Uploaded by Shilpa Nurjannah

STUDI KEISLAMAN SILPA NURJANAH

advertisement
MAKALAH
STUDI TENTANG AL-QUR’AN
DISUSUN OLEH :
SILPA NURJANAH (NIM 1930210050)
DOSEN PENGAMPU:
MUHTAROM, M.Pd.I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
1.3
Tujuan Masalah ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Stud ........................................................................................................... 2
2.2
Pengertian Al-qur’an .................................................................................................... 2
2.3
Pengertian Studi Tentang Al-qur’an ............................................................................. 3
2.4
Fungsi Al-qur’an dan Bukti Autentitas Al-qur’an .......................................................... 3
2.5
Isi dan Pesan Al-qur’an................................................................................................ 4
2.6
Penulisan Al-qur’an Masa Nabi dan Pembukuan Masa Abu Bakar ............................. 5
2.7
Penyempurnaan Tulisan Al-qur’an dan Metedologi Penafsiran Al-qur’an .................... 7
2.8
Keagungan dan Kemuliaan Al-qur’an .......................................................................... 13
2.9
Sumber-sumber Aliran ................................................................................................. 13
2.10 Metode dan Corak Penafsiran Al-qur’an ...................................................................... 16
2.11 Munculnya Istilah Ulumul Qur’an ................................................................................. 17
2.12 Karya-karya Ulumul Qur’an Era Modern Serta Ruang Lingkup ................................... 19
2.13 Bagian-bagian Al-qur’an dan Kandungan Al-qur’an ..................................................... 22
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan .................................................................................................................. 26
3.2
Saran ........................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-qur’an adalah sumber utama ajaran islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Alqur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk
memahami ajaran islam secara sempurna diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-qur’an
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai diketahui al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslubnya.
Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna. Kendati al-qur’an berbahasa Arab, tidak
berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-qur’an
secara rinci. Hasbi Ash-Shiddieqi menyatakan untuk memahami al-qur’an dengan sempurna,
bahkan untuk menerjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan yang disebut
ulumul al-qur’an.
Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa “Ulum Al-qur’an” atau kita sebut
juga “ Studi Al-qur’an” merupakan ilmu yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang untuk
bisa mengkaji lebih dalam lagi mengenai ayat-ayat al-qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian al-qur’an ?
2.
Apa fungsi dari al-qur’an ?
3.
Bagaimana metode penafsiran al-qur’an?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Agar mengetahui pengertian al-qur’an.
2.
Agar mengetahui fungsi dari al-qur’an.
3.
Mengetahui metode penafsiran al-qur’an.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Studi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) studi adalah penelitian ilmiah, kajian, atau
telaah.1
2.2 Pengertian Al-qur’an
Dari segi bahasa, berada berbagai pendapat para ahli tentang pengertian al-qur’an. Setelah
mempertimbangkan berbicara al-qur’an dibubuhi huruf hamzah. Pendapat berbaring mengatakan
penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah. Asy-Syafi’i Afarra dan Alsyi ari termasuk di antara
ulama yang mempertimbangkan itu lafal al-qur’an di tulis tanpa huruf hamzah.
AL-Syafi’i mengatakan lafal al-qur’an yang terkenal itu musytaq (pecahan dari akar kata
apapun) yang bukan pula berhamzah (tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya, jadi di baca
Al- quran) menurutnya lafal tersebut bukan kehadiran dari akar kata qara’a (membaca), alasan
jika akar katanya qara’a tentu saja tiap suatu yang di baca dapat dinamai al-qur’an.
Masih melintasi pendapat di atas, Asy ari dan para sebuah pengikutnya mengatakan, lafal
al-qur’an adalah musytaq atau pecahan dari akar-akar qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat
qarmusy-syaibisyaisyai (berpindah sesuatu dengan sesuatu). Kata qarn dalam hal ini bermakna
mengobrol atau kaitan, karena surah-surah dan ayat-ayat al-qur’an saling bergabung dan kira.
Tiga pendapat di atas pada prinsipnya pula lafal al-qur’an adalah quran (tanpa huruf hamzah di
tengahnya). Diantara para ulama yang mempertimbangkan itu lafal qur’an ditulis dengan
tambahan hamzah ditengahnya adalah al-zajjah dan al-lihyani.
Menurut al-zajjaj lafal al-qur’an dituis dengan huruf hamzah di tengahnya berdasarkan pola
kata (wazn) fu’lan. Selanjutnya ia mengemukakan contoh kalimat quri’al ma’u filhaudi yang
artinya air itu dikumpulkan dalam kolam. Dalam kalimat ini kata qar’un bermakna jam’un yang
dalam “menghimpun” intisari kitab-kitab suci terdahulu. Pendapat terakhir ini adalah pendapat
lazim di pegang oleh masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan pendapat tersebut Hasbi AshShiddieqy mengatakan, Al-qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang di baca. Al-qur’an
adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul maqru’ yang di baca. Menurut Hasbi Ash-
1
Ebta Setiawan, ” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa”,
(Http://kbbi.web.id/studi, Diakses pada 05 September 2019).
2
Shalih pendapat ini lebih kuat dan lebih tepat, karena dalam bahasa arab lafal al-qur’an adalah
bentuk masdar yang maknanya sinonim dengan qara’ah yakni bacaan.
Lafal qara’a yang bermakna tala (membaca) diambil orang-orang arab dari bahasa Armania
dan digunakan untuk bercakap sehati-hari. Kata qara’a tersebut dapat pula berarti dan
mengumpulkan. Qira’ah berarti mengumpulkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam bacaan.
Dengan mengikuti beberapa pendapat diatas dapat di peroleh kesimpulan bahwa secara lugnawy
(bahasa) al-qur’an berarti saling berkaitan, berhubungan antara satu ayat dengan ayat lain, dan
berarti pula bacaan.
Dari segi istilah para ahli memberikan definisi al-qur’an sebagai berikut :
a.
Menurut manna’ al-qaththan al-qur’an adalah kalamullah yang diturunkan Nabi Muhammad
SAW dan membacanya adalah ibadah.
b.
Menurut al-zarqani al-qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan permulaan surah al-fatihah sampai akhir surah an-nas.
c.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, Muhammad bin Abdullah melalui al-rahul amin (Jibril AS) dengan
lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi Hujjah bagi
Rasul, bahwa benar ia Rasulullah menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk
kepada mereka dan menjadi saran pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya.2
2.3 Pengertian Studi Tentang Al-qur’an
Studi tentang al-qur’an adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan al-qur’an. Dalam istilah
arab, kegiatan demikian itu biasa disebut dengan ulum qur’an. Kata ulum qur’an adalah bentuk
idafi. Ulum qur’an terdiri dari dua kata, ulum berbentuk jamak dari kata ‘ilm. Ilmu berarti paham
dan mengetahui (menguasai). 3
2.4 Fungsi Al-qur’an dan Bukti-bukti Autentitas Al-qur’an
Adapun beberapa fungsi al-qur’an yaitu sebagai berikut :
1.
Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
2
Edi Sepyono, “ Al-qur’an”
(Https://www.academia.edu/9009909/studi_tentang_Al-quran.com Diakses 11 Desember 2019)
3
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-qur’an, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel
Surabaya Press, 2011) hlm. 14.
3
2.
Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam
keimanan dan keesaan allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3.
Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara
individual dan kolektif.
Al-qur’an merupakan kitab yang autentitasnya dijamin oleh al-qur’an dan senantiasa
dipelihara sampai akhir zaman. Di dalam QS. Al-Hijr ayat 9, yang dimana artinya :
“Sesungguhnya kami menurunkan al-qur’an dan kamu lah peliharaan-peliharannya”.
Jaminan autentisitas tersebut diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuannya.,
serta berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh makhluknya, terutama manusia. Untuk
menujukkan bukti-bukti autensitasnya al-qur’an dapat digunakan berbagai pendekatan, yaitu
dengan melihat ciri-ciri dan sifat dari al-qur’an itu sendiri, serta melihat aspek kesejarahanya dan
pengakuan-pengakuan pihak cendekiawan nonmuslim terhadap kebenaran al-qur’an itu sendiri.
Dilihat dari ciri-ciri dan sifat dari al-qur’an itu sendiri autensititasnya bisa dilihat dari aspek-aspek
sebagai berikut :
1.
Keunikan redaksi al-qur’an.
2.
Autentisitas al-qur’an dilihat dari sejarahnya.
3.
Dari segi pengakuan-pengakuan pihak cendekiawan nonmuslim terhadap kebenaran alqur’an.4
Al-qur’an al-karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, ia merupakan kitab
Allah yang selalu di pelihara. Al-qur’an mempunyai sekian banyak fungsi diantaranya menjadi
bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan
yang sifatnya bertahap.
1.
Menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-qur’an secara
keseluruhan.
2.
Menantang mereka untuk menyusun sepuluh surat dalam semacam al-qur’an.
3.
Menantang mereka untuk menyusun satu surat saja semacam al-qur’an.5
2.5 Isi dan Pesan Al-qur’an
Al-qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kurang lebih selama 23 tahun dalam
dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah dan 10 tahun pada fase
4
5
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan,( Jakarta: Sa’diyah Putra, 1983), hlm 102.
M. Quraish Shalihab, Membumikan Al-qur’an (Bandung : PT Al- Ma’rif, 1996), hlm 36
4
sesudah hijrah ke Madinah. Isi al-qur’an terdiri atas 114 surat, 6236 ayat , 74437 kalimat, dan
325345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) untuk ayat-ayat
Madaniyah.
Dari keseluruhan isi al-qur’an itu, dasarnya mengandung pesan sebagai berikut:
1.
Masalah tauhid termasuk di dalamnya masalah kepercayaan terhadap yang gaib.
2.
Masalh ibadah yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan
menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3.
Masalah janji dan ancaman yaitu janji dengan balasan yang berbuat jahat , janji akan
memperoleh kebahagian dunia akhirat. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan
neraka.
4.
Jalan menuju kebahagian dunia akhirat berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang
hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhoan allah.
5.
Riwayat dan cerita yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokohtokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.6
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok kandungan (pesan) al-qur’an
ke dalam 2 (dua) kategori yaitu :
1.
Masalah kepercayaan (i’tiqadiyah) yang berhubungan dengan rukun iman kepada allah,
malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan takdir.
2.
Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhiasan bagi
seseorang untuk berbuat dan meninggalkan kehinaan.7
2.6 Penulisan Al-qur’an Masa Nabi dan Pembukuan Masa Abu Bakar Al-Shidieq Utsman
Bin Affar
Penulisan dan pengumpulan al-qur’an melewati tiga jenjang yaitu :
1.
Zaman Nabi Muhammad SAW, pada jenjang ini penyadaran pada hafalan lebih banyak
daripada penyadaran pada tulisan karena hafalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum sangat
kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh
karena itu, siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung
menghafalnya atau menulisnya dengan sarana seadanya dipelepah kurma, potongan kulit,
6
7
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh.(Jakarta:Dar al-Manar, 1973), hlm. 17
Tim Departemen Agama RI, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama, 1985), hlm. 84-85
5
permukaan batu cadas atau tulang berikat unta. Jumlah para penghafal al-qur’an sangat
banyak.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
SAW mengutus tujuh puluh orang yang disebut al-qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh
oleh penduduk dua desa dari suku bani sulaim, ri’i dan dzakwan di dekat sumur ma’unah.
Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghafal al-qur’an,
seperti khulafaur rasyidin, abdullah ibn mas’ud, salim bekas budak abu hudzaifah, ubay ibn
ka’ab. Mu’adz ibn jabal, zaid ibn tsabit dan abu darda radhiyallahu ‘anhum.
2.
Pada zaman abu bakar ash-sidddiq radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas hijriyah.
Penyebabnya adalah pada perang yamamah banyak dari kalangan al-qurra’ yang terbunuh
di antaranya salim bekas budak abu hudsaifah, salah seorang yang Rasulullah SAW
memerintahkan untuk mengambil pelajaran al-qur’an darimya.
Maka abu bakar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan al-qur’an agar
tidak hilang. Dalam kitab shahih bukhari disebutan bahwa umar ibn khattab mengemukakan
pandangan tersebut kepada abu bakar radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang
yamamah. Abu bakar tidak mau melakukan karena takut dosa, sehingga umar terusmenerus mengemukakan pandangannya sampai Allah SWT membukakan pintu hati abu
bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil zaid ibn tsabit ridhiyallahu ‘anhu , disamping abu
bakar mengatakan kepada zaid : “ Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih muda
dan berakal cemerlang, kami tidak meragukan mu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk
Rasulullah SAW , maka sekarang carilah al-qur’an dan kumpulakan!”, Zaid berkata: “Maka
akupun mencari dan mengumpulkan al-qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cerdas
dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan abu bakar hingga dia wafat,
kemudian dipegang oleh Hafsah Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan olehb bukhari
secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh abu bakar,
mereka menganggap perbuatannya itu positif dan keutamaan bagi abu bakar, sampai ali ibn
abi thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf
al-qur’an adalah abu bakar, semoga allah SWT memberi rahmat kepada abu bakar karena,
dialah orang orang yang pertama kali mengumpulkan kitab allah SWT.
3. Pada zaman Amirul Mukinin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima
hijriah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan al-qur’an sesuai
6
dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhu
memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf
sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada kitab Allah
SWT dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu
‘anhu dari perang pembebasan armenia dan azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaan
mereka pada dialek bacaan al-qur’an , dikatakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah
umat ini sebelum merekan berpecah kaum yahudi dan nasrani !” Utsman lalu mengutus
seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang
engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan
kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirim mushaf.
Kemudia utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash
dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhu untuk menuliskannya kembali
dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Ansar sementara tiga orang yang
lain berasal Qutraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya: “ Jika kalian berbeda bacaan
dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat al-qur’an , maka tuliskanlah dengan dialek
Quraisy, karena al-qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu
mengajarkannya dan setelah selesai, utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah
dan megirimkan hasil pekerjaan tersebut keseluruh penjuru negeri islam serta
memerintahkan untuk membakar naskah mushaf al-qur’an selainya.8
2.7 Penyempurnaan Tulisan Al-qur’an dan Metedologi Penafsiran Al-qur’an
A.
Pengertian Tafsir
Tafsir berakar dari kata fassara. Muhammad Hin al-dahabi dalam tafsir wa al-mufassirun
menerangkan arti etimologi tafsir dengan al-idhah (penjelasan) dan al-bayan (keterangan), maka
tersebut digambarkan dalam QS. Al-Furqan ayat 33, sedangkan dalam kamus yang belaku tafsir
berarti al-ibadah wa kusyf mugtha (menjelaskan atau membuka yang tertutup).9
B.
Penyempurnaan Tulisan Al-qur’an
8
Khikmatiar Azkiya, “Pengumpulan Mushaf Al-qur’an”
(Http://ganaislamika.com Diakses pada 07 September 2019)
9
Muhammad Husain, al- Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,( Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,1976),
hlm. 13.
7
Sebagaimana telah diketahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan kepada nabi SAW, lalu beliau
menghafalnya dan menyampaikannya kepada para sahabat serta menyuruh para penulis wahyu
untuk mencatatnya, dan beliau pun menunjukkan kepada mereka tempat ayat yang ditulis itu
dalam suratnya, seperti sabdanya: “Letakkanlah surat ini disamping surat itu dan letakanlah ayat
ini setelah ayat itu”.
Nabi Muhammad SAW membaca ulang Al-Qur’an dihadapan jibril AS pada bulan ramadhan
disetiap tahun. Tapi pada tahun kematiannya, beliau membacakan (menghafalnya) di depan jibril
AS sebanyak dua kali. Rasulullah SAW tidak berpulang ke Rahmatullah melainkan Al-Qur’an
semuanya telah tertulis di masanya. Para sahabat yang terkenal dalam penulisan wahyu (AlQur’an) dimasa Nabi SAW adalah:
a)
Abu Bakar As- Shidiq RA, wafat tahun 13 Hijriyah
b)
Umar ibn Al-Khatab RA, wafat tahun 23 Hijriyah
c)
Utsman ibn Affan RA, wafat tahun 25 Hijriyah
d)
Ali ibn Abi Thalib RA, wafat tahun 40 Hijriyah
e)
Zaid ibn Tsabit RA, wafat tahun 45 Hijriyah
f)
Ubai ibn Ka’ab RA, wafat tahun 30 Hijriyah
g)
Muawiyah ibn Abu Sufyan RA, wafat tahun 60 Hijriyah
h)
Khalid ibn Al Walid RA, wafat tahun 21 Hijriyah
i)
Aban ibn Sa’id RA, wafat tahun 13 Hijriyah
j)
Tsabit ibn Qa’is RA, wafat tahun 12 Hijriyah
Menurut sejarah, bahwasannya pembuatan kertas itu belum dimulai kecuali pada masa
kemudian. Oleh sebab itu, para penulis di zaman lampau tidak menggunakan kertas, akan tetapi
menggunakan alat dan sarana menulis yang berbeda, sesuai masing-masing budaya mereka.
Diantaranya mereka ada yang menggunakan batu-batu, maka diukir padanya apa yang di
inginkan. Budaya ini ditemukan dari peninggalan kuno sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Di
antaranya mereka ada juga yang menggunakan kulit atau lainnya, sebagai alat tulisnya. Adapun
para penulis Al-Qur’an,sejarah telah menceritakan bahwa mereka menuliskan ayat-ayat AlQur’an diatas sarana berikut ini:
a)
Ujung pelepah kurma (al-usb)
b)
Batu-batu tipis (al lakhaf)
c)
Kulit binatang/ pohon (ar-riqa’)
d)
Pangkal pelepah kurma yang tebal (al-karanif)
8
e)
Tulang belikat yang telah kering (al-aktaf)
f)
Kayu tempat duduk pada unta (al-aktab)
g)
Tulang rusuk binatang (al-adhla’)
Di samping benda-benda tersebut, dipakai pula sutera untuk tempat menulis. Tulis menulis sudah
dikenal dam berkembang di Makkah padaderajat lebih dari yang dikemukakan dalam kritik-kritik
hadits untuk waktu yang lama. Beberapa bagian al Qur’an telah di kodifikasikan pada benda yang
bermacam-macam dan mudah di dapat di negeri Arab pada abad ke-7 masehi, seperti
lempengan-lempengan batu yang halus dan tembikar yang digunakan oleh orang-orang Babilona
dan Nestoria, serta tulang-tulang belikat unta atau domba.( Al-Aththar,Dawud,1994:154 )
Sejarah menceritakan bahwa Nabi SAW tidak berpindah ke Rahmatullah melainkan Al-Qur’an
seluruhnya telah tertulis, hanya saja belum terkumpul dalam satu mushaf dan tidak pada satu
tempat (penulisan). Al-Qur’an masih bercerai berai di tangan para sahabat dan mereka
membacakannya di hadapan Rasulullah ayat-ayat dan tulisan Al-Qur’an yang mereka miliki
dimasa beliau masih hidup.Rasulullah SAW tidak menyuruh mengumpulkan Al-Qur’an pada satu
mushhaf, disebabkan hal-hal berikut:
a)
Bahwasanya perhatian para sahabat tertuju pada penghafalannya diluar kepala, dan telah
banyak para sahabat yang hafal seluruh Al-Qur’an, seperti akan disebutkan dalam
pembicaraan madrasah Nabi SAW.
b)
Rasulullah SAW selalu nberharap dsan menunggu datangnya tambahan atau ayat yang
menyisihkan (nasakh) sebagian lainnya. Penulisannya kedalam satu mushhaf, sementara
kondisinya masih demikian, sudah pasti akan membutuhkan perubahan pada setiap waktu (turun
ayat). Oleh sebab itu, penulisan dan pengumpulan pada satu tempat diakhirkan sampai
sempurna penurunannya, dan kesempurnaan itu baru di dapat setelah wafatnya Nabi SAW.
C. Status Hukum Mushaf Usmani
Rasm Usmani adalah rasm (bentuk tulisan) yang telah diakui dan diwarisi umat Islam sejak
masa Usman. Namun kemudian mereka bersilang pendapat mengenai status hukumnya, yaitu:
1.
Rasm al Usmani adalah tauqifi dan wajib mengikutinya.
2.
Rasm al Usmani bukan tauqifi, namun wajib mengikutinya.
3.
Rasm al Usmani bukan tauqifi dan tidak wajib diikuti.
D. Perbaikan Mushaf Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, seperti titik dan syakal karena semata-mata
didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni dimana mereka tidak memerlukan
9
syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu, tulisan
hanya terdiri atas beberapa symbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata
yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.Ketika bahasa
Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena bercampur dengan bahasa lainnya,
maka para penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara baca yang
benar. Perlunya pembubuhan tanda baca dalam penulisan al Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad
bin Samiyah menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan (661-680 M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslim dalam
membaca Al Qur’an. Melihat kenyataan seperti itu, Ziyad bin Samiyah meminta Abu al Aswad al
Duali (w.69H/638 M)untuk member syakal. Ia memberi tanda fathah atau tandabunyi (a) dengan
membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i) dengan
membubuhkan tanda titik satu di bawah huruf, tanda dammah atau tanda bunyi (u) dengan
membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian huruf, sementara tanda sukun
atau tanda bunyi konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa
padahuruf bersangkutan. (Faizah, Nur, 2008:194) Kemudian, tanda baca Abu al Aswad tersebut
disempurnakan lagi oleh ulama sesudahnya pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu oleh al Khalil
bin Ahmad. Ia berpendapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah adalah ya, dan dammah
adalah wawu. Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah di
bawah huruf, dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf, sedangkan tanwin dengan
mendobelnya. Ia juga memberi tanda pada tempat alif yang dibuang dengan warna merah, pada
tempat hamzah yang dibuang dengan hamzah warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin
yang berhadapan dengan huruf ba diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin
berhadapan
dengan
huruf
halqiyah
diberi
tanda
sukun
dengan
warna
merah.
Tatkala Islam semakin meluas ke berbagai daerah, dan telah banyak pula masyarakat non-Arab
yang masuk Islam. Maka timbul upaya untuk menciptakan tanda-tanda pada huruf Al Qur’an.
Halini dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan bahkan kekeliruan dalam membaca Al Qur’an
terutama bagi kalangan non-Arab. Upaya tersebut dilakukan pada masa Khalifah Bani Umayyah
ke-5, Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/785-705 M). Ia memerintahkan seorang ulama bernama
al Hajjaj bin Yusuf as Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al Qur’an.Untuk mewujudkan
usaha tersebut, al Hajjaj menugaskan hal ini kepada Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur,
keduanya adalah murid Abu al aswad ad Duali. Akhirnya, mereka berhasil menciptakan tandatanda pada huruf al Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk
10
membedakan huruf yang satu dengan lainnya. Misalnya, huruf dal dengan huruf zal, huruf ba
dengan huruf ta dan huruf sa. Demikian pula dengan huruf-huruf lainnya sebagaimana kita kenal
saat ini. Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al Usmani terjadi melalui tiga proses, yaitu :
1.
Pemberian
syakal
yang
dilakukan
oleh
Abu
al
Aswad
Duali.
2.
Pemberian a’jam, titik, yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al Hajjaj.
3.
Perubahan syakal pemberian Abu al Aswad ad Duali menjadi seperti sekarang ini yang
dilakukan oleh al Khalil.
E.
Gaya Tulisan Al-qur’an
1.
Gaya Kufi
Menurut Issa J.Boullata (2002), gaya tulisan Kufi berasal dari tulisan Nabataen dan jenis
huruf yang ada di Syiria sebelum hijriah. Karena baik dalam tulisan Kufi maupun Suriah, huruf alif
tidak akan ditulis bila muncul dalam pertengahan kata. Sebagai contoh, kata kitab, rahman, dan
ismail ditulis tanpa alif antara tad an ba; mim dan nun; serta mim dan ‘ain.
Namun, gaya tulisan selain Kufi juga ada di Hijaz pada masa Nabi SAW. Yakni tulisan Nabataen
yang darinya nanti berkembang gaya tulisan Naskhi. Tulisan Nabataen memang lebih mudah,
lebih biasa digunakan kecuali oleh orang-orang Arabia. Tulisan Nabataen telah datang ke hijaz
dari Huran (kota suriah kuno), tetapi pada praktiknya al Qur’an biasanya ditulis dengan gaya Kufi
untuk beberapa abad lamanya. Beberapa orang bahkan mengklaim bahwa adanya tulisan al
Qur’an dalam gaya selain Kufi adalah tidak tepat karena al Qur’an sejak semula ditulis dalam
gaya tersebut. Dan mereka menganggap setiap perubahan bentuk tulisan tersebut adalah bid’ah.
2.
Gaya Naskh
Tulisan gaya Naskhi lantas mendapat perhatian serius. Pasalnya, gaya tulisan ini lebih
sederhana ketimbang gaya Kufi sehingga mendapat perhatian, baik dari para ahli kaligrafi
maupun masyarakat kebanyakan. Sekelompok ahli kaligrafi bahkan member perhatian khusus
pada perbaikan tulisan gaya Naskhi, misalnya Muhammad bin Ali bin Husain bin Muqlah (272328 H/885-939 M). Ibnu Muqlah diyakini sebagai penemu tulisan gaya Naskhi. ( Faizah, Nur,
2008:196-197 ) Pada masa ini, al Qur’anpun mulai dituliskan dalam gaya Naskhi. Bukti historis al
Qur’an dalam gaya Naskhi ini masih bisa dijumpai di Astanah-ye Quds-e radhawi dan al Qur’an
yang dipelihara di Dar al Kutub Kairo, di perpustakaan Jamaatal Qarwiyyin di Fas, dan di
perpustakaan museum Topkapi Istanbul.
11
F. Penulisan Al Qur’an pada masa Utsman bin Affan
Pada suatu waktu, para pemeluk Islam dari berbagai wilayah bertemu dalam perang
Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang menyerbu kedua tempat itu
adalah Huzaifah bin al Yaman. Dalam pertemuan itu mereka mengetahui adanya perbedaan
bacaan al-Qur’an. Sebagian mereka merasa heranakan adanya perbedaan bacaan itu, dan
sebagian mengklaim bacaannya yang paling benar. Tetapi sebagian lainnya ada yang merasa
puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Jenderal Khudhaifah yang mengetahui hal itu mengajukan usul kepada khalifah Uthman agar
segera mengusahakan keseragaman bacaan al Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisan
al Qur’an. Usul Khudaifah tersebut diterima oleh khalifah Uthman, kemudian dibentuklah panitia
yang terdiri dari empat orang, yaitu :
1.
Zaid bin Thabit, sebagai ketua dengan tugas menyalin mushaf al Qur’an yang disimpan
Hafsah.
2
Sa’id bin Ash,
3.
Abdullah bin Zubair,
4.
Abd ar-Rahman bin Harith bin Hisham.
G. Perkembangan Tulisan Al-qur’an
Nabi Muhammad SAWboleh di anggap seorang yang mula-mula mementingkan dan
memajukan tidak saja kesusasteraan Arab umumnya, tetapi juga kesenian tulis menulis. Tulisan
yang dipakai pada masa Nabi Muhammad SAW adalah tulisan Kufi, dan yang membawa tulisan
itu ke tanah Hijaz ialah Karb bin Umayyah.Dengan demikian catatan-catatan ayat al Qur’an
dalam masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk tulisan. ( Syadali,Ahmad dan Ahmad
Rofi’i,2000:84 ) Yang mengerti tulisan Arab pada masa itu adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Abu Sufyan serta anaknya Mu’awiyah, dan Talhah. Atas usaha
mereka huruf Arab itu diajarkan pula kepada yang lain. Dengan demikian terbiasalah di Hijaz
memakai huruf itu. Banyaknya tetap seperti semula, hingga datang Ibnu Muqlah (w.328 H)
memperbaiki dan memperluas bentuknya. Tulisan itu tiada berbaris dan titik, karena itu
dapatdibaca dengan salah satu qiraat tujuh. Bagi bangsa Arab sendiri, bentuk tulisan yang
sederhana ini tidak begitu menyulitkan tetapi setelah banyak orang luar Arab yang masuk Islam
mulailah terdapat kecederaan dalam bacaan. Maka diantara para ulama takut kalau al Qur’an
akan ditimpa oleh kecederaan. Untuk menghindari kecederaan itu timbullah gagasan untuk
12
mempermudah bacaan tulisan dalam al Qur’an. Pada permulaan masa Mu’awiyah, seorang ahli
bahasa Arab, Abul Aswad Al Duali diminta untuk menciptakan syakal. Syakal atau harakat yang
diciptakannya masih sangat sederhana itu berupa “titik”. Pada masa pemerintahan Abdul Malik
bin Marwan, muncul tanda-tanda yang membedakan antara huruf yang sama bentuknya. Tandatanda itu berupa garis pendek sebuah, dua buah, atau tiga buah yang diletakkan di atas atau di
bawah huruf-huruf tertentu. Misalnya, satu garis pendek di bawah huruf menjadi ba’, dua buah
titikmenjadi ya’. Tanda semacam itu berlaku sejak masa bani Umayyah sampai permulaan
Daulah Abbasiyah, bahkan di Spanyol sampai abad IV H. ( Syadali,Ahmad dan Ahmad
Rofi’i,2000:86 ) Timbullah inisiatif Khalil bin Ahmad menyempurnakan tanda-tanda itu sebagai
berikut
1.
:
Huruf alif kecil miring di atas huruf sebagai tanda fathah.Huruf ya’ kecil miring di bawah
huruf sebagai tanda kasrah.
2.
Huruf wawu kecil miring di atas huruf sebagai tanda dammah. Beliau juga membuat tanda
mad panjang bacaan dan tasydid (tanda ganda huruf). Sesudah itu para hafid (menghafal) al
Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti) dan ibtida’ (mulai) serta
menerangkan di pangkal-pangkal surat, nama surat dan tempat turunnya serta menyebut
bilangan ayatnya. Menurut sebagian tarikh, hal ini dikerjakan atas kemauan al Makmun.
2.8 Keagungan dan Kemulian Al-qur’an
Keagungan al-qur’an adalah sebagian dari keagungan tuhan yang menurunkannya, sebab
al-qur’an adalah kalam tuhan yang maha bijaksana, suratnya maha raja, nasihatnya yang maha
memelihara, dan wasiatnya yang maha pencipta.
2.9 Sumber-Sumber Aliran
Mengacu pada sumber penafsiran tesebut, maka dalam ilmu tafsir ada tiga macam aliran
yaitu tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yu dan tafsir bi al-isyari.
Pertama, tafsir bi al-ma’tsur disebut juga bi al-riwayah atau juga disebut dengan tafsir bi almaqul yaitu tafsir yang penjelasannya diambil dari ayat-ayat al-qur’an sendiri, dari hadits nabi,
atsar para sahabat, ataupun dari perkataan para tabiin. Misalnya penafsiran ayat yang ditafsirkan
dengan ayat seperti kata zulm pada ayat 82 surat al-an’am maka secara maksud dari kata
tersebut sirik bagaimana dalam surat Al-Luqman ayat 13.
13
Atau juga penafsiran ayat yang ditafsirkan dengan ayat seperti kata-kata maghlub dan kata aldhallin dalam QS. Al-Fatihah ayat 7, menurut tafsir bil al-ma’tsur maka yang dimaksud dengan
kedua kata tersebut adalah bagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Aliran tafsir bil ma’tsur banyak yang digunakan para mufasir, diantaranya adalah :
1.
Jami’ al-bayan tafsir qur’an al-karim , oleh ibnu jarir al-thabari (wafat 310 H).
2.
Mu’alim al-tanzil, oleh al-baghawi (wafat 516 H).
3.
Dar al-mantsur tafsir bi al-ma’tsur oleh al-syuyati.
4.
Al-khasu wal al-bayan’an tafsir al-qur’an, oleh imam ahmad ibnu ibrahim al-thalabi (wafat
427 H).
5.
Tafsir al-qur’an al-azhim oleh imam abu fida’ ibnu katsir (wafat 774 H).
Perkembangan tafsir ma’tsur dibagi menjadi dua periode, yaitu :
1.
Periode riwayah, pada periode ini para sahabat menukil sabda Nabi, atau dari para sahabat
sendiri dan tabiin menukil dari para sahabat atau dari tabiin sendiri untuk menjelaskan tafsir
al-qur’an, dan pengambilan tersebut dilakukan dengan teliti, waspada, menjaga kesalehan
isnad penukilan sehingga dapat menjaga kemurnian apa yang diambil.
2.
Periode tadwin, pada periode ini para sahabat atau tabiin mencatat dan menghimpun
penukilannya yang sudah dianggap sahih setelah diadakan penelitian, sehingga himpunan
tersebut membentuk ilmu sendiri.
Sekalipun aliran ini mempunyai banyak kelebihan seperti penafsiran yang mendekati objektivitas
yang didasarkan atas ayat-ayat al-qur’an sendiri dan hadists Nabi SAW. Tetapi ia juga
mempunyai kelemahan, misalnya adanya cerita israiliyat yang dianggap sebagai hadits palsu,
dan penelaahan sahabat atau tabiin terhadap kesalihan hadits belum memadai sehingga
mengakibatkan kesalahan dalam penafsiran.
Kedua, tafsir bi al-ra’yi disebut juga tafsir dirayah atau tafsir bi al-ma’qul yaitu tafsir yang
penjelasannya diambil dari ijtihad dan pemikiran mufasir setelah mengetahui bahasa arab serta
metodenya, dalil hukum yang ditunjukan serta problema penafsiran asbabun nuzul, nasikh,
mansukh, dan sebagainya.
Tafsir bi-alrayi dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1.
Diterima, dan hal itu tentunya ada persesuaian dengan tafsir bi al-ma’tsur mengingat qathi’
dalam tafsir bi al-ma’tsur tidak mungkin bertentangan dengan hukum logika atau tafsir bi alra’yi lebih kuat dari pada tafsir bi al-ma’tsur karena yang qath’i dapat mengalahkan yang
zhanni.
14
2.
Ditolak jika bertentangan dengan tafsir bi al-ma’tsur yang qath’i mengingat tafsir bi al-ra’yi
subjektif kebenarannya.
Kitab tafsir yang termasuk golongan beraliran ra’yi adalah sebagai berikut :
1.
Mafatih al-ghaib, oleh fahr al-razi.
2.
Anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil, oleh baidhawi (wafat 691 H).
3.
Madarik al-tanzil wa haqa’iq al-tawil, oleh al-nasahafi (wafat 701 H).
4.
Labab ta’wil fi ma’ani tanzil, oleh khozin (wafat 741 H).
5.
Irsyad al-aql al-salim ila mazaya al-kitab al-karim, oleh abi sa’ud (wafat 982 H).
Walaupun demikian, banyak ditemukan kitab tafsir yang menggabungkan dua aliran tersebut,
yaitu tafsir ma’tsur dan tafsir ra’yi, bahkan akhir-akhir ini aliran campuran banyak diminati oleh
musafir, mengingat aliran ini merupakan jalan tengah antara dua aliran tafsir di atas, lagi pula
dengan metode campuran dapat menghilangkan masing-masing kelemahan aliran tafsir tersebut
dan dapat menarik kelebihan-kelebihannya.
Ketiga, tafsir bi al-isyari disebut juga dengan tafsir sufi yaitu model tafsir yang penjelasannya
diambil dari takwil ayat- ayat al-qur’an yang isinya tidak sesuai dengan teks ayat, sehingga yang
dikutip hanya isyarat atau teks ayat, berdasarkan pengalaman suluknya.
Tafsir bi al-isyari mempunyai kedudukan sama dengan tafsir bi al-ru’yi karena penggalinya tidak
hanya berdasarkan penukilan-penukilan tertentu melainkan ada faktor lain, hanya saja tafsir bil
al-ra’yi lebih menekankan pada fungsi akal pikiran sedang tafsir bil al-isyari lebih menekankan
pada fungsi al-qalb (perasaan) melalui pengalaman yang dikerjakan (suluk).
Tafsir bi al-isyari dapat diterima jika mempunyai empat syarat, yaitu :
1.
Tidak menghilangkan teks al-qur’an dari susunan aslinya.
2.
Mufasir mengetahui syara’ yang dapat memperkuat tafsirnya.
3.
Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal sehat.
4.
Tidak menyatakan bahwa penafsirannya paling benar, bahkan ia mewajibkan mengerti arti
tekstual dahulu sebelum melakukan tafsirnya.
Kitab yang tergolong dalam tafsir bi al-isyari adalah sebagai berikut :
1.
Tafsir al-qur’an al-azhim oleh tastari (wafat 283 H).
2.
Haqa’iq al-tafsir oleh salami (wafat 412 H).
3.
Arais al-bayan fi haqa’iq al-qur’an oleh syairazi (wafat 606 H).10
10
Muhamad Husain al-Dzahabi, Op.cit, hlm 12.
15
2.10 Metode dan Corak Penafsiran Al-qur’an
Metode yang berkembang dalam penafsiran al-qur’an terdapat empat macam, yaitu :
1.
Tahlil yaitu metode penafsiran al-qur’an yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat alqur’an dalam berbagai aspek , serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalam nya
sehingga kegiatan musafir hanya menjelaskan per ayat, surat per surat, makna lafal
tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain asbabun nuzul yang
berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.
Metode tahlil disebut juga metode tajzi’i atau (parsial) yang banyak dilakukan oleh para
musafir salaf dan metode ini oleh bagian pengamat dinyatakan sebagai metode yang gagal
mengingat cara penafsirannya yang parsial juga tidak dapat menemukan subtansi al-qur’an
secara integral, dan ada kecenderungan masuknya pendapat musafir sendiri mngingatkan
pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan ayat lain yang membahas topik yang sama.
Hampir semua penafsiran al-qur’an menggunakan tafsir tahlil, mengingat tafsie ini tidak
banyak melibatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan penafsiran bahkan praktis
dilakukan, diantara modal tafsir tahlil adalah :
1) Tafsir al-maraghi oleh musthafa al-maraghi (wafat 1952 H).
2) Tafsir al-qur’an oleh abu fida ibnu katsir (wafat 774 H).
2.
Ijmali yaitu metode penafsiran al-qur’an yang dilakukan dengan cara menjelaskan maksud
al-qur’an secara global tidak terperinci seperti tafsir tahlil, hanya saja penjelasnya
disebutkan secara global (ijmal).
Metode ini diterapkan agar orang awam mudah menerima maksud kandungan al-qur’an
tanpa terbelit-belit , sehingga dengan sedikit penjelasannya seseorang dapat mengerti
penjelasan hasil tafsir ini. Kitab tafsir yang tergolong menggunakan metode ijmal adalah :
1) Tafsir qur’an al-karim oleh muhammad farid wajdi.
2) Tafsir al-wasith yang dikeluarkan oleh majma’ul buhuts islamiah.
3.
Muqarin yaitu metode penafsiran al-qur’an yang dilakukan dengan cara perbandingan
(komperatif) dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur
yang diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar di antara yang kurang
benar, atau untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah
yang dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis) unsur-unsur yang berbeda itu.11
11
Muhammad Ali al- Shabuni, al-Tibyan fi’, Ulum Al-qur’an (Beirut:Manahil al-Irfan, 1980), hlm.390-391.
16
2.11 Munculnya Istilah Ulmul Qur’an
Di masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu
yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang Arab asli yang dapat merasakan
struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila
mereka menemukan ksulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan
langsung kepada Rasul SAW.
Sebagai contoh, ketika turun ayat, “dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman …” (Q.S Al An’am : 82).
Para sahabat bertannya, “siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi) dirinya?”.
Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan syirik berdasarkan ayat. “sesungguhnya syirik itu
kezaliman yang besar” ( Q.S Luqman :13)
Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa Rasul dan Sahabat.
1.
kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk
memahami Al-Qur’an dan rasul dapat menjelaskan maksudnya.
2.
Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis
3.
Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Al Quran.
Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi
maupun di masa sahabat.
A.
Masa Penulisan Ulumul Qur’an
Di zaman khalifah Usman Bin Affan, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran
antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan ini
menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di kalangan
muslimin tentang bacaan Al Quran, selama mereka tidak memiliki sebuah Al Quran yang menjadi
standar bagi bacaan mereka. Sehingga disalinlah dari tulisan aslinya sebuah Al Quran yang
disebut Mushaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman telah
meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al Quran atau Ilmu Al Rasm Al
Utsmani.
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu Qur’an. Karena melihat banyaknya umat
Islam yang berasal dari bangsa non Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan
pembacaan Al Quran. Ali memerintahkan Abu Al Aswad Al Duali untuk menyusun kaidah-kaidah
bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Al
17
Quran dari keteledoran pembacanya. Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya
ilmu nahwu dan I’rab Al Quran.
Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha
mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Al Quran melalui jalan periwayatan dan
pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang
sebagai persiapan bagi masa pembukuannya. Orang yang paling berjasa dalam usaha
periwayatan ini adalah khalifah yang empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa Al
Asy’ari, Abdullah Ibn Al Zubair dari kalangan sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi’in ialah
Mujahid, Atha’, Ikrimah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di
Madinah. Kemudian Malik bin Anas dari generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap
sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban al-nuzul,
ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib Al Qur’an dan lainnya.
Pada abad ke-2, ulumul Qu’an memasuki masa pembukuan. Para ulama memberikan prioritas
perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm Al ‘ulum al Qur’aniah (induk
ilmu-ilmu Al Quran). Penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn
‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn Al Jarrah.
Pada abad ke-3, terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir Al Thabari. Dia orang pertama
membentangkan berbagai pendapat dan men-tarjih sebagiannya atas lainnya. Ia juga
mengemukakan I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari Al Quran). Di abad ini juga lahir
ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.
Ada pun mengenai kapan lahirnya istilah ulum al-qur’an, terdapat tiga pendapat yaitu :
1.
Pendapat umum di kalangan para penulis sejarah Ulum Al-qur’an mengataka bahwa
lahirnya istilah Ulum Al-qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7.
2.
Ibn Sa’id terkenal dengan sebutan Al-Hufl, dengan demikian menurutnya istilah ini lahir pada
permulaan abad ke-15.
3.
Shubhi Al Shalih berpendapat lain, menurutnya orang yang pertama kali menggunakan
istilah Ulum Al-qur’an ialah Ibn Al Mirzaban. Orang yang berpendapat seperti ini
berlandaskan pada penemuanya tentang beberapa kitab yang berbicara tentang kajian alqur’an yang telah mempergunakan istilah Ulum Al-qur’an, yang paling awal menurutnya
18
ialah kitab Ibn Al Mirzaban yang berjudul Al Hawi Fi ‘Ulum Al-qur’an yang ditulis pada abad
ke-3 hal ini juga disepakati oleh Hasbi As-shiddieqi.12
2.12 Karya-Karya Ulumul Qur’an Era Modern Serta Ruang Lingkup
Ulumul Qur’an pada masa kontemporer mengalami perkembangan baik dari segi metodologi
(seperti yang sudah dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya) maupun pengembangan
cabang-cabang baru di dalamnya. Berangkat dari semboyan ada usaha serius dari kalang ulama’
untuk membangkitkan kembali kondisi umat Islam yang mengalami keterpurukan,
keterbelakangan, dan kemandegan pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan termasuk kajian
ulumul qur’an. Dengan demikian tentu tidak bisa diabaikan bahwa fenomena penafsiran al-Qur’an
dari awal hingga masa sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan terus menerus dan
meniscayakan akan adanya perkembangan, berikut juga seperangkat metodologi dan
pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan juga mengalami dinamika yang terus menerus
berlanjut. Adapun untuk memudahkan pembacaan, penulis mencoba mengkalsifikasikan
perkembangan ulumul qur’an pada masa kontemporer dalam dua bagian berikut ini:
A.
Kajian yang Membahas Secara Menyeluruh Semua Cakupan Tema-tema Ulumul
Qur’an dengan Sistematis.
Kelompok berikut adalah karya-karya tentang ulumul Qur’an yang tema kandunganya mencakup
keseluruhan tema ulumul Qur’an, atau paling tidak mencakup beberapa tema kajian yang lebih
dari satu tema atau fokus pembahasan saja. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1.
Syaikh Thāhir Al-Jazāiry menyusun sebuah kitab ulumul Qur’an dengan judul “At-Tibyaan
Fii U`Luumil Qur`An” dalam versi lainnya dikatakan bahwa buku tersebut oleh pengarangnya
diberi judul al-Tibyan fi Ba’dh al-Mabahis al-Muta’aliqat bi al-Qur`an.
2.
Jamal al-Din al-Qasimi menulis kitab al-Qur’an wa al-‘Ulum al-‘Ashriyyah, dan Mahasin alTa’wil, dimana pada juz pertama kitab ini dikhususkan untuk pembahasan ‘Ulum al-Qur’an;
3.
Muhammad Ali Salamah menyusun sebuah kitab dengan judul Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum alQur`an. Buku ini pada awalnya hanya diperuntukkan untuk mahasiswa yang menempuh
mata kuliah beliau di Al-Azhar.
4.
12
Imam al-Dahlawi menulis kitab al-Fauz al-kabir Fi ushul al-Tafsir;
Edi Sepyono, “Ulumul Al-qur’an (Kajian Sejarah dan Perkemabangannya)”
(Https://www.bastamanography.id/ulumul-quran-kajian-sejarah-dan-perkembangannyabagian- 3/ Diakses pada 07 September 2019).
19
5.
Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani yang menyusun kitab Manaahilul i`rfaan fii
u`lumil qur`an.
6.
Syaikh
Ahmad
Ali
menulis
muzakkiraat
u`lumil
qur`an
yang
disampaikan
kepada mahasiswanya di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat.
7.
Subhi Al-Shalih menyusun kitab Mahaabits Fī ‘ULumil Qur’ān.
8.
Manna’ul Qattan menyusun kitab Mahaabits Fī ‘ULumil Qur’ān.
9.
Muhammad Hadi Ma’rifah menulis kitab besar dengan judul Al-Tamhid Fi Ulum Al-Qur’an
10. Muhammad Ali ash-Shabuni: At-Tibyan fi Ulumil Qur’an
11. Abdul Wahab Abdul Majid Ghizlan menyusun buku Al-Bayan fi Mabahits min Ulumil Qur’an.
12. Muhammad Abu Syuhbah menulis kitab al-Madkhal Li Dirasat al-Qur’an;
13. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi menulis kitab al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al
Karim;
14. Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk menulis kitab Ushul al-Tafsir Wa Qawa‘iduhu;
15. Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Makki menulis kitab al-Qawa‘id al-Asasiyyah Fi ‘Ulum alQur’an, dan Zubdat al-Itqan;
16. Fadhl Hassan ‘Abbas menulis kitab Itqan al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an;
17. Nash Hamid Abu Zayd menulis kitab Mafhum al-Nash: Dirasat Fi ‘Ulum al-Qur’an, Isykaliyyat
al-Qira’ah wa Aliyat al-Ta’wil, dan Naqd al-Khithab al-Dini;
18. Muhammad ‘Abid al-Jabiri menulis kitab Madkhal ila al-Qur’an al-Karim
19. Dan sebagainya.
B. Kajian yang Memfokuskan Pada Satu Bidang Ilmu Al-Qur’an
Berikut ini adalah beberapa karya ulumul Qur’an yang cenderung difokuskan pada satu tema
kajian saja tidak menyeluruh tema-tema ulumul Qur’an sebagaimana di atas. Berikut adalah
beberapa di antaranya:
1.
Sayyid Qutb menyusun Kitab At-Tashwirul Fanni fiil qu`an
2.
Badi‘ al-Zaman Sa‘id Mirza al-Nursi menulis kitab al-Kalimat;
3.
Muhammad Musthafa Al-Maraghi menyusun kitab Tarjamatul Qur`ān, dalam versi yang lain
dikatakan judulnya adalah “Tarjamah Ma’anil Qur’an”.
4.
Musthafa Sabri menyusun Masalatu tarjamatil qur`an.
5.
Sa‘id Hawwa menulis kitab al-Asas Fi Qawa‘id al-Ma‘rifat wa Dhawabith al-Fahm Li alNushush;
6.
Ahmad al-Syirbashi menulis kitab tentang Qashash al-Qur’an;
20
7.
Muhammad Sayyid Thanthawi menulis kitab tentang al-Qishshah Fi al-Qur’an al-Karim;
8.
Thāhā Husain, beliau menulis kitab al-Syi’r al-Jāhilī
9.
Muhammad Hadi Ma‘rifat menulis Tarikh al-Qur’an;
10. Abdus Shabur Syahin menulis tentang Tarikh Al-Qur’an: Difa‘ Dhidda Hajamat al-Istisyraq;
11. Muhammad Abdullah Darraz menyusun An-Naba’ al-Adziim: Nazharat Jadidah Fi al-Qur’an,
Madkhal Ila al-Qur’an.
12. Muhammad al-Gazali menulis kitab Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Qur’an, dan Nazharat Fi alQur’an;
13. Muhammad Mahmud Hijazi menulis kitab al-Wahdah al-Maudhu‘iyyah Fi al-Qur’an al-Karim;
14. Amin al-Khuli menulis sebuah buku Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir
wa al-Adab
15. Malik bin Nabi menulis kitab al-Zhahirat al-Qur’aniyyah;
16. Bassam al-Jamal menulis disertasi dengan judul Asbab al-Nuzul.
17. Khalil Abdul Karim menulis sebuah buku dengan judul al-Nash al-Muassis wa Mujtama’uhu.
18. Muhammad Syahrur menulis al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mua‘shirah;
19. Dan seterusnya.
C. Perkembangan ‘Ulum al-Qur’an di Indonesia
Semangat untuk berinteraksi dengan al-Qur’an melalui pengkajian dan pengembangan ‘Ulum alQur’an meluas ke seluruh penjuru dunia dimanapun umat Islam berada, termasuk di Indonesia.
Semangat dalam pengembangan ‘Ulum al-Qur’an di Indonesia sudah tampak dari adanya
naskah kitab dan buku-buku tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh ulama Indonesia, baik yang di tulis
dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Melayu, maupun bahasa-bahasa daerah. Berikut
adalah beberapa di antaranya:
1.
Dr. Muhammad Quraish Shihab menulis buku Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, dan Sejarah ‘Ulum al-Qur’an (bersama
TIM);
2.
Dr. Sa‘id Agil Husein al-Munawwar menulis buku I‘jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir;
3.
Dr. Taufik Adnan Amal menulis buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an;
4.
Dr. Nashruddin Baidan menulis buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir;
5.
Dr. Nasaruddin ‘Umar menulis buku ‘Ulum al-Qur’an;
6.
Dr. Phil. Nur Kholis Setiawan menulis buku al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar.
7.
Phil. Sahiron Syamsuddin menulis buku Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an.
21
8.
Ulil Abshar-Abdalla, Abd Moqsith Ghazali dan Luthfi Assyaukanie menulis buku Metodologi
studi al-Qur’an.
9.
Dan seterusnya.
D. Pemikiran Orientalis Terhadap Keilmuan Al-Qur’an
Pasca era perang salib, timbul kesadaran di kalangan umat Kristiani untuk melakukan studi
terhadap teks-teks keagamaan Islam. Pada awalnya studi ini berlandaskan motivasi untuk
mengetahui kelemahan yang terdapat dalam Islam agar bisa menghancurkan Islam dari dalam.
Dalam perkembangannya, studi ini disebut dengan orientalisme, yaitu studi tentang peradaban
ketimuran dan segala yang melingkupinya mulai dari aspek bahasa, tradisi, hingga keagamaan.
Hal yang paling mencolok dalam studi orientalisme ini adalah timbulnya semangat untuk
mengkaji keilmuan Islam, terutama dalam bidang Al-Qur’an dan hadis. Banyak tokoh-tokoh yang
berusaha mengemukakan pemikirannya dalam kajian teks agama Islam tersebut. Metode yang
digunakan juga beraneka ragam, ada yang menggunakan analis sejarah, analisis bahasa, hingga
analisis budaya. Dalam kajian Al-Qur’an, terdapat beberapa tokoh yang cukup berpengaruh
dalam studi orientalisme. Theodor Noldeke merupakan salah satu orientalis yang skeptis tentang
pewahyuan Al-Qur’an. Ia menganggap bahwa Qur’an merupakan hasil karangan Muhammad
yang ingin menampilkan diri pada masyarakat pada saat itu. Ia juga melakukan kritik tentang
masa pewahyuan yang dianggap merupakan salah satu cara Muhammad menguraikan hasil
karyanya dalam kata-kata yang disebut sebagai wahyu Tuhan. Di sisi lain, ia melakukan kritik
terhadap tata bahasa Al-Qur’an yang cenderung tidak beraturan. Ia juga menyebutkan bahwa
orang Arab saat itu tidak ada yang nekat untuk membuat tandingan Al-Qur’an karena takut akan
merusak reputasi mereka sebagai ahli syair dan tata bahasa. Akan tetapi, banyak juga tokoh
orientalis yang menyumbangkan pemikirannya untuk memperluas khazanah keilmuan Al-Qur’an.
Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Ignaz Goldziher, Montgomery Watt, Toshihiko Izutsu.13
2.13 Bagian-Bagian Al-qur’an dan Kandungan Al-qur’an
A.
Bagian-bagian Yang Ada Didalam Al-qur’an
1.
Surah
13
Edi Sepyono, “Ulumul Al-qur’an (Kajian Sejarah dan Perkemabangannya)”
Https://www.bastamanography.id/ulumul-quran-kajian-sejarah-dan-perkembangannya-bagian3/ Diakses pada 07 September 2019).
22
Al-qur’an terdiri dari 114 surah. Masing-masing memiliki sebuah namayang mencerminkan
isi dan kandungannya, tetapi ada juga surah yang memiliki lebih dari 1 nama diantaranya : Alfatihah (Ummul Qura’ dan Sa’bul Masani), At-Taubah (Bara’ah), Al-isra (Bani Israil), Fatir (AlMalaikah, Gafir (Al-Mu’min), Fussilat (Ha Mim As-Sajadah), Al-Insan (Ad-Dahr), Al-Mutafifin (AlTatfif) dan Al-Lahab (Al-Masad).
2.
Ayat
Adalah bagian terkecil di dalam al-qur’an , yang merupakan komponen dasar pada suatu
surah. Dari 114 surah yang ada di dalam al-qur’an terdapat 6236 ayat berdasarkan perhitungan
ahli kuffah yang bersumber dari Abu Abdur Rahman Thalib. Jumlah ayat ini lah yang digunakan
pada Mushaf Al-qur’an yang paling banyak beredar di masyarakat termasuk Mushaf Syaamil Alqur’an.
3.
Juz
Kitab suci alqur’an terbagi menjadi 30 juz yang berdekatan agar mudah dibaca dalam 1
bulan penuh. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan perintah Rasullullah SAW. Agar umatnya
membaca atau mengkhatamkan al-qur’an tidak lebih dari 1 bulan.
“Dari Abdullah bin Amru berkata bahwa Rasullullah SAW bersabda : ‘Bacalah al-qur’an itu
dalam 1 bulan’ maka aku berkata ‘sesungguhnya aku mampu lebih dari itu’ Dan setelah itu beliau
bersabda ‘Kalau begitu, bacalah (khatamkanlah) al-qur’an dalam 7 hari dan janganlah melewati
batas itu” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ad-Darimi).
4.
Hizb
Hizb terdiri dari setengah juz. Setiap hizb dibagi menjadi 4 bagian yang disebut dengan
seperempat hizb.
5.
Rukuk
Adalah kumpulan beberapa ayat yang sebaiknya dibaca dalam 1 rakaat shalat. Rukuk
ditandai dengan huruf ‘ain yang diletakkan dipinggir kiri atau kanan mushaf. Pembagian rukuk ini
muncul atas dasar kebiasaan generasi terdahulu dalam mengkhatamkan al-qur’an ketika shalat
fardu. Jika jumlah rukuk atau ‘ain dalam al-qur’an terdiri dari 558 dan dalam sehari kita membaca
ayat-ayat al-qur’an selain al-fatihah sebanyak 10 kali (setiap shalat 2 kali), al-qur’an dapat di
khatamkan di dalam shalat selama kurang dari 2 bulan (558/10=55,8 hari).
23
6.
Manzil
Adalah pembagian al-qur’an menjadi 7 bagian yang hampir sama, dengan tujuan untuk
memudahkan mengkhatamkan al-qur’an dalam waktu 7 hari. Berikut ini adalah awal manzil
tersebut :
1) Surah Al-fatihah.
2) Surah Al-maidah.
3) Surah Yunus.
4) Surah Bani Israil atau Al-Isra’.
5) Surah Asy-Syu’ara.
6) Surah As-Saffat.
7) Surah Qaf.
Ketujuh nama surah tersebut disingkat dan di rangkai menjadi sebuah akronim yaitu :
FAMYBISYAWQIN. Pembagian al-qur’an menjadi tujuh bagian manzil ini juga didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW, Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan juga berdasarkan tradisi
membaca para sahabat dan generasi salafussalih setelahnya.14
B.
Kandungan Al-qur’an
1.
Akidah secara etimologi berarti kepercayaan atau keyakinan Bentuk jamak akidah (‘aqidah)
adalah aqa’id, akidah juga disebut dengan istilah keimanan. Orang yang berkaidah berarti
orang yang beriman (mukmin). Akidah secara terminologi didefinisikan sebagai suatu
kepercayaan yang harus diyakini dengan sepenuh hati, dinyatakan dengan lisan dan
dimanifestasikan dalam bentuk amal perbuatan. Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa
aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya yang membuat jiwa
tenang dan tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari
kebimbangan dan keraguan. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat dirumuskan
bahwa akidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan/ keyakinan hati seorang muslim yang
bersumber dari ajaran islam yang wajib di pegangi oleh setiap muslim yang bersumber dari
keyakinan yang mengikat.
2.
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “Fuqaha”
ibadah adalah segala bentuk tataan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan
14
Haykal. “Bagian-bagain di dalam Al-qur’an”
(Http://haykal_/2012/8/bagian-bagian-yang-ada-di-dalam-al-qur’an.html Diakses 12 Desember
2019)
24
ridho dari Allah SWT. Ibadah berasal dari kata ‘Abada artinya mengabdi atau menyembah.
Yang dimaksud ibadah adalah menyembah atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT.
Dengan tunduk, taat, patuh kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk kepatuhan dan
ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan yakin terhadap kebesaran Allah SWT. Sebagai
satu-satunya Tuhan yang berhak di sembah. Karena keyakinan bahwa Allah SWT
mempunyai kekuasaan mutlak. Ibadah adalah merendah diri kepada Allah Azza wa Jalla,
yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang
paling tinggi. Definisi lain mengatakan ibadah adalah sebutan yang mencangkup seluruh
apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla baik berupa ucapan atau perbuatan yang
zhahir maupun yang bathin. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan
perintahnya melalui lisan para rasulnya.
3.
Akhlak ditinjau dari segi etimologi yang berarti perangai, tingkah laku, atau budi pekerti.
Dalam pengertian terminologis akhlak adalah sifat yang tertananam dalam jiwa manusia
yang muncul spontan dalam tingkah laku hidup sehari-hari. Akhlak adalah perilaku yang
dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela
atau akhlakul madzmumah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatanperbuatan yang jelek maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.
4.
Hukum sebagai salah satu isi ajaran pokok al-qur’an berisi kaidah-kaidah dan ketentuanketentuan dasar dan menyeluruh bagi umat manusia. Tujuannya adalah untuk memberikan
pedoman kepada umat manusia agar kehidupannya menjadi adil, aman, tentram, teratur,
sejahtera, bahagia, dan selamat di dunia maupun akhirat kelak. Hukum yang ada di alqur’an adalah memberi suruhan atau perintah untuk mengadili dan memberikan penjatuhan
hukuman pada sesama manusia yang terbukti salah.
5.
Sejarah/ Cerita Masa Lalu. Al-qur’an sebagai kitab suci umat islam memberikan banyak
tentang sejarah atau sejarah orang-orang di masa lalu. Kisah-kisah atau cerita-cerita ini
bukan hanya cerita atau dongeng, tetapi dimaksudkan sebagai ‘ibrah (pelajaran) bagi umat
islam. Bahasa Ibrani kemudian dapat digunakan sebagai panduan untuk menjalani
kehidupan sesuai dengan tuntutan dan kehendak Allah SWT.
6.
Pandangan islam terhadap sains dan teknologi adalah bahwa islam tidak pernah
mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru islam sangat mendukung umatnya
untuk melakukan penelitian dalam bidang apapun, termasuk sains dan teknologi canggih
untuk mengatasi berbagai masalah dalam hidupnya, namun disisi lain sains dan teknologi
25
canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Untuk itu,
munculnya gagasan tentang islamisasi sains dan teknologi. Tujuan gagasan tersebut adalah
agar sains dan teknologi dapat membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Epistimologi
islam tersebut pada hakikatnya menghendaki, bahwa sains dan teknologi harus mengakui
adanya nilai-nilai kemanusian yang universal.
Dasar-dasar Illmu Pengetahuan (Sains) dan Teknologi. Al-qur’an adalah buku alamiah.
Banyak bagian yang memberikan sinyal sains dan teknologi memiliki potensi untuk
dikembangkan untuk kepentingan dan kesejahteraan kehidupan manusia. Allah SWT yang
maha tahu telah mengajarkan umat manusia untuk menjalani kehidupan mereka.15
15
Marani Ng “ Kandungan Al-qur’an”
(Https://www.bacaanmadani.com/2017/10/6-isi-pokok-kandungan-alqur’an.html Diakses 11
Desember 2019
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari segi istilah para ahli memberikan definisi al-qur’an sebagai berikut : Menurut manna’ alqaththan al-qur’an adalah kalamullah yang diturunkan Nabi Muhammad SAW dan membacanya
adalah ibadah, menurut al-zarqani al-qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan permulaan surah al-fatihah sampai akhir surah an-nas, menurut Abdul
Wahhab Khallaf Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, Muhammad bin Abdullah melalui al-rahul amin (Jibril AS) dengan lafal-lafalnya yang
berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi Hujjah bagi Rasul, bahwa benar ia
Rasulullah menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan
menjadi saran pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Adapun beberapa
fungsi al-qur’an yaitu sebagai berikut :Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya,
petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam
keimanan dan keesaan allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan,
petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan
susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
Metode yang berkembang dalam penafsiran al-qur’an terdapat yaitu :Tahlil yaitu metode
penafsiran al-qur’an yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat al-qur’an dalam berbagai
aspek , serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalam nya sehingga kegiatan musafir
hanya menjelaskan per ayat, surat per surat, makna lafal tertentu, susunan kalimat, persesuaian
kalimat satu dengan kalimat lain asbabun nuzul yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan,
Muqarin yaitu metode penafsiran al-qur’an yang dilakukan dengan cara perbandingan
(komperatif) dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang
diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar di antara yang kurang benar, atau
untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas
dengan jalan penggabungan (sintesis) unsur-unsur yang berbeda itu.
3.2 Saran
Demikianlah pokok bahasan contoh makalah ini yang dapat kami paparkan, besar harapan
kami makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak.
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Husain Muhammad.1976. Al-Tafsir Wa Al-Muffasirun. Mesir: Dar al-kutub al-hadisah.
Al-Shabibun, Muhammad Ali. 1980. Ulumul Al-qur’an. Beirut: Manahil al-Irfan.
Al-quthtah Manna Khali, Mabahits Fi’ Ulum Al-qur’an. Ridyh:Maktabah Ma’arif.
Azkiya, Khikmatiar. 2018. Pengumpulan Mushaf Al-qur’an.
Http://ganaislamika.com (07 September 2019).
Ng. Marani. 2018. Kandungan Al-qur’an.
Http://.bacaanmadani.com/2017/10/66-isi-kandungan-al-qur’an.html (11Desember 2019)
Hakim, Abdul Hamid. Al-Bayan. Jakarta: Sa’diyah Putra.
Haykal. 2012. Bagian-bagain di dalam Al-qur’an
(Http://haykal_/2012/8/bagian-bagian-yang-ada-di-dalam-al-qur’an.html
Desember
Diakses
12
2019)
Ibid. 2018. Al-qur’an
Http://www.academia.edu/9009909/studi_tentang_al-qur’an.com (11 Desember 2019)
Khalaf, Abdul Wahab.1973. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:Dar al-Manar.
Sepyono, Edi. 2018. Ulumul Al-qur’an (Kajian Sejarah Serta Perkembangannya).
Http://www.bastanamopraphy.id/ulumul-quran-kajian-sejarah-dan-perkembangan-bagian-3/
(07 September 2019)
Setiawan, Ebta. 2019. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Http://kbbi.web.id/studi, (05 September 2019).
Shalihab, M. Quraish. 1996. Membumikan Al-qur’an. Bandung : PT Al-Ma’rif.
Tim Departemen Agama RI.1985. Ushul Fiqh I. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya.2011. Studi Al Qur’an.Surabaya:IAIN Sunan
Ampel Surabaya Press.
Zuhri, Masifuk. 1987. Pengantar Ulumul Al-qur’an. Surabaya:Bina Ilmu.
Download