BAB I LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien Nama : Ny. I Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 56 Tahun 9 Bulan Pekerjaan : Petani Pendidikan : SD Suku : Jawa Agama : Islam Alamat : Sindangwangi No Rekam Medis : 1024797 Tanggal Masuk RS : 26 Juli 2019 (pukul 14.16 WIB) Tanggal Keluar RS : 3 Mei 2019 II. Identitas Keluarga Nama : Tn. K Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 40 tahun Pekerjaan : Petani Pendidikan : SD Suku : Jawa Agama : Islam Alamat : Sindangwangi Hubungan dengan pasien : Suami pasien 1 ANAMNESA Keluhan Utama Mual Muntah sejak 3 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Seorang pasien rujukan dari puskesmas kramat datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan mual muntah setiap makan dan minum sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Selain mual muntah, pasien juga mengaku juga mengalami demam naik turun disertai seluruh badannya terasa sakit sejak 3 hari SMRS. Sebelumnya pasien mengeluh sakit kepala seperti cekot-cekot sejak 1 tahun hilang timbul dan memberat dalam 1 minggu ini. Selain sakit kepala, pasien mengeluh batuk, nyeri dada , nyesek dan sesak nafas sejak 2 minggu SMRS. Batuk yang dirasakan pasien berdahak warna putih namun dalam 3 hari susah keluar. Pasien mengeluh sakit perut pada semua bagian perutnya, pada kedua telapak tangan dan kedua kakinya terasa baal dan kesemutan. BAK normal BAB sulit keluar sejak 3 hari. Setelah dari IGD pasien di rawat di bangsal dan mengeluh keluar darah dari mulutnya, darah tersebut berasal dari perdarahan gusi. Keesokan harinya terdapat bercak kemerahan seperti lebam pada tangan yang terkena jarum suntik dan bekas infus awalnya sedikit menjadi banyak dan meluas. Pasien mengaku mempunyai riwayat perdarahan pada saat menggunakan alat kontrasepsi IUD sebelumnya saat masih muda. Pasien mempunyai riwayat BAK seperti teh 3 bulan yang lalu. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : - Riwayat Gastritis sejak 3 tahun yang lalu. - Riwayat Hipertensi disangkal. - Riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu. 2 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA: - Riwayat sakit seperti ini dalam keluarga disangkal - Riwayat Hipertensi dalam keluarga disangkal - Riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga disangkal RIWAYAT PENGOBATAN: - Pasien kontrol rutin untuk mengobati diabetes mellitus ke puskesmas atau rumah sakit. RIWAYAT PENYAKIT ALERGI: - Riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, debu dan cuaca disangkal oleh pasien A. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang Kesadaran : Compos Mentis BB : 60 kg TB : 160 cm Status Gizi : Baik Tanda Vital Tekanan Darah : 140/90 mmHg Nadi : 90 x / menit Respiratory Rate : 24 x/menit Suhu : 37,8 0C Kepala dan Leher : Kepala : Normocephal Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+) Hidung : Sekret (-), epistaksis (-/-), septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-) Telinga : Bentuk normotia, secret (-) Mulut : Trismus (-) , bibir lembab (+), gusi berdarah (-) 3 Leher : Kuduk kaku (-), pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-) purpura fulminant (+) Thoraks - Bentuk normochest, - Pernapasan thorakal abdominal, Paru : - Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-) - Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru - Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru - Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronchi (-/-), wheezing (-/-) Jantung : - Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea mid clavicula sinistra - Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra - Perkusi : Batas jantung kanan di ICS Vl linea parasternal dextra Batas jantung kiri di ICS Vl linea mid clavicula sinistra - Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen - Inspeksi : Abdomen bucit. - Palpasi : Perut papan (-), nyeri epigastrium (+) , turgor baik, hepar dan lien tidak teraba pembesaran - Perkusi : Timpani pada ke-empat kuadran abdomen - Auskultasi : Bising usus normal 4 Ekstremitas - Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-) Purpura fulminant (+) - Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-) STATUS NEUROLOGIK Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4M6V5 (15) RANGSANG MENINGEAL Kaku Kuduk : (-) Laseuge, Kernig : (-) Bruinski I/II/II : (-) SARAF CRANIAL N.I (OLFAKTORIUS) Daya Pembau : tidak dilakukan N.II (OPTIKUS ) Daya Penglihatan KANAN : KIRI + + Pengenalan Warna : tidak dilakukan Lapang pandang : baik N.III (OKULOMOTORIUS) Ptosis : Gerakan Mata : baik Ukuran pupil : Refleks cahaya direct : (+/+) KANAN - 3 mm KIRI - 3 mm 5 Refleks cahaya indirect : (+/+) N.IV (TROKHLEARIS) KANAN KIRI + + Gerakan mata ke medial bawah : Diplopia : N.V (TRIGEMINUS) Refleks maseter tidak ada KANAN KIRI : (+) (+) Refleks zigomatikum : (+) (+) N.VI (ABDUSEN) KANAN KIRI (+) (+) tidak ada tidak ada N.VII (FASIALIS) KANAN KIRI Lipatan naso-labial : simetris Sudut mulut : simetris Menutup mata : baik dan simetris Meringis : simetris Gerakan mata ke lateral : Diplopia : Daya kecap lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan N.VIII(VESTIBULOCHOCLEARIS) KANAN Tes rinne : tidak dilakukan Tes weber : tidak dilakukan Tes Schawabach : tidak dilakukan KIRI NIX (GLOSOFARINGEUS) Arkus farings : Tidak dilakukan Arkus faring saat bergerak : Tidak dilakukan Daya kecap lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan 6 Reflex muntah : Tidak dilakukan N.X(VAGUS) Menelan : (+) N.XI (ASESORIUS) Mengangkat Bahu KANAN : KIRI (+) (+) N.XII(HIPOGLOSUS) Sikap lidah : ditengah Atropi otot lidah : (-) MOTORIK Kekuatan : 5 5 5 5 SENSORIK Nyeri : Ekstremitas Atas : kanan – kiri sama Ekstremitas Bawah : kanan – kiri sama Raba : Ekstremitas Atas : kanan – kiri sama Ekstremitas Bawah : kanan – kiri sama Suhu : Ekstremitas Atas : tidak dilakukan Ekstremitas Bawah : tidak dilakukan REFLEKS FISIOLOGIS Refleks bisep : ++/++ Refleks trisep : ++/++ Refleks patella : ++/++ Refleks Achilles : ++/++ B. PEMERIKSAAN PENUNJANG 7 Laboratorium Tanggal 26-04-2019 pukul 14.21 WIB Pemeriksaan Hasil Nilai rujuk HB 15.2 13.2-15.5 Leukosit 5.8 3.6 -11 Trombosit 84 150-440 Hematokrit 42.5 35-47 Eritrosit 4.96 3.8-5.2 MCV 85.6 80-100 MCH 30.5 26-34 MCHC 35.7 32-36 RDW 10.4 11.5-14.5 MPV 10.2 7.0-11.0 HITUNG JENIS Segmen 79.2 28-78 Limfosit 8.6 25-40 Monosit 10.7 2-8 Eosinofil 0.2 2-4 Basofil 1.2 0-1 KIMIA KLINIK Ureum 13.1 10-50 Creatinin 0.46 0.45-0.75 Glukosa sewaktu 272 75-140 Laboratorium Tanggal 27-04-2019 pukul 07.29 WIB Pemeriksaan Hasil Nilai rujuk HB 16.2 13.2-15.5 Leukosit 4.9 3.6-11 Trombosit 30 150-440 Hematokrit 47.8 35-47 Eritrosit 5.46 3.8-5.2 MCV 87.6 80-100 8 MCH 29.7 26-34 MCHC 33.9 32-36 RDW 10.8 11.5-14.5 MPV 13.0 7.0-11.0 HITUNG JENIS Segmen 77.7 28-78 Limfosit 11.0 25-40 Monosit 10.0 2-8 Eosinofil 0.2 2-4 Basofil 1.2 0-1 KIMIA KLINIK Glukosa Puasa 258 75-110 Glukosa 2 Jam PP 240 <141 Laboratorium Tanggal 27-04-2019 pukul 16.53 WIB Pemeriksaan Hasil Nilai rujuk HB 15.4 13.2-15.5 Leukosit 9.0 3.6 -11 Trombosit 62 150-440 Hematokrit 40.3 35-47 Eritrosit 4.86 3.8-5.2 MCV 83.0 80-100 MCH 31.8 26-34 MCHC 38.3 32-36 RDW 10.5 11.5-14.5 MPV 8.9 7.0-11.0 HITUNG JENIS Segmen 58.6 28-78 Limfosit 13.7 25-40 Monosit 26.9 2-8 Eosinofil 0.2 2-4 9 Basofil 0.6 0-1 KIMIA KLINIK Glukosa Sewaktu 298 75-140 Elektrokardiografi Kesan = normal sinus Rhythm, normal ECG Resume Seorang pasien rujukan dari puskesmas kramat datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan mual muntah setiap makan dan minum sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien juga mengaku juga mengalami demam naik turun. Setelah dari IGD pasien di rawat di bangsal dan mengeluh keluar darah dari mulutnya, darah tersebut berasal dari perdarahan gusi. Keesokan harinya terdapat bercak kemerahan seperti lebam pada tangan yang terkena jarum suntik dan bekas infus awalnya sedikit menjadi banyak dan meluas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah mmHg, nadi 90 x / menit, nafas 24 x/menit, suhu 37,8 0C. Pada leher dan ekstremitas superior pasien terdapat purpura fulminan. Diagnosis Trombositopenia ec DIC 10 I. RENCANA TERAPI - IVFD NaCl 500 cc/12 jam - OMZ 1x 4 mg - Kalnex - Vitamin K - PCT 3x1 gr - Ketokonazole 1x 200 mg - Betamethoson cream + Miconazole cream - Cetirizine 2x 10 mg II. PROGNOSIS Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad functionam : Dubia ad bonam Quo ad sanationam : Dubia ad malam III. FOLLOW UP Tanggal Keluhan Pemeriksaan Demam (+) 3 hari seluruh TD : 140/80 badan sakit (+) N Terapi Bulam Tahun 26/07/2019 IGD Mual : 108 x/menit (+) SPO2 : 99 % Muntah (+) isi makanan RR : 24 x/menit S : 37.0 C 27/07/2019 Demam (+) TD : 150/90 Nyeri perut (+) N Gatal-Gatal di perut SPO2 : 97% sampai pantat (+) Batuk RR : 22 x/menit S : 113 x/menit 11 (+) : 39.0 C Nyeri dada (+) Sesek (+) Mual (+) Muntah (+) Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Keluar darah dari gusi (+) BAB (+) susah BAK (+) Dalam batas normal 29/07/2019 Demam (-) Nyeri perut (+) Gatal-Gatal di leher, perut sampai pantat (+) Batuk (+) Sesak (+) Nyeri dada (+) Mual (+) Muntah (+) setiap makan dan minum Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Lebam pada daerah bekas suntikan (+) TD : 130/90 N : 102 x/menit SPO2 : 99% RR : 25 x/menit S : 37.0 C Sklera : +/+ OMZ 2X1 Ondansentron 3X1 Neurobion 1X1 drip PCT 3X1 Metil prednisone 125 extra Glikoidon 2X3 Mecobalamin 3x1 30/07/2019 Demam (-) Nyeri perut (+) Gatal-Gatal di leher, perut sampai pantat (+) Batuk (+) Sesak (+) Nyeri dada (+) Mual (+) Muntah (+) setiap makan dan minum Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Lebam pada daerah bekas suntikan (+) Gusi berdarah (-) TD : 180/100 N : 98 x/menit SPO2 : 90% RR : 40 x/menit S : 37.0 C Sklera : +/+ Nacl 12 ttm Terapi lanjut 12 Nafsu makan (+) BAK (+) Normal BAB (-) 1/8/2019 2/08/2019 Demam (-) Nyeri perut (+) Gatal-Gatal di leher, perut sampai pantat (+) Batuk (+) Sesak (+) Nyeri dada (+) jika bernafas Mual (-) Muntah (-) setiap makan dan minum Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Lebam pada daerah bekas suntikan (+) Gusi berdarah (+) BAB (-) TD : 130/90 N : 111 x/menit SPO2 : 99 % RR : 22 x/menit S : 37.5 C Demam (-) Nyeri perut (+) Gatal-Gatal di leher, perut sampai pantat (+) Batuk (+) Sesak (+) Nyeri dada (+) jika bernafas Mual (-) Muntah (-) setiap makan dan minum Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Lebam pada daerah bekas suntikan (+) Gusi berdarah (+) BAB (-) Sakit kepala (+) Keringat malam (+) Menggigil (+) Demam (-) TD : 130/90 N : 89 x/menit SPO2 : 99 % RR : 22 x/menit S : 36.3 C Sklera : +/+ Ronkhi : -/+ VBS : +/+ Whezing: -/- Sklera : +/+ Ronkhi : -/VBS : +/+ Whezing: -/- 13 Kentut (-) BAK : Normal 3/08/2019 Demam (+) TD : 140/80 Nyeri perut (+) semua N : 100 x/menit kuadran SPO2 : 98% Gatal-Gatal di perut RR : 20 x/menit sampai pantat (-) Batuk (+) berkurang Nyeri dada (+) Sesek (+) S : 36.7 C SI +/+ NTE (+) Mual (+) Muntah (+) Kesemutan dan baal (+) telapak tangan dan kaki Keluar darah dari gusi (+) BAB (+) Kentut (+) BAK (+) Dalam batas normal Menggigil (+) 14 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tetanus Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin (tetanospasmin) bakteri Clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang anaerob, sporanya dapat bertahan di tanah dan menginfeksi luka yang terkontaminasi.1 2.2 Etiologi Tetanus C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang.3 Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. 3 15 Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x). Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).3 2.3 Epidemiologi Tetanus Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar.3 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-500.000 per tahun.2 Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), jumlah kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 kasus pada tahun 2007, turun menjadi 114 kasus pada tahun 2011 dengan case fatality rate (CFR) 60,5%.5 Profil Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan kenaikan kasus tetanus neonatorum menjadi 119 kasus, namun jumlah pasien meninggal turun menjadi 59 kasus dengan CFR 49,6%.6 Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.8 Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan kegagalan pernapasan akut (45%).Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus. Angka mortalitas penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap 16 kematian akibat penyakit ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.8 2.4 Patogenesis Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk.3 Cara masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.8 Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang.3 Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.3 Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Toksin tetanus adalah metalloproteinase yang bergantung pada zinc yang menargetkan protein (protein membran terkait synaptobrevin / vesikel — VAMP) yang diperlukan untuk pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaptik dengan membran plasma neuronal. 1 Namun, khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron motorik. Pada neuron motorik ini, toksin diangkut melintasi sinapsis dan diambil oleh ujung saraf neuron penghambat GABAergik dan / atau glikinergik yang mengontrol aktivitas neuron motorik bawah. Begitu masuk ke dalam terminal saraf penghambat, toksin tetanus memotong VAMP, sehingga menghambat 17 pelepasan GABA dan glisin. Namun, tidak seperti toksin botulinum, toksin tetanus mengalami transpor retrograde yang luas di akson neuron motorik bawah dan dengan demikian dapat mencapai sumsum tulang belakang atau batang otak. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.1 Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.1 Gambar 2. Patofisiologi tetanus9 2.5 GambaranKlinis Tetanus Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local, cephalic tetanus, dan tetanus neonatal. Tergantung pada jenisnya yaituitu lokal / 18 sefalika atau generalisasi / neonatal, tetanus biasanya bermanifestasi sebagai trismus / lockjaw, risus sardonicus, disfagia, kekakuan leher, kekakuan perut, dan opistotonus, mis., Hiperaktifitas otot-otot kepala, leher, dan badan. 1 2.5.1 Tetanus Umum Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman. Biasanya dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus.8 Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.1,8 Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.8 Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis.Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung kemih.8 Disfungsi otonom dengan episode takikardia, hipertensi, dan berkeringat, kadang-kadang berganti dengan bradikardia dan hipotensi, keadaan ini sering terjadi terutama pada tetanus umum. Gejala-gejala tersebut dikaitkan dengan peningkatan dramatis dalam sirkulasi adrenalin dan noradrenalin, yang dapat 19 menyebabkan nekrosis miokard. Gejala otonom cenderung terjadi seminggu setelah terjadinya gejala motorik. 1 Saraf sensorik juga dapat diserang oleh toksin tetanus, menyebabkan sensasi yang berubah, seperti rasa sakit dan allodynia. Tidak jelas di mana efek ini terjadi, karena bukti eksperimental menunjukkan bahwa toksin tidak dapat melewati ganglia sensorik tulang belakang. Oleh karena itu, efek sensorik toksin harus dari perifer. Namun, pelepasan neurotransmiter vesikular dari neuron sensorik terjadi secara terpusat, di sumsum tulang belakang atau batang otak. Paradoks ini mungkin mencerminkan fakta bahwa sensasi yang berubah pada tetanus sebagian besar terlihat di daerah kepala yaitu, di area saraf trigeminal (tengkorak), ganglion yang mungkin berbeda dari tulang belakang. saraf sensorik sehubungan dengan transportasi akson toksin tetanus. Tidak diketahui apakah toksin tetanus yang berada di batang otak menyebar ke struktur yang terlibat dalam fungsi yang lebih tinggi, seperti pengaturan kognisi dan suasana hati. Gejala seperti itu jarang dilaporkan.1 2.5.2 Tetanus Lokal Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.8 2.5.3 Cephalic Tetanus Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.1,8 2.5.4 Tetanus Neonatal Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada 20 anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.1 2.6 Diagnosis Tetanus Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, hanya merupakan penunjang diagnosis. Adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.4 2.7 Tatalaksana 1. Umum Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan tersendiri yang sunyi dan dihindarkan dari stimulasi taktil ataupun auditorik. Luka dibersihkan dan dirawat sesuai indikasi. 4 2. Imunoterapi Berikan antitoksin human tetanus immunoglobulin (TIG) 500 U secara intramuscular atau intravena bergantung pada ketersediaan sediaan.4 Berikan selanjutnya vaksin Toxoid tetanus (TT) 0.5cc secara intramuscular dan di lokasi penyuntikan yang berbeda.4 Pasien yang tidak memiliki riwayat atau tidak jelas sudah diberikan vaksin primer sebelumnya, sebaiknya mendapatkan dosis kedua dengan jarak 1-2 bulan dari dosis sebelumnya, dan dosis ketiga pada 6-12 bulan kemudian.4 Bila human TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM. Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP.9 21 3. Antibiotik Metronidazol lebih direkomendasikan (500 mg setiap enam jam intravena atau per-oral); Penisilin G (100.000–200.000 IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi). Tetrasiklin, makrolida, klindamisin, sefalosporin, dan kloramfenikol juga masih efektif untuk diberikan.4 4. Kontrol Spasme Otot Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan dosis mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan. (untuk anak-anak, dimulai dengn dosis 0.1–0.2 mg/kg setiap 2–6 jam, dapat dinaikan titrasi sesuai dengan kebutuhan). Dosis maksimal perhari yaitu 600 mg. Pemberian oral dapat dilakukan namun dengan pengawasan ketat untuk menghindari depresi pernapasan dan henti napas. 4 Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme. Untuk mencegah overdosis, dapat di monitor dengan pemeriksaan reflex patella. Jika terjadi areflexia, dosis harus diturunkan.4 Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme otot yaitu termasuk baclofen, dantrolene (1–2 mg/kg intravena atau oral setiap 4 jam), barbiturates, disarankan yang short-acting (100–150 mg setiap 1–4 jam pada dewasa; 6–10 mg/kg pada anak-anak; melalui rute mana saja), dan chlorpromazine (50–150 mg injeksi intramuskular setiap 4–8 jam pada dewasa; 4–12 mg injeksi intramuskular setiap 4–8 jam pada anak-anak).4 5. Kontrol Disfungsi Otonom Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin. Pengobatan dengan β-blockers seperti propranolol dapat digunakan pada jaman dulu namun, dapat menyebabkan hipotensi dan sudden death; hanya esmalol yang hingga saat ini direkomendasikan.4 22 6. Kontrol Saluran Napas Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi spasme dan memperburuk napas.4 7. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status metabolik dan katabolik. Dukungan nutrisi yang baik akan meningkatkan peluang angka survival. 4 Dengan ketersediaannya vaksin dan ventilasi mekanik (pada tahun 1920an-1930an), monitor ketat dan perawatan yang baik, dapat meningkatkan angka survival. Bila pasien didukung dengan perawatan yang baik selama 1-2 minggu masa spasme otot dan komplikasinya, peluang untuk pulih sepenuhnya sangat meningkat pesat, terlebih lagi pada pasien yang belum memasuki usia lanjut dan pada pasien yang sebelumya memiliki kesehatan yang baik.4 2.8 Komplikasi Tetanus Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.8 Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.8 Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini 23 meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.1 Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan.8 Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.8 2.9 Scoring System untuk Mengetahui Probabilitas Kematian pada Pasien Tetanus Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, perhatian terhadap penyakit tropis dan infeksi semakin besar. Penyakit tetanus merupakan penyakit yang telah banyak diteliti oleh para ahli di dunia dan memunculkan hasil-hasil penelitian yang penting dalam membantu manajemen klinis. Salah satunya adalah scoring system yang digunakan untuk memprediksi kematian pada penderita tetanus. Scoring system yang sudah mendunia dan sering digunakan oleh klinisi dalam penanganan tetanus adalah Phillips score (1967), Ablett classification (1967), Dakar score (1975). Tentunya masing-masing scoring system mempunyai variabel-variabel yang berbeda dalam penentuan outcome klinis. Variabel inilah yang dapat menjadi faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus. Phillips score menggunakan variabel masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat proteksi, dan complicating factors menurut ASA 1963 sebagai faktorfaktor risiko yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.Phillips score menghasilkan akumulasi nilai yang nantinya dapat diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika akumulasi nilai 9 maka, termasuk dalam kategori ringan, skor 9-16 sedang, dan >16 berat Maksud dari riwayat proteksi adalah status imunisasi penderita. Jika belum terproteksi, peluang terjadi kematian pada penderita tetanus semakin besar. Complicating factors menurut ASA 1963 mengindikasikan kejadian pasien sebelum terkena penyakit tetanus. Penilaiannya dapat berupa baik-baik saja, sudah ada penyakit ringan sebelumnya, sudah ada penyakit sistemik, dan sudah ada penyakit yang mengancam sebelumnya. Penilaian lebih lengkapnya 24 bisa dilihat di tabel 2 Gambar 3. Phillips Score7 Dakar score menggunakan variabel masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman, adanya spasme, suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.Dakar score menghasilkan akumulasi nilai yang nantinya dapat diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika akumulasi nilai 0-1 maka masuk dalam kategori mild dengan mortalitas 10%, 2-3 masuk dalam kategori moderate dengan mortalitas 10-20%, 4 masuk dalam kategori severe dengan mortalitas 20-40%, dan yang terakhir 5-6 masuk dalam kategori very severe dengan mortalitas 50%. Maksud dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi sampai terjadi gejala awal (trismus). Tentunya semakin pendek masa inkubasinya, semakin buruk prognosisnya. Periode onset adalah waktu saat gejala awal (trismus) sampai terjadinya kejang umum. Spasme artinya kejang, dapat berupa kejang umum maupun khusus. Jalan masuk kuman meliputi lokasi yang dinilai dapat menjadi tempat masuk kuman dapat berupa melewati suntikan atau injeksi dan lokasi lainnya. Tentunya interpretasi keparahan akan berbeda jika lokasi jalan kumannya berbeda. Penilaian lebih lengkapnya dapat dilihat di tabel 3. 25 Gambar 4. Dakar Score7 Ablett membagi tetanus menurut derajat keparahannya sehingga dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu ringan (derajat 1), sedang (derajat 2), berat(derajat 3), dan sangat berat (derajat 4). Variabel yang digunakan merupakan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien. Semakin berat trismusnya, semakin jelek prognosisnya. Kekakuan disertai spasme yang berlangsung terus menerus dan disfagia yang berat mengindikasikan tetanus berat. Selain itu, frekuensi napas >40 kali/menit dan frekuensi nadi > 120 kali/menit juga mengindikasikan ke arah tetanus yang berat. Semua gejala tetanus derajat 3 disertai gangguan otonom mengindikasikan tetanus sangat berat.2 Penilaian lengkap kriteria Ablett bisa dilihat di tabel 4. Gambar 4. Kriteria Ablett1 26 2.10 Pencegahan Tetanus Pecegahan tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT. Imunisasi DPT juga termasuk komitmen global dalam rangka eliminasi tetanus. Imunisasi DPT diberikan 3 kali secara serial sebagai imunisasi dasar pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dilanjutkan dengan imunisasi ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3). Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi (sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita, imunisasi TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang bertujuan untuk mencegah tetanus neonatorum. 10 Apabila imunisasi DPT terlambat diberikan, berapa pun interval keterlambatannya, jangan mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi sesuai jadwal. Bila anak belum pernah diimunisasi dasar pada usia <12 bulan, lakukan imunisasi sesuai imunisasi dasar baik jumlah maupun intervalnya. Bila pemberian DPT ke-4 sebelum usia 4 tahun, pemberian ke-5 paling cepat diberikan 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, pemberian ke-5 tidak diperlukan lagi. 10 27 BAB III PEMBAHASAN Pada pasien ini didapatkan gambaran neurologis risus sardonikus, trismus, spasme otot leher, disfagia, dan rigiditas otot perut yang merupakan ciri khas klinis tetanus. Anamnesis riwayat gigi berlubang dan gusi bengkak mengeluarkan nanah putih 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien sudah mempunyai riwayat tetanis pada saat remaja. Berdasarkan kriteria WHO tetanus jika menemukan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri, dan memiliki riwayat trauma atau infeksi tempat masuknya bakteri Clostridium tetanii. Pada penilaian awal, berdasarkan gejala klinis pasien yang timbul yaitu trismus berat, kejang spontan dan kejang rangsang, disfagia berat, berkeringat banyak, juga terdapat pernafasan terganggu dengan kadar saturasi oksigennya 93 namun respirasi normal, serta tekanan darah yang meningkat yaitu 140/90. Berdasarkan klasifikasi derajat tetanus menurut kriteria Abllet, pasien ini termasuk kedalam kategori tetanus derajat 3, dimana dikatakan derajat 3 bila ditemukan trismus berat, otot spastis atau kejang spontan, serangan apnea, takikardi atau takipnea, disfagia berat, aktivitas sistem otonom meningkat. Penatalaksanaan umum sesuai rekomendasi WHO. Pasien dirawat di ruang perawatan khusus terpisah dari pasien lain dengan pencahayaan yang minimal. Tindakan lainnya yaitu pemasangan oksigen dengan nasal kanul, pemasangan Naso Gastric Tube (NGT), pemasangan kateter urin. Pengobatan yang didapat pasien untuk imunoterapinya yaitu Anti tetanus serum (ATS) 20.000 Unit, dan TT 500 unit. Untuk antibiotik yang diberikan yaitu drip Metronidazol 500 mg/6 jam, penisilin prokain 3x 1 juta unit pada awal masuk rumah sakit. Untuk mengontrol spasme otot, pasien diberikan drip diazepam 1 ampul/jam dalam NaCl 0.9 % dengan dosis maksimal 600 mg/24 jam, serta fenitoin jika diperlukan. Diazepam telah terbukti efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Parameter perbaikan klinis di antaranya tidak dijumpai spasme spontan, kesadaran membaik, dan tidak dijumpai gangguan pernapasan. Selain obat-obatan, untuk menunjang nutrisi dan cairan pada pasien diberikan 28 infus D5% : NaCl 0,9 % pada awal perawatan yang kemudian diganti dengan Hydromal 500 ml, dan juga dilakukan diet sonde 1200 kkal. Penilaian prognosis merupakan salah satu komponen terpenting untuk melihat risiko mortalitas. Phillips score dan Dakar score telah diakui >40 tahun untuk menilai prognosis pasien tetanus. Pada pasien, Masa inkubasi pasien berkisar 2-5 hari (skor 4), lokasi infeksi termasuk dalam kategori kepala, leher, dan badan (skor 4), status proteksi terlindungi >10 tahun (skor 4), dan faktor komplikasi penyakit minor (skor 2). Skor total berdasarkan Phillips score ialah 14 sesuai severitas sedang. Sementara itu, periode inkubasi <7 hari (skor 1), periode onset <2hari (skor 1), tempat masuk gigi carries (skor 0), spasme ada (skor 1), demam <38,40C (skor 0), nadi 90 kali/menit (skor 0). Dengan demikian, Dakar score 3 sesuai severitas moderate dengan mortalitas 10-20%. 29 Datar pustaka 1. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, treatment, and the possibility of using botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins (Basel). 2013; 5(1): 73-83. 2. Bleck TP. Clostridium tetani (Tetanus). In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editors. Principles and practice of infectious diseases 6th. Amsterdam: Elsevier Saunders; 2005. 2817–22. 3. Center for Disease Control and Prevention. Tetanus. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable disease 13th ed. [Internet]. 2015 [cited 2015 May 29]; p. 341-51. Available from: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetan us.pdf 4. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies. WHO Tech Note [Internet]. 2010 [cited 2015 May 29]. Available from: http://www.who.int/ diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2012.: http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia2012.pdf 6. Pusat Data dan Informasi. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (MNTE) di Indonesia. Bul Jendela Data dan Informasi Kesehatan Eliminasi Tetanus Maternal & Neonatal. 2012; 1: 1-22. 7. Surya R. Skoring prognosis tetanus generalisata pada pasien dewasa. CDK-238. 2016; 43(3): hal 199-203. 8. Rahmanto D. Tetanus. 2017. Hal 1-28. 9. https://www.researchgate.net/ 10. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi. 2014. 30