a. Proses Akulturasi - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Antropologi
Dinamika Masyarakat dan
Kebudayaan
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
06
Kode MK
Disusun Oleh
MK61005
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Abstract
Kompetensi
Dalam Modul ini akan dibahas
mengenai dinamika, perubahan dalam
masyarakat dan dinamika kebudayaan
sebagai hasil yang menyertai dinamika
masyarakat
Mahasiswa diharapkan dapat
memahami memahami berbagai
budaya, menghormati dan menghargai
nilai budaya
Pendahuluan
Dinamika Masyarakat
Mengapa kebudayaan berubah? Menurut Haviland (1993a: 250-251) kemampuan
berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya
kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang
berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam
sebab, salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan
kebudayaan yang bersifat adaptif. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam
kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan yang senantiasa berubah.
Koentjraningrat (1990a: 89) melihat bahwa sejak lahirnya, Ilmu Sosiologi telah banyak
memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada abad ke-19 telah ada perhatian
terhadap kemajuan kebudayaan manusia, sehingga dengan demikian telah lahir pula teoriteori tentang evolusi kebudayaan, yaitu perubahan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia,
mulai dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai dengan ke bentuk-bentuk yang semakin
lama semakin kompleks. Pada masa menjelang Perang Dunia II, yaitu masa sekitar tahun
1930 dan terutama pada waktu-waktu setelah itu, diantara para ahli sosiologi telah timbul
perhatian baru terhadap masalah perubahan kebudayaan diantara berbagai bangsa di
Afrika, Asia, Osenia, dan Amerika.
Hal
ini
disebabkan
karena
pengaruh
sistem
ekonomi,
pendidikan,
dan
organisasi sosial yang dibawa dari orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai
penjajah bangsa-bangsa tersebut. Namun, perhatian dan hasrat yang besar untuk
melakukan penelitian mengenai gejala perubahan kebudayaan oleh para ahli sosiologi EroAmerika tersebut lebih didasarkan kepada timbulnya gejala peningkatan kepandaian,
kemampuan melawan sistem kolonialisme, dan kesadarna nasional diantara bangsa-bangsa
tersebut, yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup bagi kolonialisme itu sendiri.
Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan
peranan-peranan dari para warganya, di mana peranan-peran tersebut dijalankan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini
mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranatapranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan
sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat
sebagai : (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku,
tetapi penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda-beda menurut konteks lingkungan
2014
2
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil
interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di
Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa,
dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan seharihari warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan kedua, adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan
sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasanasuasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan
dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana
sukubangsa.
Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakatkota adalah
kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum
muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu
secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan
ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial.
Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya,
baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai
konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di
tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi
diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur
seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan
pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia
tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang
sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata
benda" tetapi "kata kerja”.
Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik
orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya
keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab
kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek
dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua
sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan
adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.
2014
3
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Berbicara tentang perlindungan atau cagar kebudayaan, kita tidak boleh terjebak pada
pengertian kebudayaan sebagai sebuah subsistem hasil. apalagi yang semata-mata bersifat
fisik. Tetapi harus meliputi seluruh sistem kebudayaan. Upaya pencagaran atau
per!indungan atas sebuah .kebudayaan pun tidak boleh dilakukan tanpa perhitungan.
Diperlukan kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipakai sebagai suatu ukuran sejauh mana
kebudayaan perlu atau tidak dicagari. Setidaknya ada 3(tiga) kriteria yang dapat dijadikan
ukuran yakni 1) keadiluhungan, 2) kemapanan dan 3) kesejarahan.
Konsep Dasar
Konsep Dinamika Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk
menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai
dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi;
2. Evolusi kebudayaan dan difusi;
3. Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan
asimilasi;
4. Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.
Selanjutnya keempat konsep tersebut akan dibahas satu persatu di bawah ini.
Proses Belajar Kebudayaan Sendiri
1. Proses Internalisasi
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142-143) proses internalisasi adalah proses
yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai dari ia dilahirkan sampai
akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya seorang individu terus belajar untuk mengolah
segala perasaan, hasrat,
nafsu, dan emosi yang kemudian membentuk
kepribadiannya.
2. Proses Sosialisasi
Talcott Parson (dalam Koentjaraningrat, 1996: 143-145) menggambarkan
proses mengenai kebudayaan sebagai bagian dari proses sosialisasi individu.
Semua pola tindakan individu-individu yang menempati berbagai kedudukan dalam
msyarakatnya yang dijumpai sesorang dalam kehidupannya sehari-hari semenjak ia
2014
4
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dilahirkan, dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan menjadikan polapola tindakan tersebut sebagai bagian dari kepribadiannya.
Oleh karena itu untuk dapat memahami suatu kebudayaan, mengamati
jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami sebagian besar individu dalam
suatu kebudayaan merupakan sustu metode yang sejak lama diminati oleh para
ahli sosiologi
3. Proses Enkulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996: 145-147) proses enkulturasi adalah proses
belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adapt, sistem norma,
dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah
dimulai sejak awal kehidupan, yaitu dalam lingkungan keluarga, dan kemudian
dalam lingkungan yang semakin lama semakin meluas.
Pada awalnya seorang anak kecil mulai belajar dengan cara menirukan
tingkah laku orang-orang yang berada di sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi
pola yang mantap, dan norma yang mengatur tingkah lakunya “dibudayakan”.
Selain dalam lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat dipelajari dari
pengalamannya bergaul dengan sesam warga maysarakat dan secara formal di
lingkungan sekolah.
Proses Belajar Kebudayaan Sendiri
1. Evolusi Kebudayaan
Evolusi kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1996: 142) adalah proses
perkembangan kebudayaan umat manusia mulai dari bentuk-bentuk kebudayaan
yang sederhana sampai yang semakin lama semakin kompleks, yang dilanjutkan
dengan proses difusi, yaitu penebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi
bersamaan perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Proses evolusi menurut Koentjaraningrat (1996: 147) kebudayaan dapat
dianalisis secara mikro maupun secara makro. Proses kebudayaan yang dianalisis
secara mikro (detail) dapat memberikan gambaran mengenai berbagai proses yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosialbudaya secara makro adalah proses yang terjadi dalam jangka waktu yang
panjang.
Di dalam Ilmu Sosiologi proses ini hanya memperhatikan perubahanperubahan besar yang terjadi.
2014
5
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Difusi menurut Haviland (1993a: 257) difusi adalah penyebaran adapt atau
kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.
Menurut
Koentjaraningrat
(1996:
150)
Ilmu
Paleoantropologi
dapat
memperkirakan bahwa makhluk manusia yang pertama hidup di daerah Sabana
beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia pada saat ini ternyata telah menduduki
hampir seluruh muka bumi dengan berbagai jenis lingkungan iklim yang berbedabeda. Hal ini hanya dapat terjadi dengan proses pengembangbiakan, migrasi, serta
adaptasi fisik dan sosial budaya, yang telah berlangsung salam beratus-ratus tahun
lamanya.
Selanjutnya
di
katakan
oleh
Koentjaraningrat
bahwa
migrasi
dapat
berlangsung lamban dan otomatis maupun secara cepat dan mendadak. Migrasi
yang lamban dan otomatis berkembang sejajar dengan peningkatan jumlah umat
manusia di dunia, yang konsekuensinya membutuhkan daerah yang semakin lama
semakin luas.
Proses Pengenalan Unsur Budaya Asing
1. Akulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) adalah istilah dalam sosiologi yang
memiliki berbagai makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai
proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga
unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Unsur
kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam
suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
a. Proses Akulturasi
Proses akulturasi, Koentjaraningrat lebih lanjut menjelaskan bahwa proses
akulturasi memang sudah terjadi sejak zaman dulu kala, akan tetapi akulturasi
dengan sifat yang khusus baru terjadi ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa
Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal
abad ke-15 dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa di
Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin.
G.M. Foster (dalam Koentjaraningrat 1990a: 97) meringkas proses
akulturasi yang biasanya terjadi bila suatu kebudayaan terkena kebudayaan
asing bahwa :
2014
6
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hampir semua proses akulturasi mulai dari golongan atasan yang biasanya
tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di
daerah pedesaan. Proses tersebut biasanya di mulai dengan perubahan
sosial-ekonomi.
Perubahan dalam sektor ekonomi hampi seluruh menyebabkan perubahan
yang penting dalam asas-asas kehidupam kekerabatan.
Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembangan ekonomi uang
merusak pola gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah
sistem pengerahan tenaga kerja yang baru.
Perkembangan sistem ekonomi utang juga menyebabkan perubahan dalam
kebiasaan-kebiasaan makan dengan segala akibat dengan aspek gizi,
ekonomi, maupun sosialnya.
Proses
akulturasi
yang
berkembang
cepat
menyebabkan
berbagai
pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua semua unsur dan
sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat.
Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu
tahap dalam proses akulturasi.
b. Kontra Akulturasi
Kontra akulturasi, menurut Koentjaraningrat (1990a: 112) dalam suatu
masyarakat yang terkena proses akulturasi dan berada dalam transisi dari
kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, berikut segala ketegangan,
konflik, dan kekacauan sosialnya, tentu banyak individu atau golongan sosial
yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan krisis seperti itu. Mereka
adalah orang-orang yang tidak tahan hidup dalam suasana tegang yang terus
menerus. Namun, mereka juga tidak suka dengan pembaharuan, mereka itu
adalah orang-orang “kolot”.
Golongan kolot dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi yang
cukup kuat, mampu menyusun kekuatan untuk menentang unsur-unsur baru
dan menghentikan proses akulturasi untuk sementara waktu.
Sebaliknya jika golongan ini tidak kuat menghadapi proses akulturasi yang
sudah
sedemikian
jauh,
maka
seringkali
mereka
berusaha
untuk
menghindarinya. Mereka akan mencari kepuasan batin seakan-akan menarik
diri dari kehidupan masyarakat nyata, dan bersembunyi dalam dunia kebatinan
mereka, di mana mereka dapat memimpikan zaman kebahagiaan masa
lampau.
2014
7
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Fenomena ini adalah awal dari gerakan kebatinan kontra-akulturasi, suatu
gejala masyarakat yang timbul dalam zaman transisi kebudayaan untuk
menentang proses akulturasi.
c. Permasalahan Psikologi Dalam Proses Akulturasi
Koentjaraningrat (1990a: 105-107) menerangkan bahwa kita dapat
mengerti bahwa perbedaan proses akulturasi dalam sutu kebudayaan (yaitu
akulturasi diferensial) juga dapat disebabkan karena perbedaan kepribadian
individu-individu dengan watak kolot, tetapi ada juga yang berwatak progresif
masalah sebab musabab yang telah mendalam mengenai adanya individu yang
lebih progresif dari yang lain, dan masalah bagaimana cara merangsang agar
individu-individu yang progresif dalam suatu masyarakat menjadi lebih menonjol
telah menjadi perhatian beberapa ahli sosiologi psikologi dari Amerika.
Beberapa ahli sosiologi meragukan adanya watak kolot atau watak
progresif yang dapat mempengaruhi suatu proses akulturasi dalam masyarakat,
yang karena itu mengakibatkan gejala akulturasi diferensial. Sifat yang kolot
atau progresif tidak ditentukan oleh kepribadian individu secara psikologi, tetapi
oleh keadaan sosial di mana individu yang bersangkutan itu berada.
Para ahli yang berpendirian demikian berpendapat bahwa individu-individu
dalam suatu masyarakat yang bersifat kolot adalah mereka yang sudah memiliki
kedudukan yang baik dalam masyarakat. Mereka tidak menyukai perubahan
terjadi, karena dengan demikian keadaan yang baru akan mengubah
kedudukan yang sudah dimilikinya.
Sebaliknya individu yang progresif adalah individu yang belum atau tidak
memiliki kedudukan yang baik. Pendapat ini pernah diuji oleh penelitian E. Vogt.
Vogt meneliti 12 orang bekas pejuang tentara Amerika Serikat yang berasal dari
suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang tersebut mempunyai latar belakang
yang sama, mengalami pendidikan yang sama, mempunyai pengalaman
pertempuran yang sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka keluar dari tentara
ada yang hidupnya kembali seperti dulu, menjadi penggembala domba. Adapula
yang hidupnya tidak teratur dan adapula beberapa yang telah meninggalkan
masyarakat Navaho dan mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat
orang bule.
Penelitian Vogt ini dilakukan dengan menggunakan tes psikologi, dan
berhasil menyimpulkan bahwa orang-orang Navaho yang sebelumnya memiliki
kehidupan yang memuaskan di tengah masyarakat Navaho, kembali menjadi
orang kolot, sedangkan mereka yang dulunya belum memiliki kedudukan tetap,
menjadi orang yang progresif atau menjadi kacau.
2014
8
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Asimilasi
Asimilasi menurut Koentjaraningrat (1996: 160) adalah suatu proses sosial
yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari
unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran.
Biasanya suatu asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dengan
golongan minoritas. Dalam proses ini, biasanya golongan minoritas yang berubah
dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari
kebudayaan lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan
mayoritas.
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah dikaji, diketahui bahwa pergaulan
intensif saja seringkali belum tentu mengakibatkan terjadinya suatu proses
asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan tersebut.
Contohnya adalah orang-orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul
secara intensif dengan penduduk pribumi secara berabad-abad, belum seluruhnya
terintegrasi ke dalam msyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain
umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan
mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang
dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaannya sendiri lebih
unggul dari kebudayaan yang dihadapi.
Proses Pembauran atau Inovasi atau Penemuan Baru
Inovasi adalah suatu proses pembauran dari penggunaan sumber-sumber alam,
energi, dan modal serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi
baru, sehingga terbentuk suatu sistem produksi baru dari produk-produk baru. Dengan
demikian, inovasi adalah pembauran unsur teknologi dan ekonomi dari kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1996: 161).
Selanjutnya dikatakan Koentjaraningrat, bahwa suatu proses inovasi tentu
berkaitan dengan penemuan baru dalam teknologi yang biasanya merupakan suatu
proses sosial yang bertahap dari discovery(penemuan dari suatu unsur kebudayaan
yang baru, baik suatu alat atau gagasan baru dari seorang atau sejumlah individu)
menuju invention.Discovery baru dapat menjadi invention apabila suatu penemuan
baru telah diakui, diterima, dan diterapkan oleh suatu masyarakat.
2014
9
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Proses berlangsungnya tahap discovery sampai pada tahapinvention menurut
Koentjaraningrat (1990: 109) seringkali berlangsung lama dan kadang-kadang tidak
hanya menyangkut satu individu, yaitu si penciptanya yang pertama, melainkan dapat
melibatkan serangkaian individu yang terdiri dari beberapa pencipta.
Hal yang menjadi daya tarik bagi para ahli sosiologi adalah faktor yang
mendorong individu dalam suatu masyarakat untuk memahami suatu upaya yang akan
menuju ke suatu penemuan baru. Barnett (dalam Koentjaraningrat, 1990: 109)
mengajukan pendapat bahwa para individu yang “tidak terpandang dalam masyarakat
atau yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya” malah cenderung
yang sering termotimavasi untuk mengadakan pembaruan dalam kebudayaan, dan
menjadi pendorong terjadinya suatu penemuan baru yang kemudian terjadinya suatu
inovasi.
Koentjaraningrat (1990: 109) menambahkan bahwa untuk mendorong kreativitas
diperlukan pula oleh tumbuhnya, yaitu.
1. Kesadaran para individu akan adanya kekurangan-kekurangan dalam kebudayaan
mereka;
2. Mutu dari keahlian para individu yang bersangkutan;
3. Adanya sistem perangsang dalam masyarakat yang mendorong mutu;
4. Adanya krisis dalam masyarakat.
Haviland (1993a: 253) membagi penemuan baru (discovery) menjadi dua, yaitu
penemuan primer dan penemuan sekunder. Penemuan primer adalah penemuan
secara tidak sengaja (kebetulan) suatu prinsip baru, sedangkan penemuan sekunder
perbaikan-perbaikan yang diadakan dengan menetapkan prinsip-prinsip yang sudah
diketahui.
Sebuah contoh penemuan primer sebagaimana yang diuraikan oleh Haviland
(1993a: 255-256) adalah penemuan pembakaran tanah liat yang membuat bahannya
menjadi keras seterusnya. Dapat diduga bahwa sering terjadi pembakaran tanah liat
secara tidak sengaja dalam api untuk memasak pada zaman dahulu. Akan tetapi,
kejadian secara kebetulan tersebut bukan suatu penemuan kalau orang tidak
mengetahui bahwa penemuan itu dapat diterapkan untuk suatu keperluan.
Kira-kira 25.000 tahun yang lalu orang melihat cara penerapannya, sebab
patung-patung kecil dibuat dengan tanah yang dibakar. Akan tetapi, orang tidak
membuat bejana tembikar, dan rupa-rupanya penemuan tersebut tidak sampai ke
Timur Tengah. Kalau terjadi, hal tersebut tidak sampai berakar. Baru pada suatu waktu
di antara 7.000 dan 6.500 tahun S.M. diketahui adanya penerapan pembakaran tanah
liat di Timur Tengah dengan dibuatnya wadah-wadah dan bejana untuk memasak,
yang murah, awet, dan mudah dibuat.
2014
10
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Rekonstruksi perkembangan wadah-wadah yang tertua, yang telah diketahui
terjadi sebagai berikut. Menjelang 7.000 tahun S.M. dalam tempat memasak di Timur
Tengah terdapat wadah yang tepinya terbuat dari tanah liat, yang dibuat bersatu
menjadi bagian dari lantai, dan tungku serta perapian dari tanah liat. Dalam situasi
yang demikian itu terjadinya pembakaran tanah liat secara tidak sengaja tidak mungkin
dapat dihindarkan.
Pada zaman itu tanah liat juga digunakan dalam pembangunan rumah, untuk
membuat
patung-patung
kecil,
dan
untuk
membuat
dinding
lubang-lubang
penyimpanan. Jadi, walaupun orang sudah biasa bekerja dengan menggunakan tanah
liat, tidak ada pembakaran untuk mebuat wadah kecuali sebagai dinding lubang
penyimpanan. Sebagai wadah, yang biasanya digunakan adalah wadah dari batu,
keranjang, atau kantong kulit.
Dengan demikian penemuan tembikar sebagai penemuan primer, dalam proses
penemuannya banyak dijumpai teknik-teknik yang sudah dikenal atau diketahui
sebelumnya, yaitu teknik atau cara pembakaran tanah liat yang dipakai untuk
keperluan selain tembikar. Dengan cara yang sudah diketahui, maka tanah liat dapat
dibentuk menjadi bentuk keranjang biasa, bentuk kantong kulit, atau berbentuk seperti
wadah batu dengan cara dibakar dalam api terbuka atau di dalam tungku yang juga
digunakan untuk memasak makanan.
Penutup
Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak
lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang
berbudi
luhur
seperti
agama,
kesenian,
filsafat
dan
sebagainya.
Sehingga
menyebabkan ada perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan
bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang
dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka
manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu
mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia.
Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan
sesuatu yang statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja”.
Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara
akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada
2014
11
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis.
Sebab kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah
satu aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban
merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas.
Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi
realisasi aspirasi itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk
menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai
dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.

Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi,
dan enkulturasi;

Evolusi kebudayaan dan difusi;

Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi
dan asimilasi;

Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Sosiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nugroho, Widodo dan Achmad Muchji. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
Soekanto, Sorjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
2014
12
Antropologi
Holy Greata Singadimedja, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download