EMPIMA Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan karena komplikasi dari pneumonia tetapi dapat juga disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain. Empiema dapat juga disebabkan oleh suatu trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan vaskuler, penyakit imunodefisiensi, dan adanya infeksi di tempat yang berdekatan seperti di orofaring, esophagus, mediastinum atau jaringan di subdiafragma yang memberikan manifestasi klinik bermacam-macam, tergantung dari organ utama atau tempat yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya tahan tubuh. Empiema secara definisi adalah pus didalam rongga pleura.9 Definisi menurut Vianna, empiema adalah efusi pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih besar dari 15,000/mm3 dan level protein diatas 3.0 g/dL. Diagnosis empiema ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan radiologis diantaranya foto toraks, USG dan CT Scan toraks.4,5 Perkembangan terbaru dalam dunia kedokteran dan alatalat kedokteran telah memudahkan penegakan diagnosa dan tata laksana empiema, selain itu sudah banyak jurnal yang meningkatkan pemahaman terhadap patofisiologi, gambaran klinis serta tata laksana dari empiema Empiema juga bisa disebabkan sebagai kelanjutan dari infeksi dentomaksilofasial yang dikenal sebagai penyakit selulitis Angina Ludwig. Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, nyeri leher yang berat dan bengkak, demam, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas (Hartmann, 1999). Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang submandibulasublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi; kesulitan dalam artikulasi bicara (disarthria) (Lemonick, 2002). Faktor predisposisi berupa karies dentis, perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah (Hartmann, 1999). Pemeriksaan fisik pada penderita Angina Ludwig, dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator (Lemonick, 2002). Pemeriksaan fisik tersebut ini sesuai dengan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, tetapi trismus tidak didapatkan pada pasien. Metode pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dapat berguna untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas untuk menentukan bakteri yang menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi (Lemonick, 2002). Pada pasien, didapatkan leukositosis, tetapi pemeriksaan kultur dan sensitivitas bakteri belum didapatkan hasilnya. Menurut Lemonick (2002), penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: hkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. Pada rahang bawah, infeksi yang berasal dari gigi insisivus, caninus, dan premolar biasanya menembus plat labiobuccocortical dan diatas otot-otot menghasilkan abses vestibular, namun dapat juga menyebar ke ruang fasial. Ruang submental terinfeksi secara primer oleh gigi insisivus rahang bawah. Infeksi gigi-gigi molar rahang bawah menembus tulang linguocortical lebih sering dibandingkan gigi anterior. Infeksi pada gigi molar pertama akan didrainase ke arah bukal atau lingual. Infeksi pada gigi molar kedua akan dilokalisir ke arah bukal dan lingual, tetapi biasanya ke lingual dan infeksi gigo molar ketiga hampir selalu mengerosi plat kortikal lingual. Otot-otot mylohyoid akan menentukan apakah infeksi akan dilokalisir ke arah lingual atau diteruskan ke sublingual atau submandibula. Bila penyebaran infeksi melibatkan ruang submandibula, sublingual, dan submental maka infeksi demikian dikenal sebagai Angina Ludwig. Infeksi ini secara cepat menyebar ke posterior dan ruang sekunder mandibula menyebabkan terjadinya selulitis. Terdapat pembengkakan parah yang menyebabkan lidah terangkat dan adanya indurasi keras dan padat pada regio submandibula diatas tulang hyoid. Pasien biasanya mengalami trismus, sulit menelan, dan sulit bernapas. Infeksi ini menjalar dengan sangat cepat di antara ruang submandibular dengan ruang parapharyngeal pada suatu buccopharyngeal gap yang merupakan jalan utama penyebaran infeksi, sehingga infeksi dapat dengan mudah menyebrang dan meluas ke ruang retropharyngeal dan menuju ke mediastinum. Daftar Pustaka Peterson JL. Ellis E, Hupp JR.Contamporary Oral and Maxilofacial Surgery.3th ed. St Louis: Mosby Year Book Inc, 1998 Hartmann, RW. 1999. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician. July;Vol. 60. Lemonick, DM. 2002. Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment. Hospital Physician. p. 31-37 Archer W H. Oral and Maxilofacial Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 1975