MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA ENKULTURASI, SOSIALISASI DAN BUDAYA SERTA PROSES PERKEMBANGANNYA Oleh : AMERIA MONALISA 21860225298 FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PROGRAM MAGISTER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2018 BAB I PENDAHULUAN Dalam buku Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Barnouw, mendefinisikan konsep kebudayaan sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimikiki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain. Di dalam masyarakat kebudayaan berfungsi sebagai pedoman hidup yang mengatur tingkah laku individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam wujud kebudayaan yang bersifat abstrak terdapat berbagai macam aturan norma sosial yang harus diterima oleh individu yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya, kebudayaan yang bersifat abstrak berbentuk norma dan nilai-nilai adat tersebut diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses belajar kebudayaan. Di dalam masyarakat unsur kebudayaan diwariskan secara turun-temurun yang membutuhkan waktu dalam proses pewarisannya. Dalam antropologi pewarisan nilainilai budaya diidentikkan dengan proses belajar karena manusia akan belajar menerima unsur-unsur budaya yang lama dan belajar untuk menyeleksi unsur kebudayaan yang tepat bagi kehidupannya. Dengan demikian, pengetahuan pewarisan budaya adalah proses belajar kebudayaan yang berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Dalam masyarakat tradisional dan modern tidak terdapat perbedaan yang mendasar dalam proses pewarisan atau belajar kebudayaan karena setiap manusia akan mengalami proses belajar kebudayaannya sendiri yang diajarkan secara turun-temurun. Misalnya, anak-anak akan belajar bagaimana cara makan dengan benar, memegang sendok yang benar, berbicara dengan sopan, dan bergaul dengan orang lain dengan wajar. Dalam masyarakat pedesaan peran keluarga sangat penting dan menjadi inti pembentukan perilaku individu. Ibu dan ayah adalah orang yang pertama kali mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara bersalaman dan mencium tangan orang yang lebih tua dan bagaimana cara melakukan ritual keagamaan. Dalam masyarakat perkotaan kecenderungan tersebut semakin jarang terjadi karena kedua orang tua sibuk bekerja sehingga yang mengajarkan pada anak bersosialisasi dengan kehidupannya adalah pengasuh anak atau anggota keluarga yang lain. Proses pewarisan budaya antargenerasi tersebut dilakukan melalui proses sosialisasi dan enkulturasi dalam keluarga dan masyarakat. BAB II PEMBAHASAN A. TRANSMISI BUDAYA MELALUI PROSES ENKULTURASI & SOSIALISASI Kebudayaan sebagai nilai-nilai yangdihayati ataupun ide yang di yakinitersebut bukanlah ciptaan sendiri darisetiap individu yang menghayati danmeyakini, semuanya itu di peroleh melaluiproses belajar. Proses belajar merupakancara untuk mewariskan nilai-nilai tersebutdari generasike generasi. Pewarisantersebut di kenal dengan proses sosialisasiatau enkulturasi (proses pembudayaan). Enkulturasi adalah proses penerusan kebudayaan kepada seseorang individu yang dimulai segera setelah dilahirkan. Mula-mula ia mengetahui objek-objek diluar dirinya. Objek ini selalu dipahami menurut nilai kebudayaan di tempat dia dibesarkan. Bersamaan dengan itu, individu tersebut memperoleh orientasi yang bersifat ruang, waktu dan normatif. Dengan kata lain, dalam proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap perilakunya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang ada dalam kebudayaannya. Enkulturasi atau pembudayaan mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat. Dalam masyarakat individu belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsurunsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak. Sosialisasi adalah proses pewarisan kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses ini seorang individu mulai dari masa kanak-kanak, masa dewasa, hingga masa tuanya, belajar bermacam-macam pola tindakan dalam interaksi dengan semua orang disekitarnya yang menduduki bermacam-macam status dan peranan sosialnya yang ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sosisalisasi dikatakan juga sebagai proses pemasyarakatan individu dari masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota. Diberbagai kebudayaan, sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang inndividu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individulain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas. B. PERBEDAAN ENKULTURASI & SOSIALISASI M.J.Herskovits berpendapat bahwa perbedaan antar enkulturasi dengan sosialisasi adalah sebagai berikut : 1. Enkulturasi adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. 2. Sosialisasi adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya. Secara singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. C. AGEN-AGEN ENKULTURASI & SOSIALISASI Dalam proses enkulturasi dan sosialisasi budaya terdapat agen-agen yang berperan, yaitu orang tua, keluarga, teman, tetangga dan media massa. Jika dilihat lebih dalam, agen-agen ini mewakili lingkungan budaya individu berkembang. Seperti yang dijelaskan oleh Brofenbrenner (1979), seorang anak akan berkembang mulai dari lingkungan terkecilnya (microsystem) sampai lingkungan terluas (macrosystem). Bronfenbrenner (1979) percaya bahwa perkembangan manusia itu bersifat dinamis. Didalamnya terdapat proses interaktif antara individu dengan lingkungannya dalam beberapa tingkat. Tingkatan ini antara lain: 1. Microsystem Merupakan lingkungan yang berinteraksi langsung dengan individu, misalnya keluarga, sekolah, teman dan sebagainya. 2. Mesosystem Merupakan hubungan antara microsystem dan mesosystem, misalnya antara sekolah dan keluarga. 3. Exosystem Merupakan lingkungan yang tidak memiliki efek langsung terhadap individu, misalnya tempat bekerja orang tua. 4. Macrosystem Merupakan lingkungan masyarakat, budaya, agama, media massa, media sosial. Budaya & Orang Tua Berdasarkan penelitian Mead (1975 dalam Matsumoto & Juang, 2004), pola asuh orang tua menjadi cara penyaluran budaya yang paling penting dari generasi ke generasi. Menurut Whiting dan Whiting (1975), ada dua dimensi dalam pola asuh, yaitu: 1. Nurturant-Responsible (perilaku perhatian dan berbagi) sampai DependentDominant (mencari bantuan dan dominan) 2. Sociable-Intimate (perilaku ramah) sampai Authoritarian-Agrresive (perilaku agrsif) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, orang tua kita memainkan peranan penting dalam perkembangan seseorang. Matsumoto dan Juang (2004) menyebutkan bahwa orang tua memiliki banyak dimensi, yaitu tujuan dan keyakinan (beliefs) yang mereka miliki untuk anaknya, gaya pengasuhan yang mereka tunjukkan dan perilaku spesifik yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang dimiliki orang tua dalam perkembangan anak-anaknya ini didasarkan pada konteks pengasuhan dan perilaku yang dihargai oleh nilai-nilai budayanya (LeVine, 1977). Misalnya, orangtua di Indonesia umumnya berharap anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholeha serta penurut kepada orang tua. Sedangkan orang tua di Botson berharap anaknya dapat lebih aktif dan berinisiatif terlibat dalam perubahan sosial. Baumrind (1971) telah mengidentifikasi tiga pola utama orangtua : a. Authoritarian Orang tua yang memiki gaya pengasuhan ini biasanya menganggap anak harus diatur dan patuh. b. Permissive Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan ini lebih hangat dan perhatian terhadap anak-anaknya, namun mereka mengizinkan anak-anaknya untuk mengatur hidupnya sendiri dan hanya menberikan sedikit arahan. c. Authoritative Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan ini bersikap sensitif, namun juga tegas dan adil serta masuk akal. Mereka menunjukkan kehangatan dan kasih sayang yang tinggi terhadap anak-anaknya. Budaya &Keluarga Besar (Extended Family) Menurut Matsumoto & Juang, 2004, hadirnya extended family dapat mendukung pengasuhan anak. Misalnya didalam suatu rumah terdapat beberapa generasi (ada kakek, nenek, ayah, dan ibu). Dalam keluarga seperti ini, meskipun ibu tampil sebagai pengasuh utama, namun anak juga akan sering berinteraksi dengan ayah, kakek, nenek, orang tua wali, saudara kandung dan sepupunya. Budaya & Teman Sebaya Margaret Mead (1978) mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya dengan level pengaruhteman sebaya yang berbeda. a. Postifigurative Dimana budaya berubah dengan lambat, sosialisasi dilakukan oleh para orang tuayang menurunkan pengetahuan mereka kepada anak mereka. b. Configurative Dimana budaya berubah lebih cepat. Orang tua masih menurunkan pengetahuanmereka, tetapi teman sebaya memiliki peran yang lebih besar. c. Prefigurative Dimana budaya berubah sangat cepat. Pengetahuan orang tua dianggap tidak cukupdan orang tua akan meminta anak yang lebih muda untuk memberikan pengetahuanatau mencari solusi. Budaya &Pendidikan 1. Perbedaan Lintas Nasional dalam pencapaian di bidang Matematika Banyak penelitian dari lintas nasional dan lintas budaya yang berfokus pada prestasi dalambidng matematika. Mempelajari matematika menempati tempat yang spesial dalammemahami budaya, sosialisasi dan sistem edukasi. Matematika sangat penting dalammengembangkan sains di masyarakat. Menurut Stigler dan Baranes (1988), kemampuanmatematika tidak dibentuk secara logika atas dasar dari stuktur kognitf yang abstrak, tetapilebih tertempa dari kombinasi pengetahuan dan skill sebelumnya (yang memang sudahdidapatkan) dan masuknya budaya baru. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata muriddi Amerika jauh dibawah dibandingkan anak-anak dari Asia seperti Jepang, Korea dan Cina.Untuk mengetahui penyebab perbedaan ini, Geary (1996) mengatakan adanya perbedaanantara kemampuan primer dan sekunder. Kemampuan primer, dimana semua orang berbagikemampuan matematika yang terbentuk karena adanya proses evolusi. Sedangkan untukkemampuan sekunder adalah kemampuan yang tidak didapat secara alami yang sebagianbesar didasari oleh kemampuan primer. 2. Faktor Sosial dan Budaya yang mempengaruhi pencapaian dalam bidang matematika Perbedaan lintas nasional dalam pencapaian dalam matematika berhubungan dengankemampuan sekunder daripada primer, yang menunjukkan bahwa faktor sosial dan budayamemainkan peran penting dalam perbedaan tersebut. a. Bahasa Stingler, Lee dan Setevenson (1986) mengatakan adanya perbedaan kemampuanmatematika pada anak di Jepang, Cina dan Amerika dipengaruhi karena adanyaperbedaan fungsi dalam bahasa Cina, Jepang dan Inggris yang berhubungan denganmenghitung dan angka. Anak didaerah Asia membuat lebih sedikit kesalahan danlebih baik dalam memahami konsep dasar matematika yang berhubungan denganberhitung dan angka. b. Sistem Sekolah Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang hal apa yang dianggappenting. Dengan adanya perbedaan itu, maka sistem edukasi memperkuatpandangan tertentu tentang kognisi dan intelegensi. Dalam masyarakat industri,guru dianggap sebagai orang yang memberikan edukasi, berbeda dengan budayalain dimana untuk pendidikan formal maka dibentuk sebuah kelompok kecil yangdipimpin oleh orang yang lebih tua dan di budaya lain merupakan tugas bagi sebuahkeluarga. c. Gaya guru mengajar dan hubungan antara murid dan guru Perbedaan penggunaan ruang kelas dapat menjelaskan beberapa perbedankemampuan matematika. Contohnya di Jepang, anak-anak lebih banyakmenghabiskan waktu dikelas untuk belajar ditemani oleh gurunya daripada anak-anakdi Amerika yang jumlah waktu belajarnya lebih sedikit dan tanpa pengawasandari gurunya. Yang menajdi sorotan dalam pembelajaran ini dimana hadir setiap haridalam hubungannya dengan gaya pengajaran, ekspektasi dan sikap sebenarnyamungkin dapat menjelaskan mengapa adanya perbedaan ini. Agama Lembaga kegamaan membantu dalam membuat aturan tentang sikap, mempersiapkan anakuntuk peran yang akan mereka mainkan sebagai laki-laki maupun perempuan dan membantuorang untuk membentuk identitas dirinya. Selain itu, komunitas keagamaan juga memberidukungan dalam perkembangan anak, menumbuhkan rasa memiliki dan penegasaan ataspenghargaan diri. Agama merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan,struktur dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek. Contohnya,keluarga yang tinggal di Inggris menggunakan agama dan praktik keagamaan dalam kehiudapansehari-hari untuk meneruskan nilai-nilai dan bahasa budaya mereka kepada anak mereka Agamamemegang peran penting dalam perkembangan dan mempertahankan identitas personalmereka. D. BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGANNYA Berikut akan dibahas mengenai perbedaan-perbedaan psikologis yang terjadi antar negara selama proses perkembangan individu sejak kecil hingga dewasa. Budaya dan Temperamen Temperamen adalah dasar biologis dalam berinteraksi dengan dunia sejak lahir. Thomas danChess temperament yaitu: (1977) mendeskripsikan tiga kategori utama dari 1. Eassy Temperament, yaitu temperament yang sangat menyenangkan, mudah beradaptasi dan memiliki perilaku yang positif dan responsif. 2. Difficult Temperament, yaitu temperamen yang bersemangat, tidak biasa, menghindar dan ditandai dengan mood yanh negatif. 3. Slow To Warm Up Temperament, yaitu temperamen yang membutuhkan waktu untuk melakukan transisi antara aktivitas dan pengalaman. Walaupun pada awalnya mereka mungkin menghindar dan berespon secara negatif, namun lama-kelamaan mereka akan beradaptasi dan berespon dengan lebih positif. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan gaya temperamental pada anak-anak yang berbeda budaya. Misalnya, penelitian di suku massai Afrika (de Vries, 1984, 1987, 1989) menunjukkan difficult temperamen adalah modal untuk bertahan hidup di massai karena anak dengan temperamen seperti ini lebih berani dan tidak peduli, sehingga bisa lebih banyak mendapatkan makanan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Sementara difficult temperament di AS justru dinilai negatif karena dianggap hanya menyulitkan orang lain, dan ti AS tidak pernah ada masalah keterbatasan sumber kehidupan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan budaya dalam menilai tipe-tipe gaya temperamental yang dimiliki individu. Budaya dan Kelekatan Kelekatan adalah ikatan khusus yang terbangun antara bayi dengan pengasuh utamanya (Matsumoto & Juang, 2004). Berdasarkan teori Bowlby (1969) anak memiliki bawaan untuk lekat dengan pengasuh utamanya. Hal ini merupakan salah satu strategi agar anak dapat bertahan hidup, dimana bayi memiliki kesempatan bertahan hidup yang lebih besar apabila ia dekat dengan ibu atau pengasuh yang dapat memberikan kenyamanan dan perlindungan. Dikala ibu tidak dapat sepenuhnya berfungsi sebagai pengasuh anak, maka pengasuhan anak bisa diserahkan kepada orang lain, seperti nenek atau anggota keluarga yang lain. Dalam hal ini, anak akan lebih dekat kepada pengasuh yang bukan ibunya sendiri ketimbang kepada ibunya. Ainsworth (1963, 1967,1982) menambahkan mengenai pengelompokkan sistem kelekatan, yaitu: 1. Secure Attachment, cenderung akan mengalami stress saat ditinggal oleh orang tuanya namun ia akan langsung senag apabila orang tuanya kembali. 2. Ambivalent Attachment, cenderung akan mengalami stress saat ditinggal orang tuanya, namun saat orangtua pulang ia akan menunjukkan perasaan senang dan juga marah. 3. Avoidant Attachment, tampak tenang (tidak stress) saat orang tuanya pergi meninggalkannya. Ia juga tidak menunjukkan perilaku mencari perhatian atas peristiwa tersebut. Ketiga sistem kelekatan ini berkembang di tengah masyarakat di seluruh dunia. Di AS, secure attachment dianggap sebagai sistem kelekatan yang paling ideal, namun di Jerman sistem ini dianggap sebagai manja. Hal ini sekali lagi menunjukkan sistem kelekatan pun sangat bergantung pada konteks budaya di masing-masing negara. Crittenden & Clausen (2000) kemudian menyarankan untuk mengganti penggunaan istilah secur dan insecure dengan istilah adaptive dan maladaptive untuk menilai sistem kelekatan seseorang. Kelekatan yang adaptif adalah hubungan yang menyediakan tingkat keamanan yang tinggi bagi anak dalam konteks budaya spesifik. Definisi ini membuat kita dapat mengartikan bahwa hubungan yang optimal antara bayi dan pengasuhnya dapat tercapai dengan berbagai cara, dalam keadaaan yang berbeda-beda, dan juga budaya yang berbeda. Budaya dan Perkembangan Kognitif Dalam teori Piaget (1951) perkembangan kognitif anak terbagi ke dalam empat tahap, yaitu: 1. Sensorimotor (usia 0-2 tahun) Dalam tahap ini bayi mulai mengenal dunia melalui panca indera (sensori) dan gerak tubuhnya (motorik). Dalam tahap ini bayi sepenuhnya egosentris, artinya belum mampu melihat dunia daro sudut pandang orang lain. Bayi mulai mengembangkan kebiasaan motorik tertentu (misal menghisap jempol), memperhatikan objek-objek disekitarnya, memanipulasi objekobjek disekitarnya dan mengetahui bahwa objek itu saling berhubungan (skemata) 2. Preoperational (usia 2-6/7 tahun) Pada tahap ini, skema dimasukkan ke dalam memori, ahu hubungan sebab akibat, keterampilan motorik berkembang (berlari, menendang, makan), egosentrisme mulai berkurang. Dalam tahap ini anak belum bisa menggunakan logika. 3. Concrete Operational (usia 6/7 -11 tahun) Pada tahap ini anak mulai bisa berpikir logis, tetapi logikanya masih belum terfokus dan memerlukan alat bantu. Misalnya menghitung dengan jari, bisa menambahkan dan mengurangkan. Egosentrisme sudah hilang. 4. Formal Operational (usia 11 tahun ke atas) Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis sehingga mampu melakukan kalkulasi matematika atau mengevaluasi data dengan mudah. Tahapan perkembanga kognitif ini tidak seragam di seluruh budaya. Orangorang yang tidak pernah bersekolah atau kuliah menunjukkanperforma yang buruk pada tugas-tugas formal operation (Laurendeau-Bendavid, 1977 ; Shea, 1985). Penemuan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa tugas-tugas Piagetian bergantung pada pengetahuan yang pernah didapat dan nilai-nilai budaya dibandingkan sekedar kemampuan kognitif (Matsumoto & Juang, 2004) Penalaran Moral Area lain yang juga penting dalam perkembangan individu untuk menjadi orang dewasa yang memiliki keberfungsian baik di dalam masyarakat dan budaya adalah penilaian dan penalaran moral. Seiring dengan pertumbuhannya, seorang anak berkembang menjadi lebih komplek, dalam memahai dunia. Perubahan kognitif yang dialami oleh anak juga akan mengubah penalaran moralnya (Matsumoto & Juang, 2004). Moralitas dan budaya memiliki hubungan yang dekat. Prinsip-prisip moral dan etika memberikan panduan bagi individu dalam berperilaku dengan mempertimbangkan kepantasan dari perilaku tersebut. Panduan ini merupakan hasil dari budaya dan masyarakat, diwariskan dari generasi satu ke generasi lainnya. Berikut Kohlberg (1976, 1984) menjelaskan mengenai tahapan perkembangan moral berdasarkan kemampuan berpikir (kognitif): 1. Tingkat 1 (Pre Conventional) Pada tahapan ini, anak berusaha mematahi aturan-aturan yang berlaku untuk menghindari hukuman dan memperoleh reward. Fokus tahapan ini adalah pada pembenaran perilaku, apakah perilaku tersebut benar atau tidak? 2. Tingkat 2 (Conventional) Di tingkat ini, anak mencoba untuk menuruti peraturan yang berlaku sesuai dengan kesepakatan dengan orang lain maupun masyarakat. Seseorang pada tahapan ini akan menilai pencurian sebagai sebuah tindakan yang salah, karena itu bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. 3. Tingkat 3 (Post Conventional) Pada tahapan ini, penalaran moral yang dilakukan sudah mengacu pada prinsip-prinsip dan kesadaran individual. Seseorang yang berada pada tahapan ini akan menilai perilaku mencuri sesuai dengan konteks masyarakat atau komunitas atau nila-nilai moral pribadi yang dimiliki, yang mana juga diterima oleh masyarakat sekitar (prinsip hati nurani). BAB III PENUTUP Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, budaya adalah suatu konstruk psikologis. Konsep tersebut mengacu pada sejauh mana sekelompok orang secara bersama-sama menganut serangkaian sikap, nilai, keyakinan dan perilaku. Budaya disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya melalui bahasa dan pengamatan dalam proses enkulturasi dan sosialisasi. Dengan demikian budaya, adalah suatu entitas fungsional yang tak terlihat dan hanya bisa disimpulkan dari observasi atas perilaku manusia. Budaya tidak sama dengan ras. Menjadi orang Afrika, Asia ataupun ras manapun tidak secara otomatis membuat kita terkait dengan suatu budaya tertentu. Budaya juga bukan kebangsaan. Menjadi warga negara AS, Perancis atau Cina tidak secara otomatis berarti kita menganut budaya tersebut. Budaya bukan pula tempat kelahiran, terlahir di Kanada, Meksiko atau Mesir tidak lantas berarti bahwa seseorang merupakan anggota budaya negara tersebut. Seiring dengan semakin bertambahnya pengetahuan kita tentang pengaruh budaya pada perilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain diseluruh dunia, kita menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui perilaku. Dengan meningkatnya pemahamankita tentang perwujudan-perwujudan ini, kita akan semakin menghargai pentingnya peran budaya, tidak hanya dalam memberi kita rambu-rambu dalam hidup, tapi juga dalam membantu kita menemukan jalan untuk bertahan hidup. Kenyataannya budaya menyediakan bagi kita aturan-aturan yang memastikan berlangsungnya hidup dengan asumsi bahwa sumber daya hidup masih tersedia. DAFTAR PUSTAKA Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Sarwono, Sarlito W. 2014. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada L, Siany., Atiek Catur B. 2009. Khazanah Antropologi 1: Untuk Kelas XI SMA dan MA. Jakarta: Depdiknas Zafi, Ashif Az. 2017. Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan (Pembudayaan Dalam Pembentukan Karakter). Yogyakarta : Sosiohumaniora - Vol.3 No.2 Agustus - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Kodiran. 2004. Pewarisan Budaya dan Kepribadian. Yogyakarta : Humaniora Vol.16 No.1 Februari – Universitas Gajah Mada