Refreat Obstruksi pada Common Bile Duct Pembimbing : dr. Shoffiatul Mumayyiziah, SpRad dr. Syarifah Surbakti, SpRad Disusun Oleh : Rizaldy Lukman Parmana 112018156 Joan Angelia 112018158 Stevani 112018159 Kevin Aldriano S. 112018165 KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obstruksi saluran empedu adalah ketika salah satu saluran empedu yang dihasilkan dari hati ke duodenum tersumbat. Hati menghasilkan cairan yang disebut dengan cairan empedu. Cairan empedu ini merupakan campuran antara bilirubin, kolesterol dan asam dan garam empedu. Cairan empedu dialirkan dari hati ke kantung empedu untuk disimpan, lalu ke duodenum untuk membatu mencerna makanan. Di AS, Angka insiden pada saluran empedu diperkirakan sekitar 5 kasus per 1000 orang per tahun. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Risiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile.1 Koledokolitasis merupakan terbentuknya satu atau lebih batu empedu di saluran empedu, bisa pembentukan primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran empedu. Diagnosis dapat ditegakkan melalui klinis maupun pemeriksaan penunjang. Penanganan yang dilakukan dapat berupa ekstraksi batu atau kolesistektomi. Prognosis pasien dengan obstruksi saluran empedu bergantung kepada keparahan dan ada atau tidaknya komplikasi yang terjadi.1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI DUKTUS BILIER Duktus bilier ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatica dextra dan sinistra, common hepatic duct, cystic duct, dan common bile duct (choledochus). Common bile duct masuk ke duodenum melalui sfingter Oddi. Duktus hepatica sinistra lebih panjang daripada duktus hepatika dextra dan cenderung mengalami dilatasi jika terjadi obstruksi distal. Common hepatic duct memiliki panjang 1 sampai 4 cm dengan diameter sekitar 4 mm. Common bile duct memiliki panjang 7 sampai 11 cm dan diameter 5 sampai 10 mm. Duktus empedu ekstrahepatika dilapisi oleh mukosa kolumnar dengan sejumlah kelenjar mukus pada common bile duct. Terdapat jaringan fibroareolar yang mengandung sel otot polos yang mengelilingi mukosa.2 Gambar 1. Sfingter Oddi. (Brunicardi FC, 2010) 2.2. SEKRESI CAIRAN EMPEDU Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hepar, yaitu pertama, bagian awal disekresikan oleh hepatosit. Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar empedu, kolesterol, dan zat-zat organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli biliaris. Kedua, empedu mengalir di dalam kanalikuli menuju septa interlobularis dan kemudian ke dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis.3 Dalam perjalanannya melalui duktus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi hepar ditambahkan ke dalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini berupa larutan ion-ion natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel epitel sekretoris yang mengelilingi duktulus dan duktus. Sekresi kedua ini dirangsang terutama oleh sekretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah ion bikarbonat tambahan sehingga menambah jumlah ion bikarbonat dalam sekresi pankreas untuk menetralkan asam yang di keluarkan dari lambung ke abdomen. Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet. Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam. Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet. Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam. Sekitar 80% bilirubin terkonjugasi akan diabsorbsi di ileum terminal. Sisanya akan di dehydroxylated (deconjugated) oleh bakteri usus, menjadi asam empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate. Deoxycholate dan lithocholate akan diabsorbsi di kolon, lalu ditranspor ke, dikonjugasi, dan disekresi ke dalam empedu. Sekitar 95% asam empedu di reabsorbsi dan kembali ke system vena porta ke yang disebut sirkulasi enterohepatika. Sekitar 5% akan di ekskresi di feses.2 2.3. KLASIFIKASI Berikut ini merupakan klasifikasi obstruksi saluran empedu secara garis besar antara lain:4 1. Kolestasis intrahepatik. Aliran empedu dapat terjadi dimana saja, dari mulai sel hepar (kanalikulus), sampai ampula Vater. Penyebab paling sering kolestatis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hepar akibat alkohol dan penyakit hepar autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastasis.4 2. Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu ductus choledochus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan cholangitis sclerosing.kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanisme empedu. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya belum jelas, sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.4 2.4. OBSTRUKSI BILIER 2.4.1. Definisi Obstruksi bilier (kolestasis) merupakan suatu keadaan dimana terganggunya aliran empedu dari hepar ke kandung empedu atau dari kandung empedu ke usus halus. Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari sistem mulai dari saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu.2 2.4.2. Epidemiologi Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang tua berusia ≥65 tahun menderita kolelitiasis (batu empedu) dan 1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir 25% wanita AS menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20% pria dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1 pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain obesitas terutama pada wanita, kehamilan, penurunan berat badan yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes mellitus.2,3 Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan kelompok etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75%), Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang Asia. Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%), berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya 10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai material organik lainnya) yang berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa. Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu pigmen sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika. Walaupun demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama di Jepang ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.2,3 Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. 2.4.3. Etiologi dan Patogenesis Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus (jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl. Obstruksi bilier (kolestasis) secara etiologi dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu :2-4 1. Obstruksi bilier (kolestasis) intrahepatik Kolestasis intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hepar karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang jarang. Peradangan intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat berjalan kronik dan menahun, dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hepar. Alkohol dapat mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga mengakibatkan kolestasis. Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hepar bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-laki, dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada kolangio karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui merupakan penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak diketahui. Golongan diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu. Amoksisillin dengan asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan kolestasis akut yang menyerupai keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice memberikan gejala pruritus, namun hanya terdapat pada sebagian pasien, dan gejala ini segera hilang apabila penggunaan obat tersebut dihentikan. 2. Obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik Penyebab paling sering obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis, dan kolangitis sklerosing, AIDS-related cholangiopathy, TB bilier, dan infeksi parasit (Ascaris lumbricoides). Kolestasis mencermin kegagalan seksresi empedu. 2.4.4. Gejala Klinis Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang disebutkan tidak tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik (seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada penyebab terjadinya obstruksi bilier.2-4 Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier yaitu nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau dapat juga tanpa suatu pencetus dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substernal atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu kandung pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas kadang teraba hepar dan sklera ikterik. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba (Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang apabila kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatic.2-4 2.5. Koledokolitiasis 2.5.1. Definisi Terbentuknya satu atau lebih batu empedu di saluran empedu, bisa pembentukan primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran empedu.5,6 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan batu ini di antaranya: 1. stasis cairan empedu, 2. baktibilia, 3. ketidakseimbangan kimia dan pH, 4. peningkatan ekskresi bilirubin, dan pembentukan lumpur. Terdapat beberapa jenis batu yakni batu kolesterol, batu pigmen, dan batu pigmen coklat (terdiri dari campuran pigmen dan lipid bilier). Obstruksi saluran empedu oleh batu dapat menyebabkan gejala dan komplikasi berupa nyeri, ikterus, kolangitis, pankreatitis, dan sepsis.5 2.5.2.Gejala dan Tanda Pasien dengan koledokolitiasis bisa saja asimtomatis. Namun, gejala yang umum terjadi antara lain nyeri di kuadran kanan atas, bersifat kolik, hilang timbul atau menetap, dapat disertai dengan mual muntah. Ikterus dapat terjadi ketika saluran empedu terobstruksi sehingga bilirubin direk memasuki aliran darah. Batu empedu juga dapat berkembang menjadi pankreatitis, apabila obstruksi terjadi di level ampula Vater. Nyeri pankreatik terletak di epigastrik dan midabdominal, tajam, terus-menerus, dan menjalar ke punggung. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas, ikterus, demam, hipotensi, flushing. Batu saluran empedu dapat primer atau sekunder. Primer apabil terbentuk di saluran empedu, biasanya karena stasis bilier atau baktibilia kronik. Batu yang terbentuk biasanya batu pigmen coklat. Batu sekunder terbentuk dari kantung empedu dan bermigrasi ke saluran empedu, biasanya batu kolesterol dan batu pigmen hitam. Pasien dengan koledokolitiasis, terdapat riwayat nyeri kolik yang hilang timbul, serta disertai demam dan mengigil bila terjadi kolangitis. Selain itu, muncul ikterus dan buang air kecil gelap seperti teh. Gejala-gejala tersebut disertai muntah dan nausea. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri regio epigastrium ringan ataupun nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala muncul secara intermiten, seperti nyeri dan ikterus. Pada pemeriksaan laboratorium disertai peningkatan enzim alkali fosfatase, dan transmaninase maupun peningkatan bilirubin. 2.5.3. Tipe Batu Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu:5,6 a. Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70% b. Batu pigmen coklat dimana mengandung calcium bilirubinate sebagai komponen utama. c. Batu pigmen hitam dimana kaya akan residu hitam tak terekstrasi Pembentukan batu kolesterol melewati empat fase yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristaliasi, dan pertumbuhan baru. Batu pigmen dalam beberapa kasus dikaitkan dengan infeksi bakteri gram negative yaitu E.Coli.5,6 Gambar 2. Jenis-Jenis Batu Empedu Pada masyarakat barat, didapatkan bahwa batu kolesterol menjadi penyebab tersering batu empedu. Sedangkan di Indonesia, didapatkan batu pigmen sebesar 73%. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pathogenesis batu kolesterol yaitu hipersaturasi kolesterol saluran empedu, percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan gangguan motilitas pada empedu dan usus.5,6 2.5.4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, mungkin terjadi leukositosis, peningkatan kadar bilirubin serum (>3 mg/dL), peningkatan amilase lipase (menandakan pankreatitis), peningkatan alkalin fosfatase dan gamma-glutamyl transpeptidase menandakan obstruksi, peningkatan PT, penurunan vitamin K, peningkatan transaminase hepar pada koledokolitiasis yang disertai kolangitis atau pankreatitis, kultur darah positif pada kolangitis. Pemeriksaan radiologi yang paling dapat diandalkan adalah kolangiografi. Selain itu bisa juga digunakan modalitas lain, yang dibagi menjadi preoperatif (USG, endoskopik USG, CT scan, MRCP, kolangiografi), intraoperatif (kolangiografi, USG), postoperatif (T-tube kolangiografi, ERCP, PTC). 5,6 a. USG (Ultra Sonografi) Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hepar, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. Penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal, aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi. Pada USG didapatkan dilatasi dari common bile duct (pelebaran diameter > 8 mm. Pada Magnetic Resonance Cholangiography dapat mendeteksi koledokolitiasis ukuran > 5 mm. Gold standar untuk mendiagnosis adalah Endoscopic Cholangiography. Kanulasi ampulla Vater dan kolangiografi diagnostik tercapai pada lebih dari 90% kasus di tangan yang berpengalaman. Endoscopic utrasound memiliki spesifitas 100% dan sensitivitas 91% yang sama baiknya dengan ERCP untuk mendeteksi common bile duct stones. 5,6 Gambar 3. Dilatasi CBD akibat batu b. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu empedu radiolusen. Kurang lebih hanya 10-15% batu yang menimbulkan gambaran radioopak. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hepar yang sakit.7 Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography). Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. 8 Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) Pada pemeriksaan CT-Scan tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi kandung empedu dan sistem duktus di bandingkan pemeriksaan yang lainnya. Pada CT-Scan dilakukan untuk melihat adalah neoplasma parenkim hati dan juga sensitif dalam menentukan kalsifikasi dan komposisi batu.7 Selain itu CT Scan juga sensitif untuk mendeteksi kanker kaput pankreas dengan akurasi 100%.9 Gambar 4. Pelebaran duktus empedu PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiography) PTC adalah pemeriksaan radiografi lain untuk mendeteksi adanya obstruksi bilier yaitu dengan menggunakan jarum yang ditusukkan lewat kulit melalui hati dan sampai ke saluran empedu.9 Tujuan pemeriksaan PTC ini untuk melihat saluran bilier serta untuk menentukan letak penyebab sumbatan. Namun pemeriksaan ini sangat invasif dan beresiko. Bila kolestasis karena batu akan memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan di dalamnya tampak batu radiolusen. Gambar 5. Batu Empedu pada PTC Gambar 6. Obstruksi biliaris Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, bersifat noninvasif untuk mengetahui gambaran dari sistem duktus bilier dan pankreas. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 91% sampai 100% dan nilai prediktif positif antara 93% sampai dengan 100% pada keadaan dugaan batu saluran empedu. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang kontraindikasi dengan ERCP.10 Gambar 7. 3D kandung empedu 2.6. Tatalaksana A. Penatalaksanaan batu kandung empedu Penanganan batu untuk profilaksis tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien yang asimtomatik tidak mengalami keluhan di masa mendatang. Sebagian kecil akan menimbulkan komplikasi. Pada batu empedu simptomatik, teknik kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan akhir 1980 mengantikan teknik kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi terbuka masih dibutuhkan apabila teknik kolestektomi laparoskopi gagal atau tidak memungkinkan, misalkan apabila batu terletak pada lokasi yang sulit dijangkau dengan teknik laparoskopi. Selain itu pada keadaan infeksi juga sebaiknya menggunakan kolesistektomi terbuka. Kekurangan dari metode kolisistektomi terbuka adalah luka penyembuhan yang lama. 10,11 Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, system endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa kamera dan kontak langsung dengan saluran empedu. Tindakan bedah ini makin sering dilakukan. Tindakan ini memakan waktu kurang lebih 30-70 menit. Biasanya penderita dapat dipulangkan 1 hari setelah operasi. Morbiditas kurang dari 10%. Kesulitan teknis adalah adhesi pada 5% operasi. 10,11 Kolesistektomi laparoskopi membutuhkan beberapa sayatan kecil di perut untuk akses operasi, tabung silinder kecil sekitar 5 sampai 10 mm, di mana instrumen bedah dan kamera video yang ditempatkan ke dalam rongga perut. Kamera menerangi bagian dalam abdomen dan mengirimkan gambar diperbesar dari dalam tubuh untuk monitor video, memberikan ahli bedah tampilan close- up dari organ dan jaringan serta melakukan operasi dengan memanipulasi instrumen bedah melalui akses operasi. 10,11 Pasien posisi terlentang di meja operasi dan dibius. Sebuah pisau bedah untuk membuat sayatan kecil di umbilicus. Rongga perut kemudian dieksplorasi dengan menggunakan jarum Veress atau teknik Hasson. Kemudian karbon dioksida untuk menambah ruang pada rongga abdomen. Kemudian akses dibuka di bawah tulang rusuk epigastrium. Kemudian bagian fundus dari infundibulum ditarik ke superior untuk memberikan gambaran segitiga calot yaitu arteri sistik, dukstus sistikus, dan common bile duct. Pada segitiga dilakukan reseksi lapisan peritonium yang melapisi untuk mendapat sudut pandang pada struktur di bawahnya. Duktus sistikus dan arteri sistikus kemudian diidentifikasikan, kemudian diberi klep dan dipotong, kemudian kandung empedu dipotong dan dikeluarkan pada 1 port atau akses. 10,11 Gambar 7. Kolesistektomi Laparaskopi. Prosedur terapetik yang bertujuan untuk mengangkat batu CBD ada dua cara, pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD (koledekotomi), atau melalui duktus sistikus (transistik), dengan metode konvensional operasi terbuka (Open Common Bile Duct Exploration) melalui laparoskopi yang disebut Laparascopic Common Bile Duct Exploration (CBDE). Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menggunakan endoskopi, yaitu Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) yang diikuti sfingterotomi endoskopik (ES) dan dilakukan ekstraksi batu. Ekstraksi batu dapat dilakukan dengan atau tanpa sfingterotomi, apabila sebelumnya telah dilakukan dilatasi sfingter dengan balon. Laparoskopi kolesistektomi saat ini memang lebih banyak disukai dan sudah menjadi terapi standar. Walaupun eksplorasi CBD juga dapat dilakukan melalui teknik laparoskopi pada sebagian besar kasus. 10,11 Gambar 8. Laparoscopic bile duct exploration ERCP terapeutik dengan melakukan sftingereotomi endoskopik dilakukan tanpa operasi pertama kali tahun 1974. Sejak itu, terapi ini berkembang pesat sebagai terapi standar baku non operatif untuk saluran empedu. Selanjutnya, batu di dalam saluran empedu dikeluarkan melalui balon ekstrasi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga keluar bersama tinja atau dikeluarkan mulut bersama skopnya. Tingkat keberhasilan terapi ini adalah 80-90%, komplikasi dini 7-10%, angka mortalitas 1-2%. Komplikasi tindakan ini meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi. 10,11 Gambar 9. ERCP Gambar 10. Endoscopic Sphinterectomy C. Pengobatan Paliatif Batu Empedu Pengobatan paliatif pada pasien batu empedu adalah dengan menghindari makanan yang dapat memicu antara lain makanan berlemak. Selain itu penggunaan obat anti nyeri berupa antispasmolitik dapat mengurangi nyeri. Demam pada pasien dapat diberikan zat antipiretik misalnya paracetamol. Pada beberapa kasus yang disertai infeksi, dapat diberikan antibiotik. 10,11 Gambar 11. Algoritma pasien dengan batu empedu Daftar Pustaka 1. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar, TR, Dunn DL. Schwartz principles of surgery. Ed ke-9. Philadelphia: McGraw-Hills. 2010. 2. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al. Schwartz’s Principles of Surgery, 9e. McGraw- Hill: 2010. 3. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology, 11th edition. Elsevier: 2006. 4. Crawford MJ. The Biliary Tract. Robin& Cotran Pathologic Basis of Disease. 5. Nuhadi M. Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu Saluran Empedu pada Penderita yang dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu. Universitas Padjajaran. RS Hasan Sadikin Bandung. 2011. 6. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000. 7. Billiary Obstruction. Available at: http://radiology.ucla.edu/biliary-obstruction 8. Zyromski N. Handbook of Hepato-pancreato-billiary Surgery. Department of Surgery Indiana University School of Medicine. China:2015.p.286. 9. Radiography of Billiary System. At: https://www/ceessentials.net/article41.html 10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Penerbit FK UI. Jakarta: 2007.