Uploaded by User31881

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA 1A EMULSI (1)

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA 1A
EMULSI
DISUSUN OLEH
Kelompok C-5
10060310109
Tara Verina
10060310110
Arini Sakinah
10060310111
Faza Shalihah N
10060310112
Nur Amanah
10060310113
Bentar Ali B
10060310114
Dadi Setiawan
10060309017
Laduna Aniq
Iin Indrayani, S.Farm
Tgl. Praktikum
: 20 Maret 2013
Tgl. Pengumpulan
: 1 April 2013
LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT B
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2013
I.
II.
Tujuan Percobaan

Mengetahui dan memahami cara pembuatan emulsi yang baik.

Mengetahui formulasi sediaan emulsi yang baik dan stabil.
Teori Dasar
Emulsi (emulsion) adalah suatu sistem koloid yang fase terdispersi dan
medium pendispersinya berupa cairan yang tidak dapat bercampur. Misalnya
benzena dalam air, minyak dalam air, dan air susu. Mengingat kedua fase tidak
dapat bercampur, keduanya akan segera memisah. Untuk menjaga agar emulsi
tersebut mantap atau stabil, perlu ditambahkan zat ketiga yang disebut emulgator
atau zat pengemulsi (emulsifying agent). (Sumardjo, 547).
Emulsi dibuat untuk mendapatkan preparat atau sediaan yang stabil dan
merata atau homogen dari campuran dua cairan yang saling tidak bisa bercampur.
Tujuan pemakaian emulsi adalah:
1. Untuk dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral. Umumnya tipe emulsi tipe
O/W.
2. Untuk dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O, tergantung
pada banyak faktor, misalnya sifat atau efek terapi yang dikehendaki.
(Syamsuni, 129).
Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di sekeliling
butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar mencegah terjadinya
koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah. (Anief, 132).
Syarat emulgator adalah molekul-molekulnya mempunyai afinitas terhadap
kedua cairan yang membentuk emulsi. Daya afinitasnya harus parsial atau tidak
sama terhadap kedua cairan tersebut. Salah satu ujung emulgator larut dalam cairan
yang satu, sedangkan ujung yang lain hanya membentuk lapisan tipis (selapis
molekul) di sekeliling atau di atas permukaan cairan yang lain. (Sumardjo, 547).
Beberapa zat pengemulsi yang sering digunakan adalah gelatin, gom akasia,
tragakan, sabun, senyawa amonium kwartener, senyawa kolesterol, surfaktan, atau
emulgator lain yang cocok. Untuk mempertinggi kestabilan dapat ditambahkan zat
pengental, misalnya tragakan, tilosa, natrium karboksimetilselulosa. (Depkes RI, 9)
Tipe emulsi ada dua, yaitu oil in water (O/W) atau minyak dalam air (M/A),
dan water in oil (W/O). Emulsi tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (minyak dalam
air) adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar atau terdispersi ke
dalam air. Minyak sebagai fase internal dan air sebagai fase eksternal. Emulsi tipe
W/O (Water in Oil) atau M/A (air dalam minyak), adalah emulsi yang terdiri dari
butiran air yang tersebar atau terdispersi ke dalam minyak. Air sebagai fase internal
dan minyak sebagai fase eksternal. Terdapat dua macam komponen emulsi:
1. Komponen dasar, yaitu bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat di dalam
emulsi, terdiri atas:
a. Fase dispers/ fase internal/ fase diskontinu/ fase terdispersi/ fase dalam, yaitu
zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil di dalam zat cair lain.
b. Fase eksternal/ fase kontinu/ fase pendispersi/ fase luar, yaitu zat cair dalam
emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar (bahan pendukung) emulsi
tersebut.
c. Emulgator, adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk menstabilkan
emulsi.
2. Komponen tambahan, adalah bahan tambahan yang sering ditambahakan ke
dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen
saporis, odoris, colouris, pengawet (preservative), dan antioksidan. (Syamsuni,
119).
Dari emulsi yang paling baik, dapat diperoleh campuran surfaktan mana
yang paling baik (ideal). Ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan:
1. Flokulasi dan creaming
Creaming merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa lapis cairan,
dimana masing-masing lapis mengandung fase dispers yang berbeda. Nama
cream berasal dari peristiwa pemisahan sari susu dari susu (milk). Sari susu
tersebut dapat dibuat Casein, keju, dan sebagainya.
2. Koalesen dan pecahnya emulsi (cracking atau breaking)
Creaming adalah proses yang bersifat dapat kembali, berbeda dengan proses
cracking (pecahnya emulsi) yang bersifat tidak dapat kembali. Pada creaming,
flokul fase dispers mudah didispersi kembali dan terjadi campuran homogen bila
digojok perlahan-lahan. Sedangkan pada cracking, penggojokan sederhana akan
gagal untuk mengemulsi kembali butir-butir tetesan dalam bentuk emulsi yang
stabil.
3. Inversi
Adalah peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi M/A ke tipe
A/M atau sebaliknya. (Anief, 147).
III.
Preformulasi
a. Zat Aktif
Parafin Cair (Paraffinum Liquidum)
Pemerian
: cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi; tidak berwarna;
hampir tidak berbau; hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan
: praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Bobot per mL : 0,870 gram sampai 0,890 gram.
Khasiat
: laksativum. (Depkes RI, 474).
Stabilitas
: parafin stabil, meskipun dalam bentuk cair dan mungkin dapat
terjadi perubahan secara fisik. Parafin harus disimpan pada
temperatur tidak melebihi 40°C dalam wadah tertutup baik. (Rowe,
475).
b. Zat Tambahan
1. Pulvis Gummi Acaciae (PGA)
Pemerian
: serbuk, berwarna putih/putih kekuningan; tidak berasa; tidak
berbau.
Kelarutan
: larut sempurna dalam air, tetapi sangat lambat, meninggalkan
sisa bagian tanaman dalam jumlah sedikit dan memberikan
cairan seperti mucilago; praktis tidak larut dalam etanol dan
dalam eter. (Depkes RI, 718).
Pemakaian
: emulgator 10%-20%
Stabilitas
: larutan berair mengalami degradasi bakteri atau enzimatik,
dapat dipertahankan stabilitasnya jika dilakukan pendidihan.
Larutan encer juga dapat dipertahankan oleh penambahan
pengawet antimikroba seperti 0,1% b/v asam benzoat, 0,1%
b/v natrium benzoat, atau campuran dari 0,17% b/v
metilparaben dan propilparaben 0,03%. Akasia bubuk harus
disimpan dalam wadah kedap udara di tempat yang sejuk dan
kering.
Inkompatibilitas : akasia tidak bercampur dengan sejumlah zat termasuk
amidopyrine, apomorphine, kresol, etanol (95%), garam besi,
morfin, fenol, physostigmine, tanin, timol, dan vanili.
Adanya enzim pengoksidasi dapat mempengaruhi stabilitas
zat. Namun, enzim dapat tidak aktif dengan pemanasan pada
100°C untuk waktu yang singkat. Viskositas kurang akibat
hadirnya garam dalam larutan akasia, garam trivalen dapat
memulai koagulasi. Larutan encer membawa muatan negatif
dan akan membentuk coacervates dengan gelatin dan zat
lainnya. Dalam penyusunan emulsi, larutan akasia tidak
cocok dengan sabun. (Rowe, 2).
2. Carboxymethylcellulosum natrium (CMC-Na)
Pemerian
: serbuk atau granul; putih sampai krem; tidak berasa; tidak
berbau.
Kelarutan
: mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal;
tidak larut dalam etanol, dalam eter, dan dalam pelarut
organik. (Depkes RI, 175).
Pemakaian
: Emulgator 0,25%-1,0%.
Stabilitas
: stabil meskipun higroskopis. Di bawah kondisi kelembaban
tinggi, dapat menyerap air dalam jumlah besar (> 50).
Larutan berair stabil pada pH 2-10, disimpan untuk waktu
yang lama harus berisi sebuah pengawet antimikroba.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik dalam tempat
dingin, kering. (Rowe, 119).
3. Veegum (Magnesium Aluminium Silicate)
Pemerian
: serbuk hablur, putih, puti kekuningan, hamper tidak berasa,
hampir tidak berbau.
Kelarutan
: praktis tidak larut dalam alcohol, dalam air dan dalam pelarut
organik.
pH larutan
: 1-4
Stabilitas
: stabil pada kondisi kering, pada pH luas (memiliki kapasitas
perubahan basa) menyerap banyakl bahan organik.
Inkompatibilitas : tidak bercampur dengan pelarut organik, dapat menyerap
beberapa obat yang memiliki ikatan rapat seperti talbutamid,
wafarin-Na, diazepam. (Rowe,395).
4. Polioksietilen Sorbitan Monoleat (Tween 80)
Pemerian
: cairan kental; berwarna kuning; berasa pahit; berbau khas dan
hangat.
Kelarutan
: larut dalam air dan etanol, praktis tidak larut dalam minyak
mineral dan minyak sayur.
Pemakaian
: emulgator 1%-15%.
Stabilitas
: stabil terhadap elektrolit, asam lemah dan basa; saponifikasi
bertahap terjadi dengan asam kuat dan basa. Ester oleicacid
sensitif terhadap oksidasi. Higroskopis dan harus diperiksa
kadar airnya sebelum digunakan dan. Penyimpanan lama
dapat
menyebabkan
pembentukan
peroksida.
Harus
disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya,
di tempat yang sejuk dan kering.
\Inkompatibilitas : perubahan warna dan pengendapan terjadi dengan berbagai
zat, khususnya fenol, tanin, tar, dan bir seperti metanial.
Aktivitas berkurang dengan adanya antimikroba pengawet
paraben. (Rowe, 551).
5. Sorbitol Monoleat (Span 80)
Pemerian
: cairan kental; berwarna kuning; berasa pahit; berbau khas.
Kelarutan
: pada umumnya larut/terdispersi dalam minyak, larut dalam
pelarut organik, praktis tidak larut dalam air.
Stabilitas
: perlahan-lahan akan membentuk busa dengan adanya asam
kuat dan basa. Stabil pada pH asam lemah dan basa lemah.
Dapat disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat kering
dan sejuk. (Rowe, 675).
6. Setil Alkohol
Pemerian
: granul; warna putih; berasa lemah; berbau khas.
Kelarutan
: praktis tidak larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter, larut
dengan adanya peningkatan temperatur, praktis tidak larut
dalam air.
Titik lebur
: 45,52°C. (Depkes RI, 72).
Pemakaian
: emulgator 2%-5%.
Stabilitas
: stabil dengan adanya asam, alkali, cahaya, dan air.
Inkompatibilitas : tidak bercampur dengan oksidator kuat. Bertanggung jawab
untuk menurunkan titik leleh ibuprofen. (Rowe, 156).
7. Aqua Destillata (Air suling)
Pemerian
: cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai
rasa.
Penyimpanan
IV.
: dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, 96).
Alat dan Bahan
Alat
Bahan
 Cawan penguap
 Parafin cair 30%
 Pipet
 Tween 80 3% dan 6%
 Tabung sedimentasi
 Veegum 1% dan 2%
 Beaker glass
 Span 80 3% dan 6%
 Batang pengaduk
 CMC Na 0,5% dan 1%
 Mortar dan stamper
 Aquadest
 Gelas ukur
 Setil alkohol 5% dan 15%
 Piknometer
 PGA 10% dan 15%
 Waterbath
 Stirer
 Matkan
V.
Prosedur Percobaan
 Menggunakan Emulgator Alam
1. Metode Korpus Emulsi Basah
Terlebih dahulu menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai
dengan keperluan. Dikembangkan emulgator veegum 1% dalam air panas
sebanyak 12 kali beratnya dengan cara menaburkan secara merata pada
mortar, lalu digerus kuat sampai homogen dan terbentuk korpus emulsi.
Kemudian veegum dituangkan ke dalam matkan, ditambahkan parafin cair
sebanyak 30 mL. Diaduk menggunakan stirrer pada kecepatan 400 rpm, lalu
dinaikkan perlahan-lahan sampai kecepatan mencapai 1000 rpm selama 15
menit. Setelah itu ditambahkan air ad 100 ml sedikit demi sedikit dan diaduk
lagi sampai homogen, dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi lalu
dilakukan pengamatan dan evaluasi terhadap sediaan emulsi pada waktu 0’,
10’, 30’, 60’, 120’, hari-1, dan hari-3.
2. Metode Korpus Emulsi Kering
Terlebih dahulu menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai
dengan keperluan. Dididihkan air yang akan digunakan lalu didinginkan
sebelum dipakai. Membuat korpus emulsi dengan mecampurkan langsung
veegum 2%, parafin cair 30 mL, dan air ad 100 mL ke dalam matkan, lalu
diaduk menggunakan stirrer pada kecepatan 400 rpm, lalu dinaikkan
perlahan-lahan sampai kecepatan mencapai 1000 rpm selama 15 menit.
Dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi lalu dilakukan pengamatan dan
evaluasi terhadap sediaan emulsi pada waktu 0’, 10’, 30’, 60’, 120’, hari-1,
dan hari-3.
 Menggunakan Emulgator Sintetis
Terlebih dahulu menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai
dengan keperluan. Memanaskan parafin cair 30 mL dan Span 80 yang
dicampur ke dalam cawan porselen pada suhu 60-70 °C (fasa minyak), serta
Tween 80 dengan air secukupnya ke dalam cawan porselen juga pada suhu
60-70 °C (fasa air). Setelah kedua fasa tersebut meleleh, segera dimasukkan
langsung secara bersamaan ke dalam matkan lalu diaduk menggunakan stirrer
selama 5 menit. Ditambahkan setil alkohol 5% ke dalamnya dan ad air 100
mL kemudian diaduk homogen kembali. Dimasukkan ke dalam tabung
sedimentasi lalu dilakukan pengamatan dan evaluasi terhadap sediaan emulsi
pada waktu 0’, 10’, 30’, 60’, 120’, hari-1, dan hari-3.
VI.
Data Pengamatan
1. Emulgator Alam Metode Korpus Emulsi Basah
Kelompok
1
(PGA 10%)
2
(PGA 15%)
Waktu
Tinggi
(t)
Sedimentasi
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
0’
16,8 cm
15,9 cm
15,9 cm
15,8 cm
15,8 cm
8,3 cm
7,8 cm
Organoleptis
Warna putih gading
Sebelum pengocokan : flokulasi
Sesudah pengocokan : reversibel
sediaan emulsi tetap stabil
Vo = 90 ml
Ho = 16,2 cm
Belum terbentuk sedimentasi,
masih homogen, berwarna krem.
10’
-
30’
Belum terbentuk sedimentasi,
masih sama seperti menit ke-0.
Warna emulsi tidak homogen,
bagian atas lebih pucat, bagian
bawah ada batas berwarna coklat ±
0,1 cm (ampas)
60’
-
Masih sama seperti menit ke-30,
namun ampas semakin tinggi ± 0,2
cm
120’
-
Terbentuk gradasi warna, 4,6 cm
putih susu, 11 cm putih gading dan
0,6 cm coklat bening.
Hari 1
-
Hari 3
-
Konsistensi mengental, bagian atas
putih
dengan
gelembunggelembung bening, bagian putih
susu 1,3 cm, bagian bawah terlihat
lebih kuning
Bagian atas membentuk busa,
antara bagian putih susu dan keruh
kekuningan membentuk warna abu
± 0,3 cm. Bagian putih susu sudah
caking.
3
(CMC-Na
0,5%)
0’
17,3 cm
10’
16,2 cm
Pada bagian atas jernih dan
terdapat globul-globul, warna putih
susu pada bagian bawah.
30’
15,7 cm
Pada bagian atas jernih dan
terdapat globul-globul, warna putih
susu pada bagian bawah.
60’
15,7 cm
Pada bagian atas jernih dan
terdapat globul-globul, warna putih
susu pada bagian bawah.
120’
14,8 cm
Pada bagian atas jernih dan
terdapat globul-globul, warna putih
susu pada bagian bawah.
5 cm
Hari 1
Pada bagian atas jernih dan
terdapat
globul-globul,
pada
bagian bawah terdapat 2 lapisan
(putih susu dan putih).
4 cm
Hari 3
Pada bagian atas jernih dan
terdapat
globul-globul,
pada
bagian bawah terdapat 2 lapisan
(putih susu dan putih) dan pada
dasar tabung berwarna putih susu.
Koalesen (setelah 3 hari dilakukan
pengocokan dan emulsi bersifat
reversibel).
4
(CMC-Na
1%)
0’
Ho = 15,6 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
15,6 𝑐𝑚
H = 0 cm
10’
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih keruh, masih
homogen.
Ho = 15,3 cm
Hu1 = 10,8
cm
Hu2= 3,6 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
10,8 + 3,6 𝑐𝑚
15,3 𝑐𝑚
H=
30’
14,4 𝑐𝑚
15,3 𝑐𝑚
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran besar,
keseluruhan
emulsi
masih
berwarna keruh.
H = 0,94 cm
Ho = 15,3 cm
Hu1 = 10,8
cm
Hu2 = 3,6 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
10,8 + 3,6 𝑐𝑚
15,3 𝑐𝑚
H=
60’
14,4 𝑐𝑚
15,3 𝑐𝑚
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran agak
kecil, keseluruhan emulsi masih
berwarna keruh.
H = 0,94 cm
Ho = 15,2 cm
Hu1 = 10,7
cm
Hu2 = 4 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
10,7 + 4 𝑐𝑚
15,2 𝑐𝑚
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
H=
120’
14,7 𝑐𝑚
15,2 𝑐𝑚
H = 0,97 cm
Ho = 15,2 cm
Hu1 = 10,5
cm
Hu2 = 4 cm
terdapat globul berukuran kecil,
dibagian atas globul berwarna
jernih, dibagian bawah globul
masih berwarna agak keruh.
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
10,5 + 4 𝑐𝑚
15,2 𝑐𝑚
H=
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran kecil,
dibagian atas globul tetap berwarna
jernih, dibagian bawah globul tetap
berwarna agak keruh.
14,5 𝑐𝑚
15,2 𝑐𝑚
H = 0,95 cm
Hari 1
Ho =15,5 cm
Hu = 1,5 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
1,5 𝑐𝑚
15,5 𝑐𝑚
H = 0,10 cm
Hari 3
Ho = 15,5 cm
Hu = 1,6 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
1,6 𝑐𝑚
15,5 𝑐𝑚
Terbentuk sedimen berwarna
cream dibagian bawah, dibagian
atas sedimen berwarna jernih,
dibagian tengah terdapat globul
berukuran kecil, dibagian atas
globul tetap berwarna jernih.
H = 0,10 cm
Terbentuk sedimen berwarna putih
susu dibagian bawah (mendekati
warna cream), dibagian atas
sedimen menjadi berwarna agak
keruh, dibagian tengah terdapat
globul berukuran kecil, dibagian
atas globul tetap berwarna jernih.
5
(Veegum
1%)
2.
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
18,15 cm
18 cm
17,9 cm
3,2 cm
3,85 cm
5,55 cm
6,85 cm
Bau veegum, berwarna putih.
Emulgator Alam Metode Korpus Emulsi Kering
Kelompok
1
(Veegum
1%)
2
(PGA 10%)
Waktu
(t)
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
0’
Tinggi
Sedimentasi
17 cm
0,94 cm
0,89 cm
0,86 cm
0,82 cm
0,72 cm
0,69 cm
Organoleptis
Putih keruh
Sebelum pengocokan : creaming
pada bagian atas koalesen.
Sesudah pengocokan : irreversibel
menjadi sediaan emulsi yang tidak
stabil terjadi koalesen dengan
globul-globul kecil.
Vo = 100 ml
Ho = 17,5 cm
Belum terbentuk sedimen, masih
homogen berwarna putih susu.
10’
-
30’
-
Masih sama dengan kondisi awal
(Ho)
60’
-
Masih sama dengan kondisi awal
(Ho)
120’
-
Masih sama dengan kondisi awal
(Ho)
Hari 1
0,994 cm
Konsistensi cair, warna putih susu
dengan endapan warna abu-abu
setebal ±0,3 cm.
Hari 3
1,04 cm
Konsistensi kental, warna putih susu
dengan endapan abu-abu setebal
±0,8 cm
3
(PGA 15%)
0’
16,2 cm
Warna putih susu pada semua
bagian emulsi.
10’
15,5 cm
30’
-
60’
-
120’
-
Hari 1
14,5 cm
Terdapat 2 lapisan (warna putih susu
dibagian atas, dibagian dasar tabung
warna putih).
Hari 3
12,3 cm
Terdapat 2 lapisan (warna putih susu
dibagian atas, dibagian dasar tabung
keruh). Flokulasi (setelah 3 hari
dilakukan
pengocokan
emulsi
bersifat reversibel).
4
(CMC-Na
0,5%)
0’
Ho= 16,1cm
Hu= 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H = 0 cm
Belum terbentuk sedimen, berwarna
putih keruh, masih homogen.
10’
Ho=16,1 cm
Hu1= 11,2cm
Hu2= 2,2 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
11,2 + 2,2 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H=
13,4 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H = 0,83 cm
30’
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran besar,
keseluruhan emulsi masih berwarna
keruh.
Ho = 16 cm
Hu1 = 11,2
cm
Hu2 = 4 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
11,2 + 4 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H=
15,2 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H = 0,94 cm
60’
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran agak
kecil, keseluruhan emulsi masih
berwarna keruh.
Ho = 15,9 cm
Hu1 = 11,2
cm
Hu2 = 4,1 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
11,2 + 4,1 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H=
15,3 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
Dibagian paling
keruh pekat,
terdapat globul
dibagian atas
bawah berwarna
dibagian tengah
berukuran kecil,
globul berwarna
H = 0,95 cm
120’
jernih, dibagian bawah globul masih
berwarna agak keruh.
Ho = 15,9 cm
Hu1 = 11,2
cm
Hu2= 4,2 cm
H=
𝐻𝑢1+𝐻𝑢2
𝐻𝑜
H=
11,2 + 4,2 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H=
15,4 𝑐𝑚
16,1 𝑐𝑚
H = 0,96 cm
Hari 1
Dibagian paling bawah berwarna
keruh pekat, dibagian tengah
terdapat globul berukuran kecil,
dibagian atas globul tetap berwarna
jernih, dibagian bawah globul tetap
berwarna agak keruh.
Ho =16 cm
Hu = 0,7 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0,7 𝑐𝑚
16 𝑐𝑚
H = 0,04 cm
Terbentuk sedimen berwarna cream
dibagian bawah, dibagian atas
sedimen berwarna jernih, dibagian
tengah terdapat globul berukuran
kecil, dibagian atas globul tetap
berwarna jernih.
Hari 3
Ho = 16 cm
Hu = 0,8 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0,8 𝑐𝑚
16 𝑐𝑚
H = 0,05 cm
Terbentuk sedimen berwarna putih
susu dibagian bawah (mendekati
warna cream), dibagian atas
sedimen menjadi berwarna agak
keruh, dibagian tengah terdapat
globul berukuran kecil, dibagian
atas globul tetap berwarna jernih.
5
(Veegum
2%)
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
17,3 cm
17,3 cm
17,3 cm
17,3 cm
17,3 cm
17,3 cm
17,3 cm
Bau veegum, berwarna putih.
3. Emulgator Sintetis
Kelompok
1
(T80, S80 3%
+ Setil alkohol
15%)
2
(T80 + S80
3%)
Waktu
(t)
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
0’
Tinggi
Sedimentasi
15,5 cm
Vo = 100ml
Ho = 17cm
Organoleptis
Putih seperti susu. Tidak terbentuk
sediaan emulsi
Belum terbentuk sedimen, namun
sudah terlihat ketidakhomogenan
warna ketika dituang ke dalam
tabung sedimentasi.
10’
F=
5,3
17
= 0,31 cm
Mulai terbentuk sedimen dan
terjadi pemisahan 5 cm atas
berwarna putih susu dan bawahnya
berwarna putih bening.
30’
F=
5,3
17
= 0,31 cm
Sedimen masih setinggi 5,5 cm
dengan warna putih susu, namun
bagian baawahnya lebih bening
dibanding menit ke-10.
60’
F=
5,3
17
= 0,31 cm
Sedimen setinggi 5,3 cm namun
bagian bawahnya lebih bening
dibanding menit ke-30.
120’
F=
5,3
17
= 0,31 cm
Sedimen setinggi 5,3 cm namun
bagian bawahnya lebih bening.
Hari 1
F=
4,3
17
= 0,33 cm
Konsistensi cair, terbentuk tiga
lapisan, yang atas berwarna putih
bening, tengah putih susu dan
bagian bawah bening.
Hari 3
Bagian atas jernih, bagian tengah
seperti busa dan bagian bawah
jernih.
3
(T80, S80 6%
+ Setil alkohol
5%)
0’
10’
30’
16,1 cm
60’
120’
Hari 1
Putih susu pada semua bagian
emulsi.
Hari 3
7,3 cm
Terdapat busa dibagian atas,
bagian tengah putih susu, bagian
bawah putih. Flokulasi (setelah 3
hari dilakukan pengocokan emulsi
bersifat reversibel).
4
(T80, S80 6%)
0’
Ho = 17,3 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
17,3 𝑐𝑚
H = 0 cm
10’
Ho = 15,3 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
15,3 𝑐𝑚
H = 0 cm
30’
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen.
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen.
Ho = 15 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
15 𝑐𝑚
H = 0 cm
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen.
60’
Ho = 14,7 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
14,7 𝑐𝑚
H = 0 cm
120’
Ho = 14,7 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
14,7 𝑐𝑚
H = 0 cm
Hari 1
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen,
dibagian paling bawah berwarna
putih keruh.
Ho = 14,8 cm
Hu = 0 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
0 𝑐𝑚
14,8 𝑐𝑚
H = 0 cm
Hari 3
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen,
dibagian paling bawah berwarna
putih keruh.
Ho = 14,8 cm
Hu = 6,5 cm
H=
H=
𝐻𝑢
𝐻𝑜
6,5 𝑐𝑚
14,8 𝑐𝑚
Belum
terbentuk
sedimen,
berwarna putih susu homogen,
dibagian paling bawah berwarna
putih keruh.
H = 0,44 cm
5
(T80, S80 3%
+ Setil alkohol
5%)
VII.
0’
10’
30’
60’
120’
Hari 1
Hari 3
15,2 cm
14,5 cm
14,2 cm
14,2 cm
14,2 cm
13,4 cm
12,4 cm
Sudah terbentuk dua lapisan,
lapisan atas berwarna putih susu
pekat (mendekati warna cream) →
terjadi sedimentasi dibagian atas,
dibagian bawah berwarna putih
keruh.
Bau seperti metil salisilat dan
berwarna putih.
Pembahasan
Pada praktikum pembuatan sediaan emulsi, zat aktif yang digunakan adalah
parafin cair. Parafin cair ini akan mengalami oksidasi ketika dipanaskan dan terkena
sinar atau cahaya. Sehingga jika menggunakan pemanasan pada proses pembuatan,
suhu pada pencampuran parafin tidak boleh terlalu panas. Emulgator yang
digunakan adalah emulgator alam (PGA, Veegum, dan CMC Na) dan emulgator
sintetik yaitu Tween 80 dan Span 80. Dalam pembuatannya untuk emulgator alam
dilakukan dalam 2 metode yaitu pembuatan emulsi cara kering dan cara basah
sedangkan untuk emulgator sintetik hanya dengan cara basah.
Untuk membuat emulsi dengan menggunakan emulgator alam digunakan
PGA, Veegum, dan CMC-Na dengan berbagai konsentrasi.
1. PGA
Pulvis Gummi Acaciae atau gom arab merupakan salah satu emulgator alam
yang digunakan pada pembuatan sediaan emulsi. Pembuatan emulsi minyak lemak
biasanya dibuat dengan emulgator gom arab, dengan perbandingan untuk 10 bagian
minyak lemak dibuat 100 bagian emulsi. Gom arab yang digunakan adalah separuh
jumlah minyak lemak. Sedangkan air yang digunakan adalah 1,5 x berat PGA.
(Anief, M., 2005)
Pada percobaan kali ini digunakan PGA berkonsentrasi 10% dan 15%,
dengan metode pembuatan korpus emulsi dengan cara basah dan cara kering. Cara
basah dilakukan dengan terlebih dahulu dibuat mucilago yang kental dengan sedikit
air lalu ditambah minyak sedikit demi sedikit dengan pengadukan yang kuat,
kemudian ditambahkan sisa air dan minyak secara bergantian sambil diaduk sampai
volume yang diinginkan. Sedangkan cara kering dilakukan dengan membuat korpus
emulsi dengan mencampur 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu
digerus sampai terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan
yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya suatu emulsi yang
baik.
Pada emulsi menggunakan emulgator PGA berkonsetrasi 10% yang dibuat
dengan metode korpus emulsi basah pada waktu t-0 tinggi sedimentasi adalah
16,8cm, pada t-10 dan t-30 terjadi penurunan ketinggian sedimentasi yaitu 15,9cm,
t-60 dan t-120 tinggi sedimentasi sedikit menurun yaitu menjadi 15,8cm. Pada hari
ke 1 dan ke 3 terjadi penurunan tinggi sedimentasi menjadi 8,3 dan 7,8. Warna
emulsi pada PGA berkonsentrasi 10% ini adalah putih gading. Terjadi flokulasi
pada emulsi ini, yaitu terlihat dengan terbentuknya kelompok-kelompok globul
yang posisinya tidak beraturan tetapi setelah dilakukan pengocokan sediaan emulsi
kembali stabil.
Metode korpus emulsi basah menggunakan emulgator PGA berkonsentrasi
15% pada t-0 tinggi sedimentasi adalah 16,2cm dengan volume 90ml. Pada t-0 ini
emulsi masih homogen dan berwarna krem yang merata. Pada t-10 dan t-30 masih
sama seperti menit ke-0. Warna emulsi tidak homogen, bagian atas lebih pucat,
bagian bawah ada batas berwarna coklat ± 0,1 cm (ampas). Pada t-60 tinggi
sedimentasi masih sama dengan menit ke-30 namun ampas semakin tinggi yaitu ±
0,2 cm. Terbentuk gradasi warna, 4,6 cm putih susu, 11 cm putih gading dan 0,6
cm coklat bening pada t-120. Pada hari ke-1 konsistensi mengental, bagian atas
putih dengan gelembung-gelembung bening, bagian putih susu 1,3 cm, bagian
bawah terlihat lebih kuning. Sedangkan pada hari ke-3 bagian atas emulsi
membentuk busa, antara bagian putih susu dan keruh kekuningan membentuk
warna abu ± 0,3 cm. Bagian putih susu sudah caking.
Pembuatan emulsi menggunakan PGA dengan metoda korpus emulsi cara
kering, konsentrasi 10% pada t-0 menunjukkan emulsi berwarna putih susu dan
homogen disemua bagian dengan tinggi sedimentasi 17,5cm. dengan volume
100ml. Pada t-10,30,60 dan 120 emulsi masih stabil seperti pada h0 yaitu berwarna
putih susu dan homogen. Terjadi sedimentasi pada hari ke-1 dengan tinggi 0,994cm
yang membentuk konsistensi cair, warna putih susu dengan endapan warna abu-abu
setebal ±0,3 cm. Sedangkan pada hari ke-3 tinggi sedimentasi menjadi 1,04 cm
dengan konsistensi kental, warna putih susu dengan endapan abu-abu setebal ±0,8
cm.
Pada konsentrasi PGA 15% (metode korpus emulsi kering) t-0 emulsi
menunjukkan warna putih susu pada semua bagian dengan tinggi sedimentasi
16,2cm. Pada t-10 tinggi sedimentasi adalah 15,5cm dengan warna emulsi seperti
pada t-0 yaitu berwarna putih susu. T-30, 60, 120 tinggi sedimentasi tidak berubah,
sama dengan t-10 dan emulsi masih berwarna putih susu. Terjadi perubahan
ketinggian sedimentasi dan warna pada hari ke-1 yaitu tinggi sedimentasi mencapai
14,5cm dan terdapat 2 lapisan (warna putih susu dibagian atas, dibagian dasar
tabung warna putih). Pada hari ke-3 ketinggian sedimentasi menjadi 12,3cm dan
terdapat 2 lapisan pada emulsi (warna putih susu dibagian atas, dibagian dasar
tabung keruh). Ketika dilakukan pengocokan emulsi bersifat reversibel.
Pada PGA metode korpus emulsi basah dengan konsentrasi 10% pada 3hari
penyimpanan terjadi ketidakstabilan emulsi yang berupa flokulasi. Fenomena ini
terjadi karena penggabungan partikel yang disebabkan oleh adanya energi bebas
permukaan. Flokulasi adalah terjadinya kelompok-kelompok globul yang letaknya
tidak beraturan di dalam suatu emulsi. Flokulasi merupakan agregasi pertikel tanpa
kerusakan individualitas emulsi karena gaya tarik menarik yang lemah antara
koloid. Flokulasi tergantung pada energi interaksi antara dua partikel sebagaifungsi
dari jarak antar partikel.Energy interaksi merupakan gabungan gaya tarik menarik
dan gaya tolak menolak. Selama flokulasi, partikel mempertahankan integritas
strukturalnya (McClements & Demetriades, 1998).
Begitu pula yang terjadi dengan PGA konsentrasi 15% yang dibuat dengan
metode pembuatan korpus emulsi kering, pada 3hari penyimpanan terjadi flokulasi.
Akan tetapi ketidakstabilan emulsi ini hanya bersifat sementara (reversible) karena
dengan pengocokan emulsi ini dapat kembali homogen, dengan warna putih susu
yang merata dan menjadi stabil kembali.
Yang terjadi pada PGA yang dibuat dengan metode korpus emulsi basah
dengan konsentrasi 15% pada 3 hari penyimpanan adalah koalesen dan
demulsifikasi. Fenomena ini terjadi bukan karena semata-mata karena energi bebas
permukaan saja, tetapi juga karena tidak semua globul terlapis oleh film antar
permukaan. Koalesen adalah terjadinya penggabungan globul-globul menjadi lebih
besar, sedangkan demulsifikasi adalah merupakan proses lebih lanjut dari koalesen
dimana kedua fasa terpisah menjadi dua cairan yang tidak bercampur. Kedua
fenomena ini tidak dapat diperbaiki dengan pengocokan.
Pada PGA yang dibuat dengan metode korpus emulsi kering dengan
konsentrasi 10% cukup stabil, karena tidak terjadi perubahan yang signifikan baik
dari warna sediaan maupun ketinggian sedimentasi. Sedimentasi terlihat hanya
pada hari ke-1 dan ke-3 saja, dan mudah diperbaiki kembali dengan pengocokan
(Rowe,2009).
Konsentrasi ideal PGA sebagai emulgator yang digunakan dalam sediaan
emulsi adalah 10%-20%. (Rowe, 2009). Dalam percobaan kali ini digunakan
konsentrasi dan cara pengembangan emulgator yang berbeda-beda dengan tujuan
untuk melihat formulasi manakah yang paling baik untuk sediaan emulsi dengan
menggunakan emulgator alam, dalam hal ini emulgator alam yang digunakan
adalah PGA. Ternyata dapat dilihat dari hasil percobaan bahwa emulsi PGA
berkonsentrasi 10% yang dibuat menggunakan metode pembuatan korpus emulsi
kering adalah emulsi yang paling stabil. Karena pada emulsi ini sedimentasi tidak
terlalu tinggi dan warna emulsi adalah putih susu walaupun pada bagian bawah
tabung terdapat endapan abu-abu. Akan tetapi endapan tersebut tidak akan
terbentuk kembali setelah dilakukan pengocokan.
2. Veegum
Pada pembuatan emulsi dengan cara kering konsentrasi veegum yang
digunakan adalah 1% dan 2%, sedangkan pada pembuatan emulsi cara basah
konsentrasi veegum yang digunakan adalah 1%. Setelah dibuat sediaan dilakukan
evaluasi pada menit ke-0,menit ke-10, menit ke-30, menit ke-60, menit ke-120, hari
ke-1 dan hari ke-3. Evaluasi yang dilakukan meliputi organoleptis,volume
sedimentasi.
Pada emulsi dengan veegum 1% yang dibuat dengan cara kering, terjadi
katidakstabilan emulsi. Hai ini dapat dilihat dari data pengamatan bahwa nilai h
(tinggi sedimentasi dari waktu ke waktu selama proses pengamatan terus
mengalami penurunan. Emulsi yang stabil adalah yang tinggi sedimentasinya sama
dengan satu atau mendekati satu. Pada hari ke-3 pengamatan, terjadi creaming
dibagian atas. Ketika dilakukan pengocokan justru terjadi koalesen yaitu terbentuk
globul-globul kecil. Ketidakstabilan yang terbentuk bersifar irreversible. Koalesen
ini dapat terjadi karena pemanasan. Pendinginan, adanya fermentasi bakteri, jamur,
perubahan pH dan penambahan elektrolit(syamsuni. 2007).
Pada konsentrasi vegum 2% , emulsi yang terbentuk merupakan emulsi
yang stabil. Hal ini dapat dilihat dari tinggi sedimentasi pada data pengamatan yang
tidak mengalami perubahan dari menit ke menit selama proses pengamatan. Begitu
pun pada pengamatan hari ke-3, emulsi masih stabil. Pada Handbook Of
Parmaceutical Exipient, veegum digunakan sebanyak 1%-5% untuk sediaan emulsi
oral. Kemungkinan konsentrasi 2 % merupakan konsentrasi yang paling tepat untuk
membuat suatu sediaan emulsi oral yang stabil.
Pada metode korpus emulsi basah konsentrasi veegum yang digunakan
sebesar 1%. Veegum ini dikembangkan terlebih dahulu dalam air, kemudian
ditambahkan bahan lain dan diaduk dengan stirrer hingga terbentuk masa emulsi.
Dari pengamatan pada menit ke 30 emulsi telah terpisah menjadi beberapa lapisan
yang beraturan, yakni lapisan susu-lapisan bening, lapisan susu-lapisan bening,
lapisan susu-lapisan bening, ini menandakan bahwa emulsi yang terbentuk tidak
stabil. Setelah menit ke 60 lapisan lapisan tadi membentuk 2 lapisan yakni lapisan
atas dan bawah berwarna putih susu lapisan tengah berwarna bening. Semakin lama
didiamkan lapisan bening di bagian tengah semakin meninggi ini dapai dilihat dari
nilai
𝐻𝑢
𝐻𝑜
yang semakin menjauhi 1.
Pada pengamatan hari ke-3dilakukan pengocokan untuk melihat apakah
ketidakstabilan yang terbentuk bersifat reversible atau irreversible. Ketika
dilakukan pengocokan ternyata creaming yang terbentuk bersifat reversible karena
daoat berubah kembalui menjadi emulsi yang homogeny. Pada Handbook Of
Parmaceutical Exipient, veegum digunakan sebanyak 1%-5% untuk sediaan emulsi
oral. Kemungkinan konsentrasi 2 % merupakan konsentrasi yang paling tepat untuk
membuat suatu sediaan emulsi oral yang stabil, baik dengan cara korpus emulsi
basah ataupun korpus emulsi kering.
3. CMC-Na
CMC-Na sebagai zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang
penting agar memperoleh emulsi yang stabil, karena kestabilan emulsi merupakan
faktor yang penting karena menentukan mutu dan kualitas suatu emulsi. Kestabilan
emulsi ini banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan dalam formulasi.
Penggunaan emulgator haruslah disesuaikan dengan sifat kestabilan dari zat aktif.
Emulsi yang baik adalah emulsi yang berwarna seperti putih susu, tidak terjadi
pemisahan selama penyimpanan, dan jika dikocok atau diberi gaya dan tekanan,
viskositasnya akan bertambah kecil sehingga emulsi tersebut mudah dituang.
Pada praktikum digunakan 2 konsentrasi cmc-Na, yaitu :


Pada metode corpus basah

Cmc-Na 0.5 %

Cmc-Na 1 %
Pada metode corpus kering

Cmc-Na 0.5 %
Dari data pengamatan, dapat dilihat sediaan emulsi yang mengunakan cmcNa sebagai emulgator pada konsentrasi 0.5 % dengan metode korpus basah,
suspensi hanya baik dan dikatan stabil dimana tidak terjadi pemisahan menjadi 2
lapisan antara fase air dan fase minyak pada hari pembuatan, meskipun pada T’120
menit terdapat sedikit larutan bening di bagian atas larutan yang menandakan
emulsi mulai memisah. Namun hal itu dapat diatasi dengan pengocokan kembali
larutan sehingga fase minyak yang mulai memisah dapat teremulsikan kembali
(namun cara ini tidak dilakukan dalam pengamatan karena ingin dilihat waktu
sampai emulsi benar –benar memisah). Pada hari ke 1 pengamatan (hari ke 2 setelah
pembuatan), emulsi terpisah menjadi 2 bgian yang berupa lapisan keruh/putih susu
dan lapisan jernih yang menandakan emulsi terpecah. Pada hari ke 3 pengamatan
tinggi lapisan keruh menurun jauh dari H0 menjadi 4 cm. Dimana pada bagian atas
jernih dan pada bagian bawah terdapat lapisan putih susu serta pada dasar tabung
terdapat endapan berwarna putih yang berarti terjadi koalesen pada emulsi ini.
Namun pada koalesen ini bersifat reversible, dimana setelah dilakuka pengocokan
emulsi kembali terbentuk. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 0.5 % bagi cmcNa pada emulsi kurang begitu baik karena sistem cepat terpisah sehingga
kestabilannya kurang baik. Hal yang sama terjadi pada emulsi menggunakan
metode korpus kering dengan cmc-Na 0.5 %, emulsi hanya baik pada hari
pembuatan dan emulsi mudah terpisah.
Pada kadar cmc-Na 1 % emulsi bisa dikatakan lebih stabil karena pemisahan
berlangsung lebih lambat dan tinggi H lebih rendah dari tinggi H pada cmc-Na 0.5
%. Tinggi H lebih stabil dimana pada pengamatan H-1 sampai H-3 tinggi H tetap
0.10 cm yang menandakan pemisahan tidak terus berlansung. Dari data tersebut
dapat disimpulkan emulsi menggunakan cmc-Na 1 % lebih stabil dari emulsi
menggunakan cmc-Na 0.5 %.
Selain dengan menggunakan emulgator alam, dalam praktikum kali ini juga
dilakukan pembuatan emulsi menggunakan emulgator sintetik yaitu Tween 80 dan
Span 80 3% ; 6% dengan penambahan setil alcohol sebesar 5% dan 15%. Data
yang didapat dibandingkan antar kombinasi emulsi Tween 80, Span 80,dan Setil
alkohol dengan konsentrasi berbeda-beda.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa emulsi yang diberi Tween 80 dan Span
3% + setil alkohol 15% dengan Tween 80 dan Span80 3% + setil alkohol 5%
menunjukan data yang stabil dari awal pembuatan sampai hari ke 3, namun pada
kombinasi Tween 80, Span 80 3% + Setil alkohol 5% dari pengukuran pertama
hingga hari ke 3 sediaan emulsi mengalami penurunan volume, dimungkinkan ini
terjadi karena pada tahap pengukuran pertama yang terukur bukan hanya sistem
emulsinya tetapi terdapat busa hasil pengadukan yang terlalu lama saat pembuatan,
sehingga sediaan terlihat lebih mengembang. Sedangkan emulsi yang diberi Tween
dan Span 6% + setil alkohol 5% menunjukan sistem emulsi yang stabil sampai hari
ke 1 (tidak terjadi kerusakan pada emulsi), namun hari ke 3 mulai terjadi
ketidakstabilan emulsi, dimana sudah terjadi flokulasi (tinggi sedimentasi dapat
terukur). Dilihat dari pengamatan organoleptis pun emulsi Tween dan Span yang
ditambahkan setil alkohol terlihat seperti lapisan susu yang putih (seperti krim),
dengan konsistensi lebih tinggi dibandingkan dengan formula emulsi tanpa
penambahan setil alkohol. Hal ini disebabkan karena sifat setil alkohol selain
sebagai bahan pengemulsi, setil alkohol juga mampu menyerap air, meningkatakan
stabilitas dan meningkatkan konsistensi pada emulsi sehingga viskositasnya pun
meningkat . Setil alcohol akan membentuk suatu film yang tidak larut di atas lapisan
bawah yang sama dan cetil alcohol juga dapat meningkatkan viskositas sehingga
dapat menstabilkan emulsi (Rowe, hal 155)
Untuk penggunaan Tween 80 dan Span 80 kestabilan akan tercapai pada
penambahan Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi 1-10%, sedangkan untuk
penambahan cetil alcohol kestabilan terbaiknya yaitu pada konsentrasi 2-5 %.
(HOPE hal 591 dan 479 ). Terbukti karena terlalu tinggi konsentrasi setil alkohol
yang ditambahkan maka konsistensi emulsi semakin tinggi sehingga semakin sulit
untuk di tuangkan.
Dari data pengamatan emulsi dengan penambahan Tween 80 dan Span 80
3% dan 6%, terlihat sistem yang lebih stabil yaitu pada Tween 80 dan Span 80
dengan konsentrasi 6% walaupun pada hari ke 3 tetap terbentuk sedimentasi.
Sedangkan pada Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi 3% sedimentasi telah
terbentuk dari hari pertama pengamatan, dan ukuran sedimentasi semakin rendah
hingga hari ke 3 (dalam artian sedimentasi yang terbentuk memadat) atau dapat
dikatakan terjadi cacking. Ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi jika konsentrasi
dari emulgator tidak sesuai atau tidak adanya penambahan bahan penstabil lainnya
seperti setil alkohol, atau bisa jadi karena perubahan kelarutan bahan pengemulsi
yang disebabkan oleh antaraksi spesifik dengan bahan penambah (aditif) atau
karena perubahan temperatur (Agoes, 2012. Hal 155) . Di asumsikan bahwa
penambahan Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi semakin tinggi (mendekati
10%) akan meningkatkan kestabilan emulsi atau memperlambat proses
ketidakstabilan emulsi tersebut.
Untuk itu dalam pembuatan emulsi ada beberapa factor yang harus
diperhatikan untuk menjaga kestabilan emulsi tersebut, diantaranya adalah : (Kadis,
2005)

Penggunaan zat-zat yang mempertinggi viskositas

Perbandingan opimum dari minyak dan air. Emulsi dengan minyak 2/3-3/4
bagian meskipun disimpan lama tidak akan terpisah dalam lapisan-lapisan

Penggunaan alat khusus untuk membuat emulsa homogen.
VIII.
Kesimpulan

Emulsi dengan menggunakan emulgator PGA 10% yang dibuat
menggunakan metode pembuatan korpus emulsi kering dapat membentuk
emulsi yang stabil.

Veegum konsentrasi 2 % merupakan konsentrasi yang paling tepat untuk
membuat suatu sediaan emulsi yang stabil, baik dengan cara korpus emulsi
basah ataupun korpus emulsi kering.

Pembuatan emulsi dengan menggunakan cmc-Na 1 % lebih stabil dari cmcNa 0.5 %.

Sistem emulsi dengan menggunakan emulgator sintesis, yang lebih stabil
adalah pada penambahan Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi 6%
IX.
Daftar Pustaka

Anief, Moh. 2010. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi III. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia
Edisi IV. Jakarta: Depkes RI

Rowe, Raymond, et all. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipien Sixth
Edition. London: Pharmaceutical Press

Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah
Mahasiswa. Jakarta: EGC

Syamsuni .2007. Ilmu Resep. Jakarta: EGC

Kadis, Sukati dkk. 2005.
Meracik Obat Lanjutan I. Ujung Pandang:
Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin

Agoes, Goeswin. 2012. Sediaan Farmasi Likuida-Semisolida.Bandung :
Penerbit ITB
Download