Uploaded by indyduharta

LapKas OBS

advertisement
Laporan Kasus
G3P1A1H1 GRAVID 38-40 MINGGU INPARTU KALA 1 FASE
LATEN DENGAN PEB + BSC 1X + JANIN GEMELLI HIDUP
INTRAUTERINE PRESENTASI KEPALA-KEPALA
Disusun Oleh:
Amelinda
Defrika Muharani
Indy Duharta
Milano Wibi Takbiranda
Rinanda Dwi Octavia
Sakinah Ikhwan
Syarifah Anisa
Widya Putri
Yodwin Iskandar
Pembimbing:
dr. Noviardi, Sp.OG (K)
dr. Febriani, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNRI / RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU 2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.1 Menurut World Health
Organization (WHO) dihimpun melalui data United Nations of Children’s Fund
(UNICEF) pada tahun 2014 menyatakan bahwa salah satu penyebab tersering
kematian ibu (maternal death) yang terjadi didunia adalah hipertensi dengan
persentase 14%.2
Di Indonesia pada tahun 2017, Secara umum terjadi penurunan kematian
ibu dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Terdapat 5 penyebab
kematian ibu terbesar. Yaitu perdarahan (30,3%), kemudian diikuti dengan
hipertensi (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama (1,8%), abortus (1,6%), dan
lainnya (40,8%).3
Pada provinsi Riau Angka Kematian Ibu (AKI) di tahun 2018 mengalami
penurunan yaitu sekitar 7.8 per 100.000 kelahiran hidup, hal ini disebabkan oleh
telah meningkatnya cukupan pelayanan Antenatal Care (ANC) dam meningkatnya
cakupan persalinan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Sementara persentase
penyebab kematian ibu di provinsi Riau pada tahun 2017 yang tertinggi adalah
karena perdarahan 50 kasus, hipertensi 26 kasus, infeksi 1 kasus dan lain lain 44
kasus.4
Banyak faktor yung menyebabkan preeklampsia dan eklampsia yang
mempengaruhi luarannya. Diantara faktor - faktor yang ditemukan sulit
ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.5 Dhananjay (2009)
menyebutkan preeklampsia antepartum, usia gestasi <32 minggu, konvulsi lebih
dari lima, tekanan darah >160/100 mmHg, level albumin urin >1+, kelahiran
pervaginam, BBLR dan skor Apgar 5 menit yang rendah mempengaruhi keluaran
perinatal. Tekanan darah mempunyai pengaruh yang signifikan (p<0.05) terhadap
kematian perinatal. Sedangkan Rajasri G Yaliwal menyebutkan mortalitas
2
perinatal tinggi pada pasien dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg. tekanan
darah diastolik > 110 mmHg, hayi dengan berat badan lahir 2000 gram dan urin
albumin > 2+ Mortalitas perinatal rendah di pasien yang melahirkan selama <6
jam setelah konvulsi, < 6 jam setelah permulaan treatmen, dan bayi yang
dilahirkan dengan operasi caesar.6
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1
Identitas Pasien
Nama
: Ny. NBY
Umur
: 32 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Suku
: Melayu
Status
: Menikah
Alamat
: Jl. Cipta karya, Panam.
No RM
: 01031817
Masuk RS tanggal 22 Desember 2019 pukul 22.30 WIB di VK IGD
2.2
Anamnesis
Anamnesis (dilakukan tanggal 22 Desember 2019 secara alloanamnesis).
Keluhan utama
Nyeri pinggang menjalar ke ari- ari
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke VK IGD dengan keluhan nyeri pinggang menjalar ke ariari sejak 14 jam SMRS. Nyeri pinggang menjalar ke ari- ari dirasakan semakin
kuat, lama dan sering. Keluar lender bercampur darah + 6 jam SMRS. Keluar airair dari jalan lahir yang tidak tertahankan (-). Riwayat trauma (-), diurut-urut
disangkal. Riwayat koitus tidak ada. Pasien mengaku hamil 9 bulan, dengan
HPHT 26 Maret 2019, dan TP 2 Januari 2020. Usia Kehamilan 38-39 minggu.
Pasien mengaku memeriksakan kehamilannya 4 kali ke bidan, 1 kali ke SpOG dan
dilakukan USG dan dikatakan janin kembar dan dalam keadaan baik. Pasien biasa
memeriksakan kehamilannya di posyandu sebanyak 10 kali selama kehamilan. .
Primary survey :
Airway : clear
Breathing : RR 35x/menit, SpO2 84%, diberikan O2 dengan NRM 10l/mnt  rr
28x/menit, SpO2 96%
4
Circulation : TD : 190/110 mmHg, HR 128x/menit, diberikan nifedipin oral
dengan target MAP turun 20%. Urin (+), gross hematuria (+) (tidak bisa
melakukan cek protein urin). Diberikan MgSO4 40% 4gr loading dose,
dilanjutkan maitanance dose 2gr/jam  TD 160/100 mmHg.
Disability : GCS 8, reflex patella (+/+), kejang (+)  diberikan MgSO4 2gr bolus
pelan.
Exposure : vulva dan uretra dalam batas normal, terpasang DC  oligouri ( 50cc
gross hematuria ), protein uri (+3) ( dari RS Aulia). Suhu 34,6 C.
Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), alergi (-), asma (-).
Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), alergi (-), asma (-), penyakit kejiwaan
(-).
Riwayat haid
Menarche usia 11 tahun, lama haid 5-7 hari, siklus teratur 28 hari, ganti pembalut
2-3 kali per hari.
Riwayat Hamil Muda
Riwayat Mual (+) Muntah (+) tetapi tidak sampai dirawat. Riwayat perdarahan
dari jalan lahir (-)
Riwayat Hamil Tua
Riwayat Mual (-) Muntah (-), riwayat perdarahan dari jalan lahir (-)
Riwayat ANC
Pasien ANC 4 kali ke bidan di Posyandu, dan 1 kali ke dokter SpOG. Dilakukan
USG dikatakan bahwa janin kembar dan dalam kondisi baik. Saat kontrol di
dokter Sp.OG pasien memiliki tekanan darah tinggi (141/81 mmHg), keluhan saat
itu kaki pasien bengkak. Tabel ANC dibawah ini:
5
Tgl
20/7
2019
20/8
2019
Keluhan
sekarang
Tekanan
darah
(mmHg)
Berat
Badan
(Kg)
Umur
kehamilan
(minggu)
Tinggi
fundus
(cm)
Letak janin
(kep/su/li)
Denyut
Jantung
Janin /
menit
Kaki
bengkak
-
Mual
48
Sering
ngilu di
simfisis
Demam,
gusi sakit,
muntah,
pusing
Sakit gigi
48
20-21
Setinggi
pusat
letkep
(+)
107/64
49
22 minggu
3 hari
2 jari diatas
pusat
letkep
148
113/67
48
148
110/60
48
3 jari diatas
pusat
3 jari diatas
pusat
letkep
ANC
28 minggu
6 hari
29 minggu
Letkep
142
29/10
2019
ANC,
Batuk
90/70
46
30-32
minggu
pertengahan
px dengan
pusat
Letkep
142
13/11
2019
ANC (+)
Kaki
bengkak
120/85
55
32 minggu
4 hari
pertengahan
px dengan
pusat
Letkep
148
20/11
2019
ANC
120/69
54
33 minggu
4 hari
3 jari
dibawah px
Letkep-letli
(gemelli)
148 &
146
31/8
2019
18/10
2019
19/10
2019
Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium
Tindakan
(pemberian
TT, Fe,
terapi,
rujukan,
umpan balik
Simeco VI 3
x1
-
Lanjutkan
obat
Hb : 11,2 g/dl
HIV : non
reaktif
Hep B : non
reaktif
Sifilis : non
reaktif
+
SF
Obat ada,
lanjutkan
Nasihat yang
disampaikan
ANC teratur
Cek lab dan
evaluasi
Istirahat yang
cukup
Kapan
harus
kembali
Keterangan
Posyandu
Posyandu
31/9
2019
Posyandu
18/11
2019
19/11
2019
Tanda bahaya
kehamilan
Istirahat yang
cukup
Tanda bahaya
kehamilan
Istirahat yang
cukup
Posyandu
Posyandu
29/11
2019
Tanda bahaya
kehamilan
Istirahat yang
cukup
Tanda bahaya
kehamilan
Istirahat yang
cukup
Posyandu
20/11
2019
Posyandu
27/11
2019
6
Tgl
Keluhan
sekarang
Tekanan
darah
(mmHg)
Berat
Badan
(Kg)
Umur
kehamilan
(minggu)
Tinggi
fundus
(cm)
Letak janin
(kep/su/li)
Denyut
Jantung
Janin /
menit
7/12
2019
Pusing,
dada
menyesak
135/92
52
36 minggu
2 hari
2 jari
dibawah px
Letli –
letkep
(gemelli)
145 &
140
22/12
2109
Nyeri
Perut
bagian
bawah
130/80
53
38 minggu
2 hari
2 jari
dibawah px
Letkep –
letli
140 &
140
Kaki
bengkak
Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium
Tindakan
(pemberian
TT, Fe,
terapi,
rujukan,
umpan balik
Simeco VI
3x1
Gunaseta
500 mg VI
Obat lanjut
Nasihat yang
disampaikan
Tanda bahaya
kehamilan
Istirahat yang
cukup
Tanda
persalinan,
istirahat yang
cukup
Kapan
harus
kembali
Keterangan
Posyandu
14/12
2019
Posyandu
29/12
2019
Tabel 2.1 Kunjungan ANC pasien yang tertera pada buku KIA
Kesan :
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di posyandu dan 1 kali ke dokter SpOG. Tetapi setelah diketahui pasien memiliki kehamilan
gemelli, pasien tidak langsung dilakukan Rujukan Dini Berencana (RDB) ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai, karena pasien telah
memiliki faktor risiko yaitu riwayat abortus, bekas SC 1 kali dan kehamilan gemelli dengan total jumlah skor Penilaian Risiko adalah 16.
Pasien termasuk dalam kategori Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST)
7
Riwayat perkawinan
Menikah satu kali, tahun 2017 (usia 24 tahun).
Riwayat persalinan : G3P1A1H1
1. 2015 / 16 minggu / RS Sansani / Abortus / Kuretase / SpOG
2. 2016 / 36-37 minggu / RS Sansani / SC a.i panggul sempit / SpOG / 3300
gr / Laki-laki
3. Hamil saat ini
Riwayat pemakaian kontrasepsi :
Pasien menggunakan kontrasepsi suntik selama 2 tahun dari tahun 2016 – 2018
akhir.
Riwayat operasi sebelumnya
SC 1 kali pada tahun 2016 atas indikasi panggul sempit.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien seorang Ibu rumah tangga. Suami bekerja sebagai buruh.
2.3
Pemeriksaan Fisik (17/12/2019)
2.3.1
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Komposmentis
TD
: 190/110 mmHg
Nadi
: 74 kali/menit
Napas
: 20 kali/menit
Suhu
: 36,80C
BBSH
: 45 kg
BBH
: 53 kg
TB
: 147 cm
Gizi
: 20,8 kg/m2 (Normoweight)
8
Kepala
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil anisokor.
Thoraks
: Paru
 Gerakan dinding dada simetris, suara napas
vesikuler (+/+), ronkhi (+/-), wheezing (-/-)
Jantung
 BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Status ginekologis
Genitalia
: Status ginekologis
Ekstremitas
: Akral hangat, CRT <2 detik, edema (+/+), ekimosis (-/-),
purpura (-/-), refleks Babinski (-/-), bekas tusukan infus (+)
tangan kiri.
2.3.2 Status obstetri
Muka
: Cloasma gravidarum (+)
Mammae
: Dalam batas normal
Abdomen
: Status lokalis
Inspeksi  Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm.
Palpasi
 Pemeriksaan leopold
L1 : Teraba tinggi fundus uteri 1 jari di bawah processus simpoideus, teraba
massa lunak, kurang bulat, tidak melenting. / teraba massa lunak, kurang
bulat, tidak melenting
L2 : Teraba tahan memanjang pada sisi kanan dan kiri ibu.
L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting. / teraba massa bulat, keras, melenting
L4 : Divergen 4/5
TFU : 32 cm, TBJ : 3255 gram,
Kontraksi (+) 2x/10’/35” ,
DJJ terdengar di dua tempat  kanan : 120x/menit, kiri : 138x/menit
Genitalia eksterna:
 Inspeksi : Uretra dan vulva tenang.
Genitalia interna / Pemeriksaan dalam:
Inspekulo: Tidak dilakukan
9
Vaginal Toucher (saat pasien stabil) :
-
Porsio livide, konsistensi lunak, arah anterior, OUE terbuka 1 cm, ketuban
(+). Terbawah kepala-kepala
Pelvimetri Klinis:
Promontorium teraba
Line inominata teraba 1/3 kanan anterior – 1/3 kiri anterior
Os Sacrum konkaf
Os Koksigis immobile
Arcus Pubis <90o
Pemeriksaan penunjang :
USG (vk IGD):
Janin gemelli hidup intrauterine, presentasi kepala-kepala, FHR (+), FM (+)
Biometri : BPD 7,65 cm / 7,65 cm , HC : 29,84 cm / 29,84 cm , OFD : 10,61 cm /
10,61 cm, AC : 30,65 cm / 31,33, FL : 6,42 cm / 6,42 cm, EFW : 2287 gram /
2369 gram.
Cairan ketuban cukup, MVP 3,2
Plasenta implantasi di fundus, maturasi grade 2-3
10
Kesan : Janin gemelli hidup intrauterine presentasi kepala-kepala usia kehamilan
38-40 minggu.
11
2.3
Diagnosis Kerja
G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB +
BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala.
2.4 Tata Laksana
-
Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc
(4 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 15-20 menit (initial dose)
dilanjutkan sisanya 300 cc (6 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 6 jam
/ 16 tetes per menit (maintanance dose).
-
Inj. Cefazolin 2 gr (profilaksis)
-
Nifedipine 3 x 10 mg
-
Terminasi : SCTTP CITO
-
Konsultasi Anestesi untuk persiapan operasi
2.5 Rencana Pemeriksaan
Cek darah rutin, kimia klinik, hemostasis, imunologi
Hasil Pemeriksaan laboraturium :
Hasil Darah rutin (22/12/2019) pukul 23.18 WIB
Hb
:
12,5 gr/dl
HT
:
38,4 %
Leukosit
:
9.620 /ul
Trombosit
:
190.000/ul
MCH
:
26,4 pg
MCV
:
81,2 fl
MCHC
:
32,6 g/dl
Kimia darah (22/12/2019)
GDS
:
75 mg/dl
Hemostasis (22/12/2019)
PT
:
11,5 detik
12
INR
:
0,80
APTT
:
35,7 detik
Imunologi (22/12/2019)
HBsAg
: non reaktif
HIV kualitatif : non reaktif
Urinalisa (22/12/2019)
Urin Lengkap
Makroskopis
Warna
: kuning muda
Kejernihan
: jernih
Kimia Urin
Protein
: +2
Glukosa
:-
Bilirubin
:-
Urobilinogen : 0,2
pH
: 6,5
BJ
: 1.005
Darah
:-
Keton
:-
Nitrit
:-
2.5
Diagnosis
G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB +
BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala.
Laporan operasi (22-12-2019)
Diagnosis pra operasi: G3P1A1H1 gravid 38-39 minggu inpartu kala 1 fase laten
+ PEB + BSC 1 kali, Janin hidup gemelli intra uterin, presentasi kepala-kepala
Diagnosis post operasi: P2A1H3 post SCTPP atas indikasi PEB + BSC 1 x +
Gemelli presentasi kepala-kepala
13
1. Pasien terlentang dimeja operasi dalam anestesi spinal
2. Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya dengan larutan
betadine 10 % didaerah abdomen diperluas ke daerah genitalia eksterna
dan sepertiga proksimal femur bagian depan dan dalam
3. Daerah operasi diperkecil dengan menutup duk steril
4. Dilakukan insisi secara franensteil selebar 10 cm dibekas luka operasi
lama, dinding abdomen dibuka lapis demi lapis
5. Saat peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarus
6. Insisi semilunar SBR disayat, ditembus dan dilebarkan secara tumpul,
cairan ketuban jernih, jumlah cukup.
7. Dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan pertama BB 2500 gram PB
45 cm, AS 7/8, DS 2. dan dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan
kedua BB 1700 gram, PB 40 cm, AS 8/9, DS 2.
8. Dengan tarikan ringan, plasenta dikeluarkan lengkap, dengan berat 200
gram
9. Uterus dikeluarkan dari rongga abdomen, cavum uterus dibersihkan,
dengan kassa dan sisa selaput.
10. Dilakukan insersi IUD intra-operasi.
11. Dilakukan penjahitan myometrium, dua lapis dengan jahitan jelujur,
dengan benang romic catgut nomor 1. Diyakini hemostasis baik, kedua
tuba dan ovarium dalam batas normal.
12. Uterus dimasukkan kembali ke dalam rongga abdomen
13. Dilakukan eksplorasi dan pembersihan rongga abdomen dari darah
14. Diyakini kondisi uterus baik, dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
15. Tindakan selesai
Jumlah perdarahan 150 cc, urin terlihat jernih
Penyulit: Adhesi
Tatalaksana post op:
1. Observasi KU, TTV, perdarahan, dan kontraksi
2. IVFD RL 20 tpm + Oksitosin 20 IU dan IVFD RL 35 tpm + MgSO4 40 %
2 gram/jam menetap selama 24 jam
14
3. Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr
4. Metildopa 3 x 500 mg
5. Nifedipine 3 x 10 mg
6. Pronalges Supp. 2 x 100 mg
7. Diet MC – ML – MK
8. Mobilisasi bertahap
Follow up
Senin 23/12/2019
Pasien post SCTPP dirawat di teratai 1
S: Nyeri pada bekas operasi
O: kes: CM, ku: TSS, TD: 140/70 mmHg, HR: 80x/I, RR: 20x/I, T: 36,5 C
B: asi (-)
U: TFU 2 jari dibawah umbilicus
B: BAK (+), BAB (-)
L: lochea rubra
E: M: mobilisasi bertahap
A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala
P:
1. IVFD RL 20 tpm + Oksitosin 20 IU dilanjutkan dengan IVFD RL 35 tpm
+ MgSO4 40 % 2 gram/jam
2. Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr
3. Asam Mefenamat 3 x 500mg
4. Metildopa 3 x 500 mg
Selasa 24-12-2019
Diagnosa : P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi
kepala- kepala POD II
S: Nyeri pada bekas operasi
O: TD: 140/90 mmHg, HR: 76x/I, RR: 20x/I, T: 36,5 C.
B: ASI (-)
15
U: TFU 2 jari dibawah umbilicus
B: BAK (+), BAB (-)
L: lochea rubra
E: M: mobilisasi bertahap
A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala
P:
1. Cefadroxil tab 2 x 500 mg
2. Nifedipine 3 x 10 mg
3. Metildopa 3 x 500 mg
4. Asam Mefenamat 3 x 500 mg
Rabu 25-12-2019
Diagnosa : P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi
kepala- kepala POD III
S: Nyeri pada bekas operasi
O: TD: 120/70 mmHg, HR: 80x/I, RR: 22x/I, T: 36,5 C.
B: ASI (+)
U: TFU 2 jari dibawah umbilicus
B: BAK (+), BAB (-)
L: lochea rubra
E: M: mobilisasi bertahap
A: P2A1H3 post SCTPP a/i PEB+ BSC 1x+ gemelli+ presentasi kepala- kepala
POD III
P: Pasien pulang dengan disarankan kontrol 1 minggu lagi di Poli Kebidanan 7
hari lagi (2/1/2020). Dengan obat pulang:
1. Cefadroxil tab 3 x 500 mg (5 hari)
2. Asam Mefenamat 3 x 500 mg (5 hari)
3. Metildopa 3 x 500 mg
4. Hemafort 1 x 1
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu.1 Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan
proteinuri
yang
baru
terjadi
pada
kehamilan
(new
onset
hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi
definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi
disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.7
Preeklampsia berat merupakan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria
lebih dari 5 g/24 jam.8
3.2
Epidemiologi
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan
lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan
di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih
17
merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas
pelayanan kesehatan selama kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih
merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara.7
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%).3 WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju.5 Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7 Kecenderungan yang ada dalam
dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.7
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
2017, Terdapat 5 penyebab kematian ibu terbesar. Yaitu perdarahan (30,3%),
kemudian diikuti dengan hipertensi (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama (1,8%),
abortus (1,6%), dan lainnya (40,8%).3
Pada provinsi Riau Angka Kematian Ibu (AKI) di tahun 2018 mengalami
penurunan yaitu sekitar 7.8 per 100.000 kelahiran hidup, hal ini disebabkan oleh
telah meningkatnya cukupan pelayanan Antenatal Care (ANC) dam meningkatnya
cakupan persalinan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Sementara persentase
penyebab kematian ibu di provinsi Riau pada tahun 2018 yang tertinggi adalah
karena perdarahan 50 kasus, hipertensi 26 kasus, infeksi 1 kasus dan lain lain 44
kasus, sehingga kasus hipertensi dalam kehamilan menjadi kasus nomor dua
tertinggi yang menyebabkan kematian pada ibu.4
3.3
Patofisiologi
Patogenesis dan patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi fungsi
organ-organ pada preeklampsia telah banyak dibicarakan, namun belum ada yang
memuaskan. Terdapat beberapa patogenesis yang menerangkan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan antara lain:8
18
Teori Iskemik Plasenta
Berbagai
bukti
eksperimental
dari
pemeriksaan
histopatologis
menunjukkan bahwa menurunnya perfusi tropoblastik merupakan perubahan
patofisiologi yang paling dini terjadi dan konsisten pada preeklampsia. Bahkan
timbulnya preeklampsia pada kehamilan abdominal dan mola menunjukkan
bahwa faktor uterus dan janin tidak dibutuhkan dalam mekanisme tersebut. Sejak
dini penderita memperlihatkan perubahan morfologis di uterus sebagai berikut:8
1. Arteri spiralis yang menjamin perfusi ruang intervillous di plasenta gagal
mengalami perubahan morfologi yang layaknya terjadi dalam kehamilan normal
seperti meningkatnya diameter vaskuler sekurang-kurangnya 4 kali serta
menghilangnya komponen muskuler dan elastik vaskuler. Pada kehamilan normal
morfologi vaskuler tersebut meluas melampaui jaringan desidua dan memasuki
lapisan miometrium.
2. Vaskuler mengalami oklusi fibrinoid dan invasi foal cell. Gambaran
histopatologik ini amat mirip dengan yang nampak pada proses penolakan
allograft yang disebut atherosis. Atherosis yang meliputi 1/10 daerah implantasi
plasenta didapatkan pada akhir trimester I kehamilan nulipara. Perubahan di atas
menyebabkan terjadinya penurunan perfusi tropoblastik. Pada preeklampsia
proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena
disebabkan 2 hal yaitu, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel
trofoblas secara normal, tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga
bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding
muskuloelastik yang relaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.
Disamping itu juga terjadi atherosis akut pada arteri spiralis yang dapat
menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi.8
Teori Disfungsi Endotel
Teori mengenai patogenesis preeklampsia yang relatif baru yaitu teori
mengenai disfungsi endotel. Disfungsi endotel diduga menjadi dasar dari
timbulnya manifestasi klinis pada preeklampsia. Teori ini tidak lepas dari teori
patogenesis preeklampsia yang lain, salah satunya yaitu teori iskemia plasenta.
19
Pada saat plasenta mengalami iskemia, maka plasenta akan menghasilkan
peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk ke dalam dan terikat dengan
lipoprotein, khususnya low density lipoprotein (LDL).19 Dalam kadar yang
rendah peroksida lipid merupakan peristiwa normal dalam kehidupan sel atau
jaringan.8
Pada preeklampsia berat dijumpai perubahan ultrastruktur mitokondria
pada pembuluh darah arteri uterina dan jaringan plasenta. Mitokondria adalah
sumber oksigen radikal dan diperkaya oleh asam lemak tak jenuh. Maka plasenta
dapat merupakan sumber terbesar dari produksi peroksida lipid pada kehamilan.
Proses peroksidasi lipid meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan,
bahkan pada akhir kehamilan aktivitasnya menjadi dua kali lipat. Dalam keadaan
normal peroksida lipid selalu dijaga dalam keadaan seimbang melalui peran
antioksidan. Bila kadar antioksidan rendah maka peroksidasi lipid menjadi tak
terkendali dan timbulah keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Hal tersebut
ditunjukkan oleh beberapa peneliti, dimana pada preeklampsia terjadi penurunan
kadar antioksidan dan peningkatan produk hasil peroksidasi lipid.8
3.4
Faktor Risiko
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu penyulit kehamilan yang
belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Tetapi beberapa penelitian
menyimpulkan beberapa Faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia,
antara lain:8,9
a. Faktor genetik: bila ada riwayat preeklamsia pada ibu, anak perempuan,
saudara perempuan, cucu perempuan, dari seorang ibu hamil, maka ia akan
beresiko 2-5 kali lebih tinggi mengalami preeklamsia dibandingkan bila
riwayat tersebut terdapat pada ibu mertua atau saudara ipar perempuannya.
b. Faktor imunologis: beberapa penelitian menemukan bahwa durasi hubungan
seksual pra konsepsi dan jumlah unprotected intercourse berbanding terbalik
dengan kejadian preeklamsia/eklamsia. Bila unprotected intercourse jarang
dan tidak lama durasinya maka akan meningkatkan resiko terjadinya
preeklamsia/eklamsia.
20
c. Faktor graviditas: pada umumnya preeklamsia diperkirakan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama. Bila kehamilan sebelumnya normal, maka insidens
preeklamsia akan menurun, bahkan abortus pada kehamilan sebelumnya
merupakan Faktor protektif terhadap kejadian preeklamsia. Hal ini disebabkan
pada primigravida pembentukan antibody penghambat belum sempurna
sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia.
d. Faktor umur: umur merupakan bagian dari status reproduksi yang penting.
Umur berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga
mempengaruhi status kesehatan seseorang. Umur yang baik untuk hamil
adalah 20-35 tahun menurut Depkes RI tahun 2000. Terdapat peningkatan
resiko terjadinya preeklamsia pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun.
e. Faktor usia gestasi: preeklamsia paling sering ditemukan pada usia kehamilan
di trimester kedua.
f. Faktor indeks masa tubuh: sudah diketehui secara umum bahwa wanita
obesitas mempunyai resiko mengalami preeklamsia/eklamsia 3,5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita yang berat badannya ideal dan kurus.
g. Faktor bayi: insidens preeklamsia tiga kali lebih tinggi pada kehamilan
kembar dibandingkan dengan kehamilan tunggal.
h. Faktor ras; resiko preeklamsia ringan dihubungkan dengan ras kulit hitam,
namun untuk preeklamsia berat ras tidak menunjukan hubungan yang
signifikan.
i. Faktor riwayat penyakit: peningkatan resiko preeklamsia/eklamsia dapat
terjadi pada ibu yang memiliki riwayat hipertensi kronis, diabetes, dan adanya
riwayat preeklamsi/eklamsia sebelumnya.
j. Faktor lingkungan: Faktor pendidikan dan pekerjaan ibu hamil juga
mempengaruhi terjadinya preeklamsia/eklamsia.
Menurut PNPK 2016 risiko preeklampsia berat dapat di dideteksi pada
kunjungan Antenatal Care (ANC) pertama yaitu:7
Anamnesis
a. Umur > 40 tahun
21
b. Nulipara
c. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
e. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
f. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
g. Kehamilan multiel
h. IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus)
i. Hipertensi kronik
j. Penyakit ginjal
k. Sindrom antifosolipid
l. Kehamilan dengan inseminasi donor sprema, oosit atau embrio
m. Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik
a. Indeks Massta Tubuh >35 kg/m2
b. Tekanan darah diastolik >80 mmHg
c. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
3.5
Diagnosis
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ.
Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan
dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan
adanya protein namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:7
1. Trombositopenia : kadar trombosit <100.00 / microliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL
3. Gangguan liver : meningkatnya konsentrasi transaminase 2 kali normal
atau adanya nyeri di daerah epigastric / regio kanan atas abdomen
4. Edema paru
22
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala dan gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin : oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkannya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV).
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria
gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :7
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama.
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan ARDV
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin
masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia
(preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi
preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang
berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan dalam waktu singkat.7
23
3.6
Tatalaksana
Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang
cepat dan intensif dari pre-eklampsia.8
A. Sikap terhadap Hipertensi: pengobatan medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan, karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
Sebab dari kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
memnentukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid
(pulmonary capillary wedge pressure). Oleh karena itu, monitoring input cairan
(melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat
penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan
yang dimasukkan dan dikeluarkan. Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera
dilakukan tindakan koreksi cairan, yaitu dapat diberikan berupa 5% Ringerdekstrose atau cairan garam faali, dengan jumlah tetesan 125 cc/jam atau infus
dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer laktat (60-125
cc/jam) 500 cc.
Pasien juga dipasangi kateter foley untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria
terjadi bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.8
Pemberian obat antikejang
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps, sehingga pada pemberian
magnesium sulfat, akan menggeser kalsium yang kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat menjadi pilihan pertama untuk kejang pada preeklampsia atau
eklampsia. Cara pemberian magnesium sulfat antara lain:8
24
Pemberian regimen MgSO4
Terdiri dari 3 cara pemberian yang dapat diberikan sesuai
pertimbangan petugas medis.
1.Diberikan secara IV-IM
a) IV- ambil MgSO4 40% sebanyak 4gr (10 cc) dilarutkan dalam 10 cc Aquadest.
Cairan RL/ NaCl kemudian disuntikkan secara pelanpelan selama 5 menit.
b) IM- ambil MgSO4 40% sebanyak 5gr (12.5 cc) suntikan di M. Vastus lateralis
dextra dan sinistra.
2. Diberikan secara IV-Drip
a) IV- ambil MgSO4 40% sebanyak 4gr (10 cc) dilarutkan dalam 10 cc Aquadest.
Cairan RL/ NaCl kemudian disuntikkan secara pelan pelan selama 5 menit.
b) Drip- masukkan 6gr (15 cc) ke dalam cairan RL 500 cc selama 6 jam (20 tetes
per menit).
3. Sesuai Protap RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc (4
gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 15-20 menit (initial dose) dilanjutkan
sisanya 300 cc (6 gram MgSO4) dihabiskan dalam waktu 6 jam / 16 tetes per
menit (maintanance dose).
Syarat-syarat pemberian MgSO4
a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 g (10% dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit.
b. Reflek patella (+) kuat
c. Frekuensi nafas >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress pernafasan.
d. Produksi urin >100 cc dalam 4 jam terakhir > 30cc/jam dalam 6 jam terakhir
atau 0.5 cc/kgbb/jam
Magnesium sulfat dihentikan bila
a. Ada tanda-tanda intoksikasi (refleks patella negatif, pernapasan <12x/menit,
sesak nafas, produksi urin <30 cc/jam
b. Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
25
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
a. Dosis terapeutik: 4-7 mEq/L (4,8-8,4 mg/dl)
b. Hilangnya reflek tendon: 10 mEq/L (12 mg/dl)
c. Tehentinya pernafasan: 15 mEq/L (18 mg/dl)
d. Terhentinya jantung: >30 mEq/L (>36 mg/dl)
Pemberian antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah untuk pemberian antihipertensi. Beberapa sumber menggunakan
cut off ≥160/110 mmHg, ada pula yang menentukan cut off >126mmHg. Jenis
antihipertensi yang sering digunakan di Indonesia adalah Nifedipin, dosis awal
:10-20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum 120 mg per 24 jam.8
Gambar 3.1 Manajemen ekspektatif pada Preeklampsia Berat 7
B. Sikap terhadap kehamilannya
1) Perawatan aktif (agresif)
Berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
pengobatan medikamentosa.8
Indikasi:8
a. Ibu
26
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda-tanda/ gejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan
laboratoriik memburuk
- Perawatan konservatif gagal
- Perawatan selama 24 jam, tekanan darah tetap ≥ 160 / 110 mmHg
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
b. Janin
- Adanya tanda-tanda intrauterine growth restriction (IUGR)
- NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion
c. Laboratorik
Adanya tanda-tanda Sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan
cepat.
Terminasi kehamilan
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan keadaan
obstetric pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.

Induksi persalinan dengan drips Oksitosin bila :
a) Kesejahteraan janin baik
b) Skor pelvik (Bishop) ≥ 5

Operasi Seksio Sesarea bila :
a) Kesejahteraan janin jelek
b) Skor pelvik (Bishop) < 5.5
27
Tabel 3.1 Kriteria terminasi kehamilan pada Preeklampsia Berat 7
2) Perawatan konservatif
Berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian
pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan
preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan
keadaan janin baik.

Pengobatan dilakukan di Kamar Bersalin / Ruang Isolasi
a. Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri)
b. Infus Dekstrose 5%, 20 tetes/menit
c. Pasang kateter tetap
d. Pemberian obat anti kejang : Magnesium Sulfat (MgSO4)
c. Langsung berikan dosis pemeliharaan MgSO4 2 g/jam IV
d. Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
 Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Glukonas 10% (1 gr
dalam 10 cc) diberikan IV pelan (3 menit).
 Refleks patella (+)
 Frekuensi pernafasan > 16 x/menit
 Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya.
e. Pemberian anti hipertensi (bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg)
f. Pemeriksaan Laboratorium :
a) Hb, Trombosit, Hematokrit, Asam Urat
b) Urine lengkap dan produksi urine 24 jam
c) Fungsi hati
d) Fungsi ginjal

Pengobatan dan evaluasi selama rawat inap di Kamar Bersalin
28
a.Tirah Baring
b. Medikamentosa :
- Nifedipin 3 x 10 mg (po).
- Roboransia
c. Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb, Trombosit, Hematokrit, asam urat
- Urine lengkap dan produksi urine 24 jam
c) Fungsi hati
d) Fungsi Ginjal
d. Diet biasa
e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (KTG/USG)
Perawatan Konservatif dianggap gagal bila
a. Adanya tanda-tanda Impending Eklampsia (keluhan subyektif)
b. Penilaian kesejahteraan janin jelek
c. Kenaikan tekanan darah progresif
d. Adanya Sindroma HELLP
e. Adanya kelainan fungsi ginjal
Perawatan konservatif dianggap berhasil bila :
Penderita sudah mencapai perbaikan dengan tanda-tanda pre-eklampsia ringan
dan perawatan
dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 3 hari lagi kemudian penderita boleh
pulang. Bila perawatan konservatif gagal dilakukan terminasi.8
3.7
Prognosis
Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi janin,
ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses bersalin
dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-25.5%,
kematian bayi 42.2% -48.9%.10
Penderita preeklampsia yang terlambat penanganannya akan berdampak pada
ibu dan janin yang dikandungnya. Pada Ibu dapat terjadi perdarahan otak,
dekompensasi kordis pada edema dan paru, payah ginjal dan masuknya isi
lambung ke dalam pernafasan saat kejang.Pada janin dapat terjadi kematian
29
karena hipoksia intrauterin dan kelahiran prematur. Dampak jangka pendek dan
jangka panjang preeklampsia dapat dilihat pada gambar dibawah ini :10
Gambar 3.2 Prognosis preeklampsia10
3.8
Pengalaman pelayanan kebidanan dan penurunan kematian ibu
Dari pengalaman lapangan PP AKI mebutuhkan upaya inovatif, profokatif
dan antisipatif memalui pendekatan risiko.8
Pendekatan risiko:
strategi operasional. Untuk pencegahan profokatif
dalam pelayanan kebidanan melalui upaya pengendalian/ pencegahan profokatif
terhadapa komplikasi persalinan, meliputi:11
1. Strategi, mengatur dan menegakan prioritas, berawal dari pengenalan dini
masalah kesehatan dan sosial, diikuti dengan mengukur kebutuhan ibu
untuk perawatan kehamilan, tempat dan penolong persalinan aman sesuai
dengan kondisi ibu hamil dan janin.
2. Metode, untuk menilai kebutuhan sumber daya dalam keluarga,
masyarakat, dan fasilitas kesehatan yaitu pemanfaatan biaya transportasi
yang efisien/ efektif.
3. Alat, menetukan pemanaatan fasilitas kesehatan secara efisien dan efektifbiaya dengan menggunakan secara relevan, rasional, dan profesional di
30
tiap tingkat pelayanan dalam melakukan penanganan adekuat untuk semua
ibu hamil, ibu risiko rendah dan ibu risiko tinggi masih sehat dan ibu
komplikasi persalinan dini.
Tujuan pendekatan risiko pada ibu hamil
1. Meningkatkan mutu pelayanan dimulai pengenalan dini faktor risiko pada
semua ibu hamil
2. Memberikan perhatian lebih khusus dari intensif kepada ibu risiko yang
mempunyai kemungkinan lebih besar terjadi komplikasi persalainan
dengan risiko lebih besar pula untuk terjadi kematian, kesakitan,
kecacatan, ketidakpuasan, ketidaknyamanan ( 5K) pada ibu/ bayi baru
lahir. ibu dan janin/ bayi merupakan suatu kesatuan ( one entity- a dyad)11
3. Mengembangkan perilaku pencegahan profokatif antisipatif dengan dasar
paradigma sehat melalui:
Kesiapan persalinan aman- “ safe birth preparedness”
Kesiagaan komplikasi persalinan- ‘complication rediness’
Pemberdayaan ibu hamil, suami dan keluarga agar ada kesiapan mental,
biaya dan transportasi.
4. Melakukan peningkatan rujukan terencana memalui upaya pengendalian/
pencegahan proaktif terhadap terjadinya rjukan estafet dan rujukan
terlambat.
Pendekatan resiko pada ibu hamil didukung oleh Pelayanan Kesehatan Dasar
(primary health care) dengan 5 prinsio dasarnya sangat relevan dengan
semangat gotong royong dimasyarakat pedesaan, diperkuat oleh dukungan
GSI dengan koordinasi kepala desa dan DESA SIAGA.8
Penurunan kematian ibu/ bayi baru lahir memalui upaya pengendalian
komplikasi dalam persalinan membutuhkan pendekatan HULU dirumah ibu
hamil di pedesaan, dilanjurkan dengan pencegahan proaktif melalui
31
penanganan adekuat di HILIR dipusat rujukan puskesmas PONED atau RS
PONEK.
Pendekatan Hulu dirumah ibu hamil membutuhkan teknologi hulu ( low
technology, low cost, high coverage), menggunakan Kartu Skor dan Kartu
Prakiraan Disporposi Kepala Panggul.9
Kartu Skor adalah alat sederhana dengan format 1. Daftar faktor risiko/ FR
dengan gambaran yang cukup komunikatif, mudah dimengerti, dterima
digunakan oleh ibu hamil, suami, dan keluarga, dan masyarakat pedesaan, 2.
Sistem skoring dengan nilai skor untuk tiap FR dan kode warna untuk
pemetaan ibu Risti. Setelah mendapatkan pelatihan Bidan di desa, ibu PKK,
ibu hamil, suami, keluarga dan dukun mampu menggunakannya dalam
kegiatan posyandu dan KP KIS ( kelompok peminat KIA).9
Faktor resiko / FR pada seorang ibu hamil sebagai masalah kesehatan

Suatu keadaan atau ciri tertentu pada seseorang atau suatu kelompok ibu
hamil yang dapat menyebabkan risiko/ bahaya kemungkinan terjadinya
resiko komplikasi persalinan.

Dapat merupakan suatu mata rantai dalam proses yang merugikan,
mengakibatkan
kematian/
kesakitan/
kecatatan/
ketidaknyamanan/
ketidakpuasan pada ibu dan janin/ bayi.
Dampak kecatatan dapat terjadi rupturan uteri, dilakukan histrektomi
selanjutnya ibu cacat/ tidak mempunyaki rahim lagi dengan funsi
reproduksinya berakhir. Pada partus kasep terjadi fistula vesiko- vaginal atau
fistula rekto- vaginal dengan akibat beser kemih atau beser kotoran dapat
menyebabkan ascending infection pada ginjal. Ada kemungkinan dampak
sosial terjadi perceraian dengan suami, pada fistula masih dapat dilakukan
operasi palstik dengan akibat cacat dinding vagina.9
Dari pengalaman sejumlah penilitian epidemiologik baik di rs rujukan dan
diluar rs dapat disusun masalah kesehatan pada ibu hamil,ada 20 macam
32
faktor risiko.12 tiap FR dikebangkan parameter dengan gambar dan bobot
risikonya yaitu skor.
Kelompok Faktor Risiko- berdasarkan kapan ditemukan, cara pengenalan,
dan sifat risikonya, faktir risiko dikelompokan dalam 3 kelompok FR. I, II, III
dengan berturut- turut ada 10, 8, 2.

Kelompok faktor resiko I: Ada Potensi Gawat Obstetrik/ APGO
APGO merupakan banyak faktor atau kriteria – kriteria risiko
kehamilan. Ibu hamil primi muda, primi tua, primi tua sekunder, anak
terkecil ≤ 2 tahun, Tinggi Badan (TB) ≤ 145 cm, riwayat penyakit,
kehamilan hidramnion dan riwayat tindakan ini merupakan faktor fisik
pertama yang menyebabkan ibu hamil berisiko.13
1) Primi muda ibu yang hamil pertama kali pada usia ≤ 16 tahun,
dimana pada usia tersebut reproduksi belum siap dalam menerima
kehamilan kondisi rahim dan panggul yang masih kecil, akibat dari ini
janin mengalami gangguan. Disisi lain mental ibu belum siap
menerima kehamilan dan persalinan. Bahaya yang terjadi jika usia
terlalu muda yaitu premature, perdarahan anterpartum, perdarahan post
partum.14 Hasil penelitian disalah satu Rumah Sakit, ibu hamil yang
dikategorikan dalam primi muda sangat rendah yakni hanya mencapai
angka 1,7%.13 Faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya
komplikasi persalinan adalah ibu yang berumur < 20 tahun.16
2) Primi tua
a) Lama perkawinan ibu ≥ 4 tahun dan mengalami kehamilan pertama
setelah masa pernikahan dan pasangan tidak mengguanakan alat
kontrasepsi KB.14
b) Pada umur ibu ≥ 35 tahun dan mengalami kehamilan. Usia tersebut
dikategorikan usia tua, ibu dengan usia tersebut mudah terserang
penyakit, kemungkinan mengalami kecacatan untuk bayinya dan Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR), cacat bawaan sedangkan komplikasi yang
dialami oleh ibu berupa pre-eklamsi, mola hidatidosa, abortus.14
33
Menurut hasil penelitian usia ≥ 35 tahun kemungkinan 2,954 kali
mengalami komplikasi persalinan.16
3) Primi tua sekunder, ibu yang mengalami kehamilan dengan jarak
persalinan sebelumnya adalah ≥ 10 tahun. Dalam hal ini ibu tersebut
seolah menghadapi kehamilan yang pertama lagi. Kehamilan dapat
terjadi pada ibu yang mempunyai riwayat anak pertama mati atau ibu
yang mempunyai anak terkecil hidup berumur 10 tahun, serta pada ibu
yang tidak menggunakan KB.14
4) Anak terkecil ≤ 2 tahun, ibu yang mempunyai anak pertama terkecil
≤ 2 tahun namun tersebut telah mengalami kehamilan berikutnya.
Jarak kehamilan
≤ 2 tahun kondisi rahim belum kembali seperti
semula selain itu ibu masih dalam proses menyusui. Komplikasi yang
mungkin terjadi yaitu perdarahan setelah bayi lahir, bayi lahir namun
belum cukup umur sehingga menyebabkan berat badan bayi lahir
rendah (BBLR) < 2.500.17 Jarak kehamilan ≤ 2 tahun dan ≥ 5 tahun
mempunyai kemungkinan 1,25 kali mengalami komplikasi persalinan,
ibu hamil yang pemeriksaan kehamilannya kurang kemungkinan
mengalami 0,396 kali komplikasi pada saat persalinan, ibu dengan
deteksi dini kehamilan risiko tinggi kategori kurang kemungkinan
0,057 kali mengalami komplikasi persalinan.16
5) Multigrande yaitu Ibu yang pernah mengalami persalinan sebanyak
4 kali atau lebih, komplikasi yang mungkin terjadi seperti anemia,
kurang gizi, dan kekendoran pada dinding rahim. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan kelainan letak janin, persalinan lama, perdarahan
pasca persalinan, dan rahim robek pada kelainan letak lintang.14
Sedangkan grandemultipara adalah ibu yang pernah melahirkan lebih
dari 6 kali atau lebih baik bayi dalam keadaan hidup atau mati.19
6) Usia ibu hamil 35 tahun atau lebih . ibu hamil pada usia ini dapat
menglami komplikasi seperti Ketuban Pecah Dini (KPD), hipertensi,
partus lama, partus macet dan perdarahan post partum. Komplikasi
tersebut mungkin dialami oleh ibu hamil pada usia tersebut
dikarenakan organ jalan lahir sudah tidak lentur dan memungkinkan
34
mengalami penyakit.14 Kejadian kehamilan risiko tinggi dipengaruhi
oleh umur dan paritas. Kehamilan resiko tiinggi mayoritas berumur ≥
35 tahun dan terjadi pada grandemultipara.j menurut hasil penelitian di
Kota Yogyakarta faktor resiko ibu hamil di adalah anemia (33.1%),
usia yang terlalu muda dan tua (24.7%), Lila<23.5 (21.7%),
grandemultigravida (9%), tinggi badan kurang dari 145 cm (7.2%),
riwayat abortus lebih dari sekali (4.2%).21
7) Tinggi Badan (TB) 145 cm atau kurang komplikasi yang mungki
terjadi yaitu ukuran panggul ibu sebagai jalan lahir sempit namun
ukuran kepala janin tidak besar atau ketidak sesuaian antara janin dan
jalan lahir. Kemungkinan ukuran panggul ibu normal, sedangkan
ukuran kepala janin besar.14 Komplikasi yang terjadi yaitu BBLR,
prematur, bayi mati dalam kandungan (IUFD).14
8) Ibu hamil dengan riwayat obstetric jelek dengan kondisi: Ibu hamil
kedua dimana kehamilan pertama mengalami keguguran,meninggal di
dalam kandungan, lahir dalam keadaan belum cukup umur, lahir mati,
dan lahir hidup kemudian mati pada usia ≤ 7 hari, kehamilan
sebelumnya pernah keguguran sebanyak ≥ 2 kali.14 Salah satu faktor
yang menyebabkan kegagalan kehamilan dan meninggalnya janin
dalam kandungan pada ibu adalah adanya penyakit seperti ; diabetes
mellitus, radang saluran kencing, dan lain-lain.l
9) Persalinan yang lalu dengan tindakan Persalinan ditolong oleh alat
bantu seperti: cunam/forcep/vakum, uri manual (manual plasenta),
pemberian infus / tranfusi pada saatproses persalinan dan operasi
sectio caesars pada persalinan.14

Kelompok faktor resiko II: Ada Gawat Obstetrik/ AGO
Ada Gawat Obstetri tanda bahaya pada saat kehamilan, persalinan, dan
nifas. Beberapa penyakit ibu hamil yang dikategorikan sebagai gawat
obstetri yaitu: anemia, malaria pada ibu hamil, penyakit TBC, payah
jantung, diabetes militus, HIV/AIDS, toksoplasmosis.14
35
1) Pre-eklamsia ringan, tiga gejala preeklamsi yaitu oedema pada
muka, kaki dan tungkai, hipertensi dan urin protein positif. Komplikasi
yang dapat terjadi seperti kejang, IUFD, dan IUGR.14
2) Kehamilan kembar (gemeli) dengan jumlah janin 2 atau lebih.
Komplikasi
yang terjadi seperti hemoroid, prematur,
BBLR,
perdarahan antepartum.14
3) Hidramnion atau kelebihan jumlah air ketuban dari normalnya (> 2
liter).14 Faktor yang mempengaruihi hidramnion adalah penyakit
jantung, spina bifida, nefritis, aomali kongenital pada anak, dan
hidrosefalus. 19
4) Intra Uteri Fetal Deat (IUFD) dengan tanda-tanda gerakan janin
tidak terasa lagi dalam 12 jam, perut dan payudara mengecil, tidak
terdengar denyut jantung.14
5) Hamil serotinus usia kehamilannya ≥ 42 minggu. Pada usia tersebut
fungsi dari jaringan uri dan pembuluh darah akan menurun. Maka akan
menyebabkan ukuran janin menjadi kecil, kulitnya mengkerut, berat
badan bayi saat lahir akan rendah, dan kemungkinan janin akan mati
mendadak dalam kandungan dapat terjadi.14
6) Letak sungsang keadaan dimana letak kepala janin dalam rahim
berada di atas dan kaki janin di bawah. Kondisi ini dapat menyebabkan
bayi sulit bernapas sehinga menyebabkan kematian dan letak lintang.
Letak janin dalam rahim pada usia kehamilan 8 sampai 9 bulan
melintang, dimana kepala berada di samping kanan atau kiri ibu. Bayi
yang mengalami letak lintang tidak bisa melahirkan secara normal
kecuali dengan alat bantu. Bahaya yang dapat terjadi apabila
persalinan tidak dilakukan dan ditangani secara benar dapat terjadi
robekan pada rahim ibu dan ibu dapat mengalami perdarahan, infeksi,
syok, dan jika fatal dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan
janin.14

Kelompok faktor resiko III: Ada Gawat Darurat Obstetrik/ ADGO
Adanya ancaman nyawa ibu dan bayi yaitu perdarahan antepartum,
dan pre-eklasmi atau eklamsi.14 Ibu ADGO dalam kondisi yang dapat
36
langsung mengancam nyawa ibu/ janin, harus segera dirujuk tepat
waktu ( RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/ bayi baru
lahir.14
Kelompok risiko berdasarkan jumlah skor pada tiap kontak, ada 3
kelompok risiko:
1. Kehamilan risiko rendah / KRR jumlah skor 2 dengan kode warna
hijau, selama hamil tampa FR
2. Kehamilan risiko tinggi/ KRT jumlah skor 6-10, kode warna kuning
dapat denga FR tunggal dari kelompok FR I, II, III dan dengan FR
ganda 2 dari kelompok FR I dan II
3. Kehamilan risiko sangat tinggi/ KRST ibu dengan jumlah skor ≥ 12
kode warna merah, ibu hamil dengan FR ganda dua atau tiga dan lebih.
Gambar 3.3 Pedoman Rujukan8
3.9
Sistem Rujukan
a. Pengertian
Suatu sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi pelimpahan
tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang
timbul secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman
penderita, pendidikan, maupun penelitian.
Sistem rujukan paripurna terpadu, yaitu suatu tatanan yang
memungkinkan berbagai komponen dalam jaringan pelayanan kebidanan
37
dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara bidan di desa, bidan, dan
dokter puskesmas di pelayanan kesehata dasar dengan dokter spesialis di
rumah sakit kabupaten untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber
daya kesehatan dalam penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, yaitu
penanganan ibu risiko tinggi dengan gawat obstetrik atau gawat darurat
obstetric secara efisien, efektif, professional, rasional, dan relevan dalam
pola rujukan terencana21
b. Jenis Rujukan
Rujukan medis sesuai Undang Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
merupakan kegiatan rujukan yang berkaitan dengan urusan medis dan
dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Rujukan Kasus
Rujukan kasus merupakan rujukan yang berkaitan dengan kasus yang
dialami klien dalam hal ini komplikasi ibu dan bayi baru
lahir/neonatus.
2) Rujukan Laboratorium
Rujukan bahan laboratorium yang berkaitan dengan kebutuhan
diagnosa komplikasi ibu dan bayi baru lahir/neonatus.
3) Rujukan Ilmu
Rujukan ilmu pengetahuan diantara tenaga kesehatan dalam rangka
peningkatan pengetahuan penanganan komplikasi ibu dan bayi baru
lahir/neonatus dimana pihak yang lebih kompeten akan memberikan
ilmu sesuai kebutuhan dan kewenangan
Dalam rujukan kebidanan, berdasarkan sifatnya, dibagi ke dalam
dua jenis rujukan, yaitu:
1) Rujukan Terencana
Rujukan terencana merupakan rujukan ke rumah sakit yang disiapkan
dan direncanakan jauh hari bagi ibu risiko tinggi. Masa persiapan
rujukan terencana lebih panjang dan keadaan umum ibu masih relatif
lebih baik, selain itu modalitas transportasi juga dapat lebih beragam,
nyaman dan aman bagi pasien karena rujukan tidak dilakukan dalam
kondisi gawat darurat.
38
Ada 2 macam rujukan terencana, yaitu:
a) Rujukan Dini Berencana
Rujukan dini berencana dilakukan untuk ibu dengan Ada Potensi
Gawat Obstetrik (APGO) dan Ada Gawat Obstetrik (AGO). Ibu
risiko tinggi masih sehat, belum in partu, belum ada komplikasi
persalinan, ibu dapat berjalan sendiri, dan tidak membutuhkan
obat.
b) Rujukan Dalam Rahim
Di dalam rujukan dini berencana terdapat pengertian rujukan dalam
rahim atau rujukan in utero bagi janin bermasalah, ketika janin
risiko tinggi masih sehat, misalnya kehamilan dengan riwayat
obstetrik jelek pada ibu diabetes mellitus, prematurus iminens.
Bagi janin, selama pengiriman rujukan, rahim ibu merupakan alat
transportasi dan inkubasi yang aman, nyaman, hangat, steril,
mudah, murah, memberi nutrisi dan O2, tetap ada hubungan fisik
dan psikis dalam lindungan ibunya.
2) Rujukan Tepat Waktu/Rujukan Kegawatdaruratan
Rujukan tepat waktu dilakukan untuk ibu dengan ADGO (Ada Gawat
Darurat Obstetrik), yaitu ibu dengan kelompok faktor risiko III
(perdarahan antepartum atau preeklampsia berat/eklampsia). Rujukan
kegawatdaruratan merupakan rujukan yang berhubungan dengan
kondsi kegawatdaruratan yang harus segera ditangani seperti halnya
rujukan tepat waktu.
Rujukan sebaiknya tidak dilakukan bila terdapat kondisi-kondisi
berikut:
a) Kondisi ibu tidak stabil untuk dipindahkan
b) Kondisi janin tidak stabil dan terancam untuk terus memburuk
c) Persalinan sudah akan terjadi
d) Tidak ada tenaga kesehatan terampil yang dapat menemani
e) Kondisi cuaca atau modalitas transportasi membahayakan23
39
3.10
Antenatal Care (ANC)
Asuhan antenatal care merupakan serangkaian kegiatan pemantauan
kehamilan rutin yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.22 Kunjungan antenatal
care dilakukan sedini mungkin semenjak ibu hamil merasa dirinya hamil untuk
mencegah adanya komplikasi obstetri dan memastikan bahwa komplikasi
dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai.23 Kunjungan antenatal
care bagi ibu hamil normal direkomendasikan untuk mendapat pelayanan
antenatal minimal empat kali kunjungan selama kehamilan.24 Satu kali pada
trimester pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali pada trimester
ketiga.25
Kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dengan petugas
kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal standar untuk mendapatkan
pemeriksaan kehamilan.26 Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
kunjungan ibu hamil yaitu pengetahuan, sikap negatif.29 Peran bidan saat
kunjungan, kepercayaan dan dukungan dari keluarga.28 Dukungan dari petugas
kesehatan 29 Keterjangkauan.30 Media informasi dan penerapan standar.31
1. Kunjungan Pertama (K1)
Asuhan kehamilan kunjungan awalan (K1) adalah kontak ibu hamil
pertama kali dengan petugas kesehatan.32 Tujuannya yaitu untuk
mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan pelayanan kesehatan terpadu
dan komprehensif sesuai standar.33 Kontak pertama kali oleh ibu hamil
dengan tenaga kesehatan harus dilakukan sedini mungkin pada
trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke
33,34
Cakupan ibu
hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal care
tenaga
kesehatan
disuatu wilayah
kerja
pada
kurun
oleh
waktu
tertentu.35
Angka kematian ibu yang masih tinggi dapat diturunkan dengan
peran ibu dalam melakukan kunjungan pertama (K1) yang berkaitan
dalam mewujudkan sasaran pembanguan kesehatan, sehingga perlu
terjalin hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.36 Cara yang
tepat dalam mementukan tingkat kesehatan ibu dengan melakukan
pengkajian riwayat lengkap dan uji skrining. Adapun indikator yang
40
digunakan sebagai standar pembanding sesuai kemajuan kehamilan
diantaranya adalah catatan dasar tentang tekanan darah, nilai darah,
urinalisis, dan data-data yang menunjang mengenai pertumbuhan serta
perkembangan janin.37
Standar minimal pelayanan antenatal dikenal sebagai 10 T yang
terdiri dari: Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan
darah, ukur lingkar lengan atas (LILA), ukur tinggu fundus uteri
(TFU), penentuan letak janin dan hitung denyut jantung janin (DJJ),
pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap, pemberian tablet
zat besi minimal 120 hari selama kehamilan, tes terhadap penyakit
menular seksual HIV/AIDS dan malaria, temu wicara atau konseling
dan tata laksana.38
2. Kunjungan Ke-4 (K4)
Asuhan kehamilan kunjungan ulang (K4) adalah kontak ibu hamil
dengan petugas kesehatan pada trimester III untuk mendapatkan
pemeriksaan kehamilan atau pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar.28 Cakupan K4 berpengaruh terhadap deteksi dini kehamilan
berisiko yang berarti semakin baik cakupan K4 bidan maka semakin
baik pula deteksi dini kehamilan berisiko tinggi yang dilakukan oleh
bidan. Kunjungan antenatal dapat dilakukan lebih dari empat kali
sesuai dengan kebutuhan ibu hamil seperti adanya keluhan, penyakit
lainya dan gangguan kehamilan dan kunjungan ini termasuk dalam
K4.39 Menurut hasil penelitian ada pengaruh antara cakupan K4
dengan deteksi dini risiko tinggi kehamilan.39 Biasanya disebabkan
oleh komplikasi kehamilan itu sendiri, kondisi yang memburuk selama
kehamilan, dan efek gaya hidup tidak sehat. Masalah kesehatan ibu
selama kehamilan dapat dideteksi melalui kunjungan K1 maupun K4,
masalah kesehatan selama kehamilan yang mempengaruhi ibu dan
bayi.
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari uraian kasus diatas didapatkan permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat?
3. Apakah sistem rujukan pada pasien ini sudah tepat?
4. Bagaimana kualitas ANC pada pasien ini?
5. Bagaimana prognosis pada pasien ini?
4.1 Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
Diagnosis ante partum (saat di IGD) dan durante partum pada pasien ini
adalah G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB
+ BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine, presentasi kepala-kepala dapat
ditegakkan dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang cermat.

Gravid 38-40 minggu
Untuk menegakkan diagnosis gravid 38-40 minggu, berdasarkan anamnesis
didapatkan HPHT 26 Maret 2019. Dengan menggunakan rumus Naegele yaitu
(hari+7), (bulan-3) dan (tahun+1) dengan siklus haid 28 hari.40 didapatkan
taksiran persalinan 2 Januari 2020 sehingga usia kehamilan pasien saat datang ke
RSUD AA tanggal 22 Desember 2019 adalah 38-39 minggu. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tinggi fundus uteri 1 jari dibawah proceccus xiphoideus yang
sesuai dengan usia kehamilan 38-40 minggu. Berdasarkan hal tersebut
ditegakkannya diagnosis gravid 38-40 minggu sudah tepat.

Inpartu Kala 1 Fase Laten
Untuk menegakkan diagnosis inpartu kala 1 fase laten, didapatkan adanya
keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari, keluar lendir bercampur darah (show)
dan adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.1 Pada anamnesis
42
didapatkan adanya keluhan nyeri pinggang menjalar ke ari-ari dan adanya keluar
lender bercampur darah (show). Kemudian pada pemeriksaan fisik, didapatkan
adanya his yang adekuat yaitu 2 kali dalam 10 menit dengan durasi 30 detik dan
pada saat Vaginal Toucher (VT) didapatkan OUE terbuka 1 cm dan didapatkan
penipisan 30%. Berdasarkan hal tersebut ditegakkannya diagnosis inpartu kala 1
fase laten sudah tepat.

PEB
Untuk menegakkan diagnosis PEB, pada anamnesis pasien tidak memiliki
riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya saat hamil, pasien memiliki riwayat
tensi tinggi yang baru muncul pada saat kontrol kehamilan terakhir (>20 minggu)
dan ketika tidak hamil pasien merasakan tekanan darahnya tidak pernah tinggi.Hal
ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu.7 Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, kesadaran komposmentis. Kemudian didapatkan tekanan darah (TD)
pasien ini 190/110 mmHg, dan pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
urin didapatkan proteinuria (+2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyatakan bahwa dikatakan preeklampsia berat jika didapatkan tekanan darah
sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik dan didapatkan
adanya kondisi protein urin masif ( ≥+2 atau >5g/24 jam).7 Berdasarkan hal
tersebut ditegakkannya diagnosis PEB sudah tepat.

Janin Gemelli Hidup Intrauterin dengan Presentasi Kepala-Kepala
Untuk menegakkan diagnosis janin gemelli hidup intrauterin dengan
presentasi kepala-kepala, pada anamnesis pasien masih merasakan adanya gerakan
janin, pada pemeriksaan leopold didapatkan presentasi kepala-kepala, pada
pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) didapatkan DJJ terdengar di dua tempat
yaitu kanan 120 dpm dan kiri 138 dpm. Kemudian pada pemeriksaan penunjang
USG didapatkan kesan janin gemelli hidup intrauterine presentasi kepala-kepala.
Pemeriksaan USG pada pasien ini kurang lengkap, seharusnya juga disebutkan
bagaimana amnion, korion, dan plasenta pada janin tersebut. Berdasarkan hal
43
tersebut ditegakkannya diagnosis janin gemelli hidup intrauterine dengan
presentasi kepala-kepala sudah tepat.
Diagnosis pasien ini sudah tepat yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang mengarah ke diagnosis pasien yaitu
G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB +
BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala.
4.2

Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?
Anti kejang
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah Ambil 10 gram MgSO4 (25 cc) di
larutkan dalam 500 cc RL. Guyur 200 cc (4 gram MgSO4) dihabiskan dalam
waktu 15-20 menit (initial dose) dilanjutkan sisanya 300 cc (6 gram MgSO4)
dihabiskan dalam waktu 3 jam / 35 tetes per menit (maintanance dose).
Pemberian MgSO4 pada pasin ini sudah tepat. Hal ini ditujukan untuk
mengurangi kepekaan syaraf pusat agar dapat mencegah konvulsi, menambah
diuresis dan menurunkan pernafasan yang cepat.1 Magnesium sulfat bekerja
dengan cara menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
saraf pusat dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium akan
menggeser kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Sampai saat ini
magnesium sulfat dipilih sebagai pilihan utama obat anti kejang.40 Magnesium
sulfat direkomendasikan untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan
preeklampsia berat. Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia
paling efektif, dan obat lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia.41

Anti hipertensi
Pada pasien ini diberikan antihipertensi nifedipin 3 x 10 mg di awal dan
post operasi, dilanjutkan metildopa 3 x 500 mg. Penatalaksanaan pemberian
antihipertensi sudah tepat, yaitu pemberian antihipertensi short acting yaitu
nifedipin dilanjutkan antihipertensi long acting yaitu metildopa. Tujuan utama
pemberian anti hipertensi adalah untuk mengurangi resiko ibu, yang meliputi
abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap, dan kerusakan
organ target ( komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler ). Resiko kerusakan
44
organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba – tiba pada wanita
yang sebelumnya normotensi. Tekanan darah >170/110 mmHg dapat merusak
endotel secara langsung dan tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi
kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkan resiko perdarahan serebral.
Selain itu, resiko abrupsi plasenta dan asfiksia juga meningkat.41
Pemberian nifedipin sebagai anti hipertensi yang direkomendasikan pada
preeklampsia dengan hipertensi berat atau tekanan darah ≥160/110 mmHg.1 Pada
pasien ini tekanan darah mencapai 190/110 mmHg sehingga pemberian nifedipin
sudah tepat. Selain itu, untuk mengontrol tekanan darah pada pasien ini diberikan
nifedipine 10 mg. Tekanan darah pada saat pasien masuk adalah 190/110 mmHg
dimana MAP pada pasien ini adalah 200, target MAP pada pasien ini diharapkan
menurun 20%, sehingga target MAP yang harus dicapai adalah 160. Pada pasien
ini telah mencapai MAP yang menurun 20% dengan tekanan darah 160/100
mmHg.
Nifedipin merupakan obat anti hipertensi golongan calcium channel blocker
derivat dihidropiridin. Obat ini bekerja dengan menghambat masuknya ion Ca2+
ke intra sel sehingga akan menghambat terjadinya kontraksi sel otot polos jantung
dan pembuluh darah. Akibatnya, akan terjadi penurunan cardiac output, hal ini
akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah. Nifedipin bekerja cepat
yaitu dalam waktu 10 menit dengan efek maksimal setelah 30-40 menit dan dapat
diulang
3-4
kali.
Pemberian
nifedipin
sebaiknya
secara
oral
karena
bioavabilitasnya mencapai 40-60%.42 Namun pemberian nifedipin ini tidak
dianjurkan dalam jangka lama. Pilihan anti hipertensi yang lain adalah metildopa.
Metildopa merupakan obat anti hipertensi yang bekerja secara long acting,
sehingga dapat menurunkan dan mempertahankan tekanan darah lebih lama.40

Terminasi
Terminasi pada pasien ini dinilai sudah tepat. Terminasi dilakukan pada
pasien PEB ketika sudah mendapatkan regimen MgSO4 loading dose. Terminasi
pada pasien adalah terminasi perabdominal. Terminasi pada pasien dinilai sudah
tepat karena sesuai indikasi tatalaksana PEB. Tatalaksana pada pasien PEB dibagi
menjadi tatalaksana aktif dan tatalaksana konservatif. Tatalaksana aktif dilakukan
45
pada pasien dengan indikasi ibu yaitu, umur kehamilan >37 minggu, adanya
tanda/gejala impending eklampsia, kegagalan terapi konservatif, diduga terjadi
solusio plasenta dan timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.
Indikasi janin adalah adanya tanda-tanda fetal distres, adanya tanda- tanda IUGR,
NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal, terjadinya oligohidramnion.
Indikasi laboratorium adalah adanya tanda-tanda sindrom HELLP.1
Sistem skoring VBAC Untuk memprediksi keberhasilan penanganan
persalinan pervaginal bekas seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat
sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan dalam penanganan
persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring. Weinstein dkk juga
telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio sesarea (Weinstein
D, 1996, Flamm BL, 1997). Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger (1997)
yang ditentukan untuk memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio
sesarea adalah seperti tertera pada table dibawah ini:42
Gambar 4.1 Skor VBAC42
Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group
diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini:
46
Gambar 4.2 Angka keberhasilan VBAC42
Pada kasus ini pasien datang dengan G3P1A1H1 gravid 38-40 minggu inpartu
kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli Hidup intrauterine ,
presentasi kepala-kepala. TBJ : 3255 gram, DJJ terdengar di dua tempat  kanan
: 120x/menit, kiri : 138x/menit.
Interpretasi :
Perkiraan angka keberhasilan VBAC pada pasien ini adalah 59-60%, sehingga
dianjurkan untuk melakukan persalinan secara pervaginam. Jika dilihat tafsiran
berat janin gemeli yaitu 3255 gr dapat diartikan normal dan diusulkan untuk
pervaginam, namun dalam pertimbangan pasien memiliki BSC 1 kali dari indikasi
cesar sebelumnya dengan indikasi panggul sempit, lalu pasien memiliki PEB yang
dimana pada pasien PEB dengan keadaan kala 1 fase laten sehingga harus
terminasi kehamilan dalam waktu 6 jam serta ibu tidak boleh meneran, kemudian
pasien dengan kehamilan gemelli, maka dijelaskan terlebih dahulu tentang resiko
kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga diusulkan untuk persalinan cesar
cito.7,8
4.3
Apakah sistem rujukan pada pasien ini sudah tepat
Pasien datang sendiri ke VK IGD RSUD AA dengan keluhan nyeri
pinggang yang menjalar ke ari-ari. Pada pasien ini tidak ada rujukan karena pasien
datang sendiri diantar oleh keluarga ke RSUD Arifin Achmad. Pada pasien ini
sistem rujukan kurang tepat karena pasien datang sendiri ke rumah sakit tanpa ada
sistem rujukan.
47
Sistem Rujukan sangat penting dimana suatu sistem pelayanan kesehatan
terjadi pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan
yang timbul baik untuk kegiatan pengiriman penderita, pendidikan, maupun
penelitian. Sistem rujukan paripurna terpadu merupakan suatu tatanan, di mana
berbagai komponen dalam jaringan pelayanan kebidanan dapat berinteraksi dua
arah timbal balik, antara bidan di desa, bidan dan dokter puskesmas di pelayanan
kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di RS kabupaten untuk mencapai
rasionalisasi penggunaan sumber daya kesehatan dalam penyelamatan ibu dan
bayi baru lahir yaitu penanganan ibu risiko tinggi dengan gawat-obstetrik atau
gawat-darurat- obstetrik secara efisien, efektif, profesional, rasional, dan relevan
dalam pola rujukan terencana.1
Pasien ini berusia 32 tahun sudah mengandung 3 kali dengan umur anak
terkecil 3 tahun, tinggi badan ibu 147 cm dan pasien memimliki riwayat operasi
sesar. Sekarang ibu hamil kembar dengan preeklamsi berat. Pada pasien ini
memiliki faktor resiko pada seorang ibu hamil sebagai masalah kesehatan.1
Kelompok Faktor Risiko dikelompokkan dalam 3 kelompok FR. I, II, dan
III :
Kelompok Faktor Risiko I: Ada-Potensi-Gawat-Obstetrik/APGO dengan 7
Terlalu dan 3 Pernah. Tujuh terlalu adalah primi muda, primi tua, primi tua
sekunder, umur ≥ 35 tahun, grande multi, anak terkecil umur < 2 tahun, tinggi
badan rendah ≤ 145 cm) dan 3 Pernah adalah riwayat obstetri jelek, persalinan
lalu mengalami perdarahan pascapersalinan dengan infus/transfusi, uri manual,
tindakan pervaginam, bekas operasi sesar. FR ini mudah ditemukan pada kontak I
- hamil muda oleh siapa pun ibu sendiri, suami, keluarga, tenaga kesehatan dan
PKK, dukun, melalui tanya jawab dan periksa pandang. Ibu Risiko Tinggi dengan
kelompok FR I ini selama hamil sehat, membutuhkan KIE pada tiap kontak
berulang kali mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi persalinan.1
Kelompok FR II: Ada-Gawat-Obstetrik/AGO-penyakit ibu, preeklampsia
ringan, hamil kembar, hidramnion, hamil serotinus, IUFD, letak sungsang, dan
letak lintang. Ibu AGO dengan FR yang kebanyakan timbul pada umur kehamilan
lebih lanjut, risiko terjadi komplikasi persalinan lebih besar, membutuhkan KIE
berulang kali agar peduli sepakat melakukan rujukan terencana ke pusat rujukan.1
48
Kelompok FR III Ada-Gawat-Darurat-Obstetrik/AGDO: perdarahan
antepartum dan preeklampsia berat/eklampsia. Ibu AGDO dalam kondisi yang
langsung dapat mengancam nyawa ibu/janin, harus segera dirujuk tepat waktu
(RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/bayi baru lahir. 12
Berdasarkan kelompok faktor resiko pada pasien ini termasuk kelompok
faktor resiko III Ada Gawat Darurat Obstetri yaitu kondisi yang langsung
mengancam nyawa ibu/janin harus segera di rujuk tepat waktu (RTW) ke RS
dalam upaya menyelamatkan ibu/bayi baru lahir, dengan pemilihan sistem rujukan
yang tepat.1
1) Rujukan Terencana: menyiapkan dan merencanakan rujukan ke rumah sakit
jauh- jauh hari bagi ibu risiko tinggi/Risti. Sejak awal kehamilan diberi KIE. Ada
2 macam rujukan terencana yaitu:

Rujukan Dini Berencana (RDB) untuk ibu dengan APGO dan AGO - ibu
Risti masih sehat belum in partu, belum ada komplikasi persalinan, ibu
berjalan sendiri dengan suami, ke RS naik kendaraan umum dengan
tenang, santai, mudah, murah, dan tidak membutuhkan alat ataupun obat.1

Rujukan Dalam Rahim.(RDR): di dalam RDB terdapat pengertian RDR
atau Rujukan In Utero bagi janin ada masalah, janin risiko tinggi masih
sehat misalnya kehamilan dengan riwayat obstetrik jelek pada ibu diabetes
mellitus, partus prematurus iminens. Bagi janin, selama pengiriman rahim
ibu merupakan alat transportasi dan inkubator alami yang aman, nyaman,
49
hangat, steril, murah, mudah, memberi nutrisi dan O2, tetap ada hubungan
fisik dan psikis dalam lindungan ibunya. 1
Pada jam-jam kritis pertama bayi langsung mendapatkan perawatan
spesialistik dari dokter spesialis anak. Manfaat RDB/RDR: pratindakan diberi
KIE, tidak membutuh- kan stabilisasi, menggunakan prosedur, alat, obat standar
(obat generik), lama rawat inap pendek dengan biaya efisien dan efektif
terkendali, pascatindakan perawatan dilanjutkan di Puskesmas.1
2) Rujukan Tepat Waktu/RTW (prompt timely referral") untuk ibu dengan gawatdarurat-obsterik, pada Kelompok FR III AGDO perdarahan antepartum dan
preeklampsia berat/eklampsia dan ibu dengan komplikasi persalinan dini yang
dapat terjadi pada semua ibu hamil dengan atau tanpa FR. Ibu GDO (Emergency
Obstetric) membutuhkan RTW dalam penyelamatan ibu/bayi baru lahir. Rujukan
terencana merupakan satu kegiatan proaktif antisipatif.1
Rujukan terencana berhasil menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir,
pratindakan tidak membutuhkan stabilisasi, penanganan dengan prosedur standar,
alat,
obat
generik,
dengan
biaya
murah
terkendali.1Rujukan
terlambat
membutuhkan stabilisasi, alat, obat dengan biaya mahal, dengan hasil ibu dan bayi
mungkin tidak dapat diselamatkan.1
Paket 'Kehamilan dan Persalinan Aman' dengan 6 komponen utama, yaitu
(1) deteksi dini masalah, (2) prediksi kemungkinan komplikasi persalinan, (3) KIE
kepada ibu hamil, suami, dan keluarga, pelan-pelan menjadi tahu-peduli-sepakatgerak (TaPeSeGar), berkembang perilaku kebutuhan persiapan dan perencanaan
Persalinan Aman/Rujukan Terencana. Dekat persalinan (near term) belum in
partu, ibu dapat berjalan sendiri naik kendaraan umum berangkat ke RS, (4)
prevensi proaktif komplikasi persalinan, (5) antisipasi 38 minggu melakukan
persiapan/perencanaan persalinan aman, (6) intervensi, penanganan adekuat di
pusat rujukan. Kartu Prakiraan Disproporsi Kepala/Panggul (KPDKP): digunakan
pada kehamilan 38 minggu pada hamil tunggal, letak kepala dengan diukur
panjang telapak kaki kanan ibu dan tinggi fundus uteri untuk menentukan adanya
disproporsi kepala dan panggul. Dalam persalinan menggunakan Partograf
WHO.1
50
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di posyandu dan 1 kali ke dokter
SpOG. Tetapi setelah diketahui pasien memiliki kehamilan gemelli, pasien tidak
langsung dilakukan Rujukan Dini Berencana (RDB) ke fasilitas kesehatan yang
lebih memadai, karena pasien telah memiliki faktor risiko yaitu riwayat abortus,
bekas SC 1 kali dan kehamilan gemelli dengan total jumlah skor Penilaian Risiko
adalah 16. Pasien termasuk dalam kategori Kehamilan Risiko Sangat Tinggi
(KRST)
Pada pasien ini termasuk Kehamilan Risiko Sangat Tinggi / KRST dengan
jumlah skor yaitu 16. Kelompok faktor risiko pada pasien ini termasuk kelompok
FR II, yaitu Ada Gawat Obstetrik/ AGO. Kelompok FR II termasuk kedalam
Rujukan Dini Berencana (RDB). Menurut kepustakaan, rujukan terencana ini
menyiapkan dan merencanakan rujukan ke rumah sakit jauh jauh hari bagi ibu
risiko tinggi/Risti. RDB merupakan Rujukan terencana untuk ibu dengan APGO
dan AGO - ibu risti masih sehat belum inpartu, belum ada komplikasi persalinan,
ibu berjalan sendiri dengan suami, ke RS naik kendaraan umum dengan tenang,
santai, mudah, murah, dan tidak membutuhkan alat ataupun obat.
4.4
Bagaimana kualitas antenatal care (ANC) pada pasien ini?
Diketahui dari anamnesis, pasien ini antenatal care (ANC) selama hamil
kontrol ke posyandu 10 kali dan ke Sp. OG 1 kali. Pasien ini memiliki buku
kesehatan ibu dan anak (KIA). Dalam buku KIA tercatat pertama kali kunjungan
pada tanggal 20/7/2019 pada usia kehamilan 17 minggu. Hal ini tidak sesuai
dengan kepustakaan, seharusnya kunjungan pertama pada trimester pertama
sebelum minggu ke 16. Pada kunjungan selanjutnya sesuai dengan kepustakaan
yaitu pada trimester dua dilakukan antara minggu ke 24-28 dan trimester tiga
dilakukan antara 36-38 minggu usia kehamilan.
Antenatal care adalah pengawasan kehamilan untuk mengetahui kesehatan
umum ibu, mengakkan secara dini penyakit yang menyertai kehamilan,
menegakkan secara dini komplikasi kehamilan, dan menetapkan risiko kehamilan.
Kunjungan ibu hamil adalah kontak ibu hamil dan petugas kesehatan yang
memberi layanan antenatal untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Menurut
51
Depkes, dalam pelaksanaan ANC terdapat kesepakatan adanya standar minimal
yaitu dengan pemeriksaan ANC 4 kali selama kehamilan berikut:1
a. Minimal 1 kali pada trimester 1 (0-13 minggu)
b. Minimal 1 kali pada trimester II (14-28 minggu)
c. Minimal dua kali pada trimester III (29-36 minggu)
Selain itu risiko tinggi ibu hamil dengan faktor risikonya dapat diamati pada
setiap kontak dilakukan skrining berulang secara periodik berulang 6 kali selama
kehamilan sampai hamil genap 6 bulan. Dimana tujuan skrining ini salah satunya
memberi penyuluhan dalam bentuk komunikasi informasi edukasi khususnya
mengenai keputusan untuk perencanaan tempat dan penolong menuju persalinan
aman. Pada pasien ini kuantitas ANC sudah termasuk kriteria dalam kunjungan
ANC.1 Pada pasien ini ANC sangat diperlukan karena pada peninjauan skor faktor
risiko, pasien memiliki riwayat kegagalan kehamilan sebelumnya, riwayat BSC 1
kali dan gemelli dengan skor total 16, sehingga pada interpretasi faktor risiko
kehamilan, pasien ini termasuk Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST).
Sehingga perlu Rujukan Dini Berencana (RDB) disertai dengan Rujukan Tepat
Waktu (RTW). Pada pasien ini seharusnya pada kehamilan trimester III / aterm
harus dirujuk ke Rumah Sakit.
4.5 Bagaimana prognosis pada pasien ini?
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dikarenakan pada pasien ini
tidak terlambat dalam tatalaksana dan gejala perbaikan akan tampak jelas setelah
terminasi persalinan. Perubahan patofisiologik akan segera mengalami perbaikan.
Turunnya tekanan darah mendekati normal merupakan gejala perbaikan.1
52
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
Diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat, yaitu G3P1A1H1 gravid 38-40
minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB + BSC 1x + Janin Gemelli
Hidup intrauterine , presentasi kepala-kepala.
2.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat yaitu diberikan terapi
farmakologis
MgSO4,
nifedipin
serta
terminasi
kehamilan
secara
perabdominal (section cesarean).
3.
Sistem rujukan pada pasien ini tidak tepat, karena pada pasien ini tidak ada
rujukan dari pelayanan kesehatan primer
4.
Secara kuantitas ANC pada pasien ini dikatakan sudah baik, dilihat dari
jumlah kunjungan pasien yang terhitung sebanyak 11 kali. Namun secara
kualitas belum dikatakan baik karena pasien sejak awal kehamilan telah
diketahui termasuk Faktor Risiki II (FR II) dengan AGO (Ada Gawat Darurat
Obstetrik) sehingga dari awal perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan utama
seperti Rumah Sakit Umum.
5.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, ditinjau dari penurunan
tekanan darah menuju normal setelah dilakukan terminasi kehamilan
Saran
1.
Meningkatkan kewaspadaan pelayanan kesehatan primer terhadap ibu hamil
dengan faktor risiko PEB, agar dapat dilakukan penegakan diagnosa yang
tepat dan lengkap, serta faktor risiko sebaiknya dapat dideteksi secara dini
oleh pelayanan kesehatan primer sehingga pasien segera mendapatkan tata
laksana yang cepat dan tepat.
53
2.
Perlu adanya pertimbangan dan rekomendasi dari pihak puskesmas atau
posyandu mengenai RS rujukan terdekat dengan syarat RS tujuan memiliki
fasilitas intensif untuk ibu dan bayi mengingat risiko yang sangat tinggi pada
pasien.
3.
Seharusnya pihak puskesmas atau posyandu melakukan follow up khusus
pada pasien ini dikarenakan risiko kehamilan yang dimiliki cukup tinggi,
seharusnya memberikan rujukan ke RS rujukan terdekat.
4.
Penatalaksanaan pada pasien ini akan lebih baik jika ditangani oleh
multidisiplin ilmu dan sesuai protap yang berlaku, karena pasien termasuk
dalam Rujukan Dini Berencana (RDB) dilihat dari skor peninjauan risiko
kehamilan sehingga dapat ditatalaksana lebih awal.
5.
Baik atau buruknya prognosis pada pasien ini sangat berpengaruh pada tepat
atau tidaknya tatalaksana yang dilakukan oleh DPJP.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
Kebidanan Edisi 4. Sayifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016. Hal. 530-59
2. UNICEF-Maternal Mortality. Published in Februari 2017. Available in:
https://data.UNICEF.org/topic/maternal/health/maternal-mortality/
3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2017. Hal 151-2.
4. Profil Kesehatan Riau tahun 2018. Hal.19-20.
5. Winkjosastro H, Ssaifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Preeklampsia dan
eklampsia. In : Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.
6. Dhananjay BS. A study factor affecting perinatal mortality in eclampsia. PBS.
2009; 22(5):2-5.
7. Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: diagnosis dan tatalaksana pre-eklampsia. Jakarta : 2016
8. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan (Keempat). PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta : 2016
9. Indriani
N.
Analisis
Faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
preeklamsia/eklamsia pada ibu bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinah Kota Tegal. [skripsi]. Universitas Indonesia. Jakarta, 2011
10. Budjang R.F. Hipertensi dalam Kehamilan In Wiknjosastro, H. Ilmu
Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2010
11. WHO, Geneva, Mother-Baby Package, Implementing safe Motherhood in
Countries, 1995
12. Rochjati P. Buku skrining antenatal pada ibu hamil, 2003
13. Walsh. Buku Ajar Kebidanan Komunitas: EGC; 2017.
55
14. Rochyati p. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil: Pengenalan Faktor Risiko;
2003
15. Widarta GD, Laksana MAC, Sulistyono A, Purnomo W. Deteksi Dini Risiko
Ibu Hamil dengan Kartu Skor Poedji Rochjati dan Pencegahan Faktor Empat
Terlambat. Majalah Obstetri & Ginekologi. 2015;23(1).
16. Riski K, Inayatul FE, Fitriani MI. Faktor Risiko yang Mempengaruhi
Terjadinya Efektifitas Pendidikan Kesehatan Tentang Kehamilan Risiko
Tinggi terhadap Pengetahuan Ibu Hamil. 2012.
17. Rustam M. Sinopsis Obstetri. Edisi ke – 2. Jakarta; 1998.
18. Kurniawwati DO, Sugiarti, Pontoh* AH. Profil Ibu Hamil Risiko Tinggi
Berdasarkan Umur dan Paritas. 2015.
19. Pratiwi CS. Faktor Risiko Pada Ibu Hamil di Kota Yogyakarta tahun 2013.
20. Manuaba. Ilmu Kebidanan Penyakit dan Keluarga Berencana. Jakarta;1998.
21. Saifuddin. 2014. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
22. Adrianz G. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi
4. Sayifuddin AB, Rachimhadi T, Wiknjosastro GH, Editor. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016..
23. Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.; 2014.
24. Mufdlilah. Antenatal Care Focused. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009.
25. RI K. Report on The Achievement of the Millenium Development Goals in
Indonesia 2011: Kementrian Kesehatan RI; 2012.
26. R PA. Panduan Praktikum Keperawatan Maternitas; 2016.
27. Fitrayeni, Suryati, Faran RM. Penyebab Rendahnya Kelengkapan Kunjungan
Antenatal Care Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pegambiran. jurnal
kesehatan masyarakat andalas. 2015;10(1).
28. Sriwahyu A, Yusad Y, Mutiara E. Faktor yang Berhubungan Dengan
Pemanfaatan Antenatal Care (Anc) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Lawe
Sumur
Kabupaten
Aceh
Tenggara
Tahun
2013.
2013.http://repository.unimus.ac.id
56
29. Rauf NI, Balqis MYA. Faktor yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan
Pelayanan Antenatal Care Di Puskesmas Minasa Upakota Makassar Tahun
2013. . 2013.
30. Hasana U, Darmawansyah, Amir MY. Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemanfaatan Antenatal Care Di Puskesmas Antara Kota Makassar. 2012.
31. Titik Wijayanti, Setiyaningsih A, Nurhidayati N. Analisis Pengaruh Penerapan
Standart Pelayanan Kehamilan Terhadap Kunjungan Ibu Hamil Di Puskesmas
Gemolong Sragen Tahun 2011. jurnal kebidanan. 2013;5(2).
32. Hidayah L, Handayani OWK, Indriyanti DR. Pelayanan Kesehatan Maternal
Dalam Akselerasi Penurunan Maternal Mortality. Public Health Perspective
Journal. 2016;1(1).
33. 2010 KRDJBKMPPATt. Jakarta 2010.
34. Padila. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.; 2014.
35. RI K. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta 2012.
36. Norma Ella, Febriani I, Fandi Z, Rismawati U. Cakupan Kunjungan Pertama
Ibu Hamil Pada Pelayanan Antenatal. Jurnal Ilmiah Mahasiswa.2012;2(1).
37. Sulistyawati.
Asuhan
Kebidanan
Pada
Masa
Kehamilan.
jakarta:
SalembaMedika; 2010.
38. Indonesia KKR. Buku Kesehatan Ibu dan Anak; 2015.
39. Anitasari YI, Widiyastuti NE. Hubungan Cakupan K4 Bidan Dengan Deteksi
Dini Resiko Tinggi Kehamilan Di Kecamatan Rembang Jurnal kebidanan.
2012;4(2).
40. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe SJ, Hoffman BL, Casey BM,
Spong CY. William Obstetrics 25thed. United States: Mc-Graw Hill
Education; 2018.
41. Myrtha R. Penatalaksanaan Tekanan Ddarah pada Preeklampsia. 2015. Jurnal
Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 42. Hal; 262-66.
42. Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery: an
admission scoring system. Obstet Gynecol 90 : 907-10.
57
Download