1 Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor Liana Verawaty, IGAA Dwi Karmila Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar BAB I PENDAHULUAN Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna baik hipopigmentasi, hiperpigmentasi ataupun eritematosa, tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.1,2 Prevalensi PV di daerah tropis mencapai 60%, sedangkan di daerah subtropis atau daerah dengan empat musim, prevalensi cenderung lebih rendah. PV lebih banyak dijumpai pada usia dewasa muda baik lakilaki ataupun perempuan. 3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 4 Genus Malassezia spp., yang sebelumnya dikenal sebagai Pityrosporum, termasuk didalamnya adalah 14 spesies yeast basidiomycetous lipofilik. Setiap spesies ini dibedakan berdasarkan kebutuhan nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua Malassezia spp. membutuhkan lipid karena tidak mampu mensintesis asam lemak jenuh kecuali M. pachydermatis. 1,2 Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis. Malassezia juga berperan pada beberapa penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan psoriasis. Fitz Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal ada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher 2 yang cenderung banyak mengandung lemak permukaan. 3 Sebuah studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa. 4 Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan kulit. 2 Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. 6,7 Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. 7 Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.3,4 Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh. 5 Terapi topikal merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor. Terapi sistemik, dapat dipilih apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas, rekurensi, dan gagal terapi topikal. 2,8 Studi menunjukkan, terapi dalam jangka waktu yang lama, konsentrasi yang lebih tinggi pada terapi topikal dan dosis yang lebih tinggi pada terapi oral, terbukti meningkatkan angka kesembuhan. 2,5,8 Lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama sampai hitungan bulan, meskipun penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien merasa penyakit belum sembuh. 8 Repigmentasi memerlukan waktu lama dan dari segi kosmetik sering dirasakan mengganggu oleh pasien. 9 Tujuan tinjauan pustaka ini adalah menambah pemahaman mengenai mekanisme hipopigmentasi yang terjadi pada PV, penatalaksanaan untuk PV dan repigmentasinya. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pitiriasis Versikolor 2.1.1. Defiinisi Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.1,2 Perubahan warna dapat berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Sinonim PV antara lain tinea versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver spots, chromophytosis, tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu. 3 2.1.2. Epidemiologi Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan hanya 1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 2,3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia terletak pada garis ekuator dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di daerah tropis, laki-laki 4 cenderung lebih banyak menderita PV dibandingkan dengan perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan. 3 2.1.3. Etiologi dan Patogenesis PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale, tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap hanya satu spesies, yakni M. furfur, namun analisis genetik menunjukkan berbagai spesies yang berbeda dan dengan teknik molekular saat ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M. pachydermatis.1,5 Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang berhubungan dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan urutan spesies predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode isolasi. 3 Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies tertentu. 4 PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang menjadi bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor yang mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO 2 yang meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi. 1,2 Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap memudahkan terjadinya PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin berpengaruh terhadap kerentanan terhadap PV, dan hal tersebut cenderung mempengaruhi awitan yang lebih muda pada 5 pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi penyakit yang lebih lama. 3 Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada kerentanan terhadap PV. Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit, diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain. 1 Belum ada penjelasan mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi. 6 Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa proses imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit dan peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar. Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum korneum. 10 2.1.3.1 Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap. 11 Hipopigmentasi akan menetap 6 beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit tryptophandependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol tersebut ada yang mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan downregulation proses inflamasi, antara lain. 2,3,5 Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.4 Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm memberikan warna kuning-kehijauan. Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat aktivitas 5-lipoksigenase. Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama. Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik dan kemampuannya mempresentasikan antigen. Mayser et al., menyatakan bahwa M. furfur menunjukkan sejumlah besar produksi pigmen indol dan fluorochromes saat ditumbuhkan dengan tryptophan (Trp) sebagai sumber nitrogen, yang dapat menjelaskan berbagai gejala klinis dari PV. 9 Pada tanaman patogen Ustilayo maydis, yang mewakili filogenetik dari Malassezia spp. akhir-akhir ini menunjukkan jalur biosintetik dari produksi pigmen Trp adalah berdasarkan aktivitas suatu enzim yaitu transaminase 1 (TAM 1). 7,12 Trp aminotransferase mengubah Trp menjadi indolepyruvate (IP). Lebih jauh lagi ditemukan bahwa pigmen indol dapat berkembang secara spontan dari IP dan Trp 7 tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp dikatalisa dari biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1. 12 Hal ini menunjukkan bawa penggunaan spontan dari metabolit produk mampu mengkonstitusi salah satu jalur penting dalam patofisiologi PV.8 Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta penebalan stratum korneum.13 Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya hiperpigmentasi.1,14 Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi hal ini belum terbukti. 14 2.1.3.2 Proses Repigmentasi Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase. 15 Pada pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi mulai melanosom hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode waktu tertentu. 16 Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxideliberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat. 7,17 Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit. Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. 17 Melanosit dan 8 keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses repigmentasi pada PV. 2 2.1.4. Gambaran Klinis Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat. Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini karena warna skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. 3 Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar matahari, dan derajat keparahan penyakit. 18 Pada orang kulit putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau hipopigmentasi. 1 Pada lesi awal biasanya akan muncul area hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat muncul pada satu pasien. 18 Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek, scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier). 2,18 Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.1,2,18 9 Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi karena hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas jelas dengan skuama tipis. 2 Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi. A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.2 Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas ke bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan meluas ke daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif jarang, lesi juga dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut sebagai tipe inversa; selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.1,2,18 Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk atrofikans, periareolar atau imbrikata. 10,19,20 Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais lain, 10 misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia. 3,21 Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap. 22 2.1.5 Diagnosis Banding Bentuk gambaran klinis dari PV bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. Pada lesi awal biasanya akan muncul lesi hipopigmentasi, namun seiring dengan waktu lesi tersebut lama kelamaan dapat menjadi hiperpigmentasi. 23 Oleh karena itu, diagnosa banding untuk PV dibedakan pula menurut warna lesi yang muncul yaitu hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. 22,23 Diagnosis banding PV dengan lesi hiperpigmentasi antara lain yaitu pitiriasis rosea, eritrasma, dermatitis seboroik, dan tinea korporis. Diagnosa banding PV dengan lesi hipopigmentasi antara lain yaitu pitiriasis alba, vitiligo, morbus hansen tipe tuberkuloid, hipopigmentasi paska inflamasi, pinta, chemical leucoderma, dan progressive macular hypomelanosis. Berikut adalah diagnosis banding pitiriasis versikolor dengan lesi hipopigmentasi : 1. Pitiriasis alba Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3–16 tahun (30-40%). Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Bercak biasanya multipel 4 – 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50 – 60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, dan dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood, kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik. 2 2. Vitiligo 11 Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas, dan asimtomatis. Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris tengah beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum), bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku). 2,24 Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya. 24,25 3. Morbus Hansen (MH) Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita MH mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat soliter atau multipel, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi, biasanya terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi karena menurunnya aktivitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom. 2 4. Hipopigmentasi Paska Inflamasi (HPI) Hipopigmentasi paska inflamasi merupakan hilangnya sebagian atau total dari pigmentasi kulit, yang terjadi setelah inflamasi pada kulit. Distribusi dan derajat keparahan kehilangan pigmen berkaitan dengan luas dan derajat inflamasi. 26 Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoriasis. 25 Hipopigmentasi terjadi segera setelah 12 resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari. 2,25 Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis, hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipopigmentasi akan menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya. 27 5. Pinta (carate, mal de pinta, azul) Pinta yang berarti bercak warna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh Treponema carateum. Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa papule eritem, soliter atau multipel. Dalam beberapa minggu berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat mencapai ukuran diameter 20 cm. Predileksi pada daerah yang terbuka misalnya tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga tahunan atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi. Lesi sekunder (pintids) timbul antara 1 hingga 12 bulan kadang tahunan setelah munculnya lesi primer, berupa papul eritem yang berkembang menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Beberapa lesi dapat berbentuk anular atau sirsinata dengan batas yang meninggi dimana jumlah treponema ditemukan tinggi. Sejalan dengan waktu, lesi berubah warna menjadi coklat atau tembaga dan kadang biru, abu-abu atau hitam. Dalam 1 plak dapat dijumpai lebih dari satu warna. Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder. Gambaran klinis utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai warna coklat, biru, merah dan ungu. Lesi mempunyai batas ireguler dan berukuran bervariasi. Makula timbul simetris pada penonjolan tulang, seperti 13 pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis, degenerasi sel basal. Trepanoma dapat ditemukan di epidermis pada stadium primer, sekunder, dan tersier tapi tidak ditemukan treponema pada makula depigmentasi. Lesi primer atau sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan namun lesi stadium lanjut akan menetap seumur hidup. 2,29 6. Chemical leucoderma Chemical leucoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan berulang bahan kimia terutama derivat fenol dan sulfhydryl. Telah dilaporkan terjadinya leukoderma ada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon (MBEH) yang digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan pada disinfektan dan germisida tetapi juga pada tape adesif, kontrasepsi diafragma, baju karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet dan lain-lain. Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat menyerupai vitiligo. Makula hipopigmentasi bewarna putih susu tidak hanya terjadi di tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya permanen. Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan atau dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat reversibel jika paparan dihentikan. Hipomelanosis oleh karena hidrokuinon biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi depigmentasi penuh dan tidak ada lesi satelit. Kelainan ini bersifat reversibel. Pada pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak mempunyai gambaran diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo. Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada epidermis dan dermis. Terdapat banyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tirosinase, hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis melanosom, 14 gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit atau berkurangnya sintesis melanin di melanosom. Sulfhidril merupakan bahan sitotoksik yang mengganggu pembentukan melanin dengan cara menghambat tirosinase atau lebih mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibanding melanogenesis. Tes definitif ataupun histologi untuk membedakan vitiligo dengan chemical leucoderma belum ada. Chemical leucoderma bersifat irreversibel jika bahan kimia tersebut tidak segera dieliminasi dengan segera. Leukoderma yang disebabkan oleh hidrokuinon biasanya pulih secara spontan, terutama jika ditambah dengan sinar ultraviolet. 2 7. Progressive Macular Hipomelanosis Progressive macular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang menyebar cepat pada badan. Terjadi terutama pada wanita usia 18-25 tahun. Sering disangka sebagai PV dan pitiriasis alba. Lesi berbentuk makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama, bentuk numular dan dapat berkonfluen. Predileksi di badan dan punggung. Patogenesis PMH belum diketahui. Menurut Guilet dkk., kelainan ini terjadi karena campuran gen kulit hitam dan putih yang berasal dari orang tua penderita. Dugaan ini timbul karena kelainan ini banyak dijumpai pada ras campuran. Wiete dkk., mengatakan kelainan ini diakibatkan oleh Propionibacterium acnes. Makula hipopigmentasi timbul karena P. acnes, diduga menghasilkan zat yang menghambat melanogenesis seperti mekanisme hipopigmentasi pada PV. Hal ini berdasarkan pengamatannya bahwa lesi makula hipopigmentasi pada PMH memberikan fluorosensi berwarna merah dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu Wood. Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit 15 berkurang. Penemuan ini menunjukkan bahwa kelainan ini mungkin merupakan hasil dari perubahan ukuran dan distribusi melanosom. 2,29 Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apapun tapi dapat menyembuh secara spontan dalam waktu 3 bulan hingga 4 tahun. Wiete dkk. melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan antibiotik topikal yang berfungsi untuk menekan P. Acnes dan merangsang melanogenesis dengan hasil yang bagus. 29 2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama yang berasal dari kerokan atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau miselia jamur yang seperti putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan v, serta spora bulat atau oval dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol, sehingga memberi gambaran khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana and grapes. 1,2 Temuan miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan daripada spora.1 Pengecatan dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-hitam memberi warna biru pada jamur yang mempermudah pemeriksaan. 16 Gambar 3. Gambaran spaghetti and meatballs Malassezia pada preparat KOH 2 Pemeriksaan dengan lampu Wood juga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis terutama untuk bercak PV subklinis, warna kuning kehijauan akan 16 berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi oleh spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan fluorochromes. 15 Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna kuning kehijauan pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone. Pityrialactone adalah salah satu metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar di bawah lampu UV 365 nm. 1,2 Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat menunjukkan lesi yang lebih luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan biasa. Perlu diketahui bahwa tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi dengan lampu Wood. 2 ,3 Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan tambahan streptomycin, penicillin, dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di atasnya tidak bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal kulit.1,2 Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak pada kultur dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni et al. di Tunisia yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak 65% pada kultur dengan medium Dixon dengan teknik molekuler. 15 Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada melanosit dan infiltrat sel radang minimal. 15 Organisme terkadang tampak di sekitar folikel rambut dan di sekitar muara folikel. 2.2 Penatalaksanaan PV dan Terapi Repigmentasi 2.2.1 Terapi Topikal dan Sistemik Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor antara lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid, siklopiroksolamin, begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin. Protokol yang digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion selenium sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10 menit 17 kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus yang luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan sebagai regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai alternatif, dapat digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena, didiamkan selama 5 menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama tiga hari berturut-turut. Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali sehari pada area yang terkena selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan lebih dari 80%. Walaupun terapi topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir, atau ringan terapi sistemik mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit yang luas, sering berulang, atau jika tidak berhasil dengan agen topikal. 1,2 Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral merupakan suatu alilamin, tidak direkomendasikan untuk pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena obat ini tidak dihantarkan secara efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas obat serta interaksi melalui pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus diperhatikan pada penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea versikolor. Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi. 30 Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan PV. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat 18 digunakan, meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang keuntungan terapi kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan, mengingat angka rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang sulit dihindari. 3 Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida 1,8% sekali seminggu, 1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol 400mg/minggu pada hari yang sama selama 3 bulan. Cara tersebut dapat dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang luas. 2,3 Tabel 1. Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 2,3 Nama Obat topikal Berbagai derivat azol, missal mikonazol Terbinafin Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi terbatas Krim 1-2x/hari Untuk lesi terbatas. Tidak dianjurkan FDA untuk PV Ketokonazole Sampo 2% Selenium sulfide Sampo 1,8% Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 1x 5 menit/hari sebelum mandi a. Minimum 1x10 menit/hari sebelum mandi b. Setiap dua hari sekali tiap malam sebelum tidur 2x/hari setiap hari Propylene glycol Zinc pyrithioe Solusio 50% Sampo 2X/hari Dioleskan 5 menit/hari selama Mewarnai pakaian, tidak untuk wajah dan genitalia Bau menyengat sulit hilang, sebaiknya tidak untuk wajah 19 2 minggu Obat sistemik Ketoconazol Tablet 200mg Itrakonasol Kapsul 100 mg Flukonasol Tablet 50 mg dan 150 mg a. 1 tablet/hari selama 7-10 hari b. Dosis tunggal 2 tablet atau diulang hingga 4 dosis dalam 2 minggu a. 800-1000mg terbagi dalam 5 hari b. 200-400 mg/hari selama 3-7 hari c. 400 mg dosis tunggal 400 mg dosis tunggal atau di ulang setelah 2 minggu Perhatian pada efek samping dan interaksi obat Untuk kasus rekalsitran. Perhatian pada efek samping dan interaksi obat Tidak dianjurkan FDA untuk PV Terapi topikal yang mengandung asam salisilat 3-6%, asam undesilenat, tolnaftat, masih dapat digunakan untuk PV lesi terbatas, meskipun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan obat antijamur baru. Secara in vitro, Malassezia spp. sensitif terhadap terbinafin, akan tetapi pemberian terbinafin oral tidak efektif untuk pengobatan PV. 29 Sediaan terbinafin topikal bentuk gel 1% dan solusio 1% sekali sehari dilaporkan berhasil baik pada PV dan telah disetujui FDA (Food and Drug Association), meskipun bentuk krim tidak dianjurkan. 2,3 Studi di Indonesia menggunakan solusio 1% memberikan hasil yang kurang memuaskan. 31 Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia.1,5 Angka kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.30 Terapi preventif yang dapat digunakan antara lain berupa obat topikal 1 - 2kali per bulan; ketokonazol 400mg sekali sebulan 20 atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal bulan; atau itrakonazol 2 kali 200mg/ hari setiap bulan.1,5 Meskipun demikian, sebaiknya diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif dalam jangka lama. 1 2.2.2 Terapi Baru Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan. 1,5 Semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang dikembangkan berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat. 10 Terapi fotodinamik dengan 5-aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas. 33 Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2% krim pada PV. 33 1. Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam berbagai fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot, modulasi respon imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa kasus, tubuh menggunakan NO sebagai perlindungan terhadap patogen dan invasi mikroba umumnya. Nitric oxide adalah salah satu efektor sitotoksik yang penting dalam pertahanan respon imun terhadap mikroorganisme intraseluler dan patogen, seperti jamur, yang terlalu besar untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi oleh beberapa enzim yang dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. 17 Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi NO pada keratinosit dipacu oleh radiasi UV. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan melanogenesis. 2 Pemberian NO 3% topikal sebanyak 2 kali sehari menunjukkan perbaikan yang signifikan. 17 Sebuah laporan kasus di Jerman melaporkan aplikasi cycloserine 0,2mol/ L dua kali sehari selama 5 hari menghasilkan repigmentasi cepat dari lesi hiperpigmentasi PV. 2. Cycloserine, sebuah inhibitor TAM (transaminase) mampu menghambat produksi pigmen dari M. furfur in vitro pada dosis tertentu. Cycloserine telah dikenal 21 sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai lini kedua terapi untuk infeksi Mycobacterium tuberculosis. Cycloserine bekerja dengan menghambat enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin ligase yang menyebabkan deplesi D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang pertama menunjukkan hasil yang impresif dari aplikasi TAM inhibitor topikal untuk PV. Hasil ini mampu menunjukkan pentingnya jalur metabolik Trp pada patogenesis PV dan membantu mengembangkan pendekatan terapi baru serta pencegahannya. Pembentukan metabolit dari Trp harus dihentikan pada stadium awal karena apabila efek farmakologi telah terbentuk dan berkembang maka intervensi terapi akan sulit. 11 3. Terapi Fotodinamik Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa strain jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya tampak dengan adanya photosensitizer. 34 Terapi fotodinamik telah banyak digunakan di seluruh dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu pula untuk penyakit inflamasi maupun infeksi kulit lain. 37 Pada infeksi dermatofit, secara in vitro terapi fotodinamik menunjukkan degradasi hifa dan inaktivasi dari spora. Jumlah cahaya yang sesuai harus menembus sampai stratum korneum dan folikel rambut, biasanya berada pada spektrum regio cahaya merah. 37 Kim melaporkan penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan terapi fotodinamik untuk lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang memuaskan. ALA 20% topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan ditutup dengan bahan oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang berlebih dibersihkan dan lesi disinari dengan cahaya dari diode pemancar cahaya (gelombang cahaya 630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan adalah 100 J/cm2 dan dosis cahaya yang diberikan adalah 70-80J/cm2. Prosedur diulangi 2 minggu kemudian dengan peningkatan dosis cahaya kelipatan 10 J/ cm2. Lesi membaik dalam 4minggu dan pasien diobservasi sampai dengan 3bulan tanpa reinfeksi. 34 4. Adapalene 22 Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk pengobatan PV memberikan efikasi yang sama dibandingkan dengan ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog asam retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas yang aman dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang menggunakan kortikosteroid terdapat penurunan epidermal turnover sehingga PV kerap muncul. Adapalene diduga mampu melepaskan keratinosit abnormal dan menormalkan kembali disfungsi keratinisasi dari keratinosit serta disfungsi epidermal turnover pada lesi PV. Kelebihan lainnya, adapalene mampu menurunkan sekresi sebum dari kelenjar sebasea, sehingga adapalene gel topikal mampu menciptakan lingkungan yang kurang nyaman untuk Malassezia spp. sehingga menurunkan propagasi Malassezia spp. dan jumlah spora serta hifa dengan cara eliminasi bersamaan dengan lepasnya keratinosit abnormal pada lapisan keratin. Hal ini menyebabkan PV lebih mudah diobati. 33 Pada salah satu mekanisme lesi hiperpigmentasi dinyatakan bahwa faktor inflamasi turut berperan. Adapalene memiliki aktivitas anti inflamasi. Berdasarkan kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang menemukan bahwa adapalene gel topikal mengurangi reaksi inflamasi. Efek imunomodulasi dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada lesi PV sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan jamur dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia spp. untuk hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi kemungkinan resistensi obat terhadap jamur. 23 BAB III RINGKASAN Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna, baik hipopigmentasi, hiperpigmentasi ataupun eritematosa, yang tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal. Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis pitiriasis versikolor pada umumnya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari. Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan sehingga penting dinformasikan ke pasien agar tidak menganggap penyakitnya belum sembuh. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang dikembangkan terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream 24 selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan angka kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik dengan 5aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas. Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2% krim pada pitiriasis versikolor. DAFTAR PUSTAKA 1. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: WileyBlackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12. 2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 2298-311. 3. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h. 24-34. 4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h. 24-34. 5. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. The Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev 2012; 25: 106-41. 6. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In: Brakhage AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2 nd ed. Berlin: Springer; 2008. p. 115-54. 7. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52: 541-3. 8. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions. Arch Dermatol 2010; 146:1132. 25 9. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52: 541-3. 10. Crowson AN, Magro CM.Atropyhing tinea versicolor : A clinical and histological study of 12 patients. Int J Dermatol 2003; 42: 928-32. 11. Akaberi AA, Amini SS, Hajihosseini H. An Unusual Form of Tinea Versicolor: A Case Report. Iran J of Dermatol 2009; 12(3): 30-1. 12. Zuther K, Mayser P, Hettwer U, Wu W, Spiteller P, Kindler BL, et al. The tryptophan aminotransferase Tam1 catalyses the single biosynthetic step for tryptophan-dependent pigment synthesis in Ustilago maydis. Mol Microbiology 2008; 68:152-72. 13. Ashbee HR and Evans EGV. Immunology of diseases associated with species Malassssezia. Clin Microbiol Rev 2002; 15:21-57. 14. Gaitanis G, Chasapi V, Velegraki A. Novel application of the MassonFontana stain for demonstrating Malassezia species melanin like pigment production in vitro and in clinical specimens. J Clin Microbiol 2005; 43:414751. 15. Erchiga VC and Hay RJ. Pityriasis Versicolor and Other Malassezia Skin Diseases. In: Boekhout T, Gueho-Kellerman E, Mayser P, Velegraki A. editors. Malassezia and the Skin. 9th ed. Berlin: Springer; 2010, p.175-99. 16. Oliveira JR, Mazocco VT, Steiner D. Pityriasis Versicolor. An bras Dermatol 2012; 77(5): 611-8. 17. Jowkar F, Jamshidzadeh A, Pakninyat S, Namazi MR. Efficacy of nitric oxide-liberating cream on pityriasis versicolor. J Derm Treat 2010; 21:93-6. 18. El-Gothamy ZMG. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom Dermatol Soc 2004; 1:38-43. 19. Smith BL, Koestenblatt EK, Weinberg JM. Areolar and periareolar Pityriasis Versicolor. JEADV 2004;18:736-48. 20. Zawar V, Chuh A. Pityriasis Versicolor imbricate – overlapping parallel scale in a novel variant of pityriasis versicolor. JEADV 2008; 22: 1143-4. 21. Venkatesen P, Prefect JR, Myers SA. Evaluation and management of fungal infection in immunocompromissed patients. Dermatol Ther 2009; 12: 87-107. 22. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. Comparative study for the reliability of cellophane tape and standard KOH mount in diagnosis of pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and Venereol 2010; 17(2): 29-34. 23. Aljabre SHM, Alzayir AAA, Abdulghani M, Osman OO. Pigmentary changes of tinea versicolor in dark skinned patients. Int J Dermatology 2001; 40: 2735. 24. Callen JP. Vitiligo. In: Frankel DH, editor. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 158-9. 26 25. Ortonne, Jean-Paul., Passeron, Thierry. Vitiligo and Other Disorders of Hypopigmentation. In : Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Schaffer, J.V., editors. Dermatology. 3rded. New York: Elseviers; 2012: p. 1049-74. 26. Vachiramon, V., Thadanipon, K. Postinflammatory Hypopigmentation. Clinical and Experimental Dermatology. Thailand. 2011: 708-14. 27. Halder, Rebat, M ., Nandedkar, Maithily.A., Neal, Kenneth, W. Pigmentary Disorders in Pigmented Skins. In: Halder, Rebat, M. Dermatology and Dermatological Therapy of Pigmented Skins. 2006: p. 114-43. 28. Kahn IW, Schmidt B, Aberer W, Abere E. Pinta in Austria (or Cuba?) Import of an extinct disease?. Citated on 21 April 2014. Available at: www.archdermatol.com. 29. Westerhof W, Relyved GN, Kingswijk MM. Propionibacterium acnes and the pathogenesis of Progressive macular hypomelanosis. Citated on 21 April 2014. Available at: www.archdermatol.com. 30. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. Treatment of pityriasis versicolor in United States. J Dermatolog Treat 2004; 15: 89-92. 31. Budimulja U, Paul C. One-week terbinafine 1% solution in pityriasis versicolor: twice-daily application is more effective than once-daily. J Dermatolog Treat 2002; 13: 39-40. 32. Charles AJ. Superficial cutaneous fungal infections in tropical countries. Dermatol Ther 2009; 22:550-9. 33. Shi TW, Ren XK, Yu HX, Tang YB. Roles of Adapalene in the Treatment of Pityriasis Versicolor. Dermatology 2012; 224:184-8. 34. Kim YC. Successful Treatment of Pityriasis Versicolor With 5Aminolevulinic Acid Photodynamic Therapy. Arch Dermatol Sep 2007; 143(9):1218-20.