BAB 7 RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME A. Dampak Kolonialisme dan Imperialisme terhadap Bangsa Indonesia ■ Kolonialisme berasal dari kata colonus yang berarti ‘petani’. Istilah ini diberikan kepada para petani Yunani yang pindah dari negerinya yang tandus ke daerah lain yang lebih subur. Ada beberapa bentuk kolonialisasi, yaitu Koloni penduduk, setelah menguasai wilayah, maka negara penguasa akan, menguasai wilayah tersebut dengan mengusir seluruh penduduknya (asli), Koloni eksploitasi adalah upaya penguasaan suatu wilayah untuk menguras seluruh kekayaan alam yang ada, dan memobilisasi penduduknya untuk berbagai kepentingan, seperti kerja paksa, dan menjadi tantara, dan Koloni deportasi adalah menguasai suatu wilayah untuk digunakan sebagai tempat pembuangan para tahanan yang mendapat hukuman berat. ■ Imperialisme berasal dari kata impera, yang berarti ‘menguasai’. Imperialisme adalah suatu sistem penjajahan langsung dari suatu negara terhadap negara lain. Dalam praktiknya , kolonialisme dan imperialisme berarti satu, yaitu penjajahan yang dilakukan oleh bangsa satu terhadap bangsa lain. Kolonialisme lebih diartikan sebagai proses pembentukan atau penguasaan wilayah, sedangkan imperialisme lebih diartikan sebagai praktik penjajahannya. Terdapat dua bentuk imperialisme, yaitu sebagai berikut. Imperialisme kuno yang terjadi sebelum peristiwa Revolusi Industri, menggunakan semboyan 3-G (Gold, Glory, Gospel) sebagai tujuan menguasai suatu wilayah, dan Imperialisme modern yang terjadi setelah peristiwa Revolusi Industri, yang tidak sekadar menggunakan semboyan 3-G, tetapi lebih pada upaya pengembangan kegiatan perekonomian. Kolonialisme dan imperialisme Eropa memiliki dampak yang luas terhadap Bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Berikut bebepara dampak kolonialisme dan imperialisme terhadap bangsa Indonesia. ■ Dalam bidang ekonomi, kedatangan awal bangsa portugs, spanyol, dan kongsi dagang Belanda (VOC) ke Indonesiaa adalah memonopoli perdagangan. Namun, hanya VOC yang berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Setelah VOC dibubarkan, pemerintahan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang kemudian menerapkan kebijakan tanam paksa untuk melunasi utang VOC. Dampak dari system tanam paksa terlihat dari terjadinya kelaparan hebat di berbagai daerah. Sistem tanam paksa kemudian dihapus setelah dikeluarkannya UU Agraria dan UU Gula. Bagi Kerajaan Belanda dan rakyat Nusantara, kebijakan ini memiliki dampak yang saling bertolakbelakang, yaitu kemakmuran bagi Belanda serta para pengusaha asing yang dibawanya, tetapi penderitaan bagi rakyat Nusantara. ■ Dalam bidang politik, campur tangan (intervensi) terhadap masalah internal kerajaan merupakan bagian dari upaya melancarkan monopoli perdagangan. Campur tangan terjadi kerika adanya perebutan takhta di dalam istana. Dalam hal itu, VOC akan berupaya memperuncing persoalan atau melakukan politik pecah belah (divide et impera) dengan memihak salah satu kubu yang bersedia bekerja sama dengan VOC. ■ Dalam bidang social-budaya, penerapan tradisi yang semula dimiliki oleh bangsa Nusantara yang telah berjalan secara turun temurun seperti upacara-upacaran tradisional, tata cara yang berlaku dikalangan istana semua disederhanakan bahkan cenderung dihilangkan oleh pemerintah kolonial dan digantikan dengan tradisi barat. ■ Dalam bidang Pendidikan, Sistem Pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok keagamaan lebih menitikberatkan pada Pendidikan agama, seperti agama Islam; pendidikannya diselenggarakan melalui pesantren, sedangkan Pendidikan yang diberikan oleh yang diberikan oleh pemerintah colonial Belanda menekankan pada system Pendidikan Barat dengan acuan kurikulum. B. Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme 1. Ekonomi dan Politik A. Perlawanan Terhadap Portugis ■ Perlawanan Kesultanan Ternate Di Ternate, kebijakan monopoli perdagangan yang dilakukan bangsa Portugis membuat rakyat Ternate dibawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Sultan Hairun kemudian ditangkap dan dihukum mati pada 1570. Perjuangannya dilanjutkan oleh Sultan Baabullah. Di bawah Baabullah, bangsa Portugis berhasil diusir dari Maluku pada tahun 1575. ■ Perlawanan Kesultanan Demak Monopoli perdagangan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka, membuat aktivitas perdagangan para saudagar muslim terganggu. Hal ini memicu solidaritas dari Kesultanan Demak. Raden Patah tidak memimpin langsung pasukan Demak, tetapi mengutus Pati Unus. Demak menyerang bangsa Portugis di Malaka, pada tahun 1512/1513. Malaka dipandang sebagai Pusat perdagangan yang penting untuk dikuasai. ■ Perlawanan Kesultanan Aceh Sejak Malaka dikuasai oleh bangsa Portugis, saudagar muslim memindahkan aktivitas perdagangannya ke Aceh. Aceh kemudian berkembang pesat. Hal ini mengkhawatirkan bangsa Portugis. Aceh pun melancarkan permusuhan dengan pihak Portugis di Malaka. Kesultanan Aceh melakukan penyerangan ke Malaka. B. Perlawanan Terhadap VOC ■ Perlawanan Kesultanan Mataram Awalnya, hubungan antara Kesultanan Mataram dan VOC berjalan baik. Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng (loji) sebagai kantor perwakilan dagang di daerah Jepara. Lama-kelamaan, Mataram di bawah Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di wilayahnya sangat membahayakan pemerintahannya. Dalam rangka membendung usaha-usaha VOC melakukan penetrasi politik dan monopoli perdagangan, Mataram melakukan serangan pertama terhadap VOC ke kantor dagangnya di Jepara pada tahun 1618. Selanjutnya, Sultan Agung menyerang Batavia yang dilakukannya sebanyak dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. ■ Perlawanan Kesultanan Gowa atau Makassar Pada mulanya, hubungan antara VOC dan Makassar berjalan baik. Posisi strategis Makassar memperkuat hubungan tersebut. Akan tetapi, kebijakan monopoli VOC membuat hubungan itu menjadi retak. VoC ingin memonopoli perdagangan MalakaBatavia-Maluku. Kebijakan Makassar membantu rakyat Maluku melawan VOC juga memperkeruh hubungan keduanya. Perang diawali dengan perlucutan dan perampasan terhadap armada VOC di Maluku oleh pasukan Hasanuddin. Tindakan ini memicu perang, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Makassar (1666-1669). Kalah persenjataan, Kesultanan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin tunduk pada Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. ■ Perlawanan Kesultanan Banten Persaingan dagang dengan VOC di Batavia yang menganggap Banten sebagai ancaman memunculkan perlawanan. Tokoh yang memimpin perlawanan terhadap VOC adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). C. Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda ■ Perlawanan Rakyat Maluku Perlawanan rakyat Maluku dilatarbelakangi ketidakinginan kembalinya Belanda di wilayah tersebut. Pada tahun 1810-1816 Hindia Belanda, termasuk Maluku, dikuasai oleh Inggris. Pada saat diperintah Thomas Stamford Raffles, beberapa ketentuan pada masa VoC tidak ditegakkan, misalnya praktik monopoli dagang-terutama cengkih dan kerja rodi. Perlawanan di Maluku dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura. ■ Perlawanan Rakyat Jawa Perang melawan kolonialisme di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang berlangsung antara tahun 1825-1830. Penetapan berbagai pajak oleh pemerintah kolonial Belanda di Kesultanan Yogyakarta membuat rakyat menderita, misalnya gerbang-gerbang pajak didirikan di pintu masuk pasar dan dekat jembatan. Menghadapi perlawanan yang membahayakan pemerintahan ini, Belanda mendatangkan pasukan dari luar Jawa. Di setiap daerah yang berhasil diduduki, Belanda membangun benteng pertahanan. Strategi tersebut dikenal dengan benteng stelsel. Hal ini dilakukan untuk memutus garis komando serta ruang gerak pasukan Diponegoro. ■ Perlawanan Rakyat Palembang Latar belakang munculnya perlawanan Sultan Badaruddin adalah keinginan Belanda untuk menguasai Palembang yang letaknya strategis dan pertambangan di Kepulauan Bangka Belitung yang menimbulkan ancaman bagi Kesultanan Palembang. Sultan Badaruddin memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dengan menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda. ■ Perlawanan Rakyat Sumatera Barat atau Perang Padri Perang Padri adalah perang yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Bermula dari konflik internal masyarakat Minangkabau antara golongan adat dan golongan ulama, perang ini akhirnya berubah menjadi perang melawan pemerintah kolonial Belanda. ■ Perlawanan Rakyat Bali Latar belakang munculnya perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih Ketut Jelantik adalah adanya hak tawan karang yang dianggap merugikan Belanda. Hak tawan karang adalah hak yang dimiliki kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas seluruh muatan dan penumpang kapal-kapal asing yang karam di perairan Bali. Hak tawan karang dianggap menghambat Belanda yang ingin menguasai Bali. Pada tahun 1839, Belanda meminta kepada semua raja di Bali untuk menghapus hak itu. ■ Perlawanan Rakyat Kalimantan Latar belakang terjadinya Perang Banjar (1859-1905) antara lain karena monopoli perdagangan Belanda di Kalimantan Beban pajak dan kewajiban rodi terhadap rakyat yang memberatkan, dan intervensi Belanda terhadap urusan internal Kerajaan Banjar. Tokoh perlawanan di Banjar adalah Pangeran Antasari. Pasukannya berhasil menyerang pos-pos pertahanan Belanda, benteng Belanda di Tabanio hingga menenggelamkan kapal-kapal Belanda. ■ Perlawanan Rakyat Sumatera Utara Latar belakang munculnya perlawanan rakyat Tapanuli adalah sikap Belanda yang menginginkan wilayah Tapanuli menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Raja Sisingamangaraja XII menolak keinginan Belanda membentuk Pax Neerlandica-ambisi Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara dan membebaskannya dari segala pengaruh dan intervensi negara-negara lain dan menginginkan Kerajaan Batak tetap berdiri merdeka, bukan di bawah kekuasaan Belanda. ■ Perlawanan Rakyat Aceh Perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme sebenarnya telah dilakukan sejak abad XVII, yaitu ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah sejak tahun 1629-1641 Pada abad XIX, perlawanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah (1823-1828) Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk menjadikan Aceh sebagai bagian dari Pax Neerlandica. 2. Sosial-Budaya ■ Terdapat pula perlawanan dalam bidang sosial-budaya, misalnya gerakan social yang terjadi di atas tanah partikelir. Gerakan ini muncul di kalangan petani sebagai akibat dari praktek penjualan atau pemberian hadiah tanah oleh Belanda, kepada perorangan. Adapula Gerakan Mesianisme, yaitu jenis gerakan ratu adil. Wilayahnya terbatas hanya pada satu desa atau satu kelompok masyarakat dan terdapat seorang pemimpin yang dianggap sebagai pemimpin agama, juru selamat bahkan nabi. Selanjutnya, gerakan sosial sekte keagamaan, yaitu perlawanan yang dilakukan terhadap pemerintah kolonial lebih kepada seruan agar rakyat tidak mengabdi kepada penguasa kafir. Kemudian gerakan orang Samin yang menganggap dirinya adalah pengikut ajaran Surontiko Samin atau pengikut ajaran agama Adam (elmoe Nabi Adam). Samin adalah seorang petani yang berasal dari Randublatung Blora, dan ajarannya ini kemudian dengan cepat meluas ke daerah Rembang, dan bahkan sampai ke Ngawi dekat Madiun. 3. Seni Sastra ■ Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar (1860) Eduard Douwes Dekker (1820-1887) atau nama penanya Multatuli (dari bahasa Latin multatuli "banyak yang sudah aku derita") adalah orang Belanda yang peduli terhadap nasib kaum pribumi. Kepeduliannya ditunjukkan melalui novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Kelak, novel yang menginspirasi pergerakan nasional Indonesia serta sastrawan-sastrawan Indonesia, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942). Dalam salah satu bab novelnya, ia menceritakan kisah Sajjah Diceritakan bahwa Saijah kecil menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Sayangnya, kebahagiaan itu tak lama. Berkali-kali kerbau milik Saijah diambil paksa oleh begundal begundal suruhan bupati Lebak dan demang (camar/wedana) Parungkujang, yang masih kemenakan bupati. Tak ada rakyat yang berani melawan. Keluarga Saijah pun tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok. Tak ada alat untuk membajak, tanah pun terlantar. Kemiskinan menjadi-jadi. Ibu Saijah terpukul atas perlakuan semena-mena ini. Dia pun sakit lalu meninggal. Sepeninggalan istrinya, ayah Saijah menderita stres. ■ Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdika (1924) Selain sebagai wartawan, Mas Marco menulis novel. Novelnya yang paling dikenang berjudul Student Hidjo yang diterbitkan menjadi buku pada 1919. Dalam novelnya, Mas Marco menceritakan kehidupan Hidjo. Hidjo adalah seorang pemuda dari kalangan priyayi rendahan yang berhasil meraih prestasi dalam sekolahnya dan bisa melanjutkan belajar ke negeri Belanda. Melalui seluruh kisah di dalam novel itu, Marco memang ingin menunjukkan bahwa martabat bangsa terjajah setara dengan bangsa penjajah. Selain Student Hidjo, Mas Marco novel berjudul Rasa Merdika (1924) yang menceritakan seorang pemuda yang selalu berkonflik dengan ayahnya yang dianggapnya sebagai alat pemerintahan Belanda. Lewat tulisan-tulisannya, ia mengajak untuk membangun kesadaran politik bagi masyarakat lokal untuk kemudian bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam solidaritas dan kesetaraan. ■ Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas (1940) Soewarsih Djojopoespito (1912-1977) lahir di Desa Cibatok, 20 kilometer dari Bogor. Ia anak ketiga Raden Bagoes Noersaid Djojosapoetro, keturunan Kesultanan Cirebon. Ibunya seorang perempuan Tionghoa dari keluarga kaya. Soewarsih menulis novel Manusia Bebas- dalam versi pertamanya, dalam bahasa Belanda, Buiten het Gareel ("Di Luar Kekang). Dalam novel tersebut, dikisahkan para pendiri dan guru "sekolah liar“ yang tak mengenal rasa putus asa meski hidup serba kekurangan. Mereka juga tak mengenal rasa takut meski selalu diawasi dan diancam ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. 4. Pendidikan ■ Terdapat pula gerakan dalam bidang pendidikan, misalnya didirikannya Indonesisch Nederlansche School oleh Muhammad Sjafei pada bulan Oktober 1926. Lembaga pendidikan ini menekankan pada pengembangan kreativitas siswa yang diberi kebebasan berpikir dan bertindak, berani mengambil sikap dan pilihan sendiri, memahami kondisi (realitasnya) sendiri serta berkomitmen dan peduli terhadap keadaan sekitar. Model pendidikan ini diterapkan sebagai bentuk perlawanan atas pendidikan model Belanda yang memperlakukan rakyat Indonesia layaknya pekerja rendahan. Setelah tamat, mereka dipekerjakan di instansi-instansi pemerintah kolonial (dengan dibayar murah) tanpa sikap kritis dan kreatif. Pendidikan model Belanda juga menjauhkan rakyat Indonesia dari realitas yang dialaminya, yaitu keterjajahan. ■ Di Pulau Jawa, terdapat Taman Siswa, sekolah yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pada 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta. Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka, yakni ing ngarsa sung tulada, "(yang) di depan memberi teladan"), ing madya mangun karsa, "(yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif"), tut wuri handayani, "dari belakang mendukung"). THANK YOU Bryan Anderson Go / XI-IPS 1 / 7