LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA UJI PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS SEDIAAN TABLET PARASETAMOL SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN UJI DISOLUSI Disusun oleh : AINUN NIHAYAH 142210101043 NADYA DINI LESTARI 142210101045 FENI PUSPTA DEWI 142210101053 LAURENSIA JEANY 142210101057 RIZKA ILLA CHASSANA 142210101065 MILA NUR AZIZAH 142210101073 MONICA CNURADHA A.S 142210101075 ADINDA NADIA NAUFALIA 142210101079 BAGIAN FARMASETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2017 VI. PEMBAHASAN Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu medium. Uji disolusi digunakan untuk mengetahui persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi (Ditjen POM, 1995). Disolusi suatu tablet adalah jumlah atau persen zat aktif dari suatu sediaan padat yang larut pada suatu waktu tertentu dalam kondisi baku misal pada suhu, kecepatan pengadukan dan komposisi media tertentu. Dari uji disolusi ini dapat dilihat kualitas dan bioavailabilitas suatu obat, karena bioavailabilitas merupakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Banakar, 1992). Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding. Untuk produk-produk tertentu, uji disolusi terbanding dilakukan sebagai pengganti uji ekivalensi in vivo sehingga apabila suatu produk telah lolos uji disolusi terbanding ini, produk tersebut sudah dianggap ekivalen dengan produk pembandingnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji bioekivalensi (BE) melalui disolusi terbanding terhadap obat beredar yang akan dibandingkan tersebut. Bioavaibilitas (BA) dapat ditunjukkan dengan fakta yang diperoleh secara in vitro yang dilakukan dalam lingkungan yang seperti in vivo (uji disolusi) dalam berbagai pH yang mempresentatifkan suasana lambung dan usus halus (Shargel, et al., 2005). 6.1. Kriteria Penerimaan Uji Disolusi Dalam melakukan uji disolusi terdapat persyaratan disolusi yang harus diperhatikan, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaaan, seperti di bawah ini: Harga Q merupakan jumlah zat aktif seperti yang tertera pada masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dalam etiket kecuali dinyatakan lain. Dalam uji disousi tablet parasetamol, obat harus larut dalam waktu 30 menit dan larut tidak kurang dari 80% parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket. 6.2. Proses Perlakuan dan Tujuannya Pada percobaan kali ini dilakukan uji disolusi sediaan tablet paracetamol generik dengan pembanding obat paracetamol paten yakni panadol. Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui estimasi laju absorbsi dari suatu obat dan data farmakokinetika serta untuk mengetahui apakah suatu obat telah memenuhi persyaratan dengan membandingkannya dengan obat lain (bioekivalensi). Pada praktikum ini menggunakan dapar fosfat dengan pH 6,8 larutan dapar yang di buat sebanyak 20 liter. Larutan dapar dibuat dengan cara menimbang kalium fosfat monobasa 0,2 M sebanyak 136,1 gram dan natrium hidroksida sebanyak 4 gram. Kemudian melarutkan fosfat monobasa menggunakan aquadest, aquadest yang di gunakan sebanyak 5000 ml, kemudian melarutkan natrium hidroksida sebanyak 360 ml. setelah itu di aduk sampai larut dan di campurkan ad homogen serta ditambahkan dengan aquadest sampai 20 L kemudian cek pH. pH yang diinginkan adalah 6,8. Langkah selanjutnya yakni membuat kurva baku kalibrasi paracetamol dalam dapar fosfat. Larutan induk dibuat dengan konsentrasi 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12 ppm kemudian diukur absorbansi ada panjang gelombang 244 nm dengan dapar fosfat pH 6,8 sebagai blanko. Didapatkan persamaan y= 0,06687x – 0,003067 dengan nilai r = 0,9925. Tujuan dari pembuatan kurva baku ini adalah untuk memperoleh persamaan larutan baku dalam penentuan kadar sampel. Nilai R yang diperoleh dari kurva baku harus mendekati 1, yang menunjukkan terbentuk garis lurus linear pada rentang konsentrasi yang dibuat. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan masing masing 900 ml larutan dapar fosfat kedalam 6 chamber disolusi, kemudian alat pengaduk diturunkan (alat pengaduk tipe dayung) sampai jarak antara dasar chamber dengan batas bawah dayung 25mm±2mm sebelum tablet dimasukkan tunggu terlebih dahulu sampai suhu medium disolusi mencapai 37o C, suhu ini diasumsikan suhu tubuh manusia. Setelah mencapai suhu 37o C kemudian memasukkan masing masing tablet kedalam chamber berisi dapar fosfat pH 6,8 , kemudian rotor pengaduk dijalankan dengan kecepatan 50 putaran per menit. Tablet yang kelompok kami gunakan merupakan tablet paracetamol generik. Pada menit ke 5, 10, 20, dan 30 menit larutan di ambil sebanyak 5 ml, kemudian letakkan dalam tabung reaksi. Setelah larutan di ambil 5 ml segera ganti dengan volume yang sama sebanyak 5 ml kedalam chamber, di asumsikan bahwa cairan dalam tubuh itu tetap sehingga setiap selesai pengambilan harus langsung diganti. Larutan yang sudah diambil sesuai waktu yang telah ditentukan kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV dengan panjang gelombang 244 nm. Sebelum diukur serapannya larutan 5 ml tadi diencerkan terlebih dahulu dalam labu ukur. Setelah itu di ukur serapnnya masing masing larutan mulai dari menit ke 5 sampai menit ke 30 hasil serapan yang diperoleh kemudian di gunakan untuk menghitung nilai Q (%) , DE,f2 dan f1 kemudian hasil yang diperoleh nilai yang diperoleh antara tablet paracetamol generik dan paten (panadol), kemudian hasilnya dianalisis. 6.3. Faktor Koreksi dan Efisiensi Disolusi Uji disolusi memberikan gambaran perubahan jumlah zat aktif yang terlarut di dalam media. Efisiensi disolusi (DE) adalah perbandingan luas dibawah kurva disolusi dengan luas segi empat 100% zat aktif larut dalam medium pada saat tertentu. Penggunaan efisiensi disolusi (DEt %) dalam hasil uji disolusi zat aktif dalam suatu medium, mempunyai banyak keuntungan yaitu dapat menentukan semua titik yang ada didalam kurva uji disolusi, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan hasil uji disolusi antara banyak formula uji. Pada percobaan diperlukan penambahan faktor koreksi kecuali pada waktu pengambilan sampel yang pertama ( 5 menit ). Hal ini dikarenakan setelah pengambilan sampel yang pertama atau setiap pengambilan sampel 5 ml akan ditambahkan larutan dapar 5 ml untuk tetap menjaga volume dan konsentrasi obat. Faktor koreksi dihitung dengan volume pengambilan (5 ml) dibagi volume medium disolusi (900 ml) dikali dengan Q sebelumnya. Pada uji disolusi, baik obat generik maupun paten paracetamol memenuhi persyaratan dimana dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 %. Dalam waktu 30 menit, obat generik dan paten (Panadol) memiliki persentase pelepasan sebesar 110,116 % dan 109,094 %. Nilai DE paracetamol didapat dari perhitungan AUC terlebih dahulu. AUC dihitung menggunakan metode trapesium. DE paracetamol generik pada pengambilan 5, 10, 20 dan 30 menit adalah 27,78 %, 50,52 %, 108,042 %, 100,291 %. DE paracetamol paten (Panadol) pada pengambilan 5, 10, 20, 30 adalah 27,778 %, 48,19 %, 107,782% dan 108,806%. Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab perbedaan profil disolusi antara obat inovator dan generiknya, antara lain formulasi, cara pembuatan tablet, jumlah dan jenis eksipien yang dipakai (Aini, 2015). Oleh sebab itu, sifat akhir suatu sediaan, seperti ketersediaan hayati dan stabilitasnya, sangat bergantung pada eksipien yang dipilih, jumlah eksipien yang dipakai, dan interaksinya dengan zat aktif atau sesama eksipien. Disolusi tablet generik yang lebih lambat juga dapat dikaitkan dengan bobot eksipien yang lebih banyak dibandingkan dengan yang digunakan dalam tablet inovator dan tablet generik bernama dagang sehingga sifat dan kualitas eksipien akan sangat berpengaruh pada waktu hancur dan disolusi yang akhirnya memengaruhi pelepasan zat aktif. 6.4. Interpretasi Faktor Kesamaan (F2) dan Faktor Perbedaan (F1) Pada praktikum ini, dilakukan pengujian untuk melihat bioekivalensi antara produk obat generik dengan produk referen. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan perbandingan profil disolusi antara tablet paracetamol generik dengan tablet paracetamol referen. Perbandingan ini menggunakan model independen, di mana akan digunakan faktor perbedaan/difference factor (f1) dan faktor persamaan/similarity factor (f2) untuk membandingkan profil disolusi. Difference factor (f1) akan mengukur persentase (%) perbedaan antara dua kurva pada tiap waktu dan merupakan pengukuran relative error antara dua kurva profil disolusi. Similarity factor (f2) merupakan pengukuran tingkat kemiripan dari persentase (%) disolusi antara dua profil disolusi (FDA, 1997). Pada praktikum ini, nilai difference factor (f1) antara tablet parasetamol generik 500 mg dengan Panadol 500 mg adalah sebesar 1,932%. Kurva profil disolusi akan dinyatakan mirip jika nilai f1 mendekati 0, di mana toleransi penerimaan maksimal 15% (rentang 0-15%) (FDA, 1997). Berdasarkan hasil praktikum, nilai f1 atau faktor perbedaan (difference factor) antara tablet parasetamol generik dengan produk referen memenuhi rentang toleransi. Nilai similarity factor (f2) antara tablet parasetamol generik 500 mg dengan Panadol 500 mg pada praktikum ini adalah sebesar 144,454%. Suatu kurva profil disolusi dikatakan mirip jika nilai f2 mendekati 100, di mana toleransi penerimaan berada pada rentang 50-100% (FDA, 1997). Berdasarkan hasil praktikum, maka nilai f2 atau faktor persamaan (similarity factor) antara tablet parasetamol generik dengan produk referen tidak memenuhi rentang toleransi. Beberapa faktor yang memungkinkan gagal terpenuhiya nilai f2 antara lain usia produk, pemilihan produk inovator/produk referen, perbedaan kelarutan karena ukuran partikel, efek matriks eksipien, dan profil disintegrasinya (Kanfer, 2010). KESIMPULAN Berdasarkan praktikum “UJI PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS SEDIAAN TABLET PARASETAMOL SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN UJI DISOLUSI” dapat diambil kesimpulan antara lain : Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding. Pada uji disolusi yang dilakukan dalam praktikum yang menggunakan 2 sampel yaitu panadol selama 30 menit obat terdisolusi sebanyak 109.930% sebagai paten dan parasetamol sebagai generic terdisolusi sebanyak 119.168 %. Berdasarkan hasil tersebut, bahwa kedua sampel baik paten maupun generic memenuhi kriteria penerimaan yakni dengan 6 sampel, tidak kurang dari Q+15%. Nilai similarity factor (f2) antara tablet parasetamol generik 500 mg dengan Panadol 500 mg pada praktikum ini adalah sebesar 144,454%. Suatu kurva profil disolusi dikatakan mirip jika nilai f2 mendekati 100, di mana toleransi penerimaan berada pada rentang 50-100%. Berdasarkan hasil praktikum, maka nilai f2 atau faktor persamaan (similarity factor) antara tablet parasetamol generik dengan produk referen tidak memenuhi rentang toleransi. Beberapa faktor yang memungkinkan gagal terpenuhiya nilai f2 antara lain usia produk, pemilihan produk inovator/produk referen, perbedaan kelarutan karena ukuran partikel, efek matriks eksipien, dan profil disintegrasinya. DAFTAR PUSTAKA Abdou, H.M. (1989). Dissolution, Bioavailability and Bioequivalence. Pennsylvania: Mack Printing Company Banakar, U.V., 1992. Pharmaceutical Dissolution Testing, Marcel Dekker, Inc., New York Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia Ed 4. Jakarta : Depkes RI Emea, 2010. Guideline on the investigation of bioequivalence, European Medicines Agency. FDA, 1997. Guidance for Industry Dissolution Testing of Immediate. Evaluation 4, 15–22. Kanfer, P.I., 2010. Workshop Report—Challenges in Dissolution Testing: Equivalence and Surrogates, Dissolution Technologies. Pharmacin, B. V., 2013. Decentralised Procedure RMS Day 70 Preliminary Assessment Report Paracetamol Pharmacin 1000mg tablets. Shargel, L. dan Yu. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi 2 . Surabaya: Airlangga University Press