SELF DISCLOSURE PADA GAY: SEBUAH INTERPRETATIVE PHENOMENOLOGICAL ANALYSIS Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Psikologi SKRIPSI Disusun oleh: Alfin Faidz Ramdhani 15010115130095 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan individu yang unik. Setiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda, itulah mengapa manusia memiliki perbedaan dalam sisi kogintif, afektif, dan juga perilaku (Santrock, 2006). Sigelman dan Rider (2009) mengemukakan bahwa manusia dibentuk oleh dua hal, yakni nature dan nurture. Nature merupakan sesuatu yang yang bersifat bawaan dan diturunkan secara biologis, sedangkan nurture merupakan sesuatu yang berfokus pada lingkungan, belajar, dan pengalaman. Maka dari itu, nature dan nurture memiliki peran yang besar dalam proses perkembangan seorang individu. Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman yang dialami manusia memiliki peran besar dalam proses pembentukan individu tersebut. Salah satu hasil dari proses perkembangan yang berperan penting bagi kehidupan adalah orientasi seksual. American Psychological Association (2008) sendiri mendeskripsikan orientasi seksual sebagai suatu perasaan romantik maupun ketertarikan seksual yang ditujukan kepada lawan jenis, sesama jenis, atau keduanya, dan sifatnya bertahan lama. Orientasi seksual sendiri digolongkan menjadi tiga kategori, yakni heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Berdasarkan hasil penelitiannya, Eccles dkk (2004) mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman individu di masa kecil mempengaruhi orientasi seksual individu di masa dewasa. Bandura (dalam Santrock, 2006) juga mengemukakan hal serupa, bahwa individu memiliki kecenderungan untuk meniru (imitation) orang lain yang berada di lingkungannya. Dari dua pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu proses pembentukan orientasi seksual pada individu adalah dengan cara mengimitasi seseorang yang ada di lingkungannya. Selain faktor pengalaman dan belajar, terdapat juga faktor genetik dan hormon. Jumlah hormon testosteron dan estrogen pada individu, berpengaruh pada orientasi seksual individu (Robinsin & Manning, 2000). Tentunya banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan orientasi seksual individu, bisa dari pengalaman, proses imitasi, dan faktor genetik, dan dengan kata lain seorang individu mampu menjadi homoseksual karena beberapa faktor di atas. Homoseksual merupakan orientasi seksual untuk individu yang memiliki ketertarikan pada sesama jenisnya (Oetomo, 2003). Ketertarikan yang dimaksud bukan hanya ketertarikan secara seksual saja, ketertarikan secara romantis dan emosional dengan sesama jenis juga dapat dikategorikan sebagai homoseksual. American Psychological Association (2008) sendiri menyebutkan bahwa individu mampu mengetahui apakah dirinya termasuk homoseksual atau tidak, ketika mereka berada di usia anak-anak hingga remaja awal. Di Indonesia, jumlah individu homoseksual sendiri mencapai angka 1.095.970 pada tahun 2012. Provinsi yang diperkirakan memiliki populasi pria gay terbanyak adalah Jawa Barat, dengan angka 300.198 jiwa dan disusul dengan Jawa Tengah, dengan angka 218.227 jiwa. Itu semua didapat dari data Kemenkes dari tahun 2012. Diperkirakan hingga saat ini, dengan pertumbuhan populasi 10% tiap tahunnya, populasi homoesksual di Indonesia sendiri mencapai angka sekitar 1.500.000 jiwa (Usman, 2017). Dengan angka populasi yang cukup banyak dan pertumbuhannya yang pesat, keberadaan homoseksual di Indonesia masih menimbulkan banyak sekali pro dan kontra. Masyarakat Indonesia sendiri masih menentang adanya homoseksual karena dirasa melanggar peraturan agama dan norma di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam. Selain itu, kaum gay sendiri terkenal dengan image dan stereotype-nya yang kurang baik di mata masyarakat. Banyak sekali berita mengenai oknum-oknum gay yang tidak takut melakukan perbuatan asusila, mulai dari berita pelecehan seksual, pesta seks, sampai video perbuatan asusila yang disebarluaskan demi mendapat uang. Contoh saja kasus yang terjadi pada setahun yang lalu, dimana masyarakat digemparkan oleh berita mengenai pesta seks gay yang berlangsung di sebuah ruko di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara (Purba, 2017). Kasus yang sempat menjadi buah bibir masyarakat itu tentunya membentuk persepsi masyarakat terhadap kaum gay yang identik dengan maniak seks. Hal serupa terjadi pada Januari 2018 silam, pasangan gay ditangkap oleh pihak berwajib dan terjerat beberapa UU ITE karena menyebarluaskan video pribadinya yang berisi tindakan asusila di sebuah tempat fitness (Supriyatna, 2018). Berbagai kejadian di atas tentunya membuat masyarakat memandang seorang gay sebagai individu yang identik dengan free sex. Karena banyaknya berita miring mengenai kaum gay di seluruh Indonesia, maka banyak individu gay yang lebih memilih untuk menyimpan identitasnya dan tidak menyebarluaskannya ke lingkungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan closeted gay. Menurut Merriam-Webster (2018), closeted sendiri merupakan kata sifat bagi individu homoseksual yang menutup identitas orientasi seksualnya dari lingkungan. Kebanyakan individu gay yang memutuskan untuk menjadi closeted gay datang dari gay dengan usia remaja sampai dengan dewasa awal. Menurut penelitian dari Rokhmah, et. al (2012), remaja gay di Jember mengalami kesulitan untuk mengomunikasikan mengenai orientasi seksualnya ke lingkungannya sekitarnya, seperti orang tua dan teman-temannya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa ketika remaja gay di Jember berinteraksi dengan lingkungannya yang notabene heteroseksual, mereka cenderung akan mengikuti norma dan peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Berbeda ketika sedang berinteraksi di lignkungan heteroseksualnya, ketika mereka sedang berinteraksi di lingkungan homoseksual, remaja gay di Jember akan mengungkapkan identitasnya sebagai gay dan menjadi diri mereka sendiri. Dilansir dari BullyingUK (2018), perilaku bullying yang dialami oleh komunitas LGBT, khususnya gay, meliputi penampilan, perilaku, bentuk fisik, atau bahkan individu dapat mendapat perilaku bullying hanya karena memiliki teman atau keluarga yang LGBT. Bullying yang didapat bisa berbentuk name calling, menyebarkan rumor, cyberbullying, bahkan sampai ke kekerasan fisik atau seksual. Stonewall’s School Report (2012) membuktikan bahwa, 99% siswa LGBT di UK mendengar kata-kata seperti, “you’re so gay” atau “that’s so gay” yang di sekolahnya, 54% siswa LGBT di antaranya merasa bahwa tidak ada orang dewasa di lingkungan sekolah mereka yang bisa menjadi tempat berbagi, bahkan 6% dari siswa LGBT di antaranya mendapat ancaman kematian. Tentunya menjadi seorang gay yang sudah terbuka di lingkungan, terutama sekolah tidaklah mudah. Tindakan bullying pastinya memiliki dampak negatif pada individu yang menjadi objek bullying. Verywellmind (2017) menyebutkan bahwa bullying pada LGBT sendiri memiliki dampak yang lebih berat dibandingkan dampak dari bullying pada umumnya. Selain bullying, banyak permaslahan yang dihadapi gay. Di Indonesia sendiri, LGBT masih belum mendapatkan ruang yang bebas di tengah masyarakat. Maraknya diskriminasi membuat pergerakan mereka sangat terbatas. Tahun 2018 ini sendiri, beredar banyak isu mengenai pemerintah Indonesia yang merancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mendiskriminasikan LGBT. Namun, tentunya ada juga beberapa individu gay yang memutuskan untuk membagikan orientasi seksualnya ke lingkungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan coming out. Coming out sendiri merupakan bagian dari perjalanan self disclosure seseorang, dimana self disclosure sendiri didefinisikan sebagai proses komunikasi interpersonal bagi individu untuk mengutarakan kondisinya ke orang lain (Kadarsih, dalam Kusiki, 2016). Dikutip dari USA Today (2015), atlit gay pada usia dewasa awal di Amerika Serikat yang memutuskan untuk coming out ke publik, 38% dari mereka pernah menerima tindakan bullying dan 27% pernah menerima ancaman secara verbal. Hal tersebut berdampak kepada 81% atlit gay lainnya untuk lebih memilih menjadi closeted gay. Tentunya proses coming out sendiri membutuhkan pemikiran yang panjang dari individu yang memutuskan untuk melakukannya. Banyak hal yang dipertimbangkan oleh individu sebelum melakukan self disclosure ke lingkungannya, terutama keluarga. Ketakutan akan munculnya penolakan, diskriminasi, dan stigma-sitgma buruk oleh lingkungan merupakan ketakutan utama dari individu yang ingin melakukan coming out (Rokhmah, et. al, 2012). Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa coming out sendiri merupakan proses self disclosure oleh individu gay kepada orang lain, yang bisa jadi adalah teman, saudara, bahkan keluarga. Berdasarkan penjelasan mengenai perjalanan proses self disclosure pada individu gay yang tidak mudah karena banyaknya pertimbangan, peneliti tertarik untuk mencari tahu bagaimana seorang gay memaknai proses self disclosure itu sendiri. Hal tersebut mencakup bagaimana ia melakukan self disclosure, apa saja pantangannya, dan bagaimana prosesnya dalam melakukannya. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna self disclosure dari gay yang telah melakukan self disclosure itu sendiri ke lingkungannya, terutama keluarga. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi kehidupan gay yang belum mengalami self disclosure, khususnya di bidang psikologi sosial dan psikologi klinis, serta memberikan gambaran mengenai bagaimana proses perjalanan self disclosure yang dialami oleh gay. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi subjek sendiri mengenai bagaimana menyikapi gay yang belum, sedang, atau sudah menjalani self disclosure. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Homoseksual 1. Pengertian Homoseksual Homoseksualitas merupakan orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseoang atau orang-orang dengan jenis kelamin yang sama, atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dengan jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2003). Lebih lanjutnya, orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997). Fromm (2011) menjelaskan bahwa suatu hubungan, baik bermusuhan atau bersahabat, dengan satu anggota jenis kelamin yang sama dapat diistilahkan sebagai homoseksual. Chaplin (2011) juga mendefinisikan homoseksualitas (homosexuality) sebagai hubungan seksual antaranggota jenis kelamin yang sama, juga merupakan daya tarik seksual bagi anggota jenis kelamin yang sama. Homoseksualitas ini dapat mencakup segenap jajaran tingkah laku, dari seksualitas yang tampak jelas hingga pada hasrat terhadap lawan jenis yang ditekan kuat-kuat. Dari beberapa pengertian mengenai homoseksual di atas, dapat disimpulkan bahwa homoseksual merupakan suatu orientasi seksual yang dimana orang-orangnya memiliki hasrat atau ketertarikan secara emosional maupun seksual pada orang-orang dengan jenis kelamin yang sama. 2. Latar Belakang Terbentuknya Homoseksual Banyak ahli yang menyatakakan bahwa dalam hal pembentukan homoseksualitas, tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi homoseksual (Santrock, 2002). Sama halnya yang disebutkan oleh McWritherm, Sanders, & Reinisch (dalam Santrock, 2002), orientasi seksual seseorang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor biologis (genetik dan hormonal), kognitif, dan lingkungan. Berikut merupakan berbagai pendekatan yang menjelaskan latar belakang mengenai terbentuknya perilaku homoseksual: a. Pendekatan Biologis Teori biologis mengenai homoseksual secara umum terdapat dua komponen, yakni genetik dan hormon. Keduanya mengatakan bahwa perbedaan orientasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. 1. Genetik Hammer dkk (dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudaha homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturunan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada sudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen “lesbian”. 2. Hormon Ellis dan Ames (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa salah satu faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam homoseksualitas adalah keadaan hormon prenatal. Sejalan dengan pendapat Ellis dan Ames, Carlson (2010) juga menyatakan bahwa terdapat dua faktor biologis yang memengaruhi orientasi seksual seseorang, yang berarti memengaruhi terbentuknya homoseksualitas pada diri seorang pula, yaitu pengaruh hormon prenatal dan hereditas. b. Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis menjelaskan bagaimana terjadinya homoseksual pada sejarah individu dalam menemukan asal homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll, 2005). Freud (dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit. Dia bahkan menemukan homoseksual dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis. Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya, pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksualitas sebagai autoerotis (permunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseornag seperti bercinta pada bayangan dirinya. Bieber (dalam Feldman, 1993) juga menyatakan bahwa kondisi hubungan orangtua dengan anak dapat mengarahkan pada homoseksualitas, kondisi yang dimaksud adalah pengaruh ibu yang dominan dan terlalu melindungi, sedangkan ayah cenderung pasif. 2. Proses Pembentukkan Identitas Homoseksual Banyak ahli yang menyatakakan bahwa dalam hal pembentukan homoseksualitas, tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi homoseksual (Santrock, 2002). Sama halnya yang disebutkan oleh McWritherm, Sanders, & Reinisch (dalam Santrock, 2002), orientasi seksual seseorang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor biologis (genetik dan hormonal), kognitif, dan lingkungan. Berikut merupakan berbagai pendekatan yang menjelaskan latar belakang mengenai terbentuknya perilaku homoseksual: a. Pendekatan Biologis Teori biologis mengenai homoseksual secara umum terdapat dua komponen, yakni genetik dan hormon. Keduanya mengatakan bahwa perbedaan orientasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. 1) Genetik Hammer dkk (dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudaha homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturunan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada sudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen “lesbian”. 2) Hormon Ellis dan Ames (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa salah satu faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam homoseksualitas adalah keadaan hormon prenatal. Sejalan dengan pendapat Ellis dan Ames, Carlson (2010) juga menyatakan bahwa terdapat dua faktor biologis yang memengaruhi orientasi seksual seseorang, yang berarti memengaruhi terbentuknya homoseksualitas pada diri seorang pula, yaitu pengaruh hormon prenatal dan hereditas. b. Pendekatan Psikologis Pendekatan homoseksual psikologis pada sejarah menjelaskan individu bagaimana dalam terjadinya menemukan asal homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll, 2005). Freud (dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit. Dia bahkan menemukan homoseksual dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis. Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya, pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksualitas sebagai autoerotis (permunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseornag seperti bercinta pada bayangan dirinya. Bieber (dalam Feldman, 1993) juga menyatakan bahwa kondisi hubungan orangtua dengan anak dapat mengarahkan pada homoseksualitas, kondisi yang dimaksud adalah pengaruh ibu yang dominan dan terlalu melindungi, sedangkan ayah cenderung pasif. c. Pendekatan Belajar Seseorang dapat belajar untuk menjadi seorang homoseksual dari imitasi orangtua dan teman-teman lingkungan sekitar yang homoseksual. Soekahar (1987) menyatakan bahwa homoseksualitas adalah suatu sikap yang dipelajari akibat pilihan individu. Homoseksual terjadi karena dibuat, bukan dilahirkan. Homoseksual dibuat oleh pikiran yang positif terhadap praktik homoseksualitas yang dilakukan orang lain di sekitarnya, kemudian individu ikut mempraktikkan dan perlahan menjadi sebuah kesenangan, terdorong untuk berpikir lebih positif pada homoseksualitas, sehingga membuat dirinya terbiasa dengan homoseksualitas tersebut dan menjadi identitasnya. 3. Tahap Pembentukan Identitas Homoseksual Cass (dalam McWhirter, Sanders, & Reinisch, 1990) menyatakan bahwa proses pembentukan identitas homoseksual dimulai ketika seseorang menyadari bahwa ada sesuatu dalam perilakunya yang mengarah pada homoseksual. Proses ini berakhir ketika orang tersebut menerima dengan positif bahwa dirinya adalah seorang homoseksual. Selama proses pembentukan identitas, perubahan akan terjadi pada orang tersebut, dalam area kognisi (pemikiran, khayalan, harapan), emosi, dan tindakan. Cass (1984) mengemukakan enam tahapan dalam pembentukan identitas gay. Tidak semua gay mencapai tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya. Keenam tahap tersebut, yaitu: a. Identity Confusion Pada tahap ini individu mulai menyadari dan bertanya-tanya mengenai perilakunya. Apakah perilakunya dapat dikategorikan sebagai perilaku homoseksual. Dan dia juga akan bertanya apakah dirinya seorang homoseksual. b. Identity Comparison Tahap ini dimulai ketika individu mulai menerima bahwa dirinya mungkin seorang homoseksual, kemudian diikuti pengakuan dari individu tersebut bahwa ia dapat menerima identitas homoseksual itu. c. Identity Tolerance Pada tahap ini individu mulai menjalani hidup dengan statusnya sebagai seorang homoseksual. Ia juga memiliki komitmen yang besar terhadap statusnya tersebut. Ia juga mulai fokus pada kehidupan sosial, emosional, dan kebutuhan seksualnya. Salah satu cara yang ia lakukan adalah dengan menjalin hubungan dengan homoseksual lainnya. d. Identity Acceptance Inidividu pada tahap ini semakin jelas dan positif memaknai dirinya sebagai seorang homoseksual, ia merasa aman dalam menjalani hidupnya sebagai homoseksual. Adanya peningkatan dalam hubungan dan jaringan pertemanan homoseksualnya juga berperan besar pada tahap ini. Ia akan mulai membagi dunian homoseksualnya dengan dunia yang bukan homoseksualnya. e. Identity Pride Pada tahap ini individu merasa ada perasaan kuat terhadap ketidakseimbangan antara sikap positif pada homoseksual dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap identitas tersebut, sehingga muncul perasaan memisahan diri antara “mereka” dan “kami”. f. Identity Synthesis Tahap yang terakhir ini terjadi ketika individu merasa benar-benar nyaman dengan lifestyle dan ketika kontak dengan mereka yang nonhomoseksual meningkat. Ia mulai menghilangkan perilaku memisahkan diri antara “mereka” dan “kami” yang ada pada tahap sebelumnya. Inidividu juga menjalani hidup sebagai gay secara terbuka dan berpikir bahwa dalam kehidupan masih banyak aspek kepribadian selain dari orientasi seksual. B. Self Disclosure 1. Pengertian Self Disclosure Menurut Yalom (dalam Rizki, 2015) self disclosure merupakan sebuah keinginan penyampaian informasi oleh individu kepada orang lain, yang bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi mengenai dirinya. Informasi yang diungkapkan bisa mencakup perasaan, pikiran, sudut pandang, pengalaman, dll. Self disclosure juga diidentifikasi sebagai seluruh informasi mengenai individu yang disampaikan secara verbal kepada orang lain, baik yang bersifat deskriptif maupun evaluatif (Cozby & Wheeless, dalam Rizki, 2015). Lumsden (dalam Gainau, 2009) mengatakan bahwa self disclosure dapat meningkatkan kepercayaan diri dan mempererat hubungan seseorang dengan orang lain. 2. Karakteristik Self Disclosure DeVito mengungkapkan bahwa self disclosure memiliki beberapa karakteristik umum, yakni: a. Self disclosure merupakan proses komunikasi mengenai informasi diri seorang individu yang dikomunikasikan ke orang lain. b. Self disclosure mengandung informasi yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang lain, dengan demikian informasi tersebut harus disampaikan. c. Self disclosure memiliki informasi mengenai pikiran, perasaan, dan sikap. d. Self disclosure dapat bersifat informasi rahasia yang diungkapkan secara pribadi dan tidak semua orang tahu. e. Self disclosure melibatkan sekurang-kurangnya satu orang individu, yang menerima informasi diri dari si pelaku self disclosure. 3. Aspek-aspek Self Disclosure DeVito (1968) mengemukakan bahwa self disclosure memiliki 5 aspek, yakni: a. Amount Amount merupakan sesuatu yang bisa diukur dari self disclosure individu, seperti misalnya frekuensi ketika menyampaikan informasi dan durasi atau lamanya waktu yang diperlukan dalam menyampaikan informasi mengenai individu ke orang lain. b. Valence Valence merupakan hal positif maupun negatif yang dapat individu sampaikan ketika mengungkapkan dirinya. Individu mampu menginformasikan hal positig ataupun negatif mengenai dirinya kepada orang lain, dengan kata lain memuji atau menjelek-jelekkan hal yang ada pada dirinya. c. Accuracy Accuracy merupakan ketepatan atau kejujuran individu dalam melakukan pengungkapan mengenai dirinya. Individu bisa mengungkapkan dirinya dengan baik jika ia mengenal dirinya dengan baik. Namun, individu juga dapat memilih untuk tidak memberitahu beberapa hal mengenai dirinya atau berbohong. d. Intention Intention merupakan seluas apa individu mengungkapkan apa yang ingin ia ungkapkan. e. Intimacy Intimacy merupakan bagaimana individu mampu mengungkapkan hal-hal yang dirasa bersifat intim pada dirinya ke orang lain. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Disclosure Menurut DeVito (2010) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self disclosure, yakni: a. Besar kelompok Besarnya kelompok pada proses pengungkapan diri individu mempengaruhi keberjalanannya pengungkapan diri. Tentunya kelompok kecil yang terdiri dari dua orang memiliki efektivitas pengungkapan diri yang lebih baik daripada kelompok yang terdiri dari lebih dua orang, karena ketika hanya ada dua orang salah satu pihak bisa menjadi pendengar yang baik dan pihak yang lainnya bisa mengungkapkan dirinya dengan nyaman. b. Perasaan menyukai Individu cenderung melakukan pengungkapan diri kepada orang lain yang mereka sukai atau memiliki hubungan yang baik oleh kita. Karena orang yang kita sukai atau memiliki hubungan yang baik oleh kita tentunya akan mendukung kita bagaimanapun situasinya. c. Efek diadik Ketika individu mengungkapkan diri pada individu yang juga melakukan pengungkapan diri, maka individu akan merasa lebih nyaman dan aman dalam proses self disclosure. d. Kompetensi Individu yang berkompeten cenderung melakukan self disclosure lebihi sering karena mereka memilki kepercayaan diri untuk melakukan itu. e. Kepribadian Individu yang pandai dalam bergaul dan extrovert cenderung lebih banyak melakukan self disclosure dibanding orang yang kurang pandai bergaul dan introvert. f. Topik Bahasan topik yang akan dibawa dalam proses self disclosure juga mempengaruhi proses self disclosure. Individu cenderung mengungkapkan topik atau bahasan tertentu kepada individu lain yang spesifik. Semakin sensitif dan private sifat topiknya, maka semakin kecil kemungkinan kita mengungkapkannya kepada orang lain. g. Jenis kelamin Jenis kelamin juga mempengaruhi proses self disclosure. Wanita lebih terbuka daripada pria. C. Dinamika Alur Pemikiran Peneliti Individu gay umumnya memiliki dua keputusan yang dapat ia pilih, yakni melakukan self disclosure atau menyimpan rapat-rapat identitas mengenai orientasi seksualnya. Tentunya, bagi individu yang memiliki keinginan untuk melakukan self disclosure, banyak sekali hal yang telah ia pertimbangkan. Meskipun menurut DeVito (1989) self disclosure mampu membuat individu mengurangi beban, tentunya hal tersebut tidak semata-mata membuat seluruh gay ingin melakukannya. Stigma masyarakat yang negatif mengenai homoseksual dan juga penerimaan yang kurang menjadi pertimbangan utama ketika hendak melakukan self disclosure. Selain itu, hal lain yang dipertimbangkan adalah penerimaan atau penolakan yang bisa saja oleh ketika melakukan self disclosure. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa terdapat beberapa gay di Indonesia yang telah memutuskan untuk melakukan self disclosure ke lingkungannya seperti teman, saudara, bahkan keluarga. Proses self disclosure yang tidak mudah dan mengalami proses yang panjang, tentunya mengakibatkan invidu mengalami pengalaman yang layak untuk diteliti. Sebelum melakukan self disclosure Dihadapkan pada pilihan untuk melakukan self disclosure atau tidak Mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari self disclosure Melakukan self disclosure ke lingkungannya Pasca melakukan self disclosure BAB III METODE PENELITIAN A. Perspektif Fenomenologi Menurut Cresswell (2017), penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang bertujuan untuk memahami masalah individu dalam konteks sosial denan menyajikan gambaran mengenai permasalahan dari sumber informasi tanpa ada intervensi apapun dari peneliti. Model penelitian fenomenologi berfokus pada pengalaman yang dialami oleh individu. Fenomenologi berusaha mengungkap, mempelajari, serta memahami suatu fenomena berdasarkan perspektif dari individu yang mengalami peristiwa itu sendiri (Herdiansyah, 2012). Dalam studi fenomenologis, terdapat metode pendekatan bernama Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Menurut Smith dan Osbron (dalam Smith, 2007) IPA merupakan metode pendekatan yang memiliki tujuan untuk memahami makna dari pengalaman individu secara mendalam. IPA juga memiliki tujuan mengungkap secara detil bagaimana subjek memaknai dunia personal dan sosial, mengeksplorasi pengalaman personal, mengetahui pendapat dan persepsi subjek terhadap suatu objek atau peristiwa. Dapat disimpulkan bahwa IPA berusaha memahami suatu hal dari sudut pandang subjek penelitian. B. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengetahui makna self disclosure dari gay yang telah melakukan self disclosure. Fokus penelitian ini berfokus pada beberapa aspek seperti penampilan nyata, penyesuaian diri, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. C. Partisipan Penelitian Partisipan dalam penelitian ini dipilih menggunakan metode sampel bola saljut atau snowball sampling. Snowball sampling merupakan metode penentuan sampel yang pada awalnya berjumlah kecil, kemudian sampel ini menjadi key person untuk dapat memberikan petunjuk pada sampel yang lain (Sugiyono, 2009). Subjek dalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah empat orang laki-laki yang mengidentifikasikan dirinya sebagai gay. 2. Sudah mengungkapkan dirinya sebagai seorang gay pada lingkungan atau keluarganya. D. Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diawali dengan menulis interview guide yang akan digunakan dalam sesi interview pada keempat subjek penelitian. Pertanyaan yang ada di interview guide sifatnya terbuka, agar subjek dapat menjawab dengan bebas dan peneliti dapat memperoleh informasi sebanyakbanyaknya melalui pertanyaan di interview guide (Smith, dkk., 2009). Untuk menjaga kerahasiaan subjek, peneliti memberika informed consent yang berisikan judul penelitian, tujuan penelitian, prosedur wawancara, dan jaminan kerahasiaan data penelitian. Interview dilakukan secara tatap muka di tempat yang tidak terlalu ramai agar keberlangsungan interview kondusif. Peneliti menyiapkan audio recorder dari handphone untuk merekam jalannya interview yang nantinya akan dibuat transkrip wawancara. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi untuk mengetahui respon dari subjek ketika sedang membahas topik tertentu. Tujuan dari observasi sendiri merupakan untuk memahami lebih dalam perilaku subjek selama sesi interview. E. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Pendekatan ini memiliki tujuan untuk memahami individu memaknai pengalaman kehidupan pribadi dan sosialnya (Smith, dkk., 2009). Analisis data dapat diperoleh melalui observasi dan interview, khususnya in depth interview. Menurut Kahija (2017), transkrip wawancara dapat dianalisis menggunakan IPA dengan tahapan sebagai berikut: 1. Membaca transkrip berkali-kali Karena pada dasarnya, transkrip wawancara merupakan pengalaman partisipan yang berbentuk tulisan. Maka dari itu, peneliti diharuskan unutk membaca transkrip berulang kali agar dapat memahami lebih dalam transkrip, sehingga peneliti mampu “menyatu dengan transkrip”. 2. Membuat catatan Ketika sudah “menyatu dengan transkrip”, peneliti diminta untuk membuat catatan-catatan pada transkrip. Catatan ini berbentuk komentar yang disebut dengan comment exploratory (komentar eksploratoris). Dalam membuat catatan, peneliti harus memusatkan perhatiannya terlebih dahulu pada transkrip, lalu ketika peneliti sudah merasakan bagia yang penting untuk dikomentari, barulah peneliti membubuhkan catatan. 3. Membuat tema emergen Dari exploratory comment yang telah dibuat, peneliti bertemu dengan tema emergen. Tema emergen adalah pemadatan dari komentar eksploratoris yang telah kita buat, yang berbentuk kata atau frasa. 4. Membuat tema superordinat Setelah tema emergen, ada tema superordinat. Tema superordinat merupakan kumpulan dari tema emergen yang memiliki kemiripan makna. Kemiripan makna ini dapat diklasifikasikan sesuai perasaan peneliti. F. Verifikasi Data Keabsahan data penting dilakukan agar kualitas penelitian dapat diterima secara ilmiah dan bersifat valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian ini memperhatikan beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Yardley (dalam Smith, Flower, & Larkin, 2009) untuk menjaga keabsahan data, yakni: 1. Sensitivitas terhadap konteks Terdapat konteks teori dan pemahaman yang dibuat oleh peneliti sebelumnya yang telah menggunakan metode penelitian yang sama ataupun menganalisis topik yang sama. Peneliti meneliti berbagai literatur yang relevan dengan tema yang diangkat. 2. Komitmen dan ketelitian Peneliti akan bertanggung jawab dengan hasil penulisan, interpretasi, serta materi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Peneliti berusaha untuk melakukan penelitian ini dengan teliti dan komitmen yang tinggi sehingga hasil yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. 3. Transparansi dan keterhubungan Penelitian ini berlangsung melalui proses yang transparan, dimana proses penelitian dapat digambarkan secara jujur apa adanya sesuai dengan kondisi peneliti dan subjek pada saat penelitian berlangsung. 4. Manfaat dan kepentingan penelitian Penelitian ini memiliki manfat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi kehidupan individu gay yang belum atau sedang mengalami proses self disclosure. Dan secara praktis, bagaimana menyikapi seorang gay yang sudah atau sedang menjalani proses self disclosure DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2008). Answers to Your Questions for a Better Understanding of Sexual Orientation & Homosexuality. Diunduh dari http://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.aspx Brady, E., & Gleeson, S. (2015). Catch-22: Coming Out can Quell Gay Slurs, but Fear of Homophobia Hinders Closeted Athletes. Diunduh dari https://www.usatoday.com/story/sports/2015/06/04/homophobiainternational-study-openly-gay-athletes-jason-collins-michaelsam/28434159/ DeVito, J. A. (1986). The Interpersonal Communication Book. New York: Harper & Row. Gainau, M. B. (2009). Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya bagi Konseling. Diunduh dari http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/jiw/article/view/17061 Kahija, YF. La. (2017). Penelitian Fenomenologi: Jalan Memahami Pengalaman Hidup. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. Purba, D. O. (2017). Terbongkarnya Tempat Pesta Seks Kaum "Gay" di Kelapa Gading. Diunduh dari https://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/23/09405501/terbongkarny a.tempat.pesta.seks.kaum.gay.di.kelapa.gading Rizki, B. M. (2015). Self Disclosure: Definisi, Operasionalisasi, dan Skema Proses. Diunduh dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI Rokhmah, D., Nafikadini, I., Luthviatin, N., Istiaji, E. (2012). Proses Sosialisasi Laki-laki Suka Seks Dengan Laki-Laki (LSL) pada Kalangan Remaja di Kabupaten Jember. Diunduh https://jurnal.unej.ac.id/index.php/IKESMA/article/view/1064 dari Smith, J. A. (2007). Qualitative Psychology: A Practical Guide to Research Methods. London: SAGE. Supriyatna, I. (2018). Rekam dan Sebar Video Porno Gay, Pelaku Terancam 12 Tahun Penjara. Diunduh dari https://megapolitan.kompas.com/read/2018/01/22/13461351/rekam-dansebar-video-porno-gay-pelaku-terancam-12-tahun-penjara Usman, A. (2017). LGBT: Angka-angka, Gerakan, dan Proyeksi ke Depan. Diunduh dari http://pepnews.com/2017/12/27/lgbt-angka-angka-gerakandan-proyeksi-ke-depan/ INTERVIEW GUIDE 1. Bisa ceritakan bagaimana Anda menyadari bahwa diri Anda gay? Prompt: Bagaimana perasaan Anda saat itu? 2. Bisa ceritakan mengapa Anda memutuskan untuk melakukan self disclosure pada awalnya? Prompt: Apa yang Anda rasakan? Mengapa keluarga? Apa saja yang Anda pertimbangkan? 3. Kapan Anda pertama kali melakukan self disclosure? Prompt: Apa yang Anda rasakan pada saat itu? Siapa orangnya? Mengapa Anda memilih orang tersebut? 4. Bisa ceritakan bagaimana proses self disclosure Anda? 5. Bisa ceritakan bagaimana reaksi anggota keluarga ketika Anda melakukan self disclosure? 6. Apakah ada perubahan dari anggota keluarga pasca Anda melakukan self disclosure? Prompt: Apa yang Anda rasakan terhadap perubahan tersebut? 7. Menurut Anda, apa pendapat anggota keluarga Anda mengenai orientasi seksual Anda? 8. Apa makna self disclosure bagi Anda?