NAMA :NUR PUJI OKTAVIANA NIM : P07124117063 TINGKAT/SMT/KLS : II/III/B OBAT ANTIBIOTIK Penemuan jenis antibiotik baru diimbangi dengan penemuan resistensi dari bakteri tersebut terhadap beberapa obat. Secara garis besar, antibiotik dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan cara kerja, spektrum, dan efek bakterisidal. Terapi antibiotik terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya mortalitas dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat peningkatan kebutuhan ruang Intensive Care Unit. Kontrol infeksi dan pemilihan antibiotik yang sesuai merupakan intervensi utama dan harus menjadi prioritas dalam manajemen pasien kritis. Pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik berkaitan dengan keluaran pasien kritis. Perubahan pada volume of distribution dan clearance antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target konsentrasi obat dalam serum. Hal ini menjadi bukti bahwa parameter pharmacokinetics (PK)/pharmacodynamics (PD) berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien dan resistensi. Penggolongan Antibiotika Berdasarkan Cara Kerja Berdasarkan cara kerja, antibiotik dibagi menjadi 3 yaitu DNA synthesis inhibitor cell wall synthesis inhibitor, dan protein synthesis inhibitor.7 DNA-synthesis Inhibitor Antibiotik golongan ini merupakan antibiotik yang menghambat replikasi DNA. Sebagai contoh floroquinolon, obat ini menghambat prosese replikasi DNA dengan cara berikatan dengan topoisomerase II dan topoisomerase IV. Berikatnya obat dengan struktur tersebut agar mencegah rantai DNA kembali bersatu pada proses cleavage. Contoh obat golongan ini adalah golongan floroquinolon dan cotrimoxazole. 48 Cell Wall Synthesis Inhibitor Sel bakteri diselubungi oleh suatu lapisan peptidoglikan (murein), matriks polimer dengan komposisi peptide-linked β-(1-4)-N-acetyl hexosamine, merupakan suatu mekanisma barrier mekanis bakteri terhadap kondisi eksternal. Kekuatan dari peptidoglikan sangatlah penting bagi kelangsungan hidup suatu bakteri seperti menjaga perubahan tekanan osmotic terhadap lingkungan. Untuk mempertahankan bentuknya, aktivitas peptidoglikan dipengaruhi oleh aktivitas transglikosilase dan penisilin-binding protein (transpeptidase). Antibiotik golongan beta laktam dan glikopeptida merupakan contoh golongan obat dengan mekanisme ini. Sebagai contoh, beta lactam bekerja dengan cara berikatan dengan transpeptidase sehingga proses maintenance dari bakteri tesebut dan peptidoglikan tidak mampu mempertahankan bentuknya. Ketidakmampuan peptidoglikan mempertahankan bentuknya menyebabkan sel menginduksi respon stress yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan lisisnya sel tersebut. Protein Synthesis Inhibitor Proses dari pembentukan RNA terdiri dari 3 fase inisiasi, elongasi dan terminasi. Ketiganya dipengaruhi oleh ribosom dan aksesoris sitoplasma. Ribosom tersusun atas dua subunit ribonukleoprotein yaitu 50s dan 30s. ribosom tersebut akan berjalan mengikuti setiap proses pembentukan RNA. Antibiotik golongan ini bekerja dengan menghambat kerja dari riobosom tersebut, sesuai target kerjanya, obat tersebut dibagi kembali menjadi 2 golongan, yaitu 30s Inhibitor dan 50s Inhibitor. Mekanisme kerja dari 50s ribosom inhibitor adalah adalah membloking baik itu proses inisiasi tranlasi protein maupun translokasi peptide mRNA. Contoh 50S ribosome inhibitors macrolides (erythromycin), lincosamides (clindamycin), streptogramins (dalfopristin– quinupristin), amphenicols (chloramphenicol) dan oxazolidinones (linezolid). Mekanisme kerja dari 30s Ribosom inhibitor adalah memblok akses menempelnya tRNA aminoacyl kepada ribosom. Contoh dari obat ini adalah tetrasiklin dan aminocyclitols. 49 Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tentang perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di ruang rawat inap kelas III RSUD Tugurejo Semarang, maka diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift pagi yang tepat sebanyak 45 responden (80.4%), yang tidak tepat sebanyak 11 responden (19.6%). 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), dan yang tidak tepat sebanyak 5 responden (8.9%). 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift malam yang tepat sebanyak 39 responden (69.6%), dan yang tidak tepat sebanyak 17 responden (30.4%). 4. Hasil uji Kruskal-Wallis didapatka nilai P Value 0.050, maka Ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Tugurejo Semarang, dan hasil uji Mann-Whithney shift siang dengan shift malam didapatkan nilai P Value 0.016, maka Ha diterima sehingga ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift siang dengan kelompok shift malam, sedangkan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik anatar kelompok shift pagi dengan shift siang didapatkan P Value 0.227, dan pada kelompok shift pagi dengan shift malam didapatkan P Value 0.196. Masalah antibiotika dan resistensinya menjadi perhatian seluruh dunia. WHO bahkan menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread untuk memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Penanganan masalah ini memerlukan partisipasi dari banyak pihak. Dokter sebagai klinisi, masyarakat luas sebagai pengguna, pemerintah sebagai pemegang regulasi, farmasi sebagai distributor, bahkan calon tenaga kesehatan bisa berperan serta dalam menangani masalah resistensi ini. 50 Jenis dan Golongan Antibiotika Tabel 5. Antibiotika yang digunakan pada Pasien Penderita ISK No Golongan Jenis Obat Jumlah Persentase Persentase Obat kasus Jenis Gol. Obat 1 2 Sefalosporin Generasi Ketiga Kuinolon 3 Penisilin 4 Kombinasi Sefalosporin dan Penisilin Seftriakson Sefotaksim Sefiksim Siprofloksasin Levofloksasin Amoksisilin Ampisilin SefoperazoneSulbaktam Total 40 3 2 35 4 3 1 7 95 Obat (%) 42, 11 3,16 2,10 36,84 4,21 3,16 1,05 7,37 100 (%) 47,37 41,05 4,21 7,37 100 Berdasarkan hasil pengobatan dan penggunaan antibiotik pada pasien ISK dapat diketahui macam dan golongan antibiotika yang digunakan pada pasien di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016. Tabel 5 menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu seftriakson. Seftriakson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, dengan sifat antilaktamase dan umumnya aktif terhadap gram negatif dan sangat stabil terhadap betalaktamase. Tingginya penggunaan seftriakson kemungkinan disebabkan karena seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Selain itu seftriakson yang dibeikan secara infus atau bolus sehari sekali tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi obat dalam darah, baik pada pasien dengan kondisi ginjal normal, maupun pada pasien dengan kondisi gangguan ginjal. Seftriakson juga memiliki kemampuan untuk berpenetrasi keseluruh jaringan dan melintasi sawar otak sebagai terapi penangangan infeksi berat. Seftriakson sebenarnya diindikasikan untuk infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran nafas atas, infeksi kulit dan jaringan lunak serta infeksi saluran kemih. Evaluasi Kontraindikasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi pemakaian antibiotika, namun karena catatan khusus mengenai efek samping obat tidak tersedia serta lebarnya variasi efek samping obat antara satu pasien dengan yang lainnya, maka penelitian ini hanya bisa mendeteksi kontraindikasi dan kemungkinan telah terjadinya efek samping berupa nefrotoksisitas. 51 Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien, walaupun kasus terbesar pada pasien dengan umur anak-anak 0-14 tahun (52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada anak-anak khususnya penggunaan antibiotika fluorokuinolon (perfloksasin dan fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau tidak dianjurkan penggunaannya pada anak-anak. Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika golongan fluorokuinolon dikontraindikasikan penggunaannya pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun, karena dapat menyebabkan arthropathy meskipun hal ini masih belum cukup bukti yang meyakinkan, karena keterbatasan uji klinik namun pada binatang percobaan kelainan tersebut terjadi. Doherty (2000) pada penelitian penggunaan siprofloksasin pada pasien anak berumur kurang dari 6 tahun setelah diamati selama 6 bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan pada timbulnya efek samping pada sendi atau gangguan pertumbuhan anak. Namun memperhatikan pada binatang percobaan, kelainan tersebut terjadi maka penggunaan kuinolon disarankan hanya digunakan pada kasus infeksi berat dimana antibiotika lain tidak efektif. Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada penelitian ini terdapat pasien dengan usia lanjut > 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan kecuali pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan bahwa klinisi cukup peduli dalam mempertimbangkan adanya kontraindikasi penggunaan antibiotika pada pasien anakanak dan wanita hamil. Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat dijadikan sebagai gambaran keamanan penggunaan antibiotika di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada data yang ada di dalam rekam medis pasien. 52 LAMPIRAN Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU) Ricky Aditya, Nurita Dian Kestriani, Tinni T. Maskoen Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung Abstrak Penemuan jenis antibiotik baru diimbangi dengan penemuan resistensi dari bakteri tersebut terhadap beberapa obat. Secara garis besar, antibiotik dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan cara kerja, spektrum, dan efek bakterisidal. Terapi antibiotik terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya mortalitas dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat peningkatan kebutuhan ruang Intensive Care Unit. Kontrol infeksi dan pemilihan antibiotik yang sesuai merupakan intervensi utama dan harus menjadi prioritas dalam manajemen pasien kritis. Pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik berkaitan dengan keluaran pasien kritis. Perubahan pada volume of distribution dan clearance antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target konsentrasi obat dalam serum. Hal ini menjadi bukti bahwa parameter pharmacokinetics (PK)/pharmacodynamics (PD) berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien dan resistensi. Kata kunci: Antibiotik, farmako dinamik, farmako kinetik, ICU, pasien kritis Empirical Antibiotics in Intensive Care Unit (ICU) Abstract The discovery of new types of antibiotic resistance offset by the discovery of bacteria to multiple drugs. In general, antibiotics are divided into three groups based on the spectrum shape, and the bactericidal effect. Antibiotic therapy for critically ill patients is a concern in the world due to the high mortality and morbidity. Aspects of the effectiveness of therapy remains a concern due to the increasing needs of the ICU. Pemilihian infection control and appropriate antibiotic is a major intervention and should be a priority in the management of patients in critical condition. Knowledge of the pharmacokinetics (PK) and pharmacodynamics (PD) of antibiotics is essential to determine the doses of antibiotics related to production factor of critically ill patients. Changes in the volume of distribution and clearance of antibiotics in critically ill patients may have an effect on a target serum drug concentrations. This is proof that the PK/PD parameter contribute to the effects associated with the drug and the output resistance of the patient. Key words: Antibiotic, Critical patients, ICU, pharmacodynamis, pharmacokinetis Korespondensi: Ricky Aditya, dr., SpAn-KIC. M. Kes, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jl. Cipaganti I No. 2 Bandung, Mobile 08112293655, Email [email protected] 53 47 Pendahuluan aminoglokosida ditemukan sebagai antibiotik Intensive Care Unit (ICU) merupakan tempat pasien dengan berbagai macam penyakit dirawat secara bersama oleh beberapa spesialisasi. Pasien yang dirawat di ICU seringkali memerlukan pemberian antibiotik. Hal ini dikarenakan pasien seringkali sumber infeksi tidak jelas saat pasien datang ke ICU. Oleh karena itu, tatalaksana antibiotik empiris harus diberikan sedini mungkin satu jam pertama setelah didiagnosis sepsis berat atau syok septik. 1 Antibiotik berasal dari Bahasa Yunani yang berasal dari kata “anti” yang artinya melawan dan “bios” yang artinya hidup. Istilah antibiotik diperkenalkan oleh Dr. Selman AW. seorang mikrobiolog pada tahun 1947. 1 Antibiotik bekerja dengan cara membunuh atau memperlambat pertumbuhan dari bakteri. Antibiotik merupak an salah satu golongan anti mikroba dimana golongan lain dari anti mikroba adalah antifungi, anti viral dan anti parasit. 3 Antibiotik mungkin merupakan salah satu bentuk terapi yang paling berhasil dalam sejarah dunia kedokteran. Sejarah melaporkan adanya temuan tetrasiklin dalam tulang manusia yang berasal dari Sudanese nubia tahun 350–550 SM. Adanya tetrasiklin dalam tulang ini menunjukkan kandungan tetrasiklin dalam diet manusia purba tersebut. Selain itu, Cina kuno telah mengembangkan artemisin sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam terapi herbalnya.1 Antibiotika di era modern mulai ditemukan pada tahun 1910 di mana Paul Erlich bersama dengan kimiawan Alfred Bertheim dan bakteriolog Sahachiro Hata menemukan obat yang dapat menyembuhkan sipilis, penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, yang diberi nama Salvarsan.4,5 Pada bulan September tahun 1928, Alexander Fleeming menemukan blue mold fungus dari genus pennicillus dapat menghambat pertumbuhan dari Staphyllococus aureus pada cawan kultur. Selanjutnya, penelitian mengenai antibiotik tersebut terus dilakukan selama 12 tahun hingga pada tahun 1940 Howard Florey dan Ernest Chain menyebutkan bahwa antibiotik tersebut sudah diuji secara klinis dan diberi nama penisilin. Pada tahun 1944–1945 penisilin diproduksi besar–besaran serta mulai digunakan untuk mengobati korban perang dunia ke II.4 Setelah ditemukannya penisilin, pada tahun 1944 streptomisin, golongan yang berasal dari Streptomyces griseus. Tidak begitu lama setelah itu ditemukan juga obat antibiotik lainnya seperti chloramphenicol, tetracycline, macrolide, and glycopeptide (misalnya vancomycin). Tahun 1962 dibuatlah antimikroba sintesis seperti asam nalidiksat dan quinolone lalu dilanjutkan dengan perkembangan pembuatan antibiotik golongan cephalosporin.6 Penemuan-penemuan jenis dari antibiotik pada saat itu ternyata diimbangi dengan penemuan resistensi dari bakteri tersebut terhadap beberapa obat. Penisilin yang pada awalnya efektif menekan pertumbuhan Staphyloccocus aureus diketahui mengalami resistensi pada tahun 1950. Sejak saat itu dikembangkan obat penicillinasestable methicillin hingga pada tahun 1960 digunakan secara klinis. Meski begitu, pada tahun 1961 di UK ditemukan isolasi methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam perkembangannya MRSA menjadi masalah sosial di tahun 1990-an sehingga dikembangkanlah beberapa antibiotik lain yang efektif seperti sefalosporin generasi dua dan tiga.6 Penggolongan Antibiotika Berdasarkan Cara Kerja Berdasarkan cara kerja, antibiotik dibagi menjadi 3 yaitu DNA synthesis inhibitor cell wall synthesis inhibitor, dan protein synthesis inhibitor.7 DNA-synthesis Inhibitor Antibiotik golongan ini merupakan antibiotik yang menghambat replikasi DNA. Sebagai contoh floroquinolon, obat ini menghambat prosese replikasi DNA dengan cara berikatan dengan topoisomerase II dan topoisomerase IV. Berikatnya obat dengan struktur tersebut agar mencegah rantai DNA kembali bersatu pada proses cleavage. Contoh obat golongan ini adalah golongan floroquinolon dan cotrimoxazole. Cell Wall Synthesis Inhibitor Sel bakteri diselubungi oleh suatu lapisan peptidoglikan (murein), matriks polimer dengan komposisi peptide-linked β-(1-4)-N-acetyl 54 hexosamine, merupakan suatu mekanisma barrier mekanis bakteri terhadap kondisi eksternal. Kekuatan dari peptidoglikan sangatlah penting bagi kelangsungan hidup suatu bakteri seperti menjaga perubahan tekanan osmotic terhadap lingkungan. Untuk mempertahankan bentuknya, aktivitas peptidoglikan dipengaruhi oleh aktivitas transglikosilase dan penisilin-binding protein (transpeptidase). Antibiotik golongan beta laktam dan glikopeptida merupakan contoh golongan obat dengan mekanisme ini. Sebagai contoh, beta lactam bekerja dengan cara berikatan dengan transpeptidase sehingga proses maintenance dari bakteri tesebut dan peptidoglikan tidak mampu mempertahankan bentuknya. Ketidakmampuan peptidoglikan mempertahankan bentuknya menyebabkan sel menginduksi respon stress yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan lisisnya sel tersebut. Protein Synthesis Inhibitor Proses dari pembentukan RNA terdiri dari 3 fase inisiasi, elongasi dan terminasi. Ketiganya dipengaruhi oleh ribosom dan aksesoris sitoplasma. Ribosom tersusun atas dua subunit ribonukleoprotein yaitu 50s dan 30s. ribosom tersebut akan berjalan mengikuti setiap proses pembentukan RNA. Antibiotik golongan ini bekerja dengan menghambat kerja dari riobosom tersebut, sesuai Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU) target kerjanya, obat tersebut dibagi kembali menjadi 2 golongan, yaitu 30s Inhibitor dan 50s Inhibitor. Mekanisme kerja dari 50s ribosom inhibitor adalah adalah membloking baik itu proses inisiasi tranlasi protein maupun translokasi peptide mRNA. Contoh 50S ribosome inhibitors macrolides (erythromycin), lincosamides (clindamycin), streptogramins (dalfopristin– quinupristin), amphenicols (chloramphenicol) dan oxazolidinones (linezolid). Mekanisme kerja dari 30s Ribosom inhibitor adalah memblok akses menempelnya tRNA aminoacyl kepada ribosom. Contoh dari obat ini adalah tetrasiklin dan aminocyclitols. Berdasarkan Spektrum Berdasarkan luas spektrum, antibiotik dibagi menjadi spectrum luas (broad spectrum) dan spectrum sempit (narrow spectrum).8 Broad Spectrum Antibiotik spektrum luas merupakan antibiotik yang efektik terhadap gram positif maupun gram negatif. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah tetracyclines, phenicols, fluoroquinolones, “generasi ke tiga” dan “generasi ke empat” cephalosporins Narrow Spectrum Antibiotik spectrum sempit merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas terbatas dan hanya efektif terhadap organisme tertentu, sebagai contoh C(max) cmax Absorption Phase Elimination Phase (T 1/2) AUC Time above MC C(max):MIC ratio MIC AUC Cmin Tmax Time Gambar 1 Kurva Konsentrasi Obat dalam Plasma Gambar 2 Hubungan PK/PD terhadap Konsentrasi Obat dalam Plasma 55 glikopeptida dan bacitracin yang hanya efektif terhadap bakteri gram positif, Polimiksin obat antibiotik yang hanya efektif terhadap bakteri gram negatif, aminoglikosida dan sulfonamid yang hanya efektif terhadapt bakteri aerob dan nitromidazol yang hanya efektif terhadap bakteri anaerob. Berdasarkan Daya Bunuh Bakteri Berdasarkan daya bunuh bakteri, Antibiotik dibagi menjadi dua yaitu bakterisida dan bakteristatis. 7,8 Bakteriostatik Antibiotik golongan bakteriostatik adalah antibiotik yang hanya menahan pertumbuhan bakteri, tidak sampai membunuh bakteri. Contoh obat golongan ini adalah tetrasiklin, spectinomisin, sulfonamid, macrolide, kloramfenikol, dan trimethoprim. Bakteriosida Antibiotik golongan bakterisida adalah antibiotik yang bekerja membunuh bakteri target. Contoh obat golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, flouroquinolones (ciprofloxasin), glycopeptides (vancomisin), monobactam, carbapenems. Penggolongan Antibiotika Berdasarkan PK/ PD Terapi antibiotik terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya mortalitas dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat peningkatan kebutuhan ruang Intensive Care Unit (ICU). Kontrol infeksi dan pemilihian antibiotik yang sesuai merupakan intervensi utama dan harus menjadi prioritas dalam manajemen pasien kritis. 9 Pengetahuan mengenai farmakokinetik pharmacokinetics (PK) dan farmakodinamik pharmacodynamics (PD) antibiotik merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik berkaitan dengan keluaran pasien kritis. Perubahan pada volume of distribution (Vd) dan clearance (CL) antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target konsentrasi obat dalam serum. Hal ini menjadi bukti bahwa parameter PK/PD berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien dan resistensi.9 Gambar 1 menggambarkan tentang kurva farmakokinetik obat. Farmakokinetik mendeskripsikan absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat. PK menjelaskan mengenai konsentrasi obat dalam tubuh yang berubah seiring waktu setelah konsumsi obat. Parameter yang digunakan adalah bioavaliabilitas, minimum serum concentration (Cmin), puncak konsentrasi obat dalam serum (Cmax), waktu kadar obat serum mencapai puncak (Tmax), volume distribusi (Vd), area under serum concentration-time curve (AUC), waktu paruh (T1/2), dan jumlah waktu konsentrasi obat serum di atas konsentrasi hambat minimal (T>MIC).10,11 Gambar 2 mendeskripsikan mengenai hubungan farmakokinetik dan famakodinamik terhadap konsentrasi obat dalam plasma. Aktivitas concentration-dependent antibiotiks dapat diprediksi melalui rasio AUC/MIC atau Cmax/MIC dengan konsumsi obat dengan dosis adekuat untuk mencapai konsentrasi yang tinggi. Sementara time-dependent antibiotiks membutuhkan konsumsi berkali-kali untuk mencapai T/MIC yang maksimal. 11 Farmakodinamik mendeskripsikan efek konsentrasi antibiotik dalam plasma terhadap respons pada sel pejamu atau pathogen. Parameter PD terdiri dari: waktu yang dibutuhkan konsentrasi obat serum melebihi MIC (T>MIC), rasio konsentrasi maksimum serum obat terhadap MIC (Cmax/MIC), dan area kurva waktu konsentrasi selama 24 jam (ACU) dibagi MIC (AUC/MIC). Beberapa antibiotik memeliki efek bakterisidal paska CL atau post-antibiotik effects (PAE). 11 Post-antibiotik effect (PAE) merupakan supresi persisten pertumbuhan bakteri setelah paparan singkat (1–2 jam) bakteri oleh suatu antibiotik meskipun tanpa bantuan imunitas pejamu. 12 Beberapa antibiotik misalnya aminoglikosida dan quinolones tetap memiliki efek bakterisidal walaupun CL telah Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 55 56 terjadi pada area infeksi. Hal ini terjadi karena kedua antibiotik tersebut memiliki efek inhibitor asam nukleat dan sintesis protein yang secara signifikan mencegah pertumbuhan bakteri meskipun konsentrasi dalam serum berada di bawah MIC.11 Efek PAE dipengaruhi oleh jenis bakteri, jenis dan konsentrasi obat serum, dan durasi paparan. Secara umum, PAE lebih lama in vivo dari pada in vitro. PAE antibiotik bervariasi tergantung dari jenis antibiotiknya. PAE beta-laktam tergantung dari lama bakteri berikatan dengan transpeptidase penisilin. PAE aminoglikosida tergantung dari lamanya obat terdisosiasi dari ribosom, menuju area aktivasi, dan mensintesis protein. Beta-laktam hanya mengekspresikan PAE pada bakteri gram positif kecuali carbapenem yang memiliki PAE pada gram negatif. Macrolides, flouroquinolon dan aminoglikosida hanya mengekspresikan PAE pada gram negatif. 10 Cmax merupakan konsentrasi tertinggi obat dalam plasma darah yang diukur setelah dosis tunggal. Cmax biasanya terjadi beberapa jam setelah dosis diberikan. AUC merupakan parameter yang menggambarkan absorpsi obat dan bioavailabilitas obat dalam tubuh. AUC menggambarkan konsentrasi obat dalam peredaran darah secara keseluruhan sehingga merupakan indikator efektivitas absorpsi obat. 12 MIC merupakan konsentrasi di mana obat mampu menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro. 11 MIC menunjukan konsentrasi terendah dari obat tersebut yang dapat menghambat pertumbuhan setelah diinkubasi 18–24 jam.13 Penggunaan antibiotik pada manusia didasarkan pada MIC suatu obat terhadap patogen spesifik yang menginfeksi. 11 Dosis obat dikatakan sesuai apabila MIC pada pathogen tertentu memiliki kerentanan melebihi dosis maksimal serum dari obat yang lain. Beberapa faktor seperti jenis obat, pathogen, dan kondisi individu berpengaruh penting terhadap keluaran terapi. Dosis obat yang tidak mencapai MIC berpotensi sebagai penyebab resitensi antibiotik. 11 Klasifikasikan antibiotik berdasarkan pola aktivitas bakterisidal adalah sebagai berikut: Concentration-dependent Antibiotiks Concentration-dependent antibiotiks merupakan golongan pertama. Pola kerja antibiotik golongan ini adalah apabila konsentrasi semakin tinggi, maka efek bakterisidal dan spektrumnya semakin meningkat. Pola ini terjadi pada golongan aminoglikosida dan flouroquinolon. Indeks farmakologi yang merepresentasikan golongan ini Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU) adalah rasio Cmax/MIC dan AUC/MIC. Pemberian dosis tunggal memiliki efek bakterisidal lebih tinggi dibanding dengan pemberian terbagi beberapa dosis. Concentration-dependent antibiotiks memiliki efek posantibiotik yang lama dan mampu menghambat sintesis protein dan asam nukleat 12. Indeks farmakologi untuk aminoglikosida Cmax/MIC ≥10. Oleh karena itu pemberian dosis tunggal aminoglikosida perhari memiliki efek lebih tinggi dengan akumulasi minimal obat dalam tubuh dan toksisitas minimal pada tubuh 12. Time-dependent Antibiotiks Time-dependent antibiotiks merupakan antibiotik golongan kedua dengan efek bakterisidal dan spektrum yang sama setelah mencapai ambang konsentrasi. Antibiotik golongan memiliki potensi bakterisidal apabila konsentrasinya lebih tinggi dari MIC tetapi saat konsentrasi mencapai empat kali MIC efek bakterisidal tambahan sangat kecil. Spectrum bakterisidal tergantung dari waktu paparan karena antibiotik golongan ini memiliki waktu kerja singkat dan tidak memiliki efek posantibiotik terutama untuk gram negatif. Oleh karena itu dosis antibiotik. pada golongan ini sebisa mungkin berada di atas MIC selama interval dosis 12 Indeks farmakologi untuk antibiotik golongan ini adalah T>MIC. Antibiotik yang termasuk golongan ini adalah beta laktam, clindamisin, linezolid, dan vancomisin. Hingga saat ini tidak ada persetujuan nilai optimal T>MIC. Studi observasional menyebutkan bahwa 40%–50% durasi T>MIC adalah target dosis minimal untuk penisilin dan cephalosporin. Nilai ini menyebabkan efek Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 56 57 bakteriostatik. T>MIC lebih dari 70% dinilai ideal sebagai bakterisidal dan T>MIC 100% dinilai mencegah resistensi. Antibiotik golongan ini memiliki T1/2 yang pendek sehingga harus diberikan setiap 4–6 jam atau drip kontinyu melalui infus.12 Mekanisme Terjadinya Resistensi terhadap Antibiotik Dewasa ini, hampir semua golongan utama dari antibiotik mengalami masalah resistensi terhadap mikroorganisme tertentu. Dua faktor utama yang berhubungan dengan kejadian resistensi antibiotik adalah evolusi dan keadaan lingkungan. Mikroorganisme terkait melakukan proses adaptasi terhadap stress yang diberikan saat pemberian obat. Dalam perkembangannya terdapat beberapa proses yang menyebabkan resistensi antibiotik. Mekanisme tersebut diantaranya.3 Reduced entry of antibiotik into pathogen Protein membran sel bakteri gram negatif terdapat membran permeabel yang menjadi tempat masuknya molekul yang masuk kedalam sel. Molekul kecil seperti antibiotik memasuki sel melalui channel protein yang disebut porins. Berkurangnya jumlah atau mutasi dari porin menyebabkan berkurangnya jumlah obat yang memasuki sel bakteri. Kurangnya obat yang masuk mengurangi efektivitas obat tersebut. Enhanced export of antibiotik by efflux pumps Pompa efluks merupakan mekanisme penting dalam terjadinya resistensi bagi parasite, bakteri dan fungi dimana mikroorganisme bisa mengespressi efflux pumps secara berlebihan yang berefek pada tidak berfungsinya antibiotik pada bakteri target antibiotik tersebut. Saat ini diketahui lima system utama pada pompa efluks yang berhubungan dengan antibiotik. The multidrug and toxic compound extruder (MATE) the major facilitator superfamily (MFS) transporters the small multidrug resistance (SMR) system the resistance nodulation division (RND) exporters ATP binding cassette (ABC) transporters Contoh obat dengan resistensi ini adalah obat antimalarial seperti chloroquine, quinine, mefloquine, halofantrine, lumefantrine, and the artemether-lumefantrine yang telah resisten melawan plasmodium palcifarum. Mekanisme resistensi diatas dimediasi oleh ABC transporter yang dikode oleh Plasmodium falciparum 1 (Pfmdr1). Release of microbial enzymes that destroy the antibiotik Inaktivitas dari obat merupakan mekanisme paling sering dari resistensi obat tersebut. Beberapa bakteri menghasilkan enzim tertentu untuk menghancurkan bentuk aktif dari obat tersebut. Sebagai contoh bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida memproduksi enzim aminoglicosidase dan bakteri yang resisten terhdap golongan beta lactam menghasilkan enzim beta laksamase. Alteration of microbial proteins that transform pro-drugs to the effective moieties and target protein Kejadian paling sering saat terjadinya mutasi adalah perubahan komposisi asam amino dan protein yang diekspressikannya. Hal ini menyebabkan berkurangnya afinitas obat terhadap target atau afinitas kerja enzim yang mengkonversi pro-drug menjadi obat yang aktif. Mekanisme ini tesjadi karena beberapa hal diantaranya mutasi alami dari target bakteri (resistensi terhadap flouroquinolon), modifikasi target bakteri (terbentuknya mekanisme proteksi ribosom pada resistensi macrolide dan tetrasiklin) atau proses adaptasi dari bakteri itu sendiri seperti rendahnya afinitas penicilinbinding protein sehingga menyebabkan resistensi Staphilloccocus aureus. Incorporation of drug Suatu kondisi yang sangat jarang dimana suatu organisme bukan hanya menjadi resisten terhadap namun bahkan menjadi subsatnsi yang dibutuhkan mikroorganisme tersebut untuk tumbuh. Contoh resistensi obat dengan mekanisme ini adalah resistensi terhadap vancomicyn. Jenis-Jenis Antibiotik, Indikasi, Dosis, Cara Pemberian, Efek Samping Obat adalah: Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 57 58 Sepalosporin Mekanisme Kerja Mekanisme kerja dari obat golongan sepalosporin adalah adalah inhibit dinding sel bakteri. Secara umum mekanisme kerja obat ini mirip dengan obat antibiotik golongan beta-lactam. 3 Indikasi Sepalosporin generasi pertama sangat baik untuk mengobati penyakit kulit atau jaringan ikat oleh karena infeksi S. pyogen dan S. aureus. Untuk generasi kedua dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi saluran nafas, serta beberapa infeksi oleh karena bakteri anaerob fakultatif seperti infeksi intra abdomen dan pelvic inflammatory desease 3. Sepalosporin generasi ke tiga merupakan generasi yang sering dipakai, generasi ini menyempurnakan obat generasi ke dua sehingga penyakit yang dapat diobati oleh obat generasi. Cephalosporin generasi ini juga dapat digunakan untuk penyakit infeksi serius seperti infeksi Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Providencia, Serratia, dan Haemophilus sp. Ceftriaxone merupakan salah satu obat sepalosporin golongan tiga merupakan drug of choice dari berbagai jenis gonorae 3. Dosis dan Cara Pemberian Obat golongan sepalosporin dibagi kembali sesuai dengan generasi obat tersebut. Hingga saat ini diketahui terdapat hingga 4 generasi. Sefalosporin Generasi 1 adalah Cefazolin (500mg, 1g, 2g, 10g, 20g, 100g, 300g serbuk IV), Cefaclor (Kapsul 250 mg, 500 mg, Tablet 500 mg), Cefadoxril (Kapsul 500mg; suspense oral 250mg/5mL, 500mg/5mL, tablet 1g). Sefalosporin Generasi 2 adalah Cefoxitin (Serbuk injeksi 1g, 2g, dan 10 gram), Cefuroxime (Suspense oral 125 mg/ mL, 250mg/mL, Serbuk injeksi 750mg, 1,5 g, 7,5g, 75 g, dan 225g, Tablet 250 mg, 500 mg) Sefalosporin Generasi 3 adalah Cefotaxim (Injeksi 20mg/ mL, 40 mg/mL, Serbuk injeksi 500mg, 1g, 2g, dan 10g), Ceftazidime (Injeksi 20mg/mL, 40 mg/mL, Serbuk injeksi 500mg. 1g, 2g, dan 6g), Ceftizoxim (Serbuk injeksi 500mg, 1g, 2g, dan 10g), Ceftriaxon Injeksi (1g/50mL. 2g/50mL, Serbuk injeksi 250mg, 500mg, 1g, 2g, 10g), Cefixim (Tablet 400mg, Tablet kunyah 100mg, 200mg, Suspense oral 100mg/5mL, 200mg/5m), Cefributen (Kapsul 400mg, Suspense oral 90mg/5mL, 180/5mL) Sefalosporin Generasi 4 Prototif sefepim (Larutan infus 1g/50ml, 2g/100mL, Serbuk injeksi 1g, 2g). Efek Samping Obat Efek samping obat yang dapat ditimbulkan adalah hipersensitivitas (paling sering), reaksi anafilaksis seperti spasme bronkus dan urtika, nyeri pada tempat suntikan, phlebitis, nefrotoksik (terutama juga dikombinasikan dengan obat golongan aminoglikosida, diare (terutama untuk Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU) cefoperazone, ceftriaxone), hipoprotombinemia (moxalctam). 14 Macrolide Mekanisme Kerja Mekanisme kerja obat golongan ini adalah inhibisi sintesis protein bakteri, macrolide merupakan golongan obat bakteriostatis. 14 Indikasi Eritromisin merupakan obat golongan macrolide yang dijadikan drug of choice untuk pneumonia pada anak, infeksi legionella, dan difteri. Claritomisin merupakan obat yang efektif digunakan untuk bakteri gram positif meskipun Obat ini efektif terhadap Haemofilus Influenza. Azytromisin merupakan obat yang efektif terhadap gram negatif seperti Haemofilus influenza, Nisseria gonorrhea, dan Clamidiae sp.3 Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 58 59 Dosis dan Cara Pemberian Erytromicyn (Tablet 250 mg, 500 mg, kapsul 250mg), azitromicyn (suspense 100mg/5mL, 200mg/5mL, tablet 250mg, 500mg, 600mg), claritomycin (suspense oral 125 mg/5mL, 250 mg / 5mL, Tablet 250mg, 500mg). Efek Samping Obat Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat golongan ini diantaranya gangguan gastrointestinal, toksisitas hepar dan aritmia. Aminoglikosida Mekanisme Kerja Mekanisme kerja obat golongan ini adalah berikatan dengan protein ribosom yang menyebabkan gangguan pembentukan asam amino bakteri tersebut. Aminoglikosida termasuk golongan antibiotik bakterisida. 14 Indikasi Aminoglikosida merupakan golongan antibiotik yang sangat efektif untuk bakteri basil gram negatif seperti P. aeruginosa, Enterobacter, Klebsiella, and Serratia. Penggunaan obat golongan ini biasanya di kombinasikan dengan obat golongan beta-lactam. 3 Dosis dan Cara Pemberian Gentamicyn (3–5kgBB/Hari dibagi 3 dosis, Injeksi 10mg/mL, 40mg/mL), Tobramicyn (Injeksi 10mg/mL, 40mg/mL), Amikacyn (Injeksi 50mg/mL, 250mg/mL), Neomycin (Krim 5%, Tablet 500mg, Sirup 25mg/mL), Streptomicyn (Serbuk injeksi 1gram). Efek Samping Obat Beberapa efek samping obat antibiotik ini adalah ototoksisitas, nefrotoksik, neuromuscular blocade, serta gangguan sistemik lainnya seperti rash, Anemia hemolitik, kekurangan koagulasi factor V. 14 Quinolone Mekanisme Kerja Mekanisme kerja obat ini adalah inhibisi pembentukan asam nukleat. Obat golongan quinolone sangat efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang begitu efektif terhadap bakteri gram positif. 14 Indikasi Obat golongan quinolone biasnaya digunakan untuk infeksi saluran kemih, prostatitis, sexual transmitted desease, infeksi gastrointestinal, infeksi saluran pernafasan dan infeksi jaringan otot dan tulang. 3 Dosis dan Cara Pemberian Ciprofloxacin (Suspense oral 250mg/5mL, 500mg/5mL, Tablet 100mg, 250 mg, 500mg, 750 mg), Norfloxacin (Tablet 400mg), Ofloxacin (Tablet 200mg, 300mg, 400mg). Efek Samping Obat Efek samping obat golongan ini biasanya merupakan gangguan gastrointestinal seperti nausea, vomiting, atau tidak nyaman sekitar abdomen 14. Beta-lactam Mekanisme Kerja Mekanisme kerja dari obat golongan ini adalah inhibisi dinding sel bakteri, dimana obat tersebut akan berikatan dengan penisilin binding protein. Kondisi tersebut akan berujung pada kematian sel sehingga obat golongan ini bersifat bakterisida. 3 Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 59 60 Indikasi Indikasi penggunakan obat golongan ini adalah pada penyakit yang disebabkan infeksi Pneumokokus sp., Streptococcus sp., Staphillococus sp., Meningococcus sp., Gonococcus, Clostridium sp., serta beberapa penyakit seperti sifilis, aktinomikosis, difteri, dan antraks. 3 Dosis dan Cara Pemberian Amoxicilin (Tablet 250 mg, 500mg, suspense oral 125mg/5mL, 200mg/5mL, 250mg/5mL), Nafcilin (Injeksi 20mg/mL, 1g/100mL Serbuk injeksi 1g,2g, 10g), Oxacillin (Serbuk injeksi 1g, 2g, 10g), Dicloxacillin (Kapsul 125mg, 250mg, 500mg, suspense oral 62,5 mg/5mL), ampicillin (Kapsul 250 mg, 500mg, suspense oral 125 mg/5mL, 250mg/5mL, serbuk injeksi 125mg, 250mg, 500mg, 1g, 2, 10g), Ticarcilin (Serbuk Injeksi 3gr), Piperacillin (Serbuk injeksi 2g, 3g, 4g, 40g) Efek Samping Obat Efek samping paling sering dari beta lactam adalah reaksi alergi (anafilaksis, demam, rash, nefritis intersisial), diare (pada amoxicillin), hipernatremia (ticarcilin) serta kejang dan gagal ginjal (pada pemberian dosis tinggi) 14. Tetrasiklin dan Tygeciclin Mekanisme Kerja Mekanisme kerja obat golongan ini adalah menghambat sintesis protein dengan cara berikatan dengan ribosom dari bakteri target. Tetrasiklin merupakan golongan obat bakteriostatik 14. Indikasi Tetrasiklin cukup baik terhadap segala jenis bakteri baik gram negatif maupun gram positif. Obat golongan ini masih menjadi lini pertama infeksi Clamida sp., Mycoplasma sp., Rickettsia sp., Vibrio cholera¸ dan Borreliae sp. 14 Dosis dan Cara Pemberian Tetrasiklin (Kapsul tablet 250mg, 500mg, sirup 125mg/mL), Dosisiklin (Kapsul tablet 50mg, 75mg, 100mg, 150mg , serbuk injeksi 100mg), Minosiklin (Tablet 50mg, 75 mg, 100 mg, kapsul 50mg, 100 mg Injeksi 100 mg/vial) Efek Samping Obat Efek samping utama yang paling sering adalah gastrointestinal seperti heartburn, nausea, muntah, iritasi gaster. Selain itu juga ada efek samping lainnya seperti gangguan perkembangan gigi dan tulang pada fetus, hiperurisemia, dan kerusakan hati dan pancreas 3. Daftar Pustaka 1. Davies, JD. Origins and Evolution of Antibiotic Resistance. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 2010;74(3): 417–33. 2. Waksman, SA. What is an Antibiotic or an Antibiotic Substance?. Mycoglia. 1947; 39(5):565–9. 3. Bruton, LL., Chabner AB., & Knollmann CB. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 12th ed. California: McGraw-Hill Education, 2010. 4. Aminov, RI. A Brief History of the Antibiotic Era: Lessons Learned and Challenges for the Future. Frontier in Microbiology. 2010; 1(134). 5. Davies, J. & Davies D. Origins and Evolution of Antibiotic Resistance. Microbiology and Molecular Biology Review.2010;74(3). 6. Saga, T. & Yamaguchi, K. History of Antimicrobial Agents and Resistant. Research and Reviews.2009;52(2). 7. Kohanski MA, Dwyer DJ, Collins JJ. How Antibiotics Kill Bacteria: from Target to Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 60 61 Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU) Network. Microbiology.2010;8(1). 8. Mitchigan State University. Antimicrobial Resistence Learnig Site Pharmacology. 2011, Diakses pada 28 Oktober 2015 dari: http://amrls.cvm.msu.edu . 9. Roberts, JA. & Jeffrey L. Pharmacokinetic Issues for Antibiotics in the Critically Ill Patient. Continuing Medical Education Article: Concise Definite Review. 2009;37(3):540–51. 10. McKellar, QA., SF. Sanchez Bruni, & DG. Jones. Pharmacokinetic/Pharmacodynamic Relationship of Antimicrobial Drugs Used in Veterinary Medicine. Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 2004;27: 503–14. 11. Finberg, RW. & Guharoy R. Clinical Use of Anti-infective Agents: A Guide on How to Prescribe Drugs Used to Treat Infections. Springer Science & Business Media, LLC. 2012. p. 5–13 12. Maramba-Lazarte, CC. Determining Correct Dosing Regimens of Antibiotics Based on the Their Bacterial Activity. Pediatric Infectious Disease Society of the Philippines Journal, 2010;11(2):44– 9. 13. Levison, ME. & Levison JH. Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of Antibacterial Agent. Infectious Desease Clinical North America, 2009;24(3):791–830. 14. Bennet, PN. Brown, MJ. Clinical Phamacology, 9th ed. Spain: Elvisier, 2003. Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 61 62 PROGRAM STUDI S.1 ILMU KEPERAWATAN STIKES TELOGOREJO SEMARANG Agus Wahyudi *), Maria Suryani **), Supriyadi***) *) Alumni Program Studi S.1 Ilmu Keperawatan Stikes Telogorejo Semarang **) Dosen Jurusan Keperawatan Stikes Elisabeth Semarang ***) Dosen Jurusan Menejemen Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang ABSTRAK Pemberian obat merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan oleh perawat di setiap shift pagi, siang, dan malam, yang membutuhkan ketelitian dan ketepatan waktu dalam memberikan obat antibiotik disetiap pasien supaya tidak melakukan kesalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat Antibiotik Antara Shift Pagi, Siang, dan Malam di Ruang Rawat Inap Kelas III Rsud Tugurejo Semarang. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode comparasi. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 56 responden. Ketepatan pada shift pagi yang tepat sebanyak 45 responden (80.4%), tidak tepat sebanyak 11 responden (19.6%), ketepatan pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), tidak tepat sebanyak 5 responden (8.9%), dan untuk ketepatan pada shift malam yang tepat sebanyak 39 responden (80.4%), tidak tepat sebanyak 17 responden (30.4%), dengan jumlah keseluruhan 56 responden diperoleh hasil p-value 0.050, yang berarti p-value ≥ 0.05, maka Ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Tugurejo Semarang. Hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam pelayanan keperawatan, yaitu untuk meningkatkan peran perawat professional dalam melakukan tindakan pemberian obat antibiotik. Kata Kunci : ketepatan waktu, pemberian obat, shift pagi, siang, dan malam Daftar Pustaka : 33 (2005-2014) Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 62 63 STUDY PROGRAM BACHELOR IN NURSING TELOGOREJO SCHOOL OF HEALTH SCIENCE SEMARANG Agus Wahyudi *), Maria Suryani **), Supriyadi***) *) Student Program S1 Nursing Science STIKES Telogorejo Semarang **) Lecturer Department of Nursing STIKES Elisabeth Semarang ***) Lecturer Department of Nursing Management Health Polytechnic Semarang ABSTRACT Drug administration is one of treatments given by nurse in every shift: morning, afternoon, and evening, which requires accuracy and punctuality especially in antibiotic drug administration to each patient to avoid any mistakes. The research was aimed to observe the difference of drug administration punctuality between morning, afternoon, and evening shift in third-class hospitalization room of Tugurejo Hospital Semarang. This was a quantitative research using Comparative method on 56 respondents. During morning shift, punctuality was observed on 45 respondents (80.4%) and less punctuality on 11 respondents (19.6%). During the afternoon shift, punctuality was observed on 51 respondents (91.1%) and less punctuality on 5 (8.9%). While during the evening shift, punctuality was observed on 39 respondents (80.4%), and less punctuality on 17 respondents (30.4%). There were 56 respondents in total resulting in p-value 0.050, which means pvalue ≥ 0.05, indicating that Ha was rejected, so it can be concluded that there was no difference of drug administration punctuality between morning, afternoon, and evening shift in third-class hospitalization room of Tugurejo Hospital Semarang. The result can be applied in nursing care to increase the role of professional nurses in antibiotic drug administration. Key words : punctuality, drug administration, morning, afternoon and evening shift Bibliography : 33 (2005-2014) Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 63 64 PENDAHULUAN Penggunaan antibiotik secara tidak tepat waktu dapat menimbulkan terjadinya efek samping dan toksisitas antibiotika, dan tidak tercapainya manfaat klinik yang optimal dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit infeksi, serta resistensi bakteri terhadap obat (Utami, Prapti, 2012, hlm.15). Seorang perawat bertanggung jawab dalam pengelolaan obat yang akan di berikan (Perry, Peterson, & Potter, 2005, hlm.159) Perawat harus memastikan bahwa obat yang di berikan tersebut aman bagi pasien dan perawat juga harus memperhatikan efek samping dari obat yang sudah diberikan ke pasien (Karch, 2011, hlm.4). Data tentang kesalahan dalam pemberian obat di Indonesia belum dapat di temukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Auburn University di 36 rumah sakit dan nursing home di Colorado dan Georgia, USE, pada tahun 2002, dari 3216 jenis pemberian obat, 43% diberikan pada waktu yang salah, 4% diberikan obat yang salah, dari 312 jenis obat, terdapat 17% diberikan dengan dosis yang salah. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Institusi of Medicine pada tahun 1999, yaitu kesalahan medis telah menyebabkan satu juta cedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data yang di dapatkan JCAHO, 2002 (Joint Commision on Accreditation of Health), juga menunjukan bahwa 44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi di rumah sakit setiap tahun disebabkan oleh kesalahan medis (Kinninger & Reeder, 2003). Dari hasil penelitian yang di lakukan oleh Farida, et al., 2008 Diantara 1365 resep antibiotik yang dievaluasi didapatkan penggunaan antibiotik tanpa indikasi setelah pelatihan berkurang dari 42.3% menjadi 23,2%, dan penggunaan antibiotik yang tepat meningkat dari 36,2% menjadi 58,2%. Rerata skor kualitas pengunaan antibiotik meningkat dari 2,0 menjadi 2,8. Pelatihan berperan besar dalam meningkatkan kualitas penggunaan dokter, faktor-faktor lain tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Pekerjaan seorang perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan tidak terlepas dari pengaturan jam kerja di suatu rumah sakit yang lebih dikenal dengan istilah shift kerja. Jam kerja untuk shift pagi yaitu pukul 07.0014.00 WIB (7 jam), shift siang pada pukul 14.00-20.00 (6 jam) dan shift malam pada pukul 20.00-07.00 WIB (11 jam), (Anonim, 2010, ¶24-30). Dari studi pendahuluan di RSUD Tugurejo Semarang tahun 2014-2015 data yang didapatkan yaitu dari 10 perawat dalam memberikan obat antibiotik khususnya jenis antibiotik suntikan, 3 perawat tidak tepat waktu dan 7 perawat tepat waktu dalam memberikan obat antibiotik. Menurut Wijaya, Mauris, L,S. dan Suparniati, E. (2006) menyatakan bahwa shift kerja dapat berperan penting terhadap permasalahan pada manusia yang dapat meluas menjadi gangguan tidur, gangguan fisik dan psikologi, dan gangguan sosial serta gangguan kehidupan keluarga. Shift juga dapat mempengaruhi perubahan fisik, psikologi dan diantaranya adalah kelelahan. Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 64 65 Shift kerja juga dapat memberikan dampak negatif yang salah satunya adalah kelelahan. Kelelahan kerja yang tidak dapat diatasi akan menimbulkan berbagai permasalahan kerja yang fatal dan mengakibatkan kecelakaan kerja sehingga rumah sakit wajib mengetahui tingkat kinerja dan hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam bekerja, salah satunya kelelahan kerja pada perawat, yang dapat menimbulkan ketidaktepatan waktu pemberian obat antibiotik (Dian & Solikhah, 2012, hlm.4). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di RSUD Tugurejo Semarang. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift pagi, siang, dan malam di unit rawat inap RSUD Tugurejo Semarang 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift pagi di RSUD Tugurejo Semarang b. Untuk mengetahui gambaran ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift siang di RSUD Tugurejo Semarang c. Untuk mengetahui gambaran ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift malam di RSUD Tugurejo Semarang d. Menganalisa perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di RSUD Tugurejo Semarang. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode comparasi. Yaitu penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda (Sugiyono, 2006, hlm.133). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang bertugas di ruang rawat inap kelas III RSUD Tugurejo Semarang dengan jumlah sebanyak 129 orang. Dalam penelitian ini teknik sampel yang digunakan adalah quota sampling dan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dengan menggunakan lembar observasi. Penyajian data pada analisis univariat dibuat dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase untuk variabel Ketepatan Waktu Pemberian Antibiotik Antara Shift Pagi, Siang, Dan Malam. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Kruskal Wallis karena uji ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel dengan menggunakan program SPSS. Ho ditolak bila pvalue >0,05 dan Ha di terima bila p-value <0,05. 1. Kriteria Inklusi a. Perawat bersedia menjadi responden b. Perawat Pelaksana yang bertugas di ruang rawat inap kelas III c. Perawat pelaksana yang memberikan obat antibiotik 2. Kriteria Eksklusi a. Perawat yang sedang cuti HASIL PENELITIAN 1. Analisis univariat a. Ketepatan Waktu Pemberian Antibiotik Pada shift Pagi Distribusi frekuensi ketepatan waktu pemberian obat antibiotik Pada shift pagi di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) Tabel Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 5.1 65 66 disini merupakan pemberian obat yang benar harus benar sesuai waktu yang diprogramkan, shift pagi - Tepat - Tidak tepat Total f % 45 11 80.4 19.6 56 100,0 Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift pagi yang tepat sebanyak 45 respondn (80.4%), dan yang tidak tepat sebanyak 11 responden (19.6%). Hal ini selaras dengan pendapat Sunarto (2010, hlm.40) bahwa pada shift pagi hari tugas untuk administrasi cukup banyak baik administrasi keperawatan maupun administrasi lain seperti perincian pasien pulang yang dilakukan pada pagi hari. Distribusi frekuensi ketepatan waktu pemberian obat antibiotik Pada shift siang di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) shift siang - Tepat - Tidak tepat Total c. Ketepatan Waktu Pemberian Antibiotik Pada shift malam Tabel 5.3 Distribusi frekuensi ketepatan waktu pemberian obat antibiotik Pada shift malam di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) shift malam - Tepat - Tidak tepat b. Ketepatan Waktu Pemberian Antibiotik Pada shift siang Tabel karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan efek terapi dari obat tersebut (Damayanti, I,P. 2015, hlm.5-6). 5.2 f % 51 5 91.1 8.9 56 100,0 Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), dan yang tidak tepat sebanyak 5 responden (8.9%). Dalam pemberian obat kepada responden perlu di ketahui bahwa harus menggunakan prinsip 6 benar yang salah satunya yaitu tepat obat dan tepat waktu. Tepat obat disini merupakan tahap dimana sebelum mempersiapkan obat ketempatnya perawat harus memperhatikan kebenaran obat, sedangkan pada tepat waktu Total f % 39 17 69.6 30.4 56 100,0 Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift malam yang tepat sebanyak 39 responden (69.6%), dan yang tidak tepat sebanyak 17 responden (30.4%). Menurut Mayasari, Anita (2011, hlm.31) Sebagian besar perawat pada shift malam mengalami kelelahan kerja sedang, karena faktor faal dan metabolisme tubuh yang tidak dapat diserasikan dengan pembagian jam kerja mereka, Perawat shift malam bekerja selama 10 jam, selain itu juga disebabkan jam tidur yang dipakai untuk bekerja. 2. Analisis bivariate a. Uji Kruskal Wallis Tabel 5.4 Uji Kruskal Wallis (n=56) Shift n Pagi 56 Medi an 2.00 Mini mum 1 Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) Maxi mal 3 p value 0.050 66 67 Siang Malam 56 56 Table 5.6 Berdasarkan Tabel 5.4 didapatkan pada shift pagi, siang, malam, diperoh nilai median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai Maximum 3, serta p value sebesar 0.050 yang berarti Ha ditolak kesimpulannya tidak ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di ruang rawat inap kelas III RSUD Tugurejo Semarang. b. Uji Mann Whitney U Test P Value kelompok shift pagi dengan shift siang Table 5.5 Perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift pagi dengan shift siang di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) Shift n Medi an Pagi Siang 56 56 2.00 Min imu m 1 Maxi mal p value 3 0.227 Berdasarkan Tabel 5.5 di atas antara kelompok shift pagi dengan shift siang diperoleh nilai Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai Maximum 3, serta P Value sebesar 0,227 ≥ 0,05. Yang berarti Ha ditolak, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna antara dua kelompok yaitu shift pagi dan shift siang. Menurut Sunarto (2010, hlm.41) Hal ini dikarenakan pada shift pagi dengan shift siang, pagi hari tugas untuk administrasi cukup banyak baik administrasi keperawatan maupun administrasi lain seperti perincian pasien pulang yang dilakukan pada pagi hari, dan shift siang yang jumlah tenaga keperawata tidak memadai, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara shift pagi dengan shift siang. c. Uji Mann Whitney U Test P Value kelompok shift siang dengan shift malam Perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift siang dengan shift malam di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) Shift n Medi an Siang Malam 56 56 2.00 Min imu m 1 Maxi mal p value 3 0.016 Berdasarkan Tabel 5.6 di atas antara kelompok shift siang dengan shift malam diperoleh nilai Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai Maximum 3, serta P Value sebesar 0.016 ≤ 0,05. Yang berarti Ha diterima, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara dua kelompok yaitu shift siang dengan shift malam. Hal ini selaras dengan pendapat Sunarto (2010, hlm.41) Bahwa pada shift siang hal ini disebabkan jumlah tenaga kurang dibandingkan dengan jumlah tenaga shift pagi, dan pada shift malam aktivitas menurun karena pasien sedang beristirahat, sehingga pada shift malam lebih banyak digunakan perawat untuk istirahat, kecuali bila ada kegiatan ekstra atau observasi ketat terhadap pasien, serta pada shift siang adalah yang paling tepat, dan pada shift malam adalah yang paling tidak tepat, sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kelompok shift siang, dengan shift malam. d. Uji Mann Whitney U Test P Value kelompok shift pagi dengan shift malam Table 5.7 Perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift pagi dengan shift malam di RSUD Tugurejo Semarang bulan Maret Tahun 2016 (n=56) Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 67 68 responden (69.6%), dan yang tidak tepat sebanyak 17 responden (30.4%). Shift n Medi an Pagi Malam 56 56 2.00 Min imu m 1 Maxi mal p value 3 0.196 Berdasarkan Tabel 5.7 di atas antara kelompok shift pagi dengan shift malam diperoleh nilai Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai Maximum 3, serta P Value sebesar 0.196 ≥ 0,05. Yang berarti Ha ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara dua kelompok yaitu shift pagi dengan shift malam. Menurut Mayasari, Anita (2011, hlm.31) Karena pada shift pagi dengan shift malam perawat Sebagian besar perawat pada shift malam mengalami kelelahan kerja sedang, karena faktor faal dan metabolisme tubuh yang tidak dapat diserasikan dengan pembagian jam kerja mereka, Perawat shift malam bekerja selama 10 jam, selain itu juga disebabkan jam tidur yang dipakai untuk bekerja. 4. Hasil uji Kruskal-Wallis didapatka nilai P Value 0.050, maka Ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Tugurejo Semarang, dan hasil uji Mann-Whithney shift siang dengan shift malam didapatkan nilai P Value 0.016, maka Ha diterima sehingga ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift siang dengan kelompok shift malam, sedangkan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik anatar kelompok shift pagi dengan shift siang didapatkan P Value 0.227, dan pada kelompok shift pagi dengan shift malam didapatkan P Value 0.196. SARAN 1. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tentang perbedaan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di ruang rawat inap kelas III RSUD Tugurejo Semarang, maka diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift pagi yang tepat sebanyak 45 responden (80.4%), yang tidak tepat sebanyak 11 responden (19.6%). 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), dan yang tidak tepat sebanyak 5 responden (8.9%). 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada shift malam yang tepat sebanyak 39 2. 3. Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan untuk penambahan tenaga kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang di berikan kepada pasien. Bagi Ilmu Keperawatan Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang pentingnya ketepatan waktu dalam pemberian obat antibiotik dan menjadi acuan para profesi perawat dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan tindakan keperawatan pada pasien. Bagi Peneliti Selanjutnya Di harapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan masukan untuk peneliti selanjutnya dengan variabel yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2010). Analisa Hubungan Beban Kerja Dan Shift Dengan Tingkat Stress Kerja Perawat Di IGD RSU Dr. H. Koesnadi Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 68 69 Bondowoso. Diambil februari dari 10 http://stikeshafshawaty.ac.id/index.p hp/jurnal-s1-keperawatan/81analisahubungan-beban-kerja-danshiftdengan-tingkat-stress-kerjaperawatdi-igd-rsu-dr-h-koesnadibondowoso Damayati, I,P. (2015). Panduan lengkap keterampilan dasar kebidanan II/oleh Ika Putri, Damayati, Risa Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 69 124 Pitriani, dan Yurlina Ardhiyanti— Ed. 1, Cet 1—Yogyakarta: Deepublish, Januari 2015 Dian, K.S (2012). Hubungan Kelelahan Kerja dengan Kinerja Perawat di bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Islam Fatimah Kabupaten Cilacap. Jurnal kesehatan masyarakat. 6(2): 162232 Karch, M. A. (2010). Buku ajar farmakologi keperawatan. Jakarta: EGC Mayasari, A. (2011). Perbedaan Tingkat Kelelahan Perawat Wanita. Diambil tanggal 17 juli 2016 dari https://www.google.com/url?sa =t&r ct=j&q=&esrc=s&source=web &cd= 22&cad=rja&uact=8&ved=0ah UKE witjtiTqv_NAhXLipQKHQz1 ADM 4FBAWCCUwAQ&url=http% 3A% 2F%2Fjournal.unnes.ac.id%2Fa rtike l_nju%2Fpdf%2Fkemas%2F17 90% 2F1981&usg=AFQjCNGeqPlvj hItkBf28lBu24U0QelBw&sig2 =b XRqRZeEGDDHBZ4iD00Lnw &bv m=bv.127521224,d.dGo Perry, P.P. (2005). Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar. Edisi 5. Jakarta : EGC Sugiyono. (2006). Statistika Untuk Penelitian,Cetakan Ketujuh, Bandung: CV. Alfabeta Sunarto. (2010). Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Kinerja Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap Rsud Waluyo Jati. Diambil tanggal Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 124 125 14 juli 2016 dari http://stikeshafshawaty.ac.id/in dex.p hp/jurnal-s1keperawatan/64faktordominan-yangmempengaruhikinerja-perawatdalammelaksanakan-asuhankeperawatandi-ruang-rawatinap-rsud-waluyojati Utami, P. (2012). Antibiotik Untuk Mengatasi Aneka Penyakit, Cet,1,- Jakarta : AgroMedia Pustaka 2012 Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 125 126 ANTIBIOTIKA, RESISTENSI, DAN RASIONALITAS TERAPI Eka Rahayu Utami Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Maliki Malang. Email: [email protected] ABSTRACT Bacterial resistance toward antibiotics has become international and serious problem. Rasional therapy campaign has common recently, include correct medication, precise dose, fix therapy periode and efficient cost. Microbes being resistance through some different ways for live survival. Many things can cause this resistance. In the end, there are a lot of harmful consequences in health, economic, also public health aspect. Rational therapy, government regulation, and civil education become some crusial point in bacterial resistance conquer strategy. Keywords: antibiotics, resistance, rational therapy. PENDAHULUAN masyarakat di Indonesia menggunakan antibiotika secara tidak tepat. Antibiotika, yang pertama kali Ketika digunakan secara tepat, ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910, antibiotik memberikan manfaat yang sampai saat ini masih menjadi obat tidak perlu diragukan lagi. Namun bila andalan dalam penanganan kasus-kasus dipakai atau diresepkan secara tidak penyakit infeksi. Pemakaiannya selama tepat (irrational prescribing) dapat 5 dekade terakhir mengalami menimbulkan kerugian yang luas dari peningkatan yang luar biasa, hal ini segi kesehatan, ekonomi bahkan untuk tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi generasi mendatang. juga menjadi masalah di negara maju Munculnya kuman-kuman seperti Amerika Serikat. The Center for patogen yang kebal terhadap satu Disease Control and Prevention in USA (antimicrobacterial resistance) atau menyebutkan terdapat 50 juta peresepan beberapa jenis antibiotika tertentu antibiotik yang tidak diperlukan (multiple drug resistance) sangat (unnescecery prescribing) dari 150 juta menyulitkan proses pengobatan. peresepan setiap tahun (Akalin,2002). Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 126 127 Pemakaian antibiotika lini pertama yang Menurut Menteri Kesehatan Endang sudah tidak bermanfaat harus diganti Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 persen dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan lini ketiga. Hal ini jelas akan merugikan pasien, karena antibiotika lini kedua maupun lini ketiga masih sangat mahal harganya. Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi kekebalan kuman terhadap antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi lain, banyak penyakit infeksi yang merebak karena pengaruh komunitas, baik berupa epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat (independent epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan di rumah sakit (nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini akan kembali ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotika (APUA, 2011). Hal-hal diatas telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Hingga akhirnya pada peringatan Hari Kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Sejalan dengan tema WHO, Indonesia mengangkat tema “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Resistensi kuman terhadap antibiotika berkembang jauh lebih cepat daripada penelitian dan penemuan antibiotika baru. Saat ini sedang digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. No action today, no cure tomorrow. ANTIBIOTIKA DAN RESISTENSI Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali menemukan apa yang disebut “magic bullet’, yang dirancang untuk menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika pertama, Salvarsan, yang digunakan untuk melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti oleh Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan penicillin pada tahun 1928. Tujuh tahun Domagk menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada 1943, anti TB pertama ,streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman pula orang pertama yang memperkenalkan terminologi antibiotik. Sejak saat itu antibiotika ramai digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Zhang, 2007). Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Munaf, 1994). Secara garis besar antimikroba dibagi menjadi dua jenis yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk golongan bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence & Bennet,1987). Pembagian bakteriostatik dan bakterisid ini tidak absolut, tergantung dari konsentrasi obat, spesies bakteri dan fase perkembangannya. Manfaat dari pembagian ini berguna dalam hal pemilihan antibiotika, pada pasien dengan status imunologi yang rendah (imunosuppressed) misalnya penderita HIV-AIDS, pada pasien pembawa kuman (carrier), pada pasien dengan kondisi sangat lemah (debilitated) misalnya pada pasien-pasien end-stage, maka harus dipilih antibiotika bakterisid. kemudian,Gerhard Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 127 128 Terdapat pembagian lain dalam klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar cara kerja maupun spektrum kerjanya. Penggunaan pembagian ini secara klinis masih kurang bermanfaat. Dalam prakteknya, klasifikasi yang paling sering dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa kimia. Lebih sering dipakai karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung terkait dengan golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan antimikobakterium.(kucers,use of antibiotic) Di samping antibiotika yang telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini juga mulai diperkenalkan jenis-jenis baru dari golongan beta laktam misalnya kelompok monosiklik beta laktam yakni aztreonam, yang terutama aktif terhadap kuman Gram negatif, termasuk pseudomonas. Juga antibiotika karbapenem (misalnya imipenem) yang dikatakan tahan terhadap penisilinase dan aktif terhadap kuman-kuman Gram positif dan Gram negatif. Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya resistensi. Tidak mengherankan apabila bakteri dapat dengan mudah beradaptasi dengan paparan antibiotika, mengingat keberadaan dan perkembanganya telah dimulai sejak kurang lebih 3,8 milyar tahun yang lalu. Resistensi pasti diawali adanya paparan antibiotika, dan meskipun hanya ada satu atau dua bakteri yang mampu bertahan hidup, mereka punya peluang untuk menciptakan satu galur baru yang resisten. Sayangnya, satu galur baru yang resisten ini bisa menyebar dari satu orang ke orang lain, memperbesar potensinya dalam proporsi epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya control infeksi dan penggunaan antibiotika yang luas (Peterson, 2005) Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap daua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008). Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut : 1.Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika . Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Betalaktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif. 2.Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten. 3.Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 128 129 yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan. 4.Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk. 5.Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997). Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa factor yang mendukung terjadinya resistensi,antara lain terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi. 3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya. 4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi. 5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci 1. Penggunaannya yang kurang tepat tangan setelah memeriksa pasien atau (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis desinfeksi alat-alat yang akan dipakai yang terlalu rendah, diagnose awal yang untuk memeriksa pasien. salah, dalam potensi yang tidak adekuat. 6. Penggunaan di rumah sakit : adanya 2. Faktor yang berhubungan dengan pasien infeksi endemic atau epidemic memicu . Pasien dengan pengetahuan yang salah penggunaan antibiotika yang lebih akan cenderung menganggap wajib massif pada bangsalbangsal rawat inap diberikan antibiotik dalam penanganan terutama penyakit meskipun disebabkan oleh Kombinasi antara pemakaian antibiotic virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang lebih intensif dan lebih lama yang banyak dijumpai di masyarakat. dengan adanya pasien yang sangat peka Pasien dengan terhadap kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan di intensive infeksi, care unit. memudahkan terjadinya infeksi nosokomial. Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 129 130 dan fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan binatang ternak : antibiotic juga dipakai oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), meningkatnya resiko kematian (greater risk of death) dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of stay). Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal, pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi galur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi dalam komunitas (Deshpande et al, 2011) 7. Penggunaannya untuk untuk mencegah hewan dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi. 8. Promosi komersial dan penjualan besarbesaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh memudahkan globalisasi, terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika 9. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru (Bisht et al, 2009) 10. Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011). Konsekuensi Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotika lini pertama, maka harus digunakan antibiotika lini kedua atau ketiga, yang mana harganya lebih mahal dan kadang kala pemakaiannya lebih toksik. Di negara-negara miskin, dimana antibiotika lini pertama maupun kedua tidak tersedia, menjadikan potensi resistensi terhadap antibiotika lini pertama menjadi lebih besar. Antibiotika di Negara miskin, didapatkan dalam jumlah sangat terbatas, bahkan antibiotika yang seharusnya ada untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan bakteri pathogen resisten, tidak terdaftar dalam daftar obat esensial (Bisht et al, 2009) Konsekuensi lainnya adalah dari segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, dan masyarakat. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika baru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal. Sayangnya, tidak semua lapisan masyarakat mampu menjangkau antibiotika generasi baru tersebut. Semakin mahal antibiotik, semakin masyarakat tidak bisa menjangkau, semakin banyak carrier di masyarakat, semakin Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi yang Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 130 131 banyak galur baru bakteri yang bermutasi terapi definitive dilakukan berdasarkan hasil dan menjadi resisten terhadap antibiotika. Sampai sekarang, faktanya sangat sulit membayangkan adanya prosedur yang efektif untuk menangani resistensi ini. Klinisi akan sangat kesulitan menentukan keputusan regimen terapi pada pasienpasien dengan resiko infeksi tinggi, misalnya pada pasien yang akan menjalani prosedur bedah, transpalntasi, pasien dengan kemoterapi karena kanker, pasien-pasien kritis yang berusia sangat muda atau sangat tua, pasien HIV dalam masa pengobatan, tanpa keberadaaan antibiotika yang ampuh mengatasi masalah resistensi (Bhatia & Narain, 2010) pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti jenis kuman dan spectrum kepekaan antibiotikanya (Jawetz, 1997). Untuk menentukan penggunaan antibiotika dalam menangani penyakit infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum dibawah ini : 1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasar criteria diagnose ataupun pemeriksaanpemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis adanya infeksi. STRATEGI PENANGANAN 2. Kemungkinan kuman penyebabnya, Berdasarkan faktor pendukung yang dipertimbangkan dengan perkiraan telah diuraikan dalam bab sebelumnya, ilmiah berdasarkan pengalaman maka strategi penanganan maupun pencegahan yang dapat dilakukan yang setempat yang layak dipercaya atau pertama dan utama adalah terapi rasional. epidemiologi setempat atau dari Penggunaan antibiotika secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotika informasi-informasi ilmiah lain. yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat 3. Apakah antibiotika benar-benar obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek diperlukan? Sebagian infeksi mungkin samping antibiotika. Kapan saat yang tepat memulai tidak memerlukan terapi antibiotika terapi antibiotika? Secara klinik memang misalnya infeksi virus saluran sangat sulit memastikan bakteri penyebab infeksi yang tepat tanpa menunggu hasil pernafasan atas, keracunan makanan pemeriksaan mikrobiologi. Secara umum, karena kontaminasi kuman-kuman klinisi tidak boleh memberikan terapi secara sembarangan tanpa mempertimbangkan enterik. Jika tidak perlu antibiotika, indikasi atau malah menunda pemberian terapi alternatif apa yang dapat antibiotika pada kasus infeksi yang sudah tegak diagnosanya secara klinis meskipun diberikan? tanpa hasil pemeriksaan mikrobiologi. 4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan Kasus infeksi yang gawat dapat berupa sepsis, demam dengan neutropeni, antibiotika yang sesuai berdasarkan meningitis bakterial spektrum antikuman, sifat (Leekha et al, 2011). farmakokinetika, ada tidaknya kontra Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi antibiotika dapat indikasi pada pasien, ada tidaknya dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi interaksi yang merugikan, bukti akan definitive. Terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasar diagnose klinis dengan adanya manfaat klinik dari masingpendekatan ilmiah dari klinisi. Sedangkan Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 131 132 masing antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi Perlu disebarluaskan bahwa tidak semua jenis penyakit ilmiah yang layak dipercaya. Dari sisi dapat disembuhkan bakteri, pertimbangkan site of infection antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian and most likely colonizing, berdasar antibiotic harus sesuai dengan instruksi pengalaman dokter baik dosis maupun rentang terapinya. atau evidence based dengan pemberian sebelumnya bakteri apa yang paling Pada penyakit-penyakit kronis seringkali sering, pola kepekaan antibiotika yg pasien menghentikan sendiri atau beredar local (Leekha et al, 2011). mengurangi terapinya ketika sudah 5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifatsifat merasakan perbaikan yang signifikan atas penyakitnya. Untuk mengatasi hal ini, kinetika masing-masing antibiotika dan diciptakanlah obat dalam fixed dose fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya combinations untuk mengurangi jumlah fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain- tablet atau kapsul yang harus diminum, lain). Perlu dipertimbangkan dengan kalender special, kemasan blister, DOTS cermat pemberian antibiotika misalnya (directly observed therapy system). pada ibu hamil dan menyusui, anak- Tenaga kesehatan harus lebih sadar terhadap personal and environmental hygiene agar infeksi bakteri tidak menyebar dari satu orang ke orang lain. Dokter misalnya, dapat mencuci tangan terlebih dahulu setelah memeriksa pasien yang satu sebelum beralih ke pasien yang lain. Bidan wajib menerapkan prinsip sepsis-asepsis dalam memolong persalinan. Alat-alat operasi, KB, ataupun piranti rumah sakit yang harus suci kuman wajib dusterilisasi terlebih dahulu. Di Indonesia, juga telah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi dampak resistensi antibiotika akibat pengobatan sendiri (self medication) dengan regulasi perundang-undangan.. Salah satu dari usaha tersebut adalah di berlakukannya undangundang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang diatur di dalam undangundang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1. Antibiotika termasuk salah satu jenis obatobat keras, hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1a yang berbunyi: “Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai anak, dan orang tua. 6. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (Graham-Smith & Aronson, 1985) Selain hal-hal di atas, edukasi pasien juga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa edukasi atau training yang diberikan kepada kelompok besar maupun kecil, menunjukkan peningkatan peresepan antibiotic yang baik. Pesan akan diterima dengan baik apabila disampaikan oleh pemimpin local atau orang yang dianggap berpengaruh (Bisht et al, 2009). Pesan dapat disampaikan melalui berbagai media misalnya melalui iklan di televisi, radio, koran. Tekhnologi komunikasi yang baru juga memudahkan penyebaran informasi ini, misalnya internet, jejaring sosial, bahkan lewat mobile messenger. Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 132 133 khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lainlain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak , yang dtetapkan oleh Secretaris Vaan Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) “Sec. V. St mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obatobat keras dan ayat (2) “ Penetapan ini dijalankan dengan menempatkan bahanbahan itu pada suatu daftar G (obat-obat berbahaya) atau daftar W (peringatan). Dalam Pasal 107 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan ada ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi seperti obat antibiotik dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 108 (1) mengatur praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan mengenai distribusi obat tertulis dalam (Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan) : 1) Pasal 3 (1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan – bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakain pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagangpedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker , yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan. 2) (2) Penyerahan dari bahan –bahan G , yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku penyerahan-penyerahan bagi kepada Pedagang –pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokterdokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan- penyerahan menurut ketentuan pada pasal 7 ayat 5 (Keputusan Menkes RI, 2004). Selain peraturan perundangundangan, klinisi memerlukan guideline terapi antibiotika yang dapat digunakan sebagai dasar terapi empiris di klinik. Pelaksanaan penggunaan guideline ini seyogyanya dievaluasi secara ketat oleh pihak yang terkait misalnya rumah sakit atau dinas kesehetan. Dalam mengaplikasikan guideline ini, tentunya klinisi akan sangat terbantu dengan keberadaan laboratorium mikrobiologi klinik yang mampu menyediakan hasil pemeriksaan secepat mungkin dan mendiskusikan hasilnya dengan klinisi. Mutu obat sebaiknya diawasi dan dievaluasi secara berkala. Para professional hendaknya mulai menggalakkan penelitian untuk menemukan antibiotika baru yang lebih poten dalam melawan bakteri resistan. Dengan cepatnya dan makin seringnya diperkenalkan berbagai jenis antibiotika dan kemoterapetika baru, praktisi sering mendapatkan kesulitan dalam menilai manfaat, peran serta resiko dari suatu jenis obat baru dibandingkan dengan jenis-jenis yang sudah ada. Hal ini sering diperburuk oleh kenyataan bahwa informasi yang diberikan mengenai obat yang baru, lebih sering banyak menonjolkan segi manfaat dan kelebihannya, sedangkan efek samping Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 133 134 dan kekurangankekurangan lainnya cenderung diperkecilkan. Di lain pihak, informasi ilmiah dalam bukubuku pustaka untuk obat yang baru diperkenalkan umumnya masih kurang lengkap. Menghadapi kesulitan ini reaksi yang timbul dapat muncul secara ekstrim dalam dua kemungkinan. Pertama, mengikuti saja semua informasi dan anjuran yang diterima, walaupun informasinya belum tentu sepenuhnya benar. Kedua, secara apriori langsung menolak semua informasi dan anjuran tanpa terlebih dulu apakah ada kelebihan manfaat dari obat baru yang diperkenalkan tersebut. Menghadapi suatu jenis antibiotika baru yang diperkenalkan, maka langkah-langkah penelaahan yang dianjurkan adalah sebagai berikut, - - ermasuk jenis apakah antibiotika baru tersebut? Bagaimanaspektrum antikumannya? Apa indikasi pemakaian kliniknya? atau infeksi yang dimaksud? Apakah antibiotika baru secara mikrobiologik lebih aktif, atau lebih paten dibanding antibiotika yang sudah ada untuk infeksi bersangkutan? - Apakah ada kelebihan lain secara farmakologik, misalnya dalam sifatsifat kinetik, absorpsi, distribusi dan penetrasi jaringan, eliminasi, cara pemberian, dosis dan sebagainya? - controlled trial? - Apakah antibiotika baru lebih aman, kurang toksik atau kurang efek sampingnya dibanding yang sudah ada? - Apakah beaya pemakaian kliniknya lebih murah dibandingkan dengan obat yang sudah ada dengan manfaat klinik dan keamanan yang sebanding? - Apakah antibiotika baru tersebut dapat dipakai secara rutin, ataukah hanya dipakai sebagai cadangan atau simpanan (reserved antibiotics) untuk menghadapi kasus-kasus khusus yang tidak dapat diatasi dengan antibiotika yang sudah ada? (Petunjuk 2010). kuliah farmakoterapi, Apa antibiotika pilihan utama dan pilihan alternatif untuk kondisi klinik - misalnya dengan rancangan randomized KESIMPULAN Masalah antibiotika dan resistensinya menjadi perhatian seluruh dunia. WHO bahkan menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread untuk memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Penanganan masalah ini memerlukan partisipasi dari banyak pihak. Dokter sebagai klinisi, masyarakat luas sebagai pengguna, pemerintah sebagai pemegang regulasi, farmasi sebagai distributor, bahkan calon tenaga kesehatan bisa berperan serta dalam menangani masalah resistensi ini. DAFTAR PUSTAKA Apakah antibiotika baru memberikan manfaat klinik lebih baik dibanding yang sudah ada? Dan apakah bukti manfaat klinik ini ditunjang oleh Akalin, E. H. 2002. The evolution of guidelines in an era of cost containment. Surgical prophylaxis. J Hosp infect. penelitian uji klinik yang dapat diterima, Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 134 135 APUA (Alliance for prudent use of antibiotics). 2011. What is antibiotic resistance and why is it problem?. www.apua.org on 1609-2011. Bari, S. B., Mahajan, B. M., Surana, S. J. 2008. Resistance to antibiotic : A challenge in chemotherapy. Indian journal of pharmaceutical education and research. Bhatia, R., Narain, J. P. 2010. The growing challenge of antimicrobial resistance in the south east asia region- Are we losing the battle?. Indian Journal of medical research. Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P. 2009. Antibiotic resistance- A global issue of concern. Asian journal of pharmaceutical and clinical research. Volume 2. Issue 2. Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011. Antimicrobial resistance : the global public health challenge. International journal of student research. Volume I. Issue 2. Grahame-Smith, D. G., Aronson, S. K. 1985. Oxford textbook of clinical pharmacology and drug therapy. Oxford University press, Oxford. Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology. Third edition. Appleton and Lange, Norwalk. Keputusan Menteri Kesehatan tentang standard pelayanan farmasi di Rumah Sakit. 2004. No 1197/MENKES/SK/X/2004. Laurence, D. R., Bennet, P. N. 1987. Clinical Pharmacology. Sixth edition. Churchill livingstone, Edinburgh. Leekha, S. , Terrel, C. L., Edson, R. S. 2011. General principles of antimicrobial therapy. Symposium on antimicrobial therapy. Februari. Munaf, S., Chaidir, J. 1994. Obat antimikroba. Farmakologi UNSRI. EGC, Jakarta. Peterson, L. R. 2005. Squeezing the antibiotic balloon : The impact of antimicrobial classes on ermerging resistance. European society of clinical microbiology and infectious deseases. The Feinberg school of medicine, North Western University, USA. Petunjuk kuliah/diskusi : Farmakoterapi antiinfeksi/antibiotika. 2010. Bagian farmakologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Tripathi, K. D. 2003. Antimicrobial drugs : general consideration. Essential of medical pharmacology. Fifth edition. Jaypee brothers medical publishers. Zhang, Y. 2007. Mechanisms of antibiotic resistance in the Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan sedunia. Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected]) 135 microbial J. Trop. Pharm. Chem. world. Baltimore, USA. 91 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Evaluasi Kontraindikasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi pemakaian antibiotika, namun karena catatan khusus mengenai efek samping obat tidak tersedia serta lebarnya variasi efek samping obat antara satu pasien dengan yang lainnya, maka penelitian ini hanya bisa mendeteksi kontraindikasi dan kemungkinan telah terjadinya efek samping berupa nefrotoksisitas. Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien, walaupun kasus terbesar pada pasien dengan umur anak-anak 0-14 tahun (52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada anak-anak khususnya penggunaan antibiotika fluorokuinolon (perfloksasin dan fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau tidak dianjurkan penggunaannya pada anak-anak. Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika golongan fluorokuinolon dikontraindikasikan penggunaannya pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun, karena dapat menyebabkan arthropathy meskipun hal ini masih belum cukup bukti yang meyakinkan, karena keterbatasan uji klinik namun pada binatang percobaan kelainan tersebut terjadi. Doherty (2000) pada penelitian penggunaan siprofloksasin pada pasien anak berumur kurang dari 6 tahun setelah diamati selama 6 bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan pada timbulnya efek samping pada sendi atau gangguan pertumbuhan anak. Namun memperhatikan pada binatang percobaan, kelainan tersebut terjadi maka penggunaan kuinolon disarankan hanya digunakan pada kasus infeksi berat dimana antibiotika lain tidak efektif. Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada penelitian ini terdapat pasien dengan usia lanjut > 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan kecuali pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan bahwa klinisi cukup peduli dalam mempertimbangkan adanya kontraindikasi penggunaan antibiotika pada pasien anakanak dan wanita hamil. Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat dijadikan sebagai gambaran keamanan penggunaan antibiotika di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada data yang ada di dalam rekam medis pasien. J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 92 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 KAJIAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) DI RUMAH SAKIT SAMARINDA MEDIKA CITRA (SMC) KOTA SAMARINDA Risa Yusnita*, Lisna Meylina, Arsyik Ibrahim, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur *email : [email protected] ABSTRAK Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi yang paling umum terjadi di masyarakat yang mengakibatkan kenaikan secara signifikan angka kejadian morbiditas serta mortilitas. Efektivitas penggunaan antibiotika akan berperan penting dalam pengobatan ISK, oleh karena itu dilakukan penelitian kajian efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) Periode Desember 2014 – Desember 2016. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan angka kejadian ISK dengan jenis kelamin pria 21% dan wanita 79%, serta angka kejadian ISK terbesar pada rentan usia 17 - 35 tahun baik pada pria ataupun wanita. Jenis antibiotika yang digunakan antara lain, seftriakson, sefotaksim, sefiksim, siprofloksasin, levofloksasin, amoksisilin, ampisilin dan kombinasi sefoperazone dengan sulfabaktam. Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) dan efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sepenuhnya efektif berdasarkan kondisi pasien. Kata Kunci : Infeksi Saluran Kemih, Antibiotika, Efektivitas ABSTRACT Urinary Tract Infection (UTI) is the most common infection in communities cause increase significantly of the morbidity and mortality incidence value. The effectiveness of using antibiotics will have a important role in urinary tract infection treatment. Based on the result of research, it can be concluded that the Urinary Tract Infection's incidence with male is 21% and female is 79%, and the highest Urinary Tract Infection's incidence at age 17 - 35 years old in both of their. The types of antibiotics used are ceftriaxone, cefotaxime, cefixime, ciprofloxacin, levofloxacin, amoxicillin, ampicillin and combination of cefoperazone and sulfabactam. The suitability of using antibiotics in Urinary Tract Infection patients at Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital isn't entirely suitable with Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital's Diagnosis and Treatment Guidelines and the effectiveness of using antibiotics in Urinary Tract Infection patients J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 93 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 at Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital is entirely effective based on patient's condition. Keywords : Urinary Tract Infection, Antibiotics, Effectiveness PENDAHULUAN Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (Speakman, 2008). Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. ISK keadaan ditemukannya mikrorganisme di dalam urin dalam jumlah tertentu. Pasien didiagnosis ISK bila urinnya mengandung lebih dari 105 bakteri/mL (Coyle, 2005). Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70-90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30% dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5% pada anak perempuan), Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans jarang ditemukan. Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi saluran kemih. Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal memerlukan pengertian dan pemahaman mengenai bagaimana memilih dan memakai antibiotik secara benar. Pemilihan berdasarkan indikasi yang tepat, menentukan dosis, cara pemberian, lama pemberian, maupun evaluasi efek antibiotik. Pemakaian dalam klinik yang menyimpang dari prinsip dan pemakaian antibiotik secara rasional akan membawa dampak negatif dalam bentuk meningkatnya resistensi dan efek samping. Idealnya antibiotik yang dipilih untuk pengobatan infeksi saluran kemih harus memiliki sifat-sifat yaitu dapat diabsorpsi dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai. Di dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih juga sangat penting untuk mempertimbangkan peningkatan resistensi E.coli dan patogen lain terhadap beberapa antibiotik. Resistensi E.coli terhadap amoksisilin dan antibiotik sefalosporin diperkirakan mencapai 30%. Secara keseluruhan, patogen penyebab infeksi saluran kemih masih sensitif terhadap kombinasi trimetoprimsulfametoksazol walaupun kejadian resistensi di berbagai tempat telah mencapai 22%. Pemilihan antibiotik harus memperhatikan riwayat antibiotik yang digunakan pasien (Coyle, 2005). METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian survey dilakukan dengan rancangan deskriptif melalui penelusuran data secara retrospektif dari data rekam medik pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC). J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 94 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Sampel dalam penelitian ini adalah pasien ISK yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016 sebanyak 87 orang, dengan kriteria inklusi : a) Pasien dengan diagnosis utama ISK sepanjang periode Desember 2014 – Desember 2016, b) pasien ISK dengan atau tanpa penyakit penyerta. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi yaitu berupa catatan rekam medik pasien dengan diagnosis ISK selama periode Desember 2014 – Desember 2016. Pengumpulan data dimulai dari observasi secara retrospektif untuk kasus diagnosa ISK yang memenuhi kriteria inklusi Berdasarkan dari hasil pengumpulan data, ditemukan sekian kasus pasien yang terdiagnosa ISK, kemudian dari kartu rekam medik dicatat karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelami, penyakit pemyerta dan jenis ISK, selanjutnya dari kartu rekam medik dicatat ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien ISK yang meliputi, tepat indikasi, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, tepat durasi pemberian, dan tepat rute pemberian kemudian dibandingkan dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC), dan yang terakhir dari kartu rekam medik dilakukan identifikasi efektivitas penggunaan antibiotik dengan parameter leukosuria, demam dan nyeri. Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan diambil kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien ISK Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien ISK meliputi jenis kelamin, usia, penyakit penyerta, dan jenis ISK. Karakteristik pasien seperti jenis kelamin dan usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi individu terhadap suatu penyakit tertentu. Seperti hal nya pada penyakit ISK dimana angka kejadian pada wanita lebih besar dibandingkan pria, dan usia dewasa angka kejadian ISK lebih besar. Jenis Kelamin Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Penderita ISK Jenis Kelamin Jumlah Pasien Presentase Pria Wanita 18 69 20,69 % 79,31 % Total 87 100 % Dari 87 kasus pasien yang di rawat di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sebanyak 20,69% atau 18 kasus dialami oleh pasien pria dan 79,31% atau 69 kasus dialami oleh pasien wanita. Wanita cenderung lebih sering menderita ISK dibandingkan pria karena bakteri dapat menjangkau kandung kemih dengan lebih mudah pada wanita dibandingkan dengan pria. Panjang uretra pada wanita lebih pendek (sekitar 3-5 cm) daripada uretra pria (sekitar 1518 cm), sehingga bakteri yang akan menyerang mempunyai jarak yang lebih pendek dan dekat untuk menginfeksi bagian saluran kemih. Uretra pada wanita letaknya juga berdekatan dengan rektum sehingga mikroorganime lainnya dapat dengan mudah menjangkau uretra dan menyebabkan infeksi. Selain itu cairan prostat pada pria juga J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 95 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 memiliki sifat-sifat bakterisid sehingga menjadi pelindung terhadap infeksi oleh kumankuman uropatogen (Sukandar, 2009). Hubungan seksual mungkin juga menjadi salah satu penyebab ISK pada wanita dikarenakan mikroorganisme dapat terdorong masuk ke uretra. Pemakaian suatu alat diafragma (alat kontrasepsi pencegah kehamilan) dapat berperan penting timbulnya infeksi karena diagfragma mendorong uretra secara berlawanan dan membuat uretra lebih sulit untuk mengosongkan kandung kemih dengan sempurna. Sehingga urin atau air seni yang tersisa didalam kandung kemih lebih mungkin menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme dan menyebabkan infeksi. Usia Tabel 2. Distribusi Usia Pasien Penderita ISK Usia (Tahun) Pria Wanita 0-5 Jumlah 2 % 2,3 Jumlah 4 % 4,6 12 – 16 0 0 2 2,3 17 – 25 1 1,15 22 25,2 26 – 35 7 8,04 21 24,14 36 – 45 2 2,3 8 9,2 46 – 55 3 3,44 4 4,6 56 – 65 3 3,44 4 4,6 0 4 4, 6 20,67 69 79,33 18 > 65 0 Total Dari 87 kasus pasien yang di rawat di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) angka kejadian ISK terbesar pada usia 17-25 tahun (25,5%) dan 26-35 tahun (24,14%) dengan jenis kelamin wanita. Insiden ISK dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua. Menjelang remaja hingga dewasa insiden ISK bertambah secara signifikan pada wanita mencapai 20%. Faktor risiko yang utama yang berusia 1635 tahun adalah berkaitan dengan hubungan seksual (Nguyen, 2004). Penyakit Penyerta Tabel 3. Distribusi Penyakit Penyerta Pasien Penderita ISK Diagnosa Jumlah Persentase Pasien (%) ISK tanpa penyakit 60 69 penyerta ISK dengan penyakit 27 31 penyerta Total 87 100 J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 96 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Dari 87 kasus pasien ISK sebanyak 69% atau 60 kasus ISK tanpa penyakit penyerta dan sebanyak 31% atau 27 kasus ISK dengan penyakit penyerta. ISK dengan penyakit penyerta terbagi lagi sesuai dengan penyakit penyertanya, antara lain : hipertensi, diabetes melitus, anemia, dyspepsia, asma, wasir, kolik abdomen serta ISK pada kondisi hamil dan abortus incomplete. Pasien diabetes berisiko mengalami komplikasi kronik makrovaskular diantaranya adalah infeksi. Pasien diabetes dengan kadar glukosa darah yang tinggi lebih rentan mengalami berbagai infeksi dibanding dengan pasien yang tidak menderita diabetes. Infeksi pada pasien diabetes umumnya terlokalisasi di saluran kemih (Black, 2009). Infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada pasien diabetes perempuan, karena secara anatomis uretra perempuan lebih pendek. Orifisium uretra dan vagina juga merupakan daerah yang mudah sekali terjadi kolonisasi bakteri (Black, 2009). Gejala infeksi saluran kemih pada pasien diabetes umumnya asimtomatik, namun dapat berkembang menjadi simtomatik dan meningkatkan risiko untuk masuk rumah sakit dengan bakteremia hingga pielonefritis bilateral. Oleh karena itu, walaupun gejala infeksi saluran kemih pada pasien diabetes asimtomatik hal ini tidak dapat diabaikan (Saleem, 2011). Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes menurut beberapa hasil penelitian disebabkan berbagai faktor risiko. Faktor–faktor risiko infeksi saluran kemih pada pasien diabetes yaitu usia, lama menderita diabetes, indeks massa tubuh, hubungan seksual dan upaya pengendalian diabetes. Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes umumnya terjadi pada pasien dengan pengendalian diabetes yang buruk dan adanya infeksi dapat memperburuk pengendalian glukosa darah (Black, 2009). Kejadian ISK sering pula terjadi pada masa kehamilan. Perubahan mekanis dan hormonal yang terjadi pada kehamilan meningkatkan risiko keadaan yang membuat urin tertahan di saluran kencing. Juga adanya peningkatan hormon progesteron pada kehamilan akan menambah besar dan berat rahim serta mengakibatkan pengenduran pada otot polos saluran kencing. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncak pada akhir trimester dua dan awal trimester tiga yang merupakan faktor yang memudahkan terjangkitnya ISK pada kehamilan. Saluran kemih yang pendek pada perempuan dan kebersihan daerah sekitar kelamin luar yang menjadi bagian yang sulit dipantau pada perempuan hamil akan mempermudah ISK. Jenis ISK Tabel 4. Distribusi Jenis ISK Diagnosa Jumlah Pasien ISK Atas 67 ISK Bawah 20 Total 87 Persentase (%) 77 23 100 Pasien diklasifikasikan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Angka kejadin ISK atas terbesar adalah ISK atas (77%) dibandingakan ISK bawah (23%). J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 97 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Kesesuaian Penggunaan Antibiotik Kesesuaian penggunaan obat menjadi salah satu hal yang paling penting untuk mencapai keberhasilan terapi, meliputi kesesuaian penggunaan jenis dan golongan obat serta dosis yang perlu diperhatikan. Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar, agar obat yang dipilih memiliki efek terapi yang sesuai dengan jenis penyakitnya. Tindakan pengobatan dilakukan dengan rasionalisasi dalam penggunaan obat-obatan terutama antibiotika. Pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu, seperti ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan obat, ketepatan cara pemakaian obat dan dosis obat serta ketepatan penilaian kondisi pasien. Dampak negatif dari tidak sesuainya pemilihan antibiotika adalah resistensi. Pemilihan terapi antibiotika yang tepat sangat berpengaruh pada keberhasilan terapi yang dilakukan. Disamping itu, ketepatan terapi antibiotika sangat diperlukan untuk meminimalkan resiko terjadinya resistensi yang merupakan masalah besar dalam terapi antibiotika. Pemilihan antibiotika seharusnya mempertimbangkan kejadian resitensi yang sudah terjadi di rumah sakit dan mempertimbangkan kejadian resistensi yang kemungkinan selanjutnya akan terjadi. Jenis dan Golongan Antibiotika Tabel 5. Antibiotika yang digunakan pada Pasien Penderita ISK No Golongan Jenis Obat Jumlah Persentase Obat kasus Jenis Gol. Obat 1 2 Sefalosporin Generasi Ketiga Kuinolon 3 Penisilin 4 Kombinasi Sefalosporin dan Penisilin Seftriakson Sefotaksim Sefiksim Siprofloksasin Levofloksasin Amoksisilin Ampisilin SefoperazoneSulbaktam Total 40 3 2 35 4 3 1 7 95 Obat (%) 42, 11 3,16 2,10 36,84 4,21 3,16 1,05 7,37 100 Persentase (%) 47,37 41,05 4,21 7,37 100 Berdasarkan hasil pengobatan dan penggunaan antibiotik pada pasien ISK dapat diketahui macam dan golongan antibiotika yang digunakan pada pasien di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016. Tabel 5 menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu seftriakson. Seftriakson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, dengan sifat antilaktamase dan umumnya aktif terhadap gram negatif dan sangat stabil terhadap betalaktamase. Tingginya penggunaan seftriakson kemungkinan disebabkan karena seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 98 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 diberikan satu kali sehari. Selain itu seftriakson yang dibeikan secara infus atau bolus sehari sekali tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi obat dalam darah, baik pada pasien dengan kondisi ginjal normal, maupun pada pasien dengan kondisi gangguan ginjal. Seftriakson juga memiliki kemampuan untuk berpenetrasi keseluruh jaringan dan melintasi sawar otak sebagai terapi penangangan infeksi berat. Seftriakson sebenarnya diindikasikan untuk infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran nafas atas, infeksi kulit dan jaringan lunak serta infeksi saluran kemih. Dosis Antibiotika Tabel 6. Dosis Antibiotika yang diberikan pada Pasien Penderita ISK No Jenis Obat Jenis Jumlah Pasien Dosis Pasien Sedian 1 Seftriakson Injeksi 19 1 x 1000 mg 19 2 x 1000 mg 1 2 x 800 mg 2 Sefotaksim Injeksi 1 3 x 330 µg 1 3 x 300 mg 1 3 x 500 mg 3 Sefiksim Sirup 1 2 x ¾ cth 1 2 x ½ cth 4 Siprofloksasin Tablet 4 2 x 500 mg Infus 1 26 1 4 2 x 100 mg 2 x 200 mg 2 x 250 mg 2 x 400 mg Levofloksasin Tablet 3 1 x 500 mg Amoksisilin Infus Sirup 1 1 1 x 500 mg 3 x 250 mg/mL 3 x 250 mg Injeksi 3 5 6 7 8 Ampisilin Injeksi 1 3 x 500 mg Kombinasi Injeksi 7 2 x 1000 mg Sefoperazone Sulbaktam Dosis adalah takaran atau ukuran pemberian obat kepada pasien. Dosis sangat berperan penting dalam terapi penyembuhan pasien. Hal ini disebabkan bila ukuran dosis yang digunakan tidak sesuai maka terapi yang diberikan kepada pasien tidak akan terwujud karena takaran dosis yang tidak tepat. Dosis pada terapi sediaan antibiotik sangat berperan penting karena apabila dosis pada sediaan antibiotik tidak sesuai maka akan menyebabkan resistensi pada bakteri. Dosis dan yang diberikan pada pasien penderita penyakit ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) dapat dilihat pada tabel 6. J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 99 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Ketepatan Penggunaan Antibiotik Penyakit Tabel 7. Ketepatan Indikasi Penyakit No Ketepatan Indikasi Jumlah Kasus 1 Tepat Indikasi 87 2 Tidak tepat Indikasi Jumlah 87 Ketepatan Indikasi Persentase (%) 100 100 Pemberian obat diberikan sesuai terapi yang spesifik terapi obat terutama antibiotik yang diberikan untuk eradikasi infeksi harus sesuai dengan indikasi setiap pasien (Kemenkes RI, 2011). Terapi antibiotik dapat diberikan apabila pasien terdiagnosis infeksi atau terdapat tanda atau gejala infeksi. Pada penelitian ini, sebagian besar pasien mengalami gejala yang menunjukan terjadinya infeksi saluran kemih. Pasien juga melakukan pemeriksaan laboratorium dengan sampel urin, yang menunjukan leukosuria, hematuria, positif nitrit dan bakteri yang artinya pasien terinfeksi bakteri pada area saluran kemih. Terapi yang sesuai dengan gejala yaitu terapi antibiotik dan berdasarkan tabel 7 ketepatan indikasi sebesar 100%. Ketepatan Pemilihan Obat Tabel 8. Ketepatan Pemilihan Obat No Ketepatan Obat Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Tepat Obat 83 95,40 2 Tidak tepat Obat 4 4,60 Jumlah 87 100 Pemilihan obat secara tepat berdasarkan diagnosis, kondisi pasien, dan spektrum mikroorganisme penginfeksi (Kemenkes RI, 2011) Pasien dengan indikasi infeksi saluran kemih dengan sebagian besar bakteri penyebab merupakan bakteri gram negatif maka terapi yang diberikan juga harus terapi antibiotik untuk bakteri gram negatif (spektrum sempit) namun apabila tidak dilakukan kultur bakteri pada urin maka dapat diberikan antibiotik spektrum luas (BPOM, 2014). Ketepatan dalam pemilihan obat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik (WHO, 2014). Berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC), terapi untuk infeksi saluran kemih bawah yaitu ampisilin, trimetoprim-sufametoksazol, florokuinolon, sefpodoksim, dan amoksisilin-klavulanat selama 3 hari dengan terapi parenteral minimal 48 jam, namun apabila disertai leukosuria maka diberikan terapi konvensional selama 5-10 hari. Sedangkan terapi untuk infeksi saluran kemih atas yaitu sebagai terapi awal selama 48-72 jam diberikan secara parenteral sebelum diketahui mikroorganisme sebagai penyebabnya yaitu florokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin dengan spektrum luas dengsan atau tanpa aminoglikosida, ampisillin yang dikombinasi dengan gentamisin, ampicillin sulbaktam, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Berdasarkan tabel 8 ketepatan pemilihan obat pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 95% atau 83 kasus dan ketidak tepatan pemilihann obat sebesar 4,60% atau 4 kasus. Dikatakan tidak tepat karena pada 4 kasus tersebut diberikan injeksi seftriakson dan injeksi stabactam yang merupakan kombinasi sulfabaktam Na dan sefoperazone Na, hal ini tidak sesuai dengan pedoman J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 100 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 yang digunakan. Dimana berdasarkan pedoman yang digunakan seftriakson dan kombinasi sulfabaktam Na dan sefoperazone Na dindikasikan untuk infeksi saluran kemih atas. Namun dalam hal ini dokter memiliki pertimbangan lain dalam pemilihan antibiotik dimana antibiotik yang digunakan masih memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu menghambat dinding sel dari bakteri pencetus penyakit. Ketidak sesuaian yang terjadi bukan melanggar dari pedoman yang ada namun pemilihan antibiotik yang digunakan masih dalam satu turunan atau memiliki mekanisme kerja yang sama terhadap bakteri. Namun berdasarkan Permenkes (2011), penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida dan kuinolon untuk pasien ISK dengan penyakit penyerta diabetes melitus tidak tepat karena dapat meningkatkan efek hipoglikemik dari obat antidiabetik oral, jadi sebaiknya antibiotik tersebut tidak diberikan pada pasien ISK dengan penyakit penyerta diabetes mellitus. Ketepatan Dosis Tabel 9. Ketepatan Dosis No Ketepatan Dosis Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Tepat Dosis 87 100 2 Tidak tepat Dosis Jumlah 87 100 Penatalaksanaan terapi untuk infeksi saluran kemih, setiap pasien harus memenuhi ketepatan dosis sehingga efek terapi yang diharapkan dapat tercapai (Humaida, 2014). Pemberiaan antibiotik dengan dosis berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping pada pasien. Pemberiaan antibiotik dengan dosis yang kurang akan mengakibatkan tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan dan antibiotik menjadi tidak berefek karena tidak mencapai KHM (Kadar Hambat Minimum) sehingga mikroorganisme yang menginfeksi tidak mati. Pemberiaan dosis yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko resistensi bakteri yang tersisa dalam tubuh (Lisni, 2015). Dalam upaya mencegah terjadinya resistensi antibiotik, pemberian dosis harus disesuaikan dengan kondisi tiap individu, keparahan infeksi, mikroorganisme yang menyebabkan, profil farmakokoinetik dan farmakodinamik obat tersebut. Selama terapi dengan dosis tertentu diberikan kepada pasien, perlu dilakukan monitoring berkelanjutan untuk melihat pencapaian terapi setelah pemberian antibiotik dengan dosis tersebut sehingga dapat menentukan perlu atau tidaknya penyesusaian dosis kembali (With, 2016). Berdasarkan tabel.9 ketepatan pemilihan obat pada pasien ISK di Rumah Sakit Samrinda Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 100% berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit. Ketepatan Interval Pemberian Tabel 10. Ketepatan Interval Pemberian No Ketepatan Interval Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Tepat Interval Pemberian 87 100 2 Tidak tepat interval pemberian Jumlah 87 100 Dalam pemberian terapi antibiotik perlu memperhatikan interval waktu pemberian antibiotik kepada pasien. Interval waktu pemberian merupakan jarak waktu dari J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 101 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 pemberiaan antibiotik yang pertama dengan pemberiaan ke dua, ke tiga, dan selanjutnya (Kemenkes, 2011). Hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah kadar antibiotik dalam darah kurang dari kadar terapetik yang memungkinkan bakteri dapat kembali beregenerasi dan menjadi resisten terhadap antibiotik terapi (Amin, 2014). Menurut Kemenkes (2011), pemberian interval yang tidak tepat pada terapi antibiotik dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi beregenerasi menjadi lebih kuat sehingga menjadi resisten terhadap antibiotik yang diberikan, selain itu aktivitas antibiotik dalam tubuh akan tidak maksimal. Leekha (2011), mengungkapkan aktivitas farmakodinamik antibiotik bergandung pada konsep antibiotik time-dependent vs concentration-dependent, artinya kerja antibiotik akan maksimal apabila interval pemberian antibiotik tepat. Berdasarkan tabel 10 ketepatan interval waktu pemberiaan pada pasien ISK di Rumah Sakit Samrinda Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 100% berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit. Ketepatan Durasi Pemberian Pemberian antibiotik harus selalu memperhatikan durasi atau lama pemberian antibiotik, apabila durasi pemberiaan tidak tepat dapat mempengaruhi hasil pengobatan pasien. Antibiotik merupakan salah satu obat yang durasi pemberiannya harus diperhatikan agar bakteri penyebab ISK dapat terbunuh seluruhnya sehingga resiko resistensi antibiotik dapat diturunkan (White, 2011). Tabel 11. Ketepatan Durasi Pemberian No Ketepatan Durasi Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Tepat Durasi 82 94,25 Pemberian 2 Tidak tepat Durasi 5 5,75 pemberian Jumlah 87 100 Berdasarkan tabel 11 menunjukan sebesar 94,25% ketepatan durasi pemberian antibiotik dan sebesar 5,75% ketidak tepatan durasi pemberian antibiotik berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit. Ketidak tepatan durasi yang dimaksud adalah lama pemberiaan yang kurang atau terlalu cepat sehingga terapi yang dijalani pasien terlalu singkat. Robinson (2014) menyatakan bahwa durasi terapi antibiotik ISK minimal 72 jam apabila kurang dari 72 jam terapi dihentikan dapat menyebabkan keterulangan infeksi sebab bakteri penyebab ISK belum terbunuh sepenuhnya. Ketidak tepatan lama pemberian terapi antibiotik dapat terjadi karena kondisi pasien yang telah membaik, faktor finansial pasien serta pihak keluarga pasien meminta untuk pulang. Ketepatan Rute Pemberian Tabel 12. Ketepatan Rute Pemberian No Ketepatan Rute Jumlah Kasus 1 Tepat Rute 83 Pemberian J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. Persentase (%) 95,45 102 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 2 Tidak tepat Rute Pemberian Jumlah 4 4,60 87 100 Berdasarkan tabel 12 menunjukan sebesar 95,40% ketepatan rute pemberian antibiotika dan sebesar 4,60% ketidak tepatan rute pemberian antibiotika berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit. Ketidak tepatan rute pemberian yang dimaksud yaitu berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sebagai terapi awal untuk ISK diberikan antibiotika secara parenteral selama 48-72 jam, sedangkan untuk 4 kasus terapi awal untuk ISK diberikan secara peroral. Hal ini mungkin terjadi karena keadaan pasien memungkinkan untuk menggunakan obat secara peroral. Selain itu beberapa antibiotika juga dapat diserap dengan baik pada pemberian peroral dan efektif untuk ISK (Kemenkes RI, 2014). Kesesuaian Penggunaan Antibiotik pada pasien ISK Tabel 13. Kesesuaian Penggunaan Penggunaan obat Antibiotik Pada Pasien ISK No Keterangan Jumlah Kasus Persentase (%) 1 Sesuai 74 85 2 Tidak Sesuai 13 15 Jumlah 87 100 Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC). Berdasarkan tabel 13 persentase penggunaan obat antibiotika yang sesuai yaitu sebesar 85% dan yang tidak sesuai sebesar 15%. Efektivitas Penggunaan Antibiotik Tabel 14. Efektivitas Penggunaan Obat Antibiotika pada Pasien ISK dengan Parameter Leukosuria dan Suhu Awal Parameter Terapi Nilai normal Normal Akhir Diatas % Normal Normal Leukosuria Suhu 16/LPB 36 ⁰C 25 100 38 Diatas % Normal 25 100 - 100 38 - 100 37,5 Tabel 15. Efektivitas Penggunaan Obat Antibiotik dengan Parameter Nyeri J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 103 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Parameter Terapi Nyeri Awal Akhir 87 kasus 87 kasus berkurang rasa mengeluhkan nyeri nyeri dan hilang Efektivitas antibiotik adalah pengukuran keberhasilan penggunaan antibiotik pada pasien guna meningkatkan taraf hidup dari pasien. Efektivitas penggunaan antibiotik sendiri dapat diloihat berdasarkan keberhasilan dalam menyembuhkan pasien. Berdasarkan obat-obatan yang digunakan pada terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) terdapat berbagai macam variasi antibiotik yang digunakan pada pasien. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan didapatkan bahwa antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson dan antibiotik golongan kuinolon yaitu siprofloksasin yang banyak digunakan sebagai terapi. Tabel efektivitas penggunaan antibiotik pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016 dapat dilihat pada tabel 14 dan 15 Dari tabel 14 dan tabel 15 dapat dilihat bahwa parameter yang digunakan adalah leukosuria dari pasien serta suhu tubuh dari pasien selain itu parameter lain yang digunakan adalah nyeri yang diderita pasien. Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adanya ISK. Leukosuria dinyatakan positif bilamana terdapat lebih dari 6 leukosit/Lapang Pandang Besar (LPB) sedimen air kemih. Dari 87 kasus tidak semua pasien melakukan uji urinalisa secara berkala. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah leukosit pada pemeriksaan awal sudah di batas normal sehingga tidak dilakukan lagi pemeriksaan ulang. Namun ada pula pada pemeriksaan awal jumlah leukosit di atas batas normal, tetapi tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Hal ini mungkin terjadi disebabkan oleh biaya yang mahal dalam pemeriksaan laboratorium. Parameter selanjutnya demam yang dapat dilihat dari suhu atau temperatur tubuh pasien. Bila infeksi di dalam tubuh terjadi maka suhu tubuh akan meningkat seiring besarnya infeksi menyebar hal ini merupakan sistem pertahanan tubuh guna mengetahui seberapa jauh infeksi terjadi. Parameter terakhir adalah nyeri, nyeri digunakan sebagai parameter karena sebagian besar penderita ISK mengeluhkan nyeri khususnya pada perut bagian bawah atau saat buang air kecil serta nyeri pinggang. Oleh sebab itu nyeri dapat digunakan sebagai parameter selain leukosuria dan demam. Dari tabel diatas didapatkan hasil bahwa 100% pasien mengalami pemulihan yaitu di tandai dengan kembalinya kadar leukosuria ke batas normal, kembalinya suhu tubuh kekeadaan normal dan rasa nyeri yang berkurang dan hilang setelah mendapatkan terapi. Keberhasilan dari terapi disini bukan dilihat dari dan hilangnya bakteri secara menyeluruh melainkan hilangnya gejala-gejala dari ISK. Selain itu evaluasi ulang perlu untuk dilakukan dengan kecurigaan adanya kelainan anatomi atau struktural dapat mulai dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang kali dalam waktu 6 bulan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan taraf hidup dari pasien. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian ini adalah : J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 104 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 a. Angka kejadian ISK terbesar pada jenis kelamin wanita (79%) dibandingkan jenis kelamin pria (79%) dengan rentan usia 17 tahun – 35 tahun. Angka kejadian ISK tanpa penyakit penyerta (69%) lebih besar dibandingkan angka kejadian ISK tanpa penyakit penyerta (31%), begitu pula angka kejadia ISK atas (77%) lebih besar dibandingkan ISK bawah (23%). b. Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC). c. Efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sepenuhnya efektif berdasarkan kondisi pasien DAFTAR PUSTAKA Amin, L.Z. 2014. Pemilihan Antibiotik yang Rasional. Medicinus, 27(3), 40-15 Barry M. J. et al. 2011. UA Guideline on Management of Benign Prostate Hyperplasia.The Journal of Urology, Vo1.185. Bint, A. J dan Berington, A. W. 2003.Urinary Tract Infection, in Walker, R., Edward, C. (Eds.),Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3 edition. Churchill Livingstone : London. Black, J.M. & Hawks, J.H. 2009.Medical–surgical nursing. Clinical management for positive outcomes. Eighth edition. St. Louis : Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. Coyle, E.A dan Prince, R. A. 2005. Urinary Tract Infection, in Dipiro J.T., et al, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th. Appleton&Lange, Stamford. Dipiro, J.t., Wells, B.G., Dipiro, C.V., Schwinghammer, T. L. 2015. Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. USA: McGraw-Hill Education Gilman dan Goodman. 2011. The Pharmacological Basis Of Therapeutic 12 Edition. New York: Mc Graw Hill Medical Humaida, R. 2014. Strategy to Handle Resintance Of Antibiotics. J Majority, 3(7), 133-120 Katzung, MD, PhD dan Bertram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi 10.Jakarta: EGC Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kemenkes RI Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. Jakarta Leekha, S, et al. 2011. General Principles af Antimicrobial Therapy. Mayo Clin Pro., 86(2):156-167 Lisini, I, et al. 2015. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis di Rumah sakit di Kota Bandung. Jurnal Farmasi Galenika. Vol. 02. No. 01. 43-45 J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 105 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga Nguyen HTMD. Bacterial Infection of TheGenitourinary Tract.p: 193-218.Dalam Brounwald E, Fauci AS,Kasper DL, Huser SL, Longo DL,Jameson JL.2003. HarisonPrinciple of Internal Medicine15thEdition. McGrawhill. USA Pranoto, Eko. et al. 2012. Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RSUD Banyumas. Jurnal Pharmacy. Vol 9. No. 02. ISSN 1693-3591 Robinson, J.L. et al. 2014. Urinary Tract Infection in Infants and Chilidren: Diagnosis and Management. Paediatr Child Health, 9(6), 315-19 Saleem M. & Daniel, B. 2011. Prevalence of urinary tract infection among patients with diabetes in Bangalore City. International Journal of Emerging. Sciences, 1(2), 133–142 Siregar,Charles J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit : teori dan penerapan. EGC : Jakarta. Speakman M. J. 2008. Lower Urinary Tract Symptom Suggestive of Benign Prostate Hyperplasia (LUTS/BPH) : More Than Treating Symptoms. European Urology Supplements 7th Edition.680-589. Sukandar, E. 2004. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal:553-557 Suwitra.K dan Mangatas. 2004. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid 1. Edisi Keempat. Jakarta: FK UI White, B. 2011. Diagnosis and Treatment of Urinary Tract Infection in Children . Am Fam Physician. 83(4). 409-415 With, K. D, et al. 2016. Strategies to Enhance Rational Use of Antibiotics in Hospital: A Guideline by the German Society for Infectious Diseases. Infection. 44, 395-439 World Healh Organization (WHO). 2014. Antimicrobial Resistence. Global Report on Survellance. World Healh Organization. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA BERDASARKAN KONTRAINDIKASI, EFEKSAMPING, DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2005 J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 106 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Fajar Prasetya Kelompok Bidang Ilmu Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman e-mail: [email protected] ABSTRACT The non-TBC lower respiratory infection is a kind of infection that can attack bronchus, bronchioles and lung, the clinical manifestation can chronicle and severe. Generally the caused in children is virus and bacteria while in adult is bacteria, which is using antibiotics in medical attention. The purpose of research is to find out the infection pattern and the kind of antibiotics and to evaluate the using antibiotics based on effectivity. The non-experimental research that was form in a retrospective survey was done through medical record of patient with the lower respiratory infection in the time limit of January-June 2005 in Panti Rapih Hospital. The using of antibiotics was surveyed from medical record then analyzed using quantitative descriptive and presented in percentage. The results obtained showed that the contraindications and adverse reactions of drugs are not found, the incidence of drug interactions by 22 (16%) of 137 cases and of 29 types of antibiotics are used there are 7 species (24%) of potential antibiotic drug interactions. Several cases of potential interactions occurs not show clinical manifestations in patients. To avoid unwanted adverse reactions serum creatinine should be monitored especially in the use of aminoglycoside antibiotics group. Keywords: lower respiratory infection, usage, antibiotics evaluation, contraindications, adverse reactions, interactions ABSTRAK Infeksi saluran pernapasan bawah non TBC merupakan suatu golongan infeksi yang dapat menyerang bronkus, bronkiolis, dan paru, manifestasi kliniknya dapat bersifat akut dan kronis. Umumnya pada anak-anak penyebabnya adalah virus dan bakteri serta pada orang dewasa penyebabnya adalah bakteri, yang dalam pengobatannya menggunakan antibiotika. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan kontraindikasi, efek samping, dan interaksi obat. Penelitian non eksperimental yang berbentuk survei retrospektif dilakukan melalui rekam medik pasien dengan infeksi saluran pernapasan bawah yang menjalani rawat inap pada kurun waktu Januari-Juni 2005 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Penggunaan antibiotika dikaji dari data rekam medik kemudian dianalisis secara deskriftif kuantitatif yang dinyatakan dengan presentase. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa kontraindikasi dan efek samping obat tidak ditemukan, kejadian interaksi obat sebesar 22 (16%) dari 137 kasus dan dari 29 jenis antibiotika yang digunakan terdapat 7 jenis (24%) 2011. Vol 1. No. 2. antibiotika yang potensial terjadi interaksi obat. Beberapa kasus interaksi yang potensial terjadi tidak menunjukan manifestasi klinik pada pasien. Untuk menghindari efek samping yang tidak dikehendaki perlu dilakukan monitoring serum kreatinin terutama pada penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida. J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 107 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Kata Kunci: infeksi saluran pernapasan bawah, penggunaan, evaluasi antibiotika, kontraindikasi, efek samping, interaksi Panti Rapih Yogyakarta selama periode Januari-Juni 2005, ditemukan 214 kasus dengan berbagai jenis antibiotika yang PENDAHULUAN digunakan. Infeksi saluran pernafasan bawah non TBC merupakan suatu golongan infeksi yang dapat Banyaknya jenis antibiotika yang beredar saat menyerang bronkus, bronkiolus dan paru, ini dan adanya kuman yang resisten terhadap manifestasi klinisnya dapat bersifat akut dan beberapa antibiotika, dan di satu sisi kronis. Umumnya pada anak-anak pengembangan antibiotika untuk terapi infeksi penyebabnya adalah virus dan bakteri, pada saluran pernafasan telah banyak menurunkan orang dewasa penyebabnya adalah bakteri [1]. morbiditas dan mortalitas menyebabkan Saluran pernafasan bawah sangat mudah pemilihan antibiotika yang efektif, efisien, terkena infeksi oleh bermacammacam aman dan sedikit efek samping pada pasien mikroorganisme, karena ia adalah salah satu infeksi saluran pernafasan semakin kompleks sistem organ yang berhubungan lansung yang memerlukan berbagai pertimbangan baik dengan lingkungan [2]. dari segi kualitas maupun harga yang Infeksi saluran pernapasan merupakan penyakit yang banyak diderita masyarakat. Survey kesehatan rumah tangga (2001) menunjukan bahwa 36 % kematian bayi dan 13 % kematian anak balita disebabkan oleh ISPA, juga disebutkan bahwa sebagian besar mortalitas ISPA disebabkan oleh pneumonia. Di daerah Istimewa Yogyakarta infeksi saluran pernafasan bawah merupakan 6,32 % dari seluruh penyakit, dan merupakan 9,04 % penyakit penyebab kematian. Insidensi tahunan J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. infeksi saluran pernafasan bawah relatif masih sangat tinggi dinegara sedang berkembang seperti Indonesia. Rachmatullah [3] menyebutkan bahwa infeksi saluran pernafasan bawah banyak ditemukan di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Hal ini sangat berbeda dengan insidensi infeksi saluran pernafasan bawah di Amerika serikat relatif sudah rendah, yaitu 4 juta kasus pneumonia pertahun, hanya satu juta diantaranya perlu perawatan rumah sakit [4]. Dari penelusuran awal yang dilakukan terhadap pasien rawat inap dengan diagnosis infeksi saluran pernapasan bawah di Rumah Sakit J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. terjangkau, walaupun dilakukan secara empirik. Selain itu penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan agar penggunaan obatnya bisa rasional yaitu: tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping obat. Pengaruh interaksi beberapa macam obat yang kita konsumsi secara bersamaan, atau yang lebih dikenal dengan istilah interaksi obat, merupakan salah satu kesalahan pengobatan 92 yang paling banyak dilakukan saat ini. Namun, biasanya kesalahan pengobatan karena interaksi obat ini jarang terungkap, karena kekurang-pengetahuan kita, baik dokter, apoteker, apalagi pasien tentang hal ini. Jika terjadi kegagalan pengobatan, umumnya sangat jarang dikaitkan dengan interaksi obat. Padahal kemungkinan terjadinya interaksi obat ini cukup besar, terutama pada pasien yang mengonsumsi lebih dari 5 macam obat pada saat yang bersamaan. Pada saat ini lebih dari 25 jenis obat baru dilempar ke pasar setiap tahunnya. Dan, tampaknya hampir mustahil jika seorang dokter atau apoteker harus menghafalkan dan menguasai masalah interaksi obat dari sekian ribu macam obat 108 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 yang beredar sekarang ini. Sebab itu setiap pusat pengobatan modern, apakah itu rumah sakit, puskesmas atau praktek dokter pribadi, dan juga apotek, sebaiknya atau bahkan seharusnya memiliki akses paling tidak ke salah satu pusat data interaksi obat. Agar berbagai macam obat yang diberikan kepada pasien dapat diperhitungkan terlebih dahulu dengan seksama kemungkinan interaksinya. Ketika dua atau lebih obat dikonsumsi secara bersamaan, akan ada kemungkinan terjadi interaksi. Interaksi yang terjadi ini bisa menambah atau mengurangi efektivitas maupun efek samping obat. Bahkan bisa saja interaksi menyebabkan adanya efek samping baru, yang seharusnya tidak muncul jikalau obat dikonsumsi secara tidak bersamaan. Secara teori, peluang terjadinya interaksi obat sebanding dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Karena itu, seseorang yang mengkonsumsi beberapa obat dalam waktu bersamaan, kemungkinan memiliki risiko terjadinya interaksi cukup besar. Adanya interaksi obat juga bisa menyebabkan peningkatan biaya karena adanya kemungkinan efek samping yang harus ditangani. Selain itu interaksi obat juga bisa saja menyebabkan munculnya penyakit yang seharusnya bisa dicegah. memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik), efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat. Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentukbentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. Kontraindikasi berkaitan dengan efek samping yang merugikan, walaupun informasi tentang kontraindikasi dari obat mudah didapatkan, tetapi tidak secara langsung kasus kontraindikasi dapat dipastikan tidak terjadi. Akan diketahui apakah efek samping yang muncul dari penggunaan antibiotik terkait dengan pelanggaran dari kontraindikasi. Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh. Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya Kegagalan pengobatan, Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien, Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 109 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Berdasarkan hal yang disebut di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk melakukan evaluasi kejadian dan kemungkinan interaksi, efek samping, dan kontraindikasi pada penggunaan antibiotik dengan infeksi pernapasan bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2005. METODE Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen dilakukan dengan rancangan deskriptif evaluatif melalui penelusuran data secara retrospektif terhadap rekam medik penderita infeksi saluran pernapasan bawah yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama kurun waktu Januari hingga Juni 2005. Diambil seluruh kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Ditempuh tahaptahap penelitian yang merupakan urutan kegiatan. Bahan penelitian berupa catatan rekam medik pasien rawat inap dengan diagnosis infeksi saluran pernafasan bawah yang dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta selama kurun waktu Januari hingga Juni 2005 yang mendapat terapi anti-biotika, hasil pemeriksaan radiologi, hasil pemeriksaan laboratorium (hasil kultur dan sensitivitas tes, hasil sputum, hasil pemeriksaan darah lengkap). Alat dalam penelitian ini adalah berupa formulir penelitian terstruktur untuk mencatat data rekam medik penderita infeksi saluran pernapasan bawah. Data yang dikumpulkan dicatat dalam form penelitian meliputi identitas pasien, riwayat penyakit pasien, diagnosis, tanda-tanda vital, pemakaian antibiotika, pemakaian obat lain, pemeriksaan laboratorium (sputum, kultur, sensitivitas dan darah lengkap), pemeriksaan radiologi. Alat penelitian lain berupa SPM RS Panti Rapih Yogyakarta tahun 1998, pedoman penggunaan antibiotik untuk infeksi saluran pernafasan bawah oleh WHO tahun 2003, dan referensi standar terapi yang berkaitan dengan penelitian J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. ini, yaitu untuk infeksi saluran pernapasan bawah. Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah proses penelusuran dan pengumpulan data. Tahap kedua adalah proses pengolahan data. Tahap ketiga adalah analisis dan evaluasi data, dan tahap keempat adalah pengambilan kesimpulan dan saran. PEMBAHASAN Evaluasi Kontraindikasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi pemakaian antibiotika, namun karena catatan khusus mengenai efek samping obat tidak tersedia serta lebarnya variasi efek samping obat antara satu pasien dengan yang lainnya, maka penelitian ini hanya bisa mendeteksi kontraindikasi dan kemungkinan telah terjadinya efek samping berupa nefrotoksisitas. Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien, walaupun kasus terbesar pada pasien dengan umur anak-anak 0-14 tahun (52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada anak-anak khususnya penggunaan antibiotika fluorokuinolon (perfloksasin dan fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau tidak dianjurkan penggunaannya pada anakanak. Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika golongan fluorokuinolon dikontraindikasikan penggunaannya pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun, karena dapat menyebabkan arthropathy meskipun hal ini masih belum cukup bukti yang meyakinkan, karena keterbatasan uji klinik namun pada binatang percobaan kelainan tersebut terjadi. Doherty (2000) pada penelitian penggunaan siprofloksasin pada pasien anak berumur kurang dari 6 tahun setelah diamati selama 6 bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan 110 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 pada timbulnya efek samping pada sendi atau gangguan pertumbuhan anak. Namun memperhatikan pada binatang percobaan, kelainan tersebut terjadi maka penggunaan kuinolon disarankan hanya digunakan pada kasus infeksi berat dimana antibiotika lain tidak efektif. Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada penelitian ini terdapat pasien dengan usia lanjut > 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan kecuali pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan bahwa klinisi cukup peduli dalam mempertimbangkan adanya kontraindikasi penggunaan antibiotika pada pasien anakanak dan wanita hamil. Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat dijadikan sebagai gambaran keamanan penggunaan antibiotika di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada data yang ada di dalam rekam medis pasien. Efek Samping Obat Selain kontraindikasi pe-makaian, aspek lain juga berkaitan dengan keamanan penggunaan antibiotika adalah kejadian efek samping obat yang dapat mempengaruhi atau memperburuk kondisi pasien. Beberapa efek samping yang dapat muncul dengan antibiotika antara lain diare, mual, muntah, gangguan ginjal, hati dan lain-lain. Namun karena alasan yang dijelaskan diatas, maka dalam penelitian ini hanya dapat melihat kemungkinan efek samping obat yang telah terjadi, yang dilihat berdasarkan pemeriksaan laboratorium (dalam hal ini serum kreatinin) karena efek samping yang ingin dilihat adalah nefrotoksisitas yang disebabkan oleh antibiotika golongan aminoglikosida. J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. Barza dkk (1996) menjelaskan peningkatan nilai kreatinin serum pasien sebesar 50% diatas base line (sebelum terapi dengan antibiotika yang bersangkutan), dengan memperhatikan obat lain yang digunakan pasien yang juga bersifat nefrotoksik. Dari 132 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah 29% yang diukur serum kreatininnya tidak terdapat kasus yang menunjukan kemungkinan telah terjadinya efek toksik pada renal akibat penggunaan aminoglikosida. Evaluasi Interaksi Obat Dalam penelitian ini, adanya interaksi obat yang potensial terjadi, dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk evaluasi keamanan penggunaan antibiotika pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan bawah. Kejadian interaksi obat, dapat merupakan interaksi yang aktual terjadi, maupun interaksi yang potensial terjadi. Interaksi obat yang potensial terjadi, berarti interaksi tersebut secara teoritis dapat terjadi, tetapi secara aktual belum tentu terjadi. Penemuan mengenai interaksi obat potensial yang terjadi adalah sangat penting. Karena dapat berguna sebagai data sehingga para klinisi menjadi waspada apabila mem-berikan terapi obat-obat yang potensial menimbulkan interaksi. Evaluasi penggunaan anti-biotika berdasarkan interaksi obat yang potensial terjadi diambil dari data terapi pasien yang tercantum dalam rekam medik, dan tidak dilaporkan adanya interaksi obat yang terjadi secara klinis. Interaksi antibiotika dengan antibiotika atau obat lain secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. 111 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 Dari tabel 1 terlihat ada 7 dari 29 jenis antibiotika yang digunakan, dimana pada penelitian ini terdapat penggunaan antibiotika berinteraksi secara teoritis dengan antibiotika lain atau dengan obat lain yang ditemukan pada 22 kasus (16%), tetapi tidak diketahui apakah interaksi tersebut secara klinis terjadi karena a. Interaksi antara fluoro-kuinolon keterbatasan data penelitian. - Antibiotika Siprofloksasin Ofkloksasin Gatifloksasin Levofloksasin Tabel 1. Interaksi antibiotika dengan antibiotika atau dengan obat lain Obat Lain Jenis Interaksi Obat Saran Al & Mg akan membentuk kompleks Berikan kuinolon minimal 2 jam Antasida (chelate) dengan fluoroquinolones sebelum atau 4 jam sesudah (Al(OH)3 + sehingga sulit diabsorpsi. pemberian antasida atau garam Fe Mg(OH)2) Absorpsi fluoroquinolones menurun dan Zn, bila terpaksa harus 50 – 90 %, sehingga aktivitas diberikan kurang dari itu monitor antibakteri juga akan menurun 50 – efek terapetik kuinolon yang 90 % mungkin berkurang Preparat yang mengandung Zn (multivitamin) Sukralfat (Al(OH)3) Sefotaksim Gentamisin Seftriakson Furosemid Zink akan membentuk kompleks (chelate) dengan fluorokuinolones sehingga sulit diabsorpsi. Absorpsi fluoroquinolones menurun 50 – 90 % Al akan membentuk kom-pleks (chelate) dengan fluoroquinolones sehingga sulit diabsorpsi. Absorpsi fluoroquinolones menurun 50 – 90 %. Berikan kuinolon minimal 4 jam sebelum atau 6 jam sesudah pemberian sukralfat, bila terpaksa harus diberikan kurang dari itu monitor efek terapetik kuinolon yang mungkin berkurang Berefek sinergistik, meningkatkan efek Monitor efek samping dan nefrotoksik gentamisin toksisitas dari gentamisin, jika perlu mempertimbangkan penyesuaian dosis sesuai dengan kondisi klinis pasien. Furosemid meningkatkan efek Furosemid diberikan 3 – 4 jam nefrotoksik sefalosporin dengan sebelum sefalosporin meningkatkan half life sefalosporin 25% dan menurunkan klirens sefalosporin Pada penelitian ini walaupun dari pengamatan efektivitas tidak seluruhnya terpengaruh, tetapi dengan menghindari terjadinya interaksi obat, diharapkan bisa meningkatkan hasil pengobatan yang dicapai. Secara rinci interaksi antara antibiotika dengan antibiotika atau obat lain adalah sebagai berikut: J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. (ofloksasin, siprofloksasin, dan levofloksasin) dengan antasida (Al dan Mg hidroksida) terdapat 9 kasus. Antasida dapat menurunkan absorpsi fluorokuinolon di usus karena terbentuk chelate, sehingga menurunkan aktivitas antibakterinya. Untuk menghindari hal 112 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 tersebut maka antasida diberikan minimal 2 jam sesudah penggunaan antibiotika, walaupun absorpsi masih berkurang 20–40%. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah sembuh 4 kasus, membaik 2 kasus, dan belum sembuh/APS 3 kasus. Pemberian antibiotika dengan an-tasida di Rumah Sakit Panti Rapih pemberiannya sudah dipisahkan. b. Interaksi antara fluorokuinolon (levofloksasin) dengan sukralfat terdapat pada 1 kasus. Sukralfat dapat menurunkan absorpsi fluoro-kuinolon di usus karena terbentuk chelate, sehingga menurunkan aktivitas antibakterinya. Untuk menghin-dari hal tersebut maka sukralfat diberikan minimal 2 jam sesudah penggunaan antibiotika. Pemberian anti biotika dengan sukralfat di Rumah Sakit panti rapih pemberiannya sudah dipisahkan. c. Interaksi antara fluoro-kuinolon (ofloksasin, levo-floksasin, dan gatifloksasin) dengan preparat yang mengandung zink (multivitamin) terdapat pada 7 kasus. Zink akan membentuk chelate dengan fluorokuinolon dan akan menurunkan aktivitas anti-bakterinya. Untuk menghindari hal tersebut maka zink (multivitamin) diberikan minimal 2 jam sesudah penggunaan antibiotika. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah sembuh 4 kasus, membaik 3 kasus, (tetap) tidak sembuh 1 kasus dan meninggal 1 kasus. d. Interaksi antara seftriakson dan furosemid terdapat pada 2 kasus. Furosemid dapat meningkatkan 25% half life dari sefalosporin (seftriakson) dan menurunkan klirens dari sefalosporin, sehingga meningkatkan efek nefro-toksiknya. Interaksi seftriakson dengan furosemid efek nefrotoksisitasnya tidak signifikan. Namun pada kasus ini tetap perlu dimonitor fungsi ginjal sebelum dan sesudah terapi, untuk melihat apakah ada penurunan pada fungsi ginjalnya. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah membaik. Interaksi antara sefotaksim dan gentamisin terdapat 2 kasus. Berefek sinergistik namun pada kasus ini tetap perlu dimonitor fungsi ginjal sebelum dan sesudah terapi, untuk melihat apakah ada penurunan pada fungsi ginjalnya. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah membaik dan tidak sembuh (tetap). KESIMPULAN Tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada wanita hamil dan penggunaan golongan fluorokuinolon pada anak-anak yang menggambarkan ketidakamanan sehingga perlu pemantauan terapi. Tidak ditemukan kasus yang menunjukan kemungkinan telah terjadinya efek toksik pada renal akibat penggunaan aminoglikosida. Ditemukan 16% kasus potensial interaksi obat pada penggunaan fluorokuinolon dengan antasida, sukralfat dan preparat yang mengandung zink (multivitamin) serta penggunaan sefalosporin generasi ketiga dengan gentamisin dan furosemid yang menggambarkan ketidakamanan terapi, sehingga perlu diwaspadai dan diminimalkan kejadiannya. UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Pimpinan Rumah Sakit Panti Rapih yang telah bersedia memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Rasmin, M. 1997, Infeksi Saluran Nafas Bawah, M.K.I, 47, (6), 271-272. Schulman, S.T.; Phair, J.; & Sommers, H. 1994, The Biologic & Clinical Basic of Infectious Diseases, Fourth Edition, wahab, S., Editor Edisi Bahasa Indonesia, Dasar Biologis J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 113 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 97 3. 4. & Klinis Penyakit Infeksi, Fakultas Kedokteran UGM, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 521-535, 606-607 Rachmatullah. 1996, Infeksi Saluran Nafas Bawah Akut Pada Orang Dewasa, M.K.I, 44 (8), 486-494. Halm, E.A.; & Teirstein, A.S. 2002, Management of Community-Acquiered Pneumonia, NEJM, 347: 2039-2045. J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 114 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005 J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2. 115