Uploaded by Wiwin Septiani Lestari

NAMA SAP KEBIDANAN

advertisement
NAMA
:NUR PUJI OKTAVIANA
NIM
: P07124117063
TINGKAT/SMT/KLS : II/III/B
OBAT ANTIBIOTIK
Penemuan jenis antibiotik baru diimbangi dengan penemuan resistensi dari
bakteri tersebut terhadap beberapa obat. Secara garis besar, antibiotik dibagi menjadi
tiga golongan berdasarkan cara kerja, spektrum, dan efek bakterisidal. Terapi antibiotik
terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya
mortalitas dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat
peningkatan kebutuhan ruang Intensive Care Unit. Kontrol infeksi dan pemilihan
antibiotik yang sesuai merupakan intervensi utama dan harus menjadi prioritas dalam
manajemen pasien kritis. Pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotik merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik berkaitan
dengan keluaran pasien kritis. Perubahan pada volume of distribution dan clearance
antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target konsentrasi obat dalam serum.
Hal ini menjadi bukti bahwa parameter pharmacokinetics (PK)/pharmacodynamics
(PD) berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien dan resistensi.
 Penggolongan Antibiotika Berdasarkan Cara Kerja
Berdasarkan cara kerja, antibiotik dibagi menjadi 3 yaitu DNA synthesis
inhibitor cell wall synthesis inhibitor, dan protein synthesis inhibitor.7

DNA-synthesis Inhibitor
Antibiotik golongan ini merupakan antibiotik yang menghambat
replikasi DNA. Sebagai contoh floroquinolon, obat ini menghambat prosese
replikasi DNA dengan cara berikatan dengan topoisomerase II dan
topoisomerase IV. Berikatnya obat dengan struktur tersebut agar mencegah
rantai DNA kembali bersatu pada proses cleavage. Contoh obat golongan ini
adalah golongan floroquinolon dan cotrimoxazole.
48

Cell Wall Synthesis Inhibitor
Sel bakteri diselubungi oleh suatu lapisan peptidoglikan (murein), matriks
polimer dengan komposisi peptide-linked β-(1-4)-N-acetyl hexosamine, merupakan
suatu mekanisma barrier mekanis bakteri terhadap kondisi eksternal. Kekuatan dari
peptidoglikan sangatlah penting bagi kelangsungan hidup suatu bakteri seperti
menjaga perubahan tekanan osmotic terhadap lingkungan. Untuk mempertahankan
bentuknya, aktivitas peptidoglikan dipengaruhi oleh aktivitas transglikosilase dan
penisilin-binding protein (transpeptidase).
Antibiotik golongan beta laktam dan glikopeptida merupakan contoh
golongan obat dengan mekanisme ini. Sebagai contoh, beta lactam bekerja dengan
cara berikatan dengan transpeptidase sehingga proses maintenance dari bakteri
tesebut
dan
peptidoglikan
tidak
mampu
mempertahankan
bentuknya.
Ketidakmampuan peptidoglikan mempertahankan bentuknya menyebabkan sel
menginduksi respon stress yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan
lisisnya sel tersebut.
Protein Synthesis Inhibitor
Proses dari pembentukan RNA terdiri dari 3 fase inisiasi, elongasi dan
terminasi. Ketiganya dipengaruhi oleh ribosom dan aksesoris sitoplasma. Ribosom
tersusun atas dua subunit ribonukleoprotein yaitu 50s dan 30s. ribosom tersebut
akan berjalan mengikuti setiap proses pembentukan RNA.
Antibiotik golongan ini bekerja dengan menghambat kerja dari riobosom
tersebut, sesuai target kerjanya, obat tersebut dibagi kembali menjadi 2 golongan,
yaitu 30s Inhibitor dan 50s Inhibitor. Mekanisme kerja dari 50s ribosom inhibitor
adalah adalah membloking baik itu proses inisiasi tranlasi protein maupun
translokasi peptide mRNA. Contoh 50S ribosome inhibitors macrolides
(erythromycin),
lincosamides
(clindamycin),
streptogramins
(dalfopristin–
quinupristin), amphenicols (chloramphenicol) dan oxazolidinones (linezolid).
Mekanisme kerja dari 30s Ribosom inhibitor adalah memblok akses menempelnya
tRNA aminoacyl kepada ribosom. Contoh dari obat ini adalah tetrasiklin dan
aminocyclitols.
49
 Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tentang perbedaan ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di ruang rawat inap
kelas III RSUD Tugurejo Semarang, maka diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift pagi yang tepat sebanyak 45 responden (80.4%), yang tidak tepat
sebanyak 11 responden (19.6%).
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), dan yang tidak tepat
sebanyak 5 responden (8.9%).
3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift malam yang tepat sebanyak 39 responden (69.6%), dan yang tidak tepat
sebanyak 17 responden (30.4%).
4. Hasil uji Kruskal-Wallis didapatka nilai P Value 0.050, maka Ha ditolak, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan waktu pemberian obat
antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD
Tugurejo Semarang, dan hasil uji Mann-Whithney shift siang dengan shift malam
didapatkan nilai P Value 0.016, maka Ha diterima sehingga ada perbedaan ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik antara kelompok shift siang dengan kelompok shift
malam, sedangkan ketepatan waktu pemberian obat antibiotik anatar kelompok shift
pagi dengan shift siang didapatkan P Value 0.227, dan pada kelompok shift pagi
dengan shift malam didapatkan P Value 0.196.
 Masalah antibiotika dan resistensinya menjadi perhatian seluruh dunia. WHO bahkan
menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread untuk
memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Penanganan masalah ini memerlukan
partisipasi dari banyak pihak. Dokter sebagai klinisi, masyarakat luas sebagai
pengguna, pemerintah sebagai pemegang regulasi, farmasi sebagai distributor, bahkan
calon tenaga kesehatan bisa berperan serta dalam menangani masalah resistensi ini.
50
Jenis dan Golongan Antibiotika
Tabel 5. Antibiotika yang digunakan pada Pasien Penderita ISK
No Golongan Jenis Obat Jumlah Persentase Persentase
Obat kasus
Jenis Gol. Obat
1
2
Sefalosporin
Generasi
Ketiga
Kuinolon
3
Penisilin
4
Kombinasi
Sefalosporin
dan
Penisilin
Seftriakson
Sefotaksim Sefiksim
Siprofloksasin
Levofloksasin
Amoksisilin Ampisilin
SefoperazoneSulbaktam
Total
40
3
2
35
4
3
1
7
95
Obat (%)
42, 11
3,16
2,10
36,84
4,21
3,16
1,05
7,37
100
(%)
47,37
41,05
4,21
7,37
100
Berdasarkan hasil pengobatan dan penggunaan antibiotik pada pasien ISK dapat
diketahui macam dan golongan antibiotika yang digunakan pada pasien di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016.
Tabel 5 menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu
seftriakson. Seftriakson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, dengan sifat
antilaktamase dan umumnya aktif terhadap gram negatif dan sangat stabil terhadap
betalaktamase.
Tingginya penggunaan seftriakson kemungkinan disebabkan karena seftriakson
memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga
cukup diberikan satu kali sehari. Selain itu seftriakson yang dibeikan secara infus atau bolus
sehari sekali tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi obat dalam
darah, baik pada pasien dengan kondisi ginjal normal, maupun pada pasien dengan kondisi
gangguan ginjal. Seftriakson juga memiliki kemampuan untuk berpenetrasi keseluruh
jaringan dan melintasi sawar otak sebagai terapi penangangan infeksi berat. Seftriakson
sebenarnya diindikasikan untuk infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran nafas atas,
infeksi kulit dan jaringan lunak serta infeksi saluran kemih.
 Evaluasi Kontraindikasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi pemakaian
antibiotika, namun karena catatan khusus mengenai efek samping obat tidak tersedia serta
lebarnya variasi efek samping obat antara satu pasien dengan yang lainnya, maka penelitian ini
hanya bisa mendeteksi kontraindikasi dan kemungkinan telah terjadinya efek samping berupa
nefrotoksisitas.
51
Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien, walaupun kasus terbesar pada pasien
dengan umur anak-anak 0-14 tahun
(52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada anak-anak khususnya penggunaan
antibiotika fluorokuinolon (perfloksasin dan fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau tidak
dianjurkan penggunaannya pada anak-anak.
Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika golongan fluorokuinolon
dikontraindikasikan penggunaannya pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun, karena
dapat menyebabkan arthropathy meskipun hal ini masih belum cukup bukti yang meyakinkan,
karena keterbatasan uji klinik namun pada binatang percobaan kelainan tersebut terjadi.
Doherty (2000) pada penelitian penggunaan siprofloksasin pada pasien anak berumur
kurang dari 6 tahun setelah diamati selama 6 bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan pada
timbulnya efek samping pada sendi atau gangguan pertumbuhan anak. Namun memperhatikan
pada binatang percobaan, kelainan tersebut terjadi maka penggunaan kuinolon disarankan hanya
digunakan pada kasus infeksi berat dimana antibiotika lain tidak efektif.
Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah
tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak
ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada penelitian
ini terdapat pasien dengan usia lanjut > 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan antibiotika
yang dikontraindikasikan kecuali pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan bahwa klinisi
cukup peduli dalam mempertimbangkan adanya kontraindikasi penggunaan antibiotika pada
pasien anakanak dan wanita hamil.
Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat dijadikan sebagai gambaran keamanan
penggunaan antibiotika di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada
data yang ada di dalam rekam medis pasien.
52
LAMPIRAN
Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU)
Ricky Aditya, Nurita Dian Kestriani, Tinni T. Maskoen
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Penemuan jenis antibiotik baru diimbangi dengan penemuan resistensi dari bakteri tersebut terhadap beberapa obat.
Secara garis besar, antibiotik dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan cara kerja, spektrum, dan efek bakterisidal.
Terapi antibiotik terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya mortalitas
dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat peningkatan kebutuhan ruang Intensive
Care Unit. Kontrol infeksi dan pemilihan antibiotik yang sesuai merupakan intervensi utama dan harus menjadi
prioritas dalam manajemen pasien kritis. Pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik berkaitan dengan keluaran pasien kritis.
Perubahan pada volume of distribution dan clearance antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target
konsentrasi obat dalam serum. Hal ini menjadi bukti bahwa parameter pharmacokinetics (PK)/pharmacodynamics
(PD) berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien dan resistensi.
Kata kunci: Antibiotik, farmako dinamik, farmako kinetik, ICU, pasien kritis
Empirical Antibiotics in Intensive Care Unit (ICU)
Abstract
The discovery of new types of antibiotic resistance offset by the discovery of bacteria to multiple drugs. In general,
antibiotics are divided into three groups based on the spectrum shape, and the bactericidal effect. Antibiotic therapy
for critically ill patients is a concern in the world due to the high mortality and morbidity. Aspects of the
effectiveness of therapy remains a concern due to the increasing needs of the ICU. Pemilihian infection control
and appropriate antibiotic is a major intervention and should be a priority in the management of patients in critical
condition. Knowledge of the pharmacokinetics (PK) and pharmacodynamics (PD) of antibiotics is essential to
determine the doses of antibiotics related to production factor of critically ill patients. Changes in the volume of
distribution and clearance of antibiotics in critically ill patients may have an effect on a target serum drug
concentrations. This is proof that the PK/PD parameter contribute to the effects associated with the drug and the
output resistance of the patient.
Key words: Antibiotic, Critical patients, ICU, pharmacodynamis, pharmacokinetis
Korespondensi: Ricky Aditya, dr., SpAn-KIC. M. Kes, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jl. Cipaganti I No. 2 Bandung, Mobile 08112293655, Email
[email protected]
53
47
Pendahuluan
aminoglokosida ditemukan sebagai antibiotik
Intensive Care Unit (ICU) merupakan tempat pasien
dengan berbagai macam penyakit dirawat secara
bersama oleh beberapa spesialisasi. Pasien yang
dirawat di ICU seringkali memerlukan pemberian
antibiotik. Hal ini dikarenakan pasien seringkali
sumber infeksi tidak jelas saat pasien datang ke ICU.
Oleh karena itu, tatalaksana antibiotik empiris harus
diberikan sedini mungkin satu jam pertama setelah
didiagnosis sepsis berat atau syok septik. 1
Antibiotik berasal dari Bahasa Yunani yang
berasal dari kata “anti” yang artinya melawan dan
“bios” yang artinya hidup. Istilah antibiotik
diperkenalkan oleh Dr. Selman AW. seorang
mikrobiolog pada tahun 1947. 1 Antibiotik bekerja
dengan cara membunuh atau memperlambat
pertumbuhan dari bakteri. Antibiotik merupak an
salah satu golongan anti mikroba dimana golongan
lain dari anti mikroba adalah antifungi,
anti viral dan anti parasit. 3
Antibiotik mungkin merupakan salah satu
bentuk terapi yang paling berhasil dalam sejarah
dunia kedokteran. Sejarah melaporkan adanya
temuan tetrasiklin dalam tulang manusia yang
berasal dari Sudanese nubia tahun 350–550 SM.
Adanya tetrasiklin dalam tulang ini menunjukkan
kandungan tetrasiklin dalam diet manusia purba
tersebut.
Selain
itu,
Cina
kuno
telah
mengembangkan artemisin sejak beribu-ribu tahun
yang lalu dalam terapi herbalnya.1
Antibiotika di era modern mulai ditemukan pada
tahun 1910 di mana Paul Erlich bersama dengan
kimiawan Alfred Bertheim dan bakteriolog
Sahachiro Hata menemukan obat yang dapat
menyembuhkan sipilis, penyakit yang disebabkan
oleh Treponema pallidum, yang diberi nama
Salvarsan.4,5 Pada bulan September tahun 1928,
Alexander Fleeming menemukan blue mold fungus
dari genus pennicillus dapat menghambat
pertumbuhan dari Staphyllococus aureus pada
cawan kultur. Selanjutnya, penelitian mengenai
antibiotik tersebut terus dilakukan selama 12 tahun
hingga pada tahun 1940 Howard Florey dan Ernest
Chain menyebutkan bahwa antibiotik tersebut sudah
diuji secara klinis dan diberi nama penisilin. Pada
tahun 1944–1945 penisilin diproduksi besar–besaran
serta mulai digunakan untuk mengobati korban
perang dunia
ke II.4
Setelah ditemukannya penisilin, pada
tahun
1944
streptomisin,
golongan
yang berasal dari Streptomyces griseus. Tidak
begitu lama setelah itu ditemukan juga obat
antibiotik lainnya seperti chloramphenicol,
tetracycline, macrolide, and glycopeptide
(misalnya vancomycin). Tahun 1962 dibuatlah
antimikroba sintesis seperti asam nalidiksat
dan quinolone lalu dilanjutkan dengan
perkembangan pembuatan antibiotik golongan
cephalosporin.6
Penemuan-penemuan jenis dari antibiotik
pada saat itu ternyata diimbangi dengan
penemuan resistensi dari bakteri tersebut
terhadap beberapa obat. Penisilin yang pada
awalnya efektif menekan pertumbuhan
Staphyloccocus aureus diketahui mengalami
resistensi pada tahun 1950. Sejak saat itu
dikembangkan
obat
penicillinasestable
methicillin hingga pada tahun 1960 digunakan
secara klinis. Meski begitu, pada tahun 1961 di
UK ditemukan isolasi methicillinresistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam
perkembangannya MRSA menjadi masalah
sosial
di
tahun
1990-an
sehingga
dikembangkanlah beberapa antibiotik lain
yang efektif seperti sefalosporin generasi dua
dan tiga.6
Penggolongan Antibiotika Berdasarkan Cara
Kerja
Berdasarkan cara kerja, antibiotik dibagi
menjadi 3 yaitu DNA synthesis inhibitor cell
wall synthesis inhibitor, dan protein synthesis
inhibitor.7
DNA-synthesis Inhibitor
Antibiotik golongan ini merupakan antibiotik
yang menghambat replikasi DNA. Sebagai
contoh floroquinolon, obat ini menghambat
prosese replikasi DNA dengan cara berikatan
dengan topoisomerase II dan topoisomerase
IV. Berikatnya obat dengan struktur tersebut
agar mencegah rantai DNA kembali bersatu
pada proses cleavage. Contoh obat golongan
ini adalah golongan floroquinolon dan
cotrimoxazole.
Cell Wall Synthesis Inhibitor
Sel bakteri diselubungi oleh suatu lapisan
peptidoglikan (murein), matriks polimer dengan
komposisi
peptide-linked
β-(1-4)-N-acetyl
54
hexosamine, merupakan suatu mekanisma barrier
mekanis bakteri terhadap kondisi eksternal.
Kekuatan dari peptidoglikan sangatlah penting bagi
kelangsungan hidup suatu bakteri seperti menjaga
perubahan tekanan osmotic terhadap lingkungan.
Untuk mempertahankan bentuknya, aktivitas
peptidoglikan
dipengaruhi
oleh
aktivitas
transglikosilase dan penisilin-binding protein
(transpeptidase).
Antibiotik golongan beta laktam dan
glikopeptida merupakan contoh golongan
obat dengan mekanisme ini. Sebagai contoh,
beta lactam bekerja dengan cara berikatan
dengan transpeptidase sehingga proses
maintenance dari bakteri tesebut dan
peptidoglikan tidak mampu mempertahankan
bentuknya. Ketidakmampuan peptidoglikan
mempertahankan bentuknya menyebabkan
sel menginduksi respon stress yang jika
dibiarkan terus menerus akan menyebabkan
lisisnya sel tersebut.
Protein Synthesis Inhibitor
Proses dari pembentukan RNA terdiri dari 3
fase inisiasi, elongasi dan terminasi.
Ketiganya dipengaruhi oleh ribosom dan
aksesoris sitoplasma. Ribosom tersusun atas
dua subunit ribonukleoprotein yaitu 50s dan
30s. ribosom tersebut akan berjalan mengikuti
setiap proses pembentukan RNA.
Antibiotik golongan ini bekerja dengan
menghambat kerja dari riobosom tersebut,
sesuai
Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU)
target kerjanya, obat tersebut dibagi kembali
menjadi 2 golongan, yaitu 30s Inhibitor dan 50s
Inhibitor. Mekanisme kerja dari 50s ribosom
inhibitor adalah adalah membloking baik itu proses
inisiasi tranlasi protein maupun translokasi peptide
mRNA. Contoh 50S ribosome inhibitors macrolides
(erythromycin),
lincosamides
(clindamycin),
streptogramins
(dalfopristin–
quinupristin),
amphenicols (chloramphenicol) dan oxazolidinones
(linezolid). Mekanisme kerja dari 30s Ribosom
inhibitor adalah memblok akses menempelnya
tRNA aminoacyl kepada ribosom. Contoh dari obat
ini adalah tetrasiklin dan aminocyclitols.
Berdasarkan Spektrum
Berdasarkan luas spektrum, antibiotik dibagi
menjadi spectrum luas (broad spectrum) dan
spectrum sempit (narrow spectrum).8
Broad Spectrum
Antibiotik spektrum luas merupakan antibiotik yang
efektik terhadap gram positif maupun gram negatif.
Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah
tetracyclines, phenicols, fluoroquinolones, “generasi
ke tiga” dan “generasi ke empat” cephalosporins
Narrow Spectrum
Antibiotik spectrum sempit merupakan antibiotik
yang memiliki aktivitas terbatas dan hanya efektif
terhadap organisme tertentu, sebagai contoh
C(max)
cmax
Absorption Phase
Elimination Phase
(T 1/2)
AUC
Time above MC
C(max):MIC ratio
MIC
AUC
Cmin
Tmax
Time
Gambar 1 Kurva Konsentrasi Obat dalam Plasma
Gambar 2 Hubungan PK/PD terhadap
Konsentrasi Obat dalam Plasma
55
glikopeptida dan bacitracin yang hanya efektif terhadap bakteri gram positif, Polimiksin obat antibiotik
yang hanya efektif terhadap bakteri gram negatif, aminoglikosida dan sulfonamid yang hanya efektif
terhadapt bakteri aerob dan nitromidazol yang hanya efektif terhadap bakteri anaerob.
Berdasarkan Daya Bunuh Bakteri
Berdasarkan daya bunuh bakteri, Antibiotik dibagi menjadi dua yaitu bakterisida dan bakteristatis. 7,8
Bakteriostatik
Antibiotik golongan bakteriostatik adalah antibiotik yang hanya menahan pertumbuhan bakteri, tidak
sampai membunuh bakteri. Contoh obat golongan ini adalah tetrasiklin, spectinomisin, sulfonamid,
macrolide, kloramfenikol, dan trimethoprim.
Bakteriosida
Antibiotik golongan bakterisida adalah antibiotik yang bekerja membunuh bakteri target. Contoh obat
golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, flouroquinolones (ciprofloxasin), glycopeptides
(vancomisin), monobactam, carbapenems.
Penggolongan Antibiotika Berdasarkan PK/ PD
Terapi antibiotik terhadap pasien kritis merupakan hal yang menjadi perhatian di dunia akibat tingginya
mortalitas dan morbiditas. Aspek efektifitas terapi terus menjadi perhatian akibat peningkatan
kebutuhan ruang Intensive Care Unit (ICU). Kontrol infeksi dan pemilihian antibiotik yang sesuai
merupakan intervensi utama dan harus menjadi prioritas dalam manajemen pasien
kritis. 9
Pengetahuan mengenai farmakokinetik pharmacokinetics (PK) dan farmakodinamik
pharmacodynamics (PD) antibiotik merupakan faktor yang esensial karena penentuan dosis antibiotik
berkaitan dengan keluaran pasien kritis. Perubahan pada volume of distribution (Vd) dan clearance
(CL) antibiotik pada pasien kritis mungkin berefek pada target konsentrasi obat dalam serum. Hal ini
menjadi bukti bahwa parameter PK/PD berperan terhadap efek obat yang terkait dengan keluaran pasien
dan resistensi.9
Gambar 1 menggambarkan tentang kurva farmakokinetik obat. Farmakokinetik mendeskripsikan
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat. PK menjelaskan mengenai konsentrasi obat
dalam tubuh yang berubah seiring waktu setelah konsumsi obat. Parameter yang digunakan adalah
bioavaliabilitas, minimum serum concentration (Cmin), puncak konsentrasi obat dalam serum (Cmax),
waktu kadar obat serum mencapai puncak (Tmax), volume distribusi (Vd), area under serum
concentration-time curve (AUC), waktu paruh (T1/2), dan jumlah waktu konsentrasi obat serum di atas
konsentrasi hambat minimal (T>MIC).10,11
Gambar 2 mendeskripsikan mengenai hubungan farmakokinetik dan famakodinamik terhadap
konsentrasi obat dalam plasma. Aktivitas concentration-dependent antibiotiks dapat diprediksi melalui
rasio AUC/MIC atau Cmax/MIC dengan konsumsi obat dengan dosis adekuat untuk mencapai
konsentrasi yang tinggi. Sementara time-dependent antibiotiks membutuhkan konsumsi berkali-kali
untuk mencapai T/MIC yang maksimal. 11
Farmakodinamik mendeskripsikan efek konsentrasi antibiotik dalam plasma terhadap respons pada
sel pejamu atau pathogen.
Parameter PD terdiri dari: waktu yang dibutuhkan konsentrasi obat serum melebihi MIC (T>MIC),
rasio konsentrasi maksimum serum obat terhadap MIC (Cmax/MIC), dan area kurva waktu konsentrasi
selama 24 jam (ACU) dibagi MIC (AUC/MIC). Beberapa antibiotik memeliki efek bakterisidal paska
CL atau post-antibiotik effects (PAE). 11
Post-antibiotik effect (PAE) merupakan supresi persisten pertumbuhan bakteri setelah paparan
singkat (1–2 jam) bakteri oleh suatu antibiotik meskipun tanpa bantuan imunitas pejamu. 12 Beberapa
antibiotik misalnya aminoglikosida dan quinolones tetap memiliki efek bakterisidal walaupun CL telah
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
55
56
terjadi pada area infeksi. Hal ini terjadi karena kedua antibiotik tersebut memiliki efek inhibitor asam
nukleat dan sintesis protein yang secara signifikan mencegah pertumbuhan bakteri meskipun
konsentrasi dalam serum berada di bawah MIC.11
Efek PAE dipengaruhi oleh jenis bakteri, jenis
dan konsentrasi obat serum, dan durasi paparan. Secara umum, PAE lebih lama in vivo dari pada in
vitro. PAE antibiotik bervariasi tergantung dari jenis antibiotiknya. PAE beta-laktam tergantung dari
lama bakteri berikatan dengan transpeptidase penisilin. PAE aminoglikosida tergantung dari lamanya
obat terdisosiasi dari ribosom, menuju area aktivasi, dan mensintesis protein. Beta-laktam hanya
mengekspresikan PAE pada bakteri gram positif kecuali carbapenem yang memiliki PAE pada gram
negatif. Macrolides, flouroquinolon dan aminoglikosida hanya mengekspresikan PAE
pada gram negatif. 10
Cmax merupakan konsentrasi tertinggi obat dalam plasma darah yang diukur setelah dosis tunggal.
Cmax biasanya terjadi beberapa jam setelah dosis diberikan. AUC merupakan parameter yang
menggambarkan absorpsi obat dan bioavailabilitas obat dalam tubuh. AUC menggambarkan
konsentrasi obat dalam peredaran darah secara keseluruhan sehingga merupakan indikator efektivitas
absorpsi obat. 12 MIC merupakan konsentrasi di mana obat mampu menghambat pertumbuhan bakteri
secara in vitro. 11 MIC menunjukan konsentrasi terendah dari obat tersebut yang dapat menghambat
pertumbuhan setelah diinkubasi 18–24 jam.13 Penggunaan antibiotik pada manusia didasarkan pada
MIC suatu obat terhadap patogen spesifik yang menginfeksi. 11
Dosis obat dikatakan sesuai apabila MIC pada pathogen tertentu memiliki kerentanan melebihi
dosis maksimal serum dari obat yang lain. Beberapa faktor seperti jenis obat, pathogen, dan kondisi
individu berpengaruh penting terhadap keluaran terapi. Dosis obat yang tidak mencapai MIC berpotensi
sebagai penyebab resitensi
antibiotik. 11
Klasifikasikan antibiotik berdasarkan pola aktivitas bakterisidal adalah sebagai berikut:
Concentration-dependent Antibiotiks Concentration-dependent antibiotiks merupakan golongan
pertama. Pola kerja antibiotik golongan ini adalah apabila konsentrasi semakin tinggi, maka efek
bakterisidal dan spektrumnya semakin meningkat. Pola ini terjadi pada golongan aminoglikosida dan
flouroquinolon. Indeks farmakologi yang merepresentasikan golongan ini
Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU)
adalah rasio Cmax/MIC dan AUC/MIC. Pemberian dosis tunggal memiliki efek bakterisidal lebih tinggi
dibanding dengan pemberian terbagi beberapa dosis. Concentration-dependent antibiotiks memiliki
efek posantibiotik yang lama dan mampu menghambat sintesis protein dan asam nukleat 12.
Indeks farmakologi untuk aminoglikosida Cmax/MIC ≥10. Oleh karena itu pemberian dosis tunggal
aminoglikosida perhari memiliki efek lebih tinggi dengan akumulasi minimal obat dalam tubuh dan
toksisitas minimal pada tubuh 12.
Time-dependent Antibiotiks
Time-dependent antibiotiks merupakan antibiotik golongan kedua dengan efek bakterisidal dan
spektrum yang sama setelah mencapai ambang konsentrasi. Antibiotik golongan memiliki potensi
bakterisidal apabila konsentrasinya lebih tinggi dari MIC tetapi saat konsentrasi mencapai empat kali
MIC efek bakterisidal tambahan sangat kecil. Spectrum bakterisidal tergantung dari waktu paparan
karena antibiotik golongan ini memiliki waktu kerja singkat dan tidak memiliki efek posantibiotik
terutama untuk gram negatif. Oleh karena itu dosis antibiotik. pada golongan ini sebisa mungkin berada
di atas MIC selama interval dosis 12
Indeks farmakologi untuk antibiotik golongan ini adalah T>MIC. Antibiotik yang termasuk
golongan ini adalah beta laktam, clindamisin, linezolid, dan vancomisin. Hingga saat ini tidak ada
persetujuan nilai optimal T>MIC. Studi observasional menyebutkan bahwa 40%–50% durasi T>MIC
adalah target dosis minimal untuk penisilin dan cephalosporin. Nilai ini menyebabkan efek
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
56
57
bakteriostatik. T>MIC lebih dari 70% dinilai ideal sebagai bakterisidal dan T>MIC 100% dinilai
mencegah resistensi. Antibiotik golongan ini memiliki T1/2 yang pendek sehingga harus diberikan setiap
4–6 jam atau drip kontinyu melalui infus.12
Mekanisme Terjadinya Resistensi terhadap Antibiotik
Dewasa ini, hampir semua golongan utama dari antibiotik mengalami masalah resistensi terhadap
mikroorganisme tertentu. Dua faktor utama yang berhubungan dengan kejadian resistensi antibiotik
adalah evolusi dan keadaan lingkungan. Mikroorganisme terkait melakukan proses adaptasi terhadap
stress yang diberikan saat pemberian obat. Dalam perkembangannya terdapat beberapa proses yang
menyebabkan resistensi antibiotik. Mekanisme tersebut diantaranya.3
Reduced entry of antibiotik into pathogen Protein membran sel bakteri gram negatif terdapat membran
permeabel yang menjadi tempat masuknya molekul yang masuk kedalam sel. Molekul kecil seperti
antibiotik memasuki sel melalui channel protein yang disebut porins. Berkurangnya jumlah atau mutasi
dari porin menyebabkan berkurangnya jumlah obat yang memasuki sel bakteri. Kurangnya obat yang
masuk mengurangi efektivitas obat tersebut.
Enhanced export of antibiotik by efflux pumps Pompa efluks merupakan mekanisme penting dalam
terjadinya resistensi bagi parasite, bakteri dan fungi dimana mikroorganisme bisa mengespressi efflux
pumps secara berlebihan yang berefek pada tidak berfungsinya antibiotik pada bakteri target antibiotik
tersebut. Saat ini diketahui lima system utama pada pompa efluks yang berhubungan dengan antibiotik.
The multidrug and toxic compound extruder (MATE) the major facilitator superfamily (MFS)
transporters the small multidrug resistance (SMR) system the resistance nodulation division (RND)
exporters
ATP binding cassette (ABC) transporters Contoh obat dengan resistensi ini adalah obat antimalarial
seperti chloroquine, quinine, mefloquine, halofantrine, lumefantrine, and the artemether-lumefantrine
yang telah resisten melawan plasmodium palcifarum. Mekanisme resistensi diatas dimediasi oleh ABC
transporter yang dikode oleh Plasmodium falciparum 1 (Pfmdr1).
Release of microbial enzymes that destroy the antibiotik
Inaktivitas dari obat merupakan mekanisme paling sering dari resistensi obat tersebut. Beberapa bakteri
menghasilkan enzim tertentu untuk menghancurkan bentuk aktif dari obat tersebut. Sebagai contoh
bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida memproduksi enzim aminoglicosidase dan bakteri yang
resisten terhdap golongan beta lactam menghasilkan enzim beta laksamase.
Alteration of microbial proteins that transform pro-drugs to the effective moieties and target protein
Kejadian paling sering saat terjadinya mutasi adalah perubahan komposisi asam amino dan protein yang
diekspressikannya. Hal ini menyebabkan berkurangnya afinitas obat terhadap target atau afinitas kerja
enzim yang mengkonversi pro-drug menjadi obat yang aktif. Mekanisme ini tesjadi karena beberapa
hal diantaranya mutasi alami dari target bakteri (resistensi terhadap flouroquinolon), modifikasi target
bakteri (terbentuknya mekanisme proteksi ribosom pada resistensi macrolide dan tetrasiklin) atau
proses adaptasi dari bakteri itu sendiri seperti rendahnya afinitas penicilinbinding protein sehingga
menyebabkan resistensi Staphilloccocus aureus.
Incorporation of drug
Suatu kondisi yang sangat jarang dimana suatu organisme bukan hanya menjadi resisten terhadap
namun bahkan menjadi subsatnsi yang dibutuhkan mikroorganisme tersebut untuk tumbuh. Contoh
resistensi obat dengan mekanisme ini adalah resistensi terhadap vancomicyn. Jenis-Jenis Antibiotik,
Indikasi, Dosis, Cara Pemberian, Efek Samping Obat adalah:
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
57
58
Sepalosporin Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari obat golongan sepalosporin adalah adalah inhibit dinding sel bakteri. Secara
umum mekanisme kerja obat ini mirip dengan obat antibiotik golongan beta-lactam. 3
Indikasi
Sepalosporin generasi pertama sangat baik untuk mengobati penyakit kulit atau jaringan ikat oleh
karena infeksi S. pyogen dan S. aureus. Untuk generasi kedua dapat digunakan untuk mengobati
penyakit infeksi saluran nafas, serta beberapa infeksi oleh karena bakteri anaerob fakultatif seperti
infeksi intra abdomen dan pelvic inflammatory desease 3.
Sepalosporin generasi ke tiga merupakan generasi yang sering dipakai, generasi ini
menyempurnakan obat generasi ke dua sehingga penyakit yang dapat diobati oleh obat generasi.
Cephalosporin generasi ini juga dapat digunakan untuk penyakit infeksi serius seperti infeksi
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Providencia, Serratia, dan Haemophilus sp. Ceftriaxone merupakan
salah satu obat sepalosporin golongan tiga merupakan drug of choice dari berbagai jenis gonorae 3.
Dosis dan Cara Pemberian
Obat golongan sepalosporin dibagi kembali sesuai dengan generasi obat tersebut. Hingga saat ini
diketahui terdapat hingga 4 generasi. Sefalosporin Generasi 1 adalah Cefazolin (500mg, 1g, 2g, 10g,
20g, 100g, 300g serbuk IV), Cefaclor (Kapsul 250 mg, 500 mg, Tablet 500 mg), Cefadoxril
(Kapsul 500mg; suspense oral 250mg/5mL, 500mg/5mL, tablet 1g). Sefalosporin Generasi 2 adalah
Cefoxitin (Serbuk injeksi 1g, 2g, dan 10 gram), Cefuroxime (Suspense oral 125 mg/ mL, 250mg/mL,
Serbuk injeksi 750mg, 1,5 g, 7,5g, 75 g, dan 225g, Tablet 250 mg, 500 mg) Sefalosporin Generasi 3
adalah Cefotaxim (Injeksi 20mg/ mL, 40 mg/mL, Serbuk injeksi 500mg, 1g, 2g, dan 10g), Ceftazidime
(Injeksi 20mg/mL, 40 mg/mL, Serbuk injeksi 500mg. 1g, 2g, dan 6g), Ceftizoxim (Serbuk injeksi
500mg, 1g, 2g, dan
10g), Ceftriaxon Injeksi (1g/50mL. 2g/50mL,
Serbuk injeksi 250mg, 500mg, 1g, 2g, 10g), Cefixim (Tablet 400mg, Tablet kunyah 100mg, 200mg,
Suspense oral 100mg/5mL, 200mg/5m),
Cefributen (Kapsul 400mg, Suspense oral 90mg/5mL, 180/5mL) Sefalosporin Generasi 4 Prototif
sefepim (Larutan infus 1g/50ml, 2g/100mL, Serbuk injeksi 1g, 2g).
Efek Samping Obat
Efek samping obat yang dapat ditimbulkan adalah hipersensitivitas (paling sering), reaksi anafilaksis
seperti spasme bronkus dan urtika, nyeri pada tempat suntikan, phlebitis, nefrotoksik (terutama juga
dikombinasikan dengan obat golongan aminoglikosida, diare (terutama untuk
Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU)
cefoperazone, ceftriaxone), hipoprotombinemia (moxalctam). 14
Macrolide Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah inhibisi sintesis protein bakteri, macrolide merupakan
golongan obat bakteriostatis. 14
Indikasi
Eritromisin merupakan obat golongan macrolide yang dijadikan drug of choice untuk pneumonia pada
anak, infeksi legionella, dan difteri. Claritomisin merupakan obat yang efektif digunakan untuk bakteri
gram positif meskipun Obat ini efektif terhadap Haemofilus Influenza. Azytromisin merupakan obat
yang efektif terhadap gram negatif seperti Haemofilus influenza, Nisseria gonorrhea, dan Clamidiae
sp.3
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
58
59
Dosis dan Cara Pemberian
Erytromicyn (Tablet 250 mg, 500 mg, kapsul
250mg), azitromicyn (suspense 100mg/5mL, 200mg/5mL, tablet 250mg, 500mg, 600mg), claritomycin
(suspense oral 125 mg/5mL, 250 mg / 5mL, Tablet 250mg, 500mg).
Efek Samping Obat
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat golongan ini diantaranya gangguan gastrointestinal,
toksisitas hepar dan aritmia.
Aminoglikosida Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah berikatan
dengan protein ribosom
yang
menyebabkan gangguan pembentukan asam amino bakteri tersebut. Aminoglikosida termasuk
golongan antibiotik bakterisida. 14
Indikasi
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotik yang sangat efektif untuk bakteri basil gram negatif
seperti P. aeruginosa, Enterobacter, Klebsiella, and Serratia. Penggunaan obat golongan ini biasanya
di kombinasikan dengan obat golongan beta-lactam. 3
Dosis dan Cara Pemberian
Gentamicyn (3–5kgBB/Hari dibagi 3 dosis, Injeksi 10mg/mL, 40mg/mL), Tobramicyn (Injeksi
10mg/mL, 40mg/mL), Amikacyn (Injeksi
50mg/mL, 250mg/mL), Neomycin (Krim 5%, Tablet 500mg, Sirup 25mg/mL), Streptomicyn (Serbuk
injeksi 1gram).
Efek Samping Obat
Beberapa efek samping obat antibiotik ini adalah ototoksisitas, nefrotoksik, neuromuscular blocade,
serta gangguan sistemik lainnya seperti rash, Anemia hemolitik, kekurangan koagulasi factor V. 14
Quinolone
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat ini adalah inhibisi pembentukan asam nukleat. Obat golongan quinolone sangat
efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang begitu efektif terhadap bakteri gram positif. 14
Indikasi
Obat golongan quinolone biasnaya digunakan untuk infeksi saluran kemih, prostatitis, sexual
transmitted desease, infeksi gastrointestinal, infeksi saluran pernafasan dan infeksi jaringan otot dan
tulang. 3
Dosis dan Cara Pemberian
Ciprofloxacin (Suspense oral 250mg/5mL, 500mg/5mL, Tablet 100mg, 250 mg, 500mg, 750 mg),
Norfloxacin (Tablet 400mg), Ofloxacin (Tablet 200mg, 300mg, 400mg).
Efek Samping Obat
Efek samping obat golongan ini biasanya merupakan gangguan gastrointestinal seperti nausea,
vomiting, atau tidak nyaman sekitar abdomen 14.
Beta-lactam Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari obat golongan ini adalah inhibisi dinding sel bakteri, dimana obat tersebut akan
berikatan dengan penisilin binding protein. Kondisi tersebut akan berujung pada kematian sel sehingga
obat golongan ini bersifat bakterisida. 3
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
59
60
Indikasi
Indikasi
penggunakan
obat
golongan
ini adalah pada penyakit yang disebabkan
infeksi Pneumokokus sp., Streptococcus sp., Staphillococus sp., Meningococcus sp., Gonococcus,
Clostridium sp., serta beberapa penyakit seperti sifilis, aktinomikosis, difteri, dan antraks. 3
Dosis dan Cara Pemberian
Amoxicilin (Tablet 250 mg, 500mg, suspense oral 125mg/5mL, 200mg/5mL, 250mg/5mL), Nafcilin
(Injeksi 20mg/mL, 1g/100mL Serbuk injeksi 1g,2g, 10g), Oxacillin (Serbuk injeksi 1g, 2g, 10g),
Dicloxacillin (Kapsul 125mg, 250mg,
500mg, suspense oral 62,5 mg/5mL), ampicillin (Kapsul 250 mg, 500mg, suspense oral 125 mg/5mL,
250mg/5mL, serbuk injeksi 125mg, 250mg, 500mg, 1g, 2, 10g), Ticarcilin (Serbuk Injeksi 3gr),
Piperacillin (Serbuk injeksi 2g, 3g, 4g, 40g)
Efek Samping Obat
Efek samping paling sering dari beta lactam adalah reaksi alergi (anafilaksis, demam, rash, nefritis
intersisial), diare (pada amoxicillin), hipernatremia (ticarcilin) serta kejang dan gagal ginjal (pada
pemberian dosis tinggi) 14.
Tetrasiklin dan Tygeciclin Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah menghambat sintesis protein dengan cara berikatan dengan
ribosom dari bakteri target. Tetrasiklin merupakan golongan obat bakteriostatik 14.
Indikasi
Tetrasiklin cukup baik terhadap segala jenis bakteri baik gram negatif maupun gram positif. Obat
golongan ini masih menjadi lini pertama infeksi Clamida sp., Mycoplasma sp., Rickettsia sp., Vibrio
cholera¸ dan Borreliae sp. 14
Dosis dan Cara Pemberian
Tetrasiklin (Kapsul tablet 250mg, 500mg, sirup 125mg/mL), Dosisiklin (Kapsul tablet 50mg, 75mg,
100mg, 150mg , serbuk injeksi 100mg), Minosiklin (Tablet 50mg, 75 mg, 100 mg, kapsul 50mg, 100
mg Injeksi 100 mg/vial)
Efek Samping Obat
Efek samping utama yang paling sering adalah gastrointestinal seperti heartburn, nausea, muntah, iritasi
gaster. Selain itu juga ada efek samping lainnya seperti gangguan perkembangan gigi dan tulang pada
fetus, hiperurisemia, dan kerusakan hati dan pancreas 3.
Daftar Pustaka
1. Davies, JD. Origins and Evolution of Antibiotic Resistance. Microbiology and Molecular Biology
Reviews, 2010;74(3): 417–33.
2. Waksman, SA. What is an Antibiotic or an Antibiotic Substance?. Mycoglia. 1947; 39(5):565–9.
3. Bruton, LL., Chabner AB., & Knollmann CB. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis
of Therapeutics, 12th ed. California: McGraw-Hill Education, 2010.
4. Aminov, RI. A Brief History of the Antibiotic Era: Lessons Learned and Challenges for the Future.
Frontier in Microbiology. 2010; 1(134).
5. Davies, J. & Davies D. Origins and Evolution of Antibiotic Resistance. Microbiology and
Molecular Biology Review.2010;74(3).
6. Saga, T. & Yamaguchi, K. History of Antimicrobial Agents and Resistant. Research and
Reviews.2009;52(2).
7. Kohanski MA, Dwyer DJ, Collins JJ. How Antibiotics Kill Bacteria: from Target to
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
60
61
Antibiotik Empirik di Intensive Care Unit (ICU)
Network. Microbiology.2010;8(1).
8. Mitchigan State University. Antimicrobial Resistence Learnig Site Pharmacology. 2011, Diakses
pada 28 Oktober 2015 dari: http://amrls.cvm.msu.edu .
9. Roberts, JA. & Jeffrey L. Pharmacokinetic Issues for Antibiotics in the Critically Ill Patient.
Continuing Medical Education Article: Concise Definite Review. 2009;37(3):540–51.
10. McKellar, QA., SF. Sanchez Bruni, & DG. Jones. Pharmacokinetic/Pharmacodynamic
Relationship of Antimicrobial Drugs Used in Veterinary Medicine. Journal of Veterinary
Pharmacology and Therapeutics. 2004;27: 503–14.
11. Finberg, RW. & Guharoy R. Clinical Use of Anti-infective Agents: A Guide on How to Prescribe
Drugs Used to Treat Infections. Springer Science & Business Media, LLC. 2012. p. 5–13
12. Maramba-Lazarte, CC. Determining Correct Dosing Regimens of Antibiotics Based on the Their
Bacterial Activity. Pediatric Infectious Disease Society of the Philippines Journal, 2010;11(2):44–
9.
13. Levison, ME. & Levison JH. Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of Antibacterial Agent.
Infectious Desease Clinical North America, 2009;24(3):791–830.
14. Bennet,
PN.
Brown, MJ.
Clinical
Phamacology, 9th ed. Spain: Elvisier, 2003.
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
61
62
PROGRAM STUDI S.1 ILMU KEPERAWATAN STIKES TELOGOREJO
SEMARANG
Agus Wahyudi *), Maria Suryani **), Supriyadi***)
*) Alumni Program Studi S.1 Ilmu Keperawatan Stikes Telogorejo Semarang
**) Dosen Jurusan Keperawatan Stikes Elisabeth Semarang
***) Dosen Jurusan Menejemen Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang
ABSTRAK
Pemberian obat merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan oleh perawat di setiap shift pagi,
siang, dan malam, yang membutuhkan ketelitian dan ketepatan waktu dalam memberikan obat
antibiotik disetiap pasien supaya tidak melakukan kesalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
adanya Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat Antibiotik Antara Shift Pagi, Siang, dan Malam
di Ruang Rawat Inap Kelas III Rsud Tugurejo Semarang. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode
comparasi. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 56 responden. Ketepatan pada shift
pagi yang tepat sebanyak 45 responden (80.4%), tidak tepat sebanyak 11 responden (19.6%), ketepatan
pada shift siang yang tepat sebanyak 51 responden (91.1%), tidak tepat sebanyak 5 responden (8.9%),
dan untuk ketepatan pada shift malam yang tepat sebanyak 39 responden (80.4%), tidak tepat sebanyak
17 responden (30.4%), dengan jumlah keseluruhan 56 responden diperoleh hasil p-value 0.050, yang
berarti p-value ≥ 0.05, maka Ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik antara shift pagi, siang, dan malam di Ruang Rawat Inap
Kelas III RSUD Tugurejo Semarang. Hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam pelayanan
keperawatan, yaitu untuk meningkatkan peran perawat professional dalam melakukan tindakan
pemberian obat antibiotik.
Kata Kunci
: ketepatan waktu, pemberian obat, shift pagi, siang, dan malam Daftar
Pustaka : 33 (2005-2014)
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
62
63
STUDY PROGRAM BACHELOR IN NURSING TELOGOREJO SCHOOL OF
HEALTH SCIENCE SEMARANG
Agus Wahyudi *), Maria Suryani **), Supriyadi***)
*) Student Program S1 Nursing Science STIKES Telogorejo Semarang
**) Lecturer Department of Nursing STIKES Elisabeth Semarang
***) Lecturer Department of Nursing Management Health Polytechnic Semarang
ABSTRACT
Drug administration is one of treatments given by nurse in every shift: morning, afternoon, and evening,
which requires accuracy and punctuality especially in antibiotic drug administration to each patient to
avoid any mistakes. The research was aimed to observe the difference of drug administration punctuality
between morning, afternoon, and evening shift in third-class hospitalization room of Tugurejo Hospital
Semarang. This was a quantitative research using Comparative method on 56 respondents. During
morning shift, punctuality was observed on 45 respondents (80.4%) and less punctuality on 11
respondents (19.6%). During the afternoon shift, punctuality was observed on 51 respondents (91.1%)
and less punctuality on 5 (8.9%). While during the evening shift, punctuality was observed on 39
respondents (80.4%), and less punctuality on 17 respondents (30.4%). There were 56 respondents in
total resulting in p-value 0.050, which means pvalue ≥ 0.05, indicating that Ha was rejected, so it can
be concluded that there was no difference of drug administration punctuality between morning,
afternoon, and evening shift in third-class hospitalization room of Tugurejo Hospital Semarang. The
result can be applied in nursing care to increase the role of professional nurses in antibiotic drug
administration.
Key words
: punctuality, drug administration, morning, afternoon and evening shift Bibliography
: 33 (2005-2014)
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
63
64
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik secara tidak tepat waktu
dapat menimbulkan terjadinya efek samping
dan toksisitas antibiotika, dan tidak tercapainya
manfaat klinik yang optimal dalam pencegahan
maupun pengobatan penyakit infeksi, serta
resistensi bakteri terhadap obat (Utami, Prapti,
2012, hlm.15).
Seorang perawat bertanggung jawab dalam
pengelolaan obat yang akan di berikan (Perry,
Peterson, & Potter, 2005, hlm.159) Perawat
harus memastikan bahwa obat yang di berikan
tersebut aman bagi pasien dan perawat juga
harus memperhatikan efek samping dari obat
yang sudah diberikan ke pasien (Karch, 2011,
hlm.4).
Data tentang kesalahan dalam pemberian obat di
Indonesia belum dapat di temukan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari
Auburn University di 36 rumah sakit dan
nursing home di Colorado dan Georgia, USE,
pada tahun 2002, dari 3216 jenis pemberian
obat, 43% diberikan pada waktu yang salah, 4%
diberikan obat yang salah, dari 312 jenis obat,
terdapat 17% diberikan dengan dosis yang
salah.
Hasil penelitian yang di lakukan oleh Institusi of
Medicine pada tahun 1999, yaitu kesalahan
medis telah menyebabkan satu juta cedera dan
98.000 kematian dalam setahun. Data yang di
dapatkan JCAHO, 2002 (Joint Commision on
Accreditation of Health), juga menunjukan
bahwa 44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi
di rumah sakit setiap tahun disebabkan oleh
kesalahan medis (Kinninger & Reeder, 2003).
Dari hasil penelitian yang di lakukan oleh
Farida, et al., 2008 Diantara 1365 resep
antibiotik
yang
dievaluasi
didapatkan
penggunaan antibiotik tanpa indikasi setelah
pelatihan berkurang dari 42.3% menjadi 23,2%,
dan penggunaan antibiotik yang tepat
meningkat dari 36,2% menjadi 58,2%. Rerata
skor kualitas pengunaan antibiotik meningkat
dari 2,0 menjadi 2,8. Pelatihan berperan besar
dalam meningkatkan kualitas penggunaan
dokter, faktor-faktor lain tidak memiliki
pengaruh yang bermakna terhadap kualitas
penggunaan antibiotik.
Pekerjaan seorang perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan tidak terlepas dari
pengaturan jam kerja di suatu rumah sakit yang
lebih dikenal dengan istilah shift kerja. Jam
kerja untuk shift pagi yaitu pukul 07.0014.00
WIB (7 jam), shift siang pada pukul 14.00-20.00
(6 jam) dan shift malam pada pukul 20.00-07.00
WIB (11 jam), (Anonim, 2010, ¶24-30).
Dari studi pendahuluan di RSUD Tugurejo
Semarang tahun 2014-2015 data yang
didapatkan yaitu dari 10 perawat dalam
memberikan obat antibiotik khususnya jenis
antibiotik suntikan, 3 perawat tidak tepat waktu
dan 7 perawat tepat waktu dalam memberikan
obat antibiotik.
Menurut Wijaya, Mauris, L,S. dan Suparniati,
E. (2006) menyatakan bahwa shift kerja dapat
berperan penting terhadap permasalahan pada
manusia yang dapat meluas menjadi gangguan
tidur, gangguan fisik dan psikologi, dan
gangguan sosial serta gangguan kehidupan
keluarga. Shift juga dapat mempengaruhi
perubahan fisik, psikologi dan diantaranya
adalah kelelahan.
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
64
65
Shift kerja juga dapat memberikan dampak
negatif yang salah satunya adalah kelelahan.
Kelelahan kerja yang tidak dapat diatasi akan
menimbulkan berbagai permasalahan kerja
yang fatal dan mengakibatkan kecelakaan kerja
sehingga rumah sakit wajib mengetahui tingkat
kinerja dan hal yang dapat menimbulkan
permasalahan dalam bekerja, salah satunya
kelelahan kerja pada perawat, yang dapat
menimbulkan ketidaktepatan waktu pemberian
obat antibiotik (Dian & Solikhah, 2012, hlm.4).
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang perbedaan
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
antara shift pagi, siang, dan malam di RSUD
Tugurejo Semarang.
TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik pada shift
pagi, siang, dan malam di unit rawat inap
RSUD Tugurejo Semarang
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik pada
shift pagi di RSUD Tugurejo Semarang
b. Untuk mengetahui gambaran ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik pada
shift siang di RSUD Tugurejo
Semarang
c. Untuk mengetahui gambaran ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik pada
shift malam di RSUD Tugurejo
Semarang
d. Menganalisa perbedaan ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik antara
shift pagi, siang, dan malam di RSUD
Tugurejo Semarang.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kuantitatif dengan metode comparasi. Yaitu
penelitian yang membandingkan keberadaan
satu variabel atau lebih pada dua atau lebih
sampel yang berbeda, atau pada waktu yang
berbeda (Sugiyono, 2006, hlm.133).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perawat pelaksana yang bertugas di ruang
rawat inap kelas III RSUD Tugurejo Semarang
dengan jumlah sebanyak 129 orang.
Dalam penelitian ini teknik sampel yang
digunakan adalah quota sampling dan
pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode observasi dengan
menggunakan lembar observasi.
Penyajian data pada analisis univariat dibuat
dalam bentuk distribusi frekuensi dan
presentase untuk variabel Ketepatan Waktu
Pemberian Antibiotik Antara Shift Pagi, Siang,
Dan Malam.
Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Uji Kruskal Wallis karena
uji ini digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya hubungan antara dua variabel dengan
menggunakan program SPSS. Ho ditolak bila pvalue >0,05 dan Ha di terima bila p-value <0,05.
1. Kriteria Inklusi
a. Perawat bersedia menjadi responden
b. Perawat Pelaksana yang bertugas di
ruang rawat inap kelas III
c. Perawat pelaksana yang memberikan
obat antibiotik
2. Kriteria Eksklusi
a. Perawat yang sedang cuti
HASIL PENELITIAN
1. Analisis univariat
a. Ketepatan Waktu Pemberian
Antibiotik Pada shift Pagi
Distribusi
frekuensi ketepatan waktu pemberian
obat antibiotik Pada shift
pagi di RSUD Tugurejo Semarang
bulan Maret Tahun 2016
(n=56)
Tabel
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
5.1
65
66
disini merupakan pemberian obat yang benar
harus benar sesuai waktu yang diprogramkan,
shift pagi
- Tepat
- Tidak tepat
Total
f
%
45
11
80.4
19.6
56
100,0
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada
shift pagi yang tepat sebanyak 45 respondn
(80.4%), dan yang tidak tepat sebanyak 11
responden (19.6%).
Hal ini selaras dengan pendapat Sunarto (2010,
hlm.40) bahwa pada shift pagi hari tugas untuk
administrasi cukup banyak baik administrasi
keperawatan maupun administrasi lain seperti
perincian pasien pulang yang dilakukan pada
pagi hari.
Distribusi
frekuensi ketepatan waktu pemberian
obat antibiotik Pada shift
siang di RSUD Tugurejo Semarang
bulan Maret Tahun 2016
(n=56)
shift siang
- Tepat
- Tidak
tepat
Total
c. Ketepatan Waktu Pemberian
Antibiotik Pada shift malam
Tabel 5.3
Distribusi frekuensi ketepatan waktu
pemberian obat antibiotik Pada shift
malam di RSUD Tugurejo Semarang
bulan Maret Tahun 2016
(n=56)
shift malam
- Tepat
- Tidak tepat
b. Ketepatan Waktu Pemberian
Antibiotik Pada shift siang
Tabel
karena berhubungan dengan kerja obat yang
dapat menimbulkan efek terapi dari obat
tersebut (Damayanti, I,P. 2015, hlm.5-6).
5.2
f
%
51
5
91.1
8.9
56
100,0
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada
shift siang yang tepat sebanyak 51 responden
(91.1%), dan yang tidak tepat sebanyak 5
responden (8.9%).
Dalam pemberian obat kepada responden perlu
di ketahui bahwa harus menggunakan prinsip 6
benar yang salah satunya yaitu tepat obat dan
tepat waktu. Tepat obat disini merupakan tahap
dimana
sebelum
mempersiapkan
obat
ketempatnya perawat harus memperhatikan
kebenaran obat, sedangkan pada tepat waktu
Total
f
%
39
17
69.6
30.4
56
100,0
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik pada
shift malam yang tepat sebanyak 39 responden
(69.6%), dan yang tidak tepat sebanyak 17
responden (30.4%).
Menurut Mayasari, Anita (2011, hlm.31)
Sebagian besar perawat pada shift malam
mengalami kelelahan kerja sedang, karena
faktor faal dan metabolisme tubuh yang tidak
dapat diserasikan dengan pembagian jam kerja
mereka, Perawat shift malam bekerja selama 10
jam, selain itu juga disebabkan jam tidur yang
dipakai untuk bekerja.
2. Analisis bivariate
a. Uji Kruskal Wallis
Tabel 5.4
Uji Kruskal Wallis
(n=56)
Shift
n
Pagi
56
Medi
an
2.00
Mini
mum
1
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
Maxi
mal
3
p
value
0.050
66
67
Siang
Malam
56
56
Table 5.6
Berdasarkan Tabel 5.4 didapatkan pada shift
pagi, siang, malam, diperoh nilai median 2.00,
nilai Minimum 1, dan nilai Maximum 3, serta p
value sebesar 0.050 yang berarti Ha ditolak
kesimpulannya tidak ada perbedaan ketepatan
waktu pemberian obat antibiotik antara shift
pagi, siang, dan malam di ruang rawat inap kelas
III RSUD Tugurejo Semarang.
b. Uji Mann Whitney U Test P Value
kelompok shift pagi dengan shift siang
Table 5.5
Perbedaan ketepatan waktu pemberian obat
antibiotik antara kelompok
shift pagi dengan shift siang di RSUD
Tugurejo Semarang bulan
Maret Tahun 2016
(n=56)
Shift
n
Medi
an
Pagi
Siang
56
56
2.00
Min
imu
m
1
Maxi
mal
p value
3
0.227
Berdasarkan Tabel 5.5 di atas antara kelompok
shift pagi dengan shift siang diperoleh nilai
Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai
Maximum 3, serta P Value sebesar 0,227 ≥
0,05. Yang berarti Ha ditolak, maka dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna
antara dua kelompok yaitu shift pagi dan shift
siang.
Menurut Sunarto (2010, hlm.41) Hal ini
dikarenakan pada shift pagi dengan shift siang,
pagi hari tugas untuk administrasi cukup banyak
baik administrasi keperawatan maupun
administrasi lain seperti perincian pasien pulang
yang dilakukan pada pagi hari, dan shift siang
yang jumlah tenaga keperawata tidak memadai,
sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan
antara shift pagi dengan shift siang.
c. Uji Mann Whitney U Test P Value kelompok
shift siang dengan shift malam
Perbedaan ketepatan waktu pemberian obat
antibiotik antara kelompok
shift siang dengan shift malam di RSUD
Tugurejo Semarang bulan
Maret Tahun 2016
(n=56)
Shift
n
Medi
an
Siang
Malam
56
56
2.00
Min
imu
m
1
Maxi
mal
p value
3
0.016
Berdasarkan Tabel 5.6 di atas antara kelompok
shift siang dengan shift malam diperoleh nilai
Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai
Maximum 3, serta P Value sebesar 0.016 ≤ 0,05.
Yang berarti Ha diterima, maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna
antara dua kelompok yaitu shift siang dengan
shift malam.
Hal ini selaras dengan pendapat Sunarto (2010,
hlm.41) Bahwa pada shift siang hal ini
disebabkan jumlah tenaga kurang dibandingkan
dengan jumlah tenaga shift pagi, dan pada shift
malam aktivitas menurun karena pasien sedang
beristirahat, sehingga pada shift malam lebih
banyak digunakan perawat untuk istirahat,
kecuali bila ada kegiatan ekstra atau observasi
ketat terhadap pasien, serta pada shift siang
adalah yang paling tepat, dan pada shift malam
adalah yang paling tidak tepat, sehingga ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok
shift siang, dengan shift malam.
d. Uji Mann Whitney U Test P Value kelompok
shift pagi dengan shift malam
Table 5.7
Perbedaan ketepatan waktu pemberian
obat antibiotik antara kelompok
shift pagi dengan shift malam di RSUD
Tugurejo Semarang bulan
Maret Tahun 2016
(n=56)
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
67
68
responden (69.6%), dan yang tidak tepat
sebanyak 17 responden (30.4%).
Shift
n
Medi
an
Pagi
Malam
56
56
2.00
Min
imu
m
1
Maxi
mal
p value
3
0.196
Berdasarkan Tabel 5.7 di atas antara kelompok
shift pagi dengan shift malam diperoleh nilai
Median 2.00, nilai Minimum 1, dan nilai
Maximum 3,
serta P Value sebesar 0.196 ≥
0,05. Yang berarti Ha ditolak, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara dua kelompok yaitu shift pagi
dengan shift malam.
Menurut Mayasari, Anita (2011, hlm.31)
Karena pada shift pagi dengan shift malam
perawat Sebagian besar perawat pada shift
malam mengalami kelelahan kerja sedang,
karena faktor faal dan metabolisme tubuh yang
tidak dapat diserasikan dengan pembagian jam
kerja mereka, Perawat shift malam bekerja
selama 10 jam, selain itu juga disebabkan jam
tidur yang dipakai untuk bekerja.
4. Hasil uji Kruskal-Wallis didapatka nilai P
Value 0.050, maka Ha ditolak, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan ketepatan waktu pemberian obat
antibiotik antara shift pagi, siang, dan
malam di Ruang Rawat Inap Kelas III
RSUD Tugurejo Semarang, dan hasil uji
Mann-Whithney shift siang dengan shift
malam didapatkan nilai P Value 0.016,
maka Ha diterima sehingga ada perbedaan
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
antara kelompok shift siang dengan
kelompok shift malam, sedangkan
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
anatar kelompok shift pagi dengan shift
siang didapatkan P Value 0.227, dan pada
kelompok shift pagi dengan shift malam
didapatkan P Value 0.196.
SARAN
1.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
mengenai tentang perbedaan ketepatan waktu
pemberian obat antibiotik antara shift pagi,
siang, dan malam di ruang rawat inap kelas III
RSUD Tugurejo Semarang, maka diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift pagi yang tepat sebanyak 45
responden (80.4%), yang tidak tepat
sebanyak 11 responden (19.6%).
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift siang yang tepat sebanyak 51
responden (91.1%), dan yang tidak tepat
sebanyak 5 responden (8.9%).
3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ketepatan waktu pemberian obat antibiotik
pada shift malam yang tepat sebanyak 39
2.
3.
Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan untuk
penambahan tenaga kesehatan dan
meningkatkan
mutu
pelayanan
keperawatan yang di berikan kepada
pasien.
Bagi Ilmu Keperawatan Penelitian ini
dapat menjadi sumber informasi tentang
pentingnya ketepatan waktu dalam
pemberian obat antibiotik dan menjadi
acuan para profesi perawat dalam
menjalankan tugasnya untuk melakukan
tindakan keperawatan pada pasien.
Bagi Peneliti Selanjutnya Di harapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan acuan dan masukan untuk peneliti
selanjutnya dengan variabel yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Analisa Hubungan Beban
Kerja Dan Shift Dengan Tingkat
Stress Kerja Perawat Di IGD RSU
Dr. H.
Koesnadi
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
68
69
Bondowoso. Diambil
februari
dari
10
http://stikeshafshawaty.ac.id/index.p
hp/jurnal-s1-keperawatan/81analisahubungan-beban-kerja-danshiftdengan-tingkat-stress-kerjaperawatdi-igd-rsu-dr-h-koesnadibondowoso
Damayati, I,P. (2015). Panduan lengkap
keterampilan dasar kebidanan
II/oleh Ika Putri, Damayati, Risa
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
69
124
Pitriani, dan Yurlina Ardhiyanti—
Ed.
1,
Cet
1—Yogyakarta:
Deepublish, Januari 2015
Dian, K.S (2012). Hubungan Kelelahan
Kerja dengan Kinerja Perawat
di bangsal Rawat Inap Rumah
Sakit Islam Fatimah Kabupaten
Cilacap. Jurnal kesehatan
masyarakat. 6(2): 162232
Karch, M. A. (2010). Buku ajar farmakologi
keperawatan. Jakarta: EGC
Mayasari, A. (2011). Perbedaan Tingkat
Kelelahan Perawat Wanita.
Diambil tanggal
17
juli
2016 dari
https://www.google.com/url?sa
=t&r
ct=j&q=&esrc=s&source=web
&cd=
22&cad=rja&uact=8&ved=0ah
UKE
witjtiTqv_NAhXLipQKHQz1
ADM
4FBAWCCUwAQ&url=http%
3A%
2F%2Fjournal.unnes.ac.id%2Fa
rtike
l_nju%2Fpdf%2Fkemas%2F17
90%
2F1981&usg=AFQjCNGeqPlvj
hItkBf28lBu24U0QelBw&sig2
=b
XRqRZeEGDDHBZ4iD00Lnw
&bv m=bv.127521224,d.dGo
Perry, P.P. (2005). Buku saku ketrampilan
dan prosedur dasar. Edisi 5.
Jakarta : EGC
Sugiyono.
(2006).
Statistika
Untuk Penelitian,Cetakan
Ketujuh, Bandung: CV. Alfabeta
Sunarto. (2010).
Faktor Dominan
Yang Mempengaruhi
Kinerja
Perawat
Dalam
Melaksanakan
Asuhan Keperawatan Di
Ruang Rawat Inap Rsud Waluyo
Jati. Diambil tanggal
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
124
125
14
juli
2016
dari
http://stikeshafshawaty.ac.id/in
dex.p hp/jurnal-s1keperawatan/64faktordominan-yangmempengaruhikinerja-perawatdalammelaksanakan-asuhankeperawatandi-ruang-rawatinap-rsud-waluyojati
Utami, P. (2012). Antibiotik Untuk
Mengatasi Aneka Penyakit,
Cet,1,- Jakarta : AgroMedia
Pustaka 2012
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
125
126
ANTIBIOTIKA, RESISTENSI, DAN RASIONALITAS TERAPI
Eka Rahayu Utami
Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Maliki Malang.
Email: [email protected]
ABSTRACT
Bacterial resistance toward antibiotics has become international and serious problem. Rasional
therapy campaign has common recently, include correct medication, precise dose, fix therapy
periode and efficient cost. Microbes being resistance through some different ways for live
survival. Many things can cause this resistance. In the end, there are a lot of harmful
consequences in health, economic, also public health aspect. Rational therapy, government
regulation, and civil education become some crusial point in bacterial resistance conquer
strategy.
Keywords: antibiotics, resistance, rational therapy.
PENDAHULUAN
masyarakat
di
Indonesia
menggunakan
antibiotika
secara
tidak
tepat.
Antibiotika, yang pertama kali
Ketika
digunakan
secara
tepat,
ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910, antibiotik memberikan manfaat yang
sampai saat ini masih menjadi obat tidak perlu diragukan lagi. Namun bila
andalan dalam penanganan kasus-kasus dipakai atau diresepkan secara tidak
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama tepat (irrational prescribing) dapat
5
dekade
terakhir
mengalami
menimbulkan kerugian yang luas dari
peningkatan yang luar biasa, hal ini segi kesehatan, ekonomi bahkan untuk
tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi generasi mendatang.
juga menjadi masalah di negara maju
Munculnya
kuman-kuman
seperti Amerika Serikat. The Center for patogen yang kebal terhadap satu Disease Control and
Prevention in USA
(antimicrobacterial
resistance)
atau
menyebutkan terdapat 50 juta peresepan beberapa jenis
antibiotika
tertentu
antibiotik
yang
tidak
diperlukan
(multiple
drug
resistance)
sangat
(unnescecery prescribing) dari 150 juta menyulitkan
proses pengobatan.
peresepan setiap tahun (Akalin,2002).
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
126
127
Pemakaian antibiotika lini pertama yang
Menurut Menteri Kesehatan Endang sudah tidak bermanfaat harus diganti Rahayu Sedyaningsih,
sekitar 92 persen
dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan
lini ketiga. Hal ini jelas akan merugikan
pasien, karena antibiotika lini kedua maupun
lini ketiga masih sangat mahal harganya.
Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan
juga terjadi kekebalan kuman terhadap
antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi lain,
banyak penyakit infeksi yang merebak
karena pengaruh komunitas, baik berupa
epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat
(independent epidemic) maupun sebagai
sumber utama penularan di rumah sakit
(nosocomial infection). Apabila resistensi
terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar
luas, dunia yang sangat telah maju dan
canggih ini akan kembali ke masa-masa
kegelapan kedokteran seperti sebelum
ditemukannya antibiotika (APUA,
2011).
Hal-hal diatas telah
menjadi permasalahan kesehatan di seluruh
dunia. Hingga akhirnya pada peringatan
Hari Kesehatan Internasional tahun 2011,
WHO menetapkan tema Antimicrobacterial
Resistance and its Global Spread. Sejalan
dengan tema WHO, Indonesia mengangkat
tema “Gunakan Antibiotik
Secara
Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”.
Resistensi kuman terhadap antibiotika
berkembang jauh lebih cepat daripada
penelitian dan penemuan antibiotika baru.
Saat ini sedang digalakkan kampanye dan
sosialisasi pengobatan secara rasional yang
meliputi pengobatan tepat, dosis tepat, lama
penggunaan yang tepat serta biaya yang
tepat. No action today, no cure tomorrow.
ANTIBIOTIKA DAN RESISTENSI
Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul
Ehrlich yang pertama kali menemukan apa
yang disebut “magic bullet’, yang dirancang
untuk menangani infeksi mikroba. Pada
tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika
pertama, Salvarsan, yang digunakan untuk
melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti
oleh Alexander Fleming yang secara tidak
sengaja menemukan penicillin pada tahun
1928.
Tujuh
tahun
Domagk menemukan sulfa, yang membuka
jalan penemuan obat anti TB, isoniazid.
Pada 1943, anti TB pertama ,streptomycin,
ditemukan oleh Selkman Wakzman dan
Albert Schatz. Wakzman pula orang
pertama yang memperkenalkan terminologi
antibiotik. Sejak saat itu antibiotika ramai
digunakan klinisi untuk menangani berbagai
penyakit infeksi (Zhang, 2007).
Antimikroba adalah obat yang
digunakan untuk memberantas infeksi
mikroba
pada manusia.
Sedang antibiotika adalah senyawa kimia
yang dihasilkan oleh
mikroorganisme
(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau
dihasilkan secara sintetik yang dapat
membunuh
atau
menghambat
perkembangan bakteri dan organisme lain
(Munaf, 1994).
Secara garis besar antimikroba
dibagi menjadi dua jenis yaitu yang
membunuh kuman (bakterisid) dan yang
hanya menghambat pertumbuhan kuman
(bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk
golongan bakterisid antara lain penisilin,
sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar),
kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan
lain-lain.
Sedangkan antibiotik yang
memiliki sifat bakteriostatik, dimana
penggunaanya tergantung status imunologi
pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin, trimetropim,
linkomisin,
klindamisin,
asam
paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence
&
Bennet,1987).
Pembagian bakteriostatik dan
bakterisid ini tidak absolut, tergantung dari
konsentrasi obat, spesies bakteri dan fase
perkembangannya. Manfaat dari pembagian
ini berguna dalam hal pemilihan antibiotika,
pada pasien dengan status imunologi yang
rendah
(imunosuppressed)
misalnya
penderita HIV-AIDS, pada pasien pembawa
kuman (carrier), pada pasien dengan kondisi
sangat lemah (debilitated) misalnya pada
pasien-pasien end-stage, maka harus dipilih
antibiotika bakterisid.
kemudian,Gerhard
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
127
128
Terdapat pembagian lain dalam
klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar cara
kerja
maupun
spektrum
kerjanya.
Penggunaan pembagian ini secara klinis
masih
kurang
bermanfaat.
Dalam
prakteknya, klasifikasi yang paling sering
dipakai klinisi adalah berdasar susunan
senyawa kimia. Lebih sering dipakai karena
sifatnya yang praktis, nama obat yang
dipakai langsung terkait dengan golongan
senyawa kimia masing-masing. Antibiotika
yang dibagi berdasar senyawa kimianya
antara
lain
golongan
penicillin,
cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida,
tetrasiklin,
makrolida,
linkosamid,
polipeptida,
dan
antimikobakterium.(kucers,use of
antibiotic)
Di samping antibiotika yang telah
disebutkan di atas, akhir-akhir ini juga mulai
diperkenalkan jenis-jenis baru dari golongan
beta laktam misalnya kelompok monosiklik
beta laktam yakni aztreonam, yang terutama
aktif terhadap kuman Gram negatif,
termasuk pseudomonas. Juga antibiotika
karbapenem (misalnya imipenem) yang
dikatakan tahan terhadap penisilinase dan
aktif terhadap kuman-kuman Gram positif
dan Gram negatif.
Antibiotika dapat ditemukan dalam
berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat
melalui jalur topical, oral, maupun
intravena. Banyaknya jenis pembagian,
klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan
penemuan antibiotika baru seringkali
menyulitkan klinisi dalam menentukan
pilihan antibiotika yang tepat ketika
menangani suatu kasus penyakit. Hal ini
juga merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya resistensi.
Tidak mengherankan apabila
bakteri dapat dengan mudah beradaptasi
dengan paparan antibiotika, mengingat
keberadaan dan perkembanganya telah
dimulai sejak kurang lebih 3,8 milyar tahun
yang lalu. Resistensi pasti diawali adanya
paparan antibiotika, dan meskipun hanya
ada satu atau dua bakteri yang mampu
bertahan hidup, mereka punya peluang
untuk menciptakan satu galur baru yang
resisten. Sayangnya, satu galur baru yang
resisten ini bisa menyebar dari satu orang
ke orang lain, memperbesar potensinya
dalam proporsi epidemik. Penyebaran ini
dipermudah oleh lemahnya control infeksi
dan penggunaan antibiotika yang luas
(Peterson, 2005)
Resistensi didefinisikan sebagai
tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik
dengan dosis normal yang seharusnya atau
kadar hambat minimalnya. Sedangkan
multiple drugs resistance didefinisikan
sebagai resistensi terhadap daua atau lebih
obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan
cross resistance adalah resistensi suatu obat
yang diikuti dengan obat lain yang belum
pernah dipaparkan (Tripathi, 2003).
Resistensi terjadi ketika bakteri berubah
dalam satu atau lain hal yang menyebabkan
turun atau hilangnya efektivitas obat,
senyawa kimia atau bahan lainnya yang
digunakan untuk mencegah atau mengobati
infeksi. Bakteri yang mampu bertahan
hidup dan berkembang biak, menimbulkan
lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri
terhadap kuman ditentukan oleh kadar
hambat minimal yang dapat menghentikan
perkembangan
bakteri
(Bari,2008).
Timbulnya resistensi terhadap suatu
antibiotika terjadi berdasarkan salah satu
atau lebih mekanisme berikut :
1.Bakteri
mensintesis
suatu
enzim
inaktivator atau penghancur antibiotika .
Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap
penisilin G menghasilkan beta-laktamase,
yang merusak obat tersebut. Betalaktamase lain dihasilkan oleh bakteri
batang Gram-negatif.
2.Bakteri
mengubah permeabilitasnya
terhadap obat. Misalnya tetrasiklin,
tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi
tidak pada bakteri yang resisten.
3.Bakteri mengembangkan suatu perubahan
struktur sasaran bagi obat. Misalnya
resistensi
kromosom
terhadap
aminoglikosida berhubungan dengan
hilangnya (atau perubahan) protein
spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
128
129
yang bertindak sebagai reseptor pada
organisme yang rentan.
4.Bakteri mengembangkan perubahan jalur
metabolik yang langsung dihambat oleh
obat. Misalnya beberapa bakteri yang
resisten terhadap sulfonamid tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi
seperti sel mamalia dapat menggunakan
asam folat yang telah dibentuk.
5.Bakteri mengembangkan perubahan
enzim yang tetap dapat melakukan fungsi
metabolismenya tetapi lebih sedikit
dipengaruhi oleh obat dari pada enzim
pada kuman yang rentan. Misalnya
beberapa bakteri yang rentan terhadap
sulfonamid, dihidropteroat sintetase,
mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi
terhadap sulfonamid dari pada PABA
(Jawetz, 1997).
Penyebab utama resistensi antibiotika
adalah penggunaannya yang meluas dan
irasional. Lebih dari separuh pasien dalam
perawatan rumah sakit menerima antibiotik
sebagai pengobatan ataupun profilaksis.
Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai
untuk kepentingan manusia dan sedikitnya
40% berdasar indikasi yang kurang tepat,
misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa
factor yang mendukung
terjadinya resistensi,antara lain
terapi antibiotik yang paling baru dan
mahal
meskipun
tidak
diperlukan.
Bahkan pasien membeli antibiotika
sendiri tanpa peresepan dari dokter (self
medication). Sedangkan pasien dengan
kemampuan financial yang rendah
seringkali
tidak
mampu
untuk
menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan : dalam jumlah besar,
meningkatkan unnecessary health care
expenditure
dan
seleksi
resistensi
terhadap obat-obatan baru.
Peresepan meningkat ketika diagnose
awal belum pasti. Klinisi sering
kesulitan dalam menentukan antibiotik
yang tepat karena kurangnya pelatihan
dalam hal penyakit infeksi dan
tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan
dengan penggunaan terapi kombinasi,
penggunaan monoterapi lebih mudah
menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi
tenaga kesehatan, misalnya mencuci
1. Penggunaannya yang kurang tepat
tangan setelah memeriksa pasien atau
(irrasional) : terlau singkat, dalam dosis
desinfeksi alat-alat yang akan dipakai
yang terlalu rendah, diagnose awal yang
untuk memeriksa pasien.
salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
6. Penggunaan di rumah sakit : adanya
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien
infeksi endemic atau epidemic memicu
. Pasien dengan pengetahuan yang salah
penggunaan antibiotika yang lebih
akan cenderung menganggap wajib
massif pada bangsalbangsal rawat inap
diberikan antibiotik dalam penanganan
terutama
penyakit meskipun disebabkan oleh
Kombinasi antara pemakaian antibiotic
virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam
yang lebih intensif dan lebih lama
yang banyak dijumpai di masyarakat.
dengan adanya pasien yang sangat peka
Pasien dengan
terhadap
kemampuan financial
yang baik akan meminta diberikan
di
intensive
infeksi,
care
unit.
memudahkan
terjadinya infeksi nosokomial.
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
129
130
dan
fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan
binatang ternak : antibiotic juga dipakai
oleh bakteri yang gagal berespon terhadap
pengobatan mengakibatkan perpanjangan
penyakit
(prolonged
illness),
meningkatnya resiko kematian (greater
risk of death) dan semakin lamanya masa
rawat inap di rumah sakit (length of stay).
Ketika respon terhadap pengobatan
menjadi lambat bahkan gagal, pasien
menjadi infeksius untuk beberapa waktu
yang lama
(carrier). Hal ini memberikan peluang yang
lebih besar bagi galur resisten untuk
menyebar kepada orang lain. Kemudahan
transportasi dan globalisasi
sangat
memudahkan penyebaran bakteri resisten
antar daerah, negara, bahkan lintas benua.
Semua hal tersebut pada akhirnya
meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi
dalam komunitas
(Deshpande et al, 2011)
7. Penggunaannya
untuk
untuk
mencegah
hewan
dan
mengobati
penyakit infeksi pada hewan ternak.
Dalam
jumlah
besar
antibiotic
digunakan sebagai suplemen rutin untuk
profilaksis
atau
merangsang
pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai
dengan
dosis
subterapeutik,
akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
8. Promosi komersial dan penjualan besarbesaran oleh perusahaan farmasi serta
didukung
pengaruh
memudahkan
globalisasi,
terjadinya
pertukaran
barang sehingga jumlah antibiotika
yang beredar semakin luas. Hal ini
memudahkan akses masyarakat luas
terhadap antibiotika
9. Penelitian : kurangnya penelitian yang
dilakukan para ahli untuk menemukan
antibiotika baru (Bisht et al, 2009)
10. Pengawasan : lemahnya pengawasan
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
distribusi dan pemakaian antibiotika.
Misalnya, pasien dapat dengan mudah
mendapatkan
antibiotika
meskipun
tanpa peresepan dari dokter. Selain itu
juga kurangnya komitmen dari instansi
terkait baik untuk meningkatkan mutu
obat
maupun
mengendalikan
penyebaran infeksi (Kemenkes RI,
2011).
Konsekuensi
Ketika infeksi menjadi resisten
terhadap pengobatan antibiotika lini
pertama, maka harus digunakan antibiotika
lini kedua atau ketiga, yang mana harganya
lebih mahal dan kadang kala pemakaiannya
lebih toksik. Di negara-negara miskin,
dimana antibiotika lini pertama maupun
kedua tidak tersedia, menjadikan potensi
resistensi terhadap antibiotika lini pertama
menjadi lebih besar. Antibiotika di Negara
miskin, didapatkan dalam jumlah sangat
terbatas, bahkan antibiotika yang seharusnya
ada untuk mengatasi penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri pathogen resisten, tidak
terdaftar dalam daftar obat esensial (Bisht et
al, 2009)
Konsekuensi lainnya adalah dari segi
ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health
care administrator, perusahaan farmasi, dan
masyarakat. Biaya kesehatan akan semakin
meningkat seiring dengan dibutuhkannya
antibiotika baru yang lebih kuat dan
tentunya lebih mahal. Sayangnya, tidak
semua lapisan masyarakat
mampu
menjangkau antibiotika generasi baru
tersebut. Semakin mahal antibiotik, semakin
masyarakat tidak bisa menjangkau, semakin
banyak carrier di masyarakat, semakin
Resistensi antibiotik terhadap mikroba
menimbulkan beberapa konsekuensi yang
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
130
131
banyak galur baru bakteri yang bermutasi
terapi definitive dilakukan berdasarkan hasil
dan menjadi resisten terhadap antibiotika.
Sampai sekarang, faktanya sangat sulit
membayangkan adanya prosedur yang
efektif untuk menangani resistensi ini.
Klinisi akan sangat kesulitan menentukan
keputusan regimen terapi pada pasienpasien dengan resiko infeksi tinggi,
misalnya pada pasien yang akan menjalani
prosedur bedah, transpalntasi, pasien dengan
kemoterapi karena kanker, pasien-pasien
kritis yang berusia sangat muda atau sangat
tua, pasien HIV dalam masa pengobatan,
tanpa keberadaaan antibiotika yang ampuh
mengatasi masalah resistensi (Bhatia &
Narain, 2010)
pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti
jenis kuman dan spectrum kepekaan
antibiotikanya (Jawetz, 1997).
Untuk menentukan penggunaan antibiotika
dalam menangani penyakit infeksi, secara
garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip
umum dibawah ini :
1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini
bisa dikerjakan secara klinis berdasar
criteria diagnose ataupun pemeriksaanpemeriksaan
tambahan
lain
yang
diperlukan. Gejala panas sama sekali
bukan kriteria untuk diagnosis adanya
infeksi.
STRATEGI PENANGANAN
2. Kemungkinan kuman penyebabnya,
Berdasarkan faktor pendukung yang
dipertimbangkan dengan perkiraan
telah diuraikan dalam bab sebelumnya,
ilmiah
berdasarkan
pengalaman
maka
strategi
penanganan
maupun
pencegahan yang dapat dilakukan yang
setempat yang layak dipercaya atau
pertama dan utama adalah terapi rasional.
epidemiologi setempat atau dari
Penggunaan antibiotika secara rasional
diartikan sebagai pemberian antibiotika
informasi-informasi ilmiah lain.
yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat
3. Apakah
antibiotika
benar-benar
obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek
diperlukan? Sebagian infeksi mungkin
samping antibiotika.
Kapan saat yang tepat memulai
tidak memerlukan terapi antibiotika
terapi antibiotika? Secara klinik memang
misalnya
infeksi
virus
saluran
sangat sulit memastikan bakteri penyebab
infeksi yang tepat tanpa menunggu hasil
pernafasan atas, keracunan makanan
pemeriksaan mikrobiologi. Secara umum,
karena kontaminasi kuman-kuman
klinisi tidak boleh memberikan terapi secara
sembarangan tanpa mempertimbangkan
enterik. Jika tidak perlu antibiotika,
indikasi atau malah menunda pemberian
terapi alternatif apa yang dapat
antibiotika pada kasus infeksi yang sudah
tegak diagnosanya secara klinis meskipun
diberikan?
tanpa hasil pemeriksaan mikrobiologi.
4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan
Kasus infeksi yang gawat dapat berupa
sepsis,
demam
dengan
neutropeni,
antibiotika yang sesuai berdasarkan
meningitis bakterial
spektrum
antikuman,
sifat
(Leekha et al, 2011).
farmakokinetika, ada tidaknya kontra
Berdasarkan ditemukannya kuman
atau tidak, maka terapi antibiotika dapat
indikasi pada pasien, ada tidaknya
dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi
interaksi yang merugikan, bukti akan
definitive. Terapi empiris adalah terapi yang
diberikan berdasar diagnose klinis dengan
adanya manfaat klinik dari masingpendekatan ilmiah dari klinisi. Sedangkan
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
131
132
masing antibiotika untuk infeksi yang
bersangkutan
berdasarkan informasi
Perlu disebarluaskan bahwa
tidak
semua jenis
penyakit
ilmiah yang layak dipercaya. Dari sisi
dapat disembuhkan
bakteri, pertimbangkan site of infection
antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian
and most likely colonizing, berdasar
antibiotic harus sesuai dengan instruksi
pengalaman
dokter baik dosis maupun rentang terapinya.
atau
evidence
based
dengan pemberian
sebelumnya bakteri apa yang paling
Pada penyakit-penyakit kronis seringkali
sering, pola kepekaan antibiotika yg
pasien menghentikan sendiri atau
beredar local (Leekha et al, 2011).
mengurangi terapinya ketika sudah
5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama
pemberian
berdasarkan
sifatsifat
merasakan perbaikan yang signifikan atas
penyakitnya. Untuk mengatasi hal ini,
kinetika masing-masing antibiotika dan
diciptakanlah obat dalam fixed dose
fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya
combinations untuk mengurangi jumlah
fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-
tablet atau kapsul yang harus diminum,
lain). Perlu dipertimbangkan dengan
kalender special, kemasan blister, DOTS
cermat pemberian antibiotika misalnya
(directly observed therapy system).
pada ibu hamil dan menyusui, anak-
Tenaga kesehatan harus lebih sadar
terhadap personal and environmental
hygiene agar infeksi bakteri tidak menyebar
dari satu orang ke orang lain. Dokter
misalnya, dapat mencuci tangan terlebih
dahulu setelah memeriksa pasien yang satu
sebelum beralih ke pasien yang lain. Bidan
wajib menerapkan prinsip sepsis-asepsis
dalam memolong persalinan. Alat-alat
operasi, KB, ataupun piranti rumah sakit
yang harus suci kuman wajib dusterilisasi
terlebih dahulu.
Di Indonesia, juga telah dilakukan
beberapa usaha untuk mengatasi dampak
resistensi antibiotika akibat pengobatan
sendiri (self medication) dengan regulasi
perundang-undangan.. Salah satu dari usaha
tersebut adalah di berlakukannya undangundang yang mengatur tentang penjualan
antibiotika yang diatur di dalam undangundang obat keras St. No. 419 tgl. 22
Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1.
Antibiotika termasuk salah satu jenis obatobat keras, hal ini terdapat dalam pasal 1
ayat 1a yang berbunyi: “Obat-obat keras
yaitu obat-obatan yang tidak digunakan
untuk keperluan teknik, yang mempunyai
anak, dan orang tua.
6. Evaluasi efek obat. Apakah obat
bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus
diganti atau dihentikan? Adakah efek
samping yang terjadi?
(Graham-Smith & Aronson, 1985)
Selain hal-hal di atas, edukasi pasien juga
merupakan hal yang penting untuk
dilakukan. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa edukasi atau training yang diberikan
kepada kelompok besar maupun kecil,
menunjukkan
peningkatan
peresepan
antibiotic yang baik. Pesan akan diterima
dengan baik apabila disampaikan oleh
pemimpin local atau orang yang dianggap
berpengaruh (Bisht et al, 2009). Pesan dapat
disampaikan melalui berbagai media
misalnya melalui iklan di televisi, radio,
koran. Tekhnologi komunikasi yang baru
juga memudahkan penyebaran informasi ini,
misalnya internet, jejaring sosial, bahkan
lewat mobile messenger.
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
132
133
khasiat
mengobati,
menguatkan,
membaguskan, mendesinfeksikan, dan lainlain tubuh manusia, baik dalam bungkusan
maupun tidak , yang dtetapkan oleh
Secretaris Vaan Staat, Hoofd van het
Departement van Gesondheid, menurut
ketentuan pasal 2 ayat (1) “Sec. V. St
mempunyai wewenang untuk menetapkan
bahan-bahan sebagai obatobat keras dan
ayat (2) “ Penetapan ini dijalankan dengan
menempatkan bahanbahan itu pada suatu
daftar G (obat-obat berbahaya) atau daftar W
(peringatan).
Dalam Pasal 107 UU No. 36/2009
tentang Kesehatan ada ketentuan lebih lanjut
mengenai pengamanan sediaan farmasi
seperti obat antibiotik dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. Pasal 108 (1)
mengatur praktik kefarmasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan, dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan
obat,bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Peraturan mengenai distribusi obat
tertulis dalam (Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan)
:
1) Pasal 3 (1) Penyerahan persediaan untuk
penyerahan
dan
penawaran
untuk
penjualan dari bahan-bahan G, demikian
pula memiliki bahan – bahan ini dalam
jumlah sedemikian rupa sehingga secara
normal tidak dapat diterima bahwa
bahan-bahan ini hanya diperuntukkan
pemakain pribadi, adalah dilarang.
Larangan ini tidak berlaku untuk
pedagangpedagang besar yang diakui,
Apoteker-apoteker , yang memimpin
Apotek dan Dokter Hewan.
2) (2) Penyerahan dari bahan –bahan G ,
yang menyimpang dari resep Dokter,
Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang,
larangan
ini
tidak
berlaku
penyerahan-penyerahan
bagi
kepada
Pedagang –pedagang Besar yang diakui,
Apoteker-apoteker, Dokterdokter Gigi
dan Dokter-dokter Hewan demikian
juga
tidak
terhadap
penyerahan-
penyerahan menurut ketentuan pada
pasal 7 ayat 5 (Keputusan Menkes RI,
2004).
Selain
peraturan
perundangundangan, klinisi memerlukan
guideline terapi antibiotika yang dapat
digunakan sebagai dasar terapi empiris di
klinik. Pelaksanaan penggunaan guideline
ini seyogyanya dievaluasi secara ketat oleh
pihak yang terkait misalnya rumah sakit atau
dinas kesehetan. Dalam mengaplikasikan
guideline ini, tentunya klinisi akan sangat
terbantu dengan keberadaan laboratorium
mikrobiologi
klinik
yang
mampu
menyediakan hasil pemeriksaan secepat
mungkin dan mendiskusikan hasilnya
dengan klinisi. Mutu obat sebaiknya diawasi
dan dievaluasi secara berkala. Para
professional
hendaknya
mulai
menggalakkan penelitian untuk menemukan
antibiotika baru yang lebih poten dalam
melawan bakteri resistan.
Dengan cepatnya dan makin
seringnya diperkenalkan berbagai jenis
antibiotika dan kemoterapetika baru, praktisi
sering mendapatkan kesulitan dalam menilai
manfaat, peran serta resiko dari suatu jenis
obat baru dibandingkan dengan jenis-jenis
yang sudah ada. Hal ini sering diperburuk
oleh kenyataan bahwa informasi yang
diberikan mengenai obat yang baru, lebih
sering banyak menonjolkan segi manfaat
dan kelebihannya, sedangkan efek samping
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
133
134
dan
kekurangankekurangan
lainnya
cenderung diperkecilkan. Di lain pihak,
informasi ilmiah dalam bukubuku pustaka
untuk obat yang baru diperkenalkan
umumnya
masih
kurang
lengkap.
Menghadapi kesulitan ini reaksi yang timbul
dapat muncul secara ekstrim dalam dua
kemungkinan. Pertama, mengikuti saja
semua informasi dan anjuran yang diterima,
walaupun informasinya belum tentu
sepenuhnya benar. Kedua, secara apriori
langsung menolak semua informasi dan
anjuran tanpa terlebih dulu apakah ada
kelebihan manfaat dari obat baru yang
diperkenalkan tersebut.
Menghadapi
suatu jenis
antibiotika baru yang diperkenalkan, maka
langkah-langkah penelaahan yang
dianjurkan adalah sebagai berikut,
-
-
ermasuk jenis apakah antibiotika baru
tersebut?
Bagaimanaspektrum antikumannya? Apa indikasi pemakaian kliniknya?
atau infeksi yang dimaksud?
Apakah
antibiotika
baru
secara
mikrobiologik lebih aktif, atau lebih
paten dibanding antibiotika yang sudah
ada untuk infeksi bersangkutan?
-
Apakah ada kelebihan lain secara
farmakologik, misalnya dalam sifatsifat
kinetik,
absorpsi,
distribusi
dan
penetrasi
jaringan,
eliminasi,
cara
pemberian, dosis dan sebagainya?
-
controlled trial?
-
Apakah antibiotika baru lebih aman,
kurang
toksik
atau
kurang
efek
sampingnya dibanding yang sudah ada?
-
Apakah beaya pemakaian kliniknya
lebih murah dibandingkan dengan obat
yang sudah ada dengan manfaat klinik
dan keamanan yang sebanding?
-
Apakah antibiotika baru tersebut dapat
dipakai secara rutin, ataukah hanya
dipakai sebagai cadangan atau simpanan
(reserved
antibiotics)
untuk
menghadapi kasus-kasus khusus yang
tidak dapat diatasi dengan antibiotika
yang sudah ada?
(Petunjuk
2010).
kuliah farmakoterapi,
Apa antibiotika pilihan utama dan
pilihan alternatif untuk kondisi klinik
-
misalnya dengan rancangan randomized
KESIMPULAN
Masalah antibiotika dan resistensinya
menjadi perhatian seluruh dunia. WHO
bahkan
menetapkan
tema
Antimicrobacterial Resistance and its
Global Spread untuk memperingati Hari
Kesehatan Sedunia. Penanganan masalah ini
memerlukan partisipasi dari banyak pihak.
Dokter sebagai klinisi, masyarakat luas
sebagai pengguna, pemerintah sebagai
pemegang regulasi, farmasi sebagai
distributor, bahkan calon tenaga kesehatan
bisa berperan serta dalam menangani
masalah resistensi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apakah antibiotika baru memberikan
manfaat klinik lebih baik dibanding
yang sudah ada? Dan apakah bukti
manfaat klinik ini ditunjang oleh
Akalin, E. H. 2002. The evolution of
guidelines in an era of cost
containment. Surgical
prophylaxis. J Hosp infect.
penelitian uji klinik yang dapat diterima,
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
134
135
APUA (Alliance for prudent use of
antibiotics).
2011. What is
antibiotic resistance and why is
it problem?. www.apua.org on 1609-2011.
Bari, S. B., Mahajan, B. M., Surana, S. J.
2008. Resistance to antibiotic : A
challenge in chemotherapy. Indian
journal of pharmaceutical education
and research.
Bhatia, R., Narain, J. P. 2010. The growing
challenge
of antimicrobial
resistance in the south east asia
region- Are we losing the battle?.
Indian Journal of medical research.
Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P.
2009. Antibiotic resistance- A
global issue of concern. Asian
journal of pharmaceutical and
clinical research. Volume 2.
Issue 2.
Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011.
Antimicrobial resistance : the global
public
health
challenge.
International journal of student
research. Volume I. Issue 2.
Grahame-Smith, D. G., Aronson, S. K.
1985. Oxford textbook
of
clinical pharmacology and drug
therapy.
Oxford University
press, Oxford.
Jawetz, E.
1997. Principle
of
antimicrobial drug action. Basic and
clinical pharmacology. Third
edition. Appleton and Lange,
Norwalk.
Keputusan Menteri Kesehatan tentang
standard pelayanan farmasi di
Rumah Sakit. 2004. No
1197/MENKES/SK/X/2004.
Laurence, D. R., Bennet, P. N. 1987.
Clinical
Pharmacology.
Sixth
edition. Churchill livingstone,
Edinburgh.
Leekha, S. , Terrel, C. L., Edson, R. S.
2011. General
principles
of antimicrobial
therapy.
Symposium
on
antimicrobial therapy. Februari.
Munaf, S., Chaidir, J. 1994. Obat
antimikroba. Farmakologi
UNSRI. EGC, Jakarta.
Peterson, L. R. 2005. Squeezing the
antibiotic balloon : The impact of
antimicrobial classes on ermerging
resistance. European society of
clinical microbiology and infectious
deseases. The Feinberg school of
medicine,
North
Western
University, USA.
Petunjuk kuliah/diskusi : Farmakoterapi
antiinfeksi/antibiotika. 2010.
Bagian farmakologi
klinik
Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada.
Tripathi, K. D. 2003. Antimicrobial drugs :
general consideration. Essential of
medical pharmacology. Fifth
edition. Jaypee brothers
medical publishers.
Zhang, Y. 2007. Mechanisms of antibiotic
resistance in the
Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia. 2011. Buku panduan hari
kesehatan sedunia.
Perbedaan Ketepatan Waktu Pemberian Obat … ([email protected])
135
microbial
J. Trop. Pharm. Chem.
world.
Baltimore,
USA.
91
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Evaluasi Kontraindikasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping dan kontraindikasi pemakaian antibiotika,
namun karena catatan khusus mengenai efek samping obat tidak tersedia serta lebarnya variasi efek
samping obat antara satu pasien dengan yang lainnya, maka penelitian ini hanya bisa mendeteksi
kontraindikasi dan kemungkinan telah terjadinya efek samping berupa nefrotoksisitas.
Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien, walaupun kasus terbesar pada pasien dengan umur
anak-anak 0-14 tahun
(52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada anak-anak khususnya penggunaan antibiotika
fluorokuinolon (perfloksasin dan fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau tidak dianjurkan
penggunaannya pada anak-anak.
Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika golongan fluorokuinolon dikontraindikasikan
penggunaannya pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun, karena dapat menyebabkan
arthropathy meskipun hal ini masih belum cukup bukti yang meyakinkan, karena keterbatasan uji
klinik namun pada binatang percobaan kelainan tersebut terjadi.
Doherty (2000) pada penelitian penggunaan siprofloksasin pada pasien anak berumur kurang dari 6
tahun setelah diamati selama 6 bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan pada timbulnya efek
samping pada sendi atau gangguan pertumbuhan anak. Namun memperhatikan pada binatang
percobaan, kelainan tersebut terjadi maka penggunaan kuinolon disarankan hanya digunakan pada
kasus infeksi berat dimana antibiotika lain tidak efektif.
Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus dengan infeksi saluran pernapasan bawah tidak
ditemukan penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak ditemukan
penggunaan antibiotika yang dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada penelitian ini terdapat
pasien dengan usia lanjut > 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan antibiotika yang
dikontraindikasikan kecuali pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan bahwa klinisi cukup peduli
dalam mempertimbangkan adanya kontraindikasi penggunaan antibiotika pada pasien anakanak dan
wanita hamil.
Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat dijadikan sebagai gambaran keamanan penggunaan
antibiotika di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada data yang ada di
dalam rekam medis pasien.
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
92
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
KAJIAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) DI RUMAH SAKIT SAMARINDA
MEDIKA CITRA (SMC) KOTA SAMARINDA
Risa Yusnita*, Lisna Meylina, Arsyik Ibrahim, Laode Rijai
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS
Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur
*email : [email protected]
ABSTRAK
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi yang paling umum terjadi di masyarakat
yang mengakibatkan kenaikan secara signifikan angka kejadian morbiditas serta
mortilitas. Efektivitas penggunaan antibiotika akan berperan penting dalam pengobatan
ISK, oleh karena itu dilakukan penelitian kajian efektivitas penggunaan antibiotika pada
pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC)
Periode Desember 2014 – Desember 2016. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan angka kejadian ISK dengan jenis kelamin pria 21% dan wanita 79%, serta
angka kejadian ISK terbesar pada rentan usia 17 - 35 tahun baik pada pria ataupun
wanita. Jenis antibiotika yang digunakan antara lain, seftriakson, sefotaksim, sefiksim,
siprofloksasin, levofloksasin, amoksisilin, ampisilin dan kombinasi sefoperazone dengan
sulfabaktam. Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis
dan terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) dan efektivitas penggunaan
antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sepenuhnya
efektif berdasarkan kondisi pasien.
Kata Kunci : Infeksi Saluran Kemih, Antibiotika, Efektivitas
ABSTRACT
Urinary Tract Infection (UTI) is the most common infection in communities cause
increase significantly of the morbidity and mortality incidence value. The effectiveness
of using antibiotics will have a important role in urinary tract infection treatment. Based
on the result of research, it can be concluded that the Urinary Tract Infection's incidence
with male is 21% and female is 79%, and the highest Urinary Tract Infection's incidence
at age 17 - 35 years old in both of their. The types of antibiotics used are ceftriaxone,
cefotaxime, cefixime, ciprofloxacin, levofloxacin, amoxicillin, ampicillin and
combination of cefoperazone and sulfabactam. The suitability of using antibiotics in
Urinary Tract Infection patients at Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital isn't entirely
suitable with Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital's Diagnosis and Treatment
Guidelines and the effectiveness of using antibiotics in Urinary Tract Infection patients
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
93
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
at Samarinda Medika Citra (SMC) Hospital is entirely effective based on patient's
condition.
Keywords : Urinary Tract Infection, Antibiotics, Effectiveness
PENDAHULUAN
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (Speakman, 2008).
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan istilah umum yang menunjukkan
keberadaan mikroorganisme dalam urin. ISK keadaan ditemukannya mikrorganisme di
dalam urin dalam jumlah tertentu. Pasien didiagnosis ISK bila urinnya mengandung lebih
dari 105 bakteri/mL (Coyle, 2005).
Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli
merupakan penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik
yaitu 70-90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30% dari infeksi saluran kemih
pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5% pada anak perempuan), Klebsiella pneumonia
dan Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif
seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan.
Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi saluran
kemih. Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal memerlukan pengertian dan
pemahaman mengenai bagaimana memilih dan memakai antibiotik secara benar.
Pemilihan berdasarkan indikasi yang tepat, menentukan dosis, cara pemberian, lama
pemberian, maupun evaluasi efek antibiotik. Pemakaian dalam klinik yang menyimpang
dari prinsip dan pemakaian antibiotik secara rasional akan membawa dampak negatif
dalam bentuk meningkatnya resistensi dan efek samping.
Idealnya antibiotik yang dipilih untuk pengobatan infeksi saluran kemih harus
memiliki sifat-sifat yaitu dapat diabsorpsi dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat
mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk mikroba
yang diketahui atau dicurigai. Di dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan infeksi
saluran kemih juga sangat penting untuk mempertimbangkan peningkatan resistensi
E.coli dan patogen lain terhadap beberapa antibiotik. Resistensi E.coli terhadap
amoksisilin dan antibiotik sefalosporin diperkirakan mencapai 30%. Secara keseluruhan,
patogen penyebab infeksi saluran kemih masih sensitif terhadap kombinasi
trimetoprimsulfametoksazol walaupun kejadian resistensi di berbagai tempat telah
mencapai 22%. Pemilihan antibiotik harus memperhatikan riwayat antibiotik yang
digunakan pasien (Coyle, 2005).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survey dilakukan dengan rancangan deskriptif melalui
penelusuran data secara retrospektif dari data rekam medik pasien Infeksi Saluran Kemih
(ISK) di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC).
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
94
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien ISK yang menjalani pengobatan di Rumah
Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016
sebanyak 87 orang, dengan kriteria inklusi : a) Pasien dengan diagnosis utama ISK
sepanjang periode Desember 2014 – Desember 2016, b) pasien ISK dengan atau tanpa
penyakit penyerta.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi yaitu berupa
catatan rekam medik pasien dengan diagnosis ISK selama periode Desember 2014 –
Desember 2016. Pengumpulan data dimulai dari observasi secara retrospektif untuk
kasus diagnosa ISK yang memenuhi kriteria inklusi
Berdasarkan dari hasil pengumpulan data, ditemukan sekian kasus pasien yang
terdiagnosa ISK, kemudian dari kartu rekam medik dicatat karakteristik pasien yang
meliputi usia, jenis kelami, penyakit pemyerta dan jenis ISK, selanjutnya dari kartu
rekam medik dicatat ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien ISK yang meliputi,
tepat indikasi, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat interval pemberian, tepat durasi
pemberian, dan tepat rute pemberian kemudian dibandingkan dengan Pedoman
Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC), dan yang terakhir
dari kartu rekam medik dilakukan identifikasi efektivitas penggunaan antibiotik dengan
parameter leukosuria, demam dan nyeri. Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan
diambil kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien ISK
Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien ISK meliputi jenis
kelamin, usia, penyakit penyerta, dan jenis ISK. Karakteristik pasien seperti jenis kelamin
dan usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi individu terhadap suatu
penyakit tertentu. Seperti hal nya pada penyakit ISK dimana angka kejadian pada wanita
lebih besar dibandingkan pria, dan usia dewasa angka kejadian ISK lebih besar.
Jenis Kelamin
Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Penderita ISK
Jenis Kelamin
Jumlah Pasien
Presentase
Pria
Wanita
18
69
20,69 %
79,31 %
Total
87
100 %
Dari 87 kasus pasien yang di rawat di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC)
sebanyak 20,69% atau 18 kasus dialami oleh pasien pria dan 79,31% atau 69 kasus
dialami oleh pasien wanita.
Wanita cenderung lebih sering menderita ISK dibandingkan pria karena bakteri dapat
menjangkau kandung kemih dengan lebih mudah pada wanita dibandingkan dengan pria.
Panjang uretra pada wanita lebih pendek (sekitar 3-5 cm) daripada uretra pria (sekitar 1518 cm), sehingga bakteri yang akan menyerang mempunyai jarak yang lebih pendek dan
dekat untuk menginfeksi bagian saluran kemih. Uretra pada wanita letaknya juga
berdekatan dengan rektum sehingga mikroorganime lainnya dapat dengan mudah
menjangkau uretra dan menyebabkan infeksi. Selain itu cairan prostat pada pria juga
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
95
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
memiliki sifat-sifat bakterisid sehingga menjadi pelindung terhadap infeksi oleh kumankuman uropatogen (Sukandar, 2009).
Hubungan seksual mungkin juga menjadi salah satu penyebab ISK pada wanita
dikarenakan mikroorganisme dapat terdorong masuk ke uretra. Pemakaian suatu alat
diafragma (alat kontrasepsi pencegah kehamilan) dapat berperan penting timbulnya
infeksi karena diagfragma mendorong uretra secara berlawanan dan membuat uretra
lebih sulit untuk mengosongkan kandung kemih dengan sempurna. Sehingga urin atau
air seni yang tersisa didalam kandung kemih lebih mungkin menjadi tempat tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme dan menyebabkan infeksi.
Usia
Tabel 2. Distribusi Usia Pasien Penderita ISK
Usia
(Tahun)
Pria
Wanita
0-5
Jumlah
2
%
2,3
Jumlah
4
%
4,6
12 – 16
0
0
2
2,3
17 – 25
1
1,15
22
25,2
26 – 35
7
8,04
21
24,14
36 – 45
2
2,3
8
9,2
46 – 55
3
3,44
4
4,6
56 – 65
3
3,44
4
4,6
0
4
4, 6
20,67
69
79,33
18
> 65
0
Total
Dari 87 kasus pasien yang di rawat di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra
(SMC) angka kejadian ISK terbesar pada usia 17-25 tahun (25,5%) dan 26-35 tahun
(24,14%) dengan jenis kelamin wanita.
Insiden ISK dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang
tua. Menjelang remaja hingga dewasa insiden ISK bertambah secara signifikan pada
wanita mencapai 20%. Faktor risiko yang utama yang berusia 1635 tahun adalah
berkaitan dengan hubungan seksual (Nguyen, 2004).
Penyakit Penyerta
Tabel 3. Distribusi Penyakit Penyerta Pasien Penderita ISK
Diagnosa
Jumlah Persentase
Pasien
(%)
ISK tanpa penyakit
60
69
penyerta
ISK dengan penyakit
27
31
penyerta
Total
87
100
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
96
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Dari 87 kasus pasien ISK sebanyak 69% atau 60 kasus ISK tanpa penyakit penyerta dan
sebanyak 31% atau 27 kasus ISK dengan penyakit penyerta. ISK dengan penyakit
penyerta terbagi lagi sesuai dengan penyakit penyertanya, antara lain : hipertensi,
diabetes melitus, anemia, dyspepsia, asma, wasir, kolik abdomen serta ISK pada kondisi
hamil dan abortus incomplete.
Pasien diabetes berisiko mengalami komplikasi kronik makrovaskular diantaranya adalah
infeksi. Pasien diabetes dengan kadar glukosa darah yang tinggi lebih rentan mengalami
berbagai infeksi dibanding dengan pasien yang tidak menderita diabetes. Infeksi pada
pasien diabetes umumnya terlokalisasi di saluran kemih (Black, 2009).
Infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada pasien diabetes perempuan, karena secara
anatomis uretra perempuan lebih pendek. Orifisium uretra dan vagina juga merupakan
daerah yang mudah sekali terjadi kolonisasi bakteri (Black, 2009).
Gejala infeksi saluran kemih pada pasien diabetes umumnya asimtomatik, namun dapat
berkembang menjadi simtomatik dan meningkatkan risiko untuk masuk rumah sakit
dengan bakteremia hingga pielonefritis bilateral. Oleh karena itu, walaupun gejala infeksi
saluran kemih pada pasien diabetes asimtomatik hal ini tidak dapat diabaikan (Saleem,
2011).
Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes menurut beberapa hasil penelitian disebabkan
berbagai faktor risiko. Faktor–faktor risiko infeksi saluran kemih pada pasien diabetes
yaitu usia, lama menderita diabetes, indeks massa tubuh, hubungan seksual dan upaya
pengendalian diabetes. Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes umumnya terjadi pada
pasien dengan pengendalian diabetes yang buruk dan adanya infeksi dapat memperburuk
pengendalian glukosa darah (Black, 2009).
Kejadian ISK sering pula terjadi pada masa kehamilan. Perubahan mekanis dan
hormonal yang terjadi pada kehamilan meningkatkan risiko keadaan yang membuat urin
tertahan di saluran kencing. Juga adanya peningkatan hormon progesteron pada
kehamilan akan menambah besar dan berat rahim serta mengakibatkan pengenduran pada
otot polos saluran kencing.
Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncak pada akhir trimester dua dan awal
trimester tiga yang merupakan faktor yang memudahkan terjangkitnya ISK pada
kehamilan. Saluran kemih yang pendek pada perempuan dan kebersihan daerah sekitar
kelamin luar yang menjadi bagian yang sulit dipantau pada perempuan hamil akan
mempermudah ISK.
Jenis ISK
Tabel 4. Distribusi Jenis ISK
Diagnosa
Jumlah
Pasien
ISK Atas
67
ISK Bawah
20
Total
87
Persentase
(%)
77
23
100
Pasien diklasifikasikan menjadi ISK atas dan ISK bawah. Angka kejadin ISK atas
terbesar adalah ISK atas (77%) dibandingakan ISK bawah (23%).
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
97
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Kesesuaian Penggunaan Antibiotik
Kesesuaian penggunaan obat menjadi salah satu hal yang paling penting untuk mencapai
keberhasilan terapi, meliputi kesesuaian penggunaan jenis dan golongan obat serta dosis
yang perlu diperhatikan. Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah
diagnosis ditegakkan dengan benar, agar obat yang dipilih memiliki efek terapi yang
sesuai dengan jenis penyakitnya.
Tindakan pengobatan dilakukan dengan rasionalisasi dalam penggunaan obat-obatan
terutama antibiotika. Pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu, seperti ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan obat, ketepatan cara pemakaian
obat dan dosis obat serta ketepatan penilaian kondisi pasien.
Dampak negatif dari tidak sesuainya pemilihan antibiotika adalah resistensi. Pemilihan
terapi antibiotika yang tepat sangat berpengaruh pada keberhasilan terapi yang dilakukan.
Disamping itu, ketepatan terapi antibiotika sangat diperlukan untuk meminimalkan
resiko terjadinya resistensi yang merupakan masalah besar dalam terapi antibiotika.
Pemilihan antibiotika seharusnya mempertimbangkan kejadian resitensi yang sudah
terjadi di rumah sakit dan mempertimbangkan kejadian resistensi yang kemungkinan
selanjutnya akan terjadi.
Jenis dan Golongan Antibiotika
Tabel 5. Antibiotika yang digunakan pada Pasien Penderita ISK
No Golongan Jenis Obat Jumlah
Persentase Obat kasus
Jenis Gol. Obat
1
2
Sefalosporin
Generasi
Ketiga
Kuinolon
3
Penisilin
4
Kombinasi
Sefalosporin
dan
Penisilin
Seftriakson
Sefotaksim Sefiksim
Siprofloksasin
Levofloksasin
Amoksisilin Ampisilin
SefoperazoneSulbaktam
Total
40
3
2
35
4
3
1
7
95
Obat (%)
42, 11
3,16
2,10
36,84
4,21
3,16
1,05
7,37
100
Persentase
(%)
47,37
41,05
4,21
7,37
100
Berdasarkan hasil pengobatan dan penggunaan antibiotik pada pasien ISK dapat
diketahui macam dan golongan antibiotika yang digunakan pada pasien di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016.
Tabel 5 menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan yaitu seftriakson.
Seftriakson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, dengan sifat antilaktamase dan umumnya
aktif terhadap gram negatif dan sangat stabil terhadap betalaktamase.
Tingginya penggunaan seftriakson kemungkinan disebabkan karena seftriakson memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
98
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
diberikan satu kali sehari. Selain itu seftriakson yang dibeikan secara infus atau bolus
sehari sekali tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi obat
dalam darah, baik pada pasien dengan kondisi ginjal normal, maupun pada pasien dengan
kondisi gangguan ginjal. Seftriakson juga memiliki kemampuan untuk berpenetrasi
keseluruh jaringan dan melintasi sawar otak sebagai terapi penangangan infeksi berat.
Seftriakson sebenarnya diindikasikan untuk infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran
nafas atas, infeksi kulit dan jaringan lunak serta infeksi saluran kemih.
Dosis Antibiotika
Tabel 6. Dosis Antibiotika yang diberikan pada Pasien Penderita ISK
No
Jenis Obat
Jenis
Jumlah Pasien
Dosis Pasien
Sedian
1
Seftriakson
Injeksi
19
1 x 1000 mg
19
2 x 1000 mg
1
2 x 800 mg
2
Sefotaksim
Injeksi
1
3 x 330 µg
1
3 x 300 mg
1
3 x 500 mg
3
Sefiksim
Sirup
1
2 x ¾ cth
1
2 x ½ cth
4
Siprofloksasin
Tablet
4
2 x 500 mg
Infus
1
26
1
4
2 x 100 mg
2 x 200 mg
2 x 250 mg
2 x 400 mg
Levofloksasin
Tablet
3
1 x 500 mg
Amoksisilin
Infus
Sirup
1
1
1 x 500 mg
3 x 250 mg/mL
3 x 250 mg
Injeksi
3
5
6
7
8
Ampisilin
Injeksi
1
3 x 500 mg
Kombinasi
Injeksi
7
2 x 1000 mg
Sefoperazone
Sulbaktam
Dosis adalah takaran atau ukuran pemberian obat kepada pasien. Dosis sangat berperan
penting dalam terapi penyembuhan pasien. Hal ini disebabkan bila ukuran dosis yang
digunakan tidak sesuai maka terapi yang diberikan kepada pasien tidak akan terwujud
karena takaran dosis yang tidak tepat. Dosis pada terapi sediaan antibiotik sangat
berperan penting karena apabila dosis pada sediaan antibiotik tidak sesuai maka akan
menyebabkan resistensi pada bakteri. Dosis dan yang diberikan pada pasien penderita
penyakit ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) dapat dilihat pada tabel 6.
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
99
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Ketepatan Penggunaan Antibiotik
Penyakit
Tabel 7. Ketepatan Indikasi Penyakit
No
Ketepatan Indikasi
Jumlah Kasus
1
Tepat Indikasi
87
2
Tidak tepat Indikasi
Jumlah
87
Ketepatan Indikasi
Persentase (%)
100
100
Pemberian obat diberikan sesuai terapi yang spesifik terapi obat terutama antibiotik yang
diberikan untuk eradikasi infeksi harus sesuai dengan indikasi setiap pasien (Kemenkes
RI, 2011). Terapi antibiotik dapat diberikan apabila pasien terdiagnosis infeksi atau
terdapat tanda atau gejala infeksi.
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien mengalami gejala yang menunjukan terjadinya
infeksi saluran kemih. Pasien juga melakukan pemeriksaan laboratorium dengan sampel
urin, yang menunjukan leukosuria, hematuria, positif nitrit dan bakteri yang artinya
pasien terinfeksi bakteri pada area saluran kemih. Terapi yang sesuai dengan gejala yaitu
terapi antibiotik dan berdasarkan tabel 7 ketepatan indikasi sebesar 100%.
Ketepatan Pemilihan Obat
Tabel 8. Ketepatan Pemilihan Obat
No
Ketepatan Obat
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Tepat Obat
83
95,40
2
Tidak tepat Obat
4
4,60
Jumlah
87
100
Pemilihan obat secara tepat berdasarkan diagnosis, kondisi pasien, dan spektrum
mikroorganisme penginfeksi (Kemenkes RI, 2011) Pasien dengan indikasi infeksi
saluran kemih dengan sebagian besar bakteri penyebab merupakan bakteri gram negatif
maka terapi yang diberikan juga harus terapi antibiotik untuk bakteri gram negatif
(spektrum sempit) namun apabila tidak dilakukan kultur bakteri pada urin maka dapat
diberikan antibiotik spektrum luas (BPOM, 2014). Ketepatan dalam pemilihan obat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik (WHO, 2014). Berdasarkan
pedoman diagnosis dan terapi di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC), terapi
untuk infeksi saluran kemih bawah yaitu ampisilin, trimetoprim-sufametoksazol,
florokuinolon, sefpodoksim, dan amoksisilin-klavulanat selama 3 hari dengan terapi
parenteral minimal 48 jam, namun apabila disertai leukosuria maka diberikan terapi
konvensional selama 5-10 hari. Sedangkan terapi untuk infeksi saluran kemih atas yaitu
sebagai terapi awal selama 48-72 jam diberikan secara parenteral sebelum diketahui
mikroorganisme sebagai penyebabnya yaitu florokuinolon, aminoglikosida dengan atau
tanpa ampisilin dan sefalosporin dengan spektrum luas dengsan atau tanpa
aminoglikosida, ampisillin yang dikombinasi dengan gentamisin, ampicillin sulbaktam,
dan trimetoprim-sulfametoksazol.
Berdasarkan tabel 8 ketepatan pemilihan obat pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda
Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 95% atau 83 kasus dan
ketidak tepatan pemilihann obat sebesar 4,60% atau 4 kasus. Dikatakan tidak tepat karena
pada 4 kasus tersebut diberikan injeksi seftriakson dan injeksi stabactam yang merupakan
kombinasi sulfabaktam Na dan sefoperazone Na, hal ini tidak sesuai dengan pedoman
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
100
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
yang digunakan. Dimana berdasarkan pedoman yang digunakan seftriakson dan
kombinasi sulfabaktam Na dan sefoperazone Na dindikasikan untuk infeksi saluran
kemih atas. Namun dalam hal ini dokter memiliki pertimbangan lain dalam pemilihan
antibiotik dimana antibiotik yang digunakan masih memiliki mekanisme kerja yang
sama yaitu menghambat dinding sel dari bakteri pencetus penyakit. Ketidak sesuaian
yang terjadi bukan melanggar dari pedoman yang ada namun pemilihan antibiotik yang
digunakan masih dalam satu turunan atau memiliki mekanisme kerja yang sama terhadap
bakteri.
Namun berdasarkan Permenkes (2011), penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida
dan kuinolon untuk pasien ISK dengan penyakit penyerta diabetes melitus tidak tepat
karena dapat meningkatkan efek hipoglikemik dari obat antidiabetik oral, jadi sebaiknya
antibiotik tersebut tidak diberikan pada pasien ISK dengan penyakit penyerta diabetes
mellitus. Ketepatan Dosis
Tabel 9. Ketepatan Dosis
No
Ketepatan Dosis
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Tepat Dosis
87
100
2
Tidak tepat Dosis
Jumlah
87
100
Penatalaksanaan terapi untuk infeksi saluran kemih, setiap pasien harus memenuhi
ketepatan dosis sehingga efek terapi yang diharapkan dapat tercapai (Humaida, 2014).
Pemberiaan antibiotik dengan dosis berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya efek
samping pada pasien. Pemberiaan antibiotik dengan dosis yang kurang akan
mengakibatkan tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan dan antibiotik menjadi
tidak berefek karena tidak mencapai KHM (Kadar Hambat Minimum) sehingga
mikroorganisme yang menginfeksi tidak mati. Pemberiaan dosis yang tidak tepat dapat
meningkatkan resiko resistensi bakteri yang tersisa dalam tubuh (Lisni, 2015).
Dalam upaya mencegah terjadinya resistensi antibiotik, pemberian dosis harus
disesuaikan dengan kondisi tiap individu, keparahan infeksi, mikroorganisme yang
menyebabkan, profil farmakokoinetik dan farmakodinamik obat tersebut. Selama terapi
dengan dosis tertentu diberikan kepada pasien, perlu dilakukan monitoring berkelanjutan
untuk melihat pencapaian terapi setelah pemberian antibiotik dengan dosis tersebut
sehingga dapat menentukan perlu atau tidaknya penyesusaian dosis kembali (With,
2016).
Berdasarkan tabel.9 ketepatan pemilihan obat pada pasien ISK di Rumah
Sakit Samrinda Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 100%
berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit. Ketepatan Interval Pemberian
Tabel 10. Ketepatan Interval Pemberian
No
Ketepatan Interval
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Tepat Interval Pemberian
87
100
2
Tidak tepat interval
pemberian
Jumlah
87
100
Dalam pemberian terapi antibiotik perlu memperhatikan interval waktu pemberian
antibiotik kepada pasien. Interval waktu pemberian merupakan jarak waktu dari
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
101
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
pemberiaan antibiotik yang pertama dengan pemberiaan ke dua, ke tiga, dan selanjutnya
(Kemenkes, 2011). Hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah kadar antibiotik dalam
darah kurang dari kadar terapetik yang memungkinkan bakteri dapat kembali
beregenerasi dan menjadi resisten terhadap antibiotik terapi (Amin, 2014).
Menurut Kemenkes (2011), pemberian interval yang tidak tepat pada terapi antibiotik
dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi beregenerasi menjadi lebih kuat sehingga
menjadi resisten terhadap antibiotik yang diberikan, selain itu aktivitas antibiotik dalam
tubuh akan tidak maksimal.
Leekha (2011), mengungkapkan aktivitas farmakodinamik antibiotik bergandung pada
konsep antibiotik time-dependent vs concentration-dependent, artinya kerja antibiotik
akan maksimal apabila interval pemberian antibiotik tepat.
Berdasarkan tabel 10 ketepatan interval waktu pemberiaan pada pasien ISK di Rumah
Sakit Samrinda Medika Citra Periode Desember 2014 – Desember 2016 sebesar 100%
berdasarkan pedoman yang digunakan rumah sakit.
Ketepatan Durasi Pemberian
Pemberian antibiotik harus selalu memperhatikan durasi atau lama pemberian antibiotik,
apabila durasi pemberiaan tidak tepat dapat mempengaruhi hasil pengobatan pasien.
Antibiotik merupakan salah satu obat yang durasi pemberiannya harus diperhatikan agar
bakteri penyebab ISK dapat terbunuh seluruhnya sehingga resiko resistensi antibiotik
dapat diturunkan (White, 2011).
Tabel 11. Ketepatan Durasi Pemberian
No
Ketepatan Durasi
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Tepat
Durasi
82
94,25
Pemberian
2
Tidak tepat Durasi
5
5,75
pemberian
Jumlah
87
100
Berdasarkan tabel 11 menunjukan sebesar 94,25% ketepatan durasi pemberian antibiotik
dan sebesar 5,75% ketidak tepatan durasi pemberian antibiotik berdasarkan pedoman
yang digunakan rumah sakit.
Ketidak tepatan durasi yang dimaksud adalah lama pemberiaan yang kurang atau terlalu
cepat sehingga terapi yang dijalani pasien terlalu singkat. Robinson (2014) menyatakan
bahwa durasi terapi antibiotik ISK minimal 72 jam apabila kurang dari 72 jam terapi
dihentikan dapat menyebabkan keterulangan infeksi sebab bakteri penyebab ISK belum
terbunuh sepenuhnya. Ketidak tepatan lama pemberian terapi antibiotik dapat terjadi
karena kondisi pasien yang telah membaik, faktor finansial pasien serta pihak keluarga
pasien meminta untuk pulang.
Ketepatan Rute Pemberian
Tabel 12. Ketepatan Rute Pemberian
No
Ketepatan Rute
Jumlah Kasus
1
Tepat
Rute
83
Pemberian
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
Persentase (%)
95,45
102
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
2
Tidak tepat Rute
Pemberian
Jumlah
4
4,60
87
100
Berdasarkan tabel 12 menunjukan sebesar 95,40% ketepatan rute pemberian antibiotika
dan sebesar 4,60% ketidak tepatan rute pemberian antibiotika berdasarkan pedoman
yang digunakan rumah sakit.
Ketidak tepatan rute pemberian yang dimaksud yaitu berdasarkan pedoman yang
digunakan rumah sakit Samarinda Medika Citra (SMC) sebagai terapi awal untuk ISK
diberikan antibiotika secara parenteral selama 48-72 jam, sedangkan untuk 4 kasus terapi
awal untuk ISK diberikan secara peroral. Hal ini mungkin terjadi karena keadaan pasien
memungkinkan untuk menggunakan obat secara peroral. Selain itu beberapa antibiotika
juga dapat diserap dengan baik pada pemberian peroral dan efektif untuk ISK (Kemenkes
RI, 2014).
Kesesuaian Penggunaan Antibiotik pada pasien ISK
Tabel 13. Kesesuaian Penggunaan Penggunaan obat Antibiotik Pada Pasien ISK
No
Keterangan
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1
Sesuai
74
85
2
Tidak Sesuai
13
15
Jumlah
87
100
Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika
Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi Rumah
Sakit Samarinda Medika Citra (SMC).
Berdasarkan tabel 13 persentase penggunaan obat antibiotika yang sesuai yaitu sebesar
85% dan yang tidak sesuai sebesar 15%.
Efektivitas Penggunaan Antibiotik
Tabel 14. Efektivitas Penggunaan Obat Antibiotika pada Pasien ISK dengan
Parameter Leukosuria dan Suhu
Awal
Parameter
Terapi
Nilai
normal Normal
Akhir
Diatas
%
Normal
Normal
Leukosuria
Suhu
16/LPB 36 ⁰C
25
100
38
Diatas
%
Normal
25
100
-
100
38
-
100
37,5
Tabel 15. Efektivitas Penggunaan Obat Antibiotik dengan Parameter Nyeri
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
103
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Parameter
Terapi
Nyeri
Awal
Akhir
87
kasus 87 kasus berkurang rasa
mengeluhkan nyeri
nyeri dan hilang
Efektivitas antibiotik adalah pengukuran keberhasilan penggunaan antibiotik pada pasien
guna meningkatkan taraf hidup dari pasien. Efektivitas penggunaan antibiotik sendiri
dapat diloihat berdasarkan keberhasilan dalam menyembuhkan pasien. Berdasarkan
obat-obatan yang digunakan pada terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah Sakit
Samarinda Medika Citra (SMC) terdapat berbagai macam variasi antibiotik yang
digunakan pada pasien. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan didapatkan bahwa
antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson dan antibiotik
golongan kuinolon yaitu siprofloksasin yang banyak digunakan sebagai terapi. Tabel
efektivitas penggunaan antibiotik pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda Medika
Citra (SMC) periode Desember 2014 – Desember 2016 dapat dilihat pada tabel 14 dan
15
Dari tabel 14 dan tabel 15 dapat dilihat bahwa parameter yang digunakan adalah
leukosuria dari pasien serta suhu tubuh dari pasien selain itu parameter lain yang
digunakan adalah nyeri yang diderita pasien. Leukosuria atau piuria merupakan salah
satu petunjuk penting terhadap dugaan adanya ISK. Leukosuria dinyatakan positif
bilamana terdapat lebih dari 6 leukosit/Lapang Pandang Besar (LPB) sedimen air kemih.
Dari 87 kasus tidak semua pasien melakukan uji urinalisa secara berkala. Hal ini mungkin
disebabkan karena jumlah leukosit pada pemeriksaan awal sudah di batas normal
sehingga tidak dilakukan lagi pemeriksaan ulang. Namun ada pula pada pemeriksaan
awal jumlah leukosit di atas batas normal, tetapi tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Hal
ini mungkin terjadi disebabkan oleh biaya yang mahal dalam pemeriksaan laboratorium.
Parameter selanjutnya demam yang dapat dilihat dari suhu atau temperatur tubuh pasien.
Bila infeksi di dalam tubuh terjadi maka suhu tubuh akan meningkat seiring besarnya
infeksi menyebar hal ini merupakan sistem pertahanan tubuh guna mengetahui seberapa
jauh infeksi terjadi. Parameter terakhir adalah nyeri, nyeri digunakan sebagai parameter
karena sebagian besar penderita ISK mengeluhkan nyeri khususnya pada perut bagian
bawah atau saat buang air kecil serta nyeri pinggang. Oleh sebab itu nyeri dapat
digunakan sebagai parameter selain leukosuria dan demam. Dari tabel diatas didapatkan
hasil bahwa 100% pasien mengalami pemulihan yaitu di tandai dengan kembalinya kadar
leukosuria ke batas normal, kembalinya suhu tubuh kekeadaan normal dan rasa nyeri
yang berkurang dan hilang setelah mendapatkan terapi.
Keberhasilan dari terapi disini bukan dilihat dari dan hilangnya bakteri secara
menyeluruh melainkan hilangnya gejala-gejala dari ISK. Selain itu evaluasi ulang perlu
untuk dilakukan dengan kecurigaan adanya kelainan anatomi atau struktural dapat mulai
dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang kali dalam waktu 6 bulan.
Hal ini dilakukan guna meningkatkan taraf hidup dari pasien.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat diambil kesimpulan dari
penelitian ini adalah :
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
104
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
a.
Angka kejadian ISK terbesar pada jenis kelamin wanita (79%) dibandingkan jenis
kelamin pria (79%) dengan rentan usia 17 tahun – 35 tahun. Angka kejadian ISK
tanpa penyakit penyerta (69%) lebih besar dibandingkan angka kejadian ISK tanpa
penyakit penyerta (31%), begitu pula angka kejadia ISK atas (77%) lebih besar
dibandingkan ISK bawah (23%).
b.
Kesesuaian penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda
Medika Citra (SMC) belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman diagnosis dan
terapi Rumah Sakit Samarinda Medika Citra (SMC).
c.
Efektivitas penggunaan antibiotika pada pasien ISK di Rumah Sakit Samarinda
Medika Citra (SMC) sepenuhnya efektif berdasarkan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Amin, L.Z. 2014. Pemilihan Antibiotik yang Rasional. Medicinus, 27(3), 40-15
Barry M. J. et al. 2011. UA Guideline on Management of Benign Prostate
Hyperplasia.The Journal of Urology, Vo1.185.
Bint, A. J dan Berington, A. W. 2003.Urinary Tract Infection, in Walker, R., Edward, C.
(Eds.),Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3 edition. Churchill Livingstone :
London.
Black, J.M. & Hawks, J.H. 2009.Medical–surgical nursing. Clinical management for
positive outcomes. Eighth edition. St. Louis : Saunders, an imprint of Elsevier,
Inc.
Coyle, E.A dan Prince, R. A. 2005. Urinary Tract Infection, in Dipiro J.T., et al,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th. Appleton&Lange,
Stamford.
Dipiro, J.t., Wells, B.G., Dipiro, C.V., Schwinghammer, T. L. 2015. Pharmacotherapy
Handbook. Ninth Edition. USA: McGraw-Hill Education
Gilman dan Goodman. 2011. The Pharmacological Basis Of Therapeutic 12 Edition.
New York: Mc Graw Hill Medical
Humaida, R. 2014. Strategy to Handle Resintance Of Antibiotics. J Majority, 3(7),
133-120
Katzung, MD, PhD dan Bertram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi 10.Jakarta:
EGC
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kemenkes
RI
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
Nomer 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Kesehatan Primer. Jakarta
Leekha, S, et al. 2011. General Principles af Antimicrobial Therapy. Mayo Clin Pro.,
86(2):156-167
Lisini, I, et al. 2015. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis di Rumah
sakit di Kota Bandung. Jurnal Farmasi Galenika. Vol. 02. No. 01. 43-45
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
105
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Nguyen HTMD. Bacterial Infection of TheGenitourinary Tract.p: 193-218.Dalam
Brounwald E, Fauci AS,Kasper DL, Huser SL, Longo DL,Jameson JL.2003.
HarisonPrinciple of Internal Medicine15thEdition. McGrawhill. USA
Pranoto, Eko. et al. 2012. Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RSUD
Banyumas. Jurnal Pharmacy. Vol 9. No. 02. ISSN 1693-3591
Robinson, J.L. et al. 2014. Urinary Tract Infection in Infants and Chilidren: Diagnosis
and Management. Paediatr Child Health, 9(6), 315-19
Saleem M. & Daniel, B. 2011. Prevalence of urinary tract infection among patients with
diabetes in Bangalore City. International Journal of Emerging. Sciences, 1(2),
133–142
Siregar,Charles J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit : teori dan penerapan. EGC : Jakarta.
Speakman M. J. 2008. Lower Urinary Tract Symptom Suggestive of Benign Prostate
Hyperplasia (LUTS/BPH) : More Than Treating Symptoms. European Urology
Supplements 7th Edition.680-589.
Sukandar, E. 2004. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal:553-557
Suwitra.K dan Mangatas. 2004. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Jilid 1. Edisi Keempat. Jakarta: FK UI
White, B. 2011. Diagnosis and Treatment of Urinary Tract Infection in Children . Am
Fam Physician. 83(4). 409-415
With, K. D, et al. 2016. Strategies to Enhance Rational Use of Antibiotics in Hospital: A
Guideline by the German Society for Infectious Diseases. Infection. 44, 395-439
World Healh Organization (WHO). 2014. Antimicrobial Resistence. Global Report on
Survellance. World Healh Organization.
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA BERDASARKAN KONTRAINDIKASI,
EFEKSAMPING, DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH DI RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2005
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
106
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Fajar Prasetya
Kelompok Bidang Ilmu Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
The non-TBC lower respiratory infection is a kind of infection that can attack bronchus, bronchioles
and lung, the clinical manifestation can chronicle and severe. Generally the caused in children is virus
and bacteria while in adult is bacteria, which is using antibiotics in medical attention. The purpose of
research is to find out the infection pattern and the kind of antibiotics and to evaluate the using
antibiotics based on effectivity. The non-experimental research that was form in a retrospective survey
was done through medical record of patient with the lower respiratory infection in the time limit of
January-June 2005 in Panti Rapih Hospital. The using of antibiotics was surveyed from medical
record then analyzed using quantitative descriptive and presented in percentage. The results obtained
showed that the contraindications and adverse reactions of drugs are not found, the incidence of drug
interactions by 22 (16%) of 137 cases and of 29 types of antibiotics are used there are 7 species (24%)
of potential antibiotic drug interactions. Several cases of potential interactions occurs not show
clinical manifestations in patients. To avoid unwanted adverse reactions serum creatinine should be
monitored especially in the use of aminoglycoside antibiotics group.
Keywords: lower respiratory infection, usage, antibiotics evaluation, contraindications, adverse
reactions, interactions
ABSTRAK
Infeksi saluran pernapasan bawah non TBC merupakan suatu golongan infeksi yang dapat menyerang
bronkus, bronkiolis, dan paru, manifestasi kliniknya dapat bersifat akut dan kronis. Umumnya pada
anak-anak penyebabnya adalah virus dan bakteri serta pada orang dewasa penyebabnya adalah bakteri,
yang dalam pengobatannya menggunakan antibiotika. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
penggunaan antibiotika berdasarkan kontraindikasi, efek samping, dan interaksi obat. Penelitian non
eksperimental yang berbentuk survei retrospektif dilakukan melalui rekam medik pasien dengan
infeksi saluran pernapasan bawah yang menjalani rawat inap pada kurun waktu Januari-Juni 2005 di
RS Panti Rapih Yogyakarta. Penggunaan antibiotika dikaji dari data rekam medik kemudian dianalisis
secara deskriftif kuantitatif yang dinyatakan dengan presentase. Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukan bahwa kontraindikasi dan efek samping obat tidak ditemukan, kejadian interaksi obat
sebesar 22 (16%) dari 137 kasus dan dari 29 jenis antibiotika yang digunakan terdapat 7 jenis (24%)
2011. Vol 1. No. 2.
antibiotika yang potensial terjadi interaksi obat. Beberapa kasus interaksi yang potensial terjadi tidak
menunjukan manifestasi klinik pada pasien. Untuk menghindari efek samping yang tidak dikehendaki
perlu dilakukan monitoring serum kreatinin terutama pada penggunaan antibiotika golongan
aminoglikosida.
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
107
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Kata Kunci:
infeksi saluran pernapasan bawah, penggunaan, evaluasi antibiotika, kontraindikasi,
efek samping, interaksi
Panti Rapih Yogyakarta selama periode
Januari-Juni 2005, ditemukan 214 kasus
dengan berbagai jenis antibiotika yang
PENDAHULUAN
digunakan.
Infeksi saluran pernafasan bawah non TBC
merupakan suatu golongan infeksi yang dapat
Banyaknya jenis antibiotika yang beredar saat
menyerang bronkus, bronkiolus dan paru,
ini dan adanya kuman yang resisten terhadap
manifestasi klinisnya dapat bersifat akut dan
beberapa antibiotika, dan di satu sisi
kronis.
Umumnya
pada
anak-anak
pengembangan antibiotika untuk terapi infeksi
penyebabnya adalah virus dan bakteri, pada
saluran pernafasan telah banyak menurunkan
orang dewasa penyebabnya adalah bakteri [1].
morbiditas dan mortalitas menyebabkan
Saluran pernafasan bawah sangat mudah
pemilihan antibiotika yang efektif, efisien,
terkena infeksi oleh bermacammacam
aman dan sedikit efek samping pada pasien
mikroorganisme, karena ia adalah salah satu
infeksi saluran pernafasan semakin kompleks
sistem organ yang berhubungan lansung
yang memerlukan berbagai pertimbangan baik
dengan lingkungan [2].
dari segi kualitas maupun harga yang
Infeksi saluran pernapasan merupakan
penyakit yang banyak diderita masyarakat.
Survey kesehatan rumah tangga (2001)
menunjukan bahwa 36 % kematian bayi dan 13
% kematian anak balita disebabkan oleh ISPA,
juga disebutkan bahwa sebagian besar
mortalitas ISPA disebabkan oleh pneumonia.
Di daerah Istimewa Yogyakarta infeksi saluran
pernafasan bawah merupakan 6,32 % dari
seluruh penyakit, dan merupakan 9,04 %
penyakit penyebab kematian. Insidensi tahunan
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
infeksi saluran pernafasan bawah relatif masih
sangat tinggi dinegara sedang berkembang
seperti Indonesia.
Rachmatullah [3] menyebutkan bahwa infeksi
saluran pernafasan bawah banyak ditemukan di
Indonesia dengan angka kesakitan dan
kematian yang cukup tinggi. Hal ini sangat
berbeda dengan insidensi infeksi saluran
pernafasan bawah di Amerika serikat relatif
sudah rendah, yaitu 4 juta kasus pneumonia
pertahun, hanya satu juta diantaranya perlu
perawatan rumah sakit [4].
Dari penelusuran awal yang dilakukan terhadap
pasien rawat inap dengan diagnosis infeksi
saluran pernapasan bawah di Rumah Sakit
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
terjangkau, walaupun dilakukan secara
empirik. Selain itu penentuan diagnosis yang
tepat sangat diperlukan agar penggunaan
obatnya bisa rasional yaitu: tepat indikasi, tepat
penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada
terhadap efek samping obat.
Pengaruh interaksi beberapa macam obat yang
kita konsumsi secara bersamaan, atau yang
lebih dikenal dengan istilah interaksi obat,
merupakan salah satu kesalahan pengobatan
92
yang paling banyak dilakukan saat ini. Namun,
biasanya kesalahan pengobatan karena
interaksi obat ini jarang terungkap, karena
kekurang-pengetahuan kita, baik dokter,
apoteker, apalagi pasien tentang hal ini.
Jika terjadi kegagalan pengobatan, umumnya
sangat jarang dikaitkan dengan interaksi obat.
Padahal kemungkinan terjadinya interaksi obat
ini cukup besar, terutama pada pasien yang
mengonsumsi lebih dari 5 macam obat pada
saat yang bersamaan. Pada saat ini lebih dari 25
jenis obat baru dilempar ke pasar setiap
tahunnya. Dan, tampaknya hampir mustahil
jika seorang dokter atau apoteker harus
menghafalkan dan menguasai masalah
interaksi obat dari sekian ribu macam obat
108
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
yang beredar sekarang ini. Sebab itu setiap
pusat pengobatan modern, apakah itu rumah
sakit, puskesmas atau praktek dokter pribadi,
dan juga apotek, sebaiknya atau bahkan
seharusnya memiliki akses paling tidak ke
salah satu pusat data interaksi obat. Agar
berbagai macam obat yang diberikan kepada
pasien dapat diperhitungkan terlebih dahulu
dengan seksama kemungkinan interaksinya.
Ketika dua atau lebih obat dikonsumsi secara
bersamaan, akan ada kemungkinan terjadi
interaksi. Interaksi yang terjadi ini bisa
menambah atau mengurangi efektivitas
maupun efek samping obat. Bahkan bisa saja
interaksi menyebabkan adanya efek samping
baru, yang seharusnya tidak muncul jikalau
obat dikonsumsi secara tidak bersamaan.
Secara teori, peluang terjadinya interaksi obat
sebanding dengan jumlah obat yang
dikonsumsi. Karena itu, seseorang yang mengkonsumsi beberapa obat dalam waktu
bersamaan, kemungkinan memiliki risiko
terjadinya interaksi cukup besar. Adanya
interaksi obat juga bisa menyebabkan
peningkatan biaya karena adanya kemungkinan
efek samping yang harus ditangani. Selain itu
interaksi obat juga bisa saja menyebabkan
munculnya penyakit yang seharusnya bisa
dicegah.
memberatnya penyakit atau timbulnya
penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik),
efek psikologik terhadap penderita yang akan
mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut
misalnya menurunnya kepatuhan berobat.
Sayangnya tidak semua efek samping dapat
dideteksi secara mudah dalam tahap awal,
kecuali kalau yang terjadi adalah bentukbentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali
secara klinis.
Kontraindikasi berkaitan dengan efek samping
yang merugikan, walaupun informasi tentang
kontraindikasi dari obat mudah didapatkan,
tetapi
tidak
secara
langsung
kasus
kontraindikasi dapat dipastikan tidak terjadi.
Akan diketahui apakah efek samping yang
muncul dari penggunaan antibiotik terkait
dengan pelanggaran dari kontraindikasi.
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk
menyebabkan efek samping, oleh karena
seperti halnya efek farmakologik, efek samping
obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat
kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh.
Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara
ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh
buruk terhadap sistem biologik tubuh.
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak
dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena
kemungkinan dampak negatif yang terjadi,
misalnya Kegagalan pengobatan, Timbulnya
keluhan penderitaan atau penyakit baru karena
obat (drug-induced disease atau iatrogenic
disease), yang semula tidak diderita oleh
pasien, Pembiayaan yang harus ditanggung
sehubungan dengan kegagalan
terapi,
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
109
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Berdasarkan hal yang disebut di atas, maka
perlu dilakukan suatu penelitian untuk
melakukan evaluasi kejadian dan kemungkinan
interaksi, efek samping, dan kontraindikasi
pada penggunaan antibiotik dengan infeksi
pernapasan bawah di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta periode Januari-Juni 2005.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian non
eksperimen dilakukan dengan rancangan
deskriptif evaluatif melalui penelusuran data
secara retrospektif terhadap rekam medik
penderita infeksi saluran pernapasan bawah
yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta selama kurun waktu Januari
hingga Juni 2005. Diambil seluruh kasus yang
memenuhi kriteria inklusi. Ditempuh tahaptahap penelitian yang merupakan urutan
kegiatan.
Bahan penelitian berupa catatan rekam medik
pasien rawat inap dengan diagnosis infeksi
saluran pernafasan bawah yang dirawat di RS
Panti Rapih Yogyakarta selama kurun waktu
Januari hingga Juni 2005 yang mendapat terapi
anti-biotika, hasil pemeriksaan radiologi, hasil
pemeriksaan laboratorium (hasil kultur dan
sensitivitas tes, hasil sputum, hasil
pemeriksaan darah lengkap).
Alat dalam penelitian ini adalah berupa
formulir penelitian terstruktur untuk mencatat
data rekam medik penderita infeksi saluran
pernapasan bawah. Data yang dikumpulkan
dicatat dalam form penelitian meliputi identitas
pasien, riwayat penyakit pasien, diagnosis,
tanda-tanda vital, pemakaian antibiotika,
pemakaian
obat
lain,
pemeriksaan
laboratorium (sputum, kultur, sensitivitas dan
darah lengkap), pemeriksaan radiologi. Alat
penelitian lain berupa SPM RS Panti Rapih
Yogyakarta tahun 1998, pedoman penggunaan
antibiotik untuk infeksi saluran pernafasan
bawah oleh WHO tahun 2003, dan referensi
standar terapi yang berkaitan dengan penelitian
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
ini, yaitu untuk infeksi saluran pernapasan
bawah.
Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap.
Tahap pertama adalah proses penelusuran dan
pengumpulan data. Tahap kedua adalah proses
pengolahan data. Tahap ketiga adalah analisis
dan evaluasi data, dan tahap keempat adalah
pengambilan kesimpulan dan saran.
PEMBAHASAN
Evaluasi Kontraindikasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek
samping dan kontraindikasi pemakaian
antibiotika, namun karena catatan khusus
mengenai efek samping obat tidak tersedia
serta lebarnya variasi efek samping obat antara
satu pasien dengan yang lainnya, maka
penelitian ini hanya bisa mendeteksi
kontraindikasi dan kemungkinan telah
terjadinya efek samping berupa nefrotoksisitas.
Pada penelitian ini dari total jumlah 132 pasien,
walaupun kasus terbesar pada pasien dengan
umur anak-anak 0-14 tahun
(52%), tidak ditemukan kasus kontraindikasi
pada anak-anak khususnya penggunaan
antibiotika fluorokuinolon (perfloksasin dan
fleroksasin) yang dikontraindikasikan atau
tidak dianjurkan penggunaannya pada anakanak.
Fauzar (2003) mengatakan bahwa antibiotika
golongan fluorokuinolon dikontraindikasikan
penggunaannya pada anak-anak berumur
kurang dari 16 tahun, karena dapat
menyebabkan arthropathy meskipun hal ini
masih belum cukup bukti yang meyakinkan,
karena keterbatasan uji klinik namun pada
binatang percobaan kelainan tersebut terjadi.
Doherty (2000) pada penelitian penggunaan
siprofloksasin pada pasien anak berumur
kurang dari 6 tahun setelah diamati selama 6
bulan didapatkan hasil yang tidak signifikan
110
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
pada timbulnya efek samping pada sendi atau
gangguan
pertumbuhan
anak. Namun
memperhatikan pada binatang percobaan,
kelainan tersebut terjadi maka penggunaan
kuinolon disarankan hanya digunakan pada
kasus infeksi berat dimana antibiotika lain
tidak efektif.
Pada penelitian ini dari jumlah total 137 kasus
dengan infeksi saluran pernapasan bawah tidak
ditemukan penggunaan antibiotika yang
dikontraindikasikan pada anak-anak dan tidak
ditemukan penggunaan antibiotika yang
dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pada
penelitian ini terdapat pasien dengan usia lanjut
> 65 tahun (21%) tidak ditemukan penggunaan
antibiotika yang dikontraindikasikan kecuali
pasien hipersensitif. Hal ini memperlihatkan
bahwa
klinisi
cukup
peduli
dalam
mempertimbangkan adanya kontraindikasi
penggunaan antibiotika pada pasien anakanak
dan wanita hamil.
Evaluasi mengenai kontra-indikasi ini, dapat
dijadikan sebagai gambaran keamanan
penggunaan antibiotika di Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta, namun terbatas hanya pada
data yang ada di dalam rekam medis pasien.
Efek Samping Obat
Selain kontraindikasi pe-makaian, aspek lain
juga berkaitan dengan keamanan penggunaan
antibiotika adalah kejadian efek samping obat
yang dapat mempengaruhi atau memperburuk
kondisi pasien. Beberapa efek samping yang
dapat muncul dengan antibiotika antara lain
diare, mual, muntah, gangguan ginjal, hati dan
lain-lain. Namun karena alasan yang dijelaskan
diatas, maka dalam penelitian ini hanya dapat
melihat kemungkinan efek samping obat yang
telah terjadi, yang dilihat berdasarkan
pemeriksaan laboratorium (dalam hal ini serum
kreatinin) karena efek samping yang ingin
dilihat adalah nefrotoksisitas yang disebabkan
oleh antibiotika golongan aminoglikosida.
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
Barza dkk (1996) menjelaskan peningkatan
nilai kreatinin serum pasien sebesar 50% diatas
base line (sebelum terapi dengan antibiotika
yang bersangkutan), dengan memperhatikan
obat lain yang digunakan pasien yang juga
bersifat nefrotoksik. Dari
132 kasus dengan infeksi saluran pernapasan
bawah 29% yang diukur serum kreatininnya
tidak terdapat kasus yang menunjukan
kemungkinan telah terjadinya efek toksik pada
renal akibat penggunaan aminoglikosida.
Evaluasi Interaksi Obat
Dalam penelitian ini, adanya interaksi obat
yang potensial terjadi, dapat digunakan sebagai
salah satu parameter untuk evaluasi keamanan
penggunaan antibiotika pada pasien dengan
infeksi saluran pernapasan bawah. Kejadian
interaksi obat, dapat merupakan interaksi yang
aktual terjadi, maupun interaksi yang potensial
terjadi.
Interaksi obat yang potensial terjadi, berarti
interaksi tersebut secara teoritis dapat terjadi,
tetapi secara aktual belum tentu terjadi.
Penemuan mengenai interaksi obat potensial
yang terjadi adalah sangat penting. Karena
dapat berguna sebagai data sehingga para
klinisi menjadi waspada apabila mem-berikan
terapi obat-obat yang potensial menimbulkan
interaksi.
Evaluasi penggunaan anti-biotika berdasarkan
interaksi obat yang potensial terjadi diambil
dari data terapi pasien yang tercantum dalam
rekam medik, dan tidak dilaporkan adanya
interaksi obat yang terjadi secara klinis.
Interaksi antibiotika dengan antibiotika atau
obat lain secara lengkap dapat dilihat pada tabel
1.
111
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
Dari tabel 1 terlihat ada 7 dari 29 jenis
antibiotika yang digunakan, dimana pada
penelitian ini terdapat penggunaan antibiotika
berinteraksi secara teoritis dengan antibiotika
lain atau dengan obat lain yang ditemukan pada
22 kasus (16%), tetapi tidak diketahui apakah
interaksi tersebut secara klinis terjadi karena
a. Interaksi
antara
fluoro-kuinolon
keterbatasan data penelitian.
-
Antibiotika
Siprofloksasin
Ofkloksasin
Gatifloksasin
Levofloksasin
Tabel 1. Interaksi antibiotika dengan antibiotika atau dengan obat lain
Obat Lain
Jenis Interaksi Obat
Saran
Al & Mg akan membentuk kompleks Berikan kuinolon minimal 2 jam
Antasida
(chelate) dengan fluoroquinolones sebelum atau 4 jam sesudah
(Al(OH)3 +
sehingga sulit diabsorpsi.
pemberian antasida atau garam Fe
Mg(OH)2)
Absorpsi fluoroquinolones menurun dan Zn, bila terpaksa harus
50 – 90 %, sehingga aktivitas diberikan kurang dari itu monitor
antibakteri juga akan menurun 50 – efek terapetik kuinolon yang
90 %
mungkin berkurang
Preparat yang
mengandung Zn
(multivitamin)
Sukralfat
(Al(OH)3)
Sefotaksim
Gentamisin
Seftriakson
Furosemid
Zink akan membentuk kompleks
(chelate) dengan fluorokuinolones
sehingga sulit diabsorpsi.
Absorpsi fluoroquinolones menurun 50
– 90 %
Al akan membentuk kom-pleks
(chelate) dengan fluoroquinolones
sehingga sulit diabsorpsi.
Absorpsi fluoroquinolones menurun 50
– 90 %.
Berikan kuinolon minimal 4 jam
sebelum atau 6 jam sesudah
pemberian sukralfat, bila terpaksa
harus diberikan kurang dari itu
monitor efek terapetik kuinolon
yang mungkin
berkurang
Berefek sinergistik, meningkatkan efek Monitor efek samping dan
nefrotoksik gentamisin
toksisitas dari gentamisin, jika
perlu
mempertimbangkan
penyesuaian dosis sesuai dengan
kondisi klinis pasien.
Furosemid
meningkatkan
efek Furosemid diberikan 3 – 4 jam
nefrotoksik sefalosporin dengan sebelum sefalosporin
meningkatkan half life sefalosporin
25% dan menurunkan klirens
sefalosporin
Pada penelitian ini walaupun dari pengamatan
efektivitas tidak seluruhnya terpengaruh, tetapi
dengan menghindari terjadinya interaksi obat,
diharapkan
bisa
meningkatkan
hasil
pengobatan yang dicapai. Secara rinci interaksi
antara antibiotika dengan antibiotika atau obat
lain adalah sebagai berikut:
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
(ofloksasin,
siprofloksasin,
dan
levofloksasin) dengan antasida (Al dan Mg
hidroksida) terdapat 9 kasus. Antasida
dapat menurunkan absorpsi fluorokuinolon
di usus karena terbentuk chelate, sehingga
menurunkan aktivitas antibakterinya.
Untuk menghindari hal
112
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
tersebut maka antasida diberikan minimal 2 jam sesudah penggunaan antibiotika, walaupun absorpsi
masih berkurang 20–40%. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah sembuh 4 kasus, membaik 2 kasus,
dan belum sembuh/APS 3 kasus. Pemberian antibiotika dengan an-tasida di Rumah Sakit Panti Rapih
pemberiannya sudah dipisahkan.
b. Interaksi antara fluorokuinolon (levofloksasin) dengan sukralfat terdapat pada 1 kasus. Sukralfat dapat
menurunkan absorpsi fluoro-kuinolon di usus karena terbentuk chelate, sehingga menurunkan aktivitas
antibakterinya. Untuk menghin-dari hal tersebut maka sukralfat diberikan minimal 2 jam sesudah
penggunaan antibiotika. Pemberian anti biotika dengan sukralfat di Rumah Sakit panti rapih
pemberiannya sudah dipisahkan.
c. Interaksi antara fluoro-kuinolon (ofloksasin, levo-floksasin, dan gatifloksasin) dengan preparat yang
mengandung zink (multivitamin) terdapat pada 7 kasus. Zink akan membentuk chelate dengan
fluorokuinolon dan akan menurunkan
aktivitas anti-bakterinya. Untuk menghindari hal tersebut maka zink
(multivitamin) diberikan minimal 2 jam sesudah penggunaan antibiotika. Hasil pengobatan pada kasus
ini adalah sembuh 4 kasus, membaik 3 kasus, (tetap) tidak sembuh 1 kasus dan meninggal 1 kasus.
d. Interaksi antara seftriakson dan furosemid terdapat pada 2 kasus. Furosemid dapat meningkatkan 25%
half life dari sefalosporin (seftriakson) dan menurunkan klirens dari sefalosporin, sehingga
meningkatkan efek nefro-toksiknya. Interaksi seftriakson dengan furosemid efek nefrotoksisitasnya
tidak signifikan. Namun pada kasus ini tetap perlu dimonitor fungsi ginjal sebelum dan sesudah terapi,
untuk melihat apakah ada penurunan pada fungsi ginjalnya. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah
membaik.
Interaksi antara sefotaksim dan gentamisin terdapat 2 kasus. Berefek sinergistik namun pada kasus ini
tetap perlu dimonitor fungsi ginjal sebelum dan sesudah terapi, untuk melihat apakah ada penurunan pada
fungsi ginjalnya. Hasil pengobatan pada kasus ini adalah membaik dan tidak sembuh (tetap).
KESIMPULAN
Tidak ditemukan kasus kontraindikasi pada wanita hamil dan penggunaan golongan fluorokuinolon pada
anak-anak yang menggambarkan ketidakamanan sehingga perlu pemantauan terapi. Tidak ditemukan
kasus yang menunjukan kemungkinan telah terjadinya efek toksik pada renal akibat penggunaan
aminoglikosida. Ditemukan 16% kasus potensial interaksi obat pada penggunaan fluorokuinolon dengan
antasida, sukralfat dan preparat yang mengandung zink (multivitamin) serta penggunaan sefalosporin
generasi ketiga dengan gentamisin dan furosemid yang menggambarkan ketidakamanan terapi, sehingga
perlu diwaspadai dan diminimalkan kejadiannya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada Pimpinan Rumah Sakit Panti Rapih yang telah bersedia memberikan kesempatan untuk melakukan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Rasmin, M. 1997, Infeksi Saluran Nafas Bawah, M.K.I, 47, (6), 271-272.
Schulman, S.T.; Phair, J.; & Sommers, H. 1994, The Biologic & Clinical Basic of
Infectious Diseases, Fourth Edition, wahab, S.,
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Dasar Biologis
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
113
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
97
3.
4.
& Klinis Penyakit Infeksi, Fakultas Kedokteran UGM, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 521-535, 606-607
Rachmatullah. 1996, Infeksi Saluran Nafas
Bawah Akut Pada Orang Dewasa, M.K.I, 44 (8), 486-494.
Halm, E.A.; & Teirstein, A.S. 2002, Management of Community-Acquiered Pneumonia, NEJM, 347: 2039-2045.
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
114
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kontraindikasi, Efeksamping, dan Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2005
J. Trop. Pharm. Chem. 2011. Vol 1. No. 2.
115
Download