Uploaded by noviinfaindan

Efek Radiasi Inframerah pada Pasien dengan Bell's Palsy

advertisement
EFEK RADIASI INFRAMERAH PADA PASIEN DENGAN
BELL’S PALSY
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek radiasi inframerah pada pasien
dengan Bell’s Palsy yang tercatat di bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di
Dhaka Medical College Hospital (DMCH) di Dhaka, Bangladesh pada JanuariJuni 2012. Sebanyak 60 pasien Bell’s Palsy dikelompokkan menjadi 2 kelompok
yaitu “A” dan “B” (30 pasien di setiap kelompok). Kelompok A- pasien Bell’s
Palsy yang menerima radiasi inframerah (IRR) termasuk latihan Proprioceptive
Neuromuscular Fascilitation (PNF), obat-obatan (Prednisolone & Acyclovir) dan
konseling untuk pemulihannya. Kelompok B- pasien Bell’s Palsy yang tidak
menerima radiasi infremerah namun mendapat banyak penanganan. Kelompok Asebanyak 25 (83,33%) pasien sembuh total dan 12 (40%) pasien diantaranya pulih
lebih awal (dalam 2 bulan). Kelompok B- sebanyak 23 (76,67%) pasien sembuh
total dan 7 (23,33%) pasien diantaranya pulih lebih awal. Hasil pemulihan dini
terlihat lebih baik pada pasien yang diobati dengan kombinasi radiasi inframerah,
latihan PNF dan obat-obatan dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan
kombinasi latihan PNF dan obat-obatan tanpa radiasi inframerah. Pasien yang
dirawat dengan kelumpuhan saraf wajah dengan tingkat keparahan House
Brackmann (HB) grade IV sampai VI selama presentasi awal memungkinkan
pemulihan total dari kelumpuhan saraf wajah.
Kata kunci: Radiasi Inframerah, Bell’s Palsy, latihan PNF
Pengantar
Kelumpuhan saraf wajah idiopatik atau Bell’s Palsy adalah suatu kondisi yang
pada umumnya menyerang semua usia baik pria maupun wanita. Kelumpuhan
wajah akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus (seringkali Herpes Simpleks)
yang menyebabkan pembengkakan saraf di bagian petrous dari tulang temporal
hingga melintasi foramen stylomastoid di dasar tengkorak. Meskipun penyebab
Bell’s Palsy dinggap bersifat idiopatik tapi sekarang ini, dikatakan berasal dari
virus. Ada juga beberapa faktor risiko yang mungkin meningkatkan terjadinya
Bell’s Palsy yaitu kehamilan, diabetes, flu/pilek atau sistem kekebalan tubuh yang
melemah. Pada Bell’s Palsy, saraf menjadi terkompresi di kanal facial akibat
pembengkakan dan inflamasi yang merupakan bagian dari reaksi tubuh terhadap
proses penyakit infeksi dan menyebabkan cedera saraf dalam bentuk neuropraxia
dan axonotmesis. Insiden Bell’s Palsy sekitar 20-30/100.000/tahun di seluruh
dunia. Pada beberapa penelitiab, penderita diabetes atau hipertensi dan wanita
hamil lebih rentan terhadap kelumpuhan wajah perifer dengan hasil yang lebih
buruk, namun hal ini tidak terlihat pada semua penelitian. Onset Bell’s Palsy
bersifat akut dan sekitar satu setengah dari jumlah seluruh kasus mencapai
kelumpuhan total dalam 48 jam dan sisanya mencapai kelumpuhan total dalam 3
atau
hari. Untuk kasus yang jarang, sekitar 1%, kelumpuhan terjadi secara
bilateral yang mengakibatkan kelumpuhan wajah total. Sebagian besar pasien
Bell’s Palsy sembuh dengan baik. Sekitar 70-80% pasien pulih secara total.
Dengan kelumpuhan sebagian, tingkat pemulihannya adalah 95-99% dan tingkat
pemulihan total untuk kelumpuhan wajah total adalah 50-60%. Sekitar 30% dari
jumlah seluruh pasien sembuh dengan gejala sisa (sisa kelumpuhan, kejang otot,
kontinuitas atau synkinesis) terutama ringan sedang, namun pada 5% kasus
bersifat berat. Pengobatan dini (dalam 3 hari setelah onset) diperlukan agar terapi
menjadi efektif. Steroid telah terbukti efektif untuk pemulihan dengan mengurangi
zat inkuidasi dan pemberian agen antivirus untuk mengobati penyebab virus jika
ada. Agen antiviral biasanya diresepkan karena adanyan hubungan teoritis antara
Bell’s Palsy dan Herpes Simpleks atau virus Varicella Zoster. Vitamin B1, B6,
B12 dan Zinc dapat diberikan sebagai terapi tembahan yang dapat membantu
regenerasi saraf. Terapi fisik sangat penting dengan tujuan utama membangun
kembali tropisme otot, fungsi dan kekuatan pada pasien Bell’s Palsy. Radiasi
inframerah bersifat khusus karena meningkatkan sirkulasi sehingga mengurangi
edema. Inframerah adalah radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang
daripada ujung spektrum yang terlihat, yang sampai ke daerah gelombang mikro,
dari 770 nm sampai sekitar 12500 nm. Aplikasi inframerah menghasilkan
vasodilatasi lokal dari bagian yang diradiasi dan karenanya pasien mendapatkan
sirkulasi yang lebih baik dan juga meningkatkan penyerapan eksudat. Terapi
stimulasi listrik atau stimulasi saraf elektrik transkutaneous (TENS) dapat
diterapkan pada kasus kronis biasanya setelah 21 hari. Meningkatkan kekuatan
latihan otot dan pijat terapeutik pada otot wajah untuk mengurangi edema sangat
diperlukan. Pengobatan lain yang digunakan untuk sisa kelumpuhan akibat Bell’s
Palsy adalah latihan ulang neuromuskular (NMR). Modalitas seperti surface
EMG, biofeedback dan latihan cermin memberikan informasi sensorik untuk
membantu pemulihan.
Bahan dan Metode
Uji coba terkontrol secara acak dilakukan pada 60 pasien Bell’s Palsy yang
tercatat di DMCH dari Januari-Juni 2012 dengan teknik random sampling.
Kriteria yang digunakan yaitu, jenis kelamin (pria dan wanita), usia (13-40 tahun),
jenis kelumpuhan wajah 1-30 hari, pasien tanpa penyakit penyerta apapun (DM,
HT, Kehamilan, penurunan sensasi rasa, pasien Hyperacusis). Tingkat keparahan
paralisis saraf wajah idiopatik dinilai berdasarkan House-Brackmann Grading
Scale (HBGS) yang direkomendasikan oleh Facial Nerve Disorders Committee of
the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery tahun 1985.
Faktor-faktor tersebut dianalisis secara statistik untuk peran mereka dalam hasil
pengobatan kelumpuhan saraf wajah idiopatik dengan menggunakan uji chikuadrat signicance. Pengelompokan sampel :
Kelompok A- 30 pasien- Radiasi Inframerah (IRR) selama 15 menit dalam 15 hari
+
Latihan
Proprioceptive
Neuromuskuler
Fascilitation
(PNF)
+
Obat
(Prednisolone & Acyclovir) + Konseling
Kelompok B- 30 pasien- Latihan Proprioceptive Neuromuskuler Fascilitation
(PNF) + Obat (Prednisolone & Acyclovir) + Konseling
Prosedur Pengumpulan Data
Sebanyak 60 kasus Bell’s Palsy diidentifikasi sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi dan dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu “A” dan “B”. Semua
pasien diobati dengan kombinasi steroid dan acyclovir. Dosis untuk acyclovir
adalah 2000 mg/hari dalam dosis terbagi selama 5 hari dan prednisolone 1 mg/kg
untuk 7 hari pertama. Semua kasus di follow up setiap 15 hari sampai dengan 3
bulan pertama dan dicatat. Parameter studi dinilai berdasarkan House-Brackmann
Grading Scale (HBGS). Data klinis awal dan investigasi yang relevan dilakukan
sebelum pengelompokkan data
Hasil
Tabel 1. Karakteristik Demografi Pasien
Karakteristik
Kelompok A
Kelompok B
Usia (mean ±𝑆𝐷)
29,1± 7,07 tahun
28,6 ± 6,65 tahun
Durasi (mean ± SD)
08,53 ± 6,65 hari
09,73 ± 5,36 hari
Pria
19 (63,3%)
13 (43,3%)
Wanita
11 (36,7%)
17 (56,7%)
Sudah menikah
20 (66,7%)
20 (66,7%)
Belum menikah
10 (33,3%)
10 (33,3%)
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Pekerjaan
Wirausaha
6 (10,0%)
03 (05%)
Ibu Rumah Tangga
7 (23,3%)
10 (33,3%)
Pegawai
8 (26,7%)
09 (30%)
Pelajar
9 (30,0%)
08 (26,7%)
Kiri
15 (50%)
14 (46,7%)
Kanan
15 (50%)
16 (53,3%)
Sisi wajah yang lumpuh
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia rata-rata pada kelompok A adalah 29,1±7,07
tahun dan kelompok B adalah 28,6±6,65 tahun. Rentang waktu pasien datang ke
bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi DMCH adalah 8,53±6,65 hari untuk
kelompok A dan 9,73±5,36 hari untuk kelompok B. terdapat 32 (53,3%) pasien
berjenis kelamin laki-laki dan 28 (46,7%) pasien berjenis kelamin perempuan dan
40 (66,7%) pasien sudah menikah dan 20 (33,3%) pasien belum menikah. Untuk
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, pegawai dan pelajar ditemukan 17 pasien
(28,3%) pada masing-masing pekerjaan dan untuk pekerjaan sebagai wirausaha
ditemukan sebanyak 9 pasien (15%). Untuk kelumpuhan di sisi wajah sebelah
kanan ditemukan sebanyak 31 (51,7%) pasien dan kelumpuhan di sisi wajah
sebelah kiri ditemukan sebanyak 29 (48,3%) pasien.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perbaikan Skor HBGS Setelah Mendapat Perwatan
pada Kelompok A
Skala
Grade
Jumlah Pasien yang di Follow-Up
Hari 1
FU 1
FU 2
FU 3
FU 4
FU 5
FU 6
1-
-
4
4
13
14
25
II 5
12
10
14
11
14
3
III 9
3
10
10
4
-
-
IV 10
12
4
1
1
2
2
V5
2
1
1
1
-
-
VI 1
1
1
-
-
-
-
Total
30
30
30
30
30
30
30
Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok A setelah 3 bulan di follow up, semua
pasien memberikan respon yang baik terhadap pengobatan, sebanyak 25 (83,33%)
pasien sembuh total dan 5 (16,67%) pasien sembuh sebagian. 13 (43,33%) pasien
sembuh total lebih cepat (dalam 2 bulan).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Perbaikan Skor HBGS Setelah Mendapat Perawatan
pada Kelompok B
Skala
Jumlah Pasien yang di Follow-Up
Grade
Hari 1
FU 1
FU 2
FU 3
FU 4
FU 5
1-
-
-
1
7
9
23
II 7
7
14
15
18
19
6
III 10
10
10
9
3
1
-
FU 6
IV 8
8
4
3
1
-
-
V4
4
1
1
1
1
1
VI 1
1
1
1
-
-
-
Total
30
30
30
30
30
30
30
Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok B setelah 3 bulan di follow-up semua
pasien memberikan respon yang baik terhadap pengobatan, 23 (80%) pasien
sembuh total dan 7 (20%) pasien sembuh sebagian. Sebanyak 7 (20%) pasien
sembuh total lebih cepat (dalam 2 bulan).
Tabel 4. Follow-Up Hasil Pengobatan Setelah 3 Bulan dengan Membandingkan
Grade Saat Sebelum Pengobatan dan Grade Setelah Pengobatan
Grade Setelah Pengobatan
Grade
Awal
Grade
Grade
Grade
Grade
Grade
Grade
I
II
III
IV
V
VI
Total
Grade II
12
12
Grade III
19
19
Grade IV
13
5
Grade V
4
2
Grade VI
18
2
1
1
9
1
2
Total 48
7
2
2
1
60
Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah 3 bulan difollow up, sebanyak 48 (80%)
pasien sembbuh total, 12 (20%) pasien sembuh sebagian. Pada kelompok pasien
yang sembuh total, 12 pasien awalnya datang dengan HB grade II, 19 pasien
awalnya datang dengan HB grade III, 13 pasien awalnya datang dengan HB grade
IV, dan 4 pasien awalnya datang dengan HB grade V. Pada kelompok pasien yang
sembuh sebagian, 5 pasien awalnya datang dengan HB grade IV, 5 pasien
awalnya datang dengan HB grade V dan 2 pasien awalnya datang dengan HB
grade VI.
Tabel 5. Follow-Up Hasil Pengobatan Setelah 3 Bulan dengan Membandingkan
antara Kelompok A dan Kelompok B
Follow-Up setelah 3 Bulan
Kelompok
Sembuh Total
Sembuh Sebagian
A
25 (83,33%)
5 (16,77%)
B
23 (76,67%)
7 (23,33%)
Tabel 5 menunjukkan bahwa setelah 3 bulan difollow-up, di kelompok A
sebanyak 25 (83,33%) pasien dari 30 pasien sembuh total dan 5 (16,77%) pasien
sembuh sebagian. Dikelompok B sebanyak 23 (76,67%) pasien dari 30 pasien
sembuh total dan 7 (23,33%) pasien sembuh sebagian.
Diskusi
Sebanyak 60 pasien didiagnosis menderita
kelumpuhan saraf wajah yang
idiopatik (Bell’s Palsy) di DMCH sejak Januari hingga Juni 2012. Rata-rata usia
pasien saat didiagnosis adalah 29 tahun dengan rentang usia 13 sampai 40 tahun.
Pasien pria berjumlah 32 (53,33%) dan pasien wanita berjumlah 28 (46,67%).
Sebanyak 31 (51,67%) pasien mengalami kelimpuhan saraf wajah sebelah kanan
dan 29 (48,33%) pasien mengalami kelumpuhan saraf wajah sebelah kiri.
Distribusi usia dan jenis kelamin pada studi ini sebanding dengan studi yang
dilakukan oleh Sittel C et al pada tahun 2000.
Pasien yang diteliti ini datang ke Bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
DMCH dalam 1 sampai 30 hari dengan rata-rata 8 hari sejak gejala awal muncul.
Semua pasien yang didiagnosis mengalami kelumpuhan saraf wajah idiopatik
(Bell’s Palsy) dinilai berdasarkan HBGS selama presentasi awal. Sebanyak 12
(20%) pasien tergolong HB grade II, 19 (31,67%) pasien grade III, 18 (30%)
pasien grade IV, 9 (15%) pasien grade V, dan 2 (3,33% pasien grade VI saat
datang pada hari pertama
Setelah follow-up selama 3 bulan, sebanyak 48 (80%) pasien sembuh total dan 12
(20%) pasien sembuh sebagian. Dari 48 pasien yang sembuh total tersebut, 12
pasien awalnya HB grade II, 19 pasien awalnya HB grade III, 13 pasien awalnya
HB Grade IV, dan 4 pasien awalnya HB grade V. Dari 12 pasien yang sembuh
sebagian tersebut, 5 pasien awalnya HB grade IV, 5 pasien awalnya HB grade V,
dan 2 pasien awalnya HB grade VI.
Tidak ada hubungan antara lateralisasi kelumpuhan saraf wajah dengan angka
kesembuhan total dari kelumpuhan saraf wajah. 14 (23,33%) pasien dari 60 pasien
yang datang dalam 3 hari sembuh total sedangkan 34 (56,67%) pasien yang
datang setelah 3 hari juga sembuh total dari Bell’s Palsy.
31 (100%) dari 31 pasien dengan HB grade II dan III sembuh total sedangkan 17
(62,96%) dari 27 pasien dengan HB grade IV sampai VI juga sembuh total. Pasien
dengan kelumpuhan saraf wajah HB grade II dan III mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk sembuh total dibandingkan dengan pasien yang HB grade IV
dan VI. Dalam studi ini, 80% pasien dengan kelumpuhan saraf wajah dan HB
grade yang berbeda dapat kembali normal.
Pada kelompok A, 25 (83,33%) pasien dari 30 pasien sembuh total dan 12 (40%)
pasien diantaranya sembuh lebih cepat (dalam 2 bulan). Pada kelompok B, 23
(76,67%) pasien dari 30 pasien sembuh total dan 7 (23,33%) pasien diantaranya
sembuh lebih cepat (dalam 2 bulan)
Pada studi ini, 43,33% pasien yang mendapat kombinasi terapi IRR + latihan PNF
+ obat-obatan sembuh lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang hanya
mendapat kombinasi terapi latihan PNF + obat-obatan yaitu 20%.
Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa IRR mungkin memiliki beberapa efek
pada pemulihan Bell’s Palsy yang lebih cepat.
Kesimpulan
Dibutuhkan pemeriksaan klinis dan penelitian lebih lanjut sebelum diagnostik
spesifik dan regimen terapi ini dapat direkomendasikan. Kesimpulannya,
dibutuhkan penelitian tambahan untuk menyimpulkan kapan, bagaimana dan
apakah IRR berguna dalam proses pemulihan pasien dari Bell’s Palsy.
Keterbatasan
Sampel yang sedikit, tidak memungkinkan untuk menganalisis apakah latihan
dengan atau tanpa IRR dapat efektif atau tidak. Proses pemulihan yang dibagi
misalnya dalam 3, 6, dan 12 bulan setelah pengobatan lebih mudah untuk
mengukur secara akurat. Oleh sebab itu, follow-up lebih lama sangat dibutuhkan.
Download