Uploaded by User45101

wayang dan tari topeng

advertisement
dah lebih dari satu dekade sejak dinobatkannya kesenian wayang kulit sebagai “Masterpiece”
kebudayaan dunia. Konsekuensi logis dari adanya pengakuan UNESCO terhadap Seni
Pertunjukkan Wayang Indonesia, maka Kementrerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 26
Januari – 2 Februari 2004 lalu telah melaksanakan kegiatan sosialisasi wayang ke luar negeri
yaitu ke Prancis, yang digelar di Kota Bordeaux, Nancy (perbatasana dengan Jerman) dan Kota
Strassbourg dan terakhir di Kota paris. Kini 12 tahun sudah berlalu sejak hari itu, dan wayang
kulit menjadi warisan budaya yang sudah mendunia.
Wayang kulit merupakan salah satu seni pertunjukan yang berasal dari kebudayaan
jawa dan sangat terkenal. Hal ini dikarenakan pertunjukan wayang sangat sarat dengan unsur
estetika dan pesan moral yang terkandung di dalam setiap pertunjukannya. Ada dua pendapat
berbeda yang menjelaskan makna kata wayang, yang pertama berasal dari kata “Ma Hyang”
yang berarti roh spiritual, dewa , atau Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pendapat lainnya
berasal dari bahasa jawa yang berarti bayangan. Hal ini dikarenakan, dalam pertunjukan wayang
kita hanya melihat bayang bentuk dari wayang kulit yang dimainkan.
Wayang kulit sendiri merupakan kekayaan budaya yang bernilai tinggi karena selain merupakan
sebuah seni kriya (baca : fungsi seni kriya), pertunjukan wayang kulit mampu menggabungkan
berbagai macam kesenian seperti seni sastra, seni musik, dan seni rupa. Seni sastra dari pupuh
yang diucapkan oleh dalang , Seni musik dari lantunan berbagai nama alat musik tradisional, dan
seni rupa dari visualisasi wayng kulit yang unik dan khas budaya Indonesia.
Populer di daerah sekitar provinsi jawa tengah dan jawa timur, kini kesenian wayang kulit telah
di kenal di dunia mancanegara. Di bawa oleh Ki Purbo Asmoro, wayang kulit mulai populer di
beberapa negara di Asia hingga Eropa. Seperti negara perancis, Inggris, Austria, Yunani, Jepang,
Thailand, Singapura, Amerika, Bolivia dan masih banyak lagi. Namun sebelum sampai ke era
kepopulerannya di masa sekarang.
Berikut adalah ulasan sejarah wayang kulit dan perkembangannya :

Sejarah wayang kulit dan Kebudayaan hindu budha
Sejarah wayang kulit tidak terlepas dari sejarah kesenian wayang secara umum. Bila dilihat dari
catatan sejarah, belum ada bukti konkret tentang adanya kebudayaan wayang sebelum abad
pertama. Hal ini bertepatan dengan masuknya budaya Hindu dan Budha ke Asia Tenggara.
Hipotesis ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa seni pertunjukan wayang kulit
mayoritas mengangkat cerita Ramayana dan Mahabarata. Walaupun itu juga bukan
merupakan standard yang bisa mengikat dalang. Karena dalam setiap pertunjukannya dalang
boleh saja membuat pertunjukan dari lakon carangan (gubahan).
Jivan Pani, seorang budayawan terkemuka disana, pernah mengeluarkan pendapat bahwa
wayang berkembang dari dua jenis seni . Kesenian ini berasal dari Odisha, India Timur, yaitu
Ravana Chhaya yang merupakan sebuah teater boneka dan tarian Chhau. Dari sini berkembang
hipotesis baru, bahwa akulturasi kebudayaan India atau Tiongkok adalah hal yang menciptakan
kesenian wayang di indonesia. Karena kedua negara ini memiliki tradisi yang telah berjalan
turun-temurun tentang penggunaan bayangan boneka atau pertunjukan teater secara keseluruhan.

Wayang kulit di zaman kerajaan
Bukti konkret pertama yang ditemukan membahas mengenai kesenian wayang berbentuk
sebuah catatan. Catatan ini mengacu pada sebuah prasasti yang bisa dilacak berasal dari tahun
930. Prasasti tersebut menyebutkan tentang si Galigi mawayang. Galigi yang dimaksud disini
adalah seorang dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Sesuai dengan isi kitab “Kakawin
Arjunawiwaha” buatan Empu Kanwa, pada tahun 1035. Dideskripsikan bahwa sosok si Galigi
adalah seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana atau dalang terbesar
hanyalah berjarak satu layar dari kita.
Dimulai dengan Wayang Purwa pertama kali dimiliki oleh Sri Jayabaya (Raja Kediri tahun 939
M). Wayang Purwa kemudian dikembangkan oleh Raden Panji di Jenggala ditahun 1223 M.
Pada tahun 1283 M Raden Jaka Susuruh menciptakan Wayang dari kertas . Wayang hasil
ciptaan Raden Jaka ini yang dikenal dengan “Wayang Beber“. Semakin lama Sangging
Prabangkara pada tahun 1301 M mengembangkan karakter wayang beber sesuai dengan
adegannya.

Wayang kulit pada zaman kerajaan islam
Tidak asing di telinga kita nama Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari tokoh sembilan
wali. Beliau bernama asli Joko Said yang lahir pada 1450 M. Wayang kulit yang ada pada saat
ini adalah karya inovasi dari Sunan Kalijaga. Wayang Beber Kuno yang menggambarkan wujud
manusia secara detail dibuat menjadi lebih samar. Karakter seperti Bagong, Petruk, dan Gareng
adalah lakon ciptaan Sunan Kalijaga. Lakon-lakon tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat
membawa nafas islam pada pertunjukan wayang kulit yang saat itu masih di dominasi
kebudayaan Hindu Budha.
Dari zaman ini, tercipta beberapa istilah perwayangan yang sebenarnya merupakan serapan atau
merujuk pada bahasa Arab seperti:
1. Dalang, berasal dari kata “Dalla” yang berarti menunjukkan. Sunan Kalijaga memilih
kata tersebut dengan keinginan nantinya Dalang dapat menunjukkan kebenaran kepada
para penonton wayang.
2. Tokoh Semar, berasal dari kata “Simaar” yang berarti paku. Sunan Kalijaga memilih kata
tersebut dengan maksud tokoh Semar ini akan menginspirasi orang agar memiliki
karakter iman yang kuat dan kokoh seperti paku.
3. Tokoh Petruk, berasal dari kata “Fat-ruuk” yang berarti tinggalkan. Sunan Kalijaga
memilih kata tersebut dengan maksud tokoh Petruk ini memberitahu kita
bahwa seseorang harus meninggalkan apa yang disembah selain Allah semata.
4. Tokoh Gareng, berasal dari kata “Qariin” yang berarti teman. Sunan Kalijaga memilih
kata tersebut dengan maksud, seseorang muslim harus pandai mencari teman untuk diajak
menuju jalan kebaikan.
5. Tokoh Bagong, yang berasal dari kata “Baghaa” yang berarti berontak. Sunan Kalijaga
memilih kata tersebut dengan maksud, seseorang muslim harus memberontak ketika
melihat kedzaliman di hadapannya.

Wayang di dunia Internasional
Hal ini terjadi tepat pada tanggal 7 November 2003, Wayang Kulit dinobatkan sebagai karya
kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan
berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit juga turut
di daftarkan sebagai daftar representatif budaya tak benda warisan manusia oleh UNESCO,
sebuah lembaga budaya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Barulah pada tanggal 21 April 2004 di
Paris-Perancis berlangsung upacara penyerahan penghargaannya.
Hal ini tentulah sangat membanggakan, Koichiro Matsuura menyerahkan Piagam Penghargaan
Wayang Indonesia kepada Drs. H. Solichin, Ketua Umum SENA WANGI (Sekretariat Nasional
Pewayangan Indonesia) yang mewakili masyarakat Pewayangan Indonesia. Wayang telah
memiliki dampak positif bagi citra bangsa Indonesia di mata dunia. Suatu prestasi budaya yang
luar biasa, sekaligus sebagai tantangan apakah kita mampu melestarikan dan mengembangkan
wayang bagi semua kepentingan.
tinjau dari sejarah yang ada, asal usul wayang dianggap telah hadir semenjak 1500 tahun
sebelum Masehi. Wayang lahir dari para cendikia nenek moyang suku Jawa di masa silam. Pada
masa itu, wayang diperkirakan hanya terbuat dari rerumputan yang diikat sehingga bentuknya
masih sangat sederhana. Wayang dimainkan dalam ritual pemujaan roh nenek moyang dan
dalam upacara-upacara adat Jawa.
Pada periode selanjutnya, penggunaan bahan-bahan lain seperti kulit binatang buruan atau kulit
kayu mulai dikenal dalam pembuatan wayang. Adapun wayang kulit tertua yang pernah
ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke 2 Masehi.
Perkembangan wayang terus terjadi. Cerita-cerita yang dimainkan pun kian berkembang.
Adapun masuknya agama Hindu di Indonesia pun telah menambah khasanah kisah-kisah yang
dimainkan dalam pertunjukan wayang. Kisah Mahabrata dan Ramayana merupakan 2 contoh
kisah yang menjadi favorit pada zaman Hindu Budha di masa itu. Kedua epik ini dinilai lebih
menarik dan memiliki kesinambungan cerita yang unik sehingga pada abad ke X hingga XV
Masehi, kedua kisah inilah justru yang menjadi cerita utama dalam setiap pertunjukan wayang.
Kesukaan masyarakat Jawa pada seni pertunjukan wayang pada masa tersebut juga berpengaruh
terhadap proses penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga misalnya, ketika beliau
berdakwah, beliau akan menggelar pertunjukan wayang dan memainkannya untuk mengundang
banyak orang datang. Dalam pertunjukan itu, beliau menyisipkan pesan moril dan dakwah islam
secara perlahan agar masyarakat yang mayoritas masih memeluk Hindu dan Budha itu tertarik
untuk mengetahui Islam lebih dalam.
Dari perkembangannya, pertunjukan wayang juga mulai diiringi dengan segala perlengkapan alat
musik tradisional gamelan dan para sinden. Kedua pelengkap ini dihadirkan Sunan Kalijaga
untuk menambah semarak pertunjukan wayang sehingga lebih menarik untuk di tonton.
Asal-Usul Wayang
Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang
selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab
dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah
satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan
merupakan puncak budaya daerah.
Menelusuri asal-usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman
penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendikiawan dan budayawan berusaha meneliti dan
menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun tidak sedikit yang saling-silang pendapat.
Hazeu berbeda pendapat dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti
K.p.a. Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-lain.
Pegelaran Wayang Kulit Jadul
Namun semua cendikiawan tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa
wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum
agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses
perkembangan setelah berseniuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga
menjadi ujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti,
melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Wayang yang kita lihat sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu pula wayang
di masa depan akan berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu seni budaya yang mandeg. Seni
budaya akan selalu berubah dan berkembang, namun perubahan seni budaya wayang ini tidak
berpengaruh terhadap jati dirinya, karena wayang telah memiliki landasan yang kokoh. Landasan
utamanya adalah sifat "hamot, hamong, hamemangkat yang menyebabkannya memiliki daya
tahan dan daya kembang wayang sepanjang zaman.
Pegelaran Wayang Kulit Modern
Hamot adalah keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar;
Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang
yang ada, untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai
bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat.
Hamemangkat atau memangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan, ini jelas tidak mudah.
Harus melalui proses panjang yang dicerna dengan cermat. Wayang dan seni pedalangan sudah
membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna, zaman Hindu, masuknya agama Islam,
zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan nasional dewasa ini.
Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah barang tentu wayang akan diuji
ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
( pembabakan suatu masa )
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa yang menarik. Bermula
zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme.
Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal
masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bisa
bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan
dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa.
Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain
melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek
moyang yang dipuja ini disebut "hyang" atau "dahyang".
Orang bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan,
melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan
syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual
kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya
adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
Asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek
moyang bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada
masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia mulai berseniuhan
dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai,
Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang
pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot,
Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual
agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita
tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang
mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh
Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Karya sastra
wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala,
sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang
terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan cerita
Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai sampai
digambarkan "Hannonton ringgit menangis esekel", tontonan wayang sangat mengharukan.
Wayang Orang
Menarik untuk diperhatikan Cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah
diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang
seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti bahwa
Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau
Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di
Indoenesia menjadi satu kesatuan. Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana
terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri.
Mahabarata asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa. ( artikel, cerita,
kesusastraan Jawa Kuna ).
Yang sangat menonjol perbedaannya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu. Lebihlebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang Hinduisme
diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain
tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya. Wayang
diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang bisa disebut lakon
"carangan", maka Ramayana dan Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula,
Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata
yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana
dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena diwarnai oleh budaya asli dan
nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Rama & Shinta
Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam
pewayangan, tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita.
Berbagai lakon carangan dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan.
Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan
juga isi dan fungsinya. Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada
zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang
yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi
bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan
pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong, atau lampu, debog yaitu pohon
pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai
perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana
dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual
agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa.
Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan
masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta
pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
Dalang Wanita Cantiq
Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaankerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali
pujangga-pujangga yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para
seniman wayang banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang.
Begitu pula para dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak hentihentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti ini,
membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan, wayang dan seni pedalangan
menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan "Adiluhung". Wayang terbukti mampu
tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan
hidup. Dari landasan perkembangan wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu
berasal dari pemujaan nenek moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu,
kemudian diadakan pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan terus mengalami
perkembangan dari zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan
hingga kini.
Indonesia Asli
Asal-usul wayang menjadi jelas, asli Indonesia yang berkembang sesuai budi daya masyarakat
dengan Wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan jatidirinya. Sangat mudah
dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya, cerita Ramayana
dan Mahabarata yang digunakan juga bisa berbeda. Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai
dan kondisi yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Keaslian wayang bisa ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti wayang, kelir, blencong,
kepyak, dalang, kotak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bahasa Jawa Asli. Berbeda misalnya
dengan cempala yaitu alat pengetuk kotak, adalah bahasa Sansekerta. Wayang asli menerima
pengaruh dari India. Bahasa dalam wayang ini terus berkembang secara pelan namun pasti dari
bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi, bahasa Jawa Baru dan bukan tidak mungkin kelak wayang
ini akan menggunakan bahasa Indonesia. Wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang
biasa disebut 'basa rinengga' maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai kegunaannya.
Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik oleh para
dalang.
Sendratari Ramayana
Bentuk peraga wayang juga mengujudkan keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi
peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni kriya wayang yang
dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu. Begitu majunya dan
seni rupa, wayang sudah mencapai tingkat 'sempurna'. Penilaian ini obyektif, tidak berlebihan,
apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni boneka dari mancanegara.
Sarat dengan Falsafah
Kekuatan utama budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai
falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap
berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan
wayang.
Bertolak dari pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan
agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa pesan etika.
Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang
mengandung tuntutan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya 'akhlaqulkarimah'.
Proses akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu
sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat. Oleh
karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah, yaitu falsafah Nusantara
yang bisa dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau 'shadow play, melainkan sebagai
'wewayangane ngaurip' yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat
dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup
manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari
pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan
keridloan Illahi.
Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup 'sangkan paraning dumadi',
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni budaya
semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet show’, namun yang seindah dan sedalam
maknanya sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal-usul wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke
waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Organisasi Pewayangan
Perkembangan wayang dari waktu ke waktu selain didukung oleh masyarakat, juga digerakkan
oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, bukan oleh pemerintah. Dahulu keraton menjadi
pusat dan acuan pengembangan wayang dan seni pedalangan. Peranan keraton beralih pada
lembaga-lembaga masyarakat antara lain berupa sanggar-sanggar, lembaga pendidikan,
paguyuban-paguyuban budaya, kesenian dan dalam jaman modern sekarang ini telah tampil pula
organisasi-organisasi pewayangan. Organisasi pewayangan bersifat lokal ada pula yang bersifat
nasional. Organisasi pewayangan dan pedalangan yang bersifat nasional adalah Persatuan
Pedalangan Indonesia atau PEPADI dan SENAWANGI atau Sekretariat Nasional
Pewayangan Indonesia. Dua organisasi pewayangan yang sekarang berkiprah dalam upaya
melestarikan dan mengembangkan wayang.
SENAWANGI atau merupakan organisasi pewayangan terkemuka dan terkonsolidasikan
dengan baik. Didirikan pada tahun 1975, di Jakarta. Setiap 5 tahun sekali, menyelenggarakan
Pekan Wayang Indonesia, yang merupakan puncak kegiatan pewayangan. Bersamaan dengan
Pekan Wayang, dilaksanakan pula Kongres SENA WANGI. Pada bulan Agustus 1999,
diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia VII dan Kongres SENA WANGI yang ke enam.
SENAWANGI mengelola Gedung Pewayangan Kautaman yang terletak di kompleks TMII
Jakarta Timur. Diupayakan gedung ini bisa menjadi Pusat Pewayangan Indonesia dan dunia.
PEPADI organisasi profesi yang beranggotakan para dalang, pengrawit dan swarawati memiliki
cabang di seluruh wilayah Indonesia. Banyak bergerak dalam kegiatan pagelaran wayang,
pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.
TOPENG PANJI
Topeng tak sekedar perwujudan dari sebuah sifat yang menakutkan ataupun menyimpan banyak
rahasia. Topeng juga disajikan lewat sebuah karya seni tarian yang selalu menyimpan cerita
mistis. Topeng menyajikan sebuah tarian, pewayangan, maupun drama dengan lakon berbeda.
Tari yang berasal dari Kota Cirebon mempunyai pesan terselubung baik dari warna, jumlah
topeng, maupun jumlah gamelan yang mengiringi pertunjukkan tari tersebut. Jumlah keseluruhan
topeng ada 9 buah, yaitu panji, samba, rumyang, patih, rahwana, pentul, samblep, jinggananom,
dan aki-aki. Dari kesembilan topeng ini hanya 5 yang pokok yakni panji, samba, rumyang, patih,
dan kelana. Topeng panji sendiri dapat dikatakan sebagai kesucian bayi karena warnanya yang
putih.
Cerita panji beraneka macam ragamnya, awal mulanya ada seorang raja bernama Prabu
Bramawijaya kehilangan seorang puterinya. Sang puteri kabur dari istana karena enggan
dijodohkan dengan lelaki yang tak pernah ia cintai. Akhir cerita sang Prabu memerintahkan Panji
Asmorobangun menyamar menjadi rakyat biasa untuk menemukan puterinya Dewi Sekartaji.
Alkisah, keduanya saling mencintai.
Panji sendiri dapat disimpulkan sebagai cerita rakyat yang berkembang dengan berbagai versi
mengikuti disetiap jamannya. Ande lumut, bawang merah bawang putih, timun mas, dan lainnya
merupakan sekumpulan dari cerita panji yang tersaji menjadi legenda jawa. Panji juga dapat
dikatakan sebagai sebuah cerita dalam drama wayang seperti Ramayana dan Mahabrata. Cerita
Panji juga dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa di tanah
jawa.
Topeng panji sendiri di deskripsikan sebagai topeng putih yang ornamen, motif, serta hiasannya
terlihat berupa stilasi bunga-bunga dan sulur seperti kembang kliyang dan bunga tiba.
Mencerminkan sikap menunduk dan luruh panji terlihat sebagai sosok yang paling suci mewakili
semua sifat dalam 4 arah angin. Hidungnya digambarkan lurus, kecil, dan lancip. Karena
semakin besar bentuk hidung atau semakin mancung menggambarkan bahwa sosok panji adalah
sosok yang kuat dan gagah. Pada dasarnya cerita panji adalah sekumpulan cerita pada masa
Hindu-Budhha di Jawa yang berkisar tentang kisah asmara Panji Asmorobangun dengan Dewi
Sekartaji.
So, dapat disimpulkan bahwa cerita topeng panji adalah turunan dari kisah asmara Panji dan
Dewi Sekartaji yang berkembang di legenda Jawa.
Asal Usul Cerita Topeng Panji
Seperti yang sudah kita kerahui bersama sobat, topeng tidak hanya sekedar sebuah sifat yang
menakutkan atau menyimpan banyak rahasia. Namun disamping itu sobat, topeng juag disajikan
lewat sebuah karya seni tarian yang selalu menyimpan cerita mistis.
Adapun tari topeng panji ini menggambarkan turunan dari kisah asrama Panji dan Dewi sekartaji
yang pda umumnya berkembang di Jawa. Pada dasarnya sobat, Panji adalah sekumpulan cerita
pada masa Hindu – Budha di Jawa tengah yang berkisar asrama panji Asmorobangun dengan
Dewi Seakrtaji tersebut. Nah sobat, itulah yang menjadi asal muasal dari tari topeng panji
tersebut.
Makna Dibalik Topeng Panji
Tarian Panji sebagai pahlawan budaya Jawa ini, memakai topeng atau kedok. Hal ini merupakan
kesatuan dua konsep religi lama dan Hindu. Adapun Topeng Panji tersebut merupakan simbol
kehadiran roh raja atau dewa yang menjelma dalam diri sang raja, yang sesusai dengan mitos
panji yang selalu menyamar selama pengemabaraan yang sedang mencari kekasihnya.
Dibalik itu sobat, Candrakirana juga yang menyamar untuk menyembunyikan dirinya yang asli
sebelum nantinya bertemun dengan Panji. Namun waktu telah mempertemukan mereka sehingga
mereka bisa menikah dibawah terang bulan.
Fungsi Tari Topeng Panji
Adapun tari topeng panji ini digunakan untuk menghadirkan kekuatan semesta – semesta yang
paradoksal. Dengan tarian ini sobat, maka asas – asas paradoksal tersebut kelaki – lakian dan
keperempuanan akan dihadirkan. Selain itu sobat, dewa pencipta itu sendiri akan hadir lewat
mitos dan juga lambing panji ini.
Panji tersebut adalah paradoks itu sendiri. Ia sendiri bersifat laki laki dan juga bersifat
perempuan bak seperti matahari dan juga bulan. Ia juga digambarkan seperti siang dan malam,
langit dan tanah, ia juga kasar dan halus, ia juga nampak dan tidak nampak, ia hidup dan mati, ia
masa lampau dan masa datang, waktu dan ruang sendiri adalah paradoks dalam diri dewa ini.
Oleh karena itulah sobat, cerita topeng Panji ini masih dinaggap mistis hingga sekarang ini.
Gerakan tari topeng panji ini cenderung pelan dan lembut dan lebih banyak diam. Hal ini
bertujuan untuk roh yang diundang agar masuk ke penariny
TOPENG PANJI
Kedoknya berwarna putih. Matanya liyep, pandangannya merunduk dan senyumnya dikulum.
Raut wajahnya (wanda) menunjukan seorang yang alim, tuturkatanya lemah-lembut dan
gerakannya halus. Dalam topeng Cirebon kedok ini ditarikan dalam karakter alusan (halus)
seperti halnya tokoh Arjuna dalam cerita wayang. Tariannya menggambarkan seseorang yang
berbudi luhur, penuh kesabaran dan tahan atas segala godaan. Ini tercermin dari iringannya
(musik) yang bertolak belakang (kontras) dengan tariannya. Tari topeng Panji adalah tarian
paradoks.
Menurut Endo Suanda, inilah tarian paling halus dengan langkah-langkah minimalis lebih
banyak yang menampilkan gerak “diam yang dinamis”. Teknik gerakan jauh dari spektakuler,
nyaris monoton dan “kurang menarik” bagi penonton awam. Meskipun demikian, tarian ini
justru yang paling sukar ditarikan, karena diperlukan disiplin keras, penahanan diri, memakan
tenaga, sangat serius, dan amat tertib sejak awal. Meskipun tarian ini merupakan tarian pertama,
justru tarian ini dipelajari oleh para penarinya dalam tahap-tahap akhir, karena persyaratan
tariannya yang demikian ketat. Bagian-bagian gerak tari Panji ini akan diulang dalam keempat
tarian yang kemudian menyusul. Lagu yang mengiringinya disebut Kembang Sungsang,
merupakan lagu terpanjang dan tersulit dimainkan. Iringan lagu ini sering tampil kontras dengan
gerak tariannya. Irama cepat dan bunyi keras, disambut gerak tari yang amat minim, bahkan
hampir tanpa gerak.***
Cerita Panji
Kapan cerita panji mulai muncul?
Cerita panji amat beragam, dan tersebar bukan hanya di wilayah Jawa dan Melayu, tetapi juga di
Asia Tenggara (Panji Semboja). Bahan-bahan untuk menceritakan tentang tokoh Panji ini
diambil dari buku R. M. Ng. Poerbatjaraka yang termashur, cerita Panji dalam perbandingan.
Kapan cerita panji mulai muncul di Jawa? Menurut Poerbatjaraka, cerita Panji telah ditulis dalam
bahasa Jawa Pertengahan sebelum atau sekitar 1400, yakni pada zaman keemasan Majapahit atau
sesudah kejayaannya. Naskah aslinya tidak ditemukan, tetapi “terjemahan” atasnya ditemukan
dalam naskah Melayu, Panji Semirang. Bahwa cerita Panji telah ada pada masa itu, terbukti dari
adanya relief zaman Majapahit tahun 1414 yang berisi bagian cerita Panji. Pendapat ini sesuai
dengan berita Paparaton dan Negarakertagama yang mengisukan Raja Hayam Wuruk menari
topeng (1350 1389). Jadi cerita Panji telah ada sebelum tahun 1400, bahkan sebelum tahun 1350.
Cerita Panji berlatar zaman Kediri (1104 1222). Padahal, dalam cerita itu telah terjadi
anakronisme sejarah, yakni mencampurkan kerajaan Singhasari (1222 1292) dengan zaman
Kediri. Anakronisme itu dapat terjadi, karena pada zaman Singhasari, kerajaan Kediri juga masih
berdiri, meskipun di bawah Singhasari. Sedangkan jarak antara bahan cerita dengan kejayaan
Majapahit (munculnya karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan, berupa kitab-kitab kidung
serta Paparaton, Tantu Panggelaran, dan lain-lain) sekitar 200 tahun.***
Bagaimanakah ceritanya?
Sulit untuk memaparkan cerita Panji, berhubungan dengan banyaknya versi yang terus ditulis
dari zaman ke zaman dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Poerbatjaraka setidak-tidaknya
membandingkan delapan versi, yakni Hikayat Panji Kuda Semirang, Panji Kamboja, Panji Serat
Kanda, Angron Akung, Jayakusuma, Panji Anggraeni Palembang, Panji Kuda-Narawangsa,
Malat. Belum dihitung versi cerita rakyat lisan, seperti Ande-Ande Lumut, Ketek-Ogleng, Ragil
Kuning.
Dari berbagai versi tersebut, ciri-ciri cerita Panji selalu menampakan dirinya dalam bentuk cerita
tentang pangeran dan puteri dari 4 negara (Kediri, Kahuripan, Gegelang, Singhasari), percintaan
antara pangeran dan puteri-puteri masing-masing pasangan Negara, menghilangnya
candrakirana, pencarian Candrakirana dan pencarian Panji, saling menyamar dalam
mengembara, penaklukan-penaklukan para pangeran dan puteri terhadap Negara-negara
sekitarnya, dan akhirnya kebahagian perkawinan antara pasangan-pasangan tersebut.
Karena Poerbatjaraka menyatakan bahwa Panji Semirang merupakan versi terjemahan Melayu
dari bahasa Jawa (Tengahan), maka versi ini yang akan diceritakan untuk pemaknaan tarian
topeng Panji. Di Jawa (Timur) waktu itu terdapat 4 negara yang raja-rajanya masih saling
bersaudara. Negara-negara itu adalah Janggala atau Kahuripan (Utara), Daha atau Kediri
(selatan), Singhasari (timur), Gegelang atau Urawan (barat). Raja janggala meskipun sudah
mempunyai anak lelaki bernama Brajanata, masih memohon kepada Dewa untuk memperoleh
anak lelaki lagi. permintaan dikabulkan, dengan menjelmakan seorang Dewa di atas istana
Janggala, dan lahirlah Raden Inu Kertapati (Panji). Sementara itu raja Daha juga memohon
dikaruniai seorang anak, maka dewa menjelma dewi di istana Daha, dan lahirlah puteri Daha,
Candrakirana. Tetapi Dewa murka, Karena setelah kedua raja tersebut dikabulkan
permohonannya, ternyata keduanya lupa berterimakasih (syukuran) kepada Dewa. Maka Dewa
memutuskan bahwa kedua pasang laki-perempuan dari Janggala dan Daha akan mengalami
berbagai kesulitan sebelum mereka dapat hidup sebagai suami istri.
Alur cerita dimulai dengan timbulnya kesulitan pertama, yakni ketika Raden Inu (Panji), yang
sudah dipertunangkan dengan Candrakirana. Jatuh cinta pada seorang gadis desa, Kartalangu
(Anggraeni), pada waktu Panji dan dua saudara lelakinya berburu. Gadis desa itu dibawanya ke
Istana, yakni keputren, rumah Panji. Dua asyik masyuk itu bercintaan sepenuh hati, meskipun
Ken Kertalangu selalu mengingatkan bahwa Panji telah dipertunangkan dengan puteri Daha, dan
percintaan mereka tak akan berlangsung lama. Suara Ken Kertalangu ini ternyata benar menjadi
kenyataan, ketika Panji sedang pergi berburu, permaisuri Janggala, ibunda Panji, diam-diam
mendatangi rumah Panji dan menikam Martalangu yang tembus seketika dan mati. Namun
permaisuri menjadi menyesal setelah melihat betapa cantiknya Martalangu, dan memahami cinta
putranda, Panji, yang begitu kuat padanya. Diberitahukan bahwa mayat Ken Martalangu moksa,
hilang tanpa bekas. Ketika Panji pulang, ia mencari-cari kekasihnya, dan diberitahukan bahwa
Martalangu telah moksa. Panji terpukul hebat, setengah gila. Lalu ia memutuskan untuk
mengmbara dengan menyamarkan diri, mungkin untuk melupakan kekasihnya atau untuk
mencari yang hilang tak tahu dimana.
Kesulitan kedua muncul di Daha, Candrakirana yang merasa dikhianati tunangannya, nekad
“melarikan diri” dari istana dengan menyamar sebagai lelaki. Beberapa versi melunakan
“pemberontakan” atau kemarahan Candrakirana ini, dengan cara Candrakirana lenyap dari istana
oleh Batara Kala dengan datangnya angin topan di Daha. Versi ini ingin menunjukan bahwa tak
pantas seorang putri istana lari dari keputrennya. Kalau itu terjadi, tentu kehendak Dewa, bukan
kehendak sendiri.
Baik saudara-saudara Panji maupun adik Candrakirana, ikut kabur dari istana, masing-masing
mencari saudaranya, dan menyamar pula. Candrakirana menyamar sebagai Kuda Semirang.
Panji sebagai Kelana Edan. Dalam penyamaran dan pencarian itu, putera-putera raja empat
Negara banyak menaklukan Negara-negara lain.
Akhirnya Kuda Semirang dan Kelana Edan bertemu mengabdi pada Gegelang. Kebetulan
Gegelang adalah satu-satunya Negara yang mempunyai seorang puteri yang belum
dipertunangkan, sehingga raja Socawindu melamar puteri tersebut untuk dikawinkan dengan
puteranya. Kalau lamaran ditolak, maka Socawindu akan menyerang Gegelang beserta lima
orang raja lain yang masih bersaudara dengannya. Ketika Socawindu menyerang Gegelang,
Kuda Semirang dan Inu Kertapati menghadang mereka dan berhasil mengalahkan Socawindu.
Sementara itu, panji, sebelum penyerangan Socawindu, telah bertemu dengan Candrakirana dan
jatuh cinta padanya. Juga ketika keduannya menyamar, Candrakirana sebagai Semirang, Panji
tetap tak dapat dipisahkan dengan Semirang. Seluruh cerita berakhir bahagia, karena puteraputeri keempat Negara sudah saling bertemu bersamaan dengan bertemunya Panji-Candrakirana.
Maka kini bersatulah keempat kerajaan Jawa itu, karena masing-masing menjadi pasangan suami
isteri, dengan “pusat” di Janggala atau Kahuripan (pasangan Panji-Candrakirana). Kalau secara
kosmologi Jawa, maka kini lengkaplah terbentuk Negara kesatuan dengan pola empat kiblat
kalimo pancer.***
Makna dibalik Tari Topeng Panji.
Tarian Panji sebagai pahlawan budaya Jawa ini, memakai topeng atau kedok. Ini merupakan
kesatuan dua konsep religi lama dan Hindu. Topeng Panji merupaklan symbol kehadiran roh raja
atau dewa yang menjelma dalam diri raja, yang sesuai dengan mitos Panji yang selalu nyamar
selama pengembaraan mencarai kekasihnya. Begitu pula dengan Candrakirana juga menyamar.
“Samaran” ini adalah kedok atau topeng yang menyembunyikan identitas dirinya. Mereka
kadang sudah bertemu, tetapi karena menyamar, maka keduanya tidak saling mengenal. Bahkan
keduanya saling berperang (pasangan oposisi). Seperti matahari, dan bulan, siang dan malam,
sulit untuk bertemu. Tetapi akhirnya matahari dan bulan ini bertemu juga, kawin dalam harmoni
sempurna, yakni pada waktu terang bulan. Dalam terang bulan, dunia terang benderang seperti
siang, tetapi bukan siang. Kenyataannya, terang bulan adalah perkawinan semesta purba. Dan
peristiwa ini, dalam bahasa masyarakat kerajaan Majapahit, adalah peristiwa perkawinan panji
dan Candrakirana.
Tarian topeng Panji adalah tarian untuk menghadirkan kekuatan-kekuatan semesta yang
paradoksal. Dengan tarian ini, maka asas-asas paradoks semesta, kelaki-lakian dan
keperempuanan, dihadirkan. Dewa pencipta itu sendiri dihadirkan lewat mitos dan lambang
Panji. Panji adalah paradoks itu sendiri. Ia bersifat laki-laki dan bersifat perempuan, ia matahari
dan ia bulan, ia siang dan malam, ia langit dan tanah, ia kasar dan halus, ia nampak dan tidak
nampak, ia hidup dan kematian, ia masa lampau dan masa mendatang. Waktu dan ruang
paradoks ada dalam diri Dewa ini.
Download