Akal: 1 Sumber Kebenaran dalam Islam AKAL: SUMBER KEBENARAN DALAM ISLAM Oleh: Syahla Putri Salsabil Abstrak Allah swt., menganugerahkan akal kepada seluruh manusia yang merupakan kelebihan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan Islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Maka Islam menundukkan akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal wahyu dan sunnah harus di dahulukan. Kata kunci: Kedudukan Akal, Islam. A. Pendahuluan Akal memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia didalam Islam. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah swt, dalam permasalahan apa pun. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah SWT berfirman : َّ َو َق ُالوا َل ْو ُك َّنا َن ْس َم ُع َأ ْو َن ْعق ُل َما ُك َّنا ف َأ ْص َحاب الس ِع ري ِ ِ ِي Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10] Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang tidak mau mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara manusia dari api neraka. 2 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam Akal adalah nikmat besar yang Allah swt titipkan dalam jasmani manusia. Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhlukmakhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban. Tetapi meskipun demikian, akal yang selalu diagungagungkan oleh golongan pemikir sebut saja golongan ra'yu atau mu'tazilah juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya .(Nasution Harun, 1986: 71) Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya (Ibnu Khaldun, 1999: 457). Khaldun menjelaskan mempergunakan akal itu menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah swt, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kenabian (nubuwah), atau hakikat sifat-sifat ketuhanan atau hal-hal lain di luar kesanggupan akal, adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti bahwa timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah bahwa akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah swt dan sifatsifatnya. Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghaib? Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat ghaib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama). Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghaib). Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun. Akal: 3 Sumber Kebenaran dalam Islam Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedahkaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh. Allah SWT berfirman : ُ َّ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ َ ْ َ ُّ َ ْ ْ ُّ ً َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ ً َ َ خ َباَل َودوا َما َع ِنت ْم قد َبد ِت ال َبَْ ُاُ ِم ْن ونكم َل يألونكم آمنوا َل تت ِخذوا ِب َطانة ِمن د يا أيها ال ِذين ِ َ ْ ُ ُ َ َّ َّ َ ْ َ ُ َ ْ ْ ُ ُ ُ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ُ َْ ُُْْ ْ َ َ ات ۖ ِإن كنتم تع ِقلون ِ أفو ِاه ِهم وما تخ ِ يف صدورهم أ ك َي ۚ قد بينا لكم اْلي “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian daripada mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan akalmu).” [Q.S. Ali ‘Imran : 118] Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat. B. Pengertian Akal Akal dari segi bahasa (lafadz), berarti memahami dan menetapkan sesuatu atau mempunyai pengertian serupa dengan itu. Dari sini, maka pengertian akal sama dengan ‘berpikir’ (thinking) dan ‘kesadaran’. Akal adalah pemindahan gambaran suatu kenyataan (objek) ke dalam otak melalui panca indera, disertai pengetahuan sebelumnya tentang kenyataan tersebut, hingga fakta yang diindera tersebut dapat dimengerti.1 Akal adalah al-hijr atau an-nuha yang memiliki arti kecerdasan. Akal berasal dari kata kerja ‘aqala yang artinya habasa, yaitu mengikat atau menawan. Oleh karena itu, seseorang yang menggunakan akalnya, al-‘aql adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat 1 Eggi Sudjana, Islam Fungsional (Jakarta: Rajawali, 2008), 13. 4 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya. Ia mampu mengendalikan diri dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran. Dengan demikian, akal juga dapat diartikan sebagai suatu potensi rohaniah untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. 2 Kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligine) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliah.3 Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti. Pertama, akal adalah sifat yang membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Dengan akal, manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu yang memerlukan pemikiran. Kedua, hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Ketiga, akal ialah ilmu yang diperoleh dari pengalaman, dan keempat, akal adalah pengetahuan tentang akibat segala sesuatu, dan pencegah hawa nafsu. 4 Kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al‘aql mengandung arti yang sama dengan nous, dalam bahasa Yunani. Dalam falsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian, pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui alqalb di dada tetapi melalui al-aql di kepala. Karena itu pengertian akal dalam pembahasan para filosof muslim yang banyak dipengaruhi filsafat Yunani, akal merupakan salah satu daya dari jiwa (an-nafs atau ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia5 Sedangkan kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berbubah sesuai dengan masalah yang dihadapi. Ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Lihat, Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 35. 3 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 7. 4 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36. 5 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 11. 2 Akal: 5 Sumber Kebenaran dalam Islam daya untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memperbedakan antara kebaikan dan kejahatan. 6 Namun, istilah akal seringkali dikacaukan dengan term “otak”. Meskipun keduanya merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung perbedaan yang mendasar. Pengertian otak misalnya, adalah merujuk kepada materi (jaringan syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Disamping dimiliki oleh manusia, otak juga dimiliki oleh binatang. 7 Maka, memungkinkan bagi seorang manusia yang memiliki otak namun tidak berakal, seperti halnya orang dengan gangguan jiwa (orang gila). Akal dalam pengertian islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.8 Akal adalah potensi gaib yang tidak dipunyai oleh makhluk lain yang mampu menuntun kepada pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu.9 Sedangkan dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an disebutkan bahwa kata ‘aql searti dengan akal, wisdom atau reason, yang mempunyai tugas berpikir atau memikirkan atau menghayati dan melihat atau memperhatikan alam semesta.10 . Kebanyakan ahli tafsir mengartikan akal tidak hanya dengan arti pikiran semata, tetapi juga perasaan.11 Akal adalah perimbangan antara intelek (budi) dan intuisi (hati) manusia, antara pikiran dan emosi manusia. 12 Akal adalah bagian dari nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Akal adalah anugerah yang sangat mulia dari Tuhan. Karena akal pulalah manusia tampil berbeda Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 12. Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan Filsafat Ilmu (Yogyakarta: UII Press, 2000), 74. 8 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 13. 9 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36. 10 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, 27. 11 Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. 2, 223. 12 Intelek adalah alat untuk memperoleh pengetahuan dalam alam nyata. Dalam membentuk pengetahuan, intelek terikat oleh yang konkret, oleh karena itu ia hanya mungkin berjalan selangkah demi selangkah, menyelesaikan arah demi arah.sedangkan intuisi adalah alat untuk alam tak nyata (gaib). Dalam membentuk pengetahuan, ia dapat melakukan lompatandari tidak tahu tiba tiba menjadi tahu. Lihat, Rusyja Rustam dan Zainal A. Haris, Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 338. 6 7 6 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam daripada makhluk yang lain. Dengan akal, manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.13 Akal, menurut Endang Saifuddin Anshari, merupakan satu potensi dalam ruhani manusia yang memiliki kesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realitas kosmis yang mengelilinginya dan yang secara praktis dapat mengubah dan mempengaruhinya.14 Sedangkan Musa Asy’ari mengartikan akal sebagai daya ruhani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran yang relatif.15 Hampir senada dengan yang lain, Imam Bawani menyimpulkan bahwa akal merupakan substansi ruhaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan. C. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam Harus diakui bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, bersumber langsung dari Allah , sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.16 Akal merupakan karunia terbesar Tuhan bagi manusia. Berkat akal manusia menjadi lebih mulia dari binatang, mengetahui banyak sesuatu, memperbaiki kehidupan, menggapai cita-cita, dan bahkan mengetahui Tuhan. Tanpa akal, manusia tak ubahnya seperti binatang. Oleh sebab itu, akal wajib dihargai dan tidak boleh dilecehkan; ia harus dijadikan hakim bagi segala permasalahan.17 Akal memiliki fungsi agar manusia tetap bereksistensi. Akal menyerap ilmu dan berbuah pemikiran. Akal manusia bias memikirkan apa yang konkret dan abstrak sehingga akal dapat difungsikan untuk berijtihad. Kedudukan akal menjadi penting untuk memikirkan ciptaan Tuhan untuk mengenal diri sendiri, karena akal mencitrakan kekhasan manusia. 18 Dalam kenyataannya, akal bukanlah wujud yang berdiri sendiri, melainkan inheren dalam jati diri manusia. Oleh karena itu, akal merupakan pra-syarat adanya manusia yang hakiki. Artinya, manusia belum dipandang R. Bambang Sutikno, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan Spiritual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 17. 14 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, 16. 15 Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), 122. 16 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 121. 17 Amroeni Drajat, Filsafat Islam : Buat yang Pengen Tahu (Jakarta: Penerbit Erlangga), 24. 18 R. Bambang Sutikno, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 MutiaraKecerdasan Spiritual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 17. 13 Akal: 7 Sumber Kebenaran dalam Islam sebagai layaknya manusia apabila belum sempurna akalnya.19 Sebab, akal merupakan kemampuan khas manusiawi yang secara potensial dapat didayagunakan untuk mendeskripsikan dan memikirkan fenomena-fenomena serta melakukan penalaran yang akhirnya mengantarkan manusia untuk mengambil keputusan dan melakukan suatu tindakan. Tegasnya, manusia belum dianggap sebagai manusia jika belum menggunakan potensi akalnya secara fungsional atau untuk berpikir. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam.20 Potensi akal yang digunakan untuk berpikir mempunyai fungsifungsi strategis yang terletak dalam bidang-bidang: 21 a. Pengumpulan ilmu pengetahuan (collecting the knowledge). b. Memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi (problem solving). c. Mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksudmaksud kita (looking for the way). Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak dalam Al-Qur’an mengisyaratkan pentingnya peranan akal.22 Dalam hubungannya dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:23 1. Kombinasi pemahaman antara agama dan manusia melalui akal, maka kita dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhan dan fitrah kita sebagai manusia pada posisi hamba dan pencipta, serta sifat-sifat kita sebagai manusia dengan nafsu dan akal. Karena itu, agama diturunkan untuk manusia sebagai faktor kontrol terhadap potensi sifat-sifat manusia karena nafsu dan akal. 2. Kombinasi pemahaman antara manusia dan dunia (alam semesta) melalui akal, maka kita dapat memahami konsistensi dan kontradiksi antara sifat manusia dengan sifat alam semesta sehingga kita dapat mengendalikan perilaku kita atas dasar dorongan hawa nafsu. Karena dunia (alam semesta) dan manusia mempunyai sifat atau hokum-hukumnya sendiri-sendiri yang Imam Syafi`ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur`an (Yogyakarta: UII Press, 2000), 75. 20 M. Quraish Shihab, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akala Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 88. 21 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 110. 22 Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2018, 3. 23 Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 220. 19 8 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam sifatnya bertentangan (kontradiksi) satu sama lain. Manusia ingin serba instan dengan tidak terbatas, dan alam semesta membatasinya dengan sifat kikir, selektif, dan ketidakpastian. 3. Kombinasi pemahaman antara pemahaman agama dan dunia (alam semesta) melalui akal, maka kita dapat memperkuat iman. Ini karena alam semesta mempunyai hukum-hukum atas kehendak Tuhan, dan agama membimbing menuju terciptanya keharmonisan hubungan dan keseimbangan alam semesta. 4. Kombinasi pemahaman antara agama, manusia dan alam semesta melalui akal, maka kita menjadi insan yang mulai. Dengan demikian, akal merupakan alat untuk memahami segalagalanya, yaitu manusia dengan perilakunya, alam semesta dengan sifat dan hukumnya, termasuk agama dengan wajib dan haramnya yang membentuk aqidah, ibadah, dan syari’ah, dan konsep ketuhanan serta keimanan. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahsa “hanya orang berakal saja yang beriman”.24 Akal juga sebagai alat untuk memahami dunia dengan hukum atau sifat-sifatnya yang “gap, kausal, dan relatif”, serta kekuasaan Tuhan. Tidak ada satupun ciptaan Tuhan di dunia ini tidak bermanfaat jika kita mau menggunakan akal, yang diharamkan hanya niat penggunaannya.25 Akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits dan untuk mengetahui ajaran – ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk mengetahuinya.26 Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Dalam Al-Qur’an banyak kita jumpai ayat-ayat yang Dalam agama, wajib adalah perintah yang diharuskan untuk dilaksanakan, dan haram adalah larangan yang harus ditinggalkan. Lihat, Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 221. 25 Contoh alcohol adalah bahan kimia yang diolah dari bahan alam (nabati) sangat bermanfaat dalam berbagai kepentingan terutama dalam dunia kesehatan, namun disalahgunakan untuk bersenang-senang (bermabok-mabokan). Jadi yang diharamkan adalah niat penggunaannya yang salah, bukan alkoholnya yang haram. Namun bagi masyarakat yang awam, minyak wangi beralkohol pun dianggap haram dan tidak sah atau tidak boleh dibawa sembahyang. Lihat, Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 221. 26 Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern (Depok: Prenadamedia Group: 2018), 73. 24 Akal: 9 Sumber Kebenaran dalam Islam memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika dikatakan Islam sebagai agama rasional.27 Akan tetapi, menurut Harun Nasution, pemakaian kata rasional terhadap Islam perlu ditegaskan ulang. Kerasionalan Islam bukannya kemudian percaya kepada rasio semata-semata dan meninggalkan wahyu atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu. Karena dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang filsafat ataupun ilmu kalam, akal tetap tunduk pada wahyu, dan dipakai hanya untuk memahami teks-teks suci tersebut.28 Banyak yang mengklaim bahwasanya kalangan filosof Islam dan kaum Mu’tazilah cenderung mengedepankan akal dari pada wahyu. Bagi Harun Nasution, pendapat tersebut tidak beralasan. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu, melainkan penafsiran terhadap teks wahyu. Sehingga bila kelihatan penafsiran yang jauh dari arti tekstual wahyu, dengan penekanan pada arti metaforis, maka dianggap telah menolak wahyu.29 Meskipun demikian ada beberapa orang dalam zaman Islam klasik yang dinilai terlalu mendewadewakan akal dan mengacuhkan wahyu. Mereka kemudian tidak dianggap sebagai muslim atau orang beragama lagi. Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-„aql al-wazi‟, yakni akal pendorong. Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al‟aql almudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan). 30 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101. Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101. 29 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101-102. 30 Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak ada lagi kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan. Lihat, Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2018, 4. 27 28 Harun 10 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam D. Apresiasi Al-Qur’an dan Hadits terhadap Akal Al-Quran pada dasarnya memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap penggunaan akal yang dimiliki oleh manusia. Sehigga rasionalitas menjadi ukuran dan pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk hidup yang lain (Nurcholish Madjid, 1997: 162). Akallah yang memberikan kemampuan kepada Adam (manusia), misalnya, untuk mengenal dunia sekelilingnya. Atas dasar kemampuan itulah manusia dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya di bumi; dan bukan malaikat meskipun senatiasa bertasbih memuji Allah dan mengkuduskannya (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-34). Dengan begitu, al-Qur‟an mengakui keunggulan manusia dan memberikan kebebasan untuk menguasai dan mengatur alam (Ali, t.th: 403). Tetapi meskipun begitu, di balik kebebasan manusia tersebut harus diiringi dengan tanggung jawab, baik sosiologis maupun teologis.31 Akal pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling tinggi kepada manusia. Akal pikiran yang dimiliki manusia inilah yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan akal pikiran yang dimiliki ini pulalah manusia menempati tempat tertinggi di antara makhluk-makhluk lain baik malaikat, jin, binatang dan sebagainya. Islam memberikan penghargaan tertinggi terhadap akal. Penghargaan tertinggi terhadap akal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri..32 Tidak sedikit al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya dan banyak berpikir guna mengembangkan intelektualnya. Dengan penggunaan akal itulah manusia dapat mengasah intelek untuk kemudian menimbulkan sikap kecendikiawanan dan kearifan baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan maupun terhadap Tuhan.33 Banyak kata dalam al-Qur’an yang mengandung arti berpikir selain dari kata akal, seperti “dabbara” (merenungkan) dalam 8 ayat, “faqiha” (mengerti) dalam 20 ayat, “nazara” (melihat secara abstrak) dalam 30 ayat, dan “tafakkara” (berfikir) dalam 16 ayat. Kata-kata yang berasal dari kata ‘aqala dijumpai pada lebih dari 30 ayat. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayatayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata tersebut di atas mengandung perintah agar manusia mempergunakan akal pikirannya.34 Selain itu, terdapat Masbukin dan Alimuddin Hassan, “Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah”, Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2, Juli - Desember 2016, 2. 32 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 39. 33 Hasbi Indra, “Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim”, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2, Juli-Desember 2009, 247. 34 Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1995), 37. 31 Akal: 11 Sumber Kebenaran dalam Islam pula sebutan yang menggambarkan sifat berfikir bagi seorang Muslim seperti ‘ulu al-bab (orang-orang yang berfikir), ‘ulu al-absar (orang-orang yang melihat dengan akal-nya), dan ‘ulu al’ilm (orang-orang yang mengetahui). Selanjutnya, kata akal sendiri erat kaitan-nya dengan berfikir. Arti kata “ayat” adalah tanda. Tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan di belakangnya. Untuk mengetahui-nya, manusia harus memperhatikan tanda itu dengan mempergunakan akal-nya. Dalam AlQur’an, sebagai telah disinggung di atas, ada kurang lebih 150 ayat mengenai fenomena alam. Ayat-ayat ini disebut ayat “kauniah” (kejadian atau kosmos), menjelaskan bahwa alam ini penuh dengan tanda-tanda yang harus difikirkan manusia dan yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada Tuhan. Salah satu ayat yang terbaik di antara-nya adalah yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yang menjelaskan; َْ َ ْ َّ َ َّ ْ ُ ْ َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ َّ َّ إ َّن ف َخ ْلق َ الن اَ َو َما ض َو َاخ ِتَل ِف الل َ ْي ِل َوالن َه رار َوالفل ِك ال ِ يت ت ْج رري ِ يف البح رر ِبما ينفع ات َواْل ْر الس َم َاو ِ َِ ْ َ ِ َ ي ر َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ ُ َّ ل َ ِّال َّ اَّلل ِ م َن َ الس َماُ م ْن َماُ َفأ ْح ِّ ث ِف َيها ِم ْن ُك ِّل َد َّاب ٍة َو َت ْْصيف ِ ا ي ب و ا ه ت و م د ع ب ض ر اْل ه ب ا ي أنز ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ر ِ ِ َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َُ ر َ َ اْل ْر َ الس َّ َو ات ِلق ْو ٍم َي ْع ِقلون و ُا م الس ي ب ر خ س م ال اب ح ِ ٍ ض ْلي ِ ر ر “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [Q.S. Al-Baqarah : 164]35 Ayat-ayat serupa ini menyuruh manusia supaya memperhatikan dan meneliti alam sekitar-nya, tegasnya supaya manusia berfikir tentang alam lingkungan-nya. Hadits, sejalan dengan Al-Qur’an, juga memberi kedudukan tinggi pada akal. Salah satu Hadits mengatakan: “Agama ialah penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tidak berakal”. Betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat dilihat dari Hadits qudsi, yang di dalam-nya digambarkan bahwa Tuhan bersabda kepada akal; 35 https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164 12 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam “Demi kekuasaan dan keagungan-Ku, tidak ada makhluk yang Kuciptakan lebih mulia dari engkau. Karena engkaulah Aku menahan dan memberi, dan karena engkau-lah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman”. Dengan kata lain, akal-lah makhluk Tuhan yang tertinggi, dan akal yang ada dalam diri manusia-lah yang digunakan Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang.36 Islam tidak melarang manusia untuk menggunakan akalnya. Bahkan peranan akal sangatlah mendasar bagi keimanan seseorang. Namun, yang patut disadari adalah keterbatasan akal itu sendiri dan fungsinya yang sebatas mengindera ciptaan-ciptaan Nya. Akal manusia masih membutuhkan petunjuk dari seseorang yang memang benar-benar osebagai utusan Tuhan atau yang dikenal sebagai seorang Rasul. Rasul inilah yang akan menjelaskan siapa itu Tuhan yang layak disembah, bagaimana sifat-sifat Nya, dan banyak hal yang tidak dapat dijangkau akal lainnya. Petunjuk inilah yang dalam Islam dikenal dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang memang berisi informasi-informasi langsung dari Tuhan. Keauntetikan dan kemukjizatannya membuktikan bahwa memang kitab tersebut bukanlah karangan manusia atau Rasul itu sendiri. Jadi, kitab itu (Al-Qur’an) benarbenar sebuah informasi yang valid yang meyakini Islam dan menjadikannya sebagai agama (pegangan hidup yang mengatur seluruh aspek hidupnya) 37 E. Peranan Akal dalam Memahami Al-Qur’an dan Hadits https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquran-Haditst.html Sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dalam menentukan dari mana asal Al-Qur’an, tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu karangan orang Arab. Kedua, karangan Nabi Muhammad Saw. Dan yang ketiga, berasal dari Allah semata. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari tiga hal tersebut, sebab Al-Qur’an adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya. Kemungkinan pertama yang mengaakan bahwa AlQur’an adalah karangan orang Arab, merupakan kemungkinan yang tertolak. Sebab, mereka tidak mampu menghasilkan karya serupa, kendati ada tantangan dari AlQur’an dan usaha dari mereka untuk menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua yang menyatkan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad adalah kemungkinan yang juga diterima oleh akal. Selama seluruh bangsa Arab juga tidak mampu menghasilkan karya serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad – yang juga termasuk bangsa Arab – tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh karena itu, jelas Al-Qur’an bukan karangannya. Apabila telah terbukti bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan bangsa Arab, bukan ula karangan Muhammad, maka yakinlah bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu merupakan firman Allah, kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya. Lihat, Eggi Sudjana, Islam Fungsional (Jakarta: Rajawali, 2008), 14. 36 37 Akal: 13 Sumber Kebenaran dalam Islam Pada masa-masa awal, saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, pemahaman terhadap wahyu Allah bukan merupakan hal yang rumit. Sebab saat itu segala persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Nabi yang nota bene mempunyai hak otortatif untuk menafsir wahyu-wahyu Allah. Namun setelah Nabi SAW wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul namun belum ada tuntunan penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad. Di sinilah peran akal, terutama dalam memahami wahyu Allah menjadi sangat urgen. Berkenaan dengan hal ini ada sebuah Hadits yang sangat terkenal. Diceritakan pada pada saat Nabi Muhammad SAW hendak mengirim Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bertanya: Dengan apakah engkau hendak menjalankan hukum? Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah”. Lalu Nabi bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tak mendapat keterangan dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunah Rasul.” Nabi bertanya lagi,”Bagaimana jika dalam sunahku juga tak kau dapati?” Mu’adz menjawab,”Saya berijtihad dengan akal saya, dan saya tak pernah berputus asa.” Hadits ini sering dijadikan dalil berkenaan dengan peranan ijtihad dalam hukum Islam. Akal dalam deskripsi di atas menempati posisi yang signifikan dalam berijtihad. Namun demikian, di sana kita juga melihat isyarat bahwa posisi akal secara hierarkis jatuh setelah al-Quran dan Sunah. Akal menempati posisi ketiga. Berkenaan dengan akal, Nabi Muhammad SAW bersabda; Agama adalah pengunaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal. Kemudian dalam sebuah Hadits qudsi juga disebutkan: Demi kekuasaan dan keagunganku, tidaklah kuciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau, kerna engkaulah aku mengambil dan member dan kerna engkaulah aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman. Urgensi kehadiran akal juga dapat dilihat dalam Hadits Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Nabi SAW bersabda: Mencari ilmu wajib hukumnya bagi muslimin dan muslimat (HR. Muslim). Perintah untuk mencari ilmu dapat dipahami bahwa manusia harus memaksimalkan potensi akalnya. Mengutip Syeikh az-Zarnuji dalam kitab Talimul Mutaalim, ilmu inilah yang membedakan antara manusia dan makhluk lain.38 Akal pastinya tidak hanya diyakini sebagai media tapi selain itu ia merupakan sumber pengetahuan, sebagai metodologi juga sebagai 38 al-Zarnūjī, Ta’līm al-Muta’allim, (Semarang : Pustaka al-‘alāwiyyah, tt), 4. 14 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam penyempurna bagi sumber-sumber pengetahuan memerankan fungsinya dalam memahami Al-Quran. selainnya sehingga Pertama, akal mampu berfungsi dalam memahami dasar-dasar dan berbagai metodelogi memahami Al-Quran, apakah murni rasional digunakan secara independent ataukah digunakan sebagai basis pendukung rasional untuk sumber-sumber yang selainnya. Mufassir ketika menggunakan sumber pengetahuan yang lain untuk memastikan penting atau tidaknya digunakan untuk memahami makna ayat-ayat Al-Quran sebagaimana dengan riwayatriwayat Hadits pasti dengan rasionalisasi akal. Kedua, Akal sangat berperan dalam memahami makna-makna tekstual ayat-ayat Al-Quran dalam kajian-kajian lunguistik Ketiga, akal mampu mendemonstrasikan secara rasional ayat-ayat AlQuran, menafsirkan dan menjelaskannya. Keempat, akal mampu selain memahami arti tekstual ayat-ayat Al-Quran juga arti kontekstual yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ilmu logika dijelaskan bahwa selain terdapat arti signifikansi teks ada juga arti signifikansi konteks. Kelima, akal mampu mengidentifikasi tujuan dan maksud Al-Quran ketika disandingkan secara bersamaan beberapa ayat dalam tema yang berbeda. Keenam, nilai-nilai aksiomatik logis dan murni dapat digunakan sebagai indikator dalam memahami Al-Quran. Ketujuh, akal mampu mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun dengan tema-tema tertentu sesuai dengan asbab nuzulnya dan dapat memilahnya dari tema-tema yang selainnya sehingga tidak terjadi kerancuan. Dalam istilah ilmu ushul yaitu menfokuskan kepada visi atau mengarahkan pada tujuan yang dimaksud dan membatalkan karkteristik diluar maksudnya, yang demikian ini merupakan wilayah dan peran akal.39 F. Ijtihad dalam Dinamikan Pemikiran Islam Klasik Secara etimologi, ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-Masyaqqah ( yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana dalam QS. An-Nahl:38, an-Nur:53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalammemahami-al-quran/ 39 Akal: 15 Sumber Kebenaran dalam Islam al-wus’I wa thaqati (pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah). Sedangkan arti Ijtihad dari terminologinya, para ulama berbeda pendapat dunia mendefinisikannya. Perbedaan itu karena sudut pandangan mereka yang berbeda-beda. Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dan qiyas, pengertian ini menurut al-Ghazali dalam al-Mustahfa tidak cocok. Karena sifat ijtihad tidak cocok, karena sifat ijtihad lebih luas daripada qiyas, sementara itu al-Syafi’I tetap mengartikan ijtihad dalam arti sempit dengan qiyas.40 Ijtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti usaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dan sumber – sumbernya.41 Istilah “ijtihad” menurut K.H. Ali Yafie mengandung pengertian suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk menegaskan suatu persangkaan kuat (zhann) yang didasarkan suatu petunjuk yang diberlakukan dalam hal yang bersangkutan. Jadi ijtihad tidak sama artinya dengan berfikiran bebas. Ijtihad dalam materi fiqh, mempunyai dua pengertian umum (tidak terbatas) dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu pada penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan suatu pilihan pada suatu saat seseorang tidak mempunyai suatu pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah tertentu atau muamalah tertentu, sehingga orang tersebut harus mempunyai suatu sangkaan kuat yang dapat dijadikan pegangan baginya dalam melaksanakan kegiatan (ibadah atau muamalah) tersebut. Ijtihad jenis ini merupakan keharusan bagi setiap orang (fardhu ain), yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan ijtihad yang mengandung pengertian terbatas, mengacu kepada penalaran yang bersifat ilmiah, sehingga kata “ijtihad” di sini merupakan technische term. Ijtihad jenis ini secara khusus, berada pada ruang lingkup Bab Peradilan dan Kekuasaan Kehakiman yang merupakan suatu keharusan bagi kepentingan umum (fardhu kifayat). Maka, ijtihad di sini, sulit di bebankan atas setiap orang, seperti halnya dengan ijtihad tidak terbatas. Sebab, jika jika dibebankan pada setiap orang, tentu akan merugikan kepentingan umum. 40 41 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 190. Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 82. 16 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam Oleh karena itu, ijtihad dalam pengertian ini hanya menjadi beban sejumlah orang tertentu yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus, serta mempunyai kewenangan dalam melakukan pelayanan bagi kepentingan umum. Yang tergolong kategori ini adalah para hakim atau penasihat hukum (mufti). Di sini, ijtihad merupakan fardhu kifayah.42 Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa konsep, diantaranya iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby (jika hadits itu telah shahih, maka itulah mazhabku), la masgha lil ijtihad fi maurid al-nash (masalah yang telah ada nash nya, tidak boleh lagi diijtihad). Kedua konsep popular ini menunjukkan bahwa sumber utama hukum Islam klasik adalah nash, baik alQur’an maupun hadits. Hampir semua masalah pada masa itu dapat terjawab dengan alQur’an atau hadits, serta fatwa para sahabat Rasulullah saw. Namun ketika Islam mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, masalah-masalah baru pun mulai bermunculan. Hal ini tentu tidak dapat lagi sekedar mengandalkan nash secara teks bahasa, baik dalam al-Qur’an ataupun hadits. Adapun bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa Arab, sehingga metode terpenting dalam menggali hukum Islam adalah aspek bahasa. Implikasinya, dalam kajian pemikiran hukum Islam didominasi oleh kaidah kebahasaan (qawaid lughawiyah) atau logika bahasa yang deduktif, serta sulit menerima perubahan. Sedangkan, hukum dari realitas empiris (al-‘Adat, syar’u man qablana, ilmu pengetahuan) serta nalar rasion (istihsan) menjadi langka dan sulit diterima. Hal inilah yang mengakibatkan hukum yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan teks al-Qur’an maupun hadits. Para ulama dan ilmuwan mulai berpikir memecahkan permasalahanpermasalahan baru yang dihadapi tersebut, dan hal ini yang menjadi penyebab lahirnya metode ijtihad. Jejak ijtihad ini sebenarnya telah ada pada jaman para sahabat, terutama masa khalifah Umar bin Khattab. Salah satu contoh ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab adalah melarang sahabat Nabi menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani, padahal al-Qur’an membolehkannya: َ ُ ُ ُ َ َّ ُ َ َ َ ُ َ ِّ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ وتوا ْالك َت ۖ اب ُ ِح ٌّل لك ْم َوط َع ُامك ْم ِح ٌّل ل ُه ْم اليوم أ ِحل لكم الطيبات ۖ وطعام ال ِذين أ ِ ُ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ َّ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُْ َ ُ َ َ ْ ُْ َ َّور ُهن َ وه َّن أ ُج ات والمحصنَات ِمن ال ِذين أوتوا ال ِكتاب ِمن قب ِلكم ِإذا آتيتم ِ والمحصن َات ِمن المؤ ِمن ْ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ ُ ُ َّ َ َ ي غ ْ َي ُم َسافح َ ُم ْحصن َ ي َوَل ُمتخذي أخدان ۗ َو َم ْن َيكف ْر باْل يم ِان فقد َح ِبط َع َمله َوه َو ِ يف اْل ِخ َرِة ِم َن ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ َْال َخاِسين ِ ر 42 Ali Yafie, Menggagas fiqh Sosial (Jakarta: Mizan, 1994), 84-87 Akal: 17 Sumber Kebenaran dalam Islam “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al43 Maidah: 5) Umar bin Khattab tidak berpegang pada makna lahiriyah teks alQur’an, akan tetapi melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam, dimana menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan maka akan terjadi kasuskasus penelantaran kaum muslimah. Melihat hal ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi) yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan menurut tuntutan jaman dan tempat. Meskipun ijtihad Umar bin Khattab menimbulkan kontroversi dan penilaian negatif di kalangan para sahabat, tetapi itu merupakan langkah ijtihad pada masa awal Islam serta sebagai upaya dalam melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar bin Khattab tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun hadits, tetapi menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks masalah kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa itu. Dapat dikatakan bahwa Umar bin Khattab adalah mujadid pemikir Islam pertama dalam sejarah hukum Islam. Setelah itu bermunculanlah ulama dan pemikir-pemikir Islam yang melakukan ijtihad, sehingga menjadikan Islam mencapai puncak keemasannya di bidang ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abasiyah.44 Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah ketika AlQur’an awal diwahyukan, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan praktik-praktik hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad Saw, sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat jahiliah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan sistem hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun. 43 44 https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5 Hardy, “Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer”, 7-8. 18 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi sosial, hukum Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum jahiliah. Dalam sejarah, Nabi Muhammad Saw beserta para pemeluk Islam awal benar-benar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum jahiliah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, meski pada aspek-aspek tertentu tetap mengakomodir ‘urf sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para tokoh penegak sistem hukum jahiliah. Bahkan kemudian, pendekatan Muhammad Saw, sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang “terpinggirkan” dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran Islam di masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut. 45 Memang lazimnya, syariah diidentifikasi sebagai aturan hukum yang diturunkan oleh Shari’ melalui titah wahyu-Nya dan juga hadis Rasul-Nya. Oleh karena itu, syariah bersifat absolut. Sementara dialog antara syariah dengan realitas sosial masyarakat hukum juga berdampak hadirnya fikih. Sehingga fikih merupakan hasil dialektika antara syariah di satu sisi dengan social reality, di sisi lain. Pada posisi ini fikih bersifat relatif.46 Posisi terakhir ini, menggiring pada kenyataan adanya proses dialektika pemikiran sekaligus dialektika sosio-kultural sehingga melahirkan para mujtahid yang menumbuhkan keragaman fikih di berbagai tempat. Fikih menjadi sesuatu yang memiliki beragam varian di dalamnya. Ada banyak tawaran yang dimiliki dalam sebuah persoalan hukum. Keragaman ini lantas mengkristal dalam bentuk mazhab-mazhab sebagai afiliasi masif dari masingmasing komunitas paham tersebut. 47 Sejatinya, lahirnya para mujtahid dan tumbuhnya keragaman mazhab yang ada bukanlah hal aneh yang tercerabut dari akar sejarah. Ia merupakan kemestian belaka sebagai dampak—salah satunya—perluasan wilayah yang di dalamnya ter-cover beragam tradisi yang berbeda. 48 Keragaman ini sesungguhnya membawa dampak positif berupa adanya fatwa hukum yang beragam sehingga hukum tidak bersifat monolitik. Ada banyak tawaran yang sama-sama sahih untuk diambil dan diaplikasikan masyarakat sesuai dengan kebutuhan setempat. Sehingga, kekakuan hukum dapat tercairkan. Bahkan mampu merangsang para mujtahid untuk Lukman Santoso, “Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam”, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, 69. 46 Agus Mohd. Najib, “Fiqih: Antara Syari’ah dan Budaya Lokal”, Jurnal MAZHABUNA, No. 03, 2005, 34. 47 Lukman Santoso, “Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam”, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, 70. 48 Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Rajawali Raja Grafindo Persada, 1997), 72-73. 45 Akal: 19 Sumber Kebenaran dalam Islam merumuskan metodologi penggalian hukum yang dalam perjalannya disebut ushul fikih. Nash al-Qur’an sebagai teks hukum dalam Islam memang sakral dalam proses pewahyuan, akan tetapi ketika sudah dibaca, ditafsirkan dan bersentuhan realitas masyarakat pada masanya maka nash tersebut telah menjadi nash yang humanis dan profan. Pembacaan Nabi Saw, para khulafaur rasyidin, serta para Imam Mazhab terhadap realitas masyarakat Arab dan non-Arab telah membuktikan pernyataan tersebut.49 Dinamika pemikiran hukum Islam ini juga tampak ketika perkembangan hukum Islam yang awalnya dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma ke dalam kristalisasi mazhab-mazhab sehingga kemudian melahirkan doktrin hak untuk ber-ijtihad mulai dibatasi dan bahkan pada gilirannya dinyatakan tertutup. Semacam konsensus gradual yang memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk melaksanakan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktivitas di masa mendatang tinggal menyesuaikan. Jadi secara teoritis, ijtihad memang tidak dinyatakan tertutup tetapi kualifikasinya yang ditempa sedemikian teknis serta dengan diidealkannya capaian-capaian masa lampau telah mengakibatkan ijtihad berada di luar jangkauan manusia.50 1. Kartakteristik Hukum Islam Dalam sebuah seminar hukum di Den Haag tahun 1937 M, Syekh Mahmûd Syaltût (Rektor Universitas Al-Azhar) dan Dr. Hasan Sûfi Abû Thâlib menegaskan bahwa: Pertama, hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum umum; Kedua, hukum Islam merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat; Ketiga, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan tidak diambil dari hukum lain.51 Berkenaan dengan hal itu, perkembangan hukum Islam yang berlaku dalam komunitas muslim di berbagai negara sangat dipengaruhi oleh identitas hukum Islam itu sendiri, 52 antara lain: M. Nur, “Keniscayaan Pendekatan Pluralistik-Idealistik dalam Pengkajian Islam”, Jurnal INRIGHT, Vol. 3, No. 1, November 2013, 19. 50 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989), 33-35. 51 A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Buntang. 1970), 202-203. Menurut A. Hânafi, hukum Islam telah berlaku umum dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan hidup modern, sebagaimana ia telah mensinyalir dari Seminar Hukum di Den Haag-Belanda Agustur 1948 dan Paris-Perancis Juli 1951. 52 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), 46. 49 20 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam a. Sempurna (Paripurna) Syarî‘at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum. Hukum awalnya bersifat tetap sedangkan substansinya berubah mengikuti ‘illatnya. Hukum-hukum yang lebih rinci ditetapkan dalam kaidah dan pedoman umum, sedangkan penjelasan atau implementasinya diserahkan kepada ahli hukum yang memahami hakikat hukum. 53 Pedoman-pedoman atau prinsipprinsip dasar yang berlaku umum dalam syarî‘at Islam mengindikasikan identitas hukum yang menunjukkan sifat kesempurnaannya, universal dan teknis, serta dapat diterima oleh masyarakat di semua tempat dan waktu. Kesempurnaan hukum Islam dengan sendirinya menempatkan diri sebagai hukum yang tertinggi dan seharusnya dapat diterapkan oleh komunitas muslim maupun non muslim, karena hukum ini melindungi hak-hak hukum setiap subyek. b. Elastis (Fleksibel) Selain bersifat sempurna, hukum Islam pun memiliki fleksbilitas dalam hal aplikasinya. Oleh karena itu, cakupan hukum Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang sifatnya vertikal maupun horizontal. Dalam hukum Islam, tidak saja diatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (vertikal), tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya (horizontal), serta dengan lingkungannya. Adapun munculnya perbedaan corak pemahaman hukum Islam dalam konteks fiqh banyak disebabkan oleh perbedaan pola pikir ahli hukum (mujtahid) dalam wacana pemikiran dan penelitian atas obyek-obyek hukum Islam (ijtihâd).54 Implikasinya jelas berpengaruh pada perbedaan corak madzhab hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim. Hal ini manjadi bukti bahwa hukum Islam berlalu menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, waktu dan tempat.55 c. Universal dan Dinamis Hukum Islam bersifat universal dan dinamis mengandung pengertian bahwa hukum Islam yang dimasukan dalam term fiqh mencakup bagianbagian atas keseluruhan hukum dalam term syari’ah, sebagaimana telah Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 113. Hasbie Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), 23-24. dan Cik Hasan Bisri, 112. 54 Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang. 1985), 112. 55 Hasbie Ash-Shiddiqie, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tintamas. 1975), 27. 53 Akal: 21 Sumber Kebenaran dalam Islam disinggung sebelumnya, identitas hukum Islam yang mengandung dimensi vertikal dan horizontal dalam semua cakupan hukumnya telah menjadi ciri universalitas hukum Islam itu sendiri. Adapun dinamika hukum Islam dapat diketahui dari proses perkembangan berlakunya hukum Islam sejak periode Rasul hingga periode modern dengan segala dimensinya. Perkembangan hukum Islam secara sistematis telah bergeser dari sistem hukum material yang umum dalam nash, kemudian direduksi dalam bentuk transformasi pemikiran hukum (ijtihâd) dan diimplementasikan menjadi berbagai bentuk pemikiran produk hukum (fiqh) hingga selanjutnya dikodifikasikan menjadi Qanûn. d. Sistematis Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam bersifat sistematis adalah hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin hukum yang bertalian satu sama lain secala logis dan konkret. Hukum ini mencakup seluruh komponen hukum berupa pokok-pokok ajaran tentang etika, moral dan keadilan serta keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta. Semua komponen hukum itu kemudia terintegrasikan ke dalam term umum yang disebut syarî‘at .56 Sedangkan perwujudan dari sistematisnya hukum Islam adalah Fiqh. Fiqh sebagai produk pemikiran orang Islam terhadap ajaran Islam sebagaimana digambarkan oleh para ahli hukum mencakup atas segi-segi secara khusus, seperti: ‘ibâdah, mu‘âmalah, jinâyah, siyâsah dan sebagainnya. Semua jenis pembidangan hukum Islam dalam bidang hukum Islam (fiqh) adalah suatu refleksi dari bentuk ketaatan orang Islam kepada ajaran Islam secara totaliter. 57 Sistematika hukum Islam dapat berarti pula saling berhubungannya atau interaksi setiap bentuk dan unsur-unsur hukum secara sinergis dan organis. Karena hukum Islam berlaku secara fleksibel dan rigid, maka ia menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan hidup manusia baik secara individual maupun kolektif. Sehingga secara metodologis akan terbentuk suatu sistem hukum secara piramidal (hierarki hukum Islam). 58 e. Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqîn ‘anRabbi al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Fikr. t.th.), jilid III, 14. 57 Muhammad Muslehudin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992), 277-278. 58 Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode, Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 3. 56 22 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi dalam karakteristik hukum Islam adalah hukum Islam mengandung muatan dimensi vertikal dan horizontal. Hukum Islam bersumber kepada wahyu yang mengandung muatan teologis menunjukan aturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pembuat hukum secara mutlak. Konsekuensinya ada keharusan bagi orang Islam untuk tunduk dan patuh terhadap hukum Islam. Namun demikian, tidak semua hukum Islam itu kaidah norma hukumnya berbentuk khusus dan jelas, malainkan diperlukan suatu bentuk penafsiran atas segi-segi hukum yang umum. Pada tingkatan metodologi, interpretasi atas segi norma hukum dalam nash kemudian dikonkretkan menjadi produk hukum (fiqh) yang lebih menyentuh sisi praktis pelaksanaan hukum Islam. 2. Sumber dan Metode Hukum Islam Sumber dan Metode Hukum Islam Pada kenyataan dewasa ini, hukum Islam terbagi ke dalam berbagai obyek-obyek materi hukum. Sebagian merupakan hukum tertulis (dikodifikasikan menjadi undang-undang), dan sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis, tetapi keberadaannya telah dipatuhi dan berlaku di masyarakat. Keadaan ini dapat diasumsikan merupakan keistimewaan dari hukum Islam itu sendiri, karena pada sisi tertentu hukum Islam berdasar kepada nash tapi pada sisi lain hukum Islam juga membuka diri terhadap faktor di luar nash (ijtihâd). 1. Sumber Hukum Islam a. Al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam Al-Quran merupakan sumber utama dan sumber pokok hukum Islam. Bagi orang Islam tidak diperkenankan mengambil dasar hukum dan jawaban atas proble-matikanya dari luar Al-Quran selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash - nash Al-Quran. Apabila ditilik dari segi hierarki hukum Islam, maka produk hukum dan undangundang buatan manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah dan normanorma hukum dalam Al-Quran. Kesesuaian dan kesejiwaan hukum dengan Al-Quran adalah sesuatu yang dikehendaki, sehingga manusia mencapai kesejahteraannya. Dengan kata lain, Al-Quran bukan sekadar dipahami sebagai kalam Allah, tetapi merupakan pedoman tertinggi (way of life) bagi penentu arah kehidupan manusia. 59 Kemudian dari sekian banyak rumusanrumusan norma hukum dalam Al-Quran, secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ. 1969), 22. Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973), 76. 59 Akal: 23 Sumber Kebenaran dalam Islam 1) Hukum akidah (I‘tiqâdiyyah) yaitu hukum-hukum yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah dalam masalah keimanan dan ketaqwaan. 2) Hukum akhlaq (Khulûqiyyah) yaitu hukum-hukum yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia serta makhluk lainnya dalam kerangka beragama, bermasyarakat dan bernegara. 3) Hukum syari’ah (Syar‘iyyah) yaitu kekhususan hukum-hukum yang berhubungan antara manusia dengan Allah dan erat kaitannya dengan hubungan sesama manusia yang diwujudkan dalam refleksi hukum-hukum tentang masalah ibadah dan mu‘âmalah dalam arti sempit maupun luas.60 b. Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa AlQuran ditinjau dari segi wurûd dan tsubûtnya adalah qath‘iy. Sedangkan Sunnah, selain yang mutawatir, ada juga yang dzanniyy alwurûd. Dari kenyataan inilah, jumhur ulama menyatakan bahwa Sunnah menempati urutan kedua sumber hukum Islam setelah AlQuran. Dalam kaitan ini, al-Syâthibi dan alQasimi memberi pembahasan khusus dalam kitab al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm dan kitab al-Mahâsin al-Ta‘wîl. Argumentasi keduanya perihal kedudukan Sunnah sebagai hukum Islam yang kedua dijelaskan dengan argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Di antara argumentasi itu adalah : 1) Bahwa Al-Quran bersifat qath‘iyy al-wurûd, sedangkan Sunnah bersifat dzanniyy al-wurûd. Atas dasar itu, maka yang qath‘iy harus didahulukan dari pada yang dzanniy. 2) Bahwa Sunnah dapat berfungsi sebagai penjabar (bayân) bagi AlQuran. Keberadaan Sunnah tergantung kepada keperluan bayan bagi AlQuran, karenanya Sunnah selalu beriringan dengan AlQuran. 3) Bahwa ada beberapa keterangan hadits yang menjelaskan urutan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran adalah Sunnah dan ketiga adalah ijtihâd. Hal ini sebagaimana hadits tentang Muadz bin Jabâl ketika ditanya oleh Rasulullah SAW tentang proses menyelesaikan perkara-perkara dan hukum. 61 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. 87-90. Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode, Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 3. 60 61 24 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam Berbeda dengan pendapat di atas, sekelompok ulama lain justru berpendapat sebaliknya, di mana Sunnah diposisikan sebagai penentu terhadap Al-Quran. Artinya, Sunnah ditempatkan di urutan pertama, baru kemudian Al-Quran, dengan alasan: Pertama, bahwa Al-Quran yang bersifat mujmal memerlukan penjelasan Sunnah, sehingga tampak lebih dominan daripada Al-Quran. Kedua, ada beberapa ayat Al-Quran yang memiliki makna ganda, dan Sunnah memberikan alternatif sebagai pilihan. Ketiga, Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum-hukum yang belum diatur secara tegas dalam Al-Quran. Apabila dilihat dari bentuk-bentuk Sunnah Rasul, yakni berupa perkataan (qawliy), perbuatan (fi‘liy) dan ketetapan (taqrîriy), maka semuanya dapat direduksi pada tingkatan norma hukum. Hal ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa Al-Quran bersifat global, keberadaan Sunnah dapat mengkhususkan unsur-unsur kepentingan hukum dalam Al-Quran yang bersifat dharûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât dengan memperhatikan tujuan kemaslahatan hukum yang bersifat umum. Hal ini akan lebih tampak bersinggungan dalam mekanisme ijtihâd. c. Ijtihâd sebagai Sumber Hukum Islam Secara harfiyah, ijtihâd berasal dari kata “juhd’ yang berarti sungguhsungguh dalam melaksanakan suatu perbuatan. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam bidang jurisprudensi (fiqh) untuk menyatakan salah satu kaidah yang ditetapkan oleh para ulama madzhab dan menyusul pembentukkannya. Apabila suatu kasus tidak ditemukan penjelasannya dalam Al-Quran dan Sunnah, maka ia harus berijtihâd dengan ra’yunya. Ijtihâd dapat dikatakan sebagai rekonstruksi pemikiran seorang fakih di dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum baru yang dilakukan melalui penalaran akal secara mendalam disertai bukti-bukti dan hujjah yang kuat dengan tetap berpegang kepada sumber yang pokok yakni Al-Quran dan Sunnah. Karena ia merupakan rekonstruksi pemikiran akal, maka terdapat dua kecenderungan produk ijtihâd, yaitu bisa jadi hasil ijtihâd seseorang itu benar, tapi bisa juga salah atau keliru. Tampaknya hampir semua ulama madzhab sepakat bahwa kebenaran ijtihâd bersifat relatif dan zanni, terkecuali apabila kebenarannya tidak keluar dari kemauan syarî‘at di dalam nash. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa munculnya perbedaan pendapat di dalam proses ijtihâd untuk menetapkan hukum (istinbâth al-ahkâm) adalah karena tiga hal: Pertama, formulasi kaidah (altahsîs) yaitu ada yang berpegang kepada pemahaman uslub/dalil syara’ dan ada pula yang berpegang kepada maslah-masalah cabang (furu‘); Kedua, metodologi (manhaj) yaitu rumusan metode hukum dilakukan secara induktif dan secara deduktif. Hal ini akan berimplikasi pada adanya dua Akal: 25 Sumber Kebenaran dalam Islam corak kaidah, yakni kaidah Ushûl dan kaidah fiqh; Ketiga, aspek pemikiran yang merupakan pijakan mendasar yang dipakai para ulama dalam berijtihâd. Ada yang lebih dominan berpegang kepada nash/teks dan ada yang berpegang kepada ra’yu/konteks.62 Sebagai implikasi dari tiga hal di atas, maka dalam kajian pemikiran hukum Islam dikenal dua aliran utama dalam madzhab hukum Islam, yaitu aliran fuqaha yang berpegang pada nash atau biasa disebut dengan ahl alhadîts/mutakallimîn (Imam Syâfi‘i dan pengikutnya) dan aliran fuqaha yang lebih berpegang kepada ra’yu/akal dalam merumuskan metode hukumnya, dikenal sebagai ahl al-ra’yu (Imam Hânafi dan pengikutnya). Di antara hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama dan dua aliran besar dalam hukum Islam tentang kedudukan sumbersumber hukum Islam adalah: Pertama, masalah hadits/sunnah yang diperdebatkan sisi orisinalitas dan validitasnya baik dari segi sanad, rawi maupun materi (matan) haditsnya serta tingkat orientasi dan kecenderungan ulama di dalam memakai hadits sebagai dasar hukum; Kedua, perbedaan pendapat tentang sumber hukum Islam selain Al-Quran dan Sunnah, yaitu Qiyash, Istihsân, Mashlahah alMursalah, dan sebagainya63 2. Metode Hukum Islam Di samping itu, pemahaman terhadap dalil-dalil nash cenderung beragam dan sangat tergantung kepada cara pandang dan penggunaan metodologi hukum yang dipakai. Seringkali pada sebagian ulama memahami dan menggali hukum Islam dengan pendekatan tekstual, tetapi sebagian yang lain menggunakan pendekatan kontekstual. Hal ini akan menimbulkan produk ijtihâd yang tentunya berbeda-beda baik dari segi rumusan metodologinya sampai pada ketetapan hukumnya, sebagaimana metode berikut: a. Metode Induktif Metode induktif diperkenalkan oleh aliran mutakallimin (ahl alhadîts) yang menetapkan kaidah hukum yang umum dan ditunjukkan oleh nash dan akal, tanpa terikat oleh hukum-hukum furu‘. Ulama Syâfi‘iyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, Syi’ah Imâmiyyah, Syi’ah Zaydiyyah dan Syi’ah Ibâdiyyah disebutsebut mengikuti langkah-langkah metodologi hukum induktif menurut Imam Syâfi‘î. Hal ini diikuti pula oleh ulama kalam seperti Murtadha Muthahari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushûl Fiqh dan Ushûl Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandih dan Ahsin Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah. 1993), 44-50. 63 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 44-47. 62 26 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam kalangan Mu‘tazilah dan ‘Asy‘ariyyah yang sarat dengan muatan teologi dan filsafat. Diantara langkah-langkah metode hukum aliran mutakallimin adalah:64 1) Merumuskan kaidah-kaidah Ushûl dengan penyandaran kepada aspek kebahasaan (linguistik), sehingga metode aliran ini tampak kurang atau tidak menyentuh masalah-masalah furu‘. 2) Prinsip-prinsip dasar logika mantik dan teori konklusi banyak dipakai oleh aliran ini. 3) Dalil-dalil hukum di dalam nash lebih banyak dipahami melalui pendekatan tekstual/semantik, dan relatif sedikit menggunakan pendekatan kontekstual/ tematik. b. Metode Deduktif Metode deduktif diperkenalkan oleh aliran rasionalis (ahl al-ra’yu) yang menetapkan kaidah-kaidah hukum dengan penalaran akal dan senantiasa terikat oleh masalah-masalah furu‘. Jika terdapat kaidah hukum yang bertentangan dengan hukum furu‘, maka mereka menyandarkan pendapatnya kepada imam-imam mereka. Imam Abû Hânafi dan muridmuridnya dianggap mewakili dari ulama aliran rasionalis ini. Di antara langkah-langkah metode hukum aliran rasionalis adalah: 65 1) Merumuskan kaidah-kaidah Ushûl disesuaikan dengan masalahmasalah furu‘, lebih menyentuh fiqh, aktual dan realistis. 2) Prinsip-prinsip dasar logika dan analogi rasional banyak dipakai oleh aliran ini. 3) Dalil-dalil hukum di dalam nash banyak dipahami dengan pendekatan kontekstual/ tematik, kecuali dalil-dalil tertentu yang memang sudah jelas makna hukumnya. c. Metode Campuran Induktif-Deduktif (Konvergensi) Metode campuran ini dalam langkahlangkah perumusan metode hukumnya lebih banyak memadukan kedua aliran sebelumnya. Di dalam Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 3143. 65 Abdul Wahhâb Ibrâhim Abû Sulaymân, Fikr alUshûliy (Jeddah: Dâr al-Syurûq. 1983), 447-448. 64 Akal: 27 Sumber Kebenaran dalam Islam kasus tertentu aliran ini menggunakan metode induktif, tapi dalam kasus lain aliran ini juga menggunakan metode deduktif. Penggunaan dua metode sekaligus sangat tergantung kepada adanya illat hukum yang berimplikasi pada perubahan hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.66 Sebagai contoh, banyak kasus-kasus yang ditampilkan dalam kitab Badî‘u al-Nidzâm karangan Muzhaffaruddin al-Sa’ati dan kitab Jam‘u alJawâni karangan Tajuddîn alSubki al-Syâfi‘î disesuaikan dengan memadukan metode hukum induktif dan deduktif serta pendektan tekstual dan kontekstual. Munculnya aliran campuran ini sesungguhnya merupakan antitesa dari kedua aliran sebelumnya yang saling tarik-menarik mengenai keunggulan dan kelemahan masing-masing di dalam merumuskan metode hukum yang sistematis.67 Kendatipun masing-masing aliran memiliki rumusan metodologi hukum yang berbeda-beda dan lebih menyentuh aspek-aspek substansial hukum Islam, tetapi target utama penelitian dan pengkajian hukum Islam adalah bagaimana seorang mujtahid mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya. Selain itu, dalam mekanisme istinbath hukum seorang mujtahid perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar hukum Islam, sehingga tercapai tujuan syarî‘at (maqâshid al-syarî‘ah) secara keseluruhan.68 3. . Prinsip-prinsip Pengembangan Hukum Islam Disamping itu, ijtihâd tidak hanya dipahami secara sempit dalam arti rekonstruksi pemikiran di bidang hukum Islam, melainkan ijtihâd dipandang sebagai wacana untuk membangun suatu peradaban manusia, dan khususnya dalam pengem-bangan pengetahuan dan sains. Jadi, suatu pandangan yang keliru apabila dikatakan oleh sebagian orang bahwa ‘pintu ijtihâd telah tertutup’, padahal pola pikir dan cara pandang manusia senantiasa berubah dan dinamis. Atas dasar itu, maka pintu ijtihâd akan selalu terbuka dan tetap A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 108-109. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 41-43. 68 Analisis Penulis tentang munculnya aliran yang berbeda dalam konteks ijtihad semisal aliran mutakallimin (ahl al-hadîts) dan aliran rasionalis (ahl al-ra’yi) tidak hanya terjadi di kalangan Sunni antara pengikut Imam Syâfi‘î dan pengikut Imam Abû Hanifah, akan tetapi juga terjadi di kalangan Syi’ah. Pemikiran hukum Islam dalam kegiatan Ijtihad para ulama Syi’ah mengkristal menjadi dua corak, yakni ahl alhadîts yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Imâmiyah, Zayidiyyah dan Ibâdiyyah, serta ahl al-ra’yi yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Ja‘fariyyah, Isma’iliyah dan Sabaiyah. Lihat, Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 41-43. 66 67 28 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam dinamis mengikuti perkembangan pemikiran manusia dan dinamika hukum Islam itu sendiri.69 Di antara penyebab kenapa hukum Islam dapat berlaku secara dinamis adalah karena terdapat-prinsip-prinsip dasar pengembangan hukum Islam Islam, antara lain: 1) Meniadakan Kepicikan dan Tidak Memberatkan Prinsip ini sangat jelas tampak dalam proses penetapan hukum Islam. Pada umumnya hukum-hukum itu disyarî‘at kan menunjukkan bahwa hikmahnya adalah untuk memberi kemudahan dan keringanan. Karena tabiat manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan manusia suka memperhatikan hukum dengan sangat hati-hati. Manusia dalam mentaati hukum terbatas oleh pilihan-pilihan di mana apabila sanggup melaksanakannya. Atas dasar itu, hukum Islam diberlakukan sesuai dengan fitrah manusia dan bukan karena kehendak-kehendak Allah semata. Hal demikian ditujukan agar setiap manusia mengarahkan dirinya dengan penuh kesadaran menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan dan amar ma‘ruf nahî almunkar. Sebagai contoh, beberapa keterangan dalam Al-Quran yang mengisyaratkan adanya keringanan (rukhshah) dalam obyek hukum tertentu yang dianggap memberatkan (dharûrah), hingga lahirlah kaidah fiqh yang berbunyi “Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula terlarang menjadi boleh” Dari uraian itu, maka dalam beberapa situasi keberlakuan hukum Islam tidak kaku (rigid), tetapi dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi secara fleksibel. Oleh Karena itu, dalam kaidah fiqh dikenal suatu kaidah yang berbunyi: “Berubahnya suatu hukum dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta waktu dan tempatnya”. Sehingga tidak ada argumen teoretis apapun yang dapat membantah adanya dinamika atau perubahan keberlakuan hukum Islam. 2) Menyedikitkan Beban Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 3. Penulis mengambil pemahaman dari sifat dan karakteristik hukum Islam yang elastis dan dinamis. Bila saja perkembangan ijtihad diangggap pintunya telah tertutup pada periode taklid, hal demikian semata-mata disebabkan kebanyakan ulama atau fuqaha enggan untuk menemukan pemikiran baru dalam ijtihad, dan mereka (ulama taklid) lebih suka merekonstruksi ulang dan atau senantiasa menyandarkan ijtihadnya kepada guru-guru mereka. 69 Akal: 29 Sumber Kebenaran dalam Islam Prinsip menyedikitkan beban dalam hukum Islam tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan peristiwaperistiwa yang mengharuskan adanya ketetapan hukum. Hukum-hukum yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya bukan sekedar untuk menjawab persoalan-persoalan hukum di masa itu, melainkan dijadikan pedoman untuk menjawab persoalan-persoalan baru di masa datang. Sehingga betapapun kemampuan manusia berbeda-beda dalam menerima berlakunya hukum Islam, semuanya didasarkan pada pertimbangan untuk meringankan beban hukum. 70 Sehingga Allah SWT mensinyalir kepada manusia untuk tidak banyak bertanya tentang masalah hukum, jika memang manusia tidak mampu melaksanakannya sebagaimana diterangkan dalam QS 5:101, 2:185 dan 4:28. Bahkan Rasulullah SAW juga menerangkan hal serupa tentang larangan menyianyiakan harta benda, karena yang telah halal jelas halalnya dan yang haram pun jelas haramnya. Dari pemikiran tersebut, kemudian lahir kaidah Ushûl yang menyebutkan: “Bahwa asal hukum segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Berdasar kaidah tersebut, maka tidak ada alasan bahwa hukum Islam memberatkan, yang sudah tentu adalah elastisitas hukum Islam akan meringankan semua beban hukum.71 3) Penetapan Hukum secara Bertahap Penetapan hukum Islam secara bertahap merupakan prinsip utama yang pernah terjadi dan berlaku pada masa kenabian. Diyakini bahwa setiap penetapan hukum mempunyai latar belakang historis dan sebab-sebab tertentu hingga diberlakukannya sebagai hukum yang tetap dan mengikat. Hikmah dari penetapan hukum secara bertahap adalah untuk mempermudah mengetahui isi dan materi suatu hukum serta lebih memantapkan pemahaman terhadap putusan-putusan hukum sesuai keadaan situasi dan kondisi.72 4) Memperhatikan Kemaslahatan Manusia Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Allah SWT banyak membuat ketetapan-ketetapan hukum yang disertai dengan sebab-sebab dan tujuan hukum itu. Banyak sekali ditemui di dalam dalil-dalil hukum yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dalil-dalil penetapan hukum itu tidak pernah meninggalkan kepentingan masyarakat sebagai Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, 6869. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl, 23-24. A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 20-23. 72 A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 62-63. 70 71 30 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam pertimbangan hukum. Karena pola kehidupan terus berubah, maka dalam hal perubahan hukum dan atau penggantiannya senantiasa diarahkan untuk mencapai kemaslahatan umum.73 5) Mewujudkan Keadilan yang Merata Dalam sudut pandang hukum Islam, prinsip keadilan sesungguhnya fondasi utama bagi upaya penegakan kepastian hukum (law enforcement). Semua orang bersamaan kedudukannya di depan hukum, dan syarî‘at Islam memberikan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar hukum tanpa kecuali. Adalah isyarat Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Bila saja putriku Fatimah mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (al-Hadits). Hal ini sejalan dengan QS 5:8 bahwa Allah SWT menghendaki ditegakkannya prinsip keadilan di dalam hukum. 4. Teori-teori Berlakunya Hukum Islam Dalam perkembangannya teori-teori tersebut diperkenalkan oleh para ahli hukum berhubungan dengan kepentingan bagi keberlakuan hukum Islam di Indonesia, muali dari tingkatan metodologi hingga tingkatan realitas kehidupan masyarakat Islam itu. Berikut ini teori-teori yang membuktikan berlakunya hukum Islam di Indonesia: 1) Ajaran Islam sebagai Penataan Hukum Al-Quran memberikan ketentuan kepada setiap orang Islam untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan tidak dibenarkan seorang Islam memakai hukum selain yang datang dari Allah dalam nash, walaupun dalam aplikasinya disesuaikan dengan peru-bahan sosial dan hukum di masyarakat. 2) Teori Penerimaan Otoritas Hukum Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends of Islam yang menyatakan bahwa setiap orang Islam diharuskan tunduk dan patuh kepada otoritas hukum agama yang dianutnya.43 Dengan kata lain, bagi orang Islam terdapat kewajiban untuk menjalankan syarî‘at Islam dalam bentuk ketaatan yang universal dan paripurna. 3) Teori Receptie in Complexue Teori receptie in complexue diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927 M), yang menyatakan bahwa bagi 73 A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 63-64. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, 71-73. Akal: 31 Sumber Kebenaran dalam Islam orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelak-sanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 4) Teori Receptie Dalam pokok-pokok teori receptie, Hugronye menyebutkan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam akan berlaku apabila borma hukum Islam telah diterima/diserap oleh masyarakat hukum adat. Teori ini dikembangkan oleh Vollen Hoeven dan Ter Haar semata-mata untuk kepentingan munculnya panIslamisme di Indonesia serta untuk memperkokoh cengkraman penjajahan di Indonesia. 5) Teori Receptie Exit Teori receptie exit dikemukakan oleh Hazairin yang memberikan pertentangan terhadap teori receptienya Snouck Hugronye. Menurut Hazairin, hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari pengaruh hukum lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan sumber dan metode hukum Islam. Dan ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaannya, hukum Islam mewarnai sistem hukum nasional dan tatanan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. 6) Teori Receptie a Contrario Teori receptie a contrario merupakan pengembangan dari teori receptie exit Hazairin. Sayuti Thalib dalam tulisannya Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, penelitiannya tentang masalah perkawinan dan waris disimpulkan bahwa: a. bagi orang Islam berlaku hukum Islam. b. Hukum Islam berlaku sesuai dengan cita hukum, cita moral dan bathin umat Islam. c. Hukum adat berlaku, jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam.74 G. Penutup Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan kepada manusia, dengan akal manusia dapat membedakannya dengan mahluk yang lain. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, dapat membedakan yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal sangatlah bannyak perannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama didunia Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode, Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 11-13. 74 32 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam islam. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang penciptaan Allah SWT. Bagaimana langit yang ditinggikan diciptakan dengan tanpa tiang yang menyangganya, bagaimana terjadimya siang dan malam yang terus menerus bergulir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal, menjelaskan supaya manusia menggunakan akalnya dengan baik. Allah memerintahkan manusia supaya mempergunakan akal mereka untuk memikirkan apa-apa yang ada disepannya, sesuatu yang terjadi yang manusia tisak bisa melakukan semua itu, manusia disuruh berfikir tentang penciptaan Allah yang begitu besar, memikirkan tentang keagungan Allah. Semua itu yang diperinahkan Allah supaya manusia menggunakan akal yang diberikan denan maksimal dan tidak sia-sia. Banyak fungsi-fungsi akal yang bisa kita lihat sepanjang kehidupan ini. Dengan akal manusia dapat menciptakan penemuan-penemuan yang canggih-canggih saat ini. Para ilmuan mempergunakan akal mereka utnuk meneliti sesuatu yang menurut mereka belum pernah mereka temukan, para mufassir, para mujitahid dan banyaki lagi yang mempergunakan akal mereka untuk menyelesaikan masalah yang hadir seiring dengan pergantian waktudan zaman. Semua yang kita lakukan agar baik dan benar, kita harus mempergunakan akal sehat kita sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan, karena seseorang yang mempergunakan akal mereka dengan baik akan mendapatkan apa yang mereka tujukan. Akal: 33 Sumber Kebenaran dalam Islam DAFTAR PUSTAKA Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973. Al-Hafidz, Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2006. A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Buntang. 1970. Amal, Taufik Adnan , Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989. Amin, Muhammad, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 3, No. 1. Ash-Shiddiqie , Hasbie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992. Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1995. Didi, Kusnadi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode, Pengembangan, dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16,No. 1. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Hardy, Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer. Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis, Bandung: Alfabeta, 2012. Haryono, Anwar, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1985. HD, Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164 https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5 https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquranHaditst.html https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalammemahami-al-quran/ Huda, Nuril, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi, Jakarta: Amzah, 2017. Ibrâhim Abû Sulaymân, Abdul Wahhâb, Fikr alUshûliy, Jeddah: Dâr al-Syurûq. 1983. Indra, Hasbi, Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ. 1969. Kusnadi, Didi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode, Pengembangan, Dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980. Masbukin dan Alimuddin Hassan, Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah, Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2. 34 Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam M. Nur, Keniscayaan Pendekatan Pluralistik-Idealistik dalam Pengkajian Islam, Jurnal IN-RIGHT, Vol. 3, No. 1. Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007. Muslehudin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj. Yudian Wahyudi, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992. Muthahari, Murtadha dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushûl Fiqh dan Ushûl Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandih dan Ahsin Muhammad, Jakarta: Pustaka Hidayah. 1993. Najib, Agus Mohd, Fiqih: Antara Syari’ah dan Budaya Lokal, Jurnal MAZHABUNA, No. 03. Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986. Rustam, Rusyja dan Zainal A. Haris, Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Deepublish, 2018. Santoso, Lukman, Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam, Epistemé,Vol. 11, No. 1. Shihab, M. Quraish, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal Dalam Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2005. Sudjana, Eggi, Islam Fungsional, Jakarta: Rajawali, 2008. Sutikno, R. Bambang, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan Spiritual, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014. Syafi’ie, Imam, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UII Press, 2000. Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan, Bandung: Piara. 1994. Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Jakarta: Mizan, 1994. Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Rajawali Raja Grafindo Persada, 1997.