Politik Etnis Masyarakat Pendatang Di Kota Palopo Skripsi Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Politik Pada Jurusan Ilmu Politik da Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeristas Hasanuddin Oleh: Munauwarah E111 07 006 Program Studi Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar 2011 iv ABSTRAK Politik Etnis Masyarakat Pendatang di Kota Palopo. Munauwarah, Nim: E11107006, Program Studi Ilmu Politik dibawah bimbingan Drs. H. A. Ya’kub, M.Si dan Dr. Gustiana A. Kambo M.Si. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan memandang kemajemukan etnis di Kota Palopo sebagai sebuah fenomena sosial, dimana perbedaan etnis dapat berinteraksi satu dengan yang lain dalam tingkat politik lokal. Penelitian ini memakai deskriptif analisis kualitatif, yang berusaha menggambarkan peran etnis pendatang dalam pemilu legislatif di Kota Palopo. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompokkelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Politik etnis diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikan diri mereka ke dalam salah satu kelompok etnis tertentu, yang kesadaran itu memunculkan solidaritas kelompok. Kota Palopo adalah salah satu kota dengan percampuran etnis sehingga tercipta suatu multikulturalis yang harmonis. Etnis pendatang (Tionghoa, Jawa, dan Makassar) sama-sama melakukan proses interaksi sosial dengan masyarakat asli. Karakteristik masyarakat sosial politik pendatang di Kota Palopo masih cenderung membuat kelompok berdasarkan ikatan emosional ini terjadi oleh karena kesamaan yang mereka miliki. v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN SKRISI ................................................... ii HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ....................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................... v DAFTAR ISI ....................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 11 BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Politik Etnis ........................................................................ 12 B. Kelompok Masyarakat Pendatang .................................... 23 C. Kerangka Pikir .................................................................. 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ................................................................ 34 B. Tipe dan Dasar Penelitian .................................................. 34 C. Sumber Data ...................................................................... 35 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 36 E. Teknik Analisa Data ........................................................... 40 vi BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Kota Palopo .......................................................... 43 B. Letak Geografis .................................................................. 48 C. Keadaan Penduduk ............................................................ 49 D. Populasi Etnis Pendatang .................................................. 51 BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Masyarakat Pendatang Dalam Lingkungan Sosial Politik di Kota Palopo ............................................... 54 B. Peran Etnis Pendatang Dalam Arena Politik Pemilihan Anggota DPRD di Kota Palopo ........................................... 66 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 75 B. Saran .................................................................................. 76 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 78 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan sistem politik di tingkat lokal pasca orde baru dan kebijakan-kebijakan desentralisasi ditandai dengan penerapan konsep chek and balances kekuatan politik lokal dalam lembaga-lembaga politik didaerah yang diantaranya adalah legislatif dan eksekutif. Peran dan fungsi baik itu, lembaga legislatif daerah (DPRD) maupun Kepala Daerah menjadi lebih besar dibandingkan pada masa Orde Baru. Kecenderungannya kemudian berimplikasi pada pandangan beberapa kelompok masyarakat diberbagai belahan wilayah di Indonesia yang menempatkan pengertiannya masing-masing pada struktur masyarakat dalam praktik politik dan konsepsi demokrasi. Demokrasi tidaklah berdasar atas hak-hak mayoritas, tapi suatu pengakuan bahwa semua adalah bagian dari suatu negara. Semua warga negara mempunyai hak, bahkan bukan hanya sekedar hak tetapi semacam dignitas politik supaya jangan sampai ada anggapan orang lain sebagai musuh dengan melihat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk serta realitas pluralitas tumbuh di dalamnya. Kegagalan untuk mengakomodir pluralitas akibatnya adalah masifikasi kekerasan dan potensi konflik horizontal. Kerjasama antara kesatuan sosial yang ada di masyarakat, dan antara masyarakat dengan negara untuk memperbesar 1 dan melembagakan tradisi toleransi menjadi upaya mendesak yang harus dilakukan. Membangun politik nasional secara demokratis memang sulit, karena belum ada konsensus pada tingkat elit di parlemen tentang bagaimana caranya untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan sebagainya. Tapi paling tidak harus ada kesadaran bahwa salah satu bagian pokok dari politik demokrasi adalah tidak terletak pada pemilu saja, tetapi terdiri dari upaya dari tokoh-tokoh politik untuk mengembangkan diskursus dan aktivitas politik yang lebih pluralis. Harus ada kerjasama parlemen dan pemerintah. Dari sinergi itu barulah ada semacam stabilisasi wilayah yang bisa menjaga pluralitas Indonesia itu. Khusus di kota dan daerah bercorak multi-etnis dan multikultural yang menampilkan jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin; masyarakat pribumi dan pendatang; serta mayoritas dan minoritas, demokrasi bisa berarti mengelola dengan baik berbagai konflik kepentingan dan perbedaan pandangan lewat kotak-kotak suara dan praktik-praktik demokratis lainnya. Kondisi seperti ini semakin nyata apabila kondisi kultural mendorong terjadinya pembagian sumber daya yang tidak adil, disertai minimnya pelayanan masyarakat. Keadilan menjadi tujuan utama, begitu pula kehati-hatian menangani isu kultural sensitif yang kerap mengemuka, misalnya dalam penetapan kebijakan politik sampai masalah kebijakan 2 pendidikan. Sama halnya, pemilihan umum bisa-bisa terpolarisasi ke dalam kutub-kutub kesukuan atau keagamaan. Pada awal reformasi, terutama dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lebih dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah); telah terjadi euforia yang berlebihan. Segala hal yang bernuansa program pusat (sentralistik) berusaha ditolak. Diantaranya adalah program transmigrasi yang tidak lain merupakan hasil kebijakan yang memunculkan perpindahan penduduk ke suatu daerah, mendapat penolakan di beberapa daerah 1 . Transmigrasi kemudian tidak lain merupakan salah satu bagian dari fenomena masyarakat pendatang. Pada umumnya penolakan ditujukan pada proses sentralistik penyelenggaraan transmigrasi tersebut, dan bukan kepada manfaat dari program transmigrasi. Dampak dari penolakan tersebut otomatis juga terimbas kepada masyarakat pendatang hasil program transmigrasi. Mereka, karena mengacu kepada peraturan yang berlaku, setelah lebih 5 tahun dibina oleh pihak penyelenggara (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), diserahkan kepada Pemerintah Daerah setempat. Namun, dalam kenyataannya, ada Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) bermasalah dan menjadi korban kebijakan. Pihak Pemerintah Daerah merasa terbebani oleh eks UPT tersebut, sementara pihak penyelenggara sudah lepas tanggung-jawab. 1 Harry Heriawan Saleh (2005): Transmigrasi Antara Kebutuhan Masyarakat dan Kepentingan Pemerintah. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Cetakan Pertama. Jakarta. Hal 26 3 Problema seperti ini merupakan situasi serba sulit bagi masyarakat pendatang, yang dari segi apapun tidak mempunyai kapasitas, akses, apalagi otoritas agar dapat keluar dari kemelut. Hal ini menjadikan desadesa eks UPT yang dihuni masyarakat pendatang seperti komunitas tak bertuan. Pada awalnya UU Otonomi Daerah diharapkan semakin mendekatkan jarak dan fokus pelayanan pimpinan daerah terhadap rakyatnya. Namun, setelah sekian lama berjalan, pemimpin daerah sebagai pelayanan publik tidak ada buktinya. Justru yang ada adalah rajaraja kecil2. Dari sekian banyak daerah sasaran program trasmigrasi dan menjadi daerah tujuan masyarakat pendatang adalah Sulawesi selatan. Daerah yang tidak lain merupakan bekas beberapa kerajaan Bugis dan Makassar. Kecenderungan munculnya “raja-raja kecil” dan kelas penguasa baru, haruslah putra “asli” daerah. Walaupun secara realistis raja-raja kecil asli daerah tersebut banyak pula yang sejak lama tinggal dan dilahirkan di pulau Jawa, dan baru pulang kampung setelah adanya otonomi daerah. Bahkan dalam pemahaman dan orientasi permasalahan kalau dibandingkan dengan masyarakat pendatang yang sejak kolonisasi dalam program transmigrasi telah tinggal ditempat itu. Tetapi karena pengakuan “darah keturunan”, maka para penguasa baru putra asli daerah bersama kelompoknya merasa lebih berhak sebagai raja baru. 2 Djoko Sidik Pramono. Prospek Penyelenggaraan Transmigrasi di masa depan. Makalah Dirjen PSKT Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, disampaikan pada seminar peringatan Hari Bakti Transmigrasi ke 53 tanggal 8 Desember tahun 2003 di Jakarta. 2003 4 Dalam masalah tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan masyarakat pendatang dilihat dalam pertentangannya dengan masyarakat telah mengakar keberadaannya disuatu daerah yang cenderung dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat masyarakat pendatang sebagai kelompok minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.3 Hampir semua wilayah perkotaan di seluruh Indonesia bisa diibaratkan sebagai tatanan masyarakat yang sangat beragam dan plural struktur masyarakat yang terlihat mayoritas dan masayarakat masih minoritas, sebagai konsekuensi dari arus perpindahan penduduk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri begitupun sebaliknya. Akibatnya, setiap kelompok masyarakat 3 Parsudi Suparlan. Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural dan Minorotas. Makalahdipresentasekan dalam Workshop Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural. 2004 5 dalam sebuah kota atau daerah akan menampilkan spektrum yang memancarkan tiap kelompok etnis, ras, dan keagamaan sebagai bagian dari karakteristik dan identitas mereka. Di banyak kota di Indonesia dengan mudah dapat ditemukan berbagai kawasan yang dihuni kelompokkelompok beridentitas khas yang tampak sangat berbeda jika dilihat dari tingkat lokal. Eksistensi etnisitas dalam labelisasi politik Indonesia kontemporer paling tidak dapat ditemukan dalam tiga dimensi utama: pertama, tuntutan pengakuan identitas etnis. Kedua, adanya semacam keinginan untuk tetap mempertahankan identitas etnis dan agama antar kelompok. Ketiga perjuangan terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap eksploitasi sumber daya alam yang mereka miliki. Dalam proses politik dan demokrasi, masalah ini kemudian memunculkan banyak regulasi maupun perundangan-undangan untuk mengatur sampai mengakomodir persoalan adanya realitas etnisitas dalam lingkungan sosio-politik di Indonesia. Penetapan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah nomor 32 tahun 2004 dan perubahannya ke Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2008, pada tahun 2008 sebagai salah satu regulasi dalam menegakkan demokratisasi di daerah-daerah di Indonesia adalah pemilihan legislatif secara langsung oleh rakyatnya. Undang-undang ini merupakan hasil jerih payah kalangan prodemokrasi untuk menjadikan negeri ini lebih demokratis untuk 6 mengatasi persoalan-persoalan kemajemukan masyarakat yang mewarnai berbagai daerah di Indonesia. Sehingga perlu upaya untuk mendukung proses demokrasi secara penuh dengan pengawasan yang ketat agar tidak menyimpang dari yang kita harapkan. Sebagai salah satu dari proses demokratisasi merupakan proses yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (2003) menyatakan; urgensi pemilu dalam kaitan demokrasi menjadi beralasan, ketika mencermati fungsi pemilihan umum dalam sistem politik demokrasi dengan empat alasan utama. Pertama, Pemilu merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara (di pusat maupun di daerah). Kedua, Pemilu merupakan prosedur dan mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga penyelenggara negara. Ketiga, Pemilu merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan periodik baik perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, Pemilu juga dapat digunakan sebagai prosedur dan mekanisme untuk mewujudkan tatanan politik dan pola perilaku politik yang disepakati bersama. Namun terdapat berbagai kecendrungan ironi, dengan mengamati praktik-praktik demokrasi dapat kita temukan beberapa ketimpangan seperti dalam pemilihan langsung, baik kepala daerah maupun anggota legislatif ketika diberlakukan; warga yang tinggal di desa eks UPT selaku masyarakat pendatang hanya diminta dukungan suaranya, dan bukan 7 untuk diakomodasikan atau dicarikan solusi atas problema yang dihadapinya. Ini adalah realitas yang sangat menyedihkan, dan sebuah tragedi terhadap hak-hak politik. Partisipasi politik lokal semakin meningkat secara signifikan dengan munculnya kepentingan perorangan maupun kelompok yang bisa dikataan “politisi dadakan” di setiap daerah dalam ranah politik, kondisi yang kemudian dimanfaatkan beberapa golongan untuk mencapai kekuasaan baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna mendapatkan kursi di parlemen atau legislatif dan jabatan birokratis di daerah. Potensi modal budaya, seperti penggunaan simbol-simbol dan atribut-atribut lainnya yang berlatar etnis yang terkonstruk dalam nilai-nilai budaya lokal menjadi salah bentuk dari strategi politik dalam mendapatkan dukungan untuk tujuan mencapai kekuasaan di parlemen bahkan di birokrasi sekalipun. Begitu pula dengan masyarakat pendatang dengan menggunakan atribut etnis yang menjadi salah satu identitas dan karakteristik mereka dalam lingkungan sosio-politik, meski diasumsikan adanya proses akulturasi telah berlangsung cukup lama antara pribumi dan pendatang, namun fakta-fakta dari berbagai praktik etnisitas harus turut kita cermati. Fenomena politik yang bernuansa etnis di Kota Palopo merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena politik di tanah air yang mengupas gencarnya semangat kembali ke etnisitas. Maraknya kembali ke etnisitas akhir-akhir ini kembali menghiasi panggung politik Indonesia 8 terutama pada tataran lokal, dimana sebagian kalangan malah mengkhawatirkan akan kembali melahirkan ancaman terhadap integrasi dan keutuhan bangsa. Munculnya dinamika sosial-politik di Kota Palopo sebagai salah satu kota pada masa sebelumnya merupakan sasaran transmigrasi dan banyaknya masyarakat pendatang memunculkan potensi pergesekan keagamaan dan kesukuan seperti yang telah banyak diulas serta kuatnya penonjolan simbol-simbol primordial dalam pertarungan politik pada tataran lokal. Gejala ini tampak pada pelaksanaan Pemilihan Anggota DPRD pada April 2009. Dari aspek partisipasi politik, masyarakat pendatang, masih kurang diakomodasi dalam memainkan peran dan kedudukan dalam pranata politik, beberapa kedudukan politis dan birokrasi masih didominasi oleh masyarakat setempat yakni masyarakat Bugis Luwu. Meski masyarakat pendatang seperti Tionghoa dan Jawa masih minoritas namun kedudukan dan peran mereka dalam tumbuh berkembangnya kota Palopo cukup memberikan kontribusi. Kesan egoisme kedaerahan yang dimunculkan oleh „putra daerah‟ ini disebabkan oleh menonjolnya sentra-sentra ekonomi yang lebih banyak dikuasai oleh pendatang yang menjadi lahan pertarungan dalam arena civil society. Etnis Tionghoa misalnya terlihat begitu mendominasi sektor bisinis di kota Palopo, Etnis Jawa, Flores, Toraja dan lainnya lebih banyak menduduki sektor-sektor jasa. Adapun peran masyarakat di kota Palopo kurang lebih didorong oleh karakteristik etnis yang mewarnai kultur 9 mereka. Persoalan ini kemudian juga turut berimpilikasi dalam berbagai persoalan politik, kekuatan etnis asli yang masih mendominasi etnis pendatang dan mendorong adanya sikap dari etnis pendatang dalam beradaptasi dengan karaktiristik masyarakat setempat dalam berpolitik. Pengkajian yang lebih merinci atas persoalan-persoalan ini menjadi sangat menarik dengan hubungannya dengan wacana multikultural dan pluralisme yang dinilai banyak kalangan belum tuntas pada tataran akar kultural, sebab pada masa orde baru yang mengeluarkan kebijakan transmigrasi lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui praktekprektek ilmiah serta hasil-hasil yang telah dicapai telah memberikan sedikit banyak gambaran tentang berbagai persoalan yang muncul dalam dinamika masyarakat majemuk dalam aspek sosio-politik serta pemetaan kekuatan simbol-simbol etnis dalam interaksi masyarakat kota Palopo dapat diperlihatkan dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah Dari hal tersebut penulis memfokuskan penelitian ini pada kaitannya dengan bentuk perilaku yang dimunculkan dalam praktekpraktek politik etnis pendatang dengan merumuskan beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana karakteristik masyarakat etnis pendatang di tengah lingkungan sosial-politik Kota Palopo? 2. Bagaimana peran etnis pendatang dalam arena politik pemilihan anggota DPRD di Kota Palopo? 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1. Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan dinamika masyarakat etnis pendatang dalam lingkungan sosio-politik Kota Palopo b. Mendeskripsikan pandangan dan peran masyarakat etnis pendatang dalam menanggapi masalah etnis pada proses politik seperti pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah di Kota Palopo 2. Manfaat Penelitian 2.1. Manfaat Teoritis a. Menjawab fenomena sosial politik yang ada khususnya dalam perpolitikan lokal. . b. Menunjukkan secara ilmiah mengenai pandangan politik etnik di Kota Palopo. c. Memperkaya kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan, khususnya kontemporer. 2.2. Manfaat Praktis a. Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami realitas politik etnik. b. Memberikan informasi kepada praktisi politik memahami realitas politik etnik. c. Sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana ilmu politik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 Dalam bab ini dimaksud untuk menguraikan beberapa konsep dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini akan dibahas tiga aspek, sebagai berikut: politik etnis, masyarakat pendatang, dan bagianbagiannya aspek tersebut akan diurai lebih lanjut. A. Politik Etnis Dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian warga untuk membawa masyarakat kearah kehidupan yang harmonis. Usaha untuk mencapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan sistem politik itu dan hal yang menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Munculnya politik etnis diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikkan diri mereka ke dalam salah satu kelompok etnis tertentu, yang kesadaran itu memunculkan solidaritas kelompok. Dari teoritisi poststrukturalis kemudian postmodernitas yang mengkritik modernitas khususnya terhadap wacana etnis dalam konteks politik (ethnic politic). Politik Etnis adalah tindakan politik yang diarahkan dengan menggunakan etnis sebagai kekuatan politik.4 Etnis dapat menjadi sebuah 4 Http/politik/etnis/www.google.com 12 dukungan moral dalam penentuan pilihan politik. Dalam pelaksanaaannya, kegiatan politik tidak dapat disangkal, disamping segi-segi yang formal juga mencakup segi-segi yang kultur suatu masyarakat yang melekat pada perilaku suatu suku bangsa, hal ini disebabkan karena publik mencerminkan tabiat perilaku kelompok masyarakat. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita sering kali berhadapan dengan banyak kegiatan yang berhubungan dengan masalah keberadaan suatu kelompok etnis. Suatu pandangan oleh James D. Fearon, mengemukakan bahwa etnik di politisasi ketika koalisi politik di organisir berdasarkan garis etnik atau ketika akses untuk kepentingan politik maupun ekonomi tergantung etnik. Pandangan lain, Rothschild dalam Ethnopolitics: A Conceptual Framework, mengutarakan bahwa politik etnik adalah; (1) membuat seseorang mengetahui dan sadar akan keterkaitan politik dengan nilainilai budaya etnik mereka dan sebagainya; (2) untuk mendorong perhatian mereka mengenai keterkaitan kedua hal tersebut; (3) untuk memobilisasi mereka kedalam kesadaran etniknya dan; (4) mengarahkan prilaku mereka kedalam aktifitas arena politik pada basis kesadaran, perhatian, kesadaran kelompok. Politisi etnik seperti itu bisa meningkatkan, memperlambat, atau menghapuskan keadan integrasi politik, dapat melegitimasi sistem politik mereka, dan menstabilkan atau mengukir pemerintahan dan rejim mereka. 13 Alesina Baqir dan Easterly berpendapat bahwa kelompok etnik punya pilihan yang berbeda dalam sumber daya publik, dan keanekaragaman seperti itu mengarah ketetapan kumpulan yang lebih rendah. Feron menunjukkan jika kelompok etnik mayoritas dan minoritas dalam keadaan yang baru mengantisipasi pilihan yang bertentangan pada beberapa kebijakan publik, kemudian etnik mayoritas punya masalah dalam melakukan kebijakan dua sisi tersebut mengarah pada konflik kekerasan. Konflik etnik muncul ketika bentuk koalisi etnikuntuk membagi suatu keuntungan besar daru hasrat sumber daya umum, yang susah dijelaskan dalam model-model dimana tindakan datang dari asumsi mengenai pilihan berlawanan pada jenis sumber daya. Handelman membedakan empat tingkat perkembangan yang dipertunjukkan di dalam komunitas budaya manusia, yakni: 1. Kategori Etnis, keterhubungan seseorang dengan masyarakat merupakan suatu ikatan yang agak longgar dan sekadar suatu gambaran adanya perbedaan budaya antara kelompoknya dengan dunia luar. 2. Jaringan Etnis sudah terdapat interaksi yang teratur antara anggotaanggota etnis tersebut sehingga dengan jaringan tersebut terjadi distribusi sumber-sumber antara anggotanya. Pada tingkat asosiasi etnis, para anggotanya telah mengembangkan minat yang sama dan membentuk organisasi-organisasi politik dalam 14 pernyataan-pernyataan kolektif, contohnya Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar yang sudah mempunyai agenda kegiatan rutin. 3. Tingkat Masyarakat Etnis (ethnic community) kelompok masyarakat tersebut telah memiliki teritori yang tetap serta terikat di atas organisasi politiknya seperti misalnya yang terlihat di dalam suatu negara nasional (nation state) kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada dasarnya terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok. Kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai sifat-sifat kesamaan kebudayaan seperti bahasa, adat istiadat, perilaku budaya, karakteristik budaya dan sejarah. Dari pengertian ini, kelompok etnik dapat dipandang sebagai unit-unit kebudayaan maupun sebagai tatanan organisasi. Sebagai unit kebudayaan kelompok etnik memiliki sistem kebudayaan sendiri untuk beradaptasi dengan lingkungannya, kelompok ini memiliki nilai yang dijunjung tinggi, jika mereka menggunakan identitas etnik dalam mengkategorisasikan dirinya dengan orang lain untuk tujuan interaksi maka terbentuklah kelompok etnik sebagai tatanan sosial. Maraknya proses demokrasi yang sejalan dengan politik desentralisasi dimana pemerintah pusat memberikan hak dan keluasaan kepada pemerintah daerah untuk memperoleh kebebasan dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah sendiri. 15 Etnisitas yang menjadi ikatan yang sangat emosional dan mendalam telah melahirkan perjuangan kelompok-kelompok etnis tertentu dari dominasi etnis mayoritas. Etnisitas berkaitan pula dengan kebudayaan masing-masing yang memiliki ciri khas dari kelompok etnis tersebut, dalam kelompok tersebut terjadi keterikatan antara orang-orang dalam kelompok tersebut atau dikenal sebagai primordialisme. Sehingga tidak jarang keterikatan etnis ini dimanipulasi dan dijadikan alat atau kendaraan oleh kelompok elite dalam memperebutkan sumber kekuasaan, terutama di daerah yang penduduknya heterogen. Pendekatan primodial merupakan pendekatan yang tertua, pendekatan ini melihat etnis sebagai sesuatu yang diberikan (given) terbawa sejak lahir, berasal dari struktur kekerabatan dalam masyarakat sehingga sifatnya lebih tetap dan permanen. Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.5 Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme 16 lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, yang masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Pengertian primordialisme menurut beberapa pakar: 1. Robuskha dan Shepsle, mengartikan primordialisme dengan loyalitas yang berlebihan terhadap budaya subnasional seperti suku bangsa, agama, ras, kederahan dan keluarga 2. Stephen dan sanderson, menyebutkan primordialisme berkaitan dengan studi etnisitas, suatu pandangan bahwa identitas etnis merupakan hal yang melekat pada individu yang sulit dihapuskan 3. Ramlan keterkaitan surbakti mengatakan seseorang dalam primordialisme kelompok atas merupakan dasar ikatan kekerabatan, suku bangsa & adat-istiadat sehingga melahirkan pola perilaku serta sita-cita yang sama. Sebab-sebab munculnya primordialisme sebagai berikut: 1. Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam kelompok/perkumpulan sosial 17 2. Adanya suatu sikap untuk mempertahankan suatu kelompok/kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar 3. Adanya nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem keyakinan, seperti nilai-nilai keagamaan dan pandangan. Pendekatan situasional dalam melihat berdasarkan rasional choice, dimana etnisitas adalah sesuatu yang relevan dalam suatu situasi tapi tidak dalam situasi yang lain, seseorang boleh memilih menjadi anggota etnis apabila mereka menemukan keuntungan dari kelompok etnis tersebut. Suatu pandangan yakni “primodialilist” menguraikan bahwa tidak diperlukan penjelasan mengapa etnisitas mengapa etnisitas seringkali berbentuk basis diskriminasi dan mobilisasi politik, kelompok etnis secara natural adalah politik, sebab keduanya mempunyai akar biologis atau karena kedua-duanya diatur dalam budaya dan sejarah sebagai suatu yang terberi dan tidak dapat di ubah dalam kehidupan sosial politik. Dengan kata lain primodialisasi berasumsi bahwa kategori etnik pasti selalu berhubungan dengan sosial, dan kaitannya dengan politik secara otomati diikuti dengan hubungan sosial. Objek utama argumen primordialistbahwa mereka tidak dapat membuat perasaan berbedadalam politik etnis dalam ruang dan waktu.6 6 James D. Fearon, Ethnic Mobilization and Ethnic Violence, Departement of Political Science Stanford University, (Stanford, August 11, 2004). Hal.6 18 Berlawanan dengan pendapat primordialis, pandangan modernis melihat kelompok etnis sebagai bentuk koalisi politik untuk peningkatan kepentingan ekonomi dari anggota atau pemimpin. Perbedaan dalam politisi etnik kemudian dijelaskan oleh argumentasi mengenai etnik yang membuatperasaan ekonomi untuk mengorganisir satu koalisi berdasarkan garis etnik.7 Diprakarsai oleh Bates penelitian lain berpendapat etnisitas dapat menyediakan sebuah basis yang menarik untuk bentuk koalisi yang semata-mata pada pertentangan distribusi sumber daya politik. Bates berpendapat bahwa kelompok-kelompok etnik Afrika, yang berlawanan lebih lokal dalam bentuk sebelum kolonialisme yakni suku kemudian dikembangkan sebagai koalisi politik untuk memperoleh peningkatan akses sumberdaya modern disalurkan oleh kondisi kolonil dan sesudah kolonial.8 Perubahan dalam batas-batas politik atau tingkat pemilihan dapat merubah besar dari koalisi kemenangan terendah, pendekatan ini dapat membantu untuk menjelaskan antara perubahan situasional dan sementara dalam politisi etnik. Argumen seperti itu membutuhkan penjelasan kapan dan mengapa koalisi politik yang dibentuk berdasarkan etnik lebih dari berdasarkan garis-garis lain seperti kelas, agama, wilayah atau ideologi politik. 7 8 Ibid, hal 6 -7 Ibid, hal 8 19 Bates membuat dua saran, pertama berbagi bahasa dan budaya yang sama membuat mudah pengusaha politikuntuk memobilisasi dalam kelompok lebih dari melintasi kelompok-kelompok etnis. Kedua, etnis dan batas administratif kolonial cinderung menguntungkan orang, sebuah lokasi partikular lobbying untuk sumber daya ini sepanjang garis etnik adalah alami.9 Kedua argumen tersebut sering menjadi cerita, tetapi bukan merupakan yang utama dari kelompok etnik keanggotaan oleh suatu aturan turunan sebagai alasan untuk koalisi etnik. Ada banyak macam kasus tentang politisasi etnik tentang antara kelompok-kelompok dengan budaya dan bahasa umum, dan politisasi etnik disamping pemimpin yang hampir tidak bisa berbicara bahasa etnik. Dan jika bentuk koalisi sederhananya bermakna dengan memperoleh dan leluasa membagibagikan suber daya,kemudian mengapa etnik menjadi lawan bagi ernik lainnya, kemungkinan ukuran sewenang-wenang menggambarkan kondisi geografis secara optimal. Sesungguhnya kita sering mengamati politisasi etnik dalam daerah politisasi dan administrasi dengan populasi etnik campuran yang tinggi. Chandra berpendapat bahwa koalisi etnik diistimewakan dalam pemilihan politik dari lindungan demokrasi, demokrasi dengan skala luas karena pemilihan dapat dengan mudah dengan menandai keuntungan 9 Ibid, hal 8 20 dari perlindungan etnik dibanding dengan kategori sosial yang lain, informasi lebih tersedia. Dia menyarankan bahwa hasil dari politikus dapat lebih mudah dikembangkan suatu reputasi sebagai penyedia oleh membagi sumberdaya sepanjang garis etnis. Dalam konstelasi politik di Indonesia terkadang muncul kekerasan dalam interaksi antaretnis, apalagi menyangkut aspek kepemimpinan, perebutan sumber-sumber kekuasaan, dan sumber-sumber alam serta keegoan masing-masing identitas etnis. Sebagai contoh adalah ketika terjadinya perubahan oleh reformasi politik yang kemudian memunculkan ketegangan etnis baik dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam perebutan lahan kekuasaan dan ekonomi dengan munculnya pemekaran wilayah, seperti yang dipaparkan dalam tulisan Lorraine V. Aragon mengenai persaingan elite yang berubah menjadi politik identitas keagamaan dan berkembang menjadi politik identitas etnis di Sulawesi Tengah. Kasus lain adalah pemekaran Kepulauan Mentawai sebagai hasil aktivitas elite lokal dengan segala macam eksklusionisme berdasarkan sentimen etnis (Myrna Eindhoven), dan perebutan provinsi di daerah Luwu-Tana Toraja di Sulawesi Selatan sebagai akibat elite-elite lokal yang termarjinal di tingkat provinsi Sulawesi Selatan sehingga mengangkat isu pemekaran provinsi sebagai simbol identitas etnis Luwu agama.10 10 Henk Schulte Nordholt &Gerry Van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan 21 Munculnya politik identitas atau biopolitik sebagai akibat runtuhnya masyarakat yang terkontrol dan direncanakan secara ilmiah yang memaksakan identitas nasional dan membangkitkan kekuatan pada kekuasaan tertentu, sehingga kemudian memunculkan perjuangan kelompok minoritas yang merasa identitasnya terpinggirkan. Fenomena kasus etnis seperti penolakan masyarakat Dayak terhadap Madura dan menuntut mereka meninggalkan wilayah dayak dapat dilihat sebagai usaha mengembalikan cultural boundary itu pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Pengusiran orang Jawa dari Aceh, dari Timor Timur atau dari Papua merupakan bukti konkrit gerakan kultural ini. Pertikaian disini bukan disebabkan oleh perbedaan dua budaya etnis itu, tetapi oleh suatu sistem sosial-politik yang tidak mampu menjamin keseimbangan kekuasaan ekonomi dan politik antar etnis. Memecahkan pertikaian dengan kebijakan yang telah diambil pemerintah sebelumnya mesti harus diperbahurui dan membutuhkan redefinisi sistem politik secara mendasar, khususnya menyangkut kacamata politik baru dalam melihat perbedaan etnis. Edward Azar menegaskan faktor pengingkaran kepentingan identitas kelompok sebagai faktor sentral dalam pertikaian etnis yang kemudian membentuk kesadaran kelompok yang berlebihan. OborIndonesia. hlm. 49-188. 22 B. Kelompok Masyarakat Pendatang Secara umum diakui bahwa masyarakat dalam proses kebudayaan mengartikulasikan dirinya melalui individu-individu yang berada di dalamnya, sehingga penting untuk ditelaah lebih jauh mengenai corak hubungan yang memungkinkan masyarakat dan individu saling mengandaikan satu dengan yang lain. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu yang mempunyai suatu sistem sosial keseluruhan, di mana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan bahasa yang sama. Tetapi dalam suatu sistem sosial yang kompleks seperti halnya di kota Palopo sering pula kita jumpai golongan minoritas etnis dan orang-orang pendatang, sehingga kita perlu berbicara tentang tradisi budaya dan bahasa yang dominan. Dan dapat diperkirakan bahwa setiap orang memiliki budaya yang sama, “batas” dari masyarakat tersebut tanpa keraguan dan dapat ditentukan dengan baik. Masyarakat dalam perspektif difusi (penyebaran) dibagi dua menjadi masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang. Masyarakat pribumi adalah sekelompok manusia yang tinggal dan menetap lama dan memiliki ikatan sejarah emosional dengan wilayahnya, dapat dikatakan sebagai masyarakat asli. Sedangkan masyarakat pendatang adalah sekelompok manusia yang melakukan perpindahan ke suatu wilayah dan tinggal serta beradaptasi dalam proses interaksi bersama masyarakat pribumi. Proses ini kemudian menjadi latar belakang percampuran 23 budaya yang mempolakan suatu sistem masyarakat multikultural dalam satu teritori tertentu. Menurut Max Weber, dalam masyarakat multikultural ada beberapa macam kelompok sosial. Kelompok sosial yang satu berbeda dari kelompok sosial yang lain, walaupun mereka termasuk dalam suatu masyarakat yang sama. Max weber mengemukakan bahwa kelompok masyarakat majemuk berkaitan dengan tatanan yang mengikat dan dipengaruhi oleh kondisi Masyarakat Indonesia ekonomi, tergolong politik, masyarakat dan kebudayaan. multicultural, yaitu masyarakat yang beragam etnis/ suku bangsa, ras, agama, bahasa, adatistiadat, profesi, golongan politik dsb. Keberagaman suku bangsa dan kebudayaan tersebut, tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan struktur sosial. Karena itu, dalam masyarakat Indonesia terdapat bermacam-macam kelompok sosial berdasarkan kriteria tertentu, seperti kelompok sosial yang terbentuk karena kepentingan etnis atau suku bangsa, kelompok sosial kerena kepentingan agama, kerena kepentingan profesi dan sebagainya. Perkembangan kelompok sosial itu terjadi melalui 2 proses, yaitu proses yang bersifat alami dan disengaja. Masing-masing masyararakat dengan identitas etnis tertentu menempati wilayah-wilayah yang secara turun-temurun mereka akui sebagai wilayah tempat sumber-sumber kehidupan mereka yang menjadi haknya dan yang hak tersebut diakui oleh sukubangsa lainnya. Masing24 masing sukubangsa mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan corak dan potensi-potensi sumber daya dalam lingkungan hidup masingmasing dan sesuai dengan tema-tema budaya atau pandangan hidup dan etos yang dipunyai. Oleh karena itu masing-masing kelompok masyarakat mempunyai corak kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya.11 Pengalaman kontak-kontak hubungan yang terjadi dengan dunia luar juga berbeda-beda antara satu etnis dengan etnis lainnya. Sehingga ada kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang tidak mengalami akulturasi budaya dan sebaliknya ada yang kebudayaannya sebenarnya adalah hasil akulturasi dari berbagai kebudyaan-kebudayaan dari luar dengan kebudayaan sukubangsa tersebut. Kontak-kontak hubungan dengan pedagang-pedagang dari Cina, Arab, India, dan Eropa di masa lampau maupun pada masa sekarang, pada umumnya telah secara langsung atau tidak langsung merubah dan mendorong perkembangan teknologi dan ekonomi dari kebudayaan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, serta merubah berbagai pedoman etika dan moral dari masyarakat etnis yang bersangkutan. Bila kita melihat masyarakat pendatang sebagai kelompokkelompok etnis, dan bukan sebagai sebuah kelompok biasa, maka hubungan antar sukubangsa adalah sama dengan hubungan diantara 11 Parsudi Suparlan"Kebudayaan dan Pembangunan". Media IKA, Vol.14, no.11, Jurusan Antropologi, U.I. 1985 . Hal.6 25 warga dari etnis-etnis yang berbeda. Jadi bukan hubungan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Warga dari etnis-etnis yang berbeda berhubungan satu sama lainnya untuk kepentingan pribadi karena suka sama suka untuk saling berteman. Tetapi pada umumnya hubungan antar sukubangsa terwujud bukan terutama karena ingin berteman tetapi karena dampak dari bekerja di tempat yang sama, hidup bertetangga, tinggal bersama dalam sebuah RT atau kampung, atau karena mengerjakan bisnis yang sama sehingga harus bekerja sama atau bersaingan. Dengan demikian maka sebenarnya hubungan antar sukubangsa terwujud sebagain hasil dari kegiatan-kegiatan interaksi sosial, ekonomi, atau politik, diantara anggota-anggota sukubangsa yang berbeda. Pada umumnya kelompok masyarakat yang beramai-ramai berpindah tempat tinggal ke daerah lain atau kota-kota besar beralasan karena faktor ekonomi atau dengan kata awam “perbaikan nasib”. Kota Palopo misalnya dapat dijelaskan merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi sasaran program transmigrasi pada masa orde baru, tetapi bukan hanya faktor tersebut yang dapat kita telaah. Namun seperti pada umumnya mengenai fenomena perpindahan dan penyebaran penduduk ada berbagai analisis yang dapat kita gunakan sebagai alat kaji, termasuk persoalan sistem masyarakat Indonesia dan budaya kelompok-kelompok etnis yang menyebar di Indonesia. 26 Kelompok masyarakat pendatang : 1. Etnis tionghoa. Awal datangnya etnis tionghoa dikota makassar. 2. Etnis jawa. 3. Etnis makassar. Mobilitas masyarakat pendatang berlaku secara geografi, yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada adanya jenis pekerjaan yang lebih menguntungkan; dan juga berlaku dalam pengertian naiknya status sosial-ekonomi bersamaan dengan naiknya tingkat pendapatan mereka. Mereka yang secara mudah berpindah tempat adalah para bujangan, baik laki-laki atau perempuan; sedangkan yang cenderung untuk naik ke jenjang sosial-ekonomi yang lebih tinggi adalah mereka yang telah berkeluarga. Di samping itu, terdapat ciri lain yang menyolok dalam kehidupan masyarakat pendatang, yaitu: kehidupan mereka semata-mata tertuju pada kepentingan memperoleh keuntungan ekonomi (semua kegiatan dan gejala diukur dalam kepentingan keuntungan ekonomi). Sehingga, rumah-rumah dan penataan ruang dalam rumah sebenarnya dibuat secara irit dan ekonomis, yaitu berfungsi majemuk dan tidak tersisa lagi untuk ruang kosong yang hanya berfungsi kegunaan untuk satu kegiatan (ruang makan adalah juga ruang tamu dan juga ruang tidur, misalnya). Hal yang sama juga berlaku dalam hal pemanfaatan ruang-ruang kosong yang ada di halaman rumah, yang dimanfaatkan untuk membuat warung, 27 usaha industri rumah tangga, bengkel, atau kamar-kamar yang dapat dikontrakkan kepada para pendatang baru. Karena perhitungan ekonomi berada diatas perhitungan-perhitungan lainnya, maka juga mereka cenderung untuk tidak memasak makanan mereka sendiri, khususnya bagi yang bujangan, karena waktu memasak kalau mereka hitung lebih mahal daripada kalau membeli makanan di warung (yang juga dapat dihutang). Masyarakat pendatang juga memilki kecenderungan orientasi kepentingan ekonomi, yaitu menunjukkan status sosial dengan simbolsimbol 'mewah' (pakaian, make-up) yang dapat mereka beli sesuai dengan tingkat pendapatan mereka. Cara mendapatkan barang-barang tersebut yang umum adalah dengan melalui hutang atau kredit. Yang penting barangnya dahulu, membayarkan belakangan, dan kalau perlu juga menghindarkan diri dari pembayaran hutang atau kredit yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itu tidaklah mengherankan, kalau kita memasuki wilayah perkampungan para pendatang, yang mayoritas berpenghasilan rendah, akan kita dapati bahwa dalam kampung tersebut terdapat berbagai jasa pelayanan untuk makan, minum, hiburan, dan kios-kios/toko-toko barang kelontong (di samping yang dijual oleh para pedagang kakilima). Jajan dan berbelanja barang merupakan suatu kegiatan hiburan yang juga diselimuti oleh suatu kebanggaan tersendiri sebagai orang yang punya uang. Dengan demikian juga merasa sebagai orang yang status sosial- 28 ekonominya lebih tinggi daripada rata-rata yang tidak dapat membelanjakan uang. Beberapa penelitian dan kajian oleh sejumlah ahli mengenai masyarakat pendatang sebenarnya telah memperlihatkan bahwa dalam usaha untuk hidup secara lebih baik di daerah lain mereka itu telah berusaha untuk meninggalkan berbagai adat kebiasaan yang secara tradisional mereka ikuti sebagai pedoman hidup dan sebagai gantinya mereka menggunakan berbagai cara hidup yang berlaku di daerah yang di datangi, atau setidak-tidaknya yang berlaku dalam kehidupan setempat di daerah tersebut. Salah satu dari cara hidup di kota Palopo yang mereka ikuti adalah orientasi kepentingan ekonomi. Tetapi tidak semua yang secara tradisional mereka ikuti sebagai pedoman hidup itu tidak fungsional kegunaannya dalam menghadapi tantangan hidup di kota Palopo. Salah satu yang tetap lestari adalah hubungan kekerabatan, hubungan seasal, dan hubungan bapak-anak. Sehingga melahirkan ciri-ciri utama dari masyarakat pendatang di kota Palopo, khususnya yang tinggal di pemukiman-pemukiman liar atau perkampungan yang tergolong berpenghasilan rendah, yaitu hubungan patron-klien (hubungan bapakpelindung dengan anak yang dilindungi) yang bukan merupakan hubungan formal tetapi hubungan yang informal, sosial, dan spontan. Pada dasarnya setiap masyarakat dalam hidupnya akan mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu akan dapat diketahui, 29 apabila dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu kemudian membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terusmenerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami perubahan penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dan masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaanperbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal. Kelompok sosial ataupun masyarakat umumnya mengalami perubahan akibat proses revolusi karena pengaruh dari luar. Keadaan tidak stabil pada kelompok masyarakat dapat terjadi sebagai akibat konflik antar kelompok karena kurangnya keseimbangan antara 30 kekuatan-kekuatan dalam kelompok tersebut. Ada golongan dalam kelompok sosial yang ingin merebut kekuasaan dengan mengorbankan golongan lain, atau ada kepentingan tidak seimbang, sehingga timbul ketidak adilan atau perbedaan paham atau pandangan tentang cara mencapai tujuan kelompok. Kesemuanya itu mengakibatkan terjadinya perpecahan didalam kelompok sosial, sehingga timbul perubahan struktur kelompok sosial. Timbulnya struktur kelompok sosil yang baru, pada akhirnya bertujuan mencapai keadaan yang seimbang dan stabil. Perubahan struktur kelompok sosial dapat pula terjadi karena sebab-sebab dari luar. Ancaman dari luar misalnya, sering kali menjadi faktor yang mendorong terjadinya perubahan struktur kelompok sosial. Situasi yang membahayakan yang berasal dari luar akan memperkuat rasa persatuan dan mengurangi keinginan-keinginan untuk mementingkan diri sendiri dari anggota-anggota kelompok sosial tersebut. Sebab lain, yaitu pergantian pimpinan, stap, atau anggota kelompok sosial yang tidak sesuai dengan ketantuan yang berlaku. C. KERANGKA PIKIR Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan semua persoalan tentang politik identitas, yang akan di arahkan untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang penggunaan sentimen etnis dalam arena kontestasi pemilihan legislatif/Kepala Daerah dan keterlibatan pemerintah yang melingkupinya baik dari dimensi ekonomi, birokrasi maupun yang 31 menyertainya dalam konteks politik lokal di Kota Palopo. Sebelum memasuki perbincangan yang lebih detail tentang gejala ke etnisitas dalam politik lokal di Kota Palopo, penelitian ini secara spesifik akan dipaparkan secara gamblang rentang perdebatan tentang konsep etnisitas untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang asal usul pengaruh etnisitas dalam dinamika politik di Kota Palopo. Kelompok etnis yang kemudian menjadi bagian dari fokus penulis untuk mengidentifikasikan beberapa kelompok etnik di Kota Palopo dan menggambarkan bagaimana dinamikanya dalam konteks politik. Gambaran tentang karakter kelompok politik etnis dengan melihat adanya gerakan pendekatan politik kondisional, berupa perilaku keterpecahan yang yang ditandai dengan masing-masing membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi, terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah sehingga peran pemimpin tidak dominan lagi dan bertujuan pada pembagian kekuasaan. Penulis berasumsi bahwa munculnya perilaku yang berasal dari dinamikanya sendiri, protes muncul atas berbagai macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan. Pola aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonomi sebagai tujuan finalnya. Dalam situasi negara yang terdiri dari multi identitas dan etnisitas, politik perbedaan tumbuh subur dan memicu 32 munculnya perjuangan kelompok-kelompok terpinggirkan yang mencoba menampilkan diri dan bertahan. Pada kesimpulan yang akan penulis berusaha capai nantinya adalah bagaimana menunjukkan adanya konstelasi politik di Palopo yang terkadang muncul kecenderungan diskriminasi atas kelompok pendatang maupun kelompok minoritas lannya dalam proses interaksi antaretnis, apalagi menyangkut aspek kepemimpinan, perebutan sumber-sumber kekuasaan, dan sumber-sumber alam serta keegoan masing-masing identitas etnis. Sebagai contoh adalah ketika terjadinya perubahan oleh reformasi politik yang kemudian memunculkan ketegangan etnis baik dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam perebutan lahan kekuasaan dan ekonomi yang ditandai dengan berbagai wacana otonomi daerah dan isu-isu pemekaran wilayah. Politik Etnis Kelompok Etnis (Krakater etnis Pendatang) Peran dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kota Palopo Etnis Tionghoa Etnis Jawa Etnis Makassar 33 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Palopo yang didiami oleh beberapa etnis yakni, etnis Luwu, etnis Toraja, etnis Bugis, etnis Jawa, dan etnis Rongkong. Untuk lokasi yang lebih spesifik yakni kecamatan Wara Timur, Kecamatan Wara Utara, Kecamatan Bara. Masing lokasi dipilih secara sengaja dan mempertimbangkan populasi etnis yang mewakili di masing-masing kecamatan. B. Tipe dan Dasar Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif dan ditelaah dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil kajiannya merupakan sebuah deskripsi dan pemahaman tentang arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu. Dimana aspek subyektif dari perilaku obyek akan menjadi penekanan dalam penggalian informasi yang dibutuhkan. Pemahaman akan dunia konseptual dari obyek akan coba dipahami sedemikan rupa sehingga akan didapatkan berbagai pemahaman atau pengertian yang dikembangkan oleh individu, pada berbagai peristiwa yang mereka hadapi dan pada perilaku yang mereka lakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Ciri penelitian kualitatif adalah pelaksanaannya yang bersifat studi kasus, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas 34 berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitiannya, oleh karena itu peneliti harus cermat, tanggap dan mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan. Dengan karakteristik tersebut, maka peneliti memilih jenis penelitian kualitatif dengan alasan; 1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat terungkap secara mendalam dan mendetail. 2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan diskriptif. C. Sumber Data 1. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh peneliti dilapangan, melalui obeservasi di lapangan, melalui obeservasi, pertimbangan digunakannya teknik ini adalah bahwa apa yang orang katakan seringkali berbeda dengan apa yang ia lakukan, dalam melakukan obeservasi tersebut, peneliti menggunakan alat perekam. Selain itu penelitia juga melakukan wawancara dengan informan-informan kunci. 35 2. Data Sekunder Penulis selain turun ke lapangan, juga melakukan telaah pustaka yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran dan sumber informasi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan permasalahan yang diajukan pemahaman dalam menyeluruh penelitian ini, mengenai maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa macam cara. Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan sesuai dengan fokus penelitian. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan metode penelitian dan fokus penelitian, sehingga mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid. Teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif ini antara lain adalah dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan pengamatan (observasi). Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif. Hal ini sejalan dengan Paton bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah wawancara mendalam dan intensif. 36 Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat kualitatif. Untuk itu maka dalam penelitian ini akan digunakan teknik sebagai berikut : 1. Observasi Jenis pengamatan yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah pengamatan biasa (tidak berperanserta),dimana peneliti hanya melakukan pengamatan dari luar dan mengamati kedalam lingkungan dan terhadap aktifitas anggota masyarakat satu kelompok etnis dan subjek lainnya yang terlibat di dalam lingkungan masyarakat yang terkait dengan topik politik. Penulis nantinya berusaha mengamati dan melakukan perbandingan terhadap pola interaksi dalam aktifitas masyarakat satu kelompok etnis dengan subjek lainnya yang ada di sekitarnya. Dengan teknik ini penulis harapkan adanya data tentang bentuk dan pola interaksi dan aktifitas satu kelompok etnis secara umum dan dapat menjadi acuan untuk menyimpulkan model interaksi dan praktik masyarakat dengan lingkungan sosialnya maupun arena politik lainnya, serta praktikpraktik mereka dalam kaitannya dengan aktifitas politik. 2. Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Proses wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth Interview). Wawancara mendalam adalah kegiatan wawancara yang dilakukan untuk menggali sebuah topik dalam rangka memperdalam pengetahuan peneliti mengenai topik tersebut. Beberapa rangkaian 37 wawancara dilakukan untuk memperoleh barbagai macam penjelasan yang relevan dengan masalah penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak hanya terfokus pada satu topik saja, namun bisa juga melompat-lompat, tergantung kesediaan informan dan petanyaan yang diajukan oleh peneliti. Model ini ditempuh guna mendalami situasi dan kondisi, serta lebih memperhatikan aspek informan agar dapat mengetahui informasi yang diperlukan, peneliti tidak terpaku pada draft atau pedomanpertanyaan penelitian, melainkan memperhatikan sifat dan ciri unik dari informanpada saat wawancara. Dengan begitu, wawancara lebih terkesan sebagai obrolan biasa, sambil bercanda, sambil melakukan hal-hal yang sifatnya santai. Wawancara mendalam dilakukan untuk menjawab segenap fokus penelitian yang telah dirumuskan. 3. Studi Pustaka Dengan melakukan studi pustaka, peneliti melakukan pembacaan terhadap beberapa buku-buku terkait dengan kajiankajian masalah etnis dan politik dan literatur lainnya yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian guna dijadikan bahan dan acuan penelitian. Dengan teknik ini penulis berupaya mengelaborasi dan membangun pemahaman tentang pendekatan kebudayaan/etnis dan ilmu politik untuk mendapatkan perbandingan dan acuan untuk penulisan nantinya. Buku-buku yang mendeskripsikan dan yang mengkaji tentang kelompok etnis di Kota 38 Palopo, serta buku-buku yang menceritakan sejarah masyarakat pendatang terkait masalah perilaku dan peristiwa-peristiwa yang dialami pada masa lalu. Artikel, Makalah, Internet serta ulasan dalam Surat Kabar yang memberitakan informasi tentang aktifitas, yang mengkaji serta kritik terhadap legislatif akan digunakan penulis bahanbahan untuk penulisan nantinya. E. Teknik Pemilihan Informan Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan terdapat pertanyaan-pertanyaan berlanjut. Informan yang dipilih adalah informan yang benar paham dan mengetahui permasalahan yang dimaksud. Informan yang akan penulis wawancarai untuk pengumpulan data ini terdiri dari komponen masyarakat dan beberapa orang dari lembaga terkait. Pemilihan informan dapat berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam memperoleh data yang akurat. Penelitian ini berakhir ketika peneliti sudah merasa data yang didapat sudah cukup untuk untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Adapun narasumber penelitian ini: Benny Wijaya selaku Ketua Bhudi Bahakti Komunitas Etnis Tionghoa di Kota Palopo, Claudia Caleg etnis Tionghoa (tidak terpilih), Drs, Supriono, M.Si selaku ketua pagyuban etnis Jawa, Drs. Murdiono selaku Caleg etnis Jawa (tidak terpilih), Halim Ahmad ST, Caleg terpilih etnis Makassar. 39 F. Teknik Analisis Data Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, ada 3 (tiga) langkah dalam menganalisis data yaitu: reduksi data, pengorganisasian data dan interpretasi data. Jika dirinci langkahlangkah tersebut adalah sebagai berikut 1. Pengorganisasian Data Ini adalah proses penyusunan kembali semua informasi sekitar tema-tema tertentu yang berkaitan dengan topik penelitian. Juga meliputi kategorisasi informasi yang lebih spesifik, dan menampilkan hasilnya dalam beberapa format. Cara-cara yang paling umum dalam menampilkan data adalah teks. Selain itu juga digunakan matriks, grafik, tabel dan sejenisnya 2. Proses Interpretasi Meliputi pembuatan keputusan dan penyusunan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Hal ini meliputi proses mengidentifikaasi pola-pola dan keajegan, menemukan kecenderungan dan memberikan penjelasan atas aspekaspek tertentu, yang akan memungkinkan terjadinya perkembangan kearah sudut pandang yang lebih tegas yang selanjutnya akan menuntun peneliti dalam langkah selanjutnya. Proses penelitian yang berlanjut akan membantu untuk merumuskan kembali, megkonfirmasikan dan menguji validitas dari kesimpulan yang sudah dibuat sampai saat ini. Proses ini akan terus berlanjut sampai kesimpulan akhir dapat tercapai. 40 Menjaga validitas data, peneliti menggunakan empat kriteria yakni, pertama, creadibility atau derajad kepercayaan. Kriteria ini dilakukan dengan cara mengikutsertakan informasi untuk mendiskusikan data yang ditemukan dengan cara melakukan cross-check terhadap teknik pengumpulan data yang telah dilakukan. Kedua, adalah perbandingan dengan kasus yang diduga memiliki kesamaan fokus penelitian, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu, maupun fokus lain yang memiliki kesamaan. Ketiga, adalah dependenability atau ketergantungan dan keempat, adalah confirmability yaitu dengan cara melakukan cross-check dengan sumber data yang telah diperoleh serta mendiskusikannya dengan para ahli yang memiliki wawasan teoritis maupun empiris. Fase selanjutnya adalah interpretasi, yang merupakan tahap perbandingan antara temuan-temuan yang di lapangan dengan penelitianpenelitian yang relevan berkaitan dengan fokus masalah yang dikaji. Terakhir adalah penulisan, dimana pada tahap ini merupakan tahap pelaporan data hasil penelitian yang telah melalui proses diskusi dengan beberapa pihak yang dianggap memiliki kompetensi. Di akhir kajian, studi ini berupaya untuk menghasilkan sebuah simpulan-simpulan yang mempunyai daya eksplanasi komparatif, dan mampu membuahkan abstraksi hipotesa yang bersifat deskriptif. Untuk memperdalam kedalaman data, studi ini akan memanfaatkan data sekunder dan data primer untuk mengetahui kontestasi yang terbangun berbasiskan atas etnisitas yang terjadi dalam ranah civil societ/kelompok 41 masyarakat yang dapat dileaborasi dari fenomena etnisitas di Kota Palopo. 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Dalam pembahasan ini akan diuraikan gambaran umum lokasi penelitian diperlukan untuk memudahkan memahami lokasi penelitian dengan cara mendeskripsikan letak geografis, luas wilayah, keadaan penduduk, agama, bahasa dan sejarah. Sebagaimana etnik itu sendiri merupakan sekelompok penduduk yang memiliki sifat-sifat kesamaan kebudayaan seperti bahasa, agama, perilaku budaya, sejarah, dasar geografis dalam batas-batas wilayah. A. Sejarah Kota Palopo Pada tahun 1952, pemerintah republik indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah No. 34/1952 tentang pembubaran daerah sulawesi selatan bentukan belanda/jepang termasuk daerah yang berstatus kerajaan. Setelah itu muncul pula peraturan pemerintah No. 56/1951 tentang pembentukan gabungan sulawesi selatan. Kemuduan daerah gabungan dibubarkan dan wilayah dibagi menjadi 7 daerah swatantra. Satu diantaranya adalah daerah swatantra Luwu yang wilayahnya seluruh daerah Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat kekuasaan di Palopo. Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan undang-undang darurat No. 3/1957 tentang pembubaran daerah Luwu dan pembentukan Bone, Wajo, Soppeng. Undang-undang darurat No. 4/1957, memutuskan 43 daerah Luwu menjadi daerah swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja. Daerah swatantra Luwu meliputi kewedanan Palopo, Masamba, dan Malili. Pada tanggal 1 maret 1960, ditetapkan PP No. 5 tahun 1960 tentang pembentukan propinsi administrasi Sulawesi Selatan yang terdiri atas 23 daerah tingkat ll. Dan salah satunya adalah daerah tingkat ll Luwu. Berdasarkan surat keputusan gubernur kepala daerahtingkat l Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 distrik diluwu dan 143 desa gaya baru. Ke 14 distrik itu adalah: Wara, Larompong, Suli, Bajo, Bupon, Bastem, Bone-bone, Wotu, Mangkutana, Malili, Nuha. Distrik ini lalu berubah menjadi kecamatan berdasarkan SK gubernur kepala daerah tingkat l sulawesi selatan tenggara No. 2067/1961 tanggal 18 desember, dengan luas wilayah 25.149 km2. Selain itu juga berdasarkan SK mendagri No. 42/1986 tanggal 17 september 1986, ditetapkan dati ll luwu sebagai salah satu kota administratif. Pada tahun 1999 semangat otonom daerah bergulir. Hampir semua propinsi melakukan menuver untuk memperoleh wewenang yang lebih dari sebelumnya. Pemerintah pusat dianggap mengambil terlalu banyak wewenang dan menghendaki agar kewenangan itu dilimpahkan sebagian kedaerah. Pada tahun 1999 telah dikeluarkan UU No. 22 tentang pemerintah daerah. Pada tanggal 10 februari 1999 oleh DPRD kabupaten luwu mengeluarkan SK No. 03/Kpts/DPRD/ll/1999, tentang usul dan 44 persetujuan pemekaran wilayah kabupaten dati ll luwu yang dibagi menjadi dua wilayah kabupaten. Pemerintah propinsi sulawesi selatan lewat SK No. 136/776/OTODA tanggal 12 pebruari 1999 memberi dukungannya. Pada tanggal 20 april 1999, kabupaten luwu utara berdiri, kabupaten luwu akhirnya menjadi 2 kabupaten yaitu kabupaten dati ll luwu ( luas wilayah 3.247.77 km2 ) dan luwu utara ( 14.447.46 km2 ) . Aspirasi masyarakat luwu terus mangalir. Mereka mengiginkan dibentuk lagi satu kabupaten dengan melihat wilayah luwu utara demikian luas, dan demi peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat wacana pembentukan satu kabupaten baru makin mendapat tanggapan akhirnya pemerintah mengeluarkan UU republik indonesia nomor 7 tahun 2003 tentang pembetukan kabupaten luwu timur dan kabupaten mamauju utara, akhirnya kedatuaan luwu kini terdiri atas kabupaten luwu, luwu utara, luwu timur, dan kota palopo. Ide pemekaran bekas kedatuan luwu (kabupaten luwu) memang terus berkembang, bahkan hingga kini. Pada tahun 2000, isu peningkatan status kotif palopo yang merupakan ibu kota kabupaten luwu menjadi daerah otonom, terus bergulir dan semakin menguat melalui aspirasi masyarakat yang mengiginkan peningkatan status kala itu. Semakin kuatnya desakan itu ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status kotif kota palopo menjadi daerah otonom kota palopo dari beberapa unsur lembaga penguat, seperti surat bupati luwu No. 135/ 45 09/ TAPEM tanggal 9 januari 2001, tentang usul peningkatan status kotif palopo menjadi kota palopo; keputusan DPRD kabupaten luwu No. 55 tahun 2000, tentang persetujuan pemekaran/ peningkatan status kotif palopo menjadi kota otonomi; surat gubernur propinsi sulawesi selatan No. 135/922/OTODA tanggal 20 maret 2001 tentang usulan pembentukan menjadi kota palopo; keputusan DPRD propinsi sulawesi selatan No. 41/lll/2001 tanggal 29 maret 2001 tentang persetujuan kotif palopo menjadi kota palopo; hasil seminar kota administratif palopo menjadi kota palopo; surat dan dukungan organisasi masyarakat, organisasi politik, organisasi pemuda, organisasi wanita bahkan desakan ini dibarengi dengan aksi beberapa masyarakat yang memperjuangkan kotif palopo menjadi kota Palopo. Pemerintah pusat melalui depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak geografis kota palopo maka status kotif palopo kemudian di tingkatkan menjadi daerah otonom kota palopo. Hal ini dimungkinkan oleh potensi kota palopo yang berada jalur trans sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar seperti luwu, luwu utara, tana toraja dan kabupaten wajo. Berdasarkan potensi tersebut pada tanggal 2 juli 2002, kopta palopo akhirnya berubah status menjadi daerah otonom dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya kabupaten luwu. Perubahan status ini ditandai dengan 46 ditandatanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom oleh bapak mentri dalam negeri republik indonesia berdasarkan undang-undang No. 11 tahun 2002 tentang pembentukan daerah otonom dan perubahan status ini merupakan salah satu tonngak sejarah perjuangan pembangunan kota palopo. Di awal terbentuknya sebagai daerah otonom, kota palopo hanya memiliki 4 kecamatan yang meliputi 19 kelurahan dan 9 desa. Namun seiring dengan waktu perkembangan dinamika kota polpo dalam segala bidang dan untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan dikota palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Dalam melaluiperjalanan panjang kota palopo maka pemerintah menunjuk salah seorang pejabat wali kota (caretaker) yang dianggap kapabel untuk menjalankan roda pemerintahan, dan untuk itu pilihan jatuh kepada Drs. H.P.A. Tendriadjeng, M.Si untuk menahkodai dan mengawali pembangunan kota palopo selama kurun waktu 1 tahun berhasil dijalankan dengan baik karena itulah, bapak tendriajeng kemudian dipilih sebagai wali kota difinitif oleh DPRD kota palopo periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya sebgai wali kota pertama dikota palopo sampai sekarang ini. 47 B. Letak Geografis Kota Palopo Pada awal berdirinya kota otonom, palopo terdiri dari 4 kecamatan dan 20 keluraha. Kemudian pada tanggal 28 april 2005, berdasarkan perda kota palopo no.03 tahun 2005, dilaksanakan pemekaran wilayah kecamatan dan kelurahan menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Kota palopo secara geografis terletak antara 2053‟15” - 3004‟08” lintang selatan dan 120003‟10” – 120014‟34” bujur timur. Letak geografiskota palopo ini merupakan posisi yang cukup strategis sebagai titik pertemuan jalur transportasi darat trans sulawesi dan laut trans teluk bone. Pada posisi ini kota palopo menjadi salah satu jalur distribusi barang dari makassar dan pare-pare menuju propinsi sulawesi tenga, kabupaten luwu utara, luwu timur dan pada jalur laut menuju propinsi sulawesi tenggara dan batas-batas daerah kota palopo adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, Sebelah timur : Teluk Bone Sebelah selatan: Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Sebelah barat : Kecamatan Tondon Nanggala KabupatenTana Toraja Luas wilayah kota palopo sekitar 247,52 kilometer persegi atau sama dengan 0,39% dari luas wilayah propinsi Sulawesi selatan. Kota palopo sebagian besarnya merupakan dataran rendah seperti halnya 48 dengan keberadaannya sebagai daerah pesisir pantai sekitar 62,85 persen dari total luas daerah kota palopo yang merupakan daerah kota palopo yang merupakan daerah dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut, 24,76 % terletak pada ketinggian 501- 1000 meter dan sekitar 12,39% terletakdiatas ketiggian lebih dari 1000 meter. C. Keadaan Penduduk Penduduk kota palopo terdiri dari bermacam-macam suku diantaranya suku bugis, makassar, toraja, jawa, bali, flores dan masi bnyak suku2 pendtang yang lain. Perkembangan penduduk kota palopo di pengaruhi oleh tingkat kelahiran, urbanisasi transmigrasi, urbanisasi dan migrasi berdasarkan data tahun 2010 jumlah penduduk kota palopo sebanyak 137.595 jiwa. Penyebaran penduduk dikota palopo dalam hal ini tiap-tiap kecamatan cukup berfariasi atau tidak merata. Dari 9 kecamatan terdapat 3 kecamatan yang penduduknya terbilang sangat padat jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya, ketiga kecamatan tersebut adalah kecamatan wara dengan angka kepadatan 2.530 per km 2, kecamatan wara utara dengan kepadatan sebesar 1.679 per km 2, sedangkan kecamatan lainnya belum terlalu padat seperti kecamatan mungkajang kepadatannya baru mencapai 195 jiwa km2. Pertumbuhan penduduk di kota palopo selama di periode 2008 – 2010 mengalami peningkatan sekitar 3,57% pertahun, yaitu 127.804 jiwa 49 tahun 2008 menjadi 141.996 jiwa pada tahun 2010, sedangkan rata-rata anggota rumah tanggapada keedaan akhir tahun 2010tercatat sebesar 4,80 atau dengan kata lain hampir setiap rumah tangga beranggotakan 45 orang, sementara peningkatan pergerakan pertumbuhan penduduk pada tahun 2011 tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan 2011 – 2012 dan kita akan lihat pada tabel berikut : Pertambahan Penduduk Kota Palopo Tahun 2005-2009 JENIS KELAMIN NO TAHUN LAKI-LAKI PEREMPUAN PERSEN JUMLAH PENDUDUK TASE ( % ) 1 2005 62.786 63.471 126.257 - 2 2006 64.102 64.533 128.635 1,85 3 2007 64.182 64.792 128.974 0,26 4 2008 67.785 68.115 135.900 5,1 5 2009 78.838 79.102 157.940 13,9 Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palopo Kepadatan Penduduk Kota Palopo Tahun 2010 NO NAMA LUAS JUMLAH KEPADATAN PERSEN KECAMATAN WILAYAH PENDUDUK Km2/ TASE (Km2) (Jiwa) (Jiwa) (%) 1 WARA 11.49 33.152 2.885 20,99 2 WARA UTARA 10.58 20.367 1.925 12,90 3 WARA SELATAN 10.66 10.467 981 6,63 4 TELLUWANUA 34.34 13.043 379 8,26 5 WARA TIMUR 12.08 32.172 2.663 20,37 6 WARA BARAT 54.13 10.839 200 6,86 50 7 SENDANA 37.09 6.303 169 3,99 8 MUNGKAJANG 53.80 7.803 145 4,94 9 BARA 23.35 23.794 1.019 15,07 247.52 157.940 10.366 100.00 JUMLAH Sumber : Dinas Kependudukan dan PencatatanSipilKotaPalopo Kepadatan Penduduk Kota Palopo Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2010 NO NAMA KECAMATAN 1 WARA 16.423 16.729 33.152 2 WARA UTARA 10.026 10.341 20.367 3 WARA SELATAN 5.142 5.325 10.467 4 TELLUWANUA 6.708 6.335 13.043 5 WARA TIMUR 15.988 16.184 32.172 6 WARA BARAT 5.515 5.324 10.839 7 SENDANA 3.206 3.097 6.303 8 MUNGKAJANG 3.943 3.860 7.803 9 BARA 11.887 11.907 23.794 78.838 79.102 157.940 JUMLAH JENIS KELAMIN L JUMLAH PENDUDUK P KET D. Populasi Etnis Pendatang Keragaman budaya merupakan ciri tersendiri dari bangsa Indonesia. Negeri yang terdiri dari jajaran pulau-pulau dan dihuni oleh penduduk kurang lebih 210 juta jiwa. Jumlah penduduk sebesar itu tersebar keseluruh pulau dan masih terpilah-pilah berdasarkan agama, bahasa ,etnis dan sistem nilai yang dianut. Mereka yang berkelompok kurang -lebih 652 etnik dan tersebar di 55.000 desa dan kelurahan 12. Di 12 Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, ( Yogyakarta : Resist Book, 2006) ,hal.144 51 bagian Timur Indonesia dalam satu kota dapat ditemukan lebih dari sepuluh etnik apalagi di kabupaten atau propinsi bisa lebih dari 20 sampai 40-an etnik. Di Sulawesi–Selatan terdapat tiga etnik pendatang utama yaitu jawa, tionghoa dan makassar selain itu masih ada 22 etnik lain yang kecil-kecil13. 13 Ibid, hal. 43 52 BAB V HASIL PENELITIAN Pada bagian ini akan diuraikan mengenai politik etnik masyarakat pendatang dalam arena legislatif dikota palopo. Politik etnik yang dimaksud mengenai karakteristik masyarakat pendatang dikota palopo serta peran etnis pendatang dalam arena legislatif. Uraian ini dimaksud untuk mendapatkan deskripsi dan pengetahuan mengenai kedua hal tersebut. Pertama, gambaran mengenai karakter masyarakat pendatang dalam kehidupan sosial dikota palopo. Kedua, peran masyarakat pendatang dalam pemilihan anggota DPRD kota palopo. Dalam memahami politik etnik yang terjadi dalam proses tersebut, maka penelitian ini pada dasarnya memperoleh gambaran dari berbagai informasi yang tidak terlepas dari sikap, perilaku, dan partisipasi individu. Setiap individu memiliki orientasi pada situasi politik yang mereka peroleh dari pengetahuan maupun pengalaman dan dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, kesadaran pengeluaran atau pemasukan dalam kelompok, dalam hal ini kelompok etnik. Situasi politik itu sendiri memiliki cakupan yang sangat luas antara lain apatis, respon emosional, dukungan atau sikap kesadaran bahwa ada keterkaitan politik dengan kelompok etniknnya . 53 Penulis terlebih dahulu melakukan penelitian dengan melakukan wawancara terhadap informan, yakni masing-masing ketua organisasi etnis pendatang. Selain itu, untuk memahami karakteristik, perilaku dan partisipasi masyarakat terhadap caleg etnis pendatang, dalam hal ini korelasi antara kesamaan etnik dengan pilihannya. Penulis juga melakukan wawancara dengan informan terpilih yang mewakili tiga etnik masing–masing ; Tionghoa, Jawa dan Makassar. Selanjutnya penulis akan mendeskripsikan kemudian menarik kesimpulan mengenai politik etnik tersebut melalui data yang telah diperoleh dilapangan. A. Karakteristik Masyarakat etnis pendatang dalam lingkungan sosial politik di kota palopo Manusia selain sebagai makhluk sosial yang beragam baik pada tataran individu maupun (Kelompok etnik, agama, ideologi ), manusia juga secara alamiah adalah makhluk politik. Hal ini diungkapkan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics. Dalam bahasa aslinya (Latin/ Yunani) disebut “Zoon Politicon”. Yang dimaksud Aristoteles adalah politik merupakan keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain dalam menjalani kehidupan di dunia, maka mereka tidak lepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik. Sebagai makhluk politik kedudukan manusia selalu dalam masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki, sedangkan dalam suatu lingkungan politik manusia akan berusaha untuk 54 meraih kekuasaan atau suatu kedudukan dengan menggunakan sumbersumber yang dimiliki. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikatorindikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Masyarakat Kota palopo terdiri dari beberapa etnis yang hidup berdampingan seperti etnik tionghoa, etnis jawa, etnis makassar dan diikuti beberapa sub-sub etnik kecil yakni bali, Toraja, dan endrekang. Adapun etnis flores yang jumlahnya relatif kecil hanya terdapat didaerah perkotaan saja. Penduduk kota palopo dalam kehidupan sehari-harinya, masih banyak yang terikat sistem norma dan aturan-aturan yang menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Kota Palopo terutama etnis pendatang. Suku bangsa Tionghoa biasa disebut Cina, adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan 55 terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaankerajaan kuno diNusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Seperti juga diungkapkan Benny Wijaya: “seperti yang ada di Sejarah, leluhur etnis Tionghoa di Indonesia dulunya datang dari daerah cina, melaluli jalur perdagangan, apalagi di Selat Malaka, terjadi pertukaran barang perdagangan disana, ada yang pulang, dan ada juga yang menetap dan menikah dengan warga lokal.”14 Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Etnis Tionghoa banyak sekali di Indonesia, namun sebelum permasalahan etnis masih dianggap peka, maka sebelum tahun 2000, jumlah etnis Tionghoa tidak pernah di masukan dalam data sensus penduduk. Etnis Tionghoa cenderung tertutup dan inklusif dengan budaya lokal, bukan diartikan mereka memiliki karakter antipati terhadap sosialisasi dengan budaya lokal. Namun sikap yang itu muncul oleh karena trauma peristiwa masa lalu “tragedi diskriminasi” dan pembantaian 14 Wawancara dengan Benny Wijaya, selaku Ketua Bhudi Bhakti, komunitas Tionghoa di Kota Palopo, Tanggal 26 Mei 2012 56 terhadap etnik Tionghoa yang terjadi di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Claudia: “kami etnis Tionghoa sering dikira tidak ingin bergaul dengan masyarakat, namun mungkin hanya beberapa saja, itu mungkin karena trauma leluhur mereka yang pernah didiskriminasi, namun di Kota Palopo kami berbaur dan melakukan aktifitas dengan saling toleransi.”15 Selama masa Orde Baru berkuasa etnis Tionghoa banyak diperlakukan dengan diskriminatif, baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Etnis Tionghoa sperti lebih diarahkan ke bidang ekonomi saja. SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) diberlakukan bagi warga negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang masih dipertanyakan. Ketika masa Orde Baru juga melarang warga keturunan Tionghoa untuk berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang. Agama tradisional Tionghoa juga dilarang. Mengakibatkan agama Konghucu tidak diakui oleh pemerintah. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih 15 Wawancara dengan Claudia, selaku Caleg tidak terpilih pada pemilu legislatif Kota Palopo, 1 Juni 2012 57 untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Pada masa akhir masa Orde Baru, terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.16 Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi dijadikan momentum bagi orang Tionghoa membuka dan menyadarkan mereka akan pentingnya memperjuangkan aspirasi mereka melalui saluran-saluran politik. Hal ini didukung reformasi dan iklim demokratisasi yang lebih baik yang membuka katup-katup politik dan mengundang pasrtisipasi semua waga negara dalam proses ini. Salah satu agenda yang diusung dalam label Reformasi Total adalah penyelesaian masalah terhadap kaum minoritas, dan tercakup di situ pula Etnis Tionghoa. Saat itu mulai bermunculanlah berbagai partai politik maupun kelompoki kepentingan dari etnis ini seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dan FORMASI (Forum Masyarakat Untuk Solidaritas Demokrasi Indonesia). Presiden saat itu, B.J. Habibie juga mengakhiri segala bentuk pelarangan terhadap kebebasan berekspresi kelompok etnis Tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26 tahun 1998. kemudian Gus Dur 16 http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia 58 mencabut Kepres No. 6 tahun 2000, sekaligus keberadaan Inpres No. 14 tahun 1967. Sejak saat itu, dimulailah kebebasan berekspresi dalam bidang budaya bahkan, Megawati Soekarnoputri, presiden RI selanjutnya menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional serta menegaskan lagi tak boleh ada diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Putri Bung Karno ini juga menjamin etnis Tionghoa bisa bekerja dalam bidang apa pun, termasuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau TNI. Kebijakan pemerintah Indonesia pada masa orde baru dengan proyek kebijakan asimilasi berdampak pada keadaan sosial politik etnis Tionghoa di Kota Palopo. Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan etnis Tionghoa, pembubaran organisasi etnis Tionghoa serta simbol-simbol etnis Tionghoa. Ini mengakibatkan asimilasi budaya, dimana orang Tionghoa telah dibaur, positifnya terjadi sosialisasi namun agaknya mereka seperti kehilangan jati dirinya. Melalui keputusan Presiden No. 12 tahun 2002, tentang tahun baru Imlek, dan Imlek sebagai hari besar nasional,bahkan sejak pemerintahan Abdurahman Wahid (Gusdur), etnis Tionghoa diberikan hak-hak yang sama dengan warga Indonesia lainnya. Ini pun berdampak positif bagi Kota Palopo, dimana Toleransi dan hak-hak etnis Tionghoa pun dapat berbaur namun tidak kehilangan identitas budaya leluhurnya. Seperti yang dikatakan Claudia: “mungkin dulu memang tidak begitu harmonis, tapi itu hanya terlihat karena kasus-kasus yang terjadi di Indonesia pada umumnya, tapi 59 di sini hubungan sosial dengan masyarakat asli tidak ada hambatan. Kita sudah seperti saudara, dulu waktu kerusuhan di Makassar, katanya akan sampai di Palopo, tapi nyatanya tidak”17 Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Masyarakat Jawa dikenal menjaga nilai-nilai rukun,saling menghormati dan melibatkan kebudayaan yang berbgai macam,yaitu menekankan pentingnya kelompok sebagai sumber dukungan dan bimbingan dalam bertingkah laku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam berperilaku. Tentunya hal itu memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam berperilaku. Masyarakat keseluruhan mengutamakan sifat saling tergantung dalam jaringan hubungan sosial serta kemampuan menyesuaikan diri dengan kelompok dan cenderung merendahkan diri. Budaya merendahkan diri terlihat dalam tutur kata misalnya”Monggo mampir wonten gubug kulo”yang sesungguhnya mempersilahkan orang singgah dirumahnya. Dari kalimat itu,kesan yang muncul bahwa rumah yang ditempati sangat sederhana sekalipun terkadang lebih bagus dari sebuah gubug(rumah-rumahan di sawah). Hal 17 Wawancara dengan Claudia, selaku Caleg tidak terpilih pada pemilu legislatif Kota Palopo, 1 Juni 2012 60 ini tidak terlepas dari nilai hormat dan rukun yang menjadi prinsip dalam membangun interaksi sosial masyarakat khususnya suku masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa tidak menonjolkan milik pribadi karena tidak ingin meninggikan diri sendiri yang dianggap sebagun dengan sombong dan tidak menghormati orang lain dan lebih suka bersifat andhap asor. Masyarakat Jawa menekankan niali-nilai rukun dan hormat dengan cara merendahkan diri untuk meninggikan diri. Dengan merendahkan diri sama halnya memberi hormat kepada orang lain dan dengan begitu orang lain pun akan menghormati dirinya. Dalam kehidupan saling menghormati dan rukun ini tercipta suasana yang harmonis dan bukan saling bersaing untuk menonjolkan kemampuanya atau apapun yang dimiliki. Orang yang mertendahkan diri secara tidak langsung menjaga hubungan sosial dalam kelompok. Masyarakat pendatang yang beretnis jawa di Palopo memiliki kehidupan sosial yang baik dengan masyarakat asli seperti yang diungkapkan Suprhiono: “hubungan sangat baik, masyarakat jawa pada umumnya pedagang khususnya makanan (gorenga dan kue) tapi dengan ini juga kami secara tidak langung membangun kota Palopo.”18 18 Wawancara dengan Drs. Suprhiono, M.Si selaku ketua paguyuban Jawa, tanggal 8 juni 2012 61 Etnis Jawa yang ada di Palopo kebanyakan berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah, yang menghidupi hidupnya dengan cara berdagang. Seperti yang diungkapkan Murdiono : “mohon maaf, tapi kebanyakan orang jawa yang dirantau menengah kebawah, dan dari segi ekonomi banyak yang belum dikatakan mapan, jadi mereka fokus untuk berdagang, kalo untuk politik mereka mendukung dengan cara memilih di pemilu.”19 Etnis Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkasara' berarti "Mereka yang Bersifat Terbuka." Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya. 19 Wawancara dengan Drs. Murdiono, sebagai caleg etnis Jawa yang tidak terpilih, tanggal 6 juni 2012 62 Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Sementara, sistem sosial dalam masyarakat etnis Makassar adalah dikenal adanya penggolongan / strata sosial yang menggolongkan masyarakat ke dalam 3 golongan utama yang masing-masing di dalamnya terbagi lagi menjadi beberapa jenis. Penggolongan tersebut yaitu: Golongan Karaeng, To Maradeka, dan Ata/Budak/Hamba Sahaya. Selain itu, Masyarakat adanya aturan etnis tata Makassar juga sejak hidup yang berkenaan dahulu mengenal dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan, yang mereka sebut sebagai pangadakang. Dalam hal kepercayaan masyarakat etnis Makassar telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Turei A‟rana (kehendak yang tinggi). 20 Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan masyarakat seperti : Sipa‟anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu- kaluki, serta Sambori. Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan 20 http://fadilahmadjid.blogspot.com/2011/06/makalah-karya-ilmiah-tentang-suku.html 63 sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya. Etnis Makassar di Kota Palopo datang dan menetap di Kota Palopo oleh karena masih dalam satu daratan Sulawesi Selatan, dan sejarah etnis bugis makassar yang memang dikenal berpetualang, kebanyakan dari mereka kemudian menikah dengan orang asli. Seperti yang dikatakan Halim Ahmad: “kedatangan etnis Makassar disini sudah sejak lama, mereka menetap dan melakukan aktifitas disini, dan kebanyakan menikah denga orang sini. Meskipun berbeda, diharapkan masyarakat suku Makassar juga dapat hidup bersama dengan kebudayaan lain meskipun berbeda, dan saling menghormati tanpa melakukan penyeragaman budaya, tetapi dapat saling memahami adanya perbedaan-perbedaan sebagai salah satu warisan budaya dan kekayaan bangsa.”21 Karakteristik etnis pendatang di Palopo hampir sama yang lebih fokus kepada segi perekonomian, dalam hal ini berdagang dan berwirausaha. Budaya politik masih tergolong Budaya politik subyek/kaula memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran (output) sangat rendah. Subjek individual menyadari akan otoritas pemerintah yang memiliki spesialisasi, ia bahkan secara afektif mengorientasikan diri 21 Wawancara dengan Halim Ahmad,ST, Caleg terpilih (Anggota Legislatif Kota Palopo etnis Makassar) tanggal 13 Juni 2012 64 kepadanya, ia memiliki kebanggan terhadapnya atau sebaliknya tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas yang absah. Namun demikian, posisinya sebagai subyek (kaula) mereka pandang sebagai posisi yang pasif. Di yakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apaapa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subyek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Namun dengan semakin dibuka ruang demokrasi, etnis pendatang pun mulai mencoba masuk dalam sistem politik dan memberikan sumbangsih terhadap jalannya sistem politik. Dalam pentakdirannya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik. 65 Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat kelompok-kelompok budaya, etnik majemuk, memiliki kebudayaan, batas-batas sosial- dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik pembeda menjadi ciri pemerlain atau suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama. B. Peran etnis pendatang dalam arena politik pemilihan anggota DPRD di Kota Palopo Etnopolitik atau politik etnis dapat diasumsikan sebagai politik yang memfokuskan pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan dan toleransi. Munculnya politik etnis diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikan diri mereka ke dalam salah satu kelompok etnis tertentu, yang kesadaran itu memunculkan solidaritas kelompok. Seperti yang diungkapkan Suprhiono : 66 “kesamaan suku dan budaya yang dimiliki secara tidak langsung ada ikatan emosional untuk saling tolong menolong di tanah rantau.”22 Sejalan dengan demokratisasi di indonesia sering timbul pemikiranpemikiran yang mementingkan kelompok dan suku sendiri (sukuisme), adanya kecenderungan untuk menggunakan nilai-nilai kelompok dalam proses politik. Maraknya proses demokrasi yang ditandai dengan desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberi otonomi kepada pemerintah daerah untuk memperoleh kebebasan dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah sendiri. Etnisitas yang menjadi ikatan yang sangat emosional dan mengakar dalam masing-masing individu dalam etnisnya, telah memicu munculnya perjuangan kelompok-kelompok etnis dari dominasi etnis mayoritas. Etnisitas berkaitan erat dengan budaya masing-masing kelompok yang memiliki ciri khas kelompok tersebut atau yang sering disebut dengan primordialisme. Sehingga tidak jarang keterikatan etnis ini sering dimanfaatkan dan dimanipulasi kelompok elite (aktor-aktor politik) untuk mencapai tujuan dan mendapatkan kekuasaannya, terutama didaerah yang penduduknya heterogen. Setelah sistem electoral dilakukan secara langsung, baik untuk pemilihan Kepala Daerah dan pemilihan DPRD, muncul sebuah indikasi telah terjadi pergeseran politik yang dikembangkan oleh etnis pendatang 22 Wawancara dengan Drs. Suprhiono, M.Si selaku ketua paguyuban Jawa, tanggal 8 juni 2012 67 Kekuatan lobby maupun kuatan finansial saat ini dirasakan tidak cukup lagi untuk mengontrol berbagai kebijakan politik ditengah rumitnya dinamika politik lokal di Kota Palopo. Ada semacam keharusan bahwa etnis harus terlibat langsung dalam sistem politik formal jika ingin melakukan perubahan secara cepat ditengah arus perubahan politik, sekaligus sebagai upaya menanggalkan image sebagai etnis perantara yang cenderung dipolitisasi dari berbagai kepentingan politik. Seperti yang diungkapkan Claudia: “sebenarnya dulu saya tidak mau maju jadi caleg, namun karena saya suka melakukan baksos, dan pak Walikota Tendri Ajeng melalui ketua yayasan Pak Benny untuk mencalonkan saya sebagai anggota legislatif, dan saya pikir ini kesempatan untuk membuktikan etnis pendatang,khususnya Tionghoa juga bisa.”23 Etnis pendatang untuk menempatkan wakilnya dalam pemilu legislatif 2009 di Kota Palopo mengisyaratkan bahwa mereka mulai menuai hasil dari perubahan strategi politik yang kembangkan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa mereka perpolitikan di Palopo, masih menggunakan kekuatan primordial sebagai sebagai basis pergerakan politik. Sistem kekerabatan yang terbangun sejak lama seperti, adanya kesamaan profesi (pengusaha), jejaring kekerabatan organisasi baik dari segi agama maupun suku dikonversi dengan baik sebagai lain modal sehingga untuk berkompetisi dengan mayoritas etnis yang memunculkan sebuah sistem politik kekerabatan. Seperti diungkapkan Murdiono: 23 Wawancara dengan Claudia, sebagai Caleg tidak terpilih pada pemilu legislatif Kota Palopo, Juni 2012 68 “dalam konteks politik, memang masih sulit mo tampil setara dalam pertarungan legislatif,bukan apanya, tapi kita kalah kuantitas, dan masih berdasarkan priomdial jadi kebanyakan masyarakat asli yang lebih dominan, tapi tidak berarti masyarakat pendatang tidak punya kapasitas.”24 Sebenarnya etnis pendatang juga ingin menggunakan kekuatan primordial keterwakilan politik ditingkat parlemen lokal diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang selama ini membelenggu pendatang. Namun dari segi kuantitas masih tergolong kecil. Dalam pemilihan legislatif etnis pendatang kebanyakan masih belum mau terjun langsung dalam panggung politik, mereka kebanyakan hanya ingin terlibat dalam sistem politik sebagai pemilih, dengan mendukung sistem politik dan memilih pilihan yang tepat segioya sudah dapat memiliki peran terhadap kemajuan kota Palopo. Seperti yang diungkapkan Suprhiono: “Sebagai ketua paguyuban saya persilakan pilih sesuai kata hati, terserah mau dari etnis mana tanpa ada perbedaan, siapapun yang terpilih kami hanya ingin dilindungi disini sebagai masyarakat pendatang, biar kami dapat beraktifitas dengan tenang. Kita tetap dukung siapa pun yang kandidat yang terpilih, karena itu adalah pilihan rakyat demi kemajuan kota Palopo”25 Keikutsertaan warga negara dalam pemilu merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah akan memilih atau tidak memilih dalam pemilu. Dengan melihat pola perilaku pemilih, kita dapat mengetahui apakah pemilih memilih berdasarkan manifesto partai atau 24 Wawancara dengan Drs. Murdiono, sebagai caleg etnis Jawa yang tidak terpilih, tanggal 6 juni 2012 25 Wawancara dengan Drs. Suprhiono, M.Si selaku ketua paguyuban Jawa, tanggal 8 juni 2012 69 tertarik hanya berdasarkan emosional belaka. Seperti yang diungkapkan Benny Wijaya: “secara komunitas kami tidak mendukung salah satu kandidat, tapi kalau secara pribadi pasti punya pilihan masing-masing dengan penilaian sendiri. kami sudah cukup cerdas untuk memilih, kita memilih bukan karena janji, tapi melihat kapasitas, dan tidak serta merta memilih sesama etnis, kalau etnis lain yang lebih baik, kenapa tidak memilih dia?”26 Tindakan atau keputusan politik seseorang ditentukan oleh perilaku, sikap dan persepsi politik. Perilaku politik adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintah. Perilaku politik ini meliputi tanggapan-tanggapan internal seperti persepsi, sikap dan keyakinan, juga meliputi tindakan yang nyata seperti pemberian suara, protes, lobbying, dan lain sebagainya. Sedangkan persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu objek tertentu, baik mengenai keterangan maupun informasi dari suatu hal maupun gambaran tentang objek politik yang bersifat fisik dan nyata. Dan sikap politik berkaitan dengan berbagai keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu objek atau situasi politik dengan suatu cara tertentu. Terkait dengan peran masyarakat pendatang dalam pemilu tidak terlepas dengan konsep membangun masyarakat yang berdaya oleh pemerintah. Bahwa peran pemerintah dalam hal ini dapat ditunjukan dengan membuka ruang-ruang publik dan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam 26 Wawancara dengan Benny Wijaya, selaku Ketua Bhudi Bhakti, komunitas Tionghoa di Kota Palopo, Tanggal 26 Mei 2012 70 setiap kebijakan yang dibuat, melalui partisipasi harapannya adalah masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah tentunya partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif. Kaitannya dengan pemilu legislatif, partisipasi terwakilkan secara baik dalam model dan sistem secara terbuka, setiap orang untuk bisa berpartisipasi penuh dalam hal dipilih maupun memilih. Seperti yang dikatakan Halim Ahmad, ST: “Pemilu legislatif, adalah kesempatan kita untuk memilih dan dipilih, tanpa memilih dengan iklhas, dan dipilih berdasarkan kualitas, bukan semata karena kesamaan etnis”27 Sebenarnya situasi tersebut menuju kearah yang positif, yaitu penguatan kesetaraan (egality) dalam hak-hak individu diakui. Hal ini juga menguatkan demokratisasi yang sedang terbangun. Namun, penulis memiliki catatan kritis dengan kondisi yang ada. Bahwa dengan banyaknya partisipasi masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg), maka masyarakat sebagai yang memilih hanya dijadikan sasaran untuk memenuhi hasrat kemenangan, sehingga dalam pelaksanaanya cara apapun akan dilakukan oleh sang caleg demi meraih kemenangan. Karena itu sudah tak aneh jika saat ini kita melihat banyak caleg memberikan uang atau barang lainnya untuk meyakinkan masyarakat untuk memilihnya dan parahnya masyarakat terbuai dengan pemberian sang caleg, sehingga terbangun paradigma musim kampanye 27 Wawancara dengan Halim Ahmad,ST, Caleg terpilih (Anggota Legislatif Kota Palopo etnis Makassar) tanggal 13 Juni 2012 71 ini adalah musimnya bagi-bagi uang atau barang bukan untuk mengagendakan perubahan. Apabila kita lihat lebih jauh, ketimpangan antara harapan dan kenyataan benar-benar terjadi. Masyarakat dijadikan komoditas politik saja bukan sebagai aktor yang harusnya bersikap kritis terhadap kondisi tersebut. Dari kenyataan tersebut dirasakan belum terjadi upaya maksimal dari masyarakat dalam membangun pondasi politik yang kuat untuk masa selanjutnya. Membangun sebuah masyarakat yang mandiri dan berdaya tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, diperlukan sebuah keseriusan seluruh elemen yang terkait terutama dari dalam masyarakat itu sendiri. Strategi yang dapat dilakukan ialah masyarakat harus berani mengintegrasikan dirinya menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk lembaga ataupun organisasi, sehingga memiliki daya tawar tinggi ketika berhadapan dengan Negara. Lembaga-lembaga publik non Negara atau disebut Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang memiliki akses terhadap pemerintahan harus dimaksimalkan kembali. De tecquevill mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang keswasembadaan, dan mandiri yang keswadayaan bercirikan kesukarelaan, yang di dalamnya terdapat masyarakat yang kuat ketika berhadapan dengan negara. Kekuatan 72 tersebut masih dalam lingkup masyarakat mentaati norma-norma atau aturan yang berlaku. Kaitannya dengan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemilu, pengawasan terhadap setiap calon anggota legislatif mutlak harus dilakukan oleh masyarakat yang terintegrasi dalam lembaga-lembaga non Negara Civil Society Organization (CSO). Adapun bentuk pengawasan yang dapat dilakukan civil society organization (CSO) dalam mewujudkan kedaulatan masyarakat adalah lembaga-lembaga publik non Negara atau Civil Society Organization (CSO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendidikan kepada masyarakat luas, pengawasan publik serta pembelaan (advokasi) masyarakat. Patut disadari bahwa hampir mayoritas penduduk Indonesia masih rendah tingkat pendidikannya, sehingga dengan adanya pendidikan politik ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui hak-hak politiknya secara sadar sehinga rasional dalam menentukan pilihannya kelak. Pun juga, Setiap calon yang ada perlu dibangun komitmennya dalam bentuk kontrak politik terhadap masyarakat, sehingga janji-janji yang diucapkan pada saat kampanye dapat dipantau untuk diselaraskan dengan kinerjanya. Adapun pembelaan terhadap masyarakat dapat dilakukan sebagai wujud pendampingan terhadap hak-hak politik masyarakat, sehingga setiap calon yang ingin maju tidak bisa sewenang-wenang terhadap masyarakat. Pada akhirnya dalam membangun hubungan antara 73 masyarakat dengan calon anggota legislatif pada masa kampanye ini harus dimulai dari dalam masyarakat, sehingga tercipta sinergitas antara kebutuhan masyarakat dengan kinerja calon jika terpilih nanti. Hanya masyarakat yang mampu mengetahui hak-hak politiknya secara sadar nantinya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi terhadap sang calon, sehingga agenda perubahan yang dicita-citakan dapat diwujudkan. 74 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Beragamnya suku bangsa, adat serta agama yang dimiliki oleh Indonesia yang masing - masing budaya memilki khasnya masing masing, telah memunculkan perilaku politik yang berbeda-beda. Artinya, tingkah laku politik merupakan pencerminan dari budaya politik suatu masyarakat yang penuh dengan aneka bentuk kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya. Bertemunya dua atau lebih etnis pada satu daerah membutuhkan penyesuaian satu dengan yang lain, proses penyesuaian dalam proses interaksi. Salah satu kota dengan percampuran etnis sehingga tercipta suatu multikulturalis yang harmonis yaitu kota palop. Etnis pendatang (Tionghoa, Jawa, dan Makassar) sama-sama melakukan proses interaksi sosial dengan masyarakat asli. Karakteristik masyarakat sosial politik pendatang di Kota Palopo masih cenderung membuat kelompok berdasarkan ikatan emosional ini terjadi oleh karena kesamaan yang mereka miliki, namun proses pembauran dengan interaksi lingkungan sosial berjalan baik. Masyarakat pendatang di Kota Palopo lebih banyak menaruh perhatian di segi ekonomi, dari sisi politik mereka mendukung sistem politik lewat berpartisipasi aktif dalam pemilihan legislatif di Kota Palopo. Namun kesadaraan akan jumlah kuantitas mereka masih kalah bersaing dalam 75 perebutan kursi di parlemen. Di kota Palopo yang tingkat kemajemukan etnisnya tinggi, posisi sentra kekuasaan politik masih dipegang oleh masyarakat asli. Namun keikutsertaan mereka baik memilih dan dipilih memiliki peran terhadap sistem politik. Kehadiran mereka dalam politik telah menunjukan usaha untuk dapat bersaing dan bersama masyarakat asli memajukan Kota Palopo diberbagai aspek kehidupan. B. Saran Pemilihan anggota legislatif dikota Palopo merupakan salah satu dinamika politik pada tingkat lokal, politisasi etnik yang dibangun oleh etnis pendatang, sekiranya harus lebih beradaptasi dengan masyarakart asli kota palopo etnis luwu, yang dimana ernis pendatang adalah sebuah fenomena yang menarik di kota Palopo, etnis jawa, etnis tionghoa dan etnis Makassar yang ikut menberikan sumbangsi dalam kemajuan kota Palopo hingga saat ini. Ada beberapa saran yang penulis coba berikan : 1. Tokoh masyarakat sebagai mainstream politik lokal harusnya bersikap pluralis, sehingga tercipta dan terbina harmoni kehidupan masyarakat yang multikultural dan mendorong terwujudnya tatanan nilai kearifan yang berorentasi lokal dan sesuai dengan cita-cita demokrasi. 2. Fanatisme kesukuan ditingkat daerah yang menjadi hambatan integrasi bangsa, semangat ini harusnya di formulasikan 76 lebihdemokratis dengan nilai-nilai kearifan local sehingga anggapan bahaya etnosentris dapat dihindari. 77 DAFTAR PUSTAKA Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004 Pustaka Eureka : Surabaya. Bungin, Burhan, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta. Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Gramedia: Jakarta. Barth, Fredrik. 1988. Kelompok-kelompok etnik dan batasannya. Penerjemah Nining I. Soesilo, Universitas Indonesia (UI-Press) : Jakarta Faisal, Sanapiah.2005. Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali Press: Jakarta Fearon, James D.2004. Ethnic Mobilization and Ethnic violence, Departemen of Political Science Stanford University. Isajiw, Wsovolod W. Defenision and Dimension of Ethnicity : A Theoretical Framework. (Paper presented at ” join Canada-United States Conference on the measurement Of Ethnicity ” Ottawa, Ontario, Canada, April,1992) Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmuIlmu Sosial, Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI : Depok McGlynn, Frank dan Tuden, Artur. 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik, Penerjemah : Suwargono dan Nugroho. UI- Press: Jakarta Mubarok, Mufti M. 2005. Suksesi Pilkada : Jurus memenangkan Pilkada Langsung. : PT. Java Pustaka Media Utama : Surabaya 78 Mattulada, 1971, Kebudayaan Bugis-Makassar,Manusia dan Kebudayaan Indonesia diredaksi oleh Koentjaraningrat .Djambatan. Morris, Van Braam. 1991. Massenrempulu menurut catatan D.F.Van Braam Morris. Penerjemah Mappasanda.: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ujung Pandang Noer, Deliar. 1965. Pengantar ke Pemikiran Politik. Dwipa: Medan. Nursal, Adman.2004. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Gramedia. Jakarta Pito, Andrianus, Efriza, Fasyah Kemal. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik. Penerbit Nuansa,Bandung. Rothschild, Joseph, 1981.Ethnopolitics : A conceptual Framework.: Columbia Uneversity Press, New York Rudy, May T.2003. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunaanya. Bandung : PT. Refika Aditama: Bandung. Salossa, Daniel S. 2005. Pilakda Langsung. Media Pressindo : Yogyakarta. Tomagola, Tamrin Amal. 2006. Republik Kapling. Resist Book :Yogyakarta Yusuf, Awaluddin Iwan. 2005. Media, Kematian dan Identitas Budaya Minoritas : Refresentasi Etnik Tionghoa dalam iklan dukacita UII Press. Yogyakarta. Jurnal dan Makalah. Aminah, Siti. 2005. Otonomi elitis Vs Otonomi Rakyat.Jurnal Wacana, Edisi 21,TahunVI , Insist Press: hal. 79-104. Mappasanda. 1989. Sejarah Terbentuknya Federasi Duri.Makalah Pada Seminar nasional dan kebudayaan Massenrempulu: Enrekang 79 Palisuri, Udin.1989.Sejarah Kerajaan Enrekang dan Kepemimpinan rajaraja Enrekang Enrekang. hal-hal Makalah yang pada bersangkutan seminar dengan nasional Lontarak sejarah dan kebudayaan Massenrempulu. November. Enrekang. Setyaningrum, Arie. 2005. Memetakan Lokasi bagi politik identitas dalam wacana poskolonial.Jurnal Mandatory, Edisi 2, Tahun 2, IRE:. Hal.31- 32. Sarrang, Sila. 1989. Sejarah singkat kerajaan Maiwa. Makalah pada seminar nasional dan kebudayaan Massenrempulu. Enrekang. Surat Kabar Surat kabar, FAJAR, Minggu, 12 Oktober 2008.Hal.2 Kesatuan Bangsa Arsip, jadwal kampanye pemilu bupati dan wakil bupati Enrekang 2008 Arsip, rekapitulasi perolehan suara pilkada bupati dan wakil bupati kabupaten Enrekang periode 2008-2013. 80