangka sorong (mm)
Timbangan analitik
Hand refraktometer
pH meter
Ember dan gayung
Membran dan Ozon
Bahan
Air Laut
Air tawar
Probiotik
Pakan Artemia salina dan Branchionus plicitalis
Larva kepiting bakau (S. paramamosain)
Induk kepiting Bakau (S. paramamosain)
Sebelum penelitian dilakukan perlu
mempersiapkan
wadah
sebagai
tempat
pemeliharaan hewan uji, karena wadah
pemeliharaan merupakan salah satu parameter
kunci dalam usaha pembenihan kepiting bakau.
Wadah penelitian yang digunakan yaitu galon,
terlebih dahulu dicuci dengan rinso kemudian
dibilas dengan air tawar, setelah itu dikeringkan.
Setelah wadah benar-benar kering kemudian
diisi dengan air yang telah disterilkan.
Calon induk yang digunakan pada
penelitian ini adalah induk yang merupakan
turunan pertama (F1). Kepiting yang diambil
merupakan kepiting petelur (kepiting yang
memiliki telur pada pleopod) dengan
persyaratan panjang karapaks 15-20 cm dan
berat 200-250 gr. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Kordi (2007), kepiting bakau sudah
dapat dipijahkan pada umur 12-14 bulan dengan
persyaratan panjang karapaks 150-200 mm dan
berat 180-200 g. Kepiting bakau yang dipilih
untuk calon induk harus sehat, nafsu makannya
tinggi, dan tidak cacat. Ditambahkan oleh Kanna
(2002), bahwa calon induk kepiting bakau yang
baik memiliki sebagai berikut :
1. Calon induk kepiting sehat yang dicirikan
dengan adanya reaksi yang cepat jika kaki
jalan atau kaki renangnya di tarik dan mata
yang aktif bergerak jika diganggu.
2. Calon induk kepiting tidak cacat (organ
tubuhnya lengkap): bila kedua capitnya
hilang sedangkan massa telurnya dalam
kondisi baik, maka kesanggupan induk
tersebut untuk menetaskan telurnya
mengalami penurunan.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Kegunaan
Media pemeliharaan larva
Mengaliri air
Menyaring air
Menyuplai oksigen
Membersihkan kotoran
Dokumentasi
Mengukur suhu
Mengukur keasaman
Mengukur panjang hewan uji
Menimbang berat hewan uji
Mengukur salinitas
Mengukur Ph
Wadah pakan
Menyaring air
Media hidup larva kepiting bakau
Mencuci peralatan yang digunakan
Bahan penelitian
Pakan alami
Hewan uji pada larva stadia 2
Bak pemeliharaan induk dapat berupa
fiberglass yang berbentuk kerucut dengan
menggunakan substrat pasir putih setebal 5 cm
dan sistem air mengalir (resirkulasi).
Ketinggian air dalam tangki berkisar 40-50 cm.
Padat tebar induk dalam bak berkisar 2 ekor per
m2. Pakan yang diberikan untuk induk yang
siap memijah berupa ikan rucah, cumi-cumi,
belut dan daging kerang-kerangan dengan
perbandingan 1:1 dan dengan dosis 15% berat
tubuh dengan tingkat kematangan gonad (TKG)
I dan menurun sampai 5% pada TKG III atau
menjelang pemijahan. Pakan induk diberikan 1
kali perhari pada pagi hari. Untuk menjaga
kualitas air dilakukan pengontrolan setiap hari
dengan mengangkat sisa pakan pada wadah
pemeliharaan induk. Pemijahan induk kepiting
bakau biasanya berlangsung 1–2 minggu setelah
dipelihara dalam bak. Selama masa inkubasi
induk kepiting tidak diberi makan hal ini untuk
menjaga kebersihan lingkungan.
Selama pemeliharaan induk, dilakukan
pengamatan terhadap ovary induk betina dengan
cara melihat warna-warna ovary pada celah
yang terdapat antara bagian karapaks dan
abdomen. Celah tersebut dapat ditekan dengan
jari tangan atau benda pipih. Menurut Kanna
(2002), perkembangan ovary kepiting dapat di
bedakan menjadi 4 tingkatan yang dapat diamati
dari luar, yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat I : belum matang (immatuting), yaitu
belum ada tanda-tanda perkembangan telur
pada calon induk.
2. Tingkat II : sedang dalam proses pematangan
(matturing), yaitu perkembangan telur sudah
83
mulai terlihat penuh dan masih berada dalam
tubuh kepiting
3. Tingkat III : matang (ripe) telur kepiting telah
dibuahi dan diletakan pada abdomen (telah
dikeluarkan). Pada saat baru dikeluarkan,
telur berwarna kuning muda, telur ini akan
mengalami perkembanan menjadi kuning tua,
keabu-abuan, kehitam-hitaman, kemudian
menetas.
4. Tingkat IV : salin (spent), yaitu tingkat
terakhir dimana seluruh telur menetas
sehingga ruang di bawah abdomen terlihat
kosong.
Untuk memudahkan mengamati tingkat
kematangan telur pada kepitng bakau, cukup
memperhatikan perubahan warna pada telur
kepiting tersebut dengan seksama yang masingmasing dicirikan pada warna ovari, yaitu tingkat
I berwarna putih, tingkat II kekuning-kuningan
sampai kuning kemerah-merahan, tingkat III
orange, dan tingkat IV (tingkat akhir) berwarna
merah cerah. Setelah tingkat kematangan ovari
akhir, telur akan dikeluarkan dari ovary
(pemijahan) dan pada saat bersamaan terjadi
pembuahan, kepiting yang memijah ditandai
dengan menempelnya massa telur pada bagian
abdomen.
Setelah memijah, kepiting mengerami
telurnya 10–12 hari pada kondisi salinitas 28-35
ppt dan suhu air 27–30.
Selama
masa
pengeraman, telur-telur mengalami perubahan
warna yang dapat diamati secara langsung.
Pengeraman dilakukan pada bak fiber glass
berukuran 1 m x 0,5 m dengan padat tebar induk
1 ekor/bak. Jika dicampur maka bak
pengeraman harus diberi sekat pemisah antara
satu dan lainnya agar tidak saling mengganggu.
Induk kepiting yang sedang mengerami
telur mengipas kaki renangnya secara teratur.
Pada masa telur berada di abdomennya, Induk
kepiting sering berenang dan sering berdiri pada
kaki jalan. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan aliran air yang berfungsi sebagai
pengudara bagi telur yang dierami. Massa telur
yang makin tua secara teratur juga sering
digaruk dengan menggunakan kaki jalan. Pada
saat pengeraman telur, sirkulasi air dilakukan
secara nonstop 24 jam dan aerasinya selalu
diperhatikan. Induk yang diinkubasi tidak diberi
pakan.
Gambar 1. Induk kepiting bakau dan perubahan warna telur
Pemeliharaan Larva
Sebelum air laut dimasukkan ke dalam
bak pemeliharaan larva, air laut terlebih dahulu
ditampung ke dalam bak penampungan yang
telah dimurnikan dengan sinar ultraviolet (UV)
lalu disaring dengan membran filter. Hal ini
bertujuan agar air yang akan digunakan benarbenar steril. Setelah itu air laut ditreatment
dengan klorin sebanyak 20 ppm, air didiamkan
selama 24 jam. Setelah 24 jam air media
kemudian diberikan thiosulfat sebanyak 40 ppm,
dan dibiarkan selama 3-4 jam. Pemberian
thiosulfat
bertujuan
untuk
menetralkan
kandungan klorin. Setelah air netral dari
kandungan klorin, dengan ciri tidak berbau
klorin, air media siap digunakan untuk proses
pemeliharaan larva. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kanna (2002) dan Soim (1994), bahwa
sebelum air laut digunakan terlebih dahulu harus
disterilisasi dengan klorin 10 ppm selama 24
jam, selanjutnya ditambahkan Na-thiosulfal
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
dengan dosis 5 ppm untuk menetralkan klorin
yang masih tersisa di dalam air laut.
1. Pemeliharaan Zoea
Larva kepiting bakau yang digunakan
adalah stadia zoea 2 sampai mencapai zoea 5
dangan padat penebaran larva sebanyak 10
ekor/liter dalam media 17 liter air. Sebelum
dilakukan penebaran pada media pemeliharaan,
terlebih dahulu larva diadaptasikan dengan air
media pemeliharaan, terutama suhu dan salinitas,
agar tidak terjadi stress pada larva kepiting
bakau. Pergantian air dilakukan mulai hari ke 5
sebanyak 10%.
2. Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan pada penelitian
ini adalah berupa Rotifera Brchionus pticatilis
dan Artemia salina. Ukuran pakan larva yang
digunakan disesuaikan dengan perkembangan
ukuran mulut serta stadia larva. Pada zoea-2
sampai zoea-3 diberi pakan alami rotifer
84
Brachionus sp. dengan kepadatan 10–15
individu/L. larva stadia zoea 3 sampai zoea 5
diberikan pakan alami berupa naupli artemia
salina dengan kepadatan 40-60 ekor/zoea.
3. Pemberian Probiotik
Pemberian probiotik dengan dosis 6
sel/liter dikultur dalam 1/2 liter air payau yang
ditambahkan sukrosa sebanyak 2 gram dengan
pengaerasian selama 12 jam. Pemberian
probiotik dilakukan setiap dua hari sekali, dan
diberi pada pagi hari.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan
berupa Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
terdiri dari 3 perlakuan dan 3 ulangan. Sebagai
perlakuan dalam penelitian ini adalah pemberian
jenis bakteri probiotik yang berbeda yaitu :
- Perlakuan A : Pemberian probiotik jenis EM
dengan kandungan (Nitrosomonas eutorpha
dan Nitrobacter winogradskyi);
- Perlakuan B : Pemberian probiotik jenis
BPPBAP dengan kandungan (Bacillus
licheniformis);
- Perlakuan C : Pemberian probiotik jenis NB
dengan
kandungan
(Paracoccus
pantotrophus dan Bacillus megaterium).
Adapun sketsa penempatan wadah penelitian
yang akan dilakukan sebagai berikut :
A3
C2
B1
B2
A1
C1
C3
B3
A2
Gambar 2. Tata Letak Satuan Percobaan
Keterangan :
A, B, C, : Perlakuan;
1, 2, 3, : Ulangan.
Variabel yang Diamati
Pada penelitian ini variabel yang diamati
pada larva kepiting bakau (S. paramamosain)
adalah sebagai berikut :
1. Sintasan
Sintasan
larva
kepiting
bakau
(S. paramamosain) dilakukan dengan cara
mengambil hewan uji kemudian dilakukan
penyamplingan tiap wadah, adapun rumus yang
dianjurkan oleh Effendi (1997) adalah sebagai
berikut :
SR =
𝑁𝑡
𝑁𝑜
x 100%
Dimana :
SR = Sintasan (%);
Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian
(ind);
No = Jumlah individu pada awal penelitian (ind).
2. Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak larva kepiting bakau
dilakukan dengan cara mengukur panjang
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
karapaks mulai dari
dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
∆CW = CW1 – CW0
Dimana :
∆CW = Pertumbuhan panjang/lebar karapaks
(µm);
CW1 = Panjang/lebar karapaks rata-rata pada
akhir penelitian (µm);
CW0 = Panjang/lebar karapaks rata-rata pada
awal penelitian (µm).
Pengamatan panjang dan lebar karapaks
menggunakan Mikroskop Olympus CX-21 LED
Fluorescence. Metode pengukuran larva yaitu
mengambil sampel sebanyak 1-2 ekor larva
kepiting bakau kemudian diamati dibawah
mikroskop, setelah itu ditandai menggunakan
garis panjang dan lebar pada larva.
3. Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur
meliputi meliputi parameter kualitas fisika air
(salinitas, suhu, pH dan DO), kualitas kimia air
(amonia dan nitrit).
85
Tabel 2. Parameter Kualitas Air
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Parameter
Salinitas
Suhu
pH
Oksigen terlarut
Amonia
Nitrit
Alat
Hand refraktometer
Thermometer
Kertas pH
DO meter
Titrasi
Titrasi
4. Populasi bakteri vibrio sp
Pengamatan populasi bakteri vibrio sp
dilakukan pada akhir penelitian, dengan cara
mengambil sampel air media pemeliharaan
setian
perlakuan
kemudian
dianalisis
dilaboratorium Balai Pengembangan Budidaya
Air Payau Maros.
Analisis Data
Data kualitas air yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif dan data sintasan
dan
pertumbuhan
dianalisis
dengan
menggunakan sidik ragam. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva kepiting bakau, data
yang diperoleh dianalisis denga menggunakan
analisis ragam (ANOVA) pada taraf
kepercayaan 95%. Bila berpengaruh nyata,
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil
(BNT) untuk melihat perbedaan antara
perlakuan (Gasperz, 1994).
Hasil
1. Sintasan (Kelangsungan Hidup)
Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa nilai rata-rata persentase sintasan larva
kepiting bakau terbaik adalah pada perlakuan B
dengan nilai sintasan sebesar 7,84 %; kemudian
pada perlakuan C 4,31 %; perlakuan A 0,78
%; dan terendah pada perlakuan. Hasil analisis
ragam
menunjukkan
bahwa
pemberian
probiotik bacillus licheniformis berpengaruh
nyata terhadap sintasan larva kepiting bakau.
Hasil uji beda nyata terkecil (BNT)
menunjukkan bahwa perlakuan B berbeda nyata
pada perlakuan A dan C , selanjutnya perlakuan
C berbeda nyata pada perlakuan B, dan A,
Perlakuan A berbeda nyata pada perlakuan
perlakuan B dan C. Nilai rata-rata presentase
sintasan larva kepiting bakau dari ketiga
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.
2. Pertumbuhan Mutlak
a. Pertumbuhan Mutlak Berdasarkan
Panjang Karapaks
Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa nilai rata-rata persentase berdasarkan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Pengukuran
setiap 5 hari
setiap 5 hari
setiap 5 hari
setiap 5 hari
awal, tengah, akhir penelitian
awal, tengah, akhir penelitian
pertumbuhan panjang karapaks larva kepiting
bakau terbaik adalah pada perlakuan A panjang
karapaks rata-rata 43,33 µm, selanjutnya pada
perlakuan B 33,33 µm, kemudian perlakuan C
20 µm, Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa pemberian probiotik nitromonas
eutorpha dan nitrobacter winogradskyi
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
berdasarkan panjang karapaks larva kepiting
bakau.
Hasil uji beda nyata terkecil (BNT)
menunjukkan bahwa Perlakuan A tidak berbeda
nyata dengan perlakuan B namun berbeda nyata
dengan perlakuan C, selanjutnya perlakuan B
tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dan
perlakuan C, Perlakuan C tidak berbeda nyata
dengan perlakuan B, namun berbeda nyata
dengan perlakuan A. Nilai rata-rata presentase
pertumbuhan panjang karapaks larva kepiting
bakau dari ke tiga perlakuan dapat dilihat pada
Gambar 4.
b.
Pertumbuhan Mutlak Berdasarkan
Lebar Karapaks
Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa nilai rata-rata persentase berdasarkan
pertumbuhan lebar karapaks larva kepiting
bakau terbaik adalah pada perlakuan A dengan
nilai sebesar 37,67 µm, kemudian pada
perlakuan C 29,33 µm, perlakuan B 14,67 µm.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian probiotik nitromonas eutorpha dan
nitrobacter winogradskyi berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan berdasarkan lebar
karapaks larva kepiting bakau. Nilai rata-rata
presentase pertumbuhan lebar karapaks larva
kepiting bakau dari ke empat perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 5.
Hasil uji beda nyata terkecil (BNT)
menunjukkan bahwa Perlakuan A tidak berbeda
nyata dengan perlakuan C, namun berbeda
nyata dengan perlakuan B, Perlakuan C tidak
berbeda nyata dengan perlakuan A, namun
berbeda nyata dengan perlakuan B, selanjutnya
perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan
A dan C.
86
Panjang Karapaks (µm)
50.00
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
a
a,b
b,c
c
A
B
C
D
Perlakuan
Sintasan (%)
Gambar 3. Histogram sintasan larva kepiting bakau (S. paramamosain)
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
a
b
c
A
B
C
D
Perlakuan
Lebar Karapaks (µm)
Gambar 4. Histogram pertumbuhan mutlak panjang karapaks larva kepiting bakau (S. paramamosain)
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
a
a
b
c
A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 5. Histogram pertumbuhan mutlak lebar larva kepiting bakau (S. paramamosain)
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
87
1. Kualitas air
Tabel 3. Parameter kualitas air yang diamati pada semua perlakuan
Parameter
pH
DO (mg/l)
Suhu (oC)
Salinitas (ppt)
Nitrit (mg/l)
Amoniak (mg/l)
A
7,3 – 8,1
4,9 – 6,8
29-31
28-30
0,022 - 2.128
0,109 - 0.583
2. Populasi bakteri Vibrio sp.
Hasil penelitian menunjukkan indikasi
bahwa penggunaan probiotik BPPBAP mampu
menekan
populasi
bakteri
Vibrio
sp.
Dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan
kedua jenis probiotik komersial lainnya.
Populasi bakteri Vibrio sp. di air media
Perlakuan
B
C
7,3 – 8,1
7,3 – 8,0
5,0 – 6,8
4,9 – 6,8
29-31
29-31
28-30
28-30
0,017 – 0,613
0,015 – 1,322
0,103 – 0,234
0,113 – 0,562
D
7,3 – 8,2
5,0 – 6,7
29-31
29-30
0,021 – 4,722
0,113 – 1,022
pemeliharaan tertinggi
didapatkan
pada
perlakuan D mencapai 5,4 x 102 cfu/g, disusul
perlakuan
A
(3,95
x
102
cfu/g);
2
C (3,85 x 10 cfu/g); dan terendah pada
perlakuan B (2,25 x 102 cfu/g). Total populasi
bakteri Vibrio sp. setiap perlakuan di akhir
penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Total populasi bakteri Vibrio sp. setiap perlakuan di akhir penelitian
Perlakuan (Jenis Probiotik)
Total Vibrio sp. (Log cfu/g)
Probiotik EM
3,95 x 102
Probiotik BPPBAP
2,25 x 102
Probiotik NB
3,85 x 102
Kontrol (tanpa probiotik)
5,4 x 102
Pembahasan
Dari semua perlakuan bahwa presentase
sintasan larva kepiting bakau tertinggi sampai
akhir penilitian didapatkan pada perlakuan
perlakuan B dengan nilai sintasan sebesar 7,84
%; kemudian pada perlakuan C 4,31 %;
perlakuan A 0,78 %. Tingginya sintasan pada
perlakuan B diduga karena pemberian probiotik
BPPBAP mengandung Bacillus licheniformis
yang mampu memperbaiki kualitas air. Menurut
(Andriyanto, 2010) Bakteri ini telah terbukti
memiliki potensi sebagai agens pengendali
hayati yang baik, misalnya terhadap bakteri
patogen. Bacillus licheniformis memiliki
beberapa keunggulan diantaranya memiliki daya
hambat pada bakteri patogen, memiliki enzim
ekstraseluler bakteri yang lengkap (protease,
amilase dan lipase) serta pertumbuhan bakteri
Bacillus licheniformis yang cepat (Soegijono,
2010).
Rendahnya sintasan pada perlakuan A
diduga karna jenis probiotik yang digunakan
belum mampu meminimalisir pertumbuhan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
bakteri, hal itu terlihat dari hasil pengukuran
vibrio sp yang mencapai nilai tertinggi sebesar
3,95 x 102 dibandingkan dengan perlakuan yang
lain, sehingga larva kepiting bakau sangat
mudah terserang oleh penyakit yang muncul
pada perairan, salah satunya adalah larva
kepiting bakau terserang oleh protozoa yang
merusak organ dalam dari tubuh larva (Gambar
6). Selain itu kondisi organ pencernaan yang
belum terbentuk dengan sempurna membuat
larva kepiting bakau mengalami kesulitan dalam
proses pencernaanya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Tangko et al., (2007) bahwa dalam
bidang akuakultur penggunaan probiotik
bertujuan untuk menjaga keseimbangan mikroba
dan pengendalian patogen dalam saluran
pencernaan, air, serta lingkungan perairan
melalui proses biodegredasi. Di tambahkan oleh
Salminen et al, (1999) bahwa probiotik
merupakan segala bentuk preparasi sel mikroba
atau komponen sel mikroba yang memiliki
pengaruh menguntungkan bagi kesehatan dan
kehidupan inang.
88
Gambar 6. Larva yang terinfeksi protozoa (Saputra, 2012)
Affandi
dan
Tang
(2004)
budidaya ikan maupun udang yaitu menjaga
mengemukakan pertumbuhan adalah proses
keseimbangan mikroba dan mengurangi jumlah
perubahan ukuran (panjang, berat dan volume)
patogen,
secara
bersamaan
mengurangi
pada periode waktu tertentu. Hasil Pengamatan
penggunaan
senyawa-senyawa kimia dan
pertumbuhan mutlak berdasarkan panjang
meningkatkan pertumbuhan serta kesehatan
karapaks selama penelitian tertinggi yaitu pada
hewan inang.
perlakuan A dengan rata-rata panjang karapaks
Sama halnya dengan pertumbuhan
43,33 µm, disusul Perlakuan B 33,33 µm,
berdasarkan
panjang
karapaks,
Laju
kemudian perlakuan C 20 µm.
pertumbuhan lebar karapaks terbaik ditunjukkan
Tingginya
pertumbuhan
mutlak
oleh perlakuan A yaitu
37,67 µm,
berdasarkan panjang karapaks pada perlakuan A,
kemudian pada perlakuan C 29,33 µm,
Hal tersebut diduga karena kemampuan bakteri
perlakuan B 14,67 µm.
Hal ini diduga
probiotik ini mampu memperbaiki kualitas air
disebabkan oleh efektifitas probiotik ini dalam
dan peranannya membantu pada proses
menjaga kualitas air sangat baik untuk media
pencernaan pertumbuhan larva kepiting bakau.
pemeliharaan larva kepiting bakau. BakteriMenurut Khasani (2007), bahwa probiotik EM
bakteri probiotik seperti Nitrosomonas eutorpha
berguna untuk memperbaiki kualitas air
dan
Nitrobacter
winogradskyi mampu
pemeliharaan, menstabilkan pH, mengurangkan
mengurai bahan-bahan organik dalam air
bau, dan mengurangkan kehilangan nutrien
sehingga kualitas air tetap terjaga. They (2005)
dalam media pemeliharaan. Berdasarkan hasil
menyatakan bahwa bakteri probiotik dianggap
identifikasi
probiotik
EM
mengandung
menguntungkan karena dapat mengurai bahan
Nitrosomonas eutorpha dan Nitrobacter
organik. Ditambahkan oleh Moriarty (1996)
winogradskyi merupakan bakteri auototrof yang
bahwa efektivitas penggunaan bakteri probiotik
berperan mengoksidasi amoniak.
untuk mengendalikan mikroorganisme patogen
Selain hal tersebut pertumbuhan juga
sangat dipengaruhi oleh jenis bakteri yang
sangat ditentukan oleh pakan yang diberikan.
digunakan. Selain itu, pertumbuhan juga sangat
Pemberian pakan alami berupa rotifera dan
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan untuk
artemia
diduga memberikan
menunjang keberhasilan pemeliharaan larva
tambahan gizi bagi larva guna membantu proses
kepiting bakau. Menurut Kanna (2002) Larva
pertumbuhan, Rotifera mempunyai keuntungan,
kepiting bakau membutuhkan pakan dalam
diantaranya gerakannya lambat sehingga mudah
jumlah tertentu untuk menunjang aktivitas
dimangsa oleh larva dan mempunyai nilai gizi
pertumbuhannya.
yang baik untuk pertumbuhan larva kepiting
Sebaliknya laju pertumbuhan mutlak
(Adi, 2011).
berdasarkan lebar karapaks terendah didapatkan
Laju pertumbuhan panjang karapaks
pada perlakuan B, diduga karna jenis probiotik
terendah ditunjukkan oleh
perlakuan C,
ini belum mampu memaksimalkan serangan
rendahnya laju pertumbuhan panjang karapaks
bakteri protozoa dan kurang maksimalnya jenis
larva kepiting bakau
disebabkan serangan
probiotik yang diberikan dalam membantu
bakteri patogen (Vibrio sp.) dan protozoa. Hal
proses pencernaan (imunostimulan) pada larva
ini merupakan pengaruh dari penurunan kualitas
kepiting bakau.
Menurut Moriarty (1996)
air pada media pemeliharan karena tidak adanya
menyatakan bahwa probiotik adalah makanan
bakteri probiotik pengendali bakteri patogen dan
tambahan (suplemen) berupa sel-sel mikroba
pengurai amonia. Menurut (Wang et al., 1999
hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan
dalam Irianto (2003) penggunaan probiotik pada
bagi hewan inang yang mengkonsumsinya
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
89
melalui
penyeimbangan
flora
mikroba
intestinalnya
yang
berperan
sebagai
bioremediasi dan imunostimulan.
Hasil pengukuran Salinitas semua
perlakuan berada pada kisaran
28-30 ppt.
Kisaran ini masih layak untuk mendukung daya
hidup larva kepiting bakau. Menurut Fibro
(2010), larva Kepiting bakau mampu mentolerir
kisaran salinitas antara 33-34 ppt. Salinitas
merupakan salah satu faktor lingkungan yang
berpengaruh penting pada konsumsi pakan,
metabolisme, sintasan, dan pertumbuhan
organisme akuatik.
Salinitas berpengaruh
terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau,
terutama pada saat moulting (Ansari, 2010).
Karim (2007) melaporkan bahwa tingkat
salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap
sintasan kepiting bakau S. paramamosain, tetapi
berpengaruh
nyata
terhadap
laju
pertumbuhannya. Salinitas dapat memodifikasi
peubah fisika dan kimia air menjadi satu
kesatuan pengaruh yang menjadi satu kesatuan
pengaruh yang berdampak osmotik pada
osmoregulasi dan bioenergetik.
Hasil
pengukuran
suhu
selama
penelitian untuk semua perlakuan diperoleh
kisaran 29-310C. Fluktuasi tidak terlalu tajam
karena semua media pemeliharaan dilengkapi
heater selama 24 jam untuk mempertahankan
suhu air.
Kisaran ini masih layak untuk
mendukung daya hidup larva kepiting bakau
(Kuntiyo et al., 1994). Zacharia dan Kakati
(2004) menyatakan, Suhu merupakan salah satu
faktor abiotik penting yang mempengaruhi
aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen dan
laju metabolisme krustase. Suhu yang optimun
untuk kepiting bakau adalah 26 sampai 320C
(Kuntiyo et al., 1994). Berdasarkan hal tersebut,
kisaran suhu media pemeliharaan cukup
optimum dalam mendukung sintasan dan
pertumbuhan kepiting bakau.
Hasil pengukuran pH selama penelitian
berkisar antara 7,3–8,2. Kisaran ini masih layak
untuk mendukung daya hidup larva kepiting
bakau. Menurut Christensen et al. (2005), pH
optimum untuk larva kepiting bakau berkisar
antara 7,5 dan 8,5. Organisme air dapat hidup
dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH
netral dengan kisaran toleransi antara asam
lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang sangat
rendah akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH
yang sangat rendah akan menyebabkan
mobilitas berbagai senyawa logam yang bersifat
toksik semakin tinggi yang tentunya akan
mengancam kelangsungan hidup organisme
akuatik. Sementara pH yang tinggi akan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
menyebabkan terganggunya keseimbangan
antara ammonium dan ammoniak dalam air,
dimana kenaikan pH
di atas netral akan
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga
bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus,
2004).
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO)
selama penelitian berkisar antara 4,9–6,8 mg/L.
Nilai ini masih dalam kisaran yang normal untuk
pertumbuhan larva kepiting bakau. Menurut
Yunus et al. (2001) melaporkan bahwa
konsentrasi DO sebesar 5,60–5,68 mg/L
mendukung sintasan larva kepiting bakau.
Disolved oxygen (DO) merupakan banyaknya
oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen
terlarut merupakan suatu faktor yang sangat
penting di dalam ekosistem perairan, terutama
sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme air.
Kelarutan
oksigen sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
terutama suhu. Kelarutan maksimum oksigen di
dalam air terdapat pada suhu sebesar 14,16
mg/L. Konsentrasi ini akan menurun sejalan
dengan meningkatnya suhu air.
Dengan
peningkatan
suhu
akan
menyebabkan
konsentrasi oksigen akan menurun dan
sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut
semakin tinggi (Barus, 2004).
Konsentrasi amoniak dari awal hingga
akhir
penelitian
mengalami
fluktuasi.
Konsentrasi ammonia tertinggi adalah pada
perlakuan A sebesar 0,5833 mg/L, perlakuan C
sebesar 0,5617 mg/L dan terendah pada
perlakuan B sebesar 0,2344 mg/L. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan bakteri
probiotik mampu meningkatkan penghilangan
amoniak dan bahan organik menjadi senyawasenyawa sederhana yang justru dibutuhkan oleh
produser primer untuk pertumbuhannya. Ghosh
et al., (2008) juga melaporkan penurunan kadar
amoniak dan bahan organik dengan aplikasi
bakteri probiotik Bacillus subtilis. Keberadaan
produser primer pada sistem budidaya sangat
dibutuhkan untuk menjaga stabilitas media
pemeliharaan agar sesuai dengan kebutuhan
hewan budidaya.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Triyanto (2005) bahwa bakteri
Nitrosomonas eutorpha dan Nitrobacter
winogradsky mampu dengan baik mengoksidasi
amoniak dalam media pemeliharaan, sedangkan
bakteri Paracoccus pantotrophus dan Bacillus
megaterium mampu merombak karbohidrat dan
bahan organik. Kualitas air terutama kadar total
amoniak yang melebihi ambang batas
merupakan salah satu faktor penyebab
penurunan produksi udang
(Arifin et
90
al, 2007), Amonia terutama berasal dari proses
amonifikasi bahan organik yang terdapat pada
sisa pakan dan ekskresi amoniak secara
langsung oleh organisme air. Menurut Boyd
(1990) bahan organik yang berasal dari pakan
yang tidak termakan, plankton mati, aplikasi
pemupukan
dan
faeces
dalam proses
dekomposisi nitrogen organik, penguraian
nitrogen menjadi amonium, nitrit dan nitrat
tidaklah menimbulkan efek toksik, tetapi apabila
yang terbentuk amoniak maka dalam kadar
rendahpun akan menimbulkan gangguan pada
organisme akuatik bahkan mematikan.
Nitrit merupakan salah satu bentuk
nitrogen hasil dari proses nitrifikasi nitrogen
oleh mikroba pengurai (Septiningsih, 2009).
Konsentrasi nitrit selama penelitian juga
berfluktuasi. Konsentrasi nitrit tertinggi pada
perlakuan A sebesar 2,884717 mg/L, perlakuan
C sebesar 2,831483 mg/L dan terendah pada
perlakuan B sebesar 1,84305 mg/L. Ada
kecendrungan bahwa pada konsentrasi probiotik
yang kecil menyebabkan proses nitrifikasi nitrit
menjadi nitrat menjadi lambat sedangkan proses
perombakan amonia menjadi nitrit semakin
cepat.
Hasil ini mengindikasikan bahwa
penambahan probiotik
6 sel/liter mampu
mereduksi konsentrasi nitrit dalam media
pemeliharaan krablet kepiting bakau. Nitrit yang
didapatkan dari semua perlakuan tergolong
cukup tinggi, dimana maksimal sebesar 0,01
mg/L (Boyd, 1990; Wardoyo, 1998) dan tidak
melebihi 0,1 mg/L (Adiwijaya et al., 2003).
Malone dan Burden (1998) menyatakan nilai
optimal nitrit diperairan <0,5 mg/L. Sementara
Effendi (2003) melaporkan bahwa konsentrasi
nitrit >0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi biota
laut. Moore (1991) melaporkan bahwa kadar
nitrit >0,5 mg/L akan bersifat toksik bagi
organisme
air
terutama
udang
yang
dibudayakan, namun karena ketersediaan
oksigen yang cukup dan penyerapan senyawa
tannin dalam tubuh menyebabkan udang masih
dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Demikian
halnya pada pemeliharaan krablet kepiting
bakau, dimana krablet masih dapat hidup dan
tumbuh dengan baik meski media pemeliharaan
mengandung konsentrasi nitrit yang cukup
tinggi.
Populasi bakteri Vibrio sp. pada
perlakuan A lebih tinggi dibandingkan total
bakteri Vibrio sp. pada perlakuan B dan C. Hal
ini menunjukan bahwa penambahan probiotik
dapat menurunkan populasi bakteri Vibrio sp.
Menurut Soundarapandian et al., (2010) bahwa
penambahan probiotik pada media budidaya
dapat menurunkan dan menekan bakteri vibrio
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
sp pada budidaya udang windu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yudiati et al., (2006) yang
melaporkan bahwa bakteri probiotik yang
berasal dari media budidaya pembesaran udang
adalah
potensial
dan
dapat
menekan
pertumbuhan bakteri pathogen diantaranya
Vibrio sp.
Hasil penelitian (Ika, 2007) menunjukan
bahwa golongan bakteri bacillus sp. terutama
Bacillus subtilis UTM 126 berfungsi untuk
menekan pertumbuhan plankton supaya tidak
terlalu pekat, selain itu bakteri ini juga
mengeluarkan enzim yang berguna untuk
menekan perkembangan bakteri vibrio. Aplikasi
probiotik memberikan efek positif terhadap
kualitas air dan berpengaruh terhadap populasi
bakteri vibrio. Beberapa probiotik yang telah
terbukti menekan populasi bakteri vibrio adalah
Bacillus spp (Dalmin et al., 2001), Bacillus
subtilis BT23 (Vaseeharan dan Ramasamy,
2003), Bacillus subtilis UTM 126 (Balcázar dan
Rojas-Luna, 2007).
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan Pemberian probiotik mampu
meningkatkan sintasan dan pertumbuhan dalam
pemeliharaan larva kepiting bakau. Probiotik
Bacillus licheniformis memberikan respon
sintasan yang tertinggi. Probiotik Nitrosomonas
eutorpha dan Nitrobacter
winogradskyi
memberikan pertumbuhan mutlak panjang
karapaks terbaik sama halnya dengan
pertumbuhan lebar karapaks.
Persantunan
Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc,
dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Haluoleo, Kendari.
Kepala dan Staf Balai Budidaya Air
Payau Maros, Sulawesi Selatan, atas bantuan
dan bimbingan selama melakukan penelitian.
Daftar Pustaka
Adi, Y.S. 2011. Sintasan Larva Rajungan (Portunus
pelagicus) Stadia Zoea pada Berbagai
Frekuensi Pemberian Pakan Alami enis
Brachionus plicitalis. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Makassar. 46 hal.
Affandi dan Tang. 2004. Fisiologi Hewan Air. Badan
Penerbit Universitas Riau. Pekan Baru. 10
hal.
Ansari, N, R. 2010. Pemacauan Pergantian Kulit
Kepiting Bakau (Scylla serrata) Melalui
Manipulasi
Lingkungan
untuk
91
Menghasilkan Kepiting Lunak. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 179185 Hal.
Andriyanto, S. 2010. Pengaruh Pemberian Probiotik
dengan Dosis yang Berbeda terhadap
Sintasan dan Pertumbuhan Benih Patin
Jambal (Pangasius djambal). Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 117122 hal.
Arifin, Z., C. Kokarkin dan T.P. Priyoutomo. 2007.
Penerapan Best Management
Practices
(BMP) pada Budidaya Udang Windu
(Penaeus monodon) Intensif. Juknis.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Ditjen.
Perikanan
Budidaya.
Balai
Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.
68 hal.
Astin, B. and D. A Austin. 1999. Bacterial fish
Pathogens, Disease of Farmed & Wish, 3 rd
(revised) ed. Springer-Praxis, Godalman. 3:
263-296.
Balca´zar, J.L., & T. Rojas-Luna. 2007. Inhibitory
Activity of Probiotic Bacillus subtilis UTM
126 Against Vibrio Species Confers
Protection Against Vibriosis in Juvenile
Shrimp (Litopenaeus vannamei), Curr.
Microbiol 55: 409–412.
Barus, T.A. (2004). Pengantar Limnologi: Studi
tentang Ekosistem Air Daratan. Penerbit
USU Press.
Boyd C. E. 1990. Water Quality in Pond for
Aquaculture.
Auburn
University,
Alabama. 482 pp.
Catacutan, M. R. 2002.
Growth and Body
Composition of Juvenile Mud Crab, Scylla
serrata, Fed Different Dietary Protein and
Lipid Levels and Protein To Energy Ratio.
Aquaculture, 208:113-123.
Christensen, S.M, D.J. Macintosh, & N.T. Phuong.
2005. Pond Production of The Mud Crab
Scylla paramamosain (Estampador) & S.
olivacea (Herbst) in The Mekong Delta,
Vietnam,
Using
Two
Different
Supplementary Diets. Aqua. Res. 35: 10131024.
Direktorat Jendral Perikanan. 1992. Ekspor dan
Impor Hasil Perikanan. Departemen
Pertanian, Indonesia Jakarta. 3 hal.
Effendi M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 249 hal.
Fahri, M. 2009. Aplikasi Probitik Untuk Pencegahan
Penyakit dilingkungan Tambak. Brawijaya
University. Malang. 50 hal.
Fibro, A, W. 2010. Laju Pemangsaan Larva Kepiting
Bakau (Scylla sarrata) terhadap Pakan
Alami Rotifera (Brachionus sp.). Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau Maros.
Jurnal Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur: 139-144.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan
Untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu
Teknik dan Biologi. CV Armico. Bandung.
472 hal.
Ghosh, S, A. Sinha and C. Sahu. 2008.
Bioaugmentation in the Growth and Water
Quality of Livebearing Ornamental Fishes.
Aquaculture International 16: 393-403.
Ika, R, M. 2005. Sensifitas Berbagai stadia kepiting
Bakau (Scylla paramamosain) terhadap
White
Spot
Syndrome
Virus.
Bioteknologi. 2 (1): 27-33.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 125 hal.
Kanna. I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau
(Pembenihan dan Pembesaran). Kanisius.
Yogyakarta. 130 hal.
Karim, M. Y. 2008. Kajian Osmoregulasi Kepiting
Bakau (Scylla serrata Forsskal) pada
salinitas Berbeda. Ichthyos. 7 (1) : 21-26.
Khasani, I. 2007. Aplikasi Probiotik Menuju Sistem
Budidaya Perikanan
Berkelanjutan.
Media Akuakultur. 2 (2): 86-90.
Kordi, K. 2007. Pemeliharaan Udang Vanname.
Penerbit Indah. Surabaya. 16 hal.
Malone, R.F., and D.G. Burden. 1998. Design of
Recilculating Blue Crab Shedding Systems.
Lousiana Sea Grand College Program.
Louisiana Sea Grant College Program,
Lousiana State University, Baton Rouge,
Lousiana, 76 pp.
Moriarty, D.J.W. 1996. Microbial Biotechnology: a
key
Inggradient
for
Sustainable
Aquaculture. Infofish. 55: 123-142.
Pribadi. 2002. Probiotik Dalam Budidaya. Kumpulan
Majalah Mitra Bahari Edisi 1996 – 2002. 5
hal.
Salminen, S., Ouwehand, A., Benno, Y. & Lee Y.K.
1999. Probiotics: how should
be
defined. Trends in Food Science and
Technology 10:107 – 110.
Septiningsih, E. 2009. Pengaruh Dekomposisi
Serasah Daun Mangrove Rhizophora
Mucronata
Terhadap
Kualitas
Air,
Pertumbuhan
dan
Sintasan
Udang
Vannamaei Lithopenaeus vannamei. Tesis
Program
Pascasarjana
Universitas
Hasanuddin. Makassar. 84 hal.
Soim, A. 1993. Pembesaran Kepiting. Penebar
Swadaya. Jakarta. 61 hal
Soundarapandian, P., V. Ramanan and G.K.
Dinakaran. 2010. Effect of Probiotics on the
Growth and Survival of Penaeus monodon.
Current Research Journal of Social Sciences
2: 51-57.
Soegijono. 2010. httpcoba-cobasendiri.blogspot
.com201008pemanfaatan-bakteri-bacillus.
Pemanfaatan Bakteri Bacillus Megatarium
Sebagai Probiotik Untuk Meningkatkan
Aktifitas Enzim Pencernaan Dan Respon
Pertumbuhan
Udang
Vannamei
(Litopenaeus vannamei). Diakses pada
tanggal 4 oktoker 2012.
92
Tangko, A. M., Mansyur, A., dan Reski. 2007.
Penggunaan
Probiotik
pada
Pakan
Pembesaran Ikan Bandeng dalam Keramba
Jaring Apung di Laut. Pusat Riset Perikanan
Budidaya. Jakarta. J. Ris. Akuakultur. 2 (1):
33-40.
Triyanto. 2005. Isolation and Characterization of
Proteolitic, Nitrifying, and Denitrifying
Bacteria From Mangrove Sediment.
Laporan Penelitian. Universitas Gadjah
Mada . Yogyakarta. 121 pp.
Vaseeharan, B. & P. Ramasamy. 2003. Control Of
Pathogenic Vibrio Spp. By Bacillus Subtilis
Bt23, A Possible Probiotic Treatment For
Black Tiger Shrimp Penaeus monodon. Lett
Appl Microbiol. 36: 83-7.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Yudiati E., Subagiyo dan A. Isnansetyo. 2006.
Eksplorasi dan Aplikasi Marine Bakteri
Antagonis Terhadap Bakteri Pathogen
Dalam Upaya Pengendalian Penyakit Ikan
dan Udang Secara Terpadu. Laporan
Penelitian.
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
Yunus, I. Rusdi, Haryanti, dan K. Sugama. 2001.
Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla
paramamosain) Skala Massal. Laporan
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut. 144
hal.
Zacharia, S. and V.S. Kakati. 2004. Optimal Salinity
and Temperatur of Early Developmental
Stages of Penaeus merguensis de Man.
Aquaculture, 232: 378-382
93
Download