Uploaded by Fauziah Reni

Biografi Abu Bakar As

advertisement
Biografi Abu Bakar As-Shiddiq
Nama asli beliau adalah ‘Abdullah Ibnu Quhafah at Tamimi’, dimasa jahiliyah bernama
Abdul Ka’bah. Setelah masuk islam, Nabi mengganti namanya menjadi Abdullah Abu Bakar.
Nama ini diberikan karena ia adalah orang yang paling dini memeluk islam. Dalam bahasa
arab, Bakar berarti dini atau pagi. Nabi memberikan Abu Bakar gelar As-Shiddiq karena dia
membenarkan kisah Isra’ miraj Nabi ketika banyak penduduk Mekkah mengingkarinya.
Abu Bakar lahir pada 572 M di Mekkah. Abu Bakar adalah seorang sahabar Nabi yang
terkenal akan kedermawanannya. Salah satu kisah terkenal yang menggambarkan
kedermawanannya tentu saja ketika ia menebus Bilal bin Rabah dari tangan majikannya yaitu
Umayyah Bin Khalaf.
Melalui perantaraan Abu Bakar banyak penduduk Mekkah yangmenyatakan diri masuk
islam, seperti : Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin
Abi Waqqas, Zubair bin Awwam dan Ubaidillah bin Jarrah. Merekalah yang kemudian
dikenal dengan nama “Assabiqunal Awwalun”.
Setelah masuk islam, Abu Bakar menjadi salah satu pembela nabi yang paling kukuh, baik
ketika di Mekkah maupun di Madinah. Abu Bakar yang menemani nabi melakukan hijrah ke
Yasrib (Madinah). Abu Bakar tinggal di Sunh, daerah dipinggiran kota Madinah. Dikota
tersebut, Abu Bakar dipersaudarakan dengan seorang dari suku khazraj yang bernama
Kharijah bin Zaid dan Bani Haritsah. Dirumah Kharijah tersebut Abu Bakar tinggal.
Hubungan kedua orang ini bertambah erat ketika Abu Bakar menikahi anak Kharijah
bernama Habibah. Di Madinah, Abu Bakar beralih profesi dari pedagang kain menjadi petani.
Proses Pengangkatan Abu Bakar ra. Sebagai Khalifah
Abu Bakar menjadi khalifah sejak 11-13 Hijriyah / 632-634 M, Proses pengangkatan Abu
Bakar Ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah wafat, kaum muslim di
Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul
di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah.Masing-masing
mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar
mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti
nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan
pendirian kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan
tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar). Di
tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin
Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka
dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh
Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh
Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Proses pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena
ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin
Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id,
Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan
Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum muhajirin dan Anshar dengan Ali bin
Abi Thallib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membai’at Ali dengan anggapan bahwa
Ali bin Abi Thalib, lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari bani Hasyim yang
berarti ahlul bait.
Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya
masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku
Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan
secara turun temurun.
Setelah didapatkan kesepakatan dalam proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah,
kemudian ia berpidato yang isinya berupa prinsip-prinsip kekuasaan demokratis yang
selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin negara.
Khalifah Islam Ke-1
Abu Bakar
Khulafaur Rasyidin
Lahir Abdullah bin Abi Quhaifah
Oktober 573
Mekkah, Jazirah Arab (Sekarang Saudi Arabia)
Meninggal 23 Agustus 634
Madinah
Tempat peristirahatan Sebelah kanan makam Nabi Muhammad, Al-Masjid al-Nabawi,
Madinah[1]
Nama lain Ash-Shiddiq, Sahabat gua, Sahabat makam, Syekh Akbar, Al-`Atiq
Dikenal karena Sahabat Nabi
Agama Islam
Pasangan Qutaylah binti Abdul Uzza (cerai)
Ummi Ruman
Asma binti Umays
Habibah binti Kharijah
Riwayat Hidup Abu Bakar Ash siddiq
"Abu Bakar" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Abu Bakar (disambiguasi).
Abu Bakar (bahasa Arab: ‫أبو بكر الصديق‬, Abu Bakr ash-Shiddiq) (lahir: 572 - wafat: 23
Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk
Islam atau yang dikenal dengan ash-shabiqun al-awwalun. Setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, Abu Bakar menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M.
Lahir dengan nama Abdul ka'bah bin Abi Quhafah, ia adalah satu di antara empat khalifah
yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.
Genealogi Sunting
Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin 'Utsman bin Amir bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin
Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan nabi
pada kakeknya Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay, dan ibu dari Abu Bakar adalah Ummu al-Khair
Salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya
sama-sama dari kabilah Bani Taim.
Abu Bakar adalah ayah dari Aisyah, istri Nabi Muhammad. Nama yang sebenarnya adalah
Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Muhammad menjadi
Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Muhammad memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang
berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Mi'raj yang diceritakan oleh
Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar
ash-Shiddiq".sahabat Rasulullah
Awal kehidupan Sunting
Abu Bakar ash-Shiddiq dilahirkan di kota Mekah dari keturunan Bani Taim (ayah dan ibunya
sama-sama dari kabilah Bani Taim), sub-suku bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam
mencatat ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang
terpelajar, serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Masa bersama Nabi Sunting
Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup bersama
Abu Bakar. Saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sejak saat itu mereka
berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama dan hanya berselisih 2 tahun 1
bulan lebih muda daripada muhammad, pedagang dan ahli berdagang.
Memeluk Islam Sunting
Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada perorangan, dituliskan bahwa
Abu bakar masuk Islam setelah diajak oleh nabi.[2] Abubakar kemudian mendakwahkan
ajaran Islam kepada Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad
bin Abi Waqas dan beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.
Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakar
menceraikannya. Istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya
kecuali 'Abd Rahman bin Abu Bakar, sehingga ia dan 'Abd Rahman berpisah.
Penyiksaan oleh Quraisy Sunting
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami
penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama
nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari
golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para
keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong
Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian
memberinya kemerdekaan. Salah seorang budak yang dibelinya lalu kemudian dibebaskan
adalah Bilal bin Rabah.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar
adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi
Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi
Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk
untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi
bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Bahkan 'pun setelah Nabi SAW telah
meninggal dunia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah
menghadapi meninggalnya Nabi SAW ini. Segera setelah kematiannya, dilakukan
musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Tsaqifah bani saidah
yang terletak di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai
pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu
Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama
dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum
Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang
menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum
suni berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni
berargumen bahwa Muhammad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.
Sementara muslim syi'ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan
sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah
dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir. Banyak hadits yang menjadi
Referensi dari kaum Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal rasulullah.
Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri
secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah
setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan
pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar
dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut
secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan
bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan
publik.
Perang Riddah Sunting
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan
stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari
Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di
antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh.
Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan
berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi
Muhammad dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini
Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Riddah.
Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habi al-Hanafi" yang
lebih dikenal dengan nama Musailamah al-Kazab (Musailamah si pendusta), yang mengklaim
dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhamad. Pasukan Musailamah kemudian
dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri
terbunuh di tangan Al Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan oleh Hindun istri Abu
Sufyan karena telah berhasil membunuh Hamzah Singa Allah dalam Perang Uhud. Al
Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta mengakui kesalahannya atas
pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah berkata, "Dahulu aku membunuh seorang
yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku telah membunuh orang yang sangat
dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu Musailamah al-Kazab)."
Ekspedisi ke utara Sunting
Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar
memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid.
Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga
meraih sukses.
Qur'an Sunting
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa
setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzdzab dalam perang
Riddah atau juga dikenal dengan perang yamamah, banyak para penghafal Al Qur'an yang
ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan
koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit,
dikumpulkan lembaran al-Qur'an dari para penghafal al-Qur'an dan tulisan-tulisan yang
terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan
ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan
oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri
dari Nabi Muhammad. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini
menjadi dasar penulisan teks al-Qur'an yang dikenal saat ini.
Download