Usulan Penelitian PENGARUH JENIS INSISI PADA OPERASI KATARAK TERHADAP TERJADINYA SINDROMA MATA KERING PADA PASIEN PASCA OPERASI KATARAK DI RUMAH SAKIT UNHAS MAKASSAR MELIA BUDI ASTUTI C025 182 002 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN MATA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN......................................................................................3 A. LATAR BELAKANG MASALAH........................................................3 B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................5 C. TUJUAN PENELITIAN........................................................................5 D. MANFAAT PENELITIAN.....................................................................5 E. HIPOTESIS PENELITIAN ..................................................................6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7 A. SINDROMA MATA KERING..............................................................7 B. OPERASI KATARAK........................................................................13 C. KERANGKA TEORI..........................................................................16 D. KERANGKA KONSEP......................................................................17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.................................................................18 A. DESAIN PENELITIAN.......................................................................18 B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN..............................................18 C. POPULASI PENELITIAN..................................................................18 D. SAMPEL DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL............................18 E. PERKIRAAN BESAR SAMPEL........................................................18 F. KRITERIA SAMPEL...........................................................................19 G. IZIN PENELITIAN & KELAIKAN ETIK..............................................20 H. CARA KERJA.....................................................................................20 I. PROSEDUR PENELITIAN...................................................................21 J. PENCATATAN DATA.........................................................................21 K. METODE ANALISA DATA.................................................................22 L. IDENTIFIKASI VARIABEL..................................................................22 M. DEFINISI OPERASIONAL..................................................................24 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................26 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Katarak merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia. Sesuai dengan distribusi penyebab kebutaan estimasi global tahun 2010 ( data WHO tahun 2012), katarak merupakan penyebab utama dari kebutaan (51%). Diikuti oleh glaucoma dan Age related Macular Degeneration (AMD). Indonesia merupakan Negara urutan ketiga dengan angka kebutaan terbanyak di dunia dan urutan pertama terbanyak di Asia Tenggara.1 Data terakhir menunjukkan angka kebutaan disebabkan oleh katarak di Indonesia sangat besar yaitu diperkirakan lebih dari 50% atau sekitar 240.000 orang setiap tahunnya memerlukan operasi katarak (Depkes RI, 2015). Tingkat kebutaan di Indonesia menurut metode Rapid Assesment of Avoidable Blindess (RAAB) di tiga provinsi ( Jawa Barat, NTB, dan Sulawesi Selatan) pada tahun 2013-2014, rata-rata untuk setiap provinsi adalah 3,5%. Rumah Sakit Universitas Hasanuddin di Makassar, menunjukkan bahwa angka morbidity akibat katarak dari tahun ke tahun masih merupakan kasus terbanyak dari sepuluh besar penyakit gangguan penglihatan, dimana hal ini perlu mendapat penanganan yang serius. Sampai saat ini penanganan utama pada penderita katarak adalah dengan teknik operasi. Teknik operasi katarak ada beberapa teknik diantaranya mulai dari insisi korneoskleral pada Extra Capsular Cataract Ex- traction (ECCE), teknik Small Incision Cata- ract Surgery (SICS) yang melibatkan pemotongan pada konjunctiva dan sklera, hingga phacoemulsifikasi (PHACO) dengan insisi transkorneal dengan variasi lokasi insisi di superior dan temporal, (Steinert, 2010). Di Rumah Sakit 3 Universitas Hasanuddin sendiri paling sering memakai teknik SICS dan PHACO dalam penanganan operasi katarak. 2 Teknik insisi katarak akan mengakibatkan kerusakan dari bagian mata antara lain pada kornea, konjungtiva dan lapisan air mata (LAM) sehingga memicu timbulnya beberapa komplikasi pasca operasi katarak. Apabila terjadi gangguan pada salah satu komponen seperti timbulnya disrupsi lengkung neuronal yang disebabkan oleh insisi pada operasi katarak maka mengakibatkan ketidakstabilan LAM yang dapat mencetuskan terjadinya sindrom mata kering (SMK). 2-6 Sindroma mata kering atau dry eye syndrome merupakan kumpulan gangguan pada LAM yang disebabkan oleh penurunan produksi air mata dan atau peningkatan penguapan air mata, sehingga timbul gejala mata terasa tidak nyaman (seperti iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, merasa mengantuk, mudah lelah) dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi, dimana Dry eye ini sering dijumpai, mengenai hampir 10-30% penduduk, tidak pandang ras, gender maupun umur . 2-6 Menurut Asbell & Lemp (2011), operasi katarak merupakan salah satu penyebab terjadinya sindroma mata kering (dry eye) disamping dipengaruhi oleh faktor penyebab lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cho & Kim, (2009) juga menyatakan operasi katarak menyebabkan terjadinya sindroma mata kering. Berdasarkan catatan rekam medis pasien, dari sekian banyak pasien yang telah mendapat tindakan operasi katarak di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, pasien sering menunjukan gejala sindroma mata kering, diantaranya pasien mengeluhkan mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada mengganjal, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk dan cepat lelah. Dari data keluhan pasien tersebut, selama ini belum ada penelitian atau kajian khusus yang dilakukan untuk memastikan apakah pasien pasca operasi katarak tersebut mengalami sindroma mata kering atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut maka penting untuk melakukan suatu 4 penelitian terhadap keluhan pasien tersebut, karena apabila pasien mengalami sindroma mata kering akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi dan cenderung akan mempengaruhi kemajuan visus atau tajam penglihatan pasien. Berdasarkan latar belakang tersebut, sehingga peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara jenis insisi katarak dengan metode yang berbeda, yaitu SICS dan Phacoemulsifikasi dengan kejadian sindroma mata kering yang dialami oleh pasien pasca operasi katarak di RS UNHAS Makassar. Diharapkan hasil ini dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan operasi, komplikasi yang akan muncul serta terapi yang akan diberikan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi SICS di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ? 2. Bagaimana kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi Phacoemulsifikasi di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin? 3. Apakah terdapat perbedaan derajat Sindroma Mata Kering (SMK) yang timbul pasca operasi katarak dengan teknik Phacoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery (SICS)? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan derajat Sindroma Mata Kering (SMK) yang timbul pasca operasi katarak dengan teknik Phacoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) 2. Tujuan Khusus a. Mengukur Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak sebelum operasi. b. Mengukur Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak setelah operasi SICS. 5 c. Mengukur Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak setelah operasi Phacoemulsifikasi d. Membandingkan Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak setelah operasi SICS dengan Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak setelah operasi Phacoemulsifikasi. D. Manfaat Penelitian 1. Pengembangan Ilmu Memberi informasi ilmiah tentang risiko kejadian sindroma mata kering pada pasien yang telah menjalani operasi katarak dengan metode SICS dan Phacoemulsifikasi. 2. Pengembangan Aplikasi Sebagai pertimbangan bagi dokter ahli mata dalam pemilihan metode jenis insisi operasi katarak. 3. Peningkatan Mutu Sebagai acuan dalam meningkatkan pelayanan dalam rangka mempercepat proses penyembuhan serta peningkatan tajam penglihatan pada pasien pasca operasi katarak. E. Hipotesis Penelitian Kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi jenis insisi katarak metode SICS lebih tinggi dibandingkan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi jenis insisi katarak metode Phacoemulsifikasi. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sindroma Mata Kering (Dry Eye Syndrome) 1. Pengertian Sindroma Mata Kering (Dry eye syndrome) merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk, cepat lelah, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan.2-6 Kelembaban permukaan mata merupakan keseimbangan antara produksi dan ekskresi air mata melalui sistem drainase melalui duktus nasolakrimalis serta penguapan. Apabila keseimbangan ini terganggu, mata terasa kering, timbul suatu .dry spot. pada permukaan kornea sehingga menimbulkan rasa iritasi, perih diikuti refleks berkedip, lakrimasi dan mata berair.4 Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut dalam waktu yang lama akan terjadi kerusakan sel epitel kornea dan konjungtiva, bahkan dapat terjadi infeksi, ulkus, dan kebutaan. Sangat banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry eye baik pada wanita maupun pria, beberapa diantaranya tidak dapat dihindari:2-4 1. Usia lanjut. Dry eye dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut, 75% di atas 65 tahun baik laki maupun perempuan. 2. Faktor hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita seperti kehamilan, menyusui, pemakaian obat kontrasepsi,dan menopause. 7 3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus, Stevens-johnsons. syndrome,Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis, nodosa,sarcoidosis, Mickulick.s syndrome. 4. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan, dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi, oral, diuretik, obat-obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum. 5. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung kadar air tinggi akan menyerap airmata sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa kontak, dan menimbulkan deposit protein. 6. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara, angin, berada diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi air mata. 7. Mata yang menatap secara terus menerus sehingga . lupa berkedip seperti saat membaca, menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel 8. Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti PRK, LASIK akan mengalami dry eye untuk sementara waktu. 2. Patofisiologi Lapisan air mata (tear film) yang terdapat pada permukaan mata berfungsi untuk membasahi serta melumasi mata agar terasa nyaman. Pada setiap berkedip lapisan airmata ini terbentuk yang terdiri atas 3 lapis/komponen:4-7 8 1. Lapisan lemak dengan ketebalan 0,1 μm, merupakan lapisan paling luar yang berfungsi mencegah penguapan berlebihan. Lapisan lemak ini mengandung esters , gliserol dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar Meibom yang terdapat pada kelopak mata atas dan bawah. Infeksi atau kerusakan berulang pada kelenjar ini (seperti hordeolum, kalazion serta blefaritis) akan menyebabkan gangguan lapisan lemak sehingga terjadi .lipid deficiency dry eye. akibat penguapan berlebihan. 2. Lapisan aquous (air mata) dengan ketebalan 7 μm, dihasilkan oleh kelenjar lakrimal dan merupakan komponen yang paling besar. Lapisan ini berfungsi sebagai pelarut bagi oksigen, karbondioksida dan mengandung elektrolit, protein, antibodi, enzim, mineral, glukosa, dan sebagainya. Lysozyme, suatu enzim glikolitik, merupakan komponen protein terbanyak (20-40%), bersifat alkali dan mampu menghancurkan dinding sel bakteri yang masuk ke mata. Lactoferrin juga memiliki sifat antibakteri serta antioksidan sedangkan epidermal growth factor (EGF) berfungsi mempertahankan integritas permukaan mata normal serta mempercepat penyembuhan jika terjadi luka kornea. Albumin, transferrin, immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin M (IgM), dan immunoglobulin G (IgG) juga terdapat dalam lapisan aqueous air mata. 3. Lapisan musin: sangat tipis 0,02-0,05 μm, dihasilkan oleh sel Goblet yang banyak terdapat pada selaput konjungtiva (konjungtiva bulbi, forniks dan caruncula). Lapisan musin ini akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang bersifat hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat hidrofilik agar air mata dapat membasahinya, serta berfungsi mempertahankan stabilitas lapisan air mata. 9 3. Gejala Klinis Pasien dengan sindrom mata kering paling sering mengeluhkan tentang iritasi, benda asing (berpasir), sensasi terbakar, ketidaknyamanan ocular yang tidak spesifik, fotosensitivitas, mata merah, nyeri, air mata berlebihan (refleks lakrimasi) dari hanya akibat lingkungan yang kecil seperti tiupan angin, dingin, kelembaban rendah atau membaca dalam waktu yang lama, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel, bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan. Pada kebanyakan pasien, ciri yang paling khas pada pemeriksaan slit-lamp adalah terputusnya atau tiadanya meniscus air mata di tepian mata palpebra inferior.4-7 4. Diagnosis Sindrom Mata Kering Diagnosis biasanya cukup ditegakkan atas dasar gejala klinis, anamnesis yang lengkap keluhan pasien, usia, pekerjaan, penyakit serta pemakaian obat-obatan yang mungkin dapat menjadi penyebab. Pemeriksaan klinis segmen anterior mata termasuk kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus penting dapat dilakukan untuk menilai fungsi air mata secara kualitas maupun kuantitas seperti:4-7 a) Tes Schirmer Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul de sac konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dianggap abnormal. 10 Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal. Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadangkadang dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin. b) Tear film break-up time pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk dalam film air mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini pada akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan daerahdaerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan kornea dibasahi flourescein. Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta agartidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam lapisan 11 flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal, memanipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin. c) Tes Ferning Mata Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggakan parut (pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva difus), arborisasi berkurang atau hilang. d) Sitologi Impresi Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada ksus keratokonjungtivitis sicc, trachoma, pemphigoid mata cicatrix, sindrom stevens johnson, dan avitaminosis A. e) Pemulasan Flourescein Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat. Flourescein akan memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel kornea. f) Pemulasan Bengal Rose 12 Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan memulas semua sel epitel non-vital yang mengering dari kornea konjungtiva. g) Penguji Kadar Lisozim Air Mata Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pad awal perjalanan sindrom Sjorgen dan berguna untuk mendiagnosis penyakit ini. Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya. Cara paling umum adalah pengujian secara spektrofotometri. h) Osmolalitas Air Mata Hiperosmollitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca dan pemakaian kontak lens dan diduga sebagai akibat berkurangnya sensitivitas kornea. Laporan-laporan menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi keratokonjungtivitis sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada pasien dengan Schirmer normal dan pemulasan bengal rose normal. i) Lactoferrin Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar lakrimal. B. Operasi Katarak Operasi katarak telah mengalami perubahan yang sangat dramatis selama 30 tahun terakhir dengan diperkenalkannya alat mikroskop dan instrumen untuk bedah refraktif, berkembangnya lensa intraocular dan perubahan dalam teknik untuk anestesi lokal. Perkembangan lebih lanjut terjadi dengan ditemukannya instrumen yang bekerja secara otomatis dan 13 modifikasi dari lensa intraocular sehingga memungkinkan dilaksanakannya operasi melalui insisi kecil.7 Dalam bedah katarak, lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intracapsular atau ekstracapsular. Ekstraksi lensa melalui metode intrakapsulat yang jarang dilakukan lagi sekarang adalah mengangkat lensa intoto, yakni di dalam kapsulnya melalui insisi limbus superior 140 hingga 160 derajad. Pada ekstraksi ekstrakapsular, juga dilakukan insisi di limbus superior, bagian inferior kapsul dipotong dan diangkat, nucleus diekstraksi dan korteks dibuang dari mata dengan irigasi atau tanpa aspirasi sehingga meninggalkan kapsul posterior.6-8 1. Teknik Fakoemulsifikasi6-8 Teknik fakoemulsifikasi adalah teknik ekstrakapsuler yang menggunakan getaran-getaran ultrasonic untuk mengangkat nucleus dan korteks dengan insisi yang kecil (2-5mm). Fakoemulsifikasi menggunakan alat dengan gelombang ultrasonic untuk memfragmentasi nucleus dari katarak kemudian mengemulsifikasi fragmen-fragmen tersebut. Teknik ini juga menggunakan alat dengan system aspirasi otomatis yang dikendalikan oleh ahli bedah untuk memindahkan materi korteks melalui jarum yang dimasukkan melalui insisi kecil. Fakoemulsifikasi menghasilkan komplikasi yang berhubungan dengan luka operasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tehnik yang memerlukan insisi yang lebih besar, penyembuhan luka juga bias lebih cepat, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat. Tehnik ini bermanfaat pada katarak congenital dan traumatic dan kebanyakan katarak senilis. Tehnik ini kurang efektif pada katarak senilis yang padat, dan keuntungan insisi limbus yang kecil agak berkurang kalau 14 akan dimasukkan lensa intraokuler, meskipun sekarang sering digunakan lensa intraokuler yang fleksibel yang dapat dimasukkan melalui insisi kecil. 2. Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS)6-8 Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan evolusi dari teknik Ekstracapsular Cataract Surgery (ECCE) dimana keseluruhan lensa dikeluarkan dari mata melalui jalan luka di sclera. Jalan luka di sclera ini dibuat sedemikian sehingga kedap air dan tidak membutuhkan jahitan. Kata “small” mengacu pada luka yang relative kecil jika dibandingkan dengan luka yang dibutuhkan pada teknik ECCE, walaupun luka pada SICS masih lebih besar jika dibandingkan luka pada teknik fakoemulsifikasi, penelitian mengenai katarak yang padat yang akan diangkat dengan teknik SICS dibandingkan dengan teknik fakoemulsifikasi ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi waktu operasi yang lebih singkat dan biaya yang lebih sedikit secara signifikan ditemukan pada teknik SICS. 15 C. KERANGKA TEORI OPERASI KATARAK Insisi Kapsulotomi Anterior Ekstraksi Lensa Aspirasi Irigasi Pemasangan lensa intraokuler Dengan Metode SICS Dengan Metode Phacoemulsifikasi Hasilkan insisi yang melibatkan konjungtiva, sklera dan kornea sepanjang 6 mm Hasilkan insisi kornea sepanjang 2-3 mm Kerusakan struktur konjungtiva, kornea, stem sel limbal, pleksus saraf kornea Reaksi inflamasi post operasi katarak Perubahan kelengkungan kornea Kerusakan struktur kornea, stem Reaksi inflamasi post operasi katarak Perubahan kelengkungan kornea cell limbal Komplikasi Post Operasi Berkurangnya produksi sel goblet konjungtiva, musin Ketidakstabilan lapisan air mata (LAM) KEJADIAN SINDROMA MATA KERING 16 D. KERANGKA KONSEP Dengan metode SICS Kerusakan struktur akibat trauma pembedahan OPERASI KATARAK Inflamasi post operasi Berkurang produksi sel goblet konjungtiva, musin Ketidak stabilan lapisan air mata (LAM) Sindroma Mata Kering Dengan metode Phacoemulsifikasi P Variabel bebas : Operasi katarak dengan metode SICS dan Phacoemulsifikasi Variabel tergantung : Sindroma mata kering Variabel antara : Mekanisme terjadinya sindroma mata kering Hubungan variabel bebas Hubungan variabel antara Hubungan variabel tergantung 17 BAB III METODELOGI PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Desain penelitian adalah sesuatu yang vital dalam penelitian yang memungkinkan suatu kontrol dari beberapa faktor yangbmempengaruhi validitas suatu hasil.9 Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik korelasi. B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di RS. UNHAS, penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai pada bulan Januari hingga bulan Februari tahun 2020.. C. POPULASI PENELITIAN Populasi adalah jumlah seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek yang akan di teliti.9 Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita katarak di RS. UNHAS yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsifikasi dan SICS pada periode penelitian. D. SAMPEL DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan “sampling” tertentu untuk bias memenuhi atau mewakili populasi.9 Sampel penelitian adalah populasi penelitian yang termasuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi. E. PERKIRAAN BESAR SAMPEL Sampel dalam penelitian ini, diambil dengan cara purposive sampling, dengan rumus: 18 Keterangan: n : Besar sampel. N : Besarnya populasi rata-rata pasien katarak usia 45-60 = 50 Z1-α/2 : Nilai sebaran baku yang besarnya tergantung interval kepercayaan = 1,96 P : Proporsi pada populasi untuk proporsi yang tidak diketahui = 0,5 d : Besar penyimpangan (absolute) yang bias diterima = 0,05 Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam rumus, didapatkan jumlas sampel minimal adalah 44 responden. F. KRITERIA SAMPEL 1. Kriteria Inklusi a. Pasien dengan diagnosis katarak yang tidak mengalami sindroma mata kering. b. Pasien dengan katarak yang akan menjalani operasi katarak dengan jenis Phacoemulsifikasi maupun SICS. c. Pasien berumur 45-60 tahun. d. Pasien yang bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan menjadi responden. 2. Kriteria Eksklusi a. Pasien dengan katarak yang sudah mengalami sindroma mata kering sebelumnya. b. Pasien mengalami infeksi pasca operasi katarak selama periode penelitian. 19 G. IZIN PENELITIAN DAN KELAIKAN ETIK Dalam pelaksanaan penelitian, setiap tindakan yang dilakukan harus atas seizin dan sepengetahuan penderita melalui informed consent secara tertulis setelah mendapatkan penjelasan dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian Biomedik pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. H. CARA KERJA 1. Alokasi Subyek Pada Penelitian ini digunakan beberapa sarana penunjang berupa: a. Alat : 1. Senter 2. Snellen proyektor 3. Trial Lens set 4. Tonometri Non Kontak 5. Slitlamp biomikroskop 6. Funduskopi direk & indirek 7. Keratometri 8. Biometri 9. Mesin Fakoemulsifikasi 10. Mikroskop Spekular 11. Mikroskop Operasi 12. Kuisioner OSDI B. Bahan : 1. Tetes Mata Pantocain 2% 2. Tetes mata Xytrol (Intra operatif) 3. Tetes Mata Tobroson (Post operatif) 4. Tetes Mata P-Pred (Post operatif) 20 5. Tetes Mata Mydriatil 1% (Pasca operatif) 6. Tryphan blue Ophthalmic solution (Mede-Blu) 7. Carbachol Intraocular solution 0,01% (Mio-Chol) 8. Viskoelastik hydroxypropil methylcellulose 2% (Appavisc) 9. Viskoelastik sodium hyaluronat 1,5% (Healon 5) 10. Lensa intraokular acrylic foldable sesuai ukuran biometri pasien (Optima) 11. Cairan irigasi Balanced Salt Solution (BSS) (Miriwash) 12. Flouresens strip 13. Schirimer strip I. PROSEDUR PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu dimulai dengan pengurusan ijin penelitian pada Komite Etika Penelitian Rumah Sakit UNHAS , kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan subjek penelitian sesuai dengan criteria inklusi dan eksklusi. a. Setiap penderita katarak yang menjalani operasi katarak dengan teknik Phacoemulsifikasi dan SICS di Rumah Sakit UNHAS yang termasuk kedalam kriteria inklusi dan eksklusi di data dan dilakukan pemeriksaan sindroma mata kering sebelum dan sesudah operasi. b. Pemeriksaan sindroma mata kering dilakukan sebelum pembedahan, 1 minggu pasca pembedahan, 2 minggu pasca pembedahan, 4 minggu pasca pembedahan dan 8 minggu pasca pembedahan. J. PENCATATAN DATA Data yang dicatat meliputi : 1. Identitas pasien 2. Jenis insisi operasi katarak yang digunakan SICS atau Phacoemulsifikasi 21 3. Hasil Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak sebelum pembedahan. 4. Hasil Ocular Surface Indeks, uji Schirmer I tanpa anastesi , dan uji tear break up time pada pada pasien katarak setelah 1 minggu pasca pembedahan, 2 minggu pasca pembedahan, 4 minggu pasca pembedahan dan 8 minggu pasca pembedahan K. METODE ANALISA DATA Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis bivariat berupa uji Chi-Square atau uji Fisher dilanjutkan dengan uji Spearmen. Uji Chi-Square digunakan untuk menguji hipotesis variable kategorikal tidak berpasangan, sedangkan uji Fisher digunakan jika syarat uji Chi-Square (sel yang mempunyai nilai expected <5 maksimal berjumlah 20% dari jumlah sel) tidak terpenuhi. Kedua uji ini digunakan untuk menganalisis hubungan variabel derajad sindroma mata kering dan jenis operasi katarak. Uji Spearmen digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara variable bebas dengan variable terikat. Tingkat kemaknaan atau nilai α (alpha) yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 5% (0,05).hipotesis alternative diterima apabila nilai p < 0,05 atau uji statistic t hitung lebih besar dari t tabel untuk α=0,05. L. IDENTIFIKASI VARIABEL Variable penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.9 a. Variabel Independen Variable independen adalah sesuatu yang memiliki cirri sifat atau hikmah yang dimiliki oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian yang dapat mempengaruhi variable lainnya. Variable 22 independen dalam penelitian ini adalah perbedaan derajat terjadinya sindroma mata kering. b. Variable Dependen Variable dependen adalah sesuatu yang digunakan sebagai cirri, sifat atau ukuran yang dimiliki oleh satuan penelitian suatu konsep yang dipengaruhi oleh variable lain. Variable dependen dalam penelitian ini adalah jenis operasi katarak. 23 M. DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF 1. Definisi Operasional NO 1 Variabel Penelitian Small Definisi Operasional Salah satu teknik operasi katarak Incision yang dilakukan dengan cara insisi 6 Cataract mm pada sclera (jarak 2 mm dari Surgery limbus), kemudian dibuat sclera ( SICS) tunnel sampai di bilik mata depan. Alat dan Cara Ukur Skala Pengukuran Mengukur Nominal Kriteria Objektif Dilakukan Continuous Curvilinear Capsulorhexis, hidrodiseksi, hidrodeliniasi, kemudian nukleus dikeluarkan secara manual, korteks dikeluarkan dengan cara aspirasi 2. Katarak Katarak adalah gangguan Lensa yang keruh penglihatan yang disebabkan oleh kekeruhan kekeruhan pada lensa mata. Lensa lensa dengan mata yang normal seharusnya menggunakan dari bening. LOCS dikatakan Kekeruhan ini akan menghambat jalannya sinar masuk standard dikatakan katarak III Visus yang lebih operabel 24 20/80 NO Variabel Penelitian Definisi Operasional Alat dan Cara Ukur Skala Pengukuran Kriteria Objektif ke retina sehingga penglihatan menjadi buram 3. Phacoemul Fakoemulsifikasi merupakan sifikasi teknik operasi katarak dengan insisi kecil menggunakan tip yang mengalirkan gelombang ultrasonik untuk mengemulsi nukleus dari katarak dan menghisapnya keluar 4. Sindroma Sindroma mata kering adalah suatu Ocular Surface Kategorikal/ Mata kelompok gejala pada mata yang Indeks Kering ditandai dengan rasa mengganjal pada mata, rasa berair, perih dan seperti terdapat benda asing pada mata yang nominal Normal Ringan Sedang Berat uji Schirmer I tanpa anastesi uji tear break up dapat disebaabkan oleh berbagai time macam sebab, salah satunya adalah operasi katarak 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Indofatin, Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan, hal 2-3, 2014. 2. Retnadi, dkk, Pengaruh Jenis Insisi Pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering, Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol 27, 2012. 3. Paramastri, dkk, Pwngaruh Operasi Katarak Insisi Lebar terhadap Sensibilitas Kornea dan Kejadian Dry Eye, Medica Hospitaia vol 1(2): 103-107, 2012. 4. Asyari Fatma, Dry Eye Syndrome (Sindroma Mata Kering), Dexa Media no 4, vol 20, hal 162-167, 2007. 5. American Academy of Ophtalmology, External Disease and Cornea in Basic and Clinical Course, Section 8, 2011-2012. 6. Ilyas Sidarta, dkk, Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2012. 7. Vaughan D, Ophtalmologi Umum, Edisi 14, 2000. 8. American Academy of Ophtalmology, Lens and Cataract, Section 11, 2011-2012. 9. Sudigdo S, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, 1995. 26