Laporan Kasus G3P1A1H1 GRAVID 38-40 MINGGU INPARTU KALA 1 FASE LATEN DENGAN PEB + BSC 1X + JANIN GEMELLI HIDUP INTRAUTERINE PRESENTASI KEPALA-KEPALA Disusun Oleh: Amelinda Defrika Muharani Indy Duharta Milano Wibi Takbiranda Rinanda Dwi Octavia Sakinah Ikhwan Syarifah Anisa Widya Putri Yodwin Iskandar Pembimbing: dr. Noviardi, Sp.OG (K) dr. Febriani, Sp.OG KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNRI / RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU 2019 BAB 1 PENDAHULUAN Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.1 Menurut World Health Organization (WHO) dihimpun melalui data United Nations of Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2014 menyatakan bahwa salah satu penyebab tersering kematian ibu (maternal death) yang terjadi didunia adalah hipertensi dengan persentase 14%.2 Di Indonesia pada tahun 2017, Secara umum terjadi penurunan kematian ibu dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Terdapat 5 penyebab kematian ibu terbesar. Yaitu perdarahan (30,3%), kemudian diikuti dengan hipertensi (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama (1,8%), abortus (1,6%), dan lainnya (40,8%).3 Pada provinsi Riau Angka Kematian Ibu (AKI) di tahun 2018 mengalami penurunan yaitu sekitar 7.8 per 100.000 kelahiran hidup, hal ini disebabkan oleh telah meningkatnya cukupan pelayanan Antenatal Care (ANC) dam meningkatnya cakupan persalinan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Sementara persentase penyebab kematian ibu di provinsi Riau pada tahun 2017 yang tertinggi adalah karena perdarahan 50 kasus, hipertensi 26 kasus, infeksi 1 kasus dan lain lain 44 kasus.4 Banyak faktor yung menyebabkan preeklampsia dan eklampsia yang mempengaruhi luarannya. Diantara faktor - faktor yang ditemukan sulit ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.5 Dhananjay (2009) menyebutkan preeklampsia antepartum, usia gestasi <32 minggu, konvulsi lebih dari lima, tekanan darah >160/100 mmHg, level albumin urin >1+, kelahiran pervaginam, BBLR dan skor Apgar 5 menit yang rendah mempengaruhi keluaran perinatal. Tekanan darah mempunyai pengaruh yang signifikan (p<0.05) terhadap kematian perinatal. Sedangkan Rajasri G Yaliwal menyebutkan mortalitas 2 perinatal tinggi pada pasien dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg. tekanan darah diastolik > 110 mmHg, hayi dengan berat badan lahir 2000 gram dan urin albumin > 2+ Mortalitas perinatal rendah di pasien yang melahirkan selama <6 jam setelah konvulsi, < 6 jam setelah permulaan treatmen, dan bayi yang dilahirkan dengan operasi caesar.6 3 BAB II ILUSTRASI KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama : Ny. NBY Umur : 32 tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Islam Suku : Melayu Status : Menikah Alamat : Jl. Cipta karya, Panam. No RM : 01031817 Masuk RS tanggal 22 Desember 2019 pukul 22.30 WIB di VK IGD 2.2 Anamnesis Anamnesis (dilakukan tanggal 22 Desember 2019 secara alloanamnesis). Keluhan utama Nyeri pinggang menjalar ke ari- ari Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke VK IGD dengan keluhan nyeri pinggang menjalar ke ariari sejak 14 jam SMRS. Nyeri pinggang menjalar ke ari- ari dirasakan semakin kuat, lama dan sering. Keluar lender bercampur darah + 6 jam SMRS. Keluar airair dari jalan lahir yang tidak tertahankan (-). Riwayat trauma (-), diurut-urut disangkal. Riwayat koitus tidak ada. Pasien mengaku hamil 9 bulan, dengan HPHT 26 Maret 2019, dan TP 2 Januari 2020. Usia Kehamilan 38-39 minggu. Pasien mengaku memeriksakan kehamilannya 4 kali ke bidan, 1 kali ke SpOG dan dilakukan USG dan dikatakan janin kembar dan dalam keadaan baik. Pasien biasa memeriksakan kehamilannya di posyandu sebanyak 10 kali selama kehamilan. . Primary survey : Airway : clear Breathing : RR 35x/menit, SpO2 84%, diberikan O2 dengan NRM 10l/mnt rr 28x/menit, SpO2 96% 4 Circulation : TD : 190/110 mmHg, HR 128x/menit, diberikan nifedipin oral dengan target MAP turun 20%. Urin (+), gross hematuria (+) (tidak bisa melakukan cek protein urin). Diberikan MgSO4 40% 4gr loading dose, dilanjutkan maitanance dose 2gr/jam TD 160/100 mmHg. Disability : GCS 8, reflex patella (+/+), kejang (+) diberikan MgSO4 2gr bolus pelan. Exposure : vulva dan uretra dalam batas normal, terpasang DC oligouri ( 50cc gross hematuria ), protein uri (+3) ( dari RS Aulia). Suhu 34,6 C. Riwayat penyakit dahulu Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), alergi (-), asma (-). Riwayat penyakit keluarga Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), alergi (-), asma (-), penyakit kejiwaan (-). Riwayat haid Menarche usia 11 tahun, lama haid 5-7 hari, siklus teratur 28 hari, ganti pembalut 2-3 kali per hari. Riwayat Hamil Muda Riwayat Mual (+) Muntah (+) tetapi tidak sampai dirawat. Riwayat perdarahan dari jalan lahir (-) Riwayat Hamil Tua Riwayat Mual (-) Muntah (-), riwayat perdarahan dari jalan lahir (-) Riwayat ANC Pasien ANC 4 kali ke bidan di Posyandu, dan 1 kali ke dokter SpOG. Dilakukan USG dikatakan bahwa janin kembar dan dalam kondisi baik. Saat kontrol di dokter Sp.OG pasien memiliki tekanan darah tinggi (141/81 mmHg), keluhan saat itu kaki pasien bengkak. Tabel ANC dibawah ini: 5 Tgl 20/7 2019 20/8 2019 Keluhan sekarang Tekanan darah (mmHg) Berat Badan (Kg) Umur kehamilan (minggu) Tinggi fundus (cm) Letak janin (kep/su/li) Denyut Jantung Janin / menit Kaki bengkak - Mual 48 Sering ngilu di simfisis Demam, gusi sakit, muntah, pusing Sakit gigi 48 20-21 Setinggi pusat letkep (+) 107/64 49 22 minggu 3 hari 2 jari diatas pusat letkep 148 113/67 48 148 110/60 48 3 jari diatas pusat 3 jari diatas pusat letkep ANC 28 minggu 6 hari 29 minggu Letkep 142 29/10 2019 ANC, Batuk 90/70 46 30-32 minggu pertengahan px dengan pusat Letkep 142 13/11 2019 ANC (+) Kaki bengkak 120/85 55 32 minggu 4 hari pertengahan px dengan pusat Letkep 148 20/11 2019 ANC 120/69 54 33 minggu 4 hari 3 jari dibawah px Letkep-letli (gemelli) 148 & 146 31/8 2019 18/10 2019 19/10 2019 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tindakan (pemberian TT, Fe, terapi, rujukan, umpan balik Simeco VI 3 x1 - Lanjutkan obat Hb : 11,2 g/dl HIV : non reaktif Hep B : non reaktif Sifilis : non reaktif + SF Obat ada, lanjutkan Nasihat yang disampaikan ANC teratur Cek lab dan evaluasi Istirahat yang cukup Kapan harus kembali Keterangan Posyandu Posyandu 31/9 2019 Posyandu 18/11 2019 19/11 2019 Tanda bahaya kehamilan Istirahat yang cukup Tanda bahaya kehamilan Istirahat yang cukup Posyandu Posyandu 29/11 2019 Tanda bahaya kehamilan Istirahat yang cukup Tanda bahaya kehamilan Istirahat yang cukup Posyandu 20/11 2019 Posyandu 27/11 2019 6 Tgl Keluhan sekarang Tekanan darah (mmHg) Berat Badan (Kg) Umur kehamilan (minggu) Tinggi fundus (cm) Letak janin (kep/su/li) Denyut Jantung Janin / menit 7/12 2019 Pusing, dada menyesak 135/92 52 36 minggu 2 hari 2 jari dibawah px Letli – letkep (gemelli) 145 & 140 22/12 2109 Nyeri Perut bagian bawah 130/80 53 38 minggu 2 hari 2 jari dibawah px Letkep – letli 140 & 140 Kaki bengkak Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tindakan (pemberian TT, Fe, terapi, rujukan, umpan balik Simeco VI 3x1 Gunaseta 500 mg VI Obat lanjut Nasihat yang disampaikan Tanda bahaya kehamilan Istirahat yang cukup Tanda persalinan, istirahat yang cukup Kapan harus kembali Keterangan Posyandu 14/12 2019 Posyandu 29/12 2019 Tabel 2.1 Kunjungan ANC pasien yang tertera pada buku KIA Kesan : Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di posyandu dan 1 kali ke dokter SpOG. Tetapi setelah diketahui pasien memiliki kehamilan gemelli, pasien tidak langsung dilakukan Rujukan Dini Berencana (RDB) ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai, karena pasien telah memiliki faktor risiko yaitu riwayat abortus, bekas SC 1 kali dan kehamilan gemelli dengan total jumlah skor Penilaian Risiko adalah 16. Pasien termasuk dalam kategori Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST) 7 Riwayat perkawinan Menikah satu kali, tahun 2017 (usia 24 tahun). Riwayat persalinan : G3P1A1H1 1. 2015 / 16 minggu / RS Sansani / Abortus / Kuretase / SpOG 2. 2016 / 36-37 minggu / RS Sansani / SC a.i panggul sempit / SpOG / 3300 gr / Laki-laki 3. Hamil saat ini Riwayat pemakaian kontrasepsi : Pasien menggunakan kontrasepsi suntik selama 2 tahun dari tahun 2016 – 2018 akhir. Riwayat operasi sebelumnya SC 1 kali pada tahun 2016 atas indikasi panggul sempit. Riwayat sosial ekonomi Pasien seorang Ibu rumah tangga. Suami bekerja sebagai buruh. 2.3 Pemeriksaan Fisik (17/12/2019) 2.3.1 Status generalis Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Komposmentis TD : 190/110 mmHg Nadi : 74 kali/menit Napas : 20 kali/menit Suhu : 36,80C BBSH : 45 kg BBH : 53 kg TB : 147 cm Gizi : 20,8 kg/m2 (Normoweight) 8 Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil anisokor. Thoraks : Paru Gerakan dinding dada simetris, suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (+/-), wheezing (-/-) Jantung BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen : Status ginekologis Genitalia : Status ginekologis Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (+/+), ekimosis (-/-), purpura (-/-), refleks Babinski (-/-), bekas tusukan infus (+) tangan kiri. 2.3.2 Status obstetri Muka : Cloasma gravidarum (+) Mammae : Dalam batas normal Abdomen : Status lokalis Inspeksi Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm. Palpasi Pemeriksaan leopold L1 : Teraba tinggi fundus uteri 1 jari di bawah processus simpoideus, teraba massa lunak, kurang bulat, tidak melenting. / teraba massa lunak, kurang bulat, tidak melenting L2 : Teraba tahan memanjang pada sisi kanan dan kiri ibu. L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting. / teraba massa bulat, keras, melenting L4 : Divergen 4/5 TFU : 32 cm, TBJ : 3255 gram, Kontraksi (+) 2x/10’/35” , DJJ terdengar di dua tempat kanan : 120x/menit, kiri : 138x/menit Genitalia eksterna: Inspeksi : Uretra dan vulva tenang. Genitalia interna / Pemeriksaan dalam: Inspekulo: Tidak dilakukan 9 Vaginal Toucher (saat pasien stabil) : - Porsio livide, konsistensi lunak, arah anterior, OUE terbuka 1 cm, ketuban (+). Terbawah kepala-kepala Pelvimetri Klinis: Promontorium teraba Line inominata teraba 1/3 kanan anterior – 1/3 kiri anterior Os Sacrum konkaf Os Koksigis immobile Arcus Pubis <90o Pemeriksaan penunjang : USG (vk IGD): Janin gemelli hidup intrauterine, presentasi kepala-kepala, FHR (+), FM (+) Biometri : BPD 7,65 cm / 7,65 cm , HC : 29,84 cm / 29,84 cm , OFD : 10,61 cm / 10,61 cm, AC : 30,65 cm / 31,33, FL : 6,42 cm / 6,42 cm, EFW : 2287 gram / 2369 gram. Cairan ketuban cukup, MVP 3,2 Plasenta implantasi di fundus, maturasi grade 2-3 10 Kesan : Janin gemelli hidup intrauterine presentasi kepala-kepala usia kehamilan 38-40 minggu. 11 2.3 Diagnosis Kerja G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala. 2.4 Tata Laksana - Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc (4 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 15-20 menit (initial dose) dilanjutkan sisanya 300 cc (6 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 6 jam / 16 tetes per menit (maintanance dose). - Inj. Cefazolin 2 gr (profilaksis) - Nifedipine 3 x 10 mg - Terminasi : SCTTP CITO - Konsultasi Anestesi untuk persiapan operasi 2.5 Rencana Pemeriksaan Cek darah rutin, kimia klinik, hemostasis, imunologi Hasil Pemeriksaan laboraturium : Hasil Darah rutin (22/12/2019) pukul 23.18 WIB Hb : 12,5 gr/dl HT : 38,4 % Leukosit : 9.620 /ul Trombosit : 190.000/ul MCH : 26,4 pg MCV : 81,2 fl MCHC : 32,6 g/dl Kimia darah (22/12/2019) GDS : 75 mg/dl Hemostasis (22/12/2019) PT : 11,5 detik 12 INR : 0,80 APTT : 35,7 detik Imunologi (22/12/2019) HBsAg : non reaktif HIV kualitatif : non reaktif Urinalisa (22/12/2019) Urin Lengkap Makroskopis Warna : kuning muda Kejernihan : jernih Kimia Urin Protein : +2 Glukosa :- Bilirubin :- Urobilinogen : 0,2 pH : 6,5 BJ : 1.005 Darah :- Keton :- Nitrit :- 2.5 Diagnosis G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala. Laporan operasi (22-12-2019) Diagnosis pra operasi: G3P1A1H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase laten + PEB + BSC 1 kali, Janin hidup gemelli intra uterin, presentasi kepala-kepala Diagnosis post operasi: P2A1H3 post SCTPP atas indikasi PEB + BSC 1 x + Gemelli presentasi kepala-kepala 13 1. Pasien terlentang dimeja operasi dalam anestesi spinal 2. Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya dengan larutan betadine 10 % didaerah abdomen diperluas ke daerah genitalia eksterna dan sepertiga proksimal femur bagian depan dan dalam 3. Daerah operasi diperkecil dengan menutup duk steril 4. Dilakukan insisi secara franensteil selebar 10 cm dibekas luka operasi lama, dinding abdomen dibuka lapis demi lapis 5. Saat peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarus 6. Insisi semilunar SBR disayat, ditembus dan dilebarkan secara tumpul, cairan ketuban jernih, jumlah cukup. 7. Dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan pertama BB 2500 gram PB 45 cm, AS 7/8, DS 2. dan dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan kedua BB 1700 gram, PB 40 cm, AS 8/9, DS 2. 8. Dengan tarikan ringan, plasenta dikeluarkan lengkap, dengan berat 200 gram 9. Uterus dikeluarkan dari rongga abdomen, cavum uterus dibersihkan, dengan kassa dan sisa selaput. 10. Dilakukan insersi IUD intra-operasi. 11. Dilakukan penjahitan myometrium, dua lapis dengan jahitan jelujur, dengan benang romic catgut nomor 1. Diyakini hemostasis baik, kedua tuba dan ovarium dalam batas normal. 12. Uterus dimasukkan kembali ke dalam rongga abdomen 13. Dilakukan eksplorasi dan pembersihan rongga abdomen dari darah 14. Diyakini kondisi uterus baik, dinding abdomen dijahit lapis demi lapis. 15. Tindakan selesai Jumlah perdarahan 150 cc, urin terlihat jernih Penyulit: Adhesi Tatalaksana post op: 1. Observasi KU, TTV, perdarahan, dan kontraksi 2. IVFD RL 20 tpm + Oksitosin 20 IU dan IVFD RL 35 tpm + MgSO4 40 % 2 gram/jam menetap selama 24 jam 14 3. Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr 4. Metildopa 3 x 500 mg 5. Nifedipine 3 x 10 mg 6. Pronalges Supp. 2 x 100 mg 7. Diet MC – ML – MK 8. Mobilisasi bertahap Follow up Senin 23/12/2019 Pasien post SCTPP dirawat di teratai 1 S: Nyeri pada bekas operasi O: kes: CM, ku: TSS, TD: 140/70 mmHg, HR: 80x/I, RR: 20x/I, T: 36,5 C B: asi (-) U: TFU 2 jari dibawah umbilicus B: BAK (+), BAB (-) L: lochea rubra E: M: mobilisasi bertahap A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala P: 1. IVFD RL 20 tpm + Oksitosin 20 IU dilanjutkan dengan IVFD RL 35 tpm + MgSO4 40 % 2 gram/jam 2. Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr 3. Asam Mefenamat 3 x 500mg 4. Metildopa 3 x 500 mg Selasa 24-12-2019 Diagnosa : P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala POD II S: Nyeri pada bekas operasi O: TD: 140/90 mmHg, HR: 76x/I, RR: 20x/I, T: 36,5 C. B: ASI (-) 15 U: TFU 2 jari dibawah umbilicus B: BAK (+), BAB (-) L: lochea rubra E: M: mobilisasi bertahap A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala P: 1. Cefadroxil tab 2 x 500 mg 2. Nifedipine 3 x 10 mg 3. Metildopa 3 x 500 mg 4. Asam Mefenamat 3 x 500 mg Rabu 25-12-2019 Diagnosa : P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala POD III S: Nyeri pada bekas operasi O: TD: 120/70 mmHg, HR: 80x/I, RR: 22x/I, T: 36,5 C. B: ASI (+) U: TFU 2 jari dibawah umbilicus B: BAK (+), BAB (-) L: lochea rubra E: M: mobilisasi bertahap A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala POD III P: Pasien pulang dengan disarankan kontrol 1 minggu lagi di Poli Kebidanan 7 hari lagi (2/1/2020). Dengan obat pulang: 1. Cefadroxil tab 3 x 500 mg (5 hari) 2. Asam Mefenamat 3 x 500 mg (5 hari) 3. Metildopa 3 x 500 mg 4. Hemafort 1 x 1 16 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.1 Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.7 Preeklampsia berat merupakan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 g/24 jam.8 3.2 Epidemiologi Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih 17 merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara.7 Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%).3 WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju.5 Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7 Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.7 Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017, Terdapat 5 penyebab kematian ibu terbesar. Yaitu perdarahan (30,3%), kemudian diikuti dengan hipertensi (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama (1,8%), abortus (1,6%), dan lainnya (40,8%).3 Pada provinsi Riau Angka Kematian Ibu (AKI) di tahun 2018 mengalami penurunan yaitu sekitar 7.8 per 100.000 kelahiran hidup, hal ini disebabkan oleh telah meningkatnya cukupan pelayanan Antenatal Care (ANC) dam meningkatnya cakupan persalinan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Sementara persentase penyebab kematian ibu di provinsi Riau pada tahun 2018 yang tertinggi adalah karena perdarahan 50 kasus, hipertensi 26 kasus, infeksi 1 kasus dan lain lain 44 kasus, sehingga kasus hipertensi dalam kehamilan menjadi kasus nomor dua tertinggi yang menyebabkan kematian pada ibu.4 3.3 Patofisiologi Patogenesis dan patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi organ-organ pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada yang memuaskan. Terdapat beberapa patogenesis yang menerangkan terjadinya hipertensi dalam kehamilan antara lain:8 18 Teori Iskemik Plasenta Berbagai bukti eksperimental dari pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa menurunnya perfusi tropoblastik merupakan perubahan patofisiologi yang paling dini terjadi dan konsisten pada preeklampsia. Bahkan timbulnya preeklampsia pada kehamilan abdominal dan mola menunjukkan bahwa faktor uterus dan janin tidak dibutuhkan dalam mekanisme tersebut. Sejak dini penderita memperlihatkan perubahan morfologis di uterus sebagai berikut:8 1. Arteri spiralis yang menjamin perfusi ruang intervillous di plasenta gagal mengalami perubahan morfologi yang layaknya terjadi dalam kehamilan normal seperti meningkatnya diameter vaskuler sekurang-kurangnya 4 kali serta menghilangnya komponen muskuler dan elastik vaskuler. Pada kehamilan normal morfologi vaskuler tersebut meluas melampaui jaringan desidua dan memasuki lapisan miometrium. 2. Vaskuler mengalami oklusi fibrinoid dan invasi foal cell. Gambaran histopatologik ini amat mirip dengan yang nampak pada proses penolakan allograft yang disebut atherosis. Atherosis yang meliputi 1/10 daerah implantasi plasenta didapatkan pada akhir trimester I kehamilan nulipara. Perubahan di atas menyebabkan terjadinya penurunan perfusi tropoblastik. Pada preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena disebabkan 2 hal yaitu, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas secara normal, tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding muskuloelastik yang relaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu juga terjadi atherosis akut pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi.8 Teori Disfungsi Endotel Teori mengenai patogenesis preeklampsia yang relatif baru yaitu teori mengenai disfungsi endotel. Disfungsi endotel diduga menjadi dasar dari timbulnya manifestasi klinis pada preeklampsia. Teori ini tidak lepas dari teori patogenesis preeklampsia yang lain, salah satunya yaitu teori iskemia plasenta. 19 Pada saat plasenta mengalami iskemia, maka plasenta akan menghasilkan peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk ke dalam dan terikat dengan lipoprotein, khususnya low density lipoprotein (LDL).19 Dalam kadar yang rendah peroksida lipid merupakan peristiwa normal dalam kehidupan sel atau jaringan.8 Pada preeklampsia berat dijumpai perubahan ultrastruktur mitokondria pada pembuluh darah arteri uterina dan jaringan plasenta. Mitokondria adalah sumber oksigen radikal dan diperkaya oleh asam lemak tak jenuh. Maka plasenta dapat merupakan sumber terbesar dari produksi peroksida lipid pada kehamilan. Proses peroksidasi lipid meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan, bahkan pada akhir kehamilan aktivitasnya menjadi dua kali lipat. Dalam keadaan normal peroksida lipid selalu dijaga dalam keadaan seimbang melalui peran antioksidan. Bila kadar antioksidan rendah maka peroksidasi lipid menjadi tak terkendali dan timbulah keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Hal tersebut ditunjukkan oleh beberapa peneliti, dimana pada preeklampsia terjadi penurunan kadar antioksidan dan peningkatan produk hasil peroksidasi lipid.8 3.4 Faktor Risiko Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu penyulit kehamilan yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Tetapi beberapa penelitian menyimpulkan beberapa Faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia, antara lain:8,9 a. Faktor genetik: bila ada riwayat preeklamsia pada ibu, anak perempuan, saudara perempuan, cucu perempuan, dari seorang ibu hamil, maka ia akan beresiko 2-5 kali lebih tinggi mengalami preeklamsia dibandingkan bila riwayat tersebut terdapat pada ibu mertua atau saudara ipar perempuannya. b. Faktor imunologis: beberapa penelitian menemukan bahwa durasi hubungan seksual pra konsepsi dan jumlah unprotected intercourse berbanding terbalik dengan kejadian preeklamsia/eklamsia. Bila unprotected intercourse jarang dan tidak lama durasinya maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia/eklamsia. 20 c. Faktor graviditas: pada umumnya preeklamsia diperkirakan sebagai penyakit pada kehamilan pertama. Bila kehamilan sebelumnya normal, maka insidens preeklamsia akan menurun, bahkan abortus pada kehamilan sebelumnya merupakan Faktor protektif terhadap kejadian preeklamsia. Hal ini disebabkan pada primigravida pembentukan antibody penghambat belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia. d. Faktor umur: umur merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Umur berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi status kesehatan seseorang. Umur yang baik untuk hamil adalah 20-35 tahun menurut Depkes RI tahun 2000. Terdapat peningkatan resiko terjadinya preeklamsia pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. e. Faktor usia gestasi: preeklamsia paling sering ditemukan pada usia kehamilan di trimester kedua. f. Faktor indeks masa tubuh: sudah diketehui secara umum bahwa wanita obesitas mempunyai resiko mengalami preeklamsia/eklamsia 3,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang berat badannya ideal dan kurus. g. Faktor bayi: insidens preeklamsia tiga kali lebih tinggi pada kehamilan kembar dibandingkan dengan kehamilan tunggal. h. Faktor ras; resiko preeklamsia ringan dihubungkan dengan ras kulit hitam, namun untuk preeklamsia berat ras tidak menunjukan hubungan yang signifikan. i. Faktor riwayat penyakit: peningkatan resiko preeklamsia/eklamsia dapat terjadi pada ibu yang memiliki riwayat hipertensi kronis, diabetes, dan adanya riwayat preeklamsi/eklamsia sebelumnya. j. Faktor lingkungan: Faktor pendidikan dan pekerjaan ibu hamil juga mempengaruhi terjadinya preeklamsia/eklamsia. Menurut PNPK 2016 risiko preeklampsia berat dapat di dideteksi pada kunjungan Antenatal Care (ANC) pertama yaitu:7 Anamnesis a. Umur > 40 tahun 21 b. Nulipara c. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru e. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih f. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan g. Kehamilan multiel h. IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) i. Hipertensi kronik j. Penyakit ginjal k. Sindrom antifosolipid l. Kehamilan dengan inseminasi donor sprema, oosit atau embrio m. Obesitas sebelum hamil Pemeriksaan fisik a. Indeks Massta Tubuh >35 kg/m2 b. Tekanan darah diastolik >80 mmHg c. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam) 3.5 Diagnosis Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:7 1. Trombositopenia : kadar trombosit <100.00 / microliter 2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL 3. Gangguan liver : meningkatnya konsentrasi transaminase 2 kali normal atau adanya nyeri di daerah epigastric / regio kanan atas abdomen 4. Edema paru 22 5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala dan gangguan visus 6. Gangguan pertumbuhan janin : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkannya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV). Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :7 1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. 2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter 3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya 4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen 5. Edema Paru 6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus 7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan ARDV Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.7 23 3.6 Tatalaksana Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang cepat dan intensif dari pre-eklampsia.8 A. Sikap terhadap Hipertensi: pengobatan medikamentosa Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan, karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab dari kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat memnentukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid (pulmonary capillary wedge pressure). Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan. Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi cairan, yaitu dapat diberikan berupa 5% Ringerdekstrose atau cairan garam faali, dengan jumlah tetesan 125 cc/jam atau infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Pasien juga dipasangi kateter foley untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.8 Pemberian obat antikejang Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps, sehingga pada pemberian magnesium sulfat, akan menggeser kalsium yang kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat menjadi pilihan pertama untuk kejang pada preeklampsia atau eklampsia. Cara pemberian magnesium sulfat antara lain:8 24 Pemberian regimen MgSO4 Terdiri dari 3 cara pemberian yang dapat diberikan sesuai pertimbangan petugas medis. 1.Diberikan secara IV-IM a) IV- ambil MgSO4 40% sebanyak 4gr (10 cc) dilarutkan dalam 10 cc Aquadest. Cairan RL/ NaCl kemudian disuntikkan secara pelanpelan selama 5 menit. b) IM- ambil MgSO4 40% sebanyak 5gr (12.5 cc) suntikan di M. Vastus lateralis dextra dan sinistra. 2. Diberikan secara IV-Drip a) IV- ambil MgSO4 40% sebanyak 4gr (10 cc) dilarutkan dalam 10 cc Aquadest. Cairan RL/ NaCl kemudian disuntikkan secara pelan pelan selama 5 menit. b) Drip- masukkan 6gr (15 cc) ke dalam cairan RL 500 cc selama 6 jam (20 tetes per menit). 3. Sesuai Protap RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc (4 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 15-20 menit (initial dose) dilanjutkan sisanya 300 cc (6 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 6 jam / 16 tetes per menit (maintanance dose). Syarat-syarat pemberian MgSO4 a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 g (10% dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit. b. Reflek patella (+) kuat c. Frekuensi nafas >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress pernafasan. d. Produksi urin >100 cc dalam 4 jam terakhir > 30cc/jam dalam 6 jam terakhir atau 0.5 cc/kgbb/jam Magnesium sulfat dihentikan bila a. Ada tanda-tanda intoksikasi (refleks patella negatif, pernapasan <12x/menit, sesak nafas, produksi urin <30 cc/jam b. Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir 25 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 a. Dosis terapeutik: 4-7 mEq/L (4,8-8,4 mg/dl) b. Hilangnya reflek tendon: 10 mEq/L (12 mg/dl) c. Tehentinya pernafasan: 15 mEq/L (18 mg/dl) d. Terhentinya jantung: >30 mEq/L (>36 mg/dl) Pemberian antihipertensi Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan darah untuk pemberian antihipertensi. Beberapa sumber menggunakan cut off ≥160/110 mmHg, ada pula yang menentukan cut off >126mmHg. Jenis antihipertensi yang sering digunakan di Indonesia adalah Nifedipin, dosis awal :10-20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum 120 mg per 24 jam.8 Gambar 3.1 Manajemen ekspektatif pada Preeklampsia Berat 7 B. Sikap terhadap kehamilannya 1) Perawatan aktif (agresif) Berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.8 Indikasi:8 a. Ibu 26 - Umur kehamilan ≥ 37 minggu - Adanya tanda-tanda/ gejala impending eclampsia - Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratoriik memburuk - Perawatan konservatif gagal - Perawatan selama 24 jam, tekanan darah tetap ≥ 160 / 110 mmHg - Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan b. Janin - Adanya tanda-tanda intrauterine growth restriction (IUGR) - NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal - Terjadinya oligohidramnion c. Laboratorik Adanya tanda-tanda Sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepat. Terminasi kehamilan Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan keadaan obstetric pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum. Induksi persalinan dengan drips Oksitosin bila : a) Kesejahteraan janin baik b) Skor pelvik (Bishop) ≥ 5 Operasi Seksio Sesarea bila : a) Kesejahteraan janin jelek b) Skor pelvik (Bishop) < 5.5 27 Tabel 3.1 Kriteria terminasi kehamilan pada Preeklampsia Berat 7 2) Perawatan konservatif Berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Pengobatan dilakukan di Kamar Bersalin / Ruang Isolasi a. Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri) b. Infus Dekstrose 5%, 20 tetes/menit c. Pasang kateter tetap d. Pemberian obat anti kejang : Magnesium Sulfat (MgSO4) c. Langsung berikan dosis pemeliharaan MgSO4 2 g/jam IV d. Syarat-syarat pemberian MgSO4 : Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Glukonas 10% (1 gr dalam 10 cc) diberikan IV pelan (3 menit). Refleks patella (+) Frekuensi pernafasan > 16 x/menit Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya. e. Pemberian anti hipertensi (bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg) f. Pemeriksaan Laboratorium : a) Hb, Trombosit, Hematokrit, Asam Urat b) Urine lengkap dan produksi urine 24 jam c) Fungsi hati d) Fungsi ginjal Pengobatan dan evaluasi selama rawat inap di Kamar Bersalin 28 a.Tirah Baring b. Medikamentosa : - Nifedipin 3 x 10 mg (po). - Roboransia c. Pemeriksaan Laboratorium : - Hb, Trombosit, Hematokrit, asam urat - Urine lengkap dan produksi urine 24 jam c) Fungsi hati d) Fungsi Ginjal d. Diet biasa e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (KTG/USG) Perawatan Konservatif dianggap gagal bila a. Adanya tanda-tanda Impending Eklampsia (keluhan subyektif) b. Penilaian kesejahteraan janin jelek c. Kenaikan tekanan darah progresif d. Adanya Sindroma HELLP e. Adanya kelainan fungsi ginjal Perawatan konservatif dianggap berhasil bila : Penderita sudah mencapai perbaikan dengan tanda-tanda pre-eklampsia ringan dan perawatan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 3 hari lagi kemudian penderita boleh pulang. Bila perawatan konservatif gagal dilakukan terminasi.8 3.7 Prognosis Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi janin, ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses bersalin dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.10 Penderita preeklampsia yang terlambat penanganannya akan berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada Ibu dapat terjadi perdarahan otak, dekompensasi kordis pada edema dan paru, payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam pernafasan saat kejang.Pada janin dapat terjadi kematian 29 karena hipoksia intrauterin dan kelahiran prematur. Dampak jangka pendek dan jangka panjang preeklampsia dapat dilihat pada gambar dibawah ini :10 Gambar 3.2 Prognosis preeklampsia10 3.8 Pengalaman pelayanan kebidanan dan penurunan kematian ibu Dari pengalaman lapangan PP AKI mebutuhkan upaya inovatif, profokatif dan antisipatif memalui pendekatan risiko.8 Pendekatan risiko: strategi operasional. Untuk pencegahan profokatif dalam pelayanan kebidanan melalui upaya pengendalian/ pencegahan profokatif terhadapa komplikasi persalinan, meliputi:11 1. Strategi, mengatur dan menegakan prioritas, berawal dari pengenalan dini masalah kesehatan dan sosial, diikuti dengan mengukur kebutuhan ibu untuk perawatan kehamilan, tempat dan penolong persalinan aman sesuai dengan kondisi ibu hamil dan janin. 2. Metode, untuk menilai kebutuhan sumber daya dalam keluarga, masyarakat, dan fasilitas kesehatan yaitu pemanfaatan biaya transportasi yang efisien/ efektif. 3. Alat, menetukan pemanaatan fasilitas kesehatan secara efisien dan efektifbiaya dengan menggunakan secara relevan, rasional, dan profesional di 30 tiap tingkat pelayanan dalam melakukan penanganan adekuat untuk semua ibu hamil, ibu risiko rendah dan ibu risiko tinggi masih sehat dan ibu komplikasi persalinan dini. Tujuan pendekatan risiko pada ibu hamil 1. Meningkatkan mutu pelayanan dimulai pengenalan dini faktor risiko pada semua ibu hamil 2. Memberikan perhatian lebih khusus dari intensif kepada ibu risiko yang mempunyai kemungkinan lebih besar terjadi komplikasi persalainan dengan risiko lebih besar pula untuk terjadi kematian, kesakitan, kecacatan, ketidakpuasan, ketidaknyamanan ( 5K) pada ibu/ bayi baru lahir. ibu dan janin/ bayi merupakan suatu kesatuan ( one entity- a dyad)11 3. Mengembangkan perilaku pencegahan profokatif antisipatif dengan dasar paradigma sehat melalui: Kesiapan persalinan aman- “ safe birth preparedness” Kesiagaan komplikasi persalinan- ‘complication rediness’ Pemberdayaan ibu hamil, suami dan keluarga agar ada kesiapan mental, biaya dan transportasi. 4. Melakukan peningkatan rujukan terencana memalui upaya pengendalian/ pencegahan proaktif terhadap terjadinya rjukan estafet dan rujukan terlambat. Pendekatan resiko pada ibu hamil didukung oleh Pelayanan Kesehatan Dasar (primary health care) dengan 5 prinsio dasarnya sangat relevan dengan semangat gotong royong dimasyarakat pedesaan, diperkuat oleh dukungan GSI dengan koordinasi kepala desa dan DESA SIAGA.8 Penurunan kematian ibu/ bayi baru lahir memalui upaya pengendalian komplikasi dalam persalinan membutuhkan pendekatan HULU dirumah ibu hamil di pedesaan, dilanjurkan dengan pencegahan proaktif melalui 31 penanganan adekuat di HILIR dipusat rujukan puskesmas PONED atau RS PONEK. Pendekatan Hulu dirumah ibu hamil membutuhkan teknologi hulu ( low technology, low cost, high coverage), menggunakan Kartu Skor dan Kartu Prakiraan Disporposi Kepala Panggul.9 Kartu Skor adalah alat sederhana dengan format 1. Daftar faktor risiko/ FR dengan gambaran yang cukup komunikatif, mudah dimengerti, dterima digunakan oleh ibu hamil, suami, dan keluarga, dan masyarakat pedesaan, 2. Sistem skoring dengan nilai skor untuk tiap FR dan kode warna untuk pemetaan ibu Risti. Setelah mendapatkan pelatihan Bidan di desa, ibu PKK, ibu hamil, suami, keluarga dan dukun mampu menggunakannya dalam kegiatan posyandu dan KP KIS ( kelompok peminat KIA).9 Faktor resiko / FR pada seorang ibu hamil sebagai masalah kesehatan Suatu keadaan atau ciri tertentu pada seseorang atau suatu kelompok ibu hamil yang dapat menyebabkan risiko/ bahaya kemungkinan terjadinya resiko komplikasi persalinan. Dapat merupakan suatu mata rantai dalam proses yang merugikan, mengakibatkan kematian/ kesakitan/ kecatatan/ ketidaknyamanan/ ketidakpuasan pada ibu dan janin/ bayi. Dampak kecatatan dapat terjadi rupturan uteri, dilakukan histrektomi selanjutnya ibu cacat/ tidak mempunyaki rahim lagi dengan funsi reproduksinya berakhir. Pada partus kasep terjadi fistula vesiko- vaginal atau fistula rekto- vaginal dengan akibat beser kemih atau beser kotoran dapat menyebabkan ascending infection pada ginjal. Ada kemungkinan dampak sosial terjadi perceraian dengan suami, pada fistula masih dapat dilakukan operasi palstik dengan akibat cacat dinding vagina.9 Dari pengalaman sejumlah penilitian epidemiologik baik di rs rujukan dan diluar rs dapat disusun masalah kesehatan pada ibu hamil,ada 20 macam 32 faktor risiko.12 tiap FR dikebangkan parameter dengan gambar dan bobot risikonya yaitu skor. Kelompok Faktor Risiko- berdasarkan kapan ditemukan, cara pengenalan, dan sifat risikonya, faktir risiko dikelompokan dalam 3 kelompok FR. I, II, III dengan berturut- turut ada 10, 8, 2. Kelompok faktor resiko I: Ada Potensi Gawat Obstetrik/ APGO APGO merupakan banyak faktor atau kriteria – kriteria risiko kehamilan. Ibu hamil primi muda, primi tua, primi tua sekunder, anak terkecil ≤ 2 tahun, Tinggi Badan (TB) ≤ 145 cm, riwayat penyakit, kehamilan hidramnion dan riwayat tindakan ini merupakan faktor fisik pertama yang menyebabkan ibu hamil berisiko.13 1) Primi muda ibu yang hamil pertama kali pada usia ≤ 16 tahun, dimana pada usia tersebut reproduksi belum siap dalam menerima kehamilan kondisi rahim dan panggul yang masih kecil, akibat dari ini janin mengalami gangguan. Disisi lain mental ibu belum siap menerima kehamilan dan persalinan. Bahaya yang terjadi jika usia terlalu muda yaitu premature, perdarahan anterpartum, perdarahan post partum.14 Hasil penelitian disalah satu Rumah Sakit, ibu hamil yang dikategorikan dalam primi muda sangat rendah yakni hanya mencapai angka 1,7%.13 Faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi persalinan adalah ibu yang berumur < 20 tahun.16 2) Primi tua a) Lama perkawinan ibu ≥ 4 tahun dan mengalami kehamilan pertama setelah masa pernikahan dan pasangan tidak mengguanakan alat kontrasepsi KB.14 b) Pada umur ibu ≥ 35 tahun dan mengalami kehamilan. Usia tersebut dikategorikan usia tua, ibu dengan usia tersebut mudah terserang penyakit, kemungkinan mengalami kecacatan untuk bayinya dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), cacat bawaan sedangkan komplikasi yang dialami oleh ibu berupa pre-eklamsi, mola hidatidosa, abortus.14 33 Menurut hasil penelitian usia ≥ 35 tahun kemungkinan 2,954 kali mengalami komplikasi persalinan.16 3) Primi tua sekunder, ibu yang mengalami kehamilan dengan jarak persalinan sebelumnya adalah ≥ 10 tahun. Dalam hal ini ibu tersebut seolah menghadapi kehamilan yang pertama lagi. Kehamilan dapat terjadi pada ibu yang mempunyai riwayat anak pertama mati atau ibu yang mempunyai anak terkecil hidup berumur 10 tahun, serta pada ibu yang tidak menggunakan KB.14 4) Anak terkecil ≤ 2 tahun, ibu yang mempunyai anak pertama terkecil ≤ 2 tahun namun tersebut telah mengalami kehamilan berikutnya. Jarak kehamilan ≤ 2 tahun kondisi rahim belum kembali seperti semula selain itu ibu masih dalam proses menyusui. Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu perdarahan setelah bayi lahir, bayi lahir namun belum cukup umur sehingga menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) < 2.500.17 Jarak kehamilan ≤ 2 tahun dan ≥ 5 tahun mempunyai kemungkinan 1,25 kali mengalami komplikasi persalinan, ibu hamil yang pemeriksaan kehamilannya kurang kemungkinan mengalami 0,396 kali komplikasi pada saat persalinan, ibu dengan deteksi dini kehamilan risiko tinggi kategori kurang kemungkinan 0,057 kali mengalami komplikasi persalinan.16 5) Multigrande yaitu Ibu yang pernah mengalami persalinan sebanyak 4 kali atau lebih, komplikasi yang mungkin terjadi seperti anemia, kurang gizi, dan kekendoran pada dinding rahim. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kelainan letak janin, persalinan lama, perdarahan pasca persalinan, dan rahim robek pada kelainan letak lintang.14 Sedangkan grandemultipara adalah ibu yang pernah melahirkan lebih dari 6 kali atau lebih baik bayi dalam keadaan hidup atau mati.19 6) Usia ibu hamil 35 tahun atau lebih . ibu hamil pada usia ini dapat menglami komplikasi seperti Ketuban Pecah Dini (KPD), hipertensi, partus lama, partus macet dan perdarahan post partum. Komplikasi tersebut mungkin dialami oleh ibu hamil pada usia tersebut dikarenakan organ jalan lahir sudah tidak lentur dan memungkinkan 34 mengalami penyakit.14 Kejadian kehamilan risiko tinggi dipengaruhi oleh umur dan paritas. Kehamilan resiko tiinggi mayoritas berumur ≥ 35 tahun dan terjadi pada grandemultipara.j menurut hasil penelitian di Kota Yogyakarta faktor resiko ibu hamil di adalah anemia (33.1%), usia yang terlalu muda dan tua (24.7%), Lila<23.5 (21.7%), grandemultigravida (9%), tinggi badan kurang dari 145 cm (7.2%), riwayat abortus lebih dari sekali (4.2%).21 7) Tinggi Badan (TB) 145 cm atau kurang komplikasi yang mungki terjadi yaitu ukuran panggul ibu sebagai jalan lahir sempit namun ukuran kepala janin tidak besar atau ketidak sesuaian antara janin dan jalan lahir. Kemungkinan ukuran panggul ibu normal, sedangkan ukuran kepala janin besar.14 Komplikasi yang terjadi yaitu BBLR, prematur, bayi mati dalam kandungan (IUFD).14 8) Ibu hamil dengan riwayat obstetric jelek dengan kondisi: Ibu hamil kedua dimana kehamilan pertama mengalami keguguran,meninggal di dalam kandungan, lahir dalam keadaan belum cukup umur, lahir mati, dan lahir hidup kemudian mati pada usia ≤ 7 hari, kehamilan sebelumnya pernah keguguran sebanyak ≥ 2 kali.14 Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan kehamilan dan meninggalnya janin dalam kandungan pada ibu adalah adanya penyakit seperti ; diabetes mellitus, radang saluran kencing, dan lain-lain.l 9) Persalinan yang lalu dengan tindakan Persalinan ditolong oleh alat bantu seperti: cunam/forcep/vakum, uri manual (manual plasenta), pemberian infus / tranfusi pada saatproses persalinan dan operasi sectio caesars pada persalinan.14 Kelompok faktor resiko II: Ada Gawat Obstetrik/ AGO Ada Gawat Obstetri tanda bahaya pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Beberapa penyakit ibu hamil yang dikategorikan sebagai gawat obstetri yaitu: anemia, malaria pada ibu hamil, penyakit TBC, payah jantung, diabetes militus, HIV/AIDS, toksoplasmosis.14 35 1) Pre-eklamsia ringan, tiga gejala preeklamsi yaitu oedema pada muka, kaki dan tungkai, hipertensi dan urin protein positif. Komplikasi yang dapat terjadi seperti kejang, IUFD, dan IUGR.14 2) Kehamilan kembar (gemeli) dengan jumlah janin 2 atau lebih. Komplikasi yang terjadi seperti hemoroid, prematur, BBLR, perdarahan antepartum.14 3) Hidramnion atau kelebihan jumlah air ketuban dari normalnya (> 2 liter).14 Faktor yang mempengaruihi hidramnion adalah penyakit jantung, spina bifida, nefritis, aomali kongenital pada anak, dan hidrosefalus. 19 4) Intra Uteri Fetal Deat (IUFD) dengan tanda-tanda gerakan janin tidak terasa lagi dalam 12 jam, perut dan payudara mengecil, tidak terdengar denyut jantung.14 5) Hamil serotinus usia kehamilannya ≥ 42 minggu. Pada usia tersebut fungsi dari jaringan uri dan pembuluh darah akan menurun. Maka akan menyebabkan ukuran janin menjadi kecil, kulitnya mengkerut, berat badan bayi saat lahir akan rendah, dan kemungkinan janin akan mati mendadak dalam kandungan dapat terjadi.14 6) Letak sungsang keadaan dimana letak kepala janin dalam rahim berada di atas dan kaki janin di bawah. Kondisi ini dapat menyebabkan bayi sulit bernapas sehinga menyebabkan kematian dan letak lintang. Letak janin dalam rahim pada usia kehamilan 8 sampai 9 bulan melintang, dimana kepala berada di samping kanan atau kiri ibu. Bayi yang mengalami letak lintang tidak bisa melahirkan secara normal kecuali dengan alat bantu. Bahaya yang dapat terjadi apabila persalinan tidak dilakukan dan ditangani secara benar dapat terjadi robekan pada rahim ibu dan ibu dapat mengalami perdarahan, infeksi, syok, dan jika fatal dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan janin.14 Kelompok faktor resiko III: Ada Gawat Darurat Obstetrik/ ADGO Adanya ancaman nyawa ibu dan bayi yaitu perdarahan antepartum, dan pre-eklasmi atau eklamsi.14 Ibu ADGO dalam kondisi yang dapat 36 langsung mengancam nyawa ibu/ janin, harus segera dirujuk tepat waktu ( RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/ bayi baru lahir.14 Kelompok risiko berdasarkan jumlah skor pada tiap kontak, ada 3 kelompok risiko: 1. Kehamilan risiko rendah / KRR jumlah skor 2 dengan kode warna hijau, selama hamil tampa FR 2. Kehamilan risiko tinggi/ KRT jumlah skor 6-10, kode warna kuning dapat denga FR tunggal dari kelompok FR I, II, III dan dengan FR ganda 2 dari kelompok FR I dan II 3. Kehamilan risiko sangat tinggi/ KRST ibu dengan jumlah skor ≥ 12 kode warna merah, ibu hamil dengan FR ganda dua atau tiga dan lebih. Gambar 3.3 Pedoman Rujukan8 3.9 Sistem Rujukan a. Pengertian Suatu sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman penderita, pendidikan, maupun penelitian. Sistem rujukan paripurna terpadu, yaitu suatu tatanan yang memungkinkan berbagai komponen dalam jaringan pelayanan kebidanan 37 dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara bidan di desa, bidan, dan dokter puskesmas di pelayanan kesehata dasar dengan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber daya kesehatan dalam penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, yaitu penanganan ibu risiko tinggi dengan gawat obstetrik atau gawat darurat obstetric secara efisien, efektif, professional, rasional, dan relevan dalam pola rujukan terencana21 b. Jenis Rujukan Rujukan medis sesuai Undang Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 merupakan kegiatan rujukan yang berkaitan dengan urusan medis dan dibagi menjadi 3 yaitu: 1) Rujukan Kasus Rujukan kasus merupakan rujukan yang berkaitan dengan kasus yang dialami klien dalam hal ini komplikasi ibu dan bayi baru lahir/neonatus. 2) Rujukan Laboratorium Rujukan bahan laboratorium yang berkaitan dengan kebutuhan diagnosa komplikasi ibu dan bayi baru lahir/neonatus. 3) Rujukan Ilmu Rujukan ilmu pengetahuan diantara tenaga kesehatan dalam rangka peningkatan pengetahuan penanganan komplikasi ibu dan bayi baru lahir/neonatus dimana pihak yang lebih kompeten akan memberikan ilmu sesuai kebutuhan dan kewenangan Dalam rujukan kebidanan, berdasarkan sifatnya, dibagi ke dalam dua jenis rujukan, yaitu: 1) Rujukan Terencana Rujukan terencana merupakan rujukan ke rumah sakit yang disiapkan dan direncanakan jauh hari bagi ibu risiko tinggi. Masa persiapan rujukan terencana lebih panjang dan keadaan umum ibu masih relatif lebih baik, selain itu modalitas transportasi juga dapat lebih beragam, nyaman dan aman bagi pasien karena rujukan tidak dilakukan dalam kondisi gawat darurat. 38 Ada 2 macam rujukan terencana, yaitu: a) Rujukan Dini Berencana Rujukan dini berencana dilakukan untuk ibu dengan Ada Potensi Gawat Obstetrik (APGO) dan Ada Gawat Obstetrik (AGO). Ibu risiko tinggi masih sehat, belum in partu, belum ada komplikasi persalinan, ibu dapat berjalan sendiri, dan tidak membutuhkan obat. b) Rujukan Dalam Rahim Di dalam rujukan dini berencana terdapat pengertian rujukan dalam rahim atau rujukan in utero bagi janin bermasalah, ketika janin risiko tinggi masih sehat, misalnya kehamilan dengan riwayat obstetrik jelek pada ibu diabetes mellitus, prematurus iminens. Bagi janin, selama pengiriman rujukan, rahim ibu merupakan alat transportasi dan inkubasi yang aman, nyaman, hangat, steril, mudah, murah, memberi nutrisi dan O2, tetap ada hubungan fisik dan psikis dalam lindungan ibunya. 2) Rujukan Tepat Waktu/Rujukan Kegawatdaruratan Rujukan tepat waktu dilakukan untuk ibu dengan ADGO (Ada Gawat Darurat Obstetrik), yaitu ibu dengan kelompok faktor risiko III (perdarahan antepartum atau preeklampsia berat/eklampsia). Rujukan kegawatdaruratan merupakan rujukan yang berhubungan dengan kondsi kegawatdaruratan yang harus segera ditangani seperti halnya rujukan tepat waktu. Rujukan sebaiknya tidak dilakukan bila terdapat kondisi-kondisi berikut: a) Kondisi ibu tidak stabil untuk dipindahkan b) Kondisi janin tidak stabil dan terancam untuk terus memburuk c) Persalinan sudah akan terjadi d) Tidak ada tenaga kesehatan terampil yang dapat menemani e) Kondisi cuaca atau modalitas transportasi membahayakan23 39 3.10 Antenatal Care (ANC) Asuhan antenatal care merupakan serangkaian kegiatan pemantauan kehamilan rutin yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.22 Kunjungan antenatal care dilakukan sedini mungkin semenjak ibu hamil merasa dirinya hamil untuk mencegah adanya komplikasi obstetri dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai.23 Kunjungan antenatal care bagi ibu hamil normal direkomendasikan untuk mendapat pelayanan antenatal minimal empat kali kunjungan selama kehamilan.24 Satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali pada trimester ketiga.25 Kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dengan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal standar untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan.26 Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan kunjungan ibu hamil yaitu pengetahuan, sikap negatif.29 Peran bidan saat kunjungan, kepercayaan dan dukungan dari keluarga.28 Dukungan dari petugas kesehatan 29 Keterjangkauan.30 Media informasi dan penerapan standar.31 1. Kunjungan Pertama (K1) Asuhan kehamilan kunjungan awalan (K1) adalah kontak ibu hamil pertama kali dengan petugas kesehatan.32 Tujuannya yaitu untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan pelayanan kesehatan terpadu dan komprehensif sesuai standar.33 Kontak pertama kali oleh ibu hamil dengan tenaga kesehatan harus dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke 33,34 Cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal care tenaga kesehatan disuatu wilayah kerja pada kurun oleh waktu tertentu.35 Angka kematian ibu yang masih tinggi dapat diturunkan dengan peran ibu dalam melakukan kunjungan pertama (K1) yang berkaitan dalam mewujudkan sasaran pembanguan kesehatan, sehingga perlu terjalin hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.36 Cara yang tepat dalam mementukan tingkat kesehatan ibu dengan melakukan pengkajian riwayat lengkap dan uji skrining. Adapun indikator yang 40 digunakan sebagai standar pembanding sesuai kemajuan kehamilan diantaranya adalah catatan dasar tentang tekanan darah, nilai darah, urinalisis, dan data-data yang menunjang mengenai pertumbuhan serta perkembangan janin.37 Standar minimal pelayanan antenatal dikenal sebagai 10 T yang terdiri dari: Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, ukur lingkar lengan atas (LILA), ukur tinggu fundus uteri (TFU), penentuan letak janin dan hitung denyut jantung janin (DJJ), pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap, pemberian tablet zat besi minimal 120 hari selama kehamilan, tes terhadap penyakit menular seksual HIV/AIDS dan malaria, temu wicara atau konseling dan tata laksana.38 2. Kunjungan Ke-4 (K4) Asuhan kehamilan kunjungan ulang (K4) adalah kontak ibu hamil dengan petugas kesehatan pada trimester III untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan atau pelayanan kesehatan sesuai dengan standar.28 Cakupan K4 berpengaruh terhadap deteksi dini kehamilan berisiko yang berarti semakin baik cakupan K4 bidan maka semakin baik pula deteksi dini kehamilan berisiko tinggi yang dilakukan oleh bidan. Kunjungan antenatal dapat dilakukan lebih dari empat kali sesuai dengan kebutuhan ibu hamil seperti adanya keluhan, penyakit lainya dan gangguan kehamilan dan kunjungan ini termasuk dalam K4.39 Menurut hasil penelitian ada pengaruh antara cakupan K4 dengan deteksi dini risiko tinggi kehamilan.39 Biasanya disebabkan oleh komplikasi kehamilan itu sendiri, kondisi yang memburuk selama kehamilan, dan efek gaya hidup tidak sehat. Masalah kesehatan ibu selama kehamilan dapat dideteksi melalui kunjungan K1 maupun K4, masalah kesehatan selama kehamilan yang mempengaruhi ibu dan bayi. 41 BAB IV PEMBAHASAN Dari uraian kasus diatas didapatkan permasalahan yang dibahas sebagai berikut: 1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat? 2. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat? 3. Apakah sistem rujukan pada pasien ini sudah tepat? 4. Bagaimana kualitas ANC pada pasien ini? 5. Bagaimana prognosis pada pasien ini? 4.1 Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat? Diagnosis ante partum (saat di IGD) dan durante partum pada pasien ini adalah G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine, presentasi kepala-kepala dapat ditegakkan dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang cermat. Gravid 38-40 minggu Untuk menegakkan diagnosis gravid 38-40 minggu, berdasarkan anamnesis didapatkan HPHT 26 Maret 2019. Dengan menggunakan rumus Naegele yaitu (hari+7), (bulan-3) dan (tahun+1) dengan siklus haid 28 hari.40 didapatkan taksiran persalinan 2 Januari 2020 sehingga usia kehamilan pasien saat datang ke RSUD AA tanggal 22 Desember 2019 adalah 38-39 minggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tinggi fundus uteri 1 jari dibawah proceccus xiphoideus yang sesuai dengan usia kehamilan 38-40 minggu. Berdasarkan hal tersebut ditegakkannya diagnosis gravid 38-40 minggu sudah tepat. Inpartu Kala 1 Fase Laten Untuk menegakkan diagnosis inpartu kala 1 fase laten, didapatkan adanya keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari, keluar lendir bercampur darah (show) dan adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.1 Pada anamnesis 42 didapatkan adanya keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari dan adanya keluar lender bercampur darah (show). Kemudian pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya his yang adekuat yaitu 2 kali dalam 10 menit dengan durasi 30 detik dan pada saat Vaginal Toucher (VT) didapatkan OUE terbuka 1 cm dan didapatkan penipisan 30%. Berdasarkan hal tersebut ditegakkannya diagnosis inpartu kala 1 fase laten sudah tepat. PEB Untuk menegakkan diagnosis PEB, pada anamnesis pasien tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya saat hamil, pasien memiliki riwayat tensi tinggi yang baru muncul pada saat kontrol kehamilan terakhir (>20 minggu) dan ketika tidak hamil pasien merasakan tekanan darahnya tidak pernah tinggi.Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu.7 Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis. Kemudian didapatkan tekanan darah (TD) pasien ini 190/110 mmHg, dan pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan urin didapatkan proteinuria (+2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa dikatakan preeklampsia berat jika didapatkan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik dan didapatkan adanya kondisi protein urin masif ( ≥+2 atau >5g/24 jam).7 Berdasarkan hal tersebut ditegakkannya diagnosis PEB sudah tepat. Janin Gemelli Hidup Intrauterin dengan Presentasi Kepala-Kepala Untuk menegakkan diagnosis janin gemelli hidup intrauterin dengan presentasi kepala-kepala, pada anamnesis pasien masih merasakan adanya gerakan janin, pada pemeriksaan leopold didapatkan presentasi kepala-kepala, pada pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) didapatkan DJJ terdengar di dua tempat yaitu kanan 120 dpm dan kiri 138 dpm. Kemudian pada pemeriksaan penunjang USG didapatkan kesan janin gemelli hidup intrauterine presentasi kepala-kepala. Pemeriksaan USG pada pasien ini kurang lengkap, seharusnya juga disebutkan bagaimana amnion, korion, dan plasenta pada janin tersebut. Berdasarkan hal 43 tersebut ditegakkannya diagnosis janin gemelli hidup intrauterine dengan presentasi kepala-kepala sudah tepat. Diagnosis pasien ini sudah tepat yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mengarah ke diagnosis pasien yaitu G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala. 4.2 Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat? Anti kejang Penatalaksanaan pada pasien ini adalah Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc (4 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 15-20 menit (initial dose) dilanjutkan sisanya 300 cc (6 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 3 jam / 35 tetes per menit (maintanance dose). Pemberian MgSO4 pada pasin ini sudah tepat. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kepekaan syaraf pusat agar dapat mencegah konvulsi, menambah diuresis dan menurunkan pernafasan yang cepat.1 Magnesium sulfat bekerja dengan cara menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan saraf pusat dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium akan menggeser kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Sampai saat ini magnesium sulfat dipilih sebagai pilihan utama obat anti kejang.40 Magnesium sulfat direkomendasikan untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan preeklampsia berat. Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia.41 Anti hipertensi Pada pasien ini diberikan antihipertensi nifedipin 3 x 10 mg di awal dan post operasi, dilanjutkan metildopa 3 x 500 mg. Penatalaksanaan pemberian antihipertensi sudah tepat, yaitu pemberian antihipertensi short acting yaitu nifedipin dilanjutkan antihipertensi long acting yaitu metildopa. Tujuan utama pemberian anti hipertensi adalah untuk mengurangi resiko ibu, yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap, dan kerusakan organ target ( komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler ). Resiko kerusakan 44 organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba – tiba pada wanita yang sebelumnya normotensi. Tekanan darah >170/110 mmHg dapat merusak endotel secara langsung dan tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkan resiko perdarahan serebral. Selain itu, resiko abrupsi plasenta dan asfiksia juga meningkat.41 Pemberian nifedipin sebagai anti hipertensi yang direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat atau tekanan darah ≥160/110 mmHg.1 Pada pasien ini tekanan darah mencapai 190/110 mmHg sehingga pemberian nifedipin sudah tepat. Selain itu, untuk mengontrol tekanan darah pada pasien ini diberikan nifedipine 10 mg. Tekanan darah pada saat pasien masuk adalah 190/110 mmHg dimana MAP pada pasien ini adalah 200, target MAP pada pasien ini diharapkan menurun 20%, sehingga target MAP yang harus dicapai adalah 160. Pada pasien ini telah mencapai MAP yang menurun 20% dengan tekanan darah 160/100 mmHg. Nifedipin merupakan obat anti hipertensi golongan calcium channel blocker derivat dihidropiridin. Obat ini bekerja dengan menghambat masuknya ion Ca2+ ke intra sel sehingga akan menghambat terjadinya kontraksi sel otot polos jantung dan pembuluh darah. Akibatnya, akan terjadi penurunan cardiac output, hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah. Nifedipin bekerja cepat yaitu dalam waktu 10 menit dengan efek maksimal setelah 30-40 menit dan dapat diulang 3-4 kali. Pemberian nifedipin sebaiknya secara oral karena bioavabilitasnya mencapai 40-60%.42 Namun pemberian nifedipin ini tidak dianjurkan dalam jangka lama. Pilihan anti hipertensi yang lain adalah metildopa. Metildopa merupakan obat anti hipertensi yang bekerja secara long acting, sehingga dapat menurunkan dan mempertahankan tekanan darah lebih lama.40 Terminasi Terminasi pada pasien ini dinilai sudah tepat. Terminasi dilakukan pada pasien PEB ketika sudah mendapatkan regimen MgSO4 loading dose. Terminasi pada pasien adalah terminasi perabdominal. Terminasi pada pasien dinilai sudah tepat karena sesuai indikasi tatalaksana PEB. Tatalaksana pada pasien PEB dibagi menjadi tatalaksana aktif dan tatalaksana konservatif. Tatalaksana aktif dilakukan 45 pada pasien dengan indikasi ibu yaitu, umur kehamilan >37 minggu, adanya tanda/gejala impending eklampsia, kegagalan terapi konservatif, diduga terjadi solusio plasenta dan timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan. Indikasi janin adalah adanya tanda-tanda fetal distres, adanya tanda- tanda IUGR, NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal, terjadinya oligohidramnion. Indikasi laboratorium adalah adanya tanda-tanda sindrom HELLP.1 Sistem skoring VBAC Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring. Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio sesarea (Weinstein D, 1996, Flamm BL, 1997). Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger (1997) yang ditentukan untuk memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera pada table dibawah ini:42 Gambar 4.1 Skor VBAC42 Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini: 46 Gambar 4.2 Angka keberhasilan VBAC42 Pada kasus ini pasien datang dengan G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala. TBJ : 3255 gram, DJJ terdengar di dua tempat kanan : 120x/menit, kiri : 138x/menit. Interpretasi : Perkiraan angka keberhasilan VBAC pada pasien ini adalah 59-60%, sehingga dianjurkan untuk melakukan persalinan secara pervaginam. Jika dilihat tafsiran berat janin gemeli yaitu 3255 gr dapat diartikan normal dan diusulkan untuk pervaginam, namun dalam pertimbangan pasien memiliki BSC 1 kali dari indikasi cesar sebelumnya dengan indikasi panggul sempit, lalu pasien memiliki PEB yang dimana pada pasien PEB dengan keadaan kala 1 fase laten sehingga harus terminasi kehamilan dalam waktu 6 jam serta ibu tidak boleh meneran, kemudian pasien dengan kehamilan gemelli, maka dijelaskan terlebih dahulu tentang resiko kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga diusulkan untuk persalinan cesar cito.7,8 4.3 Apakah sistem rujukan pada pasien ini sudah tepat Pasien datang sendiri ke VK IGD RSUD AA dengan keluhan nyeri pinggang yang menjalar ke ari-ari. Pada pasien ini tidak ada rujukan karena pasien datang sendiri diantar oleh keluarga ke RSUD Arifin Achmad. Pada pasien ini sistem rujukan kurang tepat karena pasien datang sendiri ke rumah sakit tanpa ada sistem rujukan. 47 Sistem Rujukan sangat penting dimana suatu sistem pelayanan kesehatan terjadi pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul baik untuk kegiatan pengiriman penderita, pendidikan, maupun penelitian. Sistem rujukan paripurna terpadu merupakan suatu tatanan, di mana berbagai komponen dalam jaringan pelayanan kebidanan dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara bidan di desa, bidan dan dokter puskesmas di pelayanan kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di RS kabupaten untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber daya kesehatan dalam penyelamatan ibu dan bayi baru lahir yaitu penanganan ibu risiko tinggi dengan gawat-obstetrik atau gawat-darurat- obstetrik secara efisien, efektif, profesional, rasional, dan relevan dalam pola rujukan terencana.1 Pasien ini berusia 32 tahun sudah mengandung 3 kali dengan umur anak terkecil 3 tahun, tinggi badan ibu 147 cm dan pasien memimliki riwayat operasi sesar. Sekarang ibu hamil kembar dengan preeklamsi berat. Pada pasien ini memiliki faktor resiko pada seorang ibu hamil sebagai masalah kesehatan.1 Kelompok Faktor Risiko dikelompokkan dalam 3 kelompok FR. I, II, dan III : Kelompok Faktor Risiko I: Ada-Potensi-Gawat-Obstetrik/APGO dengan 7 Terlalu dan 3 Pernah. Tujuh terlalu adalah primi muda, primi tua, primi tua sekunder, umur ≥ 35 tahun, grande multi, anak terkecil umur < 2 tahun, tinggi badan rendah ≤ 145 cm) dan 3 Pernah adalah riwayat obstetri jelek, persalinan lalu mengalami perdarahan pascapersalinan dengan infus/transfusi, uri manual, tindakan pervaginam, bekas operasi sesar. FR ini mudah ditemukan pada kontak I - hamil muda oleh siapa pun ibu sendiri, suami, keluarga, tenaga kesehatan dan PKK, dukun, melalui tanya jawab dan periksa pandang. Ibu Risiko Tinggi dengan kelompok FR I ini selama hamil sehat, membutuhkan KIE pada tiap kontak berulang kali mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi persalinan.1 Kelompok FR II: Ada-Gawat-Obstetrik/AGO-penyakit ibu, preeklampsia ringan, hamil kembar, hidramnion, hamil serotinus, IUFD, letak sungsang, dan letak lintang. Ibu AGO dengan FR yang kebanyakan timbul pada umur kehamilan lebih lanjut, risiko terjadi komplikasi persalinan lebih besar, membutuhkan KIE berulang kali agar peduli sepakat melakukan rujukan terencana ke pusat rujukan.1 48 Kelompok FR III Ada-Gawat-Darurat-Obstetrik/AGDO: perdarahan antepartum dan preeklampsia berat/eklampsia. Ibu AGDO dalam kondisi yang langsung dapat mengancam nyawa ibu/janin, harus segera dirujuk tepat waktu (RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/bayi baru lahir. 12 Berdasarkan kelompok faktor resiko pada pasien ini termasuk kelompok faktor resiko III Ada Gawat Darurat Obstetri yaitu kondisi yang langsung mengancam nyawa ibu/janin harus segera di rujuk tepat waktu (RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/bayi baru lahir, dengan pemilihan sistem rujukan yang tepat.1 1) Rujukan Terencana: menyiapkan dan merencanakan rujukan ke rumah sakit jauh- jauh hari bagi ibu risiko tinggi/Risti. Sejak awal kehamilan diberi KIE. Ada 2 macam rujukan terencana yaitu: Rujukan Dini Berencana (RDB) untuk ibu dengan APGO dan AGO - ibu Risti masih sehat belum in partu, belum ada komplikasi persalinan, ibu berjalan sendiri dengan suami, ke RS naik kendaraan umum dengan tenang, santai, mudah, murah, dan tidak membutuhkan alat ataupun obat.1 Rujukan Dalam Rahim.(RDR): di dalam RDB terdapat pengertian RDR atau Rujukan In Utero bagi janin ada masalah, janin risiko tinggi masih sehat misalnya kehamilan dengan riwayat obstetrik jelek pada ibu diabetes mellitus, partus prematurus iminens. Bagi janin, selama pengiriman rahim ibu merupakan alat transportasi dan inkubator alami yang aman, nyaman, 49 hangat, steril, murah, mudah, memberi nutrisi dan O2, tetap ada hubungan fisik dan psikis dalam lindungan ibunya. 1 Pada jam-jam kritis pertama bayi langsung mendapatkan perawatan spesialistik dari dokter spesialis anak. Manfaat RDB/RDR: pratindakan diberi KIE, tidak membutuh- kan stabilisasi, menggunakan prosedur, alat, obat standar (obat generik), lama rawat inap pendek dengan biaya efisien dan efektif terkendali, pascatindakan perawatan dilanjutkan di Puskesmas.1 2) Rujukan Tepat Waktu/RTW (prompt timely referral") untuk ibu dengan gawatdarurat-obsterik, pada Kelompok FR III AGDO perdarahan antepartum dan preeklampsia berat/eklampsia dan ibu dengan komplikasi persalinan dini yang dapat terjadi pada semua ibu hamil dengan atau tanpa FR. Ibu GDO (Emergency Obstetric) membutuhkan RTW dalam penyelamatan ibu/bayi baru lahir. Rujukan terencana merupakan satu kegiatan proaktif antisipatif.1 Rujukan terencana berhasil menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir, pratindakan tidak membutuhkan stabilisasi, penanganan dengan prosedur standar, alat, obat generik, dengan biaya murah terkendali.1Rujukan terlambat membutuhkan stabilisasi, alat, obat dengan biaya mahal, dengan hasil ibu dan bayi mungkin tidak dapat diselamatkan.1 Paket 'Kehamilan dan Persalinan Aman' dengan 6 komponen utama, yaitu (1) deteksi dini masalah, (2) prediksi kemungkinan komplikasi persalinan, (3) KIE kepada ibu hamil, suami, dan keluarga, pelan-pelan menjadi tahu-peduli-sepakatgerak (TaPeSeGar), berkembang perilaku kebutuhan persiapan dan perencanaan Persalinan Aman/Rujukan Terencana. Dekat persalinan (near term) belum in partu, ibu dapat berjalan sendiri naik kendaraan umum berangkat ke RS, (4) prevensi proaktif komplikasi persalinan, (5) antisipasi 38 minggu melakukan persiapan/perencanaan persalinan aman, (6) intervensi, penanganan adekuat di pusat rujukan. Kartu Prakiraan Disproporsi Kepala/Panggul (KPDKP): digunakan pada kehamilan 38 minggu pada hamil tunggal, letak kepala dengan diukur panjang telapak kaki kanan ibu dan tinggi fundus uteri untuk menentukan adanya disproporsi kepala dan panggul. Dalam persalinan menggunakan Partograf WHO.1 50 Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di posyandu dan 1 kali ke dokter SpOG. Tetapi setelah diketahui pasien memiliki kehamilan gemelli, pasien tidak langsung dilakukan Rujukan Dini Berencana (RDB) ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai, karena pasien telah memiliki faktor risiko yaitu riwayat abortus, bekas SC 1 kali dan kehamilan gemelli dengan total jumlah skor Penilaian Risiko adalah 16. Pasien termasuk dalam kategori Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST) Pada pasien ini termasuk Kehamilan Risiko Sangat Tinggi / KRST dengan jumlah skor yaitu 16. Kelompok faktor risiko pada pasien ini termasuk kelompok FR II, yaitu Ada Gawat Obstetrik/ AGO. Kelompok FR II termasuk kedalam Rujukan Dini Berencana (RDB). Menurut kepustakaan, rujukan terencana ini menyiapkan dan merencanakan rujukan ke rumah sakit jauh jauh hari bagi ibu risiko tinggi/Risti. RDB merupakan Rujukan terencana untuk ibu dengan APGO dan AGO - ibu risti masih sehat belum inpartu, belum ada komplikasi persalinan, ibu berjalan sendiri dengan suami, ke RS naik kendaraan umum dengan tenang, santai, mudah, murah, dan tidak membutuhkan alat ataupun obat. 4.4 Bagaimana kualitas antenatal care (ANC) pada pasien ini? Diketahui dari anamnesis, pasien ini antenatal care (ANC) selama hamil kontrol ke posyandu 10 kali dan ke Sp. OG 1 kali. Pasien ini memiliki buku kesehatan ibu dan anak (KIA). Dalam buku KIA tercatat pertama kali kunjungan pada tanggal 20/7/2019 pada usia kehamilan 17 minggu. Hal ini tidak sesuai dengan kepustakaan, seharusnya kunjungan pertama pada trimester pertama sebelum minggu ke 16. Pada kunjungan selanjutnya sesuai dengan kepustakaan yaitu pada trimester dua dilakukan antara minggu ke 24-28 dan trimester tiga dilakukan antara 36-38 minggu usia kehamilan. Antenatal care adalah pengawasan kehamilan untuk mengetahui kesehatan umum ibu, mengakkan secara dini penyakit yang menyertai kehamilan, menegakkan secara dini komplikasi kehamilan, dan menetapkan risiko kehamilan. Kunjungan ibu hamil adalah kontak ibu hamil dan petugas kesehatan yang memberi layanan antenatal untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Menurut 51 Depkes, dalam pelaksanaan ANC terdapat kesepakatan adanya standar minimal yaitu dengan pemeriksaan ANC 4 kali selama kehamilan berikut:1 a. Minimal 1 kali pada trimester 1 (0-13 minggu) b. Minimal 1 kali pada trimester II (14-28 minggu) c. Minimal dua kali pada trimester III (29-36 minggu) Selain itu risiko tinggi ibu hamil dengan faktor risikonya dapat diamati pada setiap kontak dilakukan skrining berulang secara periodik berulang 6 kali selama kehamilan sampai hamil genap 6 bulan. Dimana tujuan skrining ini salah satunya memberi penyuluhan dalam bentuk komunikasi informasi edukasi khususnya mengenai keputusan untuk perencanaan tempat dan penolong menuju persalinan aman. Pada pasien ini kuantitas ANC sudah termasuk kriteria dalam kunjungan ANC.1 Pada pasien ini ANC sangat diperlukan karena pada peninjauan skor faktor risiko, pasien memiliki riwayat kegagalan kehamilan sebelumnya, riwayat BSC 1 kali dan gemelli dengan skor total 16, sehingga pada interpretasi faktor risiko kehamilan, pasien ini termasuk Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST). Sehingga perlu Rujukan Dini Berencana (RDB) disertai dengan Rujukan Tepat Waktu (RTW). Pada pasien ini seharusnya pada kehamilan trimester III / aterm harus dirujuk ke Rumah Sakit. 4.5 Bagaimana prognosis pada pasien ini? Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dikarenakan pada pasien ini tidak terlambat dalam tatalaksana dan gejala perbaikan akan tampak jelas setelah terminasi persalinan. Perubahan patofisiologik akan segera mengalami perbaikan. Turunnya tekanan darah mendekati normal merupakan gejala perbaikan.1 52 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat, yaitu G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala. 2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat yaitu diberikan terapi farmakologis MgSO4, nifedipin serta terminasi kehamilan secara perabdominal (section cesarean). 3. Sistem rujukan pada pasien ini tidak tepat, karena pada pasien ini tidak ada rujukan dari pelayanan kesehatan primer 4. Secara kuantitas ANC pada pasien ini dikatakan sudah baik, dilihat dari jumlah kunjungan pasien yang terhitung sebanyak 11 kali. Namun secara kualitas belum dikatakan baik karena pasien sejak awal kehamilan telah diketahui termasuk Faktor Risiki II (FR II) dengan AGO (Ada Gawat Darurat Obstetrik) sehingga dari awal perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan utama seperti Rumah Sakit Umum. 5. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, ditinjau dari penurunan tekanan darah menuju normal setelah dilakukan terminasi kehamilan Saran 1. Meningkatkan kewaspadaan pelayanan kesehatan primer terhadap ibu hamil dengan faktor risiko PEB, agar dapat dilakukan penegakan diagnosa yang tepat dan lengkap, serta faktor risiko sebaiknya dapat dideteksi secara dini oleh pelayanan kesehatan primer sehingga pasien segera mendapatkan tata laksana yang cepat dan tepat. 53 2. Perlu adanya pertimbangan dan rekomendasi dari pihak puskesmas atau posyandu mengenai RS rujukan terdekat dengan syarat RS tujuan memiliki fasilitas intensif untuk ibu dan bayi mengingat risiko yang sangat tinggi pada pasien. 3. Seharusnya pihak puskesmas atau posyandu melakukan follow up khusus pada pasien ini dikarenakan risiko kehamilan yang dimiliki cukup tinggi, seharusnya memberikan rujukan ke RS rujukan terdekat. 4. Penatalaksanaan pada pasien ini akan lebih baik jika ditangani oleh multidisiplin ilmu dan sesuai protap yang berlaku, karena pasien termasuk dalam Rujukan Dini Berencana (RDB) dilihat dari skor peninjauan risiko kehamilan sehingga dapat ditatalaksana lebih awal. 5. Baik atau buruknya prognosis pada pasien ini sangat berpengaruh pada tepat atau tidaknya tatalaksana yang dilakukan oleh DPJP. 54 DAFTAR PUSTAKA 1. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Sayifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016. Hal. 530-59 2. UNICEF-Maternal Mortality. Published in Februari 2017. Available in: https://data.UNICEF.org/topic/maternal/health/maternal-mortality/ 3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2017. Hal 151-2. 4. Profil Kesehatan Riau tahun 2018. Hal.19-20. 5. Winkjosastro H, Ssaifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Preeklampsia dan eklampsia. In : Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007. 6. Dhananjay BS. A study factor affecting perinatal mortality in eclampsia. PBS. 2009; 22(5):2-5. 7. Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: diagnosis dan tatalaksana pre-eklampsia. Jakarta : 2016 8. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan (Keempat). PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2016 9. Indriani N. Analisis Faktor-faktor yang berhubungan dengan preeklamsia/eklamsia pada ibu bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal. [skripsi]. Universitas Indonesia. Jakarta, 2011 10. Budjang R.F. Hipertensi dalam Kehamilan In Wiknjosastro, H. Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2010 11. WHO, Geneva, Mother-Baby Package, Implementing safe Motherhood in Countries, 1995 12. Rochjati P. Buku skrining antenatal pada ibu hamil, 2003 13. Walsh. Buku Ajar Kebidanan Komunitas: EGC; 2017. 55 14. Rochyati p. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil: Pengenalan Faktor Risiko; 2003 15. Widarta GD, Laksana MAC, Sulistyono A, Purnomo W. Deteksi Dini Risiko Ibu Hamil dengan Kartu Skor Poedji Rochjati dan Pencegahan Faktor Empat Terlambat. Majalah Obstetri & Ginekologi. 2015;23(1). 16. Riski K, Inayatul FE, Fitriani MI. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Efektifitas Pendidikan Kesehatan Tentang Kehamilan Risiko Tinggi terhadap Pengetahuan Ibu Hamil. 2012. 17. Rustam M. Sinopsis Obstetri. Edisi ke – 2. Jakarta; 1998. 18. Kurniawwati DO, Sugiarti, Pontoh* AH. Profil Ibu Hamil Risiko Tinggi Berdasarkan Umur dan Paritas. 2015. 19. Pratiwi CS. Faktor Risiko Pada Ibu Hamil di Kota Yogyakarta tahun 2013. 20. Manuaba. Ilmu Kebidanan Penyakit dan Keluarga Berencana. Jakarta;1998. 21. Saifuddin. 2014. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 22. Adrianz G. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Sayifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016.. 23. Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.; 2014. 24. Mufdlilah. Antenatal Care Focused. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009. 25. RI K. Report on The Achievement of the Millenium Development Goals in Indonesia 2011: Kementrian Kesehatan RI; 2012. 26. R PA. Panduan Praktikum Keperawatan Maternitas; 2016. 27. Fitrayeni, Suryati, Faran RM. Penyebab Rendahnya Kelengkapan Kunjungan Antenatal Care Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pegambiran. jurnal kesehatan masyarakat andalas. 2015;10(1). 28. Sriwahyu A, Yusad Y, Mutiara E. Faktor yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Antenatal Care (Anc) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2013. 2013.http://repository.unimus.ac.id 56 29. Rauf NI, Balqis MYA. Faktor yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Care Di Puskesmas Minasa Upakota Makassar Tahun 2013. . 2013. 30. Hasana U, Darmawansyah, Amir MY. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Antenatal Care Di Puskesmas Antara Kota Makassar. 2012. 31. Titik Wijayanti, Setiyaningsih A, Nurhidayati N. Analisis Pengaruh Penerapan Standart Pelayanan Kehamilan Terhadap Kunjungan Ibu Hamil Di Puskesmas Gemolong Sragen Tahun 2011. jurnal kebidanan. 2013;5(2). 32. Hidayah L, Handayani OWK, Indriyanti DR. Pelayanan Kesehatan Maternal Dalam Akselerasi Penurunan Maternal Mortality. Public Health Perspective Journal. 2016;1(1). 33. 2010 KRDJBKMPPATt. Jakarta 2010. 34. Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.; 2014. 35. RI K. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta 2012. 36. Norma Ella, Febriani I, Fandi Z, Rismawati U. Cakupan Kunjungan Pertama Ibu Hamil Pada Pelayanan Antenatal. Jurnal Ilmiah Mahasiswa.2012;2(1). 37. Sulistyawati. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. jakarta: SalembaMedika; 2010. 38. Indonesia KKR. Buku Kesehatan Ibu dan Anak; 2015. 39. Anitasari YI, Widiyastuti NE. Hubungan Cakupan K4 Bidan Dengan Deteksi Dini Resiko Tinggi Kehamilan Di Kecamatan Rembang Jurnal kebidanan. 2012;4(2). 40. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe SJ, Hoffman BL, Casey BM, Spong CY. William Obstetrics 25thed. United States: Mc-Graw Hill Education; 2018. 41. Myrtha R. Penatalaksanaan Tekanan Ddarah pada Preeklampsia. 2015. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 42. Hal; 262-66. 42. Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery: an admission scoring system. Obstet Gynecol 90 : 907-10. 57