Uploaded by User36421

LP-CVA-SAHprint

advertisement
LAPORAN PENDAHULUAN
“CVA HEMORRAGE”
DI RUANG UNIT STROKE RST dr. SOEPRAOEN MALANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Departemen Medikal
Disusun Oleh :
TRI RAHAYU ZULFIKRIYAH
160070301111032
Kelompok 22
PROGRAM PROFESI NERS
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID
HEMORRHAGE (CVA-SAH)
I.
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERSYARAFAN
Sistem
saraf
merupakan
salah
satu
organ
yang
berfungsi
untuk
menyelenggarakan kerjasama yang rapi dalam organisasi dan koordinasi kegiatan
tubuh. Dengan pertolongan saraf dapat kita mengisap suatu rangsangan dari luar
pengendalian pekerja otot.
Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai
fungsi yang berbeda dan saling mempunyai. Satu fungsi saraf terganggu secara
fisiologi akan berpengaruh terhadap fungsi tubuh yang lain.
Jaringan saraf tersusun atas neuron (sel saraf) dan neuroglia (sel pendukung).
Kedua jenis sel tersebut terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama
berfungsi sebagai suatu unit.
1. Neuron
Neuron adalah jaringan dasar sistem saraf dan unit fungsional sel saraf dengan
bentuk yang berbeda-beda, berfungsi sebagai penerus stimulus atau respon.
Struktur neuron dibagi menjadi 3 yaitu dendrit, badan sel dan axon (Tarwoto,
2007)
2. Neuroglia dan Meilin
Neuroglia adalah jenis khusus jaringan penyokong, hanya terdapat pada sistem
saraf yang mengokong neuron. Meilin merupakan axon di lapisi / diselubungi oleh
lapisan tipis lapid – protein.
Sistem saraf tersusun atas sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sebagai
berikut:
Sistem saraf pusat (central nervus sistem)
Sistem saraf pusat (SSP) tediri dari otak dan medula spinalis.
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan
suatu komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tongkorak (kranium) yang di bungkus oleh selaput otak yang kuat, berat otak
manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron. Otak
terdiri dari otak besar (cerebrum) otak kecil (cerebelum) dan batang otak (brainstem).
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak
berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Sebelum
terdiri dari dan hamisfer serebri terdiri dari lobus frontal, lobus temporal, lobus
parietal, dan lobus oksipital.
1) Lobus frontal
Lobus frontal berpengaruh terdapat perilaku, kalau ada gangguan
perilaku, misalnya orang gila agresif, suka merusak, perilakunya terganggu,
maka masalahnya terdapat di daerah frontal. Antara lobus kanan dan kiri
terdapat perbedaan, frontal kiri lebih cenderung bersikap agresif sedang yang
kanan : perilakunya cenderung diam. Lobus yang letaknya dibagian dahi
depan ini juga merupakan pusat bicara, terutama yang sebelah kiri. Manusia
bisa berbicara dengan lancar, mengungkapkan pikirannya melalui perkataan
karena di atur oleh otak frontal.
2) Lobus temporal
Lobus temporal bertanggung jawab soal ingatan. Bagian ini juga
berperan sebagai pusat bahasa tetapi bukan untuk bicara sebagaimana yang
dilakukan dalam hal pengertian bahasa (reseptik). Dengan bantuan lobus yang
terletak di samping kepala ini orang bisa mengerti apa yang dibicarakan orang
lain. Jadi apa yang di terima melalui pendengaran akan di artikan oleh
temporal kiri. Hal ini terutama untuk mempelajari bahasa verbal (yang di
dengar dan baca).
3) Lobus parietal
Lobus parietal menginginkan manusia dapat merasakan sesuatu
melalui indera perasa. Lobus yang di letaknya dibagian tengah di permukaan
korteks ini akan menerjemahkan apa yang dirasakan itu. Pembagian kerjanya
berseberangan, artinya bagian kiri lobus parietal akan mengatur indera perasa
tubuh bagian kanan, semisal tangan kanan, atau kaki kanan. Sedangkan
bagian kanan lobus akan mengatur indera perasa tubuh bagian kiri.
4) Lobus oksipital
Lobus oksipital merupakan pusat penglihatan. Di sini manusia mengerti
apa yang di lihat karena telah di proses atau di interpretasi. Kalau lobus yang
letaknya di belakang ini terganggu maka akan ada gangguan juga dalam
interpretasi hasil penglihatan oleh mata, jadi manusia itu dapat melihat tapi
tidak tahu apa yang dilihat. Kemampuan mengenali benda yang dilihat
terganggu. Semua input yang melalui penglihatan itu akan masuk melalui
mata, diteruskan ke otak bagian belakang, dari sana akan di interpretasi atau
diproses, dianalisa, sehingga kemudian manusia bersangkutan akan apa yang
di lihat. Di perbatasan di antara lobus temporal, lobus parietal, dan lobus
oksipital ada bagian yang berfungsi sebagai pusat baca tulis.
b.
Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum terletak di dalam fosa krani posterior dan di tutupi oleh
durameter yang menyerupai atau tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya
dari bagian posterior serebrum. Otak kecil berfungsi mengontrol keseimbangan
(misalnya berjalan), dan melakukan gerakan yang terkoordinir terutama untuk
aktivitas motorik. Seluruh aktivitas motorik manusia di koordinasi oleh otak kecil.
Dengan kata lain, dialah yang berjasa sehingga manusia dapat melakukan
gerakan-gerakan yang lancar, terkoordinasi, serasi dan selaras. Sekarang otak
juga berperan (walau tidak terlalu dominan) dalam mengontrol fungsi berpikir, dan
juga dalam pengendalian emosi. Sedangkan batang otak berfungsi menyalurkan
informasi ke atau dari otak. Gangguan terjadi jika arus informasi ini terganggu.
c. Batang otak (brainstem)
Batang otak terdiri dari diensefalon, mesensefalon, pons varoli, dan melalui
oblongata. Diensefalon terdiri dari epitalamus, talamus dan hipotalamus.
d. Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan korda jaringan saraf yang terletak dalam
kolumna vertebra dan memanjang dari medula batang otak sampai ke area
vertebra lumbal pertama. Sebanyak 31 pasang saraf spinal berasal dari segmen
yang berbeda dari spinal cord. Sebanyak 8 pasang dari cervical, 12 pasang
bagian thoracal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sacral dan 1 pasang bagian
koksigeal.
Susunan Saraf Perifer
Di dalam kepala ada 2 saraf kranial, beberapa diantaranya adalah serabut
campuran gabungan saraf motorik dan saraf sensorik tetapi ada yang terdiri dari saraf
motorik saja atau hanya sensorik saja. (Tarwoto, 2007 : 27)
a. Susunan saraf otonom
Dinamakan otonom, karena aktivitasnya tidak di kontrol oleh kehendak.
Menurut fungsinya susunan saraf otonom terdiri dari 2 bagian, yaitu :
1) Sistem saraf simpatis
Saraf simpatis distimulasi oleh emosi, seperti rasa takut, marah, gembira.
Sistem saraf ini membantu tubuh berespon terhadap emosi dengan
memberikan otot suplai darah yang kaya dengan O2.
2) Sistem saraf parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis mempunyai pengaruh yang bertolak belakang
dengan saraf simpatis yaitu menstimulasi sistem pencernaan dan merangsang
keluaran asam lambung dan aktivitas peristaltik.
b. Pembuluh Darah Otak
Suplay darah ke otak bersifat konstan, untuk kebutuhan normal otak
seperti nutrisi dan metabolisme. Hampir 1/3 kardiak output dan 20% oksigen di
pergunakan untuk otak. Otak memerlukan suplai kira-kira 750 ml/menit.
Kekurangan suplai darah keotak akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
menetap.
Otak secara umum di perdarahi oleh dua arteri yaitu arteri vertebra dan
arteri karotis interna. Kedua arteri ini membentuk jaringan pembuluh darah
kolateral yang disebut Circle Willis. Arteri vertebra memenuhi kebutuhan darah
otak bagian posterior, diencefalon, batang otak, serebelum dan oksipital. Arteri
karotis bagian internal untuk memenuhi sebagian besar hemisfer kecuali oksipital,
basal ganglia dan 2/3 diatas encephalon.
Barier darah otak adalah sekat yang sangat selektif terhadap keadaan
lingkungan internal di otak dan berfungsi sebagai pengatur substansi, yang masuk
dari ruang ekstrasel otak. Sawar otak secara fisilogi membantu mempertahankan
dan menjaga keseimbangan konsentrasi ion di lingkungan otak. Ia sangat peka
terhadap air, CO2, O2 dan substansi larutan lemak seperti alkohol dan molekulmolekul kecil dan selektif terhadap obat-obatan tertentu, racun, plasma protein
dan molekul-molekul besar.
Meningea
terdiri
daripada
tiga
lapisan
membran
penghubung
yang
memproteksi otak dan medulla spinalis. Dura mater adalah membran yang paling
superfisial dan tebal. Dura mater meliputi falx serebri, tentorium serebelli dan falx
serebelli. Dura mater membantu memfiksasi otak di dalam tulang kepala. Membran
meningea seterusnya adalah sangat tipis yang dinamakan arakhnoid mater. Ruang
antara membran ini dengan dura mater dinamakan ruang subdural dan mempunyai
sangat sedikit cairan serosa. Lapisan meningea yang ketiga adalah pia mater yang
melapisi permukaan otak. Antara arakhnoid mater dan pia mater mempunyai ruang
subarakhnoid di mana terdapat banyak pembuluh darah dan dipenuhi dengan cairan
serebrospinal.
Gambar 1: membran meningea pada permukaan otak. (dikutip dari kepustakaan:6)
Walaupun berat otak adalah 2% daripada jumlah total berat badan namun otak
menerima 15 hingga 20% darah yang dipompa oleh jantung. Darah tiba di otak melalui
arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Arteri vertebralis bergabung membentuk arteri
basilaris yang berada pada ventral batang otak. Arteri basilaris dan arteri karotis interna
membentuk sirkulus Willisi. Cabang-cabang dari sirkulus Willisi dan dari arteri basilaris
mensuplai darah ke otak.
Kortex serebri pada otak kiri dan kanan disuplai dengan darah oleh tiga cabang
arteri dari sirkulus Willisi; arteri serebri anterior, arteri serebri media dan arteri serebri
posterior. Arteri serebri media mensuplai darah pada permukaan lateral otak. Arteri
serebri anterior mensuplai darah pada bagian medial lobus parietalis dan frontalis. Arteri
serebri posterior mensuplai darah pada lobus occipital dan permukaan medial lobus
temporal. Arteri serebri dan cabangnya terletak dalam ruang subarakhnoid. Cabang arteri
meninggalkan ruang subarakhnoid dan memasuki pia mater. Cabang prekapiler
meninggalkan pia mater dan memasuki otak. Arteri di dalam otak membentuk kapiler.
Gambar 2: arteri-arteri intrakranial. (dikutip dari kepustakaan:6)
II. DEFINISI
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu pada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah
melalui system suplai arteri otak.( Sylvia A. Price, 2006 ). Menurut American
Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada tahun 2009 mendefinisikan
subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke perdarahan dimana darah dari
pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu ruang di antara lapisan dalam
(Pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak
(meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam
arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.
Perdarahan subarachnoid adalah keadaan terdapatnya darah atau masuknya
darah ke dalam ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid terjadi sebagai akibat
kebocoran nontraumatik atau ruptur aneurisma kongenital pada circulus anterior
cerebralis atau yang lebih jarang akibat arteriovenosa. Gejala timbul dengan onset
mendadak antara lain nyeri kepala hebat, kaku pada leher, dan kehilangan
kesadaran. Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan tiba – tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak ( rongga subarachnoid ). Perdarahan subarachnoid
merupakan penemuan yang sering pada trauma kepala akibat dari yang paling sering
adalah robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex dimana terjadi
pergerakan otak yang besar sebagai dampak , atau pada sedikit kasus, akibat
rupturnya pembuluh darah serebral major ( Sitorus, SistemVentrikel dan Liquor
Cerebrospinal ).
II. EPIDEMIOLOGI
Stroke perdarahan subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh
dunia, menyebabkan kecacatan dan kematian. Terjadi sekitar 5-15% dari kejadian
seluruh kejadian stroke. Perdarahan Subarachnoid biasanya didapatkan pada usia
dewasa muda baik pada laki-laki maupun perempuan. Insidens perdarahan
subarachnoid meningkat seiring umur dan lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki.
Populasi yang terkena kasus perdarahan subarachnoid bervariasi dari 6 ke 16 kasus
per 100.000, dengan jumlah kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan Jepang.
Selama kehamilan, resiko untuk terjadinya rupture malformasi arteriovenous
meningkat, terutama pada trimester ketiga kehamilan.
III. ETIOLOGI
Dewanto et all
meliputi:
(2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Ruptur aneurisma fusiform
3. Ruptur aneurisma mikotik
4. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan
pembekuan darah
5. Infeksi
6. Neoplasma
7. Trauma
8. Aneurisma pecah ( 50% ), aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah
sirkulasi Willisi dan cabang – cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (
Juwono, 1993 )
9. Pecahnya Malformasi Arterio Venosa ( MAV ) ( 5% ), terjadi kebocoran arteri
venosa secara nontraumatik pada sirkulasi arteri serebral.
10. Kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, misalnya emboli septik dari
endokarditis infektif ( aneurisma mikotik )
11. Gangguan lain yang mempengaruhi vessels
12. Gangguan pembuluh darah pada sum- sum tulang belakang dan berbagai jenis
tumor
IV. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma SAH
menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010)
meliputi:

Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial

Hipertensi

Merokok

Atherosklerosis

Kontrasepsi oral

Usia lanjut

Jenis kelamin

Pecandu alkohol berat
Faktor
resiko
untuk
terjadinya
stroke
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented) (Goldstein,2006).
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
1. Hipertensi
2. Paparan asap rokok
3. Diabetes
4. Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
5. Dislipidemia
6. Stenosis arteri karotis
7. Sickle cell disease
8. Terapi hormonal pasca menopause
9. Diet yang buruk
10. Inaktivitas fisik
11. Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
1. Sindroma metabolik
2. Penyalahgunaan alkohol
3. Penggunaan kontrasepsi oral
4. Sleep-disordered breathing
5. Nyeri kepala migren
6. Hiperhomosisteinemia
7. Peningkatan lipoprotein (a)
8. Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
9. Hypercoagulability
10. Inflamasi
11. Infeksi
V. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh
rupturnya aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid
dipenuhi dengan eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan
kecil di otak. Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area
perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan
trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari
ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah
eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989).
Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan
terjadinya
iskemi
pada
jaringan
otak
dan
lama-lama
akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan
gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih
hidup, sering mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia,
kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004
dalam American Association of Neuroscience Nurses, 2009).
VI. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH dapat
dilihat dari derajat nya, yaitu:
Derajat
GCS
1
15
Gejala
Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan.
2
15
Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).
3
13-14
Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit
neurologis fokal.
4
8-12
Stupor, hemiparesis moderate sampai berat,
permulaan desebrasi, gangguan vegetatif.
5
3-7
Koma berat, deserebrasi.
Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis Nyeri
kepala
mendadak,
adanya
tanda
rangsang
meningeal
(mual,
muntah,
fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik,
defisit
neurologis fokal
(disfasia,
hemiparesis,
hemihipestesia
(berkurangnya
ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh) . Kesadaran sering terganggu dan sangat
bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila
ada perdarahan sub arachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et
al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan
subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda
dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit
kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang dilaksanakan oleh
penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti nyeri dan kekakuan pada
leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%) kesadaran hilang
umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%)
perdarahan subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya
onset saat melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang
menetap selama beberapa hari.
Stroke mengakibatkan terjadinya gejala-gejala neurologis fokal maupun global. Gejala
neurologis merupakan gejala yang muncul akibat gangguan di daerah yang terlokalisir
dan dapat didentifikasi. Gejala neurologis fokal meliputi gangguan motorik, gangguan
berbicara, gangguan sensorik, gangguan visual, gangguan vestibular, dan gangguan
kognitif (Gofir, 2009).
Menurut Hudak dan Gallo dalam bukunya Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik
terdapat manifestasi akibat stroke, yaitu:
a. Defisit Motorik

Hemiparese, hemiplegia

Distria (kerusakan otot-otot bicara)

Disfagia (kerusakn otot-otot menelan)
b. Defisit Sensori

Defisit visual (umum karena jaras visual terpotong sebagian besar pada hemisfer
serebri)
̵
Hemianopsia homonimosa (kehilangan pandangan pada setengah bidang
pandang pada sisi yang sama)
̵
Diplopia (penglihatan ganda)
̵
Penurunan ketajaman penglihatan

Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap sensasi superfisial (sentuhan,
nyeri, tekanan, panas dan dingin)

Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap proprioresepsi (pengetahuan
tentang posisi bagian tubuh)
c. Defisit Perseptual (Gangguan dalam merasakan dengan tepat
dan menginterpretasi diri dan/atau lingkungan)

Gangguan skem/maksud tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap
ekstremitas yang mengalami paralise; kelainan unilateral)

Disorientasi (waktu, tempat, orang)

Apraksia (kehilangan kemampuan untuk menggunakan obyek-obyek
dengan tepat)

Agnosia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi lingkungan melalui
indera)

Kelainan dalam menemukan letak obyek dalam ruang, memperkirakan
ukurannya dan menilai jauhnya

Kerusakan memori untuk mengingat letak spasial obyek atau tempat

Disorientasi kanan kiri
d. Defisit Bahasa/Komunikasi

Afasia ekspresif (kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara yang
dapat difahami) - dapat berbicara dengan menggunakan respons satu kata

Afasia reseptif (kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan - mampu untuk
berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar tentang
kesalahan ini)

Afasia global (kombinasi afasia ekspresif dan reseptif) – tidak mampu berkomunikasi
pada setiap tingkat

Aleksia (ketidakmampuan untuk mengerti kata yang dituliskan)

Agrafasia (ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan)
a. Defisit Intelektual
 Kehilangan memori
 Rentang perhatian singkat
 Peningkatan distraktibilitas (mudah buyar)
 Penilaian buruk
 Ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi
yang lain
 Ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara abstrak
b. Disfungsi Aktivitas Mental dan Psikologis
 Labilitas emosional (menunjukkan reaksi dengan mudah atau tidak tepat)
 Kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial
 Penurunan toleransi terhadap stres
 Ketakutan, permusuhan, frustasi, marah
 Kekacauan mental dan keputusasaan
 Menarik diri, isolasi
 Depresi
c. Gangguan Eliminasi (Kandung kemih dan usus)

Lesi unilateral karena stroke mengakibatkans sensasi dan kontrol partial
kandung kemin, sehingga klien sering mengalami berkemih, dorongan
dan inkontinensia urine.

Jika lesi stroke ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan
lateral yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih
dengan kehilangan semua kontrol miksi

Kemungkinan untuk memulihkan fungsi normal kandung kemih sangat
baik

Kerusakan fungsi usus akibat dari penurunan tingkat kesadaran,
dehidrasi dan imobilitas

Konstipasi dann pengerasan feses
d. Gangguan Kesadaran
Menurut Batticaca Fransisca (2008), menjelaskan bahwa gejala klinis pada stroke
tergantung pada jenis stroke, antara lain:
1. Gejala Klinis pada stroke hemoragik
1) Defisit neurologis mendadak didahului dengan gejala prodromal yang terjadi
pada saat istirahat atau bangun tidur.
2) Kadang tidak terjadi penurunana kesadaran.
3) Terjadi terutama pada usia >50 tahun.
4) Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya.
2. Gejala klinis stroke akut
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
medadak.
2) Gejala sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik).
3) Perubahan mendadak pada satus mental (konfusi, delirium, latergi, stupor,
dan koma).
4) Afasia (tidak lancar atau tidak dapat berbicara)
5) Disatria (bicara pelo atau cedal).
6) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran).
Vertigo (mual, muntah atau nyeri kepala).
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologis
CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan
tanpa bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian
membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul menjadi putih.
Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk bintang putih pada pusat otak seperti
gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura
sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular
aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim superfisial
otak sering mengindikasikan arteriovenous malformation atau mycotic aneurysm
rupture (AANN, 2009).

Sensitivitas menurun seiring dengan waktu onset dan dengan resolusi scanner
yang lebih tua.

Pada satu studi yang dipublikasikan New England Journal of Medicine, CT
scan yang berkualitas baik mengungkapkan PSA pada 100% kasus dalam 12
jam onset dan 93% dalam 24 jam onset. Studi tradisional lainnya melaporkan
sensitivitas 90-95% dalam 24 jam onset perdarahan, 80% dalam 3 hari, dan
50% dalam 1 minggu.

CT scan juga dapat mendeteksi perdarahan intraserebral, pengaruh massa,
dan hidrosefalus.

CT scan negatif palsu dapat dihasilkan dari anemia berat atau PSA volume
kecil.

Distribusi PSA dapat menyediakan informasi tentang lokasi aneurisma dan
prognosis.
 Perdarahan intraparenkim dapat muncul dengan aneurisma arteri
komunikan
media
dan
arteri
komunikan
posterior.
Perdarahan
intrahemisfer dan intraventrikular dapat muncul dengan aneurisma arteri
komunis posterior.
 Hasil akhir menjadi buruk pada pasien dengan bekuan luas pada cisterna
basalis dibandingkan mereka dengan perdarahan tipis yang difus.
Pungsi lumbar
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna kuning
yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas pemeriksaan ini
lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
 Punksi lumbal diindikasikan jika pasien memiliki kemungkinan PSA dan
temuan CT-scan negatif.
 Melakukan CT scan sebelum punksi lumbal untuk menyingkirkan efek massa
intrakranial penting atau perdarahan intrakranial yang nyata.
 Punksi lumbal bisa jadi negatif jika dilakukan kurang dari 2 jam setelah
perdarahan; punksi lumbal paling sensitif pada 12 jam setelah onset gejala.
 Sel darah merah pada cairan serebrospinal meningkat secara konsisten dalam
2 contoh tabung pada PSA, dimana jumlah sel darah merah pada trauma
punksi secara teknis menurun seiring berjalannya waktu.
 Xanthochromia
(supernatan
cairan
serebrospinal
kuning-merah
muda)
biasanya terlihat 12 jam setelah onset perdarahan; idealnya diukur secara
spektrografis walaupun banyak laboratorium bersandar pada inspeksi visual.
 Temuan punksi lumbal disangka positif pada 5-15% dari seluruh gambaran
PSA yang tidak jelas pada CT-scan. Angka ini mungkin tidak lagi valid dengan
kehadiran generasi baru CT scan. Tabel retrospektif kecil akhir-akhir ini
meninjau ulang tentang pasien pada bagian emergensi yang mengalami
generasi kelima CT-scan dan punksi lumbal; menunjukkan tidak ada pasien
dengan lumbal punksi positif dan CT scan negatif.
CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak
biasanya terlihat pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai
intermediate untuk pengcahayaan sinyal tinggi dengan proton atau gambar
FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam mendeteksi perdarahan
subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid: hasil tahapan control
perdarahan subarachnoid kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal
rendah. MRI dilakukan jika tidak ditemukan lesi pada angiografi.
 Sensitivitasnya dalam mendeteksi darah dianggap sama atau lebih rendah
dibanding CT scan.
 Biaya lebih tinggi, availabilitas lebih rendah, dan waktu studi yang lebih lama
menjadikannya kurang optimal untuk mendeteksi PSA.
 MRI seringnya digunakan untuk mendeteksi kemungkinan MAV yang tidak
terlihat pada angiografi.
 MRI dapat kehilangan lesi simtomatik kecil yang belum ruptur.
 Magnetic resonance angiography (MRA) kurang sensitif dibandingkan
angiografi dalam mendeteksi lesi vaskular; bagaimanapun banyak yang
percaya angiografi CT dan/atau MRA akan memainkan peranan yang lebih
terpusat suatu hari nanti.
 Multidetector computed tomography angiography (MD-CTA) pada pembuluh
darah intrakranial sekarang ini merupakan pemeriksaan rutin, digabungkan
seutuhnya kedalam algoritma pencitraan dan perawatan pada pasien dengan
PSA akut di banyak pusat studi di Inggris dan Eropa. *Pengurangan-digital
angiografi serebral telah menjadi kriteria standar untuk mendeteksi aneurisma
serebral, namun angiografi CT lebih populer dan sering digunakan berdasar
pada sifat non-invasifnya dan; sensitifitas dan spesifitas dapat dibandingkan
dengan angiografi serebral.
Funduskopi: untuk mencari subhyaloid bleeding
Angiografi
 Angiografi serebral dilakukan ketika diagnosa PSA sudah dibuat.
 Studi ini menilai hal-hal berikut:
 Anatomi vaskular
 Tempat perdarahan terbaru
 Kehadiran aneurisma lainnya
 Studi ini membantu merencanakan pilihan operasi.
 Temuan angiografi negatif pada 10-20% pasien dengan PSA.
 Jika negatif, beberapa menganjurkan untuk angiografi ulangan beberapa
minggu kemudian.
EKG
Sekitar 20% kasus PSA memiliki iskemik miokard akibat peningkatan sirkulasi
katekolamin.
Hasil khusus adalah ST non-spesifik dan perubahan gelombang-T, segmen QRS
memanjang, gelombang U, dan peningkatan interval QT.
Perubahan EKG mencerminkan iskemik miokard atau infark dan harus diobati
dengan cara biasa. Dugaan PSA kontraindikasi untuk terapi trombolitik dan
antikoagulan.
b. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis
setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et al., 2009).
- Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis (Weiner,
2000).
- Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
- Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan umum
a) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan intensif atau
lebih baik di unit perawatan neurologis.
b) Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi pengunjung
sampai aneurisma ditangani.
c) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM setiap 4
jam).
d) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV setiap
8-12 jam) atau lansoprazol (30 mg PO sehari)
e) Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan rangkaian
peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari) setelah terapi
aneurisma.
f)
Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum terapi
aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
g) Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale atau infus
kontinu insulin jika perlu
h) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada ≤ 37,20C; berikan asetaminofen/parasetamol
(325-650 mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan peralatan cooling bila diperlukan.
i)
Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).
j)
Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama, 5 g IV
dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)
k) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat (15-45
mg/kg/hari PO atau IV)
l)
Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul
vasospasme serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau PCWP
(pulmonal capillary wedge pressure) 12-16 mmHg.
m) Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain, lebih
baik pemberian makanan enteral.
2. Terapi lain
a) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
b) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama
3. Perawatan jangka panjang
a) Rehabilitasi. Terapi fisik, pekerjaan, dan bicara
b) Evaluasi neuropsikologis. Lakukan pemeriksaan global dan domain specifik,
rehabilitasi kognitif
c) Depresi. Pengobatan antidepresan dan psikoterapi
d) Nyeri kepala kronis. NSAIDs, Antidepresan trisiklik, atau SSRIs; gabapetin.
4. Terapi medikamentosa :
a) Edatif – tranquilizer
: fenobarbital (luminal) dan diazepam (valium). Untuk
menghindari kegelisahan dan tensi yang meningkat
b) Antiemetik
: dimenhidrat
c) Analgetika
: kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan fentanil
d) Antikonvulsan
: fenitoin (dilantin), karbamazepin, fenobarbital dengan dosis
30 mg peroral 3 kali perhari
e) Pencahar
: diotil Na, sulfosuksinat, psilium hidrofilik musiloid sedium
100 mg peroral perhari
f)
Antasida
: magnesium aluminium hidroksida, simetidin, ranitidin
g) Diuretik/ antiedema
: furosemid (lasix), manitol
h) Steroid
: deksametason (oradexon, kalmethasone)
i)
:
Antifibrinolitik
epsilon-amino-kaproat
(amicar),
asam
traneksamik.
Pemberian anti fibrolitik dianggap bermanfaat untuk memecah perdarahan ulang
akibat lisis atau bekuan darah ditempat yang mengalami perdarahan
j)
Antidiuretik
: vasopresin (pitresin)
k) Obat hipotensif intrakranial: tiopental (pentotal)
XI. KOMPLIKASI
a) Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obstruksi aliran CSS
dalam sistem ventrikular oleh gumpalan darah.
b) Perdarahan ulang pada PSA muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu pertama.
Puncak insidennya muncul sehari setelah PSA. Ini mungkin berasal dari lisis
gumpalan aneurisma.
c) Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simtomatis pada 36%
pasien.
d) Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada hari 4-12.
e) Disfungsi hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan, yang dapat
menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan darah labil.
f)
Hiponatremia dapat muncul sebagai hasil pembuangan garam serebral.
g) Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
h) Disfungsi sistole ventrikel kiri: disfungsi sistole ventrikel kiri pada orang dengan
PSA dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan inervasi/persarafan
simpatetik
abnormal.
Temuan
ini
dijelaskan
oleh
pelepasan
berlebihan
norepinefrin dari nervus simpatetik miokard, yang dapat merusak miosit dan ujung
saraf.
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT
SUBARACHNOID HEMORRHAGE (CVA-SAH)
I.
PENGKAJIAN
Anamnesis
a) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosa medis.
b) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi
neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak,
adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya,
kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal
(disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada
satu sisi tubuh).
c) Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat
trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan
aktivitas, keluhan pada gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang
sampai tidak sadar, di samping gejala kelumpuhan separuh badan atau
ganggguan fungsi otak yang lain, selisah, letargi, lelah, apatis, perubahan pupil,
dll.
d) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif,
antidepresan, atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat
trauma kepala, kelainan kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.
e) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang
menderita hipertensi atau diabetes.
f) Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
g) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul
pada klien seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
h) Pengkajian
sosioekonomispiritual
mencakup
pengkajian
terhadap
fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu.
PEMERIKSAAN FISIK
a) Tingkat kesadaran
Tingkat Responsivitas
Klinis
Terjaga
Normal
Sadar
Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama
kali terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi
Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor
Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam
mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata atau
Semikomatosa
frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah,
koma
atau berbicara koheren.
Dapat
berespon
dengan
postur
secara
refleks
ketika
distimulasi atau dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.
Respon motorik
Respon verbal
Membuka mata
Menurut
6
Orientasi
5
Spontan
4
Terlokalisasi
5
Bingung
4
Terhadap panggilan
3
Menghindar
4
Kata tidak dimengerti
3
Terhadap nyeri
2
Fleksi abnormal
3
Hanya suara
2
Tidak dapat
1
Ekstensi abnormal
2
Tidak ada
1
Tidak ada
1
b) Keadaan umum
Penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh
mengalami ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau
keseluruhan lemah adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang
serta tanda-tanda vital (hipertensi)
1. Sistem Integumen

Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan
kebiruan kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada
penekanan pada kulit yang lama akan timbul dekubitus.

Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak kebiruan
2. Pemeriksaan Kepala atau Leher

Bentuk normal simetris

Bentuk kadang tidak simetris karena adanya kelumpuhan otot daerah muka
tampak gangguan pada mata kadaan onga mulut kotor karena kuang
perawatan diri .

Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid tidak ada .
3. Sistem pernafasan

Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstrusi jalan nafas,
kelumpuhan otot pernafasan penggunaan otot-otot bantu pernafasan,
terdapat suara nafas ronchi dan whezing.
4.
Sistem kardio vaskuler

Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi, tekanan
intrakranial meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau
normal .
5.
Sistem pencernaan

Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus,
gangguan BAB baik konstipasi atau diare .
6.
Ekstrimitas

Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai ROM : 2, serta
kelumpuhan.
7.
Pemeriksaan urologis

Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi kandung
kencing, serta didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.
c) Saraf Kranial

Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya pada klien stroke tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman.

Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan)
: Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.

Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat kelopak mata,
troklearis, dan abdusens) : Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.

Saraf Kranial V (trigeminus)
:
paralisis
saraf
trigeminus,
didapatkan
penurunan kemampuan koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideus
internus dan eksternus.

Saraf Kranial VII (fasialis) : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis)
: tidak dietmukan tuli konduktif dan tuli
perseptif.

Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
: Kemampuan menelan
kurang baik, kesukaran membuka mulut.

Saraf Kranial XI (aksesoris)
: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapesius.

Saraf Kranial XII (hipoglosus)
: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu
sisi dan fasikulasi. Indra pengecap normal.

Pemeriksaan neurologis
1. Tanda-tanda rangsangan meningen
Kaku kuduk umumnya positif, tanda kernig umumnya positif, tanda brudzinsky I, II,
III, IV umumnya positif, babinsky umumnya positif.
2. Pemeriksaan fungsi sensorik
Terdapat gangguan penglihatan, pendengaran atau pembicaraan.
d) Sistem Motorik
Refleks : pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
Gerakan involunter
:pada umumnya kejang.
e) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis
setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik adanya diskrasia darah, polisitemia,
trombositopenia atau trombosis
 Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
 Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
 Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi
 Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
 EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau perubahan segmen ST
(Dewanto et al., 2009)
 CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak awitan.
 Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.
 CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP
II.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan stroke hemoragik menurut
Doenges (1999) adalah :
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
keterlibatan
neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, flaksid/paralisis hipotonik (awal), paralisis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan
neuromuskuler,
kehilangan
tonus/kontrol
otot
fasial
atau
oral,
kelemahan/kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit).
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan
dan
ketahanan,
kehilangan
kontrol/koordinasi
otot,
kerusakan
perseptual/kognitif.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual kognitif.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler atau perseptual.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
III. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan
oklusif,
hemoragi,
vasospasme
serebral,
edema
serebral.
Kriteria evalusi pasien akan :
a.
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisidan fungsi
motorik atau sensori.
b.
Mendemostrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda
peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK).
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
Rasional : Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran
tanda
atau
kemunduran
tanda
atau
gejala
neurologis
atau
kegagalan
memperbaikinya setelah fase awal memerlukan pembendahan dan atau pasien
harus di pindahkan ke ruang perawatan kritis (ICU).
b.
Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan normalnya atau standar.
Rasional :
Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan/resolusi kerusakan
Sistem Saraf Pusat (SSP). Dapat menunjukan Transient Ischemic Attack (TIA).
c.
Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar.
Rasional : Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari
lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengidentifikasikan dengan
penurunan/peningkatan TIK.
d.
Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi
pengunjung/aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodik
antara aktivitas perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.
Rasional : Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total
dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan
dalam kasus perdarahan subarachnoid
e. Pantau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan
darah yang terbaca pada kedua lengan.
Rasional : Hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat
terjadi karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi
karena edema, adanya formasi bekuan darah. Tersumbatnya arteri subklavia
dapat dinyatakan dengan adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan.
f.
Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan
kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna
dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan
kesamaaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis yang mempersarafinya.
g.
Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur,
ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak
yang terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan
mempengaruhi intervensi yang harus dilakukan.
h.
Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk
mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang
meningkatkan TIK (Tucker et al, 1998).
i.
Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong
dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar
pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j.
Kolaborasi
dalam
analisa
gas
darah
dan
pemberian
terapi
medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya
edema (Tucker et al,1998).
2.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, flaksid/paralisis hipotonik, paralisis spastis.
Kriteria evaluasi pasien akan :
a. Mempertahankan posisi yang optimal yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang
terkena.
c. Mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, serta
mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a.
Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara yang
teratur. Klasifikasikan melalui skala 0-4.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit bantuan
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik
yang berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.
b. Ubah posisi minimal tiap dua jam (miring, telentang).
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang
terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi
dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/dekubitus
c.
Lakukan
latihan
gerak
aktif
dan
pasif
pada
semua
ekstremitas
(bila
memungkinkan). Sokong ekstermitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan
kaki selama periode paralisis.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, menurunkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika
masalah utamanya adalah perdarahan.
d.
Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak, sesuai
indikasi.
Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat menurunkan
resiko terjadinya subluksasio lengan dan “sindrom bahu-lengan”.
e. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
f.
Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian
kepala) tempat tidur, bantu untuk duduk disisi tempat tidur.
Rasional : Membantu dalam melatih kembali fungsi saraf, meningkatkan respon
proprioseptik dan motorik.
g. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk
memindahkan berat badan dalam interval yang teratur.
Rasional : Mencegah/menurunkan tekanan koksigeal atau kerusakan kulit.
h.
Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema atau tanda lain dari
gangguan sirkulasi.
Rasional : Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya lambat.
i.
Lakukan massase pada daerah kemerahan dan beri alat bantu seperti bantalan
lunak kulit sesuai kebutuhan.
Rasional : Titik-titik takanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk
terjadinya penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan
bantalan membantu mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus.
j.
Susun tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisipasi dalam latihan
dan mengubah posisi.
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap perkembangan atau peningkatan dan
memeberikan perasaan kontrol atau kemandirian.
k. Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan
ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang
mengalami kelemahan.
Rasional : Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih
terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan
kembali sebagai bagian dari tubuhnya sendiri.
l.
Kolaborasikan dengan ahli fisioterapi dan obat-obatan medis dalam membantu
pemulihan kondisi.
Rasional : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan
kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan,
koordinasi, dan kekuatan.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirulasi serebral,
kerusakan neuromuskuler.
Kriteria hasil pasien akan :
a. mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi, membuat metode
komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumbersumber dengan tepat.
Intervensi :
a.
Kaji derajat disfungsi, seperti klien mengalami kesulitan berbicara atau membuat
pengertian sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses
komunikasi.
b. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang
keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata.
Umpan balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak
mengerti
atau
berespon
sesuai
dan
memberikan
kesempatan
untuk
mengklarifikasi isi atau makna yang terkandung.
c.
Tunjukkan objek dan minta klien untuk menunjukkan nama dari objek tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia
motorik)
seperti
pasien
mungkin
mengenalinya
tetapi
tidak
dapat
menyebutkannya.
d. Minta klien untuk menggucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus”.
Rasional : Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara
(seperti : lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi.
e. Minta klien untuk menulis nama atau kalimat pendek.
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca
yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensori dan afasia
motorik.
f. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien
jatak waktu untuk merespons. Bicaralah tanpa tekanan pada sebuah respons.
Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran dan meninggikan suara
dapat menimbulkan pasien marah. Mefokuskan respons dapat mengakibatkan
frustasi dan mungkin menyebabkan pasien terpaksa untuk bicara otomatis seperti
: memutarbalikkan kata.
g. Anjurkan kepada orang terdekat untuk tetap memelihara komunikasi dengan klien.
Rasional : Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan
komunikasi yang efektif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
trasmisi, integrasi (trauma neurologis).
Kriteria evaluasi pasien akan : mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi
perceptual, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterbatasan
residual, mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasikan terhadap/defisit
hasil.
Intervensi :
a.
Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan
kinetik berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian
dari gerakan yang menggangu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.
b.
Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala,
letakkan banda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal. Tutup mata
yang sakit jika perlu.
Rasional : Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda dapat membantu
masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut. Penutupan mata mungkin dapat
menurunkan kebingungan karena adanya pandangan ganda.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabotan yang membahayakan.
Rasional : Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin
dapat menimbulkan kebingungan terhadap interprestasi lingkungan, menurunkan
resiko terjadinya kecelakaan
d.
Lindungi pasien dari suhu yang berlebih, kaji adanya lingkungan yang
membahayakan. Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan
yang normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
e.
Hindari kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebih sesuai kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respons emosi yang berlebihan/kebingungan
yang berhubungan dengan sensori berlebihan.
f.
Lakukan validasi terhadap persepsi pasien. Orientasikan kembali pasien secara
teratur pada lingkungannya, staf dan tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidak-konsistenan dari persepsi
dan integritas stimulasi dan mungkin menurunkan distorsi persepsi pada realitas.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Kriteria evaluasi pasien akan : mendemonstrasikan teknik/perubahan gaya hidup yang
memenuhi kebutuhan perawatan diri, melakukan akativitas perawatan diri dalam
tingkat kemampuan sendiri, mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas memberikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 0-4) untuk
melakukan kebutuhan sehari-hari.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain.
1 = pasien butuh sedikit bantuan.
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana.
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak.
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan.
Rasional
:
Mambantu
dalam
mangantisipasi/merencanakan
pemenuhan
kebutuhan secara individual.
b.
Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri,
tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Pasien ini mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung
dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi,
adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri
untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
c.
Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri. Meningkatkan kemandirian, dan
mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.
d.
Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk
mengerjakan tugasnya.
Rasional : Pasien akan memerlukan empati tapi perlu untuk mengetahui pemberi
asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual kognitif.
Kriteria evaluasi pasien akan : berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi
dan perubahan yang telah terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri
dalam situasi, mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam
cara yang akurat tanpa menimbulkan harga diri negatif.
Intervensi :
a.
Kaji
luasnya
gangguan
peresepsi
dan
hubungkan
dengan
derajat
secara
individu
membantu
dalam
ketidakmampuannya.
Rasional
:
Penentuan
faktor-faktor
mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi.
b. Anjurkan pasien untuk mengekpresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan
dan perasaan marah.
Rasional : Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal
dan mulai mamahami perasaan ini.
c. Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik mengenai penyembuhan fungsi
tubuh ataupun kemandirian pasien.
Rasional : Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan
marah dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.
d. Bantu dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol atas salah
satu bagian kehidupan.
e. Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan
sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.
Rasional : Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri
dan meningkatkan proses rehabilitasi.
f. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti meningkatkan minat/pertisipasi
pasien dalam kegiatan rehabilitatif.
Rasional : Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan
memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler atau perseptual.
Kriteria evaluasi pasien akan : mendemostrasikan metode makan tepat untuk situasi
individual dengan aspirasi tercegah, mempertahankan berat badan yang diinginkan
Intervensi :
a.
Kaji ulang kemampuan menalan pasien secara individual, catat luasnya paralisis
fasial, gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timbang berat
badan secara periodik sesuai kebutuhan.
Rasional : Identifikasi kemampuan menelan pasien untuk menentukan pemilihan
intervensi yang tepat.
b. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
c.
Mulai berikan makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat
menelan air. Pilih/Bantu pasien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu
mengunyah dan mudah ditelan, contohnya : telur, agar-agar, makanan kecil yang
lunak lainnya.
Rasional : Makanan lunak/cair kental lebih muda untuk mengendalikannya di
dalam mulut, menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
d. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional : Menguatkan otot fasialis dan otot menelan dan menurunkan resiko
terjadinya tersedak.
e. Pertahankan masukan dan haluan dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.
Rasional : Jika usaha menelan tidak mamadai untuk memenuhi kebutuhan cairan
dan makanan harus dicarikan metode alternatif untuk makan.
f.
Berikan cairan melalui IV dan/atau makanan melalui selang.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga
makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui
mulut.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
Kriteria evalusi pasien akan : berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan
pemahaman tentang kondisi/prognosis dan aturan terapeutik, memulai perubahan
gaya hidup yang diperlukan.
Intervensi :
a.
Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana/kemungkinan
melakukan kembali aktifitas.
Rasional : Meningkatkan pemahaman, memberikan harapan pada masa. Datang
dan menimbulkan harapan dari keterabatasan hidup secara “normal”.
b.
Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara
meneruskan program setelah pulang.
Rasional : Aktvitas yang dianjurkan, pembatasan dan kebutuhan obat/terapi dibuat
pada dasar pendekatan interdisipliner terkoordinasi. Mengikuti cara tersebut
merupakan suatu hal yang penting pada kemajuan pemulihan/pencegahan
komplikasi.
c. Sarankan menurunkan/membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan
berpikir.
Rasional : Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.
d. Identifikasi sumber-sumber yang ada dimasyarakat, seperti perkumpulan stroke,
atau program pendukung lainnya.
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di
rumah dan penyelesaian terhadap kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC
Lampiran : Patofisiologi CVA
Download