Uploaded by Zakia Asyifa Syafana

Tugas Makalah Psikologi Lintas Budaya

advertisement
MAKALAH
PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
ENKULTURASI, SOSIALISASI DAN BUDAYA
SERTA PROSES PERKEMBANGANNYA
Oleh :
AMERIA MONALISA
21860225298
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PROGRAM MAGISTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam buku Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Barnouw, mendefinisikan konsep
kebudayaan sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimikiki
bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.
Di dalam masyarakat kebudayaan berfungsi sebagai pedoman hidup yang mengatur
tingkah laku individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam wujud kebudayaan
yang bersifat abstrak terdapat berbagai macam aturan norma sosial yang harus diterima
oleh individu yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya, kebudayaan yang bersifat
abstrak berbentuk norma dan nilai-nilai adat tersebut diwariskan dari generasi ke
generasi melalui proses belajar kebudayaan.
Di dalam masyarakat unsur kebudayaan diwariskan secara turun-temurun yang
membutuhkan waktu dalam proses pewarisannya. Dalam antropologi pewarisan nilainilai budaya diidentikkan dengan proses belajar karena manusia akan belajar menerima
unsur-unsur budaya yang lama dan belajar untuk menyeleksi unsur kebudayaan yang
tepat bagi kehidupannya. Dengan demikian, pengetahuan pewarisan budaya adalah
proses belajar kebudayaan yang berlangsung sepanjang kehidupan manusia.
Dalam masyarakat tradisional dan modern tidak terdapat perbedaan yang mendasar
dalam proses pewarisan atau belajar kebudayaan karena setiap manusia akan mengalami
proses belajar kebudayaannya sendiri yang diajarkan secara turun-temurun. Misalnya,
anak-anak akan belajar bagaimana cara makan dengan benar, memegang sendok yang
benar, berbicara dengan sopan, dan bergaul dengan orang lain dengan wajar.
Dalam masyarakat pedesaan peran keluarga sangat penting dan menjadi inti
pembentukan perilaku individu. Ibu dan ayah adalah orang yang pertama kali
mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara bersalaman dan mencium tangan orang
yang lebih tua dan bagaimana cara melakukan ritual keagamaan. Dalam masyarakat
perkotaan kecenderungan tersebut semakin jarang terjadi karena kedua orang tua sibuk
bekerja sehingga yang mengajarkan pada anak bersosialisasi dengan kehidupannya
adalah pengasuh anak atau anggota keluarga yang lain. Proses pewarisan budaya
antargenerasi tersebut dilakukan melalui proses sosialisasi dan enkulturasi dalam
keluarga dan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TRANSMISI
BUDAYA
MELALUI
PROSES
ENKULTURASI
&
SOSIALISASI
Kebudayaan sebagai nilai-nilai yangdihayati ataupun ide yang di yakinitersebut
bukanlah ciptaan sendiri darisetiap individu yang menghayati danmeyakini,
semuanya itu di peroleh melaluiproses belajar. Proses belajar merupakancara untuk
mewariskan nilai-nilai tersebutdari generasike generasi. Pewarisantersebut di kenal
dengan proses sosialisasiatau enkulturasi (proses pembudayaan).
Enkulturasi adalah proses penerusan kebudayaan kepada seseorang individu yang
dimulai segera setelah dilahirkan. Mula-mula ia mengetahui objek-objek diluar
dirinya. Objek ini selalu dipahami menurut nilai kebudayaan di tempat dia
dibesarkan. Bersamaan dengan itu, individu tersebut memperoleh orientasi yang
bersifat ruang, waktu dan normatif. Dengan kata lain, dalam proses enkulturasi ini
seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap
perilakunya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang ada
dalam kebudayaannya.
Enkulturasi atau pembudayaan mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan
sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup
dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan
kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil
menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal
ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup
keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Dalam masyarakat individu belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat
alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya.
Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang
konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsurunsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak.
Sosialisasi adalah proses pewarisan kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan
proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses ini
seorang individu mulai dari masa kanak-kanak, masa dewasa, hingga masa tuanya,
belajar bermacam-macam pola tindakan dalam interaksi dengan semua orang
disekitarnya yang menduduki bermacam-macam status dan peranan sosialnya yang
ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sosisalisasi dikatakan juga sebagai proses pemasyarakatan individu dari masa
kanak-kanak
sampai
dewasa,
berkembang,
berhubungan,
mengenal,
dan
menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Menurut
Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat
baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi
anggota.
Diberbagai kebudayaan, sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama.
Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia
menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang inndividu berlangsung sejak kecil.
Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individulain dalam
lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau
sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan
akhirnya dengan masyarakat luas.
B. PERBEDAAN ENKULTURASI & SOSIALISASI
M.J.Herskovits berpendapat bahwa perbedaan antar enkulturasi dengan sosialisasi
adalah sebagai berikut :
1. Enkulturasi adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak
sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.
2. Sosialisasi adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam
enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya
dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan
proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
C. AGEN-AGEN ENKULTURASI & SOSIALISASI
Dalam proses enkulturasi dan sosialisasi budaya terdapat agen-agen yang berperan,
yaitu orang tua, keluarga, teman, tetangga dan media massa. Jika dilihat lebih
dalam, agen-agen ini mewakili lingkungan budaya individu berkembang. Seperti
yang dijelaskan oleh Brofenbrenner (1979), seorang anak akan berkembang mulai
dari
lingkungan
terkecilnya
(microsystem)
sampai
lingkungan
terluas
(macrosystem).
Bronfenbrenner (1979) percaya bahwa perkembangan manusia itu bersifat dinamis.
Didalamnya terdapat proses interaktif antara individu dengan lingkungannya dalam
beberapa tingkat. Tingkatan ini antara lain:
1. Microsystem
Merupakan lingkungan yang berinteraksi langsung dengan individu, misalnya
keluarga, sekolah, teman dan sebagainya.
2. Mesosystem
Merupakan hubungan antara microsystem dan mesosystem, misalnya antara
sekolah dan keluarga.
3. Exosystem
Merupakan lingkungan yang tidak memiliki efek langsung terhadap individu,
misalnya tempat bekerja orang tua.
4. Macrosystem
Merupakan lingkungan masyarakat, budaya, agama, media massa, media sosial.
Budaya & Orang Tua
Berdasarkan penelitian Mead (1975 dalam Matsumoto & Juang, 2004), pola asuh
orang tua menjadi cara penyaluran budaya yang paling penting dari generasi ke
generasi. Menurut Whiting dan Whiting (1975), ada dua dimensi dalam pola asuh,
yaitu:
1.
Nurturant-Responsible (perilaku perhatian dan berbagi) sampai DependentDominant (mencari bantuan dan dominan)
2.
Sociable-Intimate (perilaku ramah) sampai Authoritarian-Agrresive (perilaku
agrsif)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, orang tua kita memainkan peranan
penting
dalam
perkembangan
seseorang.
Matsumoto
dan
Juang
(2004)
menyebutkan bahwa orang tua memiliki banyak dimensi, yaitu tujuan dan
keyakinan (beliefs) yang mereka miliki untuk anaknya, gaya pengasuhan yang
mereka tunjukkan dan perilaku spesifik yang mereka lakukan untuk mencapai
tujuan tersebut. Tujuan yang dimiliki orang tua dalam perkembangan anak-anaknya
ini didasarkan pada konteks pengasuhan dan perilaku yang dihargai oleh nilai-nilai
budayanya (LeVine, 1977). Misalnya, orangtua di Indonesia umumnya berharap
anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholeha serta penurut kepada orang tua.
Sedangkan orang tua di Botson berharap anaknya dapat lebih aktif dan berinisiatif
terlibat dalam perubahan sosial.
Baumrind (1971) telah mengidentifikasi tiga pola utama orangtua :
a. Authoritarian
Orang tua yang memiki gaya pengasuhan ini biasanya menganggap anak harus
diatur dan patuh.
b. Permissive
Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan ini lebih hangat dan perhatian
terhadap anak-anaknya, namun mereka mengizinkan anak-anaknya untuk
mengatur hidupnya sendiri dan hanya menberikan sedikit arahan.
c. Authoritative
Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan ini bersikap sensitif, namun juga
tegas dan adil serta masuk akal. Mereka menunjukkan kehangatan dan kasih
sayang yang tinggi terhadap anak-anaknya.
Budaya &Keluarga Besar (Extended Family)
Menurut Matsumoto & Juang, 2004, hadirnya extended family dapat
mendukung pengasuhan anak. Misalnya didalam suatu rumah terdapat beberapa
generasi (ada kakek, nenek, ayah, dan ibu). Dalam keluarga seperti ini,
meskipun ibu tampil sebagai pengasuh utama, namun anak juga akan sering
berinteraksi dengan ayah, kakek, nenek, orang tua wali, saudara kandung dan
sepupunya.
Budaya & Teman Sebaya
Margaret Mead (1978) mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya dengan level
pengaruhteman sebaya yang berbeda.
a. Postifigurative
Dimana budaya berubah dengan lambat, sosialisasi dilakukan oleh para orang
tuayang menurunkan pengetahuan mereka kepada anak mereka.
b. Configurative
Dimana budaya berubah lebih cepat. Orang tua masih menurunkan
pengetahuanmereka, tetapi teman sebaya memiliki peran yang lebih besar.
c. Prefigurative
Dimana budaya berubah sangat cepat. Pengetahuan orang tua dianggap tidak
cukupdan orang tua akan meminta anak yang lebih muda untuk memberikan
pengetahuanatau mencari solusi.
Budaya &Pendidikan
1. Perbedaan Lintas Nasional dalam pencapaian di bidang Matematika
Banyak penelitian dari lintas nasional dan lintas budaya yang berfokus pada
prestasi dalambidng matematika. Mempelajari matematika menempati tempat
yang spesial dalammemahami budaya, sosialisasi dan sistem edukasi.
Matematika sangat penting dalammengembangkan sains di masyarakat.
Menurut Stigler dan Baranes (1988), kemampuanmatematika tidak dibentuk
secara logika atas dasar dari stuktur kognitf yang abstrak, tetapilebih tertempa
dari kombinasi pengetahuan dan skill sebelumnya (yang memang
sudahdidapatkan) dan masuknya budaya baru. Berdasarkan hasil penelitian,
nilai rata-rata muriddi Amerika jauh dibawah dibandingkan anak-anak dari
Asia seperti Jepang, Korea dan Cina.Untuk mengetahui penyebab perbedaan
ini, Geary (1996) mengatakan adanya perbedaanantara kemampuan primer
dan sekunder. Kemampuan primer, dimana semua orang berbagikemampuan
matematika yang terbentuk karena adanya proses evolusi. Sedangkan
untukkemampuan sekunder adalah kemampuan yang tidak didapat secara
alami yang sebagianbesar didasari oleh kemampuan primer.
2. Faktor Sosial dan Budaya yang mempengaruhi pencapaian dalam bidang
matematika
Perbedaan lintas nasional dalam pencapaian dalam matematika berhubungan
dengankemampuan sekunder daripada primer, yang menunjukkan bahwa
faktor sosial dan budayamemainkan peran penting dalam perbedaan tersebut.
a. Bahasa
Stingler, Lee dan Setevenson (1986) mengatakan adanya perbedaan
kemampuanmatematika pada anak di Jepang, Cina dan Amerika
dipengaruhi karena adanyaperbedaan fungsi dalam bahasa Cina, Jepang
dan Inggris yang berhubungan denganmenghitung dan angka. Anak
didaerah Asia membuat lebih sedikit kesalahan danlebih baik dalam
memahami konsep dasar matematika yang berhubungan denganberhitung
dan angka.
b. Sistem Sekolah
Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang hal apa yang
dianggappenting. Dengan adanya perbedaan itu, maka sistem edukasi
memperkuatpandangan tertentu tentang kognisi dan intelegensi. Dalam
masyarakat industri,guru dianggap sebagai orang yang memberikan
edukasi, berbeda dengan budayalain dimana untuk pendidikan formal
maka dibentuk sebuah kelompok kecil yangdipimpin oleh orang yang
lebih tua dan di budaya lain merupakan tugas bagi sebuahkeluarga.
c. Gaya guru mengajar dan hubungan antara murid dan guru
Perbedaan penggunaan ruang kelas dapat menjelaskan beberapa
perbedankemampuan matematika. Contohnya di Jepang, anak-anak lebih
banyakmenghabiskan waktu dikelas untuk belajar ditemani oleh gurunya
daripada anak-anakdi Amerika yang jumlah waktu belajarnya lebih
sedikit dan tanpa pengawasandari gurunya. Yang menajdi sorotan dalam
pembelajaran ini dimana hadir setiap haridalam hubungannya dengan
gaya pengajaran, ekspektasi dan sikap sebenarnyamungkin dapat
menjelaskan mengapa adanya perbedaan ini.
Agama
Lembaga kegamaan membantu dalam membuat aturan tentang sikap,
mempersiapkan anakuntuk peran yang akan mereka mainkan sebagai laki-laki
maupun perempuan dan membantuorang untuk membentuk identitas dirinya.
Selain itu, komunitas keagamaan juga memberidukungan dalam perkembangan
anak, menumbuhkan rasa memiliki dan penegasaan ataspenghargaan diri.
Agama
merupakan
pengalaman
manusia
yang
dapat
memberikan
bimbingan,struktur dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam
berbagai aspek. Contohnya,keluarga yang tinggal di Inggris menggunakan
agama dan praktik keagamaan dalam kehiudapansehari-hari untuk meneruskan
nilai-nilai dan bahasa budaya mereka kepada anak mereka Agamamemegang
peran
penting
dalam
perkembangan
dan
mempertahankan
identitas
personalmereka.
D. BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGANNYA
Berikut akan dibahas mengenai perbedaan-perbedaan psikologis yang terjadi
antar negara selama proses perkembangan individu sejak kecil hingga dewasa.
Budaya dan Temperamen
Temperamen adalah dasar biologis dalam berinteraksi dengan dunia sejak lahir.
Thomas
danChess
temperament yaitu:
(1977)
mendeskripsikan
tiga
kategori
utama
dari
1. Eassy Temperament, yaitu temperament yang sangat menyenangkan, mudah
beradaptasi dan memiliki perilaku yang positif dan responsif.
2. Difficult Temperament, yaitu temperamen yang bersemangat, tidak biasa,
menghindar dan ditandai dengan mood yanh negatif.
3. Slow To Warm Up Temperament, yaitu temperamen yang membutuhkan
waktu untuk melakukan transisi antara aktivitas dan pengalaman. Walaupun
pada awalnya mereka mungkin menghindar dan berespon secara negatif,
namun lama-kelamaan mereka akan beradaptasi dan berespon dengan lebih
positif.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan gaya temperamental pada
anak-anak yang berbeda budaya. Misalnya, penelitian di suku massai Afrika (de
Vries, 1984, 1987, 1989) menunjukkan difficult temperamen adalah modal
untuk bertahan hidup di massai karena anak dengan temperamen seperti ini lebih
berani dan tidak peduli, sehingga bisa lebih banyak mendapatkan makanan dan
sumber-sumber kehidupan lainnya. Sementara difficult temperament di AS
justru dinilai negatif karena dianggap hanya menyulitkan orang lain, dan ti AS
tidak pernah ada masalah keterbatasan sumber kehidupan. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan budaya dalam menilai tipe-tipe gaya temperamental yang
dimiliki individu.
Budaya dan Kelekatan
Kelekatan adalah ikatan khusus yang terbangun antara bayi dengan pengasuh
utamanya (Matsumoto & Juang, 2004). Berdasarkan teori Bowlby (1969) anak
memiliki bawaan untuk lekat dengan pengasuh utamanya. Hal ini merupakan
salah satu strategi agar anak dapat bertahan hidup, dimana bayi memiliki
kesempatan bertahan hidup yang lebih besar apabila ia dekat dengan ibu atau
pengasuh yang dapat memberikan kenyamanan dan perlindungan. Dikala ibu
tidak dapat sepenuhnya berfungsi sebagai pengasuh anak, maka pengasuhan
anak bisa diserahkan kepada orang lain, seperti nenek atau anggota keluarga
yang lain. Dalam hal ini, anak akan lebih dekat kepada pengasuh yang bukan
ibunya sendiri ketimbang kepada ibunya.
Ainsworth (1963, 1967,1982) menambahkan mengenai pengelompokkan sistem
kelekatan, yaitu:
1. Secure Attachment, cenderung akan mengalami stress saat ditinggal oleh
orang tuanya namun ia akan langsung senag apabila orang tuanya kembali.
2. Ambivalent Attachment, cenderung akan mengalami stress saat ditinggal
orang tuanya, namun saat orangtua pulang ia akan menunjukkan perasaan
senang dan juga marah.
3. Avoidant Attachment, tampak tenang (tidak stress) saat orang tuanya pergi
meninggalkannya. Ia juga tidak menunjukkan perilaku mencari perhatian
atas peristiwa tersebut.
Ketiga sistem kelekatan ini berkembang di tengah masyarakat di seluruh dunia.
Di AS, secure attachment dianggap sebagai sistem kelekatan yang paling ideal,
namun di Jerman sistem ini dianggap sebagai manja. Hal ini sekali lagi
menunjukkan sistem kelekatan pun sangat bergantung pada konteks budaya di
masing-masing negara. Crittenden & Clausen (2000) kemudian menyarankan
untuk mengganti penggunaan istilah secur dan insecure dengan istilah adaptive
dan maladaptive untuk menilai sistem kelekatan seseorang. Kelekatan yang
adaptif adalah hubungan yang menyediakan tingkat keamanan yang tinggi bagi
anak dalam konteks budaya spesifik. Definisi ini membuat kita dapat
mengartikan bahwa hubungan yang optimal antara bayi dan pengasuhnya dapat
tercapai dengan berbagai cara, dalam keadaaan yang berbeda-beda, dan juga
budaya yang berbeda.
Budaya dan Perkembangan Kognitif
Dalam teori Piaget (1951) perkembangan kognitif anak terbagi ke dalam empat
tahap, yaitu:
1. Sensorimotor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini bayi mulai mengenal dunia melalui panca indera (sensori)
dan gerak tubuhnya (motorik). Dalam tahap ini bayi sepenuhnya egosentris,
artinya belum mampu melihat dunia daro sudut pandang orang lain. Bayi
mulai mengembangkan kebiasaan motorik tertentu (misal menghisap
jempol), memperhatikan objek-objek disekitarnya, memanipulasi objekobjek disekitarnya dan mengetahui bahwa objek itu saling berhubungan
(skemata)
2. Preoperational (usia 2-6/7 tahun)
Pada tahap ini, skema dimasukkan ke dalam memori, ahu hubungan sebab
akibat, keterampilan motorik berkembang (berlari, menendang, makan),
egosentrisme mulai berkurang. Dalam tahap ini anak belum bisa
menggunakan logika.
3. Concrete Operational (usia 6/7 -11 tahun)
Pada tahap ini anak mulai bisa berpikir logis, tetapi logikanya masih belum
terfokus dan memerlukan alat bantu. Misalnya menghitung dengan jari, bisa
menambahkan dan mengurangkan. Egosentrisme sudah hilang.
4. Formal Operational (usia 11 tahun ke atas)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis sehingga
mampu melakukan kalkulasi matematika atau mengevaluasi data dengan
mudah.
Tahapan perkembanga kognitif ini tidak seragam di seluruh budaya. Orangorang yang tidak pernah bersekolah atau kuliah menunjukkanperforma yang
buruk pada tugas-tugas formal operation (Laurendeau-Bendavid, 1977 ; Shea,
1985). Penemuan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa tugas-tugas
Piagetian bergantung pada pengetahuan yang pernah didapat dan nilai-nilai
budaya dibandingkan sekedar kemampuan kognitif (Matsumoto & Juang, 2004)
Penalaran Moral
Area lain yang juga penting dalam perkembangan individu untuk menjadi orang
dewasa yang memiliki keberfungsian baik di dalam masyarakat dan budaya
adalah penilaian dan penalaran moral. Seiring dengan pertumbuhannya, seorang
anak berkembang menjadi lebih komplek, dalam memahai dunia. Perubahan
kognitif yang dialami oleh anak juga akan mengubah penalaran moralnya
(Matsumoto & Juang, 2004).
Moralitas dan budaya memiliki hubungan yang dekat. Prinsip-prisip moral dan
etika
memberikan
panduan
bagi
individu
dalam
berperilaku
dengan
mempertimbangkan kepantasan dari perilaku tersebut. Panduan ini merupakan
hasil dari budaya dan masyarakat, diwariskan dari generasi satu ke generasi
lainnya. Berikut Kohlberg (1976, 1984) menjelaskan mengenai tahapan
perkembangan moral berdasarkan kemampuan berpikir (kognitif):
1. Tingkat 1 (Pre Conventional)
Pada tahapan ini, anak berusaha mematahi aturan-aturan yang berlaku untuk
menghindari hukuman dan memperoleh reward. Fokus tahapan ini adalah
pada pembenaran perilaku, apakah perilaku tersebut benar atau tidak?
2. Tingkat 2 (Conventional)
Di tingkat ini, anak mencoba untuk menuruti peraturan yang berlaku sesuai
dengan kesepakatan dengan orang lain maupun masyarakat. Seseorang pada
tahapan ini akan menilai pencurian sebagai sebuah tindakan yang salah,
karena itu bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai
masyarakat.
3. Tingkat 3 (Post Conventional)
Pada tahapan ini, penalaran moral yang dilakukan sudah mengacu pada
prinsip-prinsip dan kesadaran individual. Seseorang yang berada pada
tahapan ini akan menilai perilaku mencuri sesuai dengan konteks masyarakat
atau komunitas atau nila-nilai moral pribadi yang dimiliki, yang mana juga
diterima oleh masyarakat sekitar (prinsip hati nurani).
BAB III
PENUTUP
Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, budaya adalah suatu konstruk psikologis.
Konsep tersebut mengacu pada sejauh mana sekelompok orang secara bersama-sama
menganut serangkaian sikap, nilai, keyakinan dan perilaku. Budaya disampaikan dari
generasi ke generasi berikutnya melalui bahasa dan pengamatan dalam proses
enkulturasi dan sosialisasi. Dengan demikian budaya, adalah suatu entitas fungsional
yang tak terlihat dan hanya bisa disimpulkan dari observasi atas perilaku manusia.
Budaya tidak sama dengan ras. Menjadi orang Afrika, Asia ataupun ras manapun tidak
secara otomatis membuat kita terkait dengan suatu budaya tertentu. Budaya juga bukan
kebangsaan. Menjadi warga negara AS, Perancis atau Cina tidak secara otomatis berarti
kita menganut budaya tersebut. Budaya bukan pula tempat kelahiran, terlahir di Kanada,
Meksiko atau Mesir tidak lantas berarti bahwa seseorang merupakan anggota budaya
negara tersebut.
Seiring dengan semakin bertambahnya pengetahuan kita tentang pengaruh budaya pada
perilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain diseluruh dunia,
kita menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui perilaku. Dengan
meningkatnya pemahamankita tentang perwujudan-perwujudan ini, kita akan semakin
menghargai pentingnya peran budaya, tidak hanya dalam memberi kita rambu-rambu
dalam hidup, tapi juga dalam membantu kita menemukan jalan untuk bertahan hidup.
Kenyataannya budaya menyediakan bagi kita aturan-aturan yang memastikan
berlangsungnya hidup dengan asumsi bahwa sumber daya hidup masih tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset
Sarwono, Sarlito W. 2014. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
L, Siany., Atiek Catur B. 2009. Khazanah Antropologi 1: Untuk Kelas XI SMA dan
MA. Jakarta: Depdiknas
Zafi, Ashif Az. 2017. Transformasi
Budaya Melalui
Lembaga Pendidikan
(Pembudayaan Dalam Pembentukan Karakter). Yogyakarta : Sosiohumaniora - Vol.3
No.2 Agustus - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Kodiran. 2004. Pewarisan Budaya dan Kepribadian. Yogyakarta : Humaniora Vol.16
No.1 Februari – Universitas Gajah Mada
Download