Uploaded by sullij93

RELEVANSI NEGARA HUKUM DENGAN KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA kwn

advertisement
RELEVANSI NEGARA HUKUM DENGAN KASUS DUGAAN PENISTAAN
AGAMA
MENIDAKLANJUTI KASUS DUGAAN PENISTAAN
AGAMA: PERTARUHAN BANGSA INDONESIA
SEBAGAI NEGARA HUKUM
1. Konsep Negara Hukum
Negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum,
yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara
hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan
menurut hukum.1
Menurut D. Mutiara’s dalam bukunya Ilmu Tata Negara Umum, definisi negara hukum
adalah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang
sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak
boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum. Negara
hukum itu adalah negara yang diperintah bukan oleh orang-orang tetapi oleh undang-undang
(state the not governed by men, but by law). Karena itu, didalam negara hukum, hak-hak
rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan terhadap negara, sebaliknya, kewajibankewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan
pemerintah dan undang-undang negara.2
Negara hukum menganut asas the rule of law yang artinya dalam penyelenggaraan negara,
tindakan penguasa maupun rakyatnya harus berdasarkan hukum. Tindakan penguasa
bukanlah didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasanya belaka dengan maksud
membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan rakyatnya, yaitu
perlindungan terhadap hak asasi anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenangwenang.3
Istilah rechtstaat pertama kali digunakan oleh Rudolf Von Gneist (1816-1895), seorang
guru besar di Berlin, Jerman, di mana dalam bukunya “das Englische Verwaltunngerechte”
(1857), ia mempergunakan istilah rechstaat untuk pemerintahan negara Inggris.
Namun, konsepsi negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke-17 di Eropa, bersamaan
dengan timbulnya perjuangan menentang kekuasaan yang tak terbatas dari penguasa, yaitu
para raja yang mempunyai kekuasaan absolut dan rakyat harus menaati raja sepenuhnya. Hal
ini disebabkan oleh adanya doktrin yang menyatakan bahwa raja bertakhta karena kehendak
1
Negara Hukum, Ensiklopedia Indonesia (N-Z), N.V, W. Van Hoeve, hlm. 983
D’Mutiar’as, Ilmu Tata Negara Umum, Pustaka Islam, Jakarta, hlm. 20
3
Joeniarto, Negara Hukum, YBP Gajah Mada, Jogjakarta, 1968, hlm. 53
2
1|Kewarganegaraan
Tuhan, raja adalah wakil Tuhan di dunia, raja adalah bayangan Tuhan, atau menurut Jean
Bodin “Le Rai Cest (Image Dieu)”.4 Sehingga, pelanggaran terhadap raja merupakan
pelanggaran terhadap Tuhan.
Teori kedaulatan mutlak lahir dan dipelopori oleh sarjana-sarjana dan ahli-ahli filsafat
seperti Jean Bodin, Niccolo Machaivelli, Jellinek dan yang lainnya yang menopang paham
negara (raja) dengan kekuasaan mutlak, yang disebut “Teori Kedaulatan Negara”.5 Intisari
dan pokok-pokok dari konsep ini adalah bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan
yang tertinggi dan tidak terbatas, yang dapat memaksakan perintah-perintahnya dengan tidak
mengindahkan perintah lainnya. Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi itu menghendaki
penaatan mutlak dari semua warga negara. Kekuasaan yang mutlak itu menjelma menjadi
Undang-Undang yang dibentuk oleh raja.6
Konsep kedaulatan negara yang mutlak ini kemudian menyebabkan adanya tindakan
sewenang-wenang dari raja yang mempunyai kekuasaan absolut yaitu berupa penindasan
terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep ini bertolak belakang dengan tujuan dari
dibentuknya hukum yaitu untuk menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia.
Banyak tokoh yang tidak setuju dengan teori kedaulatan negara yang bersifat mutlak,
diantaranya adalah John Locke dan JJ. Rousseau. Menurut John Locke, penguasa yang
diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak-hak
alamiah yang telah menempel pada seorang individu. Berdasarkan pemikiran demikian, maka
Locke menghasilkan negara konsitusional.
Selanjutnya, JJ. Rousseau mengemukakan paham yang sampai sekarang masih sangat
terkenal, yaitu ”Kedaulatan Rakyat”. Menurut pemikiran ini, dihasilkan bentuk negara yang
berkedaulatan rakyat dimana penguasa negara hanya merupakan wakil rakyat. Pemerintah
sebagai pemimpin organisasi dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat, yakni rakyat
seluruhnya melalui kemauan umumnya.7
4
Isjwara, F., Pengantar Ilmu Politik, Dhiwantara, Bandung, 1967, hlm. 134 (cetakan ke-3)
Ibid, hlm. 97
6
Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H, M.S, Tipe Negara Hukum, Bayu Media, Malang, 2005, hlm. 12
7
Ibid, hlm. 18
5
2|Kewarganegaraan
Dari uraian kedua tokoh tersebut, terlihat jelas bahwa manusia dan hukum sangatlah
berkaitan erat. Jika tidak ada manusia, maka tidak ada hukum. Demikian juga sebaliknya,
tidak bisa dibayangkan jika manusia hidup dalam keadaan yang tidak mempunyai hukum
sebagai panduan dalam bertingkah laku. Hubungan antara manusia dan hukum juga terlihat
dalam fungsi masyarakat sebagai individu untuk menyelamatkan hidupnya secara optimal
hingga tercapai integrasi kepribadiannya. Untuk menunaikan fungsinya itu, manusia
membutuhkan tertib yang disebut hukum.
Dalam konteks ini, peran negara hanyalah sebagai bahtera yang membawa rakyatnya
menuju suatu kesejahteraan. Secara teori, tidak ada negara yang dibuat untuk membuat
rakyatnya menderita karena tujuan negara adalah untuk membuat atau menciptakan
kesejahteraan rakyatnya. Prof. Mr. Dr. J. Barent mengemukakan bahwa tujuan negara
sebenarnya adalah pemeliharaan, yaitu pemeliharaan ketertiban, keamanan, serta
penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam arti seluas-luasnya.8
Dalam menunaikan fungsi dan mencapai tujuan itu, negara dengan sendirinya tidak boleh
bertindak menghalalkan segala cara, tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah
dengan seluruh aparatnya, harus mengikuti aturan-aturan yang ada. Disinilah letak arti
hukum menjadi penting bagi suatu masyarakat dan negara. Hukum sebagai suatu peraturan
berperan untuk mencegah penguasa untuk bertindak sewenang-wenang, dan merupakan batas
antara individu dalam berinteraksi agar tercipta ketentraman umum sehingga hukum
dipandang sebagai pusaka dari kemanusiaan. Dan sebaliknya, hukum tanpa kemanusiaan
pada hakikatnya adalah bukan hukum karena akan menyebabkan penindasan dan tirani.9
Negara hukum merupakan tipe negara yang umum dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia
dewasa ini. Negara hukum meninggalkan tipe negara yang memerintah berdasarkan kemauan
sang penguasa. Sejak perubahan tersebut, maka negara diperintah berdasarkan hukum yang
sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa pun tunduk kepada hukum
8
Barent, J, De Wetenschap Der Politick, terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politik, PT Pembangunan, Jakarta, 1965, hlm.
49
9
Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H, M.S, op.cit hlm. 28
3|Kewarganegaraan
tersebut.10 Dengan karakteristik ini, maka negara hukum menjadi identik dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Kasus Dugaan Penistaan Agama Oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja
Purnama
Indonesia akhir-akhir ini sedang dihebohkan oleh kasus dugaan penistaan agama oleh
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau yang biasa disapa Ahok. Kronologi
kasusnya bermula saat Ahok melakukan kunjungan ke Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada
tanggal 27 September 2016. Disana, beliau berpidato tentang program memajukan
masyarakat Kepulauan Seribu yang disambut baik oleh masyarakat Kepulauan Seribu.
Kemudian Ahok menyatakan bahwa masyarakat tidak diwajibkan memilih Ahok sebagai
Gubernur DKI Jakarta periode selanjutnya karena masa jabatan Ahok baru akan berakhir
pada Oktober 2017, sehingga walaupun Ahok tidak menang, program tersebut masih akan
terlaksana. Pernyataan Ahok tentang Pilkada ini disertai dengan kutipan dari Ayat Suci AlQuran Surat Al-Maidah ayat 51 yang akhirnya menuai reaksi dan kontroversi.
Kemudian pada 6 Oktober 2016, potongan video pidato Ahok menyebar secara viral di
media sosial melalui akun Facebook milik Buni Yani yang menyatakan bahwa Ahok telah
melakukan penistaan Agama yang memicu kemarahan sebagian Umat Islam di Indonesia.
Dua hari setelah potongan video ini menyebar, Ahok meminta maaf karena telah
menyertakan Ayat Suci Al-Quran Surah Al-Maidah ayah 51 di dalam pidatonya dan
menyatakan bahwa beliau tidak berniat untuk meninggung Umat Islam.
Namun demikian, permintaan maaf Ahok tidak langsung diterima oleh sebagian Umat
Muslim di Indonesia. Demonstrasi yang dilakukan oleh ormas Islam pun pecah di depan
Gedung Balai Kota pada tanggal 14 Oktober 2016. Berselang 10 hari dari demonstrasi ini,
Ahok mendatangi Mabes Polri untuk memberikan klarifikasi terkait pidatonya di Kepulauan
Seribu, namun nyatanya, masih ada yang belum terima dengan pernyataan Ahok tersebut
10
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Jakarta,
2009, hlm. 2
4|Kewarganegaraan
sehingga terjadi demo kedua pada tanggal 4 November 2016 yang melibatkan massa dari
seluruh Indonesia di sejumlah pusat kegiatan kota Jakarta termasuk di depan Istana Negara.
Didasarkan dengan nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, massa menuntut bahwa
Ahok harus segera di proses hukum terkait dengan kasus penistaan Agama. Juru bicara
demonstran akhirnya melakukan dialog dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara
dan sepakat bahwa proses hukum Ahok akan dilakukan dengan cepat dan transparan. Untuk
menjamin transparansi, gelar perkara untuk kasus ini dibuka kepada publik atas perintah
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. (Tribunnews, 2016)
Berdasarkan hasil penyelidikan Polri terhadap Ahok, pada tanggal 16 November 2016,
Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan penistaan agama dan kasus ini akan
ditingkatkan ke proses penyidikan. (News Liputan 6, 2016)
Menurut pemahaman penulis, dalam kasus ini tidak terjadi tindak penistaan agama oleh
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Ahok dalam pidatonya dalam rangka kunjungan ke
Kepulauan Seribu. Tapi menurut tutur Bahasa, wajar bila ada beberapa pihak yang merasa
sakit hati saat mendengar statement Ahok. Disini, Ahok bermaksud bahwa masyarakat tidak
seharusnya dengan mudah dibohongi dengan menggunakan potongan surat dari kitab suci
sebagai alat yang membohongi masyarakat dalam konteks pilkada.
Hal ini juga dinyatakan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, bahwa ia
tidak melihat adanya unsur penistaan agama karena yang dimaksudkan adalah surat AlMaidah ini sering dijadikan keuntungan bagi politisi untuk mempengaruhi pilihan
masyarakat dalam Pilkada.
Sangat disayangkan bahwa disini Ahok telah keliru dalam menggunakan referensi Ayat
Suci Al-Quran dalam pidatonya. Apalagi Ahok berada dalam posisi yang tidak mempelajari
Al-Quran secara mendalam. Sehingga walaupun tidak terjadi tindak penistaan Agama,
perbuatan Ahok tetap tidak dapat dibenarkan.
3. Relevansi Kasus Ahok dengan Konsep Negara Hukum
5|Kewarganegaraan
Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, hal ini tertuang jelas dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Ini berarti bahwa seluruh lapisan masyarakat Indonesia harus
mematuhi dan bertindak sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Segala perbuatan yang
melanggar hukum harus ditindak tentunya sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukum dibuat
untuk dipatuhi, dan bertujuan agar terciptanya ketentraman dan kesejahteraan umum.
Demi tercapainya tujuan hukum tersebut, dibutuhkan kerjasama dari seluruh elemen
negara. Hukum harus ditempatkan sebagai satu-satunya ‘aturan main’ dalam berbangsa dan
bernegara.
Kasus ini dilaporkan kepada polisi sebagai dugaan penistaan Agama. Menurut hasil
penyelidikan Polisi, telah ditetapkan bahwa Ahok adalah tersangka dalam kasus ini, dan akan
ditingkatkan ke proses penyidikan. Hal ini sudah sesuai dengan konsep negara hukum yang
dianut oleh Indonesia, bahkan yang bersangkutan pun mendukung dirinya diproses hukum
dan mengatakan bahwa ini adalah contoh yang baik bagi demokrasi. Justru jika tidak
diproses hukum, Indonesia sebagai negara hukum akan dipertaruhkan martabatnya dan
sangat dimungkinkan di masa yang akan datang akan terjadi lagi kasus serupa jika hal ini
tidak ditindak sesuai hukum.
Dalam kasus ini, Ahok dikenai Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi:
”Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Jika memang Ahok terbukti melanggar pasal diatas, maka sudah sewajarnya beliau
diproses sesuai hukum. Namun jika ternyata hasil penyidikan polisi menyatakan bahwa Ahok
bersih dari tuduhan, maka rakyat Indonesia haruslah menerimanya dengan pikiran yang
6|Kewarganegaraan
terbuka dan tidak main hakim sendiri. Karena tujuan negara hukum bukan hanya
menciptakan kesejahteraan umum, namun juga untuk melindungi hak-hak asasi setiap
anggota masyarakat.
Hal lainnya yang ingin penulis singgung adalah mengenai demo susulan terhadap Ahok
yang kabarnya akan dilaksanakan 2 Desember 2016 nanti. Hal ini seharusnya tidak terjadi.
Masyarakat harusnya menyikapi masalah ini dengan lebih arif dan bijaksana. Polisi telah
melakukan tugasnya sebagai penyelidik dengan benar dan transparan. Sebagai warga negara
Indonesia yang berdasar kepada hukum, sudah sepatutnya kita mempercayakan kelanjutan
kasus ini kepada pihak yang berwenang. Tugas kita sebagai masyarakat hanyalah tinggal
mengawal kasus ini agar tidak menyimpang dari hukum yang berlaku.
7|Kewarganegaraan
Download