Uploaded by e.yulistika

Penatalaksanaan Pitriasis Versikolor

1
Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor
Liana Verawaty, IGAA Dwi Karmila
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar
BAB I
PENDAHULUAN
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat
infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas
berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna baik hipopigmentasi,
hiperpigmentasi ataupun eritematosa, tertutup skuama halus, terutama pada bagian
atas dan ekstremitas proksimal.1,2 Prevalensi PV di daerah tropis mencapai 60%,
sedangkan di daerah subtropis atau daerah dengan empat musim, prevalensi
cenderung lebih rendah. PV lebih banyak dijumpai pada usia dewasa muda baik lakilaki ataupun perempuan. 3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi
salah satu faktor pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak
kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 4
Genus Malassezia spp., yang sebelumnya dikenal sebagai Pityrosporum,
termasuk didalamnya adalah 14 spesies yeast basidiomycetous lipofilik. Setiap
spesies ini dibedakan berdasarkan kebutuhan nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua
Malassezia spp. membutuhkan lipid karena tidak mampu mensintesis asam lemak
jenuh kecuali M. pachydermatis.
1,2
Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini
menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis.
Malassezia juga berperan pada beberapa penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik,
dermatitis atopik, dan psoriasis. Fitz Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik,
dimorfik yang hidup komensal ada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher
2
yang cenderung banyak mengandung lemak permukaan.
3
Sebuah studi di Indonesia
melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan
M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa. 4
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan
kulit.
2
Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat, suatu
asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase
dalam alur produksi melanin.
6,7
Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah
senyawa indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi
yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. 7 Penemuan dominasi M. furfur
pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol
yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi
jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten
terhadap sinar matahari.3,4
Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai
jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh.
5
Terapi
topikal merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor. Terapi sistemik,
dapat dipilih apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas, rekurensi, dan gagal
terapi topikal.
2,8
Studi menunjukkan, terapi dalam jangka waktu yang lama,
konsentrasi yang lebih tinggi pada terapi topikal dan dosis yang lebih tinggi pada
terapi oral, terbukti meningkatkan angka kesembuhan.
2,5,8
Lesi hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama sampai hitungan bulan, meskipun
penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien merasa penyakit belum sembuh. 8
Repigmentasi memerlukan waktu lama dan dari segi kosmetik sering dirasakan
mengganggu oleh pasien. 9 Tujuan tinjauan pustaka ini adalah menambah pemahaman
mengenai mekanisme hipopigmentasi yang terjadi pada PV, penatalaksanaan untuk
PV dan repigmentasinya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pitiriasis Versikolor
2.1.1. Defiinisi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit
kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis khas berupa
bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang tertutup skuama halus,
terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.1,2 Perubahan warna dapat
berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Sinonim PV antara lain tinea
versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver spots, chromophytosis,
tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu. 3
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan hanya
1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis terbanyak kedua di
antara dermatofitosis lain di Indonesia.
2,3
Lingkungan yang hangat dan lembab
diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia terletak pada garis ekuator
dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan kelembaban 70%. PV lebih
banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda baik laki-laki maupun
perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 21-25 tahun, sedangkan pada
perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di daerah tropis, laki-laki
4
cenderung lebih banyak menderita PV dibandingkan dengan perempuan, yang
dikaitkan dengan jenis pekerjaan. 3
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis
PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik yang dahulu
disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale, tetapi saat ini telah
diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap hanya satu spesies,
yakni M. furfur, namun analisis genetik menunjukkan berbagai spesies yang berbeda
dan dengan teknik molekular saat ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M.
sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M.
japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M.
pachydermatis.1,5
Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal
pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak
mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang berhubungan
dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan
urutan spesies predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode
isolasi.
3
Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari
PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M.
sympoidalis, dan M. globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin,
maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies tertentu. 4
PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang menjadi
bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor yang
mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO 2 yang meningkat
pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan
kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi. 1,2
Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap memudahkan terjadinya
PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin berpengaruh terhadap kerentanan
terhadap PV, dan hal tersebut cenderung mempengaruhi awitan yang lebih muda pada
5
pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi
penyakit yang lebih lama.
3
Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada
kerentanan terhadap PV. Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang
normal di kulit, diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain. 1 Belum ada
penjelasan mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis
bahwa lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga
muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi. 6
Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi tidak
dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa proses
imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit dan
peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan
meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya
elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada respon imun yang
diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang akan mengakibatkan
apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar. Malassezia juga
mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi
Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara
jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan
melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter
tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi
hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum
korneum. 10
2.1.3.1 Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan
kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam azeleat, suatu asam
dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam
alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit
termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini
terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap.
11
Hipopigmentasi akan menetap
6
beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan
kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu
Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit tryptophandependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang
merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol tersebut ada yang
mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan downregulation
proses inflamasi, antara lain. 2,3,5
 Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya.
Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya
pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin
memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet,
sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.4
 Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm
memberikan warna kuning-kehijauan.
 Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat
aktivitas 5-lipoksigenase.
 Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan
apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.
 Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik
dan kemampuannya mempresentasikan antigen.
Mayser et al., menyatakan bahwa M. furfur menunjukkan sejumlah besar
produksi pigmen indol dan fluorochromes saat ditumbuhkan dengan tryptophan (Trp)
sebagai sumber nitrogen, yang dapat menjelaskan berbagai gejala klinis dari PV. 9
Pada tanaman patogen Ustilayo maydis, yang mewakili filogenetik dari Malassezia
spp. akhir-akhir ini menunjukkan jalur biosintetik dari produksi pigmen Trp adalah
berdasarkan aktivitas suatu enzim yaitu transaminase 1 (TAM 1). 7,12 Trp
aminotransferase mengubah Trp menjadi indolepyruvate (IP). Lebih jauh lagi
ditemukan bahwa pigmen indol dapat berkembang secara spontan dari IP dan Trp
7
tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp
dikatalisa dari biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1.
12
Hal ini menunjukkan
bawa penggunaan spontan dari metabolit produk mampu mengkonstitusi salah satu
jalur penting dalam patofisiologi PV.8
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta
penebalan stratum korneum.13 Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis
serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya
hiperpigmentasi.1,14 Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat
memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi
hal ini belum terbukti. 14
2.1.3.2 Proses Repigmentasi
Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki
efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase. 15 Pada
pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi
mulai melanosom hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam
dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin
menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan
hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat
repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode
waktu tertentu. 16
Dengan semakin
berkembangnya
pengetahuan
mengenai patogenesis
perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan
menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxideliberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan
dengan repigmentasi cepat. 7,17
Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit.
Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan
berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. 17 Melanosit dan
8
keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi
nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan
aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses
repigmentasi pada PV. 2
2.1.4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah atau
kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat.
Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini karena warna
skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. 3 Pigmentasi lesi
yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar
matahari, dan derajat keparahan penyakit.
18
Pada orang kulit putih, lesi berwarna
lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak menjadi tan pada pajanan
matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau
hipopigmentasi.
1
Pada lesi awal biasanya akan muncul area hipopigmentasi
sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini
dapat muncul pada satu pasien.
18
Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas,
tertutup skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya
skuama pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi
akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek,
scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier).
2,18
Pada penyakit yang telah
lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi
bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.1,2,18
9
Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi karena
hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas
jelas dengan skuama tipis. 2
Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi.
A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.2
Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas ke
bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan meluas ke
daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif jarang, lesi juga
dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut sebagai tipe inversa;
selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.1,2,18 Variasi klinis yang
jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk atrofikans, periareolar
atau imbrikata. 10,19,20
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien
seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais lain,
10
misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia. 3,21 Pada
kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan
akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap. 22
2.1.5 Diagnosis Banding
Bentuk gambaran klinis dari PV bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga
coklat. Pada lesi awal biasanya akan muncul lesi hipopigmentasi, namun seiring
dengan waktu lesi tersebut lama kelamaan dapat menjadi hiperpigmentasi.
23
Oleh
karena itu, diagnosa banding untuk PV dibedakan pula menurut warna lesi yang
muncul yaitu hipopigmentasi atau hiperpigmentasi.
22,23
Diagnosis banding PV dengan lesi hiperpigmentasi antara lain yaitu pitiriasis
rosea, eritrasma, dermatitis seboroik, dan tinea korporis. Diagnosa banding PV
dengan lesi hipopigmentasi antara lain yaitu pitiriasis alba, vitiligo, morbus hansen
tipe tuberkuloid, hipopigmentasi paska inflamasi, pinta, chemical leucoderma, dan
progressive macular hypomelanosis. Berikut adalah diagnosis banding pitiriasis
versikolor dengan lesi hipopigmentasi :
1. Pitiriasis alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3–16 tahun (30-40%). Lesi
berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau
sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema
menghilang, lesi yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus.
Bercak biasanya multipel 4 – 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka
(50 – 60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, dan dahi. Lesi dapat
dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi dapat
juga terasa gatal dan panas. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood,
kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak
tegas dan lesi yang tidak amelanotik. 2
2. Vitiligo
11
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali
familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas,
dan asimtomatis. Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih
seperti putih kapur, bergaris tengah beberapa millimeter sampai beberapa
sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kulit
pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo
mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang
terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa
(aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum),
bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku).
2,24
Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo
tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula
hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya. 24,25
3. Morbus Hansen (MH)
Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita MH mempunyai ciri-ciri
yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat
soliter atau multipel, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi, biasanya
terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi karena menurunnya
aktivitas melanosit.
Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau
menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta
menurunnya jumlah melanosom. 2
4. Hipopigmentasi Paska Inflamasi (HPI)
Hipopigmentasi paska inflamasi merupakan hilangnya sebagian atau total dari
pigmentasi kulit, yang terjadi setelah inflamasi pada kulit. Distribusi dan
derajat keparahan kehilangan pigmen berkaitan dengan luas dan derajat
inflamasi.
26
Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi
sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang
terjadi sesudah menderita psoriasis.
25
Hipopigmentasi terjadi segera setelah
12
resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu
hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari.
2,25
Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer
melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis, hipopigmentasi
mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin
akibat meningkatnya epidermal turnover. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum
berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipopigmentasi akan menunjukkan
gambaran penyakit kulit primernya. 27
5. Pinta (carate, mal de pinta, azul)
Pinta yang berarti bercak warna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh
Treponema carateum. Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah
inokulasi, berupa papule eritem, soliter atau multipel. Dalam beberapa minggu
berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat
mencapai ukuran diameter 20 cm. Predileksi pada daerah yang terbuka
misalnya tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga
tahunan atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi.
Lesi sekunder (pintids) timbul antara 1 hingga 12 bulan kadang
tahunan setelah munculnya lesi primer, berupa papul eritem yang berkembang
menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi
primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Beberapa lesi dapat
berbentuk anular atau sirsinata dengan batas yang meninggi dimana jumlah
treponema ditemukan tinggi. Sejalan dengan waktu, lesi berubah warna
menjadi coklat atau tembaga dan kadang biru, abu-abu atau hitam. Dalam 1
plak dapat dijumpai lebih dari satu warna.
Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder.
Gambaran klinis utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai warna
coklat, biru, merah dan ungu. Lesi mempunyai batas ireguler dan berukuran
bervariasi. Makula timbul simetris pada penonjolan tulang, seperti
13
pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis,
degenerasi sel basal. Trepanoma dapat ditemukan di epidermis pada stadium
primer, sekunder, dan tersier tapi tidak ditemukan treponema pada makula
depigmentasi. Lesi primer atau sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan
namun lesi stadium lanjut akan menetap seumur hidup. 2,29
6. Chemical leucoderma
Chemical leucoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan
berulang bahan kimia terutama derivat fenol dan sulfhydryl. Telah dilaporkan
terjadinya leukoderma ada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon
(MBEH) yang digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan
pada disinfektan dan germisida tetapi juga pada tape adesif, kontrasepsi
diafragma, baju karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet dan
lain-lain. Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat menyerupai
vitiligo. Makula hipopigmentasi bewarna putih susu tidak hanya terjadi di
tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula
hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya permanen.
Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan atau
dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat
reversibel jika paparan dihentikan. Hipomelanosis oleh karena hidrokuinon
biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi depigmentasi penuh dan tidak ada
lesi satelit. Kelainan ini bersifat reversibel.
Pada pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak
mempunyai gambaran diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo.
Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada
epidermis dan dermis.
Terdapat banyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma
akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tirosinase,
hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis melanosom,
14
gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit atau berkurangnya
sintesis melanin di melanosom. Sulfhidril merupakan bahan sitotoksik yang
mengganggu pembentukan melanin dengan cara menghambat tirosinase atau
lebih mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibanding
melanogenesis.
Tes definitif ataupun histologi untuk membedakan vitiligo dengan
chemical leucoderma belum ada. Chemical leucoderma bersifat irreversibel
jika bahan kimia tersebut tidak segera dieliminasi dengan segera. Leukoderma
yang disebabkan oleh hidrokuinon biasanya pulih secara spontan, terutama
jika ditambah dengan sinar ultraviolet. 2
7. Progressive Macular Hipomelanosis
Progressive macular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering
dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi
yang
menyebar cepat pada badan. Terjadi terutama pada wanita usia 18-25 tahun.
Sering disangka sebagai PV dan pitiriasis alba. Lesi berbentuk makula
hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama, bentuk numular
dan dapat berkonfluen. Predileksi di badan dan punggung.
Patogenesis PMH belum diketahui. Menurut Guilet dkk., kelainan ini
terjadi karena campuran gen kulit hitam dan putih yang berasal dari orang tua
penderita. Dugaan ini timbul karena kelainan ini banyak dijumpai pada ras
campuran.
Wiete dkk.,
mengatakan kelainan ini diakibatkan oleh
Propionibacterium acnes. Makula hipopigmentasi timbul karena P. acnes,
diduga
menghasilkan zat
yang
menghambat
melanogenesis seperti
mekanisme hipopigmentasi pada PV. Hal ini berdasarkan pengamatannya
bahwa lesi makula hipopigmentasi pada PMH memberikan fluorosensi
berwarna merah dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu
Wood. Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit
15
berkurang. Penemuan ini menunjukkan bahwa kelainan ini mungkin
merupakan hasil dari perubahan ukuran dan distribusi melanosom. 2,29
Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apapun
tapi dapat menyembuh secara spontan dalam waktu 3 bulan hingga 4 tahun.
Wiete dkk. melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan
antibiotik topikal yang berfungsi untuk menekan P. Acnes dan merangsang
melanogenesis dengan hasil yang bagus. 29
2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama yang berasal
dari kerokan atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau miselia jamur
yang seperti putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan v, serta spora bulat
atau oval dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol, sehingga memberi
gambaran khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana and grapes. 1,2 Temuan
miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan daripada spora.1 Pengecatan
dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-hitam memberi warna biru pada
jamur yang mempermudah pemeriksaan. 16
Gambar 3. Gambaran spaghetti and meatballs Malassezia pada preparat KOH 2
Pemeriksaan dengan lampu Wood juga dapat digunakan untuk konfirmasi
diagnosis terutama untuk bercak PV subklinis, warna kuning kehijauan akan
16
berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi oleh
spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan fluorochromes.
15
Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna kuning kehijauan
pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone. Pityrialactone adalah salah satu
metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar di bawah lampu UV 365 nm. 1,2
Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat menunjukkan lesi yang lebih
luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan biasa. Perlu diketahui bahwa
tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi dengan lampu Wood. 2 ,3
Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan tambahan
streptomycin, penicillin, dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di atasnya tidak
bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal kulit.1,2
Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak pada kultur
dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni et al. di Tunisia
yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak 65% pada kultur
dengan medium Dixon dengan teknik molekuler. 15
Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora
yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid
Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa
dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada melanosit dan infiltrat sel radang
minimal.
15
Organisme terkadang tampak di sekitar folikel rambut dan di sekitar
muara folikel.
2.2
Penatalaksanaan PV dan Terapi Repigmentasi
2.2.1 Terapi Topikal dan Sistemik
Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor antara
lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid, siklopiroksolamin,
begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin. Protokol yang
digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion selenium
sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10 menit
17
kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus yang
luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya
dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan
sebagai regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai
alternatif, dapat digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena,
didiamkan selama 5 menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama
tiga hari berturut-turut. Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali
sehari pada area yang terkena selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan
lebih dari 80%. Walaupun terapi topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir,
atau ringan terapi sistemik mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit
yang luas, sering berulang, atau jika tidak berhasil dengan agen topikal. 1,2
Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral
pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg
per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama
3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis
tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil
yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan
efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang
sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif
diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral merupakan suatu alilamin,
tidak direkomendasikan untuk pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena
obat ini tidak dihantarkan secara efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas
obat serta interaksi melalui pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450
harus diperhatikan pada penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea
versikolor. Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV
adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi. 30
Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang
bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan
PV. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat
18
digunakan, meskipun belum ada pustaka yang
melaporkan tentang
keuntungan terapi kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan,
mengingat angka rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang
sulit dihindari.
3
Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida
1,8% sekali seminggu, 1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol
400mg/minggu pada hari yang sama selama 3 bulan. Cara tersebut dapat
dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang luas.
2,3
Tabel 1. Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 2,3
Nama
Obat topikal
Berbagai derivat
azol, missal
mikonazol
Terbinafin
Sediaan/dosis
Cara penggunaan Keterangan
Krim 1-2%
1-2x/hari
Untuk lesi
terbatas
Krim
1-2x/hari
Untuk lesi
terbatas. Tidak
dianjurkan FDA
untuk PV
Ketokonazole
Sampo 2%
Selenium sulfide
Sampo 1,8%
Sodium tiosulfat
Solusio 20-25%
1x 5 menit/hari
sebelum mandi
a. Minimum
1x10
menit/hari
sebelum mandi
b. Setiap dua hari
sekali tiap
malam
sebelum tidur
2x/hari setiap hari
Propylene glycol
Zinc pyrithioe
Solusio 50%
Sampo
2X/hari
Dioleskan 5
menit/hari selama
Mewarnai
pakaian, tidak
untuk wajah dan
genitalia
Bau menyengat
sulit hilang,
sebaiknya tidak
untuk wajah
19
2 minggu
Obat sistemik
Ketoconazol
Tablet 200mg
Itrakonasol
Kapsul 100 mg
Flukonasol
Tablet 50 mg
dan 150 mg
a. 1 tablet/hari
selama 7-10
hari
b. Dosis tunggal
2 tablet atau
diulang hingga
4 dosis dalam 2
minggu
a. 800-1000mg
terbagi dalam 5
hari
b. 200-400
mg/hari selama
3-7 hari
c. 400 mg dosis
tunggal
400 mg dosis
tunggal atau di
ulang setelah 2
minggu
Perhatian pada
efek samping dan
interaksi obat
Untuk kasus
rekalsitran.
Perhatian pada
efek samping dan
interaksi obat
Tidak dianjurkan
FDA untuk PV
Terapi topikal yang mengandung asam salisilat 3-6%, asam undesilenat,
tolnaftat, masih dapat digunakan untuk PV lesi terbatas, meskipun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan obat antijamur baru. Secara in vitro, Malassezia
spp. sensitif terhadap terbinafin, akan tetapi pemberian terbinafin oral tidak efektif
untuk pengobatan PV.
29
Sediaan terbinafin topikal bentuk gel 1% dan solusio 1%
sekali sehari dilaporkan berhasil baik pada PV dan telah disetujui FDA (Food and
Drug Association), meskipun bentuk krim tidak dianjurkan. 2,3 Studi di Indonesia
menggunakan solusio 1% memberikan hasil yang kurang memuaskan.
31
Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau
komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia.1,5 Angka kekambuhan
antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.30 Terapi preventif yang dapat digunakan
antara lain berupa obat topikal 1 - 2kali per bulan; ketokonazol 400mg sekali sebulan
20
atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal bulan; atau itrakonazol 2 kali
200mg/ hari setiap bulan.1,5 Meskipun demikian, sebaiknya diobati ulang saat PV
kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif dalam jangka lama. 1
2.2.2 Terapi Baru
Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan.
1,5
Semakin
berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang dikembangkan
berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream selama 10
hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan kesembuhan
dengan repigmentasi cepat. 10 Terapi fotodinamik dengan 5-aminolevulenic acid juga
digunakan untuk terapi area terbatas. 33 Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang
sama dengan ketoconazole 2% krim pada PV. 33
1. Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam berbagai
fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot, modulasi respon
imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa kasus, tubuh menggunakan
NO sebagai perlindungan terhadap patogen dan invasi mikroba umumnya. Nitric
oxide adalah salah satu efektor sitotoksik yang penting dalam pertahanan respon
imun terhadap mikroorganisme intraseluler dan patogen, seperti jamur, yang
terlalu besar untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi oleh beberapa enzim
yang dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide diproduksi di permukaan
kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial.
17
Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai respon sitokin inflamasi dan
produksi NO pada keratinosit dipacu oleh radiasi UV. Nitric oxide meningkatkan
aktivitas tirosinase dan melanogenesis.
2
Pemberian NO 3% topikal sebanyak 2
kali sehari menunjukkan perbaikan yang signifikan.
17
Sebuah laporan kasus di
Jerman melaporkan aplikasi cycloserine 0,2mol/ L dua kali sehari selama 5 hari
menghasilkan repigmentasi cepat dari lesi hiperpigmentasi PV.
2. Cycloserine, sebuah inhibitor TAM (transaminase) mampu menghambat produksi
pigmen dari M. furfur in vitro pada dosis tertentu. Cycloserine telah dikenal
21
sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai lini kedua terapi
untuk infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Cycloserine
bekerja dengan
menghambat enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin ligase yang
menyebabkan deplesi D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang pertama
menunjukkan hasil yang impresif dari aplikasi TAM inhibitor topikal untuk PV.
Hasil ini mampu menunjukkan pentingnya jalur metabolik Trp pada patogenesis
PV dan membantu mengembangkan pendekatan terapi baru serta pencegahannya.
Pembentukan metabolit dari Trp harus dihentikan pada stadium awal karena
apabila efek farmakologi telah terbentuk dan berkembang maka intervensi terapi
akan sulit. 11
3. Terapi Fotodinamik
Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa strain
jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya tampak dengan
adanya photosensitizer. 34 Terapi fotodinamik telah banyak digunakan di seluruh
dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu pula untuk penyakit inflamasi
maupun infeksi kulit lain.
37
Pada infeksi dermatofit, secara in vitro terapi
fotodinamik menunjukkan degradasi hifa dan inaktivasi dari spora. Jumlah cahaya
yang sesuai harus menembus sampai stratum korneum dan folikel rambut,
biasanya berada pada spektrum regio cahaya merah. 37 Kim melaporkan
penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan terapi fotodinamik
untuk lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang memuaskan. ALA 20%
topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan ditutup dengan bahan
oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang berlebih dibersihkan dan lesi
disinari dengan cahaya dari diode pemancar cahaya (gelombang cahaya
630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan adalah 100 J/cm2 dan dosis cahaya
yang diberikan adalah 70-80J/cm2. Prosedur diulangi 2 minggu kemudian dengan
peningkatan dosis cahaya kelipatan 10 J/ cm2. Lesi membaik dalam 4minggu dan
pasien diobservasi sampai dengan 3bulan tanpa reinfeksi. 34
4. Adapalene
22
Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk
pengobatan PV
memberikan efikasi
yang
sama
dibandingkan dengan
ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog asam
retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas yang aman
dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang menggunakan kortikosteroid
terdapat penurunan epidermal turnover sehingga PV kerap muncul. Adapalene
diduga mampu melepaskan keratinosit abnormal dan menormalkan kembali
disfungsi keratinisasi dari keratinosit serta disfungsi epidermal turnover pada lesi
PV. Kelebihan lainnya, adapalene mampu menurunkan sekresi sebum dari
kelenjar sebasea, sehingga adapalene gel topikal mampu menciptakan lingkungan
yang kurang nyaman untuk Malassezia spp. sehingga menurunkan propagasi
Malassezia spp. dan jumlah spora serta hifa dengan cara eliminasi bersamaan
dengan lepasnya keratinosit abnormal pada lapisan keratin. Hal ini menyebabkan
PV lebih mudah diobati.
33
Pada salah satu mekanisme lesi hiperpigmentasi
dinyatakan bahwa faktor inflamasi turut berperan. Adapalene memiliki aktivitas
anti inflamasi. Berdasarkan kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang
menemukan bahwa adapalene gel topikal
mengurangi reaksi inflamasi. Efek
imunomodulasi dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada
lesi PV sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun
adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan jamur
dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia spp. untuk
hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi kemungkinan resistensi obat
terhadap jamur.
23
BAB III
RINGKASAN
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat
infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas
berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna, baik hipopigmentasi,
hiperpigmentasi ataupun eritematosa, yang tertutup skuama halus, terutama pada
bagian atas dan ekstremitas proksimal. Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari
dan mengganggu proses penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga
karena peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp.
bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia
spp.
menghasilkan
sejumlah
senyawa
indol
yang
diduga
mengakibatkan
hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis pitiriasis
versikolor pada umumnya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat
dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M.
furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan
ultraviolet sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.
Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan sehingga
penting dinformasikan ke pasien agar tidak menganggap penyakitnya belum sembuh.
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang
dikembangkan terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream
24
selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan
angka kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik dengan 5aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas. Adapalane gel juga
menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2% krim pada pitiriasis
versikolor.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: WileyBlackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12.
2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.
2298-311.
3. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013. h. 24-34.
4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013. h. 24-34.
5. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. The
Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev 2012; 25:
106-41.
6. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In:
Brakhage AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2 nd ed. Berlin: Springer;
2008. p. 115-54.
7. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis
versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:
541-3.
8. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions.
Arch Dermatol 2010; 146:1132.
25
9. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis
versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:
541-3.
10. Crowson AN, Magro CM.Atropyhing tinea versicolor : A clinical and
histological study of 12 patients. Int J Dermatol 2003; 42: 928-32.
11. Akaberi AA, Amini SS, Hajihosseini H. An Unusual Form of Tinea
Versicolor: A Case Report. Iran J of Dermatol 2009; 12(3): 30-1.
12. Zuther K, Mayser P, Hettwer U, Wu W, Spiteller P, Kindler BL, et al. The
tryptophan aminotransferase Tam1 catalyses the single biosynthetic step for
tryptophan-dependent pigment synthesis in Ustilago maydis. Mol
Microbiology 2008; 68:152-72.
13. Ashbee HR and Evans EGV. Immunology of diseases associated with species
Malassssezia. Clin Microbiol Rev 2002; 15:21-57.
14. Gaitanis G, Chasapi V, Velegraki A. Novel application of the MassonFontana stain for demonstrating Malassezia species melanin like pigment
production in vitro and in clinical specimens. J Clin Microbiol 2005; 43:414751.
15. Erchiga VC and Hay RJ. Pityriasis Versicolor and Other Malassezia Skin
Diseases. In: Boekhout T, Gueho-Kellerman E, Mayser P, Velegraki A.
editors. Malassezia and the Skin. 9th ed. Berlin: Springer; 2010, p.175-99.
16. Oliveira JR, Mazocco VT, Steiner D. Pityriasis Versicolor. An bras Dermatol
2012; 77(5): 611-8.
17. Jowkar F, Jamshidzadeh A, Pakninyat S, Namazi MR. Efficacy of nitric
oxide-liberating cream on pityriasis versicolor. J Derm Treat 2010; 21:93-6.
18. El-Gothamy ZMG. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom Dermatol
Soc 2004; 1:38-43.
19. Smith BL, Koestenblatt EK, Weinberg JM. Areolar and periareolar Pityriasis
Versicolor. JEADV 2004;18:736-48.
20. Zawar V, Chuh A. Pityriasis Versicolor imbricate – overlapping parallel scale
in a novel variant of pityriasis versicolor. JEADV 2008; 22: 1143-4.
21. Venkatesen P, Prefect JR, Myers SA. Evaluation and management of fungal
infection in immunocompromissed patients. Dermatol Ther 2009; 12: 87-107.
22. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. Comparative
study for the reliability of cellophane tape and standard KOH mount in
diagnosis of pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and Venereol 2010;
17(2): 29-34.
23. Aljabre SHM, Alzayir AAA, Abdulghani M, Osman OO. Pigmentary changes
of tinea versicolor in dark skinned patients. Int J Dermatology 2001; 40: 2735.
24. Callen JP. Vitiligo. In: Frankel DH, editor. Field Guide to Clinical
Dermatology, 2nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.
158-9.
26
25. Ortonne, Jean-Paul., Passeron, Thierry. Vitiligo and Other Disorders of
Hypopigmentation. In : Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Schaffer, J.V., editors.
Dermatology. 3rded. New York: Elseviers; 2012: p. 1049-74.
26. Vachiramon, V., Thadanipon, K. Postinflammatory Hypopigmentation.
Clinical and Experimental Dermatology. Thailand. 2011: 708-14.
27. Halder, Rebat, M ., Nandedkar, Maithily.A., Neal, Kenneth, W. Pigmentary
Disorders in Pigmented Skins. In: Halder, Rebat, M. Dermatology and
Dermatological Therapy of Pigmented Skins. 2006: p. 114-43.
28. Kahn IW, Schmidt B, Aberer W, Abere E. Pinta in Austria (or Cuba?) Import
of an extinct disease?. Citated on 21 April 2014. Available at:
www.archdermatol.com.
29. Westerhof W, Relyved GN, Kingswijk MM. Propionibacterium acnes and the
pathogenesis of Progressive macular hypomelanosis. Citated on 21 April
2014. Available at: www.archdermatol.com.
30. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. Treatment of pityriasis
versicolor in United States. J Dermatolog Treat 2004; 15: 89-92.
31. Budimulja U, Paul C. One-week terbinafine 1% solution in pityriasis
versicolor: twice-daily application is more effective than once-daily. J
Dermatolog Treat 2002; 13: 39-40.
32. Charles AJ. Superficial cutaneous fungal infections in tropical countries.
Dermatol Ther 2009; 22:550-9.
33. Shi TW, Ren XK, Yu HX, Tang YB. Roles of Adapalene in the Treatment of
Pityriasis Versicolor. Dermatology 2012; 224:184-8.
34. Kim YC. Successful Treatment of Pityriasis Versicolor With 5Aminolevulinic Acid Photodynamic Therapy. Arch Dermatol Sep 2007;
143(9):1218-20.