Uploaded by User39959

Syahla Putri Salsabil - Revisi Makalah MSI (AKAL Sumber Kebenaran dalam Islam)

advertisement
Akal: 1
Sumber Kebenaran dalam Islam
AKAL:
SUMBER KEBENARAN DALAM ISLAM
Oleh: Syahla Putri Salsabil
Abstrak
Allah swt., menganugerahkan akal kepada seluruh manusia yang merupakan kelebihan
manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan
akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di
dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan
sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan
dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan Islam
membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas
jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Maka Islam
menundukkan akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal
wahyu dan sunnah harus di dahulukan.
Kata kunci: Kedudukan Akal, Islam.
A. Pendahuluan
Akal memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia didalam Islam. Meski
demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami
agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana
mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat
Allah swt, dalam permasalahan apa pun. Dengan akal maka terselamatlah diri
daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan
keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia
ke Neraka Jahannam,
Allah SWT berfirman :
َّ ‫َو َق ُالوا َل ْو ُك َّنا َن ْس َم ُع َأ ْو َن ْعق ُل َما ُك َّنا ف َأ ْص َحاب‬
‫الس ِع ري‬
ِ
ِ
‫ِي‬
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang
tidak mau mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti,
kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara
manusia dari api neraka.
2 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Akal adalah nikmat besar yang Allah swt titipkan dalam jasmani
manusia. Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri
manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhlukmakhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak
ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini.
Dengan bahasa yang singkat, akal menjadikan manusia sebagai
makhluk yang berperadaban. Tetapi meskipun demikian, akal yang selalu
diagungagungkan oleh golongan pemikir sebut saja golongan ra'yu atau
mu'tazilah juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya .(Nasution Harun,
1986: 71)
Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah
pasti dan dapat dipercaya (Ibnu Khaldun, 1999: 457). Khaldun menjelaskan
mempergunakan akal itu menimbang soal-soal yang berhubungan dengan
keesaan Allah swt, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kenabian
(nubuwah), atau hakikat sifat-sifat ketuhanan atau hal-hal lain di luar
kesanggupan akal, adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan
tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti bahwa
timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah
bahwa akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya;
oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah
swt dan sifatsifatnya.
Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar
lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat
berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain.
Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat
abstrak? hal-hal yang bersifat ghaib? Mempertimbangkan bahwa akal dapat
berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang
lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang
bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat ghaib
atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama). Dengan
begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat
ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain
akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas
dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghaib).
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal
secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka
hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang
tidak terkena beban apapun.
Akal: 3
Sumber Kebenaran dalam Islam
Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedahkaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal
tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai
kawan dan kawan pula sebagai musuh.
Allah SWT berfirman :
ُ َّ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
َ ْ َ ُّ
َ ْ ْ
ُّ ً َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ ً َ َ
‫خ َباَل َودوا َما َع ِنت ْم قد َبد ِت ال َبَْ ُاُ ِم ْن‬
‫ونكم َل يألونكم‬
‫آمنوا َل تت ِخذوا ِب َطانة ِمن د‬
‫يا أيها ال ِذين‬
ِ
َ
ْ ُ ُ َ َّ َّ َ ْ َ ُ َ ْ ْ ُ ُ ُ ُ
ْ
ْ ُ َ َ ْ
َ ُ َْ ُُْْ ْ
َ
َ
‫ات ۖ ِإن كنتم تع ِقلون‬
ِ ‫أفو ِاه ِهم وما تخ ِ يف صدورهم أ ك َي ۚ قد بينا لكم اْلي‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian daripada mulut mereka, dan
apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah
Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya
(dengan menggunakan akalmu).” [Q.S. Ali ‘Imran : 118]
Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap
memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah
SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui
batasnya dan menolak mengikuti
bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
B. Pengertian Akal
Akal dari segi bahasa (lafadz), berarti memahami dan menetapkan
sesuatu atau mempunyai pengertian serupa dengan itu. Dari sini, maka
pengertian akal sama dengan ‘berpikir’ (thinking) dan ‘kesadaran’. Akal adalah
pemindahan gambaran suatu kenyataan (objek) ke dalam otak melalui panca
indera, disertai pengetahuan sebelumnya tentang kenyataan tersebut, hingga
fakta yang diindera tersebut dapat dimengerti.1
Akal adalah al-hijr atau an-nuha yang memiliki arti kecerdasan. Akal
berasal dari kata kerja ‘aqala yang artinya habasa, yaitu mengikat atau
menawan. Oleh karena itu, seseorang yang menggunakan akalnya, al-‘aql
adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang
menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat
1
Eggi Sudjana, Islam Fungsional (Jakarta: Rajawali, 2008), 13.
4 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya. Ia
mampu mengendalikan diri dan akan dapat memahami kebenaran, karena
seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk
memahami kebenaran. Dengan demikian, akal juga dapat diartikan sebagai
suatu potensi rohaniah untuk membedakan mana yang hak dan mana yang
batil, mana yang benar dan mana yang salah. 2
Kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis
(practical intelligine) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal adalah
orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali
ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari
bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh
orang Arab zaman jahiliah.3
Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti. Pertama, akal
adalah sifat yang membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan
lainnya. Dengan akal, manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu yang
memerlukan pemikiran. Kedua, hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang
timbul dari alam wujud. Ketiga, akal ialah ilmu yang diperoleh dari
pengalaman, dan keempat, akal adalah pengetahuan tentang akibat segala
sesuatu, dan pencegah hawa nafsu. 4
Kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir.
Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al‘aql mengandung arti yang sama dengan nous, dalam bahasa Yunani. Dalam
falsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia. Dengan demikian, pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui
alqalb di dada tetapi melalui al-aql di kepala. Karena itu pengertian akal dalam
pembahasan para filosof muslim yang banyak dipengaruhi filsafat Yunani,
akal merupakan salah satu daya dari jiwa (an-nafs atau ar-ruh) yang terdapat
dalam diri manusia5 Sedangkan kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai
Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban
kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berbubah sesuai
dengan masalah yang dihadapi. Ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah
dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus
melebihi penglihatan mata. Lihat, Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi
(Jakarta: Amzah, 2017), 35.
3 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 7.
4 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
5 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 11.
2
Akal: 5
Sumber Kebenaran dalam Islam
daya untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memperbedakan antara
kebaikan dan kejahatan. 6
Namun, istilah akal seringkali dikacaukan dengan term “otak”.
Meskipun keduanya merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung
perbedaan yang mendasar. Pengertian otak misalnya, adalah merujuk kepada
materi (jaringan syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung
kepala. Disamping dimiliki oleh manusia, otak juga dimiliki oleh binatang. 7
Maka, memungkinkan bagi seorang manusia yang memiliki otak namun tidak
berakal, seperti halnya orang dengan gangguan jiwa (orang gila).
Akal dalam pengertian islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan
dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam
sekitarnya.8 Akal adalah potensi gaib yang tidak dipunyai oleh makhluk lain
yang mampu menuntun kepada pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu
melawan hawa nafsu.9
Sedangkan dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an disebutkan bahwa kata ‘aql
searti dengan akal, wisdom atau reason, yang mempunyai tugas berpikir atau
memikirkan atau menghayati dan melihat atau memperhatikan alam
semesta.10 . Kebanyakan ahli tafsir mengartikan akal tidak hanya dengan arti
pikiran semata, tetapi juga perasaan.11
Akal adalah perimbangan antara intelek (budi) dan intuisi (hati)
manusia, antara pikiran dan emosi manusia. 12 Akal adalah bagian dari nikmat
Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Akal adalah anugerah yang
sangat mulia dari Tuhan. Karena akal pulalah manusia tampil berbeda
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 12.
Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan Filsafat
Ilmu (Yogyakarta: UII Press, 2000), 74.
8 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 13.
9 Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
10 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, 27.
11 Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet.
2, 223.
12 Intelek adalah alat untuk memperoleh pengetahuan dalam alam nyata. Dalam
membentuk pengetahuan, intelek terikat oleh yang konkret, oleh karena itu ia hanya
mungkin berjalan selangkah demi selangkah, menyelesaikan arah demi
arah.sedangkan intuisi adalah alat untuk alam tak nyata (gaib). Dalam membentuk
pengetahuan, ia dapat melakukan lompatandari tidak tahu tiba tiba menjadi tahu.
Lihat, Rusyja Rustam dan Zainal A. Haris, Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 338.
6
7
6 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
daripada makhluk yang lain. Dengan akal, manusia dapat membedakan mana
yang hak dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.13
Akal, menurut Endang Saifuddin Anshari, merupakan satu potensi
dalam ruhani manusia yang memiliki kesanggupan untuk mengerti sedikit
secara teoritis realitas kosmis yang mengelilinginya dan yang secara praktis
dapat mengubah dan mempengaruhinya.14 Sedangkan Musa Asy’ari
mengartikan akal sebagai daya ruhani untuk memahami kebenaran yang
bersifat mutlak dan kebenaran yang relatif.15
Hampir senada dengan yang lain, Imam Bawani menyimpulkan
bahwa akal merupakan substansi ruhaniyah yang dengannya manusia dapat
memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.
C. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam
Harus diakui bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang
terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini,
bersumber langsung dari Allah , sebagai utusan untuk menyadarkan manusia
dari kebodohannya.16 Akal merupakan karunia terbesar Tuhan bagi manusia.
Berkat akal manusia menjadi lebih mulia dari binatang, mengetahui banyak
sesuatu, memperbaiki kehidupan, menggapai cita-cita, dan bahkan
mengetahui Tuhan. Tanpa akal, manusia tak ubahnya seperti binatang. Oleh
sebab itu, akal wajib dihargai dan tidak boleh dilecehkan; ia harus dijadikan
hakim bagi segala permasalahan.17
Akal memiliki fungsi agar manusia tetap bereksistensi. Akal
menyerap ilmu dan berbuah pemikiran. Akal manusia bias memikirkan apa
yang konkret dan abstrak sehingga akal dapat difungsikan untuk berijtihad.
Kedudukan akal menjadi penting untuk memikirkan ciptaan Tuhan untuk
mengenal diri sendiri, karena akal mencitrakan kekhasan manusia. 18
Dalam kenyataannya, akal bukanlah wujud yang berdiri sendiri,
melainkan inheren dalam jati diri manusia. Oleh karena itu, akal merupakan
pra-syarat adanya manusia yang hakiki. Artinya, manusia belum dipandang
R. Bambang Sutikno, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan Spiritual
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 17.
14 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, 16.
15 Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992), 122.
16 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 121.
17 Amroeni Drajat, Filsafat Islam : Buat yang Pengen Tahu (Jakarta: Penerbit Erlangga), 24.
18 R. Bambang Sutikno, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 MutiaraKecerdasan Spiritual
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 17.
13
Akal: 7
Sumber Kebenaran dalam Islam
sebagai layaknya manusia apabila belum sempurna akalnya.19 Sebab, akal
merupakan kemampuan khas manusiawi yang secara potensial dapat
didayagunakan untuk mendeskripsikan dan memikirkan fenomena-fenomena
serta melakukan penalaran yang akhirnya mengantarkan manusia untuk
mengambil keputusan dan melakukan suatu tindakan. Tegasnya, manusia
belum dianggap sebagai manusia jika belum menggunakan potensi akalnya
secara fungsional atau untuk berpikir. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus
walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam.20
Potensi akal yang digunakan untuk berpikir mempunyai fungsifungsi strategis yang terletak dalam bidang-bidang: 21
a. Pengumpulan ilmu pengetahuan (collecting the knowledge).
b. Memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi (problem
solving).
c. Mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksudmaksud kita (looking for the way).
Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang
sedemikian banyak dalam Al-Qur’an mengisyaratkan pentingnya peranan
akal.22 Dalam hubungannya dengan upaya memahami islam, akal memiliki
fungsi yaitu sebagai berikut:23
1.
Kombinasi pemahaman antara agama dan manusia melalui akal,
maka kita dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhan dan
fitrah kita sebagai manusia pada posisi hamba dan pencipta, serta
sifat-sifat kita sebagai manusia dengan nafsu dan akal. Karena
itu, agama diturunkan untuk manusia sebagai faktor kontrol
terhadap potensi sifat-sifat manusia karena nafsu dan akal.
2. Kombinasi pemahaman antara manusia dan dunia (alam semesta)
melalui akal, maka kita dapat memahami konsistensi dan
kontradiksi antara sifat manusia dengan sifat alam semesta
sehingga kita dapat mengendalikan perilaku kita atas dasar
dorongan hawa nafsu. Karena dunia (alam semesta) dan manusia
mempunyai sifat atau hokum-hukumnya sendiri-sendiri yang
Imam Syafi`ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur`an (Yogyakarta: UII Press, 2000),
75.
20 M. Quraish Shihab, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akala Dalam Islam
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), 88.
21 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980),
110.
22 Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama Islam,
Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2018, 3.
23 Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 220.
19
8 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
sifatnya bertentangan (kontradiksi) satu sama lain. Manusia
ingin serba instan dengan tidak terbatas, dan alam semesta
membatasinya dengan sifat kikir, selektif, dan ketidakpastian.
3. Kombinasi pemahaman antara pemahaman agama dan dunia
(alam semesta) melalui akal, maka kita dapat memperkuat iman.
Ini karena alam semesta mempunyai hukum-hukum atas
kehendak Tuhan, dan agama membimbing menuju terciptanya
keharmonisan hubungan dan keseimbangan alam semesta.
4. Kombinasi pemahaman antara agama, manusia dan alam semesta
melalui akal, maka kita menjadi insan yang mulai.
Dengan demikian, akal merupakan alat untuk memahami segalagalanya, yaitu manusia dengan perilakunya, alam semesta dengan sifat dan
hukumnya, termasuk agama dengan wajib dan haramnya yang membentuk
aqidah, ibadah, dan syari’ah, dan konsep ketuhanan serta keimanan. Sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahsa “hanya orang berakal saja yang
beriman”.24
Akal juga sebagai alat untuk memahami dunia dengan hukum atau
sifat-sifatnya yang “gap, kausal, dan relatif”, serta kekuasaan Tuhan. Tidak
ada satupun ciptaan Tuhan di dunia ini tidak bermanfaat jika kita mau
menggunakan akal, yang diharamkan hanya niat penggunaannya.25
Akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Hadits dan untuk mengetahui ajaran – ajaran Islam yang
berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang
bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk
mengetahuinya.26
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak
dipakai bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan semata, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran
keagamaan Islam sendiri. Dalam Al-Qur’an banyak kita jumpai ayat-ayat yang
Dalam agama, wajib adalah perintah yang diharuskan untuk dilaksanakan, dan
haram adalah larangan yang harus ditinggalkan. Lihat, Harjoni, Agama Islam Dalam
Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 221.
25 Contoh alcohol adalah bahan kimia yang diolah dari bahan alam (nabati) sangat
bermanfaat dalam berbagai kepentingan terutama dalam dunia kesehatan, namun
disalahgunakan untuk bersenang-senang (bermabok-mabokan). Jadi yang
diharamkan adalah niat penggunaannya yang salah, bukan alkoholnya yang haram.
Namun bagi masyarakat yang awam, minyak wangi beralkohol pun dianggap haram
dan tidak sah atau tidak boleh dibawa sembahyang. Lihat, Harjoni, Agama Islam Dalam
Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta, 2012), 221.
26 Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern (Depok: Prenadamedia Group: 2018), 73.
24
Akal: 9
Sumber Kebenaran dalam Islam
memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal. Oleh karena itu,
bukan tanpa alasan jika dikatakan Islam sebagai agama rasional.27
Akan tetapi, menurut Harun Nasution, pemakaian kata rasional
terhadap Islam perlu ditegaskan ulang. Kerasionalan Islam bukannya
kemudian percaya kepada rasio semata-semata dan meninggalkan wahyu
atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu. Karena dalam pemikiran Islam,
baik dalam bidang filsafat ataupun ilmu kalam, akal tetap tunduk pada
wahyu, dan dipakai hanya untuk memahami teks-teks suci tersebut.28
Banyak yang mengklaim bahwasanya kalangan filosof Islam dan
kaum Mu’tazilah cenderung mengedepankan akal dari pada wahyu. Bagi
Harun Nasution, pendapat tersebut tidak beralasan. Yang dipertentangkan
dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu,
melainkan penafsiran terhadap teks wahyu. Sehingga bila kelihatan
penafsiran yang jauh dari arti tekstual wahyu, dengan penekanan pada arti
metaforis, maka dianggap telah menolak wahyu.29 Meskipun demikian ada
beberapa orang dalam zaman Islam klasik yang dinilai terlalu mendewadewakan akal dan mengacuhkan wahyu. Mereka kemudian tidak dianggap
sebagai muslim atau orang beragama lagi.
Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu
yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat
dinamai al-„aql al-wazi‟, yakni akal pendorong. Akal juga digunakan untuk
memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia
yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang
dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu
pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya
mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al‟aql almudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan). 30
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101.
Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101.
29 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 101-102.
30 Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang
mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak
ada lagi kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan
pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian
juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan.
Lihat, Muhammad Amin, “Kedudukan Akal Dalam Islam”, Jurnal PendidikanAgama
Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2018, 4.
27
28 Harun
10 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
D. Apresiasi Al-Qur’an dan Hadits terhadap Akal
Al-Quran pada dasarnya memberikan apresiasi dan penghargaan
terhadap penggunaan akal yang dimiliki oleh manusia. Sehigga rasionalitas
menjadi ukuran dan pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk hidup
yang lain (Nurcholish Madjid, 1997: 162). Akallah yang memberikan
kemampuan kepada Adam (manusia), misalnya, untuk mengenal dunia
sekelilingnya. Atas dasar kemampuan itulah manusia dipilih oleh Tuhan
sebagai khalifahnya di bumi; dan bukan malaikat meskipun senatiasa
bertasbih memuji Allah dan mengkuduskannya (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-34).
Dengan begitu, al-Qur‟an mengakui keunggulan manusia dan memberikan
kebebasan untuk menguasai dan mengatur alam (Ali, t.th: 403). Tetapi
meskipun begitu, di balik kebebasan manusia tersebut harus diiringi dengan
tanggung jawab, baik sosiologis maupun teologis.31
Akal pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling tinggi kepada manusia.
Akal pikiran yang dimiliki manusia inilah yang membedakan dengan
makhluk-makhluk lain. Dengan akal pikiran yang dimiliki ini pulalah
manusia menempati tempat tertinggi di antara makhluk-makhluk lain baik
malaikat, jin, binatang dan sebagainya. Islam memberikan penghargaan
tertinggi terhadap akal. Penghargaan tertinggi terhadap akal tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri..32 Tidak sedikit al-Qur’an
dan Hadits Nabi yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk
mempergunakan akalnya dan banyak berpikir guna mengembangkan
intelektualnya. Dengan penggunaan akal itulah manusia dapat mengasah
intelek untuk kemudian menimbulkan sikap kecendikiawanan dan kearifan
baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan maupun terhadap
Tuhan.33
Banyak kata dalam al-Qur’an yang mengandung arti berpikir selain dari
kata akal, seperti “dabbara” (merenungkan) dalam 8 ayat, “faqiha” (mengerti)
dalam 20 ayat, “nazara” (melihat secara abstrak) dalam 30 ayat, dan
“tafakkara” (berfikir) dalam 16 ayat. Kata-kata yang berasal dari kata ‘aqala
dijumpai pada lebih dari 30 ayat. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayatayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata tersebut di atas mengandung
perintah agar manusia mempergunakan akal pikirannya.34 Selain itu, terdapat
Masbukin dan Alimuddin Hassan, “Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah”,
Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2, Juli - Desember 2016, 2.
32 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 39.
33 Hasbi Indra, “Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap
Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim”, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2, Juli-Desember
2009, 247.
34 Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos,
1995), 37.
31
Akal: 11
Sumber Kebenaran dalam Islam
pula sebutan yang menggambarkan sifat berfikir bagi seorang Muslim seperti
‘ulu al-bab (orang-orang yang berfikir), ‘ulu al-absar (orang-orang yang
melihat dengan akal-nya), dan ‘ulu al’ilm (orang-orang yang mengetahui).
Selanjutnya, kata akal sendiri erat kaitan-nya dengan berfikir. Arti kata
“ayat” adalah tanda. Tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang terletak
tetapi tidak kelihatan di belakangnya. Untuk mengetahui-nya, manusia harus
memperhatikan tanda itu dengan mempergunakan akal-nya. Dalam AlQur’an, sebagai telah disinggung di atas, ada kurang lebih 150 ayat mengenai
fenomena alam. Ayat-ayat ini disebut ayat “kauniah” (kejadian atau kosmos),
menjelaskan bahwa alam ini penuh dengan tanda-tanda yang harus difikirkan
manusia dan yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada Tuhan.
Salah satu ayat yang terbaik di antara-nya adalah yang terdapat di dalam
surat Al-Baqarah, yang menjelaskan;
َْ
َ ْ
َّ
َ َّ ْ ُ ْ
َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ
َّ
َّ ‫إ َّن ف َخ ْلق‬
َ ‫الن‬
‫اَ َو َما‬
‫ض َو َاخ ِتَل ِف الل َ ْي ِل َوالن َه رار َوالفل ِك ال ِ يت ت ْج رري ِ يف البح رر ِبما ينفع‬
‫ات َواْل ْر‬
‫الس َم َاو‬
ِ
‫َِ ْ َ ِ َ ي‬
‫ر‬
َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ
ُ َّ ‫ل‬
َ ِّ‫ال‬
َّ ‫اَّلل ِ م َن‬
َ ‫الس َماُ م ْن َماُ َفأ ْح‬
ِّ ‫ث ِف َيها ِم ْن ُك ِّل َد َّاب ٍة َو َت ْْصيف‬
ِ ‫ا‬
‫ي‬
‫ب‬
‫و‬
‫ا‬
‫ه‬
‫ت‬
‫و‬
‫م‬
‫د‬
‫ع‬
‫ب‬
‫ض‬
‫ر‬
‫اْل‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ا‬
‫ي‬
‫أنز‬
ٍ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ر‬
ِ
ِ
َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َّ َ ُ ْ
َ
َ‫ُ ر‬
َ َ ‫اْل ْر‬
َ ‫الس‬
َّ ‫َو‬
‫ات ِلق ْو ٍم َي ْع ِقلون‬
‫و‬
ُ‫ا‬
‫م‬
‫الس‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ر‬
‫خ‬
‫س‬
‫م‬
‫ال‬
‫اب‬
‫ح‬
ِ
ٍ ‫ض ْلي‬
ِ
‫ر‬
‫ر‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi
itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [Q.S. Al-Baqarah : 164]35
Ayat-ayat serupa ini menyuruh manusia supaya memperhatikan dan
meneliti alam sekitar-nya, tegasnya supaya manusia berfikir tentang alam
lingkungan-nya.
Hadits, sejalan dengan Al-Qur’an, juga memberi kedudukan tinggi
pada akal. Salah satu Hadits mengatakan: “Agama ialah penggunaan akal,
tiada agama bagi orang yang tidak berakal”.
Betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat dilihat
dari Hadits qudsi, yang di dalam-nya digambarkan bahwa Tuhan bersabda
kepada akal;
35
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164
12 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
“Demi kekuasaan dan keagungan-Ku, tidak ada makhluk yang Kuciptakan
lebih mulia dari engkau. Karena engkaulah Aku menahan dan memberi, dan
karena engkau-lah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman”.
Dengan kata lain, akal-lah makhluk Tuhan yang tertinggi, dan akal yang
ada dalam diri manusia-lah yang digunakan Tuhan sebagai pegangan dalam
menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang.36
Islam tidak melarang manusia untuk menggunakan akalnya. Bahkan
peranan akal sangatlah mendasar bagi keimanan seseorang. Namun, yang
patut disadari adalah keterbatasan akal itu sendiri dan fungsinya yang
sebatas mengindera ciptaan-ciptaan Nya. Akal manusia masih membutuhkan
petunjuk dari seseorang yang memang benar-benar osebagai utusan Tuhan
atau yang dikenal sebagai seorang Rasul. Rasul inilah yang akan menjelaskan
siapa itu Tuhan yang layak disembah, bagaimana sifat-sifat Nya, dan banyak
hal yang tidak dapat dijangkau akal lainnya. Petunjuk inilah yang dalam Islam
dikenal dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang memang
berisi informasi-informasi langsung dari Tuhan. Keauntetikan dan
kemukjizatannya membuktikan bahwa memang kitab tersebut bukanlah
karangan manusia atau Rasul itu sendiri. Jadi, kitab itu (Al-Qur’an) benarbenar sebuah informasi yang valid yang meyakini Islam dan menjadikannya
sebagai agama (pegangan hidup yang mengatur seluruh aspek hidupnya) 37
E. Peranan Akal dalam Memahami Al-Qur’an dan Hadits
https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquran-Haditst.html
Sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dalam menentukan dari mana asal Al-Qur’an, tiga
kemungkinan. Pertama, kitab itu karangan orang Arab. Kedua, karangan Nabi
Muhammad Saw. Dan yang ketiga, berasal dari Allah semata. Tidak ada lagi
kemungkinan selain dari tiga hal tersebut, sebab Al-Qur’an adalah khas Arab, baik
dari segi bahasa maupun gayanya. Kemungkinan pertama yang mengaakan bahwa AlQur’an adalah karangan orang Arab, merupakan kemungkinan yang tertolak. Sebab,
mereka tidak mampu menghasilkan karya serupa, kendati ada tantangan dari AlQur’an dan usaha dari mereka untuk menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua
yang menyatkan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad adalah kemungkinan
yang juga diterima oleh akal. Selama seluruh bangsa Arab juga tidak mampu
menghasilkan karya serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad – yang juga
termasuk bangsa Arab – tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh karena
itu, jelas Al-Qur’an bukan karangannya. Apabila telah terbukti bahwa Al-Qur’an itu
bukan karangan bangsa Arab, bukan ula karangan Muhammad, maka yakinlah
bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu merupakan firman Allah, kalamullah, yang menjadi
mukjizat bagi orang yang membawanya. Lihat, Eggi Sudjana, Islam Fungsional (Jakarta:
Rajawali, 2008), 14.
36
37
Akal: 13
Sumber Kebenaran dalam Islam
Pada masa-masa awal, saat Nabi Muhammad SAW masih hidup,
pemahaman terhadap wahyu Allah bukan merupakan hal yang rumit. Sebab
saat itu segala persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Nabi yang nota
bene mempunyai hak otortatif untuk menafsir wahyu-wahyu Allah. Namun
setelah Nabi SAW wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin
kompleks. Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul namun belum ada
tuntunan penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah untuk
mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad.
Di sinilah peran akal, terutama dalam memahami wahyu Allah menjadi
sangat urgen. Berkenaan dengan hal ini ada sebuah Hadits yang sangat
terkenal. Diceritakan pada pada saat Nabi Muhammad SAW hendak
mengirim Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bertanya: Dengan apakah engkau
hendak menjalankan hukum? Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah”. Lalu
Nabi bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tak mendapat keterangan dalam
kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunah Rasul.” Nabi bertanya
lagi,”Bagaimana jika dalam sunahku juga tak kau dapati?” Mu’adz
menjawab,”Saya berijtihad dengan akal saya, dan saya tak pernah berputus
asa.”
Hadits ini sering dijadikan dalil berkenaan dengan peranan ijtihad dalam
hukum Islam. Akal dalam deskripsi di atas menempati posisi yang signifikan
dalam berijtihad. Namun demikian, di sana kita juga melihat isyarat bahwa
posisi akal secara hierarkis jatuh setelah al-Quran dan Sunah. Akal
menempati posisi ketiga.
Berkenaan dengan akal, Nabi Muhammad SAW bersabda; Agama adalah
pengunaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal. Kemudian dalam sebuah
Hadits qudsi juga disebutkan: Demi kekuasaan dan keagunganku, tidaklah
kuciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau, kerna engkaulah aku mengambil
dan member dan kerna engkaulah aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman.
Urgensi kehadiran akal juga dapat dilihat dalam Hadits Nabi yang
memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Nabi SAW
bersabda: Mencari ilmu wajib hukumnya bagi muslimin dan muslimat (HR.
Muslim). Perintah untuk mencari ilmu dapat dipahami bahwa manusia harus
memaksimalkan potensi akalnya. Mengutip Syeikh az-Zarnuji dalam
kitab Talimul Mutaalim, ilmu inilah yang membedakan antara manusia dan
makhluk lain.38
Akal pastinya tidak hanya diyakini sebagai media tapi selain itu ia
merupakan sumber pengetahuan, sebagai metodologi juga sebagai
38 al-Zarnūjī,
Ta’līm al-Muta’allim, (Semarang : Pustaka al-‘alāwiyyah, tt), 4.
14 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
penyempurna bagi sumber-sumber pengetahuan
memerankan fungsinya dalam memahami Al-Quran.
selainnya
sehingga
Pertama, akal mampu berfungsi dalam memahami dasar-dasar dan
berbagai metodelogi memahami Al-Quran, apakah murni rasional digunakan
secara independent ataukah digunakan sebagai basis pendukung rasional
untuk sumber-sumber yang selainnya. Mufassir ketika menggunakan sumber
pengetahuan yang lain untuk memastikan penting atau tidaknya digunakan
untuk memahami makna ayat-ayat Al-Quran sebagaimana dengan riwayatriwayat Hadits pasti dengan rasionalisasi akal.
Kedua, Akal sangat berperan dalam memahami makna-makna tekstual
ayat-ayat Al-Quran dalam kajian-kajian lunguistik
Ketiga, akal mampu mendemonstrasikan secara rasional ayat-ayat AlQuran, menafsirkan dan menjelaskannya.
Keempat, akal mampu selain memahami arti tekstual ayat-ayat Al-Quran
juga arti kontekstual yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ilmu logika
dijelaskan bahwa selain terdapat arti signifikansi teks ada juga arti
signifikansi konteks.
Kelima, akal mampu mengidentifikasi tujuan dan maksud Al-Quran
ketika disandingkan secara bersamaan beberapa ayat dalam tema yang
berbeda.
Keenam, nilai-nilai aksiomatik logis dan murni dapat digunakan sebagai
indikator dalam memahami Al-Quran.
Ketujuh, akal mampu mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun dengan
tema-tema tertentu sesuai dengan asbab nuzulnya dan dapat memilahnya
dari tema-tema yang selainnya sehingga tidak terjadi kerancuan. Dalam
istilah ilmu ushul yaitu menfokuskan kepada visi atau mengarahkan pada
tujuan yang dimaksud dan membatalkan karkteristik diluar maksudnya, yang
demikian ini merupakan wilayah dan peran akal.39
F. Ijtihad dalam Dinamikan Pemikiran Islam Klasik
Secara etimologi, ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-Masyaqqah
( yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana
dalam QS. An-Nahl:38, an-Nur:53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl
https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalammemahami-al-quran/
39
Akal: 15
Sumber Kebenaran dalam Islam
al-wus’I wa thaqati (pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga
berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah).
Sedangkan arti Ijtihad dari terminologinya, para ulama berbeda pendapat
dunia mendefinisikannya. Perbedaan itu karena sudut pandangan mereka
yang berbeda-beda. Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dan qiyas,
pengertian ini menurut al-Ghazali dalam al-Mustahfa tidak cocok. Karena sifat
ijtihad tidak cocok, karena sifat ijtihad lebih luas daripada qiyas, sementara
itu al-Syafi’I tetap mengartikan ijtihad dalam arti sempit dengan qiyas.40
Ijtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam
melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti usaha keras
dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama
dan sumber – sumbernya.41
Istilah “ijtihad” menurut K.H. Ali Yafie mengandung pengertian suatu
upaya yang sungguh-sungguh untuk menegaskan suatu persangkaan kuat
(zhann) yang didasarkan suatu petunjuk yang diberlakukan dalam hal yang
bersangkutan. Jadi ijtihad tidak sama artinya dengan berfikiran bebas.
Ijtihad dalam materi fiqh, mempunyai dua pengertian umum (tidak
terbatas) dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu pada
penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan suatu pilihan pada suatu
saat seseorang tidak mempunyai suatu pegangan yang meyakinkan
sehubungan dengan pelaksanaan ibadah tertentu atau muamalah tertentu,
sehingga orang tersebut harus mempunyai suatu sangkaan kuat yang dapat
dijadikan pegangan baginya dalam melaksanakan kegiatan (ibadah atau
muamalah) tersebut.
Ijtihad jenis ini merupakan keharusan bagi setiap orang (fardhu ain),
yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan ijtihad yang
mengandung pengertian terbatas, mengacu kepada penalaran yang bersifat
ilmiah, sehingga kata “ijtihad” di sini merupakan technische term. Ijtihad
jenis ini secara khusus, berada pada ruang lingkup Bab Peradilan dan
Kekuasaan Kehakiman yang merupakan suatu keharusan bagi kepentingan
umum (fardhu kifayat).
Maka, ijtihad di sini, sulit di bebankan atas setiap orang, seperti
halnya dengan ijtihad tidak terbatas. Sebab, jika jika dibebankan pada setiap
orang, tentu akan merugikan kepentingan umum.
40
41
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 190.
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 82.
16 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Oleh karena itu, ijtihad dalam pengertian ini hanya menjadi beban
sejumlah orang tertentu yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus,
serta mempunyai kewenangan dalam melakukan pelayanan bagi kepentingan
umum. Yang tergolong kategori ini adalah para hakim atau penasihat hukum
(mufti). Di sini, ijtihad merupakan fardhu kifayah.42
Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa
konsep, diantaranya iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby (jika hadits itu telah
shahih, maka itulah mazhabku), la masgha lil ijtihad fi maurid al-nash (masalah yang
telah ada nash nya, tidak boleh lagi diijtihad). Kedua konsep popular ini
menunjukkan bahwa sumber utama hukum Islam klasik adalah nash, baik alQur’an maupun hadits.
Hampir semua masalah pada masa itu dapat terjawab dengan alQur’an atau hadits, serta fatwa para sahabat Rasulullah saw. Namun ketika
Islam mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, masalah-masalah baru pun
mulai bermunculan. Hal ini tentu tidak dapat lagi sekedar mengandalkan nash
secara teks bahasa, baik dalam al-Qur’an ataupun hadits. Adapun bahasa
yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa Arab, sehingga metode
terpenting dalam menggali hukum Islam adalah aspek bahasa. Implikasinya,
dalam kajian pemikiran hukum Islam didominasi oleh kaidah kebahasaan
(qawaid lughawiyah) atau logika bahasa yang deduktif, serta sulit menerima
perubahan. Sedangkan, hukum dari realitas empiris (al-‘Adat, syar’u man
qablana, ilmu pengetahuan) serta nalar rasion (istihsan) menjadi langka dan
sulit diterima. Hal inilah yang mengakibatkan hukum yang dikeluarkan tidak
jauh berbeda dengan teks al-Qur’an maupun hadits.
Para ulama dan ilmuwan mulai berpikir memecahkan permasalahanpermasalahan baru yang dihadapi tersebut, dan hal ini yang menjadi
penyebab lahirnya metode ijtihad. Jejak ijtihad ini sebenarnya telah ada pada
jaman para sahabat, terutama masa khalifah Umar bin Khattab. Salah satu
contoh ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab adalah melarang sahabat
Nabi menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani, padahal al-Qur’an
membolehkannya:
َ
ُ
ُ ُ َ َّ ُ َ َ َ ُ َ ِّ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ْ َ ْ
َ ُ َ
َ ‫وتوا ْالك َت‬
ۖ ‫اب ُ ِح ٌّل لك ْم َوط َع ُامك ْم ِح ٌّل ل ُه ْم‬
‫اليوم أ ِحل لكم الطيبات ۖ وطعام ال ِذين أ‬
ِ
ُ
ُ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ َّ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ
َ ْ ُْ َ ُ َ َ ْ ُْ َ
َّ‫ور ُهن‬
َ ‫وه َّن أ ُج‬
‫ات والمحصنَات ِمن ال ِذين أوتوا ال ِكتاب ِمن قب ِلكم ِإذا آتيتم‬
ِ ‫والمحصن َات ِمن المؤ ِمن‬
ْ
ْ
َ
َ
ُ
ْ
ُ
َ
ْ
ْ
َ
ُ
ُ
َّ
َ
َ ‫ي غ ْ َي ُم َسافح‬
َ ‫ُم ْحصن‬
َ ‫ي َوَل ُمتخذي أخدان ۗ َو َم ْن َيكف ْر باْل‬
‫يم ِان فقد َح ِبط َع َمله َوه َو ِ يف اْل ِخ َرِة ِم َن‬
ِ ِ
ِ ِ
ِ ِ
ٍ
ِ ِ
َ‫ْال َخاِسين‬
‫ِ ر‬
42
Ali Yafie, Menggagas fiqh Sosial (Jakarta: Mizan, 1994), 84-87
Akal: 17
Sumber Kebenaran dalam Islam
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al43
Maidah: 5)
Umar bin Khattab tidak berpegang pada makna lahiriyah teks alQur’an, akan tetapi melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam, dimana
menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan maka akan terjadi kasuskasus penelantaran kaum muslimah. Melihat hal ini, sebagian ulama
memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah sejenis
ijtihad politik (tasharruf siyasi) yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan
menurut tuntutan jaman dan tempat. Meskipun ijtihad Umar bin Khattab
menimbulkan kontroversi dan penilaian negatif di kalangan para sahabat,
tetapi itu merupakan langkah ijtihad pada masa awal Islam serta sebagai
upaya dalam melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah.
Umar bin Khattab tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun hadits,
tetapi menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan
kembali dalam konteks masalah kekinian yang dihadapi umat Islam pada
masa itu. Dapat dikatakan bahwa Umar bin Khattab adalah mujadid pemikir
Islam pertama dalam sejarah hukum Islam. Setelah itu bermunculanlah ulama
dan pemikir-pemikir Islam yang melakukan ijtihad, sehingga menjadikan
Islam mencapai puncak keemasannya di bidang ilmu pengetahuan pada masa
Daulah Abasiyah.44
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah ketika AlQur’an awal diwahyukan, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan
praktik-praktik hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun
kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara
bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad Saw,
sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat jahiliah
tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan sistem
hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun.
43
44
https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5
Hardy, “Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer”, 7-8.
18 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi sosial, hukum Islam
berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum jahiliah. Dalam
sejarah, Nabi Muhammad Saw beserta para pemeluk Islam awal benar-benar
membuat sikap kontra terhadap sistem hukum jahiliah dalam perilaku dan
tindak tanduk mereka, meski pada aspek-aspek tertentu tetap
mengakomodir ‘urf sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para
tokoh penegak sistem hukum jahiliah. Bahkan kemudian, pendekatan
Muhammad Saw, sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang
“terpinggirkan” dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran Islam di
masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut. 45
Memang lazimnya, syariah diidentifikasi sebagai aturan hukum yang
diturunkan oleh Shari’ melalui titah wahyu-Nya dan juga hadis Rasul-Nya.
Oleh karena itu, syariah bersifat absolut. Sementara dialog antara syariah
dengan realitas sosial masyarakat hukum juga berdampak hadirnya fikih.
Sehingga fikih merupakan hasil dialektika antara syariah di satu sisi dengan
social reality, di sisi lain. Pada posisi ini fikih bersifat relatif.46
Posisi terakhir ini, menggiring pada kenyataan adanya proses
dialektika pemikiran sekaligus dialektika sosio-kultural sehingga melahirkan
para mujtahid yang menumbuhkan keragaman fikih di berbagai tempat. Fikih
menjadi sesuatu yang memiliki beragam varian di dalamnya. Ada banyak
tawaran yang dimiliki dalam sebuah persoalan hukum. Keragaman ini lantas
mengkristal dalam bentuk mazhab-mazhab sebagai afiliasi masif dari masingmasing komunitas paham tersebut. 47
Sejatinya, lahirnya para mujtahid dan tumbuhnya keragaman mazhab
yang ada bukanlah hal aneh yang tercerabut dari akar sejarah. Ia merupakan
kemestian belaka sebagai dampak—salah satunya—perluasan wilayah yang
di dalamnya ter-cover beragam tradisi yang berbeda. 48
Keragaman ini sesungguhnya membawa dampak positif berupa
adanya fatwa hukum yang beragam sehingga hukum tidak bersifat monolitik.
Ada banyak tawaran yang sama-sama sahih untuk diambil dan diaplikasikan
masyarakat sesuai dengan kebutuhan setempat. Sehingga, kekakuan hukum
dapat tercairkan. Bahkan mampu merangsang para mujtahid untuk
Lukman Santoso, “Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam”, Epistemé, Vol. 11,
No. 1, Juni 2016, 69.
46 Agus Mohd. Najib, “Fiqih: Antara Syari’ah dan Budaya Lokal”, Jurnal MAZHABUNA,
No. 03, 2005, 34.
47 Lukman Santoso, “Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam”, Epistemé, Vol. 11,
No. 1, Juni 2016, 70.
48 Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Rajawali Raja Grafindo
Persada, 1997), 72-73.
45
Akal: 19
Sumber Kebenaran dalam Islam
merumuskan metodologi penggalian hukum yang dalam perjalannya disebut
ushul fikih.
Nash al-Qur’an sebagai teks hukum dalam Islam memang sakral
dalam proses pewahyuan, akan tetapi ketika sudah dibaca, ditafsirkan dan
bersentuhan realitas masyarakat pada masanya maka nash tersebut telah
menjadi nash yang humanis dan profan. Pembacaan Nabi Saw, para khulafaur
rasyidin, serta para Imam Mazhab terhadap realitas masyarakat Arab dan
non-Arab telah membuktikan pernyataan tersebut.49
Dinamika pemikiran hukum Islam ini juga tampak ketika
perkembangan hukum Islam yang awalnya dinamis dan kreatif pada masa
awal kemudian menjelma ke dalam kristalisasi mazhab-mazhab sehingga
kemudian melahirkan doktrin hak untuk ber-ijtihad mulai dibatasi dan
bahkan pada gilirannya dinyatakan tertutup. Semacam konsensus gradual
yang memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu
tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk
melaksanakan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktivitas di masa mendatang
tinggal menyesuaikan. Jadi secara teoritis, ijtihad memang tidak dinyatakan
tertutup tetapi kualifikasinya yang ditempa sedemikian teknis serta dengan
diidealkannya capaian-capaian masa lampau telah mengakibatkan ijtihad
berada di luar jangkauan manusia.50
1.
Kartakteristik Hukum Islam
Dalam sebuah seminar hukum di Den Haag tahun 1937 M, Syekh
Mahmûd Syaltût (Rektor Universitas Al-Azhar) dan Dr. Hasan Sûfi Abû
Thâlib menegaskan bahwa: Pertama, hukum Islam merupakan salah satu
sumber hukum umum; Kedua, hukum Islam merupakan hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat; Ketiga, hukum Islam merupakan hukum
yang berdiri sendiri dan tidak diambil dari hukum lain.51
Berkenaan dengan hal itu, perkembangan hukum Islam yang berlaku
dalam komunitas muslim di berbagai negara sangat dipengaruhi oleh
identitas hukum Islam itu sendiri, 52 antara lain:
M. Nur, “Keniscayaan Pendekatan Pluralistik-Idealistik dalam Pengkajian Islam”, Jurnal INRIGHT, Vol. 3, No. 1, November 2013, 19.
50 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, 1989), 33-35.
51 A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Buntang. 1970), 202-203.
Menurut A. Hânafi, hukum Islam telah berlaku umum dan dapat menyesuaikan diri
dengan kebutuhan hidup modern, sebagaimana ia telah mensinyalir dari Seminar
Hukum di Den Haag-Belanda Agustur 1948 dan Paris-Perancis Juli 1951.
52 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), 46.
49
20 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
a. Sempurna (Paripurna)
Syarî‘at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum. Hukum
awalnya bersifat tetap sedangkan substansinya berubah mengikuti ‘illatnya.
Hukum-hukum yang lebih rinci ditetapkan dalam kaidah dan pedoman
umum, sedangkan penjelasan atau implementasinya diserahkan kepada ahli
hukum yang memahami hakikat hukum. 53 Pedoman-pedoman atau prinsipprinsip dasar yang berlaku umum dalam syarî‘at Islam mengindikasikan
identitas hukum yang menunjukkan sifat kesempurnaannya, universal dan
teknis, serta dapat diterima oleh masyarakat di semua tempat dan waktu.
Kesempurnaan hukum Islam dengan sendirinya menempatkan diri sebagai
hukum yang tertinggi dan seharusnya dapat diterapkan oleh komunitas
muslim maupun non muslim, karena hukum ini melindungi hak-hak hukum
setiap subyek.
b.
Elastis (Fleksibel)
Selain bersifat sempurna, hukum Islam pun memiliki fleksbilitas
dalam hal aplikasinya. Oleh karena itu, cakupan hukum Islam meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia yang sifatnya vertikal maupun horizontal.
Dalam hukum Islam, tidak saja diatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya (vertikal), tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya
(horizontal), serta dengan lingkungannya.
Adapun munculnya perbedaan corak pemahaman hukum Islam
dalam konteks fiqh banyak disebabkan oleh perbedaan pola pikir ahli hukum
(mujtahid) dalam wacana pemikiran dan penelitian atas obyek-obyek hukum
Islam (ijtihâd).54 Implikasinya jelas berpengaruh pada perbedaan corak
madzhab hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim. Hal ini manjadi
bukti bahwa hukum Islam berlalu menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi,
waktu dan tempat.55
c.
Universal dan Dinamis
Hukum Islam bersifat universal dan dinamis mengandung pengertian
bahwa hukum Islam yang dimasukan dalam term fiqh mencakup bagianbagian atas keseluruhan hukum dalam term syari’ah, sebagaimana telah
Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), 113. Hasbie Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975),
23-24. dan Cik Hasan Bisri, 112.
54 Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan Bintang.
1985), 112.
55 Hasbie Ash-Shiddiqie, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tintamas. 1975),
27.
53
Akal: 21
Sumber Kebenaran dalam Islam
disinggung sebelumnya, identitas hukum Islam yang mengandung dimensi
vertikal dan horizontal dalam semua cakupan hukumnya telah menjadi ciri
universalitas hukum Islam itu sendiri. Adapun dinamika hukum Islam
dapat diketahui dari proses perkembangan berlakunya hukum Islam sejak
periode Rasul hingga periode modern dengan segala dimensinya.
Perkembangan hukum Islam secara sistematis telah bergeser dari sistem
hukum material yang umum dalam nash, kemudian direduksi dalam bentuk
transformasi pemikiran hukum (ijtihâd) dan diimplementasikan menjadi
berbagai bentuk pemikiran produk hukum (fiqh) hingga selanjutnya
dikodifikasikan menjadi Qanûn.
d. Sistematis
Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam bersifat sistematis adalah
hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin hukum yang bertalian satu
sama lain secala logis dan konkret. Hukum ini mencakup seluruh komponen
hukum berupa pokok-pokok ajaran tentang etika, moral dan keadilan serta
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta.
Semua komponen hukum itu kemudia terintegrasikan ke dalam term
umum yang disebut syarî‘at .56 Sedangkan perwujudan dari sistematisnya
hukum Islam adalah Fiqh. Fiqh sebagai produk pemikiran orang Islam
terhadap ajaran Islam sebagaimana digambarkan oleh para ahli hukum
mencakup atas segi-segi secara khusus, seperti: ‘ibâdah, mu‘âmalah, jinâyah,
siyâsah dan sebagainnya. Semua jenis pembidangan hukum Islam dalam
bidang hukum Islam (fiqh) adalah suatu refleksi dari bentuk ketaatan orang
Islam kepada ajaran Islam secara totaliter. 57
Sistematika hukum Islam dapat berarti pula saling berhubungannya
atau interaksi setiap bentuk dan unsur-unsur hukum secara sinergis dan
organis. Karena hukum Islam berlaku secara fleksibel dan rigid, maka ia
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan hidup manusia baik
secara individual maupun kolektif. Sehingga secara metodologis akan
terbentuk suatu sistem hukum secara piramidal (hierarki hukum Islam). 58
e. Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqîn ‘anRabbi al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Fikr.
t.th.), jilid III, 14.
57 Muhammad Muslehudin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj. Yudian
Wahyudi (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992), 277-278.
58 Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 3.
56
22 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Ta‘aqquli dan Ta‘abbudi dalam karakteristik hukum Islam adalah
hukum Islam mengandung muatan dimensi vertikal dan horizontal. Hukum
Islam bersumber kepada wahyu yang mengandung muatan teologis
menunjukan aturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan yang
diyakini sebagai pembuat hukum secara mutlak. Konsekuensinya ada
keharusan bagi orang Islam untuk tunduk dan patuh terhadap hukum Islam.
Namun demikian, tidak semua hukum Islam itu kaidah norma hukumnya
berbentuk khusus dan jelas, malainkan diperlukan suatu bentuk penafsiran
atas segi-segi hukum yang umum. Pada tingkatan metodologi, interpretasi
atas segi norma hukum dalam nash kemudian dikonkretkan menjadi produk
hukum (fiqh) yang lebih menyentuh sisi praktis pelaksanaan hukum Islam.
2. Sumber dan Metode Hukum Islam
Sumber dan Metode Hukum Islam Pada kenyataan dewasa ini,
hukum Islam terbagi ke dalam berbagai obyek-obyek materi hukum. Sebagian
merupakan hukum tertulis (dikodifikasikan menjadi undang-undang), dan
sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis, tetapi keberadaannya
telah dipatuhi dan berlaku di masyarakat. Keadaan ini dapat diasumsikan
merupakan keistimewaan dari hukum Islam itu sendiri, karena pada sisi
tertentu hukum Islam berdasar kepada nash tapi pada sisi lain hukum Islam
juga membuka diri terhadap faktor di luar nash (ijtihâd).
1. Sumber Hukum Islam
a. Al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Quran merupakan sumber utama dan sumber pokok hukum
Islam. Bagi orang Islam tidak diperkenankan mengambil dasar hukum dan
jawaban atas proble-matikanya dari luar Al-Quran selama hukum dan
jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash - nash Al-Quran. Apabila
ditilik dari segi hierarki hukum Islam, maka produk hukum dan undangundang buatan manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah dan normanorma hukum dalam Al-Quran. Kesesuaian dan kesejiwaan hukum dengan
Al-Quran adalah sesuatu yang dikehendaki, sehingga manusia mencapai
kesejahteraannya. Dengan kata lain, Al-Quran bukan sekadar dipahami
sebagai kalam Allah, tetapi merupakan pedoman tertinggi (way of life) bagi
penentu arah kehidupan manusia. 59
Kemudian dari sekian banyak rumusanrumusan norma hukum dalam
Al-Quran, secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ.
1969), 22. Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973),
76.
59
Akal: 23
Sumber Kebenaran dalam Islam
1) Hukum akidah (I‘tiqâdiyyah) yaitu hukum-hukum yang menyangkut
hubungan manusia dengan Allah dalam masalah keimanan dan
ketaqwaan.
2) Hukum akhlaq (Khulûqiyyah) yaitu hukum-hukum yang
menyangkut hubungan manusia dengan manusia serta makhluk
lainnya dalam kerangka beragama, bermasyarakat dan bernegara.
3) Hukum syari’ah (Syar‘iyyah) yaitu kekhususan hukum-hukum yang
berhubungan antara manusia dengan Allah dan erat kaitannya
dengan hubungan sesama manusia yang diwujudkan dalam refleksi
hukum-hukum tentang masalah ibadah dan mu‘âmalah dalam arti
sempit maupun luas.60
b. Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa AlQuran ditinjau dari segi
wurûd dan tsubûtnya adalah qath‘iy. Sedangkan Sunnah, selain yang
mutawatir, ada juga yang dzanniyy alwurûd. Dari kenyataan inilah, jumhur
ulama menyatakan bahwa Sunnah menempati urutan kedua sumber hukum
Islam setelah AlQuran. Dalam kaitan ini, al-Syâthibi dan alQasimi memberi
pembahasan khusus dalam kitab al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm dan kitab
al-Mahâsin al-Ta‘wîl.
Argumentasi keduanya perihal kedudukan Sunnah sebagai hukum
Islam yang kedua dijelaskan dengan argumentasi rasional dan argumentasi
tekstual. Di antara argumentasi itu adalah :
1) Bahwa Al-Quran bersifat qath‘iyy al-wurûd, sedangkan Sunnah
bersifat dzanniyy al-wurûd. Atas dasar itu, maka yang qath‘iy harus
didahulukan dari pada yang dzanniy.
2) Bahwa Sunnah dapat berfungsi sebagai penjabar (bayân) bagi AlQuran. Keberadaan Sunnah tergantung kepada keperluan bayan bagi AlQuran, karenanya Sunnah selalu beriringan dengan AlQuran.
3) Bahwa ada beberapa keterangan hadits yang menjelaskan urutan
sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran adalah Sunnah dan ketiga
adalah ijtihâd. Hal ini sebagaimana hadits tentang Muadz bin Jabâl ketika
ditanya oleh Rasulullah SAW tentang proses menyelesaikan perkara-perkara
dan hukum. 61
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. 87-90.
Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 3.
60
61
24 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
Berbeda dengan pendapat di atas, sekelompok ulama lain justru
berpendapat sebaliknya, di mana Sunnah diposisikan sebagai penentu
terhadap Al-Quran. Artinya, Sunnah ditempatkan di urutan pertama, baru
kemudian Al-Quran, dengan alasan: Pertama, bahwa Al-Quran yang bersifat
mujmal memerlukan penjelasan Sunnah, sehingga tampak lebih dominan
daripada Al-Quran. Kedua, ada beberapa ayat Al-Quran yang memiliki makna
ganda, dan Sunnah memberikan alternatif sebagai pilihan. Ketiga, Sunnah
berfungsi untuk menetapkan hukum-hukum yang belum diatur secara tegas
dalam Al-Quran.
Apabila dilihat dari bentuk-bentuk Sunnah Rasul, yakni berupa
perkataan (qawliy), perbuatan (fi‘liy) dan ketetapan (taqrîriy), maka
semuanya dapat direduksi pada tingkatan norma hukum. Hal ini dilandasi
oleh suatu pemikiran bahwa Al-Quran bersifat global, keberadaan Sunnah
dapat mengkhususkan unsur-unsur kepentingan hukum dalam Al-Quran
yang bersifat dharûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât dengan memperhatikan
tujuan kemaslahatan hukum yang bersifat umum. Hal ini akan lebih tampak
bersinggungan dalam mekanisme ijtihâd.
c. Ijtihâd sebagai Sumber Hukum Islam
Secara harfiyah, ijtihâd berasal dari kata “juhd’ yang berarti sungguhsungguh dalam melaksanakan suatu perbuatan. Istilah ini pada mulanya
digunakan dalam bidang jurisprudensi (fiqh) untuk menyatakan salah satu
kaidah yang ditetapkan oleh para ulama madzhab dan menyusul
pembentukkannya. Apabila suatu kasus tidak ditemukan penjelasannya
dalam Al-Quran dan Sunnah, maka ia harus berijtihâd dengan ra’yunya.
Ijtihâd dapat dikatakan sebagai rekonstruksi pemikiran seorang fakih
di dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum baru yang dilakukan melalui
penalaran akal secara mendalam disertai bukti-bukti dan hujjah yang kuat
dengan tetap berpegang kepada sumber yang pokok yakni Al-Quran dan
Sunnah. Karena ia merupakan rekonstruksi pemikiran akal, maka terdapat
dua kecenderungan produk ijtihâd, yaitu bisa jadi hasil ijtihâd seseorang itu
benar, tapi bisa juga salah atau keliru.
Tampaknya hampir semua ulama madzhab sepakat bahwa kebenaran
ijtihâd bersifat relatif dan zanni, terkecuali apabila kebenarannya tidak keluar
dari kemauan syarî‘at di dalam nash. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa
munculnya perbedaan pendapat di dalam proses ijtihâd untuk menetapkan
hukum (istinbâth al-ahkâm) adalah karena tiga hal: Pertama, formulasi
kaidah (altahsîs) yaitu ada yang berpegang kepada pemahaman uslub/dalil
syara’ dan ada pula yang berpegang kepada maslah-masalah cabang (furu‘);
Kedua, metodologi (manhaj) yaitu rumusan metode hukum dilakukan secara
induktif dan secara deduktif. Hal ini akan berimplikasi pada adanya dua
Akal: 25
Sumber Kebenaran dalam Islam
corak kaidah, yakni kaidah Ushûl dan kaidah fiqh; Ketiga, aspek pemikiran
yang merupakan pijakan mendasar yang dipakai para ulama dalam berijtihâd.
Ada yang lebih dominan berpegang kepada nash/teks dan ada yang berpegang
kepada ra’yu/konteks.62
Sebagai implikasi dari tiga hal di atas, maka dalam kajian pemikiran
hukum Islam dikenal dua aliran utama dalam madzhab hukum Islam, yaitu
aliran fuqaha yang berpegang pada nash atau biasa disebut dengan ahl alhadîts/mutakallimîn (Imam Syâfi‘i dan pengikutnya) dan aliran fuqaha yang
lebih berpegang kepada ra’yu/akal dalam merumuskan metode hukumnya,
dikenal sebagai ahl al-ra’yu (Imam Hânafi dan pengikutnya).
Di antara hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama dan dua aliran
besar dalam hukum Islam tentang kedudukan sumbersumber hukum Islam
adalah: Pertama, masalah hadits/sunnah yang diperdebatkan sisi orisinalitas
dan validitasnya baik dari segi sanad, rawi maupun materi (matan) haditsnya
serta tingkat orientasi dan kecenderungan ulama di dalam memakai hadits
sebagai dasar hukum; Kedua, perbedaan pendapat tentang sumber hukum
Islam selain Al-Quran dan Sunnah, yaitu Qiyash, Istihsân, Mashlahah alMursalah, dan sebagainya63
2. Metode Hukum Islam
Di samping itu, pemahaman terhadap dalil-dalil nash cenderung
beragam dan sangat tergantung kepada cara pandang dan penggunaan
metodologi hukum yang dipakai. Seringkali pada sebagian ulama memahami
dan menggali hukum Islam dengan pendekatan tekstual, tetapi sebagian yang
lain menggunakan pendekatan kontekstual. Hal ini akan menimbulkan
produk ijtihâd yang tentunya berbeda-beda baik dari segi rumusan
metodologinya sampai pada ketetapan hukumnya, sebagaimana metode
berikut:
a. Metode Induktif
Metode induktif diperkenalkan oleh aliran mutakallimin (ahl alhadîts) yang menetapkan kaidah hukum yang umum dan ditunjukkan oleh
nash dan akal, tanpa terikat oleh hukum-hukum furu‘. Ulama Syâfi‘iyyah,
Malikiyyah, Hambaliyyah, Syi’ah Imâmiyyah, Syi’ah Zaydiyyah dan Syi’ah
Ibâdiyyah disebutsebut mengikuti langkah-langkah metodologi hukum
induktif menurut Imam Syâfi‘î. Hal ini diikuti pula oleh ulama kalam seperti
Murtadha Muthahari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushûl Fiqh dan Ushûl Fiqh
Perbandingan, terj. Satrio Pinandih dan Ahsin Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah.
1993), 44-50.
63 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 44-47.
62
26 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
kalangan Mu‘tazilah dan ‘Asy‘ariyyah yang sarat dengan muatan teologi dan
filsafat.
Diantara langkah-langkah metode hukum aliran mutakallimin
adalah:64
1) Merumuskan kaidah-kaidah Ushûl dengan penyandaran kepada
aspek kebahasaan (linguistik), sehingga metode aliran ini tampak kurang
atau tidak menyentuh masalah-masalah furu‘.
2) Prinsip-prinsip dasar logika mantik dan teori konklusi banyak
dipakai oleh aliran ini.
3) Dalil-dalil hukum di dalam nash lebih banyak dipahami melalui
pendekatan tekstual/semantik, dan relatif sedikit menggunakan pendekatan
kontekstual/ tematik.
b. Metode Deduktif
Metode deduktif diperkenalkan oleh aliran rasionalis (ahl al-ra’yu)
yang menetapkan kaidah-kaidah hukum dengan penalaran akal dan
senantiasa terikat oleh masalah-masalah furu‘. Jika terdapat kaidah hukum
yang bertentangan dengan hukum furu‘, maka mereka menyandarkan
pendapatnya kepada imam-imam mereka. Imam Abû Hânafi dan muridmuridnya dianggap mewakili dari ulama aliran rasionalis ini.
Di antara langkah-langkah metode hukum aliran rasionalis adalah: 65
1) Merumuskan kaidah-kaidah Ushûl disesuaikan dengan masalahmasalah furu‘, lebih menyentuh fiqh, aktual dan realistis.
2) Prinsip-prinsip dasar logika dan analogi rasional banyak dipakai
oleh aliran ini.
3) Dalil-dalil hukum di dalam nash banyak dipahami dengan
pendekatan kontekstual/ tematik, kecuali dalil-dalil tertentu yang
memang sudah jelas makna hukumnya.
c. Metode Campuran Induktif-Deduktif (Konvergensi)
Metode campuran ini dalam langkahlangkah perumusan metode
hukumnya lebih banyak memadukan kedua aliran sebelumnya. Di dalam
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 3143.
65 Abdul Wahhâb Ibrâhim Abû Sulaymân, Fikr alUshûliy (Jeddah: Dâr al-Syurûq.
1983), 447-448.
64
Akal: 27
Sumber Kebenaran dalam Islam
kasus tertentu aliran ini menggunakan metode induktif, tapi dalam kasus lain
aliran ini juga menggunakan metode deduktif. Penggunaan dua metode
sekaligus sangat tergantung kepada adanya illat hukum yang berimplikasi
pada perubahan hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.66
Sebagai contoh, banyak kasus-kasus yang ditampilkan dalam kitab
Badî‘u al-Nidzâm karangan Muzhaffaruddin al-Sa’ati dan kitab Jam‘u alJawâni karangan Tajuddîn alSubki al-Syâfi‘î disesuaikan dengan memadukan
metode hukum induktif dan deduktif serta pendektan tekstual dan
kontekstual. Munculnya aliran campuran ini sesungguhnya merupakan
antitesa dari kedua aliran sebelumnya yang saling tarik-menarik mengenai
keunggulan dan kelemahan masing-masing di dalam merumuskan metode
hukum yang sistematis.67
Kendatipun masing-masing aliran memiliki rumusan metodologi
hukum yang berbeda-beda dan lebih menyentuh aspek-aspek substansial
hukum Islam, tetapi target utama penelitian dan pengkajian hukum Islam
adalah bagaimana seorang mujtahid mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya.
Selain itu, dalam mekanisme istinbath hukum seorang mujtahid perlu
memperhatikan prinsip-prinsip dasar hukum Islam, sehingga tercapai tujuan
syarî‘at (maqâshid al-syarî‘ah) secara keseluruhan.68
3. . Prinsip-prinsip Pengembangan Hukum Islam
Disamping itu, ijtihâd tidak hanya dipahami secara sempit dalam arti
rekonstruksi pemikiran di bidang hukum Islam, melainkan ijtihâd dipandang
sebagai wacana untuk membangun suatu peradaban manusia, dan khususnya
dalam pengem-bangan pengetahuan dan sains. Jadi, suatu pandangan yang
keliru apabila dikatakan oleh sebagian orang bahwa ‘pintu ijtihâd telah
tertutup’, padahal pola pikir dan cara pandang manusia senantiasa berubah
dan dinamis. Atas dasar itu, maka pintu ijtihâd akan selalu terbuka dan tetap
A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 108-109.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 41-43.
68 Analisis Penulis tentang munculnya aliran yang berbeda dalam konteks ijtihad
semisal aliran mutakallimin (ahl al-hadîts) dan aliran rasionalis (ahl al-ra’yi) tidak
hanya terjadi di kalangan Sunni antara pengikut Imam Syâfi‘î dan pengikut Imam
Abû Hanifah, akan tetapi juga terjadi di kalangan Syi’ah. Pemikiran hukum Islam
dalam kegiatan Ijtihad para ulama Syi’ah mengkristal menjadi dua corak, yakni ahl alhadîts yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Imâmiyah, Zayidiyyah dan Ibâdiyyah, serta
ahl al-ra’yi yang dipelopori oleh sekte Syi’ah Ja‘fariyyah, Isma’iliyah dan Sabaiyah.
Lihat, Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 41-43.
66
67
28 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
dinamis mengikuti perkembangan pemikiran manusia dan dinamika hukum
Islam itu sendiri.69
Di antara penyebab kenapa hukum Islam dapat berlaku secara
dinamis adalah karena terdapat-prinsip-prinsip dasar pengembangan hukum
Islam Islam, antara lain:
1) Meniadakan Kepicikan dan Tidak Memberatkan
Prinsip ini sangat jelas tampak dalam proses penetapan hukum Islam.
Pada umumnya hukum-hukum itu disyarî‘at kan menunjukkan bahwa
hikmahnya adalah untuk memberi kemudahan dan keringanan. Karena tabiat
manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan
manusia suka memperhatikan hukum dengan sangat hati-hati. Manusia
dalam mentaati hukum terbatas oleh pilihan-pilihan di mana apabila sanggup
melaksanakannya.
Atas dasar itu, hukum Islam diberlakukan sesuai dengan fitrah
manusia dan bukan karena kehendak-kehendak Allah semata. Hal demikian
ditujukan agar setiap manusia mengarahkan dirinya dengan penuh kesadaran
menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan dan amar ma‘ruf nahî almunkar. Sebagai contoh, beberapa keterangan dalam Al-Quran yang
mengisyaratkan adanya keringanan (rukhshah) dalam obyek hukum tertentu
yang dianggap memberatkan (dharûrah), hingga lahirlah kaidah fiqh yang
berbunyi “Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula terlarang menjadi
boleh”
Dari uraian itu, maka dalam beberapa situasi keberlakuan hukum
Islam tidak kaku (rigid), tetapi dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi secara fleksibel. Oleh Karena itu, dalam kaidah fiqh dikenal suatu
kaidah yang berbunyi: “Berubahnya suatu hukum dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi serta waktu dan tempatnya”. Sehingga tidak ada argumen
teoretis apapun yang dapat membantah adanya dinamika atau perubahan
keberlakuan hukum Islam.
2) Menyedikitkan Beban
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan (Bandung: Piara. 1994), 3. Penulis
mengambil pemahaman dari sifat dan karakteristik hukum Islam yang elastis dan
dinamis. Bila saja perkembangan ijtihad diangggap pintunya telah tertutup pada
periode taklid, hal demikian semata-mata disebabkan kebanyakan ulama atau fuqaha
enggan untuk menemukan pemikiran baru dalam ijtihad, dan mereka (ulama taklid)
lebih suka merekonstruksi ulang dan atau senantiasa menyandarkan ijtihadnya
kepada guru-guru mereka.
69
Akal: 29
Sumber Kebenaran dalam Islam
Prinsip menyedikitkan beban dalam hukum Islam tidak hanya
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan peristiwaperistiwa
yang mengharuskan adanya ketetapan hukum. Hukum-hukum yang
ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya bukan sekedar untuk menjawab
persoalan-persoalan hukum di masa itu, melainkan dijadikan pedoman untuk
menjawab persoalan-persoalan baru di masa datang. Sehingga betapapun
kemampuan manusia berbeda-beda dalam menerima berlakunya hukum
Islam, semuanya didasarkan pada pertimbangan untuk meringankan beban
hukum. 70
Sehingga Allah SWT mensinyalir kepada manusia untuk tidak
banyak bertanya tentang masalah hukum, jika memang manusia tidak
mampu melaksanakannya sebagaimana diterangkan dalam QS 5:101, 2:185 dan
4:28.
Bahkan Rasulullah SAW juga menerangkan hal serupa tentang
larangan menyianyiakan harta benda, karena yang telah halal jelas halalnya
dan yang haram pun jelas haramnya. Dari pemikiran tersebut, kemudian lahir
kaidah Ushûl yang menyebutkan: “Bahwa asal hukum segala sesuatu adalah
boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Berdasar kaidah tersebut,
maka tidak ada alasan bahwa hukum Islam memberatkan, yang sudah tentu
adalah elastisitas hukum Islam akan meringankan semua beban hukum.71
3) Penetapan Hukum secara Bertahap
Penetapan hukum Islam secara bertahap merupakan prinsip utama
yang pernah terjadi dan berlaku pada masa kenabian. Diyakini bahwa setiap
penetapan hukum mempunyai latar belakang historis dan sebab-sebab
tertentu hingga diberlakukannya sebagai hukum yang tetap dan mengikat.
Hikmah dari penetapan hukum secara bertahap adalah untuk mempermudah
mengetahui isi dan materi suatu hukum serta lebih memantapkan
pemahaman terhadap putusan-putusan hukum sesuai keadaan situasi dan
kondisi.72
4) Memperhatikan Kemaslahatan
Manusia Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Allah
SWT banyak membuat ketetapan-ketetapan hukum yang disertai dengan
sebab-sebab dan tujuan hukum itu. Banyak sekali ditemui di dalam dalil-dalil
hukum yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dalil-dalil penetapan
hukum itu tidak pernah meninggalkan kepentingan masyarakat sebagai
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, 6869. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl, 23-24.
A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 20-23.
72 A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 62-63.
70
71
30 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
pertimbangan hukum. Karena pola kehidupan terus berubah, maka dalam hal
perubahan hukum dan atau penggantiannya senantiasa diarahkan untuk
mencapai kemaslahatan umum.73
5) Mewujudkan Keadilan yang Merata
Dalam sudut pandang hukum Islam, prinsip keadilan sesungguhnya
fondasi utama bagi upaya penegakan kepastian hukum (law enforcement).
Semua orang bersamaan kedudukannya di depan hukum, dan syarî‘at Islam
memberikan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar hukum tanpa kecuali.
Adalah isyarat Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Bila saja putriku Fatimah
mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (al-Hadits). Hal ini sejalan
dengan QS 5:8 bahwa Allah SWT menghendaki ditegakkannya prinsip
keadilan di dalam hukum.
4. Teori-teori Berlakunya Hukum Islam
Dalam perkembangannya teori-teori tersebut diperkenalkan oleh
para ahli hukum berhubungan dengan kepentingan bagi keberlakuan hukum
Islam di Indonesia, muali dari tingkatan metodologi hingga tingkatan realitas
kehidupan masyarakat Islam itu. Berikut ini teori-teori yang membuktikan
berlakunya hukum Islam di Indonesia:
1) Ajaran Islam sebagai Penataan Hukum
Al-Quran memberikan ketentuan kepada setiap orang Islam untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan tidak dibenarkan seorang Islam memakai
hukum selain yang datang dari Allah dalam nash, walaupun dalam
aplikasinya disesuaikan dengan peru-bahan sosial dan hukum di masyarakat.
2) Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends
of Islam yang menyatakan bahwa setiap orang Islam diharuskan tunduk dan
patuh kepada otoritas hukum agama yang dianutnya.43 Dengan kata lain,
bagi orang Islam terdapat kewajiban untuk menjalankan syarî‘at Islam dalam
bentuk ketaatan yang universal dan paripurna.
3) Teori Receptie in Complexue
Teori receptie in complexue diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1845-1927 M), yang menyatakan bahwa bagi
73
A. Djazuli, Ushûl Fiqh, 63-64. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, 71-73.
Akal: 31
Sumber Kebenaran dalam Islam
orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam
walaupun dalam pelak-sanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.
4) Teori Receptie
Dalam pokok-pokok teori receptie, Hugronye menyebutkan bahwa
bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam
akan berlaku apabila borma hukum Islam telah diterima/diserap oleh
masyarakat hukum adat. Teori ini dikembangkan oleh Vollen Hoeven dan Ter
Haar semata-mata untuk kepentingan munculnya panIslamisme di Indonesia
serta untuk memperkokoh cengkraman penjajahan di Indonesia.
5) Teori Receptie Exit
Teori receptie exit dikemukakan oleh Hazairin yang memberikan
pertentangan terhadap teori receptienya Snouck Hugronye. Menurut
Hazairin, hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari pengaruh
hukum lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan sumber dan
metode hukum Islam. Dan ketika Indonesia memasuki masa
kemerdekaannya, hukum Islam mewarnai sistem hukum nasional dan
tatanan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.
6) Teori Receptie a Contrario
Teori receptie a contrario merupakan pengembangan dari teori
receptie exit Hazairin. Sayuti Thalib dalam tulisannya Receptie a Contrario:
Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, penelitiannya tentang
masalah perkawinan dan waris disimpulkan bahwa:
a. bagi orang Islam berlaku hukum Islam.
b. Hukum Islam berlaku sesuai dengan cita hukum, cita moral dan
bathin umat Islam.
c. Hukum adat berlaku, jika tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.74
G. Penutup
Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan kepada
manusia, dengan akal manusia dapat membedakannya dengan mahluk yang
lain. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang
batil, dapat membedakan yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal
sangatlah bannyak perannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama didunia
Didi Kusnadi, “Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya”, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1, April 2014, 11-13.
74
32 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
islam. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang penciptaan Allah
SWT.
Bagaimana langit yang ditinggikan diciptakan dengan tanpa tiang yang
menyangganya, bagaimana terjadimya siang dan malam yang terus menerus
bergulir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal,
menjelaskan supaya manusia menggunakan akalnya dengan baik. Allah
memerintahkan manusia supaya mempergunakan akal mereka untuk
memikirkan apa-apa yang ada disepannya, sesuatu yang terjadi yang manusia
tisak bisa melakukan semua itu, manusia disuruh berfikir tentang penciptaan
Allah yang begitu besar, memikirkan tentang keagungan Allah. Semua itu
yang diperinahkan Allah supaya manusia menggunakan akal yang diberikan
denan maksimal dan tidak sia-sia. Banyak fungsi-fungsi akal yang bisa kita
lihat sepanjang kehidupan ini. Dengan akal manusia dapat menciptakan
penemuan-penemuan yang canggih-canggih saat ini. Para ilmuan
mempergunakan akal mereka utnuk meneliti sesuatu yang menurut mereka
belum pernah mereka temukan, para mufassir, para mujitahid dan banyaki
lagi yang mempergunakan akal mereka untuk menyelesaikan masalah yang
hadir seiring dengan pergantian waktudan zaman.
Semua yang kita lakukan agar baik dan benar, kita harus
mempergunakan akal sehat kita sehingga mendapatkan hasil yang
memuaskan, karena seseorang yang mempergunakan akal mereka dengan
baik akan mendapatkan apa yang mereka tujukan.
Akal: 33
Sumber Kebenaran dalam Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy. 1973.
Al-Hafidz, Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2006.
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Buntang. 1970.
Amal, Taufik Adnan , Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989.
Amin, Muhammad, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 3, No. 1.
Ash-Shiddiqie , Hasbie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Azyumardi Azra, Essei-Essei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, 1995.
Didi, Kusnadi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16,No. 1.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Hardy, Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer.
Harjoni, Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis, Bandung: Alfabeta, 2012.
Haryono, Anwar, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang,
1985.
HD, Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-164
https://tafsirq.com/topik/Al+maidah+ayat+5
https://redaksiindonesia.com/read/kedudukan-akal-dalam-alquranHaditst.html
https://inseparfoundation.wordpress.com/2015/07/10/fungsi-akal-dalammemahami-al-quran/
Huda, Nuril, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi, Jakarta: Amzah, 2017.
Ibrâhim Abû Sulaymân, Abdul Wahhâb, Fikr alUshûliy, Jeddah: Dâr al-Syurûq.
1983.
Indra, Hasbi, Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan Refleksinya Terhadap
Aktivitas Pendidikan Sains Di Dunia Muslim, MIQOT, Vol. XXXIII No. 2.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah Tijâriyah al-Kubrâ.
1969.
Kusnadi, Didi, Pemikiran Hukum Islam Klasik Dan Modern: Karakteristik, Metode,
Pengembangan, Dan Keberlakuannya, Asy-Syari‘ah, Vol. 16, No. 1.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1980.
Masbukin dan Alimuddin Hassan, Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam
Sejarah, Akal dan Wahyu, Vol. 8, No. 2.
34 Akal:
Sumber Kebenaran dalam Islam
M. Nur, Keniscayaan Pendekatan Pluralistik-Idealistik dalam Pengkajian Islam, Jurnal
IN-RIGHT, Vol. 3, No. 1.
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Muslehudin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj.
Yudian Wahyudi, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992.
Muthahari, Murtadha dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushûl Fiqh dan Ushûl
Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandih dan Ahsin Muhammad,
Jakarta: Pustaka Hidayah. 1993.
Najib, Agus Mohd, Fiqih: Antara Syari’ah dan Budaya Lokal, Jurnal MAZHABUNA,
No. 03.
Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Rustam, Rusyja dan Zainal A. Haris, Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Santoso, Lukman, Nomenklatur Dinamika Pemikiran Hukum Islam, Epistemé,Vol.
11, No. 1.
Shihab, M. Quraish, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal Dalam
Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Sudjana, Eggi, Islam Fungsional, Jakarta: Rajawali, 2008.
Sutikno, R. Bambang, Sukses Bahagia dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan
Spiritual, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Syafi’ie, Imam, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ushûl Fiqh Perbandingan, Bandung: Piara. 1994.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Jakarta: Mizan, 1994.
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Rajawali Raja
Grafindo Persada, 1997.
Download