Uploaded by User21727

TAWURAN SEKOLAH DAN SISTEM SOSIAL SEKOLAH

TAWURAN SEKOLAH DAN SISTEM SOSIAL SEKOLAH
Oleh
Lamtarida Deasy M.L.Toruan (07022621721005)
Dosen Pengasuh: Dr. Didi Suhendi, S.Pd, M.Hum.
PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
TAWURAN SEKOLAH DAN SISTEM SOSIAL SEKOLAH
LAMTARIDA DEASY M.L.TORUAN
07022621721005
A.
Latar Belakang
Tawuran pada dasarnya hanya dilakukan oleh para preman yang tidak bermoral.
Namun, pada periode antara tahun 1997-1999 kegiatan tercela tersebut malah dilakukan oleh
para pelajar sekolah menengah tingkat atas sederajat. Dan yang paling sering melakukan
tawuran ialah SMA, SMK, atau STM bahkan SMP yang mayoritas siswanya ialah laki-laki.
Saat ini tawuran pelajar telah mengakar menjadi suatu tren yang terjadi dikalangan
pelajar. Tren dikalangan remaja tersebut menjadi “budaya” baru di kalangan remaja dan
telah menjadi tradisi turun temurun dilakukan oleh pelajar sepulang sekolah.
Tawuran dikalangan pelajar sangat memprihatinkan karena termasuk salah satu
bentuk perilaku menyimpang (social deviance) yang telah mengorbankan sejumlah “anak
muda” sebagai harapan bangsa (Idi, 2015: 27). Tentu perilaku tersebut telah mengarah
kepada perilaku kekerasan. Sehingga tawuran pelajar tampak mirip gejala premanisme.
Peristiwa tawuran pelajar sering terjadi di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
Medan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus
perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10
pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota
masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota
Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas.
Berdasarkan data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2011 ada 20
anak yang menjadi korban tawuran dan 64 anak yang menjadi pelaku; tahun 2012 ada 49
anak yang menjadi korban tawuran dan 82 anak yang menjadi korban tawuran; tahun 2013
ada 52 anak yang menjadi pelaku tawuran, dan 71 anak yang menjadi korban tawuran; tahun
2014 ada 113 anak yang menjadi pelaku tawuran dan 46 anak yang menjadi korban tawuran;
tahun 2015 ada 96 orang yang menjadi pelaku tawuran pelajar dan 126 orang yang menjadi
korban tawuran; tahun 2016 ada 33 orang yang menjadi pelaku tawuran dan 52 orang yang
menjadi korban tawuran.
Berita tawuran pelajar banyak menghiasi media masa. Seperti peristiwa tawuran yang
terjadi di Kota Bogor pada tanggal 2 Januari 2018. Peristiwa tawuran terjadi di hari pertama
masuk sekolah melibatkan puluhan pelajar. Aksi tawuran pelajar tersebut mengakibatkan
kematian salah seorang pelajar di SMK PGRI Kota Bogor bernama Yudi Saputra . Peristiwa
atas meninggalnya Yudi Saputra menimbulkan reaksi terhadap pelajar SMK PGRI dan
mengajak SMK Karya Nugraha untuk melakukan penyerangan dan pengerusakan gedung
dan fasilitas sekolah SMK Yayasan Pendidikan Islam (YAPSI) pada tanggal 11 Januari
2018. Pelaku tawuran menyatakan aksi yang dilakukan sebagai bentuk rasa solidaritas
terhadap teman mereka yang meninggal. (Sindo, 12 Januari 2018). Istilah solidaritas menjadi
bentuk pembenaran bagi pelajar yang berkelahi secara rombongan. Menyimak data-data
kasus tawuran antar pelajar diatas, deret kasus tawuran antar pelajar jumlahnya cukup banyak
tiap tahunnya. Artinya, para pelajar dari sekolah itu-itu saja memang doyang tawuran
(Wawasan, 2005 dalam Rois dan Kurniawan 2005: 86).
Di bekasi kecamatan Tambun terdapat siswa yang hendak melakukan aksi tawuran
pada tanggal 5 Januari 2018.
Akan tetapi aksi tawuran pelajar digagalkan oleh pihak
kepolisian sehingga sebelas pelajar ditangkap, dan dua orang diproses secara hukum karena
membawa empat butir pil eksimer. Para pelajar dalam melakukan aksi tawuran didapati
membawa senjata tajam berupa sebilah keris, cerulit, besi pipih menyerupai parang serta besi
bekas alab bantu jalan yang ujungnya ditajamkan. (Sindo news, 5 Januari 2018).
Menurut Nitibaskara dalam harian Kompas (2012) pelajar cenderung menganggap
tawuran sebagai cara memperoleh pengakuan dan status tinggi serta disegani dalam
kelompoknya. Semakin tinggi intensitas dan frekuensi dalam tawuran (melakukan
pelanggaran hukum) dan semakin berat pelanggaran dimata hukum dengan melakukan
pemukulan dan penganiyaan, semakin tinggi prestise dan status. Budaya premanisme lainnya
yang ditiru oleh pelajar adalah mitos ketangguhan dan keberanian. Pada nilai ini, yang
tampak adalah kehebatan fisik, ditandai kekuatan menanggung pukulan, menerima serangan,
hingga diintimidasi polisi beresiko dan nekat.
Di lingkungan sekolah sendiri kerap terlibat aksi tawuran, terdapat kelompok pelajar
informal yang anggotanya terdiri dari senior dan juga junior. Senior memiliki peranan
penting dalam mempertahankan keberadaan aksi tawuran pelajar. Senior melakukan
komunikasi dengan juniornya untuk menyampaikan berbagai pesan yang umumnya
dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan tertentu yang telah menjadi tradisi di suatu sekolah.
Budaya tawuran senioritas seakan dibentuk dan diturunkan kakak-kakak kelas kepada siswa
yang baru masuk sekolah, agar tradisi tersebut tetap terjaga. Biasanya, siswa yang baru
masuk diajarkan melakukan tawuran di hari terakhir seusai Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Amalia (2013) menyatakan bahwa dalam hubungan senioritas dan junior, senior
mengenalkan bahkan memberikan didikan kepada juniornya mengenai tawuran. Solidaritas
sesama teman, stereotipe, dan ‘sense of beloging’ yang sangat kuat terhadap kelompok serta
sekolahnya merupakan faktor pendorong bagi pelajar untuk tawuran. Sehingga peristiwa
tawuran merupakan keprihatinan bagi semua pihak elemen bangsa, sejak dari orangtua,
keluarga, masyarakat, dan bangsa. Tentu bangsa akan dirugikan karena pelajar dan generasi
muda adalah generasi penerus penyambung estafet kepemipinan bangsa.
Sekolah sebagai satuan pendidikan merupakan garda terdepan dalam melawan sikap
anarkisme (kekerasan) dikalangan pelajar. Sekolah hendaknya menjadi lembaga yang mampu
menumbuhkembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sekolah diyakini memiliki
potensi besar dalam pembentukan karakter, karena merupakan lembaga yang melakukan
proses pembelajaran, pembinaan, dan pelatihan.
Keseluruhan komponen sekolah sebagai suatu sistem sosial yang harus menyatukan
langkah dan menyamakan persepsi untuk mengikis habis tindakan kekerasan di kalangan
pelajar. Oleh karena itu sistem sosial sekolah memiliki peranan terpenting dalam segala
aktivitas yang dilakukan oleh warga sekolah (Karsidi, 2005: 59). Untuk memahami tawuran
sekolah dan sistem sosial sekolah maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai hubungan
tawuran sekolah dengan sistem sosial sekolah, faktor-faktor yang melatarbelakangi tawuran
sekolah, solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi terjadinya tawuran sekolah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hubungan tawuran sekolah dengan sistem sosial sekolah?
2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tawuran sekolah?
3. Bagaimana solusi yang diberikan untuk mengatasi terjadinya tawuran sekolah?
C.
Landasan Teori
Talcot Parson dalam teorinya yang dikenal dengan teori struktural fungsional. Teori
struktural fungsional melihat bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para
anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang
secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
ketergantungan.
Menurut Talcott Parsons dinyatakan yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem
di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial,
adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu
konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian
sistem, yang dikenal dengan konsep AGIL yaitu
1. Adaptation (adaptasi) : sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus menyesuaikan diridengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu
dengan kebutuhannya.
2. Goal (pencapaian tujuan) : sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan
utamanya.
3. Integrasi (integration): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi
penting lainnya (A,G,I,L).
4. Latency (pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan
memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi.
Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang
ada dan berkaitan dengan hubungan sistem dan lingkungannya serta sarana-sarana melalui
mana penyelesaian ini harus dipenuhi (Paloma, Margarethan, 1994: 183).
Sistem organisasi biologis dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi
yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan
kebutuhan. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan
tujuan dan mengerakan segalasumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan. Sistem sosial
berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen pembentukan
masyarakat. Akhirnya sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan polapola atau struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai yang memotivasi
mereka dalam melakukan suatu tindakan.
Inti pemikiran Parsons ditemukan didalam empat sistem tindakan ciptaannya. Parsons
menemukan jawaban problem didalam fungsionalisme struktural dengan asumsi sebagai
berikut:
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5 .Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupkan dua proses fundamental yang diperlukan untuk
memelihara keseimbangan sistem.
7. Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi
pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan
sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan
untuk merubah sistem dari dalam.
Talcot Parson menganalisis masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Inti dari suatu
sistem adalah hubungan antara bagian yang membentuk satu keseluruhan yaitu berupa
organisme sosial. Karena organisme sosial merupakan suatu sistem, maka bagian dari
organisme sosial (masyarakat) tersebut berusaha untuk menetralisir ganguan atau
mempertahankan keseimbangan. Parson memperkenalkan dua konsep yang berkenaan
dengan sistem sosial yaitu sebagai berikut.
a. Konsep Fungsi,yang mana dimengerti sebagai sumbangan kepada keselamatan dan
ketahanan sistem sosial.
b. Konsep pemeliharaan keseimbangan, dimana hal ini merupakan ciri utama dari tiap
sistem sosial.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Parson melihat masyarakat sebagai suatu
sistem yang mana tiap unsur saling mempengaruhi, saling membutuhkan, dan bersama-sama
membangun totalitas yang ada, serta bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan.
Institusi sosial merupakan sesuatu yang timbul akibat tindakan manusia yang
memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok atau koloni sesuai dengan
latar belakang sosial dan kebutuhan masing-masing. Agar ketertiban pelaksanaan kehidupan
bermasyarakat antar kelompok-kelompok tersebut tercipta maka diperlukan tata aturan atau
yang populer disebut dengan norma. Kekuasaan,Wewenang, dan kepemimpinan dalam satu
sistem kemasyarakatan dimana individu berkumpul, bertemu, dan berinteraksi untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Pendekatan fungsional struktural melihat lembaga sekolah diibaratkan masyarakat
kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponenkomponennya. Bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial
yang berwujud organisasi formal (Ravik,Karsidi, 2005:59). Sekolah sebagai bentuk
pendidikan formal tentunya dijalankan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Berbagai bentuk aktivitas belajar dan mengajar didesain dan diselenggarakan sedemikian
rupa agar siswa ataupun lulusannya mampu menjelma sebagai manusia yang berkualitas, atau
lebih khusus disebut sebagai masyarakat madani, diantaranya dicirikan dengan sosok yang
berbudaya, maju, sadar akan hak dan kewajibannya, dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Peserta didik sebagai unsur pendidikan di suatu sekolah semestinya akan terjamin
bebas dari berbagai bentuk perilaku yang menyimpang dari tujuan pendidikan di tempat
bernanung dan menuntut ilmu mampu menampilkan lingkungan sejalan dengan tujuan
pendidikan.
Apabila faktanya dalam suatu sistem tersebut terjadi ketidakseimbangan
terhadap penyerapan nilai-nilai dapat menjadi pemicu siswa melakukan perilaku destruktif
seperti tawuran.
Dalam suatu lingkungan siswa melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya (peer
group) dan
sering ditemukan siswa membentuk kelompok. Menurut William Graham
Summer ada dua jenis kelompok yaitu: “In group” (kelompok dalam) dan “Out group “
(kelompok luar). Kelompok dalam (in group) didefenisikan sebagai kelompok atau kategori
apappun dimana orang merasa nyaman berada dalam kelompoknya. Kelompok tersebut
terdiri siapa saja yang dianggap “kita” dan kelompok luar (out group) adalah kelompok atau
kategori dimana orang tidak termasuk di dalamnya (Soekanto,2004 : 405-406). Tawuran
muncul sebagai historitas yang dimiliki oleh suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Sehingga dalam kelompok pelajar yang melakukan tawuran, terdapat sikap in group dan out
group.
Ronald R. Akers (2013:13) dalam Mappa, Muslim (2016: 5) menyatakan bahwa
perilaku teman-teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi apakah
perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah perilaku
menyimpang. Teori ini menghubungkan penyimpangan dengan ketidak mampuan untuk
menghayati nilai dan norma yang dominan di masyarakat. Ketidakmampuan mungkin
disebabkan oleh sosialisasi dalam kebudayaan yang menyimpang. Teori Sosialisasi
menyatakan bahwa seseorang biasanya menghayati nilai-nilai dan norma-norma dari
beberapa orang yang dekat dan cocok dengan dirinya. Jadi, bagaimanakah seseorang
menghayati nilai-nilai dan norma-norma sosial sehingga dirinya dapat melahirkan perilaku
menyimpang.
Berdasarkan teori Asosiasi Diferensiasi bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil
dari proses belajar. Sutherland dalam Suyanto Bagong dan Narwoko J Dwi (2010: 112)
menyatakan bahwa penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas
suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari
subkultur atau diantara teman-teman sebaya yang menyimpang. Di tingkat kelompok,
perilaku menyimpang adalah konsekuensi dari terjadinya konflik normative. Artinya,
perbedaan aturan sosial di berbagai kelompok sosial, seperti: sekolah, lingkungan tetangga,
kelompok teman sebaya atau keluarga, yang dapat membingungkan individu yang masuk ke
dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi itu dapat menyebabkan ketegangan yang
berunjung menjadi konflik normative pada diri individu.
D.
Pembahasan
1.
Hubungan Tawuran sekolah dan Sistem Sosial di sekolah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa tawuran adalah perkelahian
beramai-ramai atau dapat disebut juga berkelahi secara masal. Bentuk dari tawuran sendiri
merupakan bentuk kekerasan yang terbuka yang dilakukan oleh sekelompok pelajar maupun
mahasiswa.
Menurut Ridwan dalam Azis (2014) tawuran pelajar didefinisikan sebagai
“perkelahian massal yang dilakukan oleh sekelompok siswa terhadap sekelompok siswa
lainnya dari sekolah yang berbeda. Tawuran terbagi dalam tiga bentuk :
1) Tawuran antar pelajar yang telah memiliki permusuhan secara turun temurun.
2) Tawuran satu sekolah melawan satu perguruan yang didalamnya terdapat
beberapa jenis sekolah.
3) Tawuran antar pelajar yang sifatnya incidental yang dipicu situasi dan kondisi
tertentu.
Solikhah dalam Tamimi Oesman (2010:5) tawuran didefinisikan sebagai “perkelahian
massal yang merupakan perilaku kekerasan antar kelompok pelajar laki-laki yang ditujukan
kepada kelompok pelajar dari sekolah lain”. Berdasarkan pelakunya “Aktor pelaku tawuran
adalah remaja pelajar yaiutu anak-anak remaja yang duduk dibangku SMU. Ciri khas sosial
mereka adalah memiliki solidaritas sosial atau solidaritas kelompok yang tinggi, mudah
mengalami frustasi dan kekcewaan, mudah mengalami ketidak nyamanan karena lingkungan
sosial fisik yang tidk menyenangkan seperti panas, bising, berjubel” (Calchoun dan Acocella,
1955:368-369).
Saleh (2004:141) perkelahian massal pelajar antar sekolah adalah bentuk-bentuk
tindakan kekerasan yang terjadi antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah satu sama
lain yang mempunyai perasaan saling bermusuhan atau persaingan. Selain pengertian diatas,
Saleh (2004: 159-160)
menyebutkan bahwa tawuran adalah pelaku kolektif yang
“memberdayakan” potensi agresifitas negative pelajar didasari oleh solidaritas keremajaan
dalam rangka menunjukkan keunggulan jati diri tanpa memperhatikan dan memperhitungkan
norma, aturan, dan kaidah-kaidah agama.
Sehingga disimpulkan bahwa tawuran adalah perkelahian antara dua kelompok atau
lebih yang bertikai secara verbal dan non-verbal akibat tindakan negatif yang didasari oleh
solidaritas antar kelompok atau individu, dan kebanyakan dalam tawuran tersebut tanpa
memperhatikan masalah norma, aturan, dan agama.
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial
integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain.
Zamroni (2001) menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu
dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat,
seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta
kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga
sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan
mengelola komponen-komponennya.
Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial
berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh
latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah. Pendekatan
fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari
peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi
pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan
tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga
formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua,
siswa,
pengawas,
administratur
merupakan
komponen-komponen
fungsional
yang
berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan
sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga di sini fungsional strukural
melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai
satu-satunya pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh
warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi
statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran
mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran
yang tinggi.
Asumsi dasar bahwa pelajar sebagai masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan,
akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaanperbedaan sehingga para siswa tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian para siswa merupakan
kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Ini menjelaskan bahwa ketika telah disepakati sebagai seorang peserta didik (siswa)
dengan berbagai hal yang terkait seperti mengenai hak dan kewajiban siswa sebagai kaum
terdidik ialah merasa bersatu antara satu dengan yang lainnya, saling berhubungan dan saling
ketergantungan. Hendaknya dari sudut pandang teori ini mampu mencapai tujuan yakni
menciptakan kultur persatuan dan kebersamaan, tidak malah saling menyerang, menyalahkan
dan terjadi perpecahan.
Melihat tawuran yang terjadi antar pelajar ini dapat dianalisis melalui struktur dan
tindakan. Ini melalui perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang melibatkan
persyaratan fungsional tersebut. Berdasarkan teori structural fungsional Talcot Parson
hendaknya terjadi suatu kesadaran diantara pelajar karena berdasarkan ide dan nilai (normanorma) untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya tindakan terjadi dengan kondisi yang
unsurnya sudah pasti. Tawuran sebagai tindakan pada suatu kondisi yang mungkin unsurunsur yang terdapat diantara alat, tujuan, situasi, dan norma ada yang tidak benar (salah).
Dalam kejadiannya individu siswa tidak hanya dipengaruhi oleh unsur tersebut namun juga
oleh orientasi subjektifnya (dirinya) masing-masing.
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi tawuran
Menurut Zulvamulayati (2013) ada beberapa faktor yang melatarbelakangi siswa
melakukan tawuran.
2.1.
Dalam persefektif secara sosiologi
Secara sosiologis dapat dilihat bahwa alasan seseorang pelajar melakukan tawuran
adalah:
a.
Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan
Para pelajar yang tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan dalam
kepribadiannya, mereka tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak pantas.
Keadaan tersebut terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, yang
diakbatkan seperti tingkat kesetresan siswa yang tinggi dan pemahaman akan agama
yang masih rendah. Sehingga mengakibatkan siswa perilakunya tidak terkendali dan
terjadilah tawuran.
b.
Proses belajar yang menyimpang.
Tawuran sering terjadi dikarenakan seringnya membaca atau melihat tayangan
tawuran. Hal itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan oleh
proses belajar yang menyimpang.
c.
Ketegangan antar kebudayaan dan struktur sosial
Ketegangan antar kebudayaan dan struktur sosial terjadi apabila dalam suatu tujuan
pelajar tidak memperoleh peluang itu sendiri, maka terjadilah perilaku menyimpang.
Biasanya permusuhan sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun
remaja yang masih labil tingkat emosionalnya justru menanggapinya sebagai sebuah
tantangan. Pemicu lainnya karena dendam. Dengan rasa solidaritas (kesetiakawanan)
yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakukan yang disebabkanoleh
siswa yang dianggap merugikan seoran siswa atau mencemarkan nama baik sekolah
tersebut.
d.
Ikatan sosial yang berlainan.
Para pelajar umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok. Jika pergaulan
mempunyai pola-pola perilaku yang menyimpang, maka pelajar juga akan mencontoh
pola-pola perilaku menyimpang. Tawuran antar pelajar terbentuk semenjak
terciptanya geng-geng. Perilaku anarkhis yang dipertontonkan ditengah-tengah
masyarakat. Pelajar tidak lagi merasa bahwa perbuatan yang dilakukan sangat tidak
terpuji dan bisa menganggu masyarakat dan merasa bangga jika masyarakat menjadi
takut dengan geng atau kelompoknya.
e.
Akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang
Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tawuran
menyebabkan pelajar secara tidak sengaja menganggap tawuran adalah hal yang
wajar, terlebih bagi para pelajar itu sendiri.
f.
Sosialisasi pelajar dalam lingkungan keluarga sebagai sosialisasi primer bagi anakanak dan sosialisasi sekunder pelajar di lingkungan sekolah dan interaksi mereka
terhadap lingkungan sekitarnya.
1). Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam melakukuan sosialisasi. Di
tengah keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak
kepribadian remaja dan menjadi pondasi primer atau utama bagi perkembangan
peserta didik. Baik buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau
buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak.
2). Faktor Lingkungan Sekolah.
Pelajar dalam melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di
sekolah tidak
menemukan kesenangan dan keantusiasan belajar di sekolah yang disebabkan oleh
berbagai kekurangan-kekurangan sekolah seperti suasana belajar dikelas yang
monoton, kaku, dan menjenuhkan, tidak ada fasilitas yang memadai dari sekolah
sehingga membuat efek jenuh bagi pelajar. Dapat disimpulkan bahwa lingkungan
merupakan stimulus atau rangsangan terhadap respon yang dapat muncul pada diri
pelajar.
2.2.
Dalam persfektif secara psikologis
Terjadinya tawuran pelajar dalam dimensi perilaku erat kaitannya dengan aspek
psikologis dari para pelajar. Persoalan terjadinya karena salah persepsi, sikap yang
negative, bahkan hingga ke persoalan identitas kelompok dan daerah. Identitas
kelompok yang mengeras dan ekslusif menimbulkan jarak dengan kelompok lain, dan
amat mudah memunculkan konflik.
3.
Solusi Tawuran Pelajar dalam Persfektif Sosiologi Pendidikan
Persoalan tawuran pelajar harus menjadi perhatian serius semua pihak mengingat
bahwa perilaku kekerasan dapat merugikan individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Sangat diperlukan pemikiran komperhensif dan diaplikasikan dalam rangka mengatasi
fenomena tawuran pelajar yang semakin meresahkan.
Pendidikan yang berkualitas, berakhlak mulia tentu sangat diperlukan untuk
mengatasi tawuran pelajar. Karena itu menurut Supriyadi (2000) praktik pendidikan yang
kurang mengakomomodasi empat pilar pendidikan yang meliputi: belajar bagaimana
mengetahui (learn how to know), belajar bagaimana menjadi diri sendiri (learn how to be),
belajar bagaimana bisa bekerja (learn how to do), dan bagaimana dapat hidup bersama (learn
(how to life together). Menuru Supriyadi (2000) keempat pilar pendidikan dalam proses
belajar mengajar di sekolah harus memegang teguh dan menginternalisasikan agar siswa
tidak hanya memiliki keunggulan intelektual, tetapi pada saat bersamaan juga memiliki
kemandirian, berdaya saing, bersikap demokratis dan selalu peduli terhadap sesama.
Taksonomi Bloom menganjurkan supaya pendidikan memperhatikan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik siswa, dan memperhatikan ketiga aspek tersebut secara
proporsional. Sehingga pendidikan tidak boleh hanya mengedepankan aspek kognisi
(intelektual) siswa sementara aspek afektif dan psikomotorik
sebagai instrument utama
pendidikan karakter siswa terabaikan.
Pendidikan karakter adalah sebuah poros penanaman nilai esensial pada diri anak
melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai
individu mampu memahami, mengalami, mengintegrasikan nilai yang menjadi core values
dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya. Pendidikan karakter juga
sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat memberikan kontribusi
yang positif kepada lingkungannya.
Ratna Megawangi (2004) dalam Tuwah dan Solehun (2012: 98) menyatakan bahwa
nilai yang layak ditanamkan kepada pelajar memuat sembilan pilar karakter, yaitu: 1). Cinta
Allah dan segala ciptaan-Nya; 2). Kemandirian dan tanggung jawab; 3.) Kejujuran, amanah
dan bijaksana; 4). Hormat dan santun; 5). Dermawan, suka menolong dan gotong royong; 6).
Percaya diri, kreatif dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; 7). Baik dan rendah hati;
8). Toleransi dan kedamian; serta 9). Kesatuan.
Pendidikan karakter dapat dijalankan dengan pendekatan persuasif agar pelajar
terbimbing untuk memahami dan mempraktikkan nilai-nilai positif dalam kehidupan seharihari. Untuk itu, dengan mengedepankan hati nurani, para pendidik bertanggung jawab untuk
membangun kesadaran siswa terhadap nilai-nilai luhur bangsa. Setiap pendidik dituntut untuk
mampu mengintegrasikan pendidikan karakter di setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieskpisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dan mengedepankan kegiatan
ekstrakulikuler yang mengedepankan jiwa kemanusiaan (seperti: Pramuka, PMR, PMI,
lembaga seni) membentuk suatu forum komunikasi antar pelajar untuk menjalin persaudaraan
dan persatuan, serta memasukkan perilaku siswa dalam indikator penilaian..
Pelaksanaan pendidikan karakter menurut Tuwah dan Solehun (2012:107) terkait
dengan manajemen atau pengelolaan sekolah.
Pengelolaan yang dimaksudkan adalah
bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan
antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan
demikian manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan
karakter di sekolah. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah
terbentuknya budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan
masyarakat sekitar sekolah.
Selain melalui pendidikan karakter disebutkan juga bahwa untuk mengurangi aksi
tawuran dapat dilakukan dengan cara :
a. Memberikan pendidikan moral untuk para pelajar . Pelajaran agama di sekolah harus
lebih di fokuskan sejak dini kepada generasi muda sekarang agar dapat membentengi
mereka dari hal yang negatif,khusunya dalam agama Islam , islam tidak pernah
mengajarkan kekerasan dalam kehidupan,semua permasalahn bisa diselesaikan secara
terbuka tanpa adanya kekerasan.
b. Menghadirkan seorang figur yang baik yang bisa dijadikan teladan bagi anakanaknya conntohnya orang tua,guru sebaiknya memberikan contoh yang baik kepada
anak-anaknya sehingga mereka akan meniru hal-hal yang baik pula.
c. Memfasilitasi para pelajar baik dirumah maupun disekolah serta di bangku perguruan
tinggi.Dalam artian terdapat lembaga/wadah untuk menyalurkan potensi dan bakat
yang ada pada generasi muda untuk mengisi waktu luangnya ke arah yang bermanfaat
sekaligus mendidik dan tentunya menjauhkan dari hal yang berbau anarkisme.
Sementara untuk memberantas tawuran pelajar dapat dilakukan dengan :
a. Membuat Peraturan Sekolah Yang Tegas
Bagi siswa siswi yang terlibat dalam tawuran akan dikeluarkan dari sekolah. Jika
semua siswa terlibat tawuran maka sekolah akan memberhentikan semua siswa dan
melakukan penerimaan siswa baru dan pindahan. Setiap pelajar siswa siswi harus
dibuat takut dengan berbagai hukuman yang akan diterima jika ikut serta dalam aksi
tawuran. Bagi yang membawa senjata tajam dan senjata khas tawuran lainnya juga
harus diberi sanksi.
b. Memberikan Pendidikan Anti Tawuran
Pelajar diberikan pemahaman tentang tata cara menghancurkan akar-akan penyebab
tawuran dengan melakukan tindakan-tindakan tanpa kekerasan jika terjadi suatu hal,
selalu berperilaku sopan dan melaporkan rencana pelajar-pelajar badung yang
merencanakan penyerangan terhadap pelajar sekolah lain. Jika diserang diajarkan
untuk mengalah dan tidak melakukan serangan balasan, kecuali terpaksa.
c.
Kolaborasi Belajar Bersama Antar Sekolah
Selama ini belajar di sekolah hanya di situ-situ saja sehingga tidak saling kenal
mengenal antar pelajar sekolah yang satu dengan yang lainnya. Seharusnya ada
kegiatan belajar gabungan antar sekolah yang berdekatan secara lokasi dan memiliki
kecenderungan untuk terjadi tawuran pelajar. Dengan saling kenal mengenal karena
sering bertemu dan berinteraksi maka jika terjadi masalah tidak akan lari ke tawuran
pelajar, namun diselesaikan dengan cara baik-baik.
d. Membuat Program Ekstrakurikuler Tawuran
Diharapkan setiap sekolah membuat ekskul konsep baru bertema tawuran, namun
tawuran pelajar yang mendidik, misalnya tawuran ilmu, tawuran olahraga, tawuran
otak, tawuran dakwah, tawuran cinta, dan lain sebagainya yang bersifat positif.
Tawuran-tawuran ini sebaiknya bukan bersifat kompetisi, tetapi bersifat saling
mengisi dan bekerjasama sehingga bisa bergabung dengan ekskul yang sama di
sekolah lain.
e. Siswa diarahkan ke hal hal positif dengan diberikan tanggungjawab
Dengan diberi tanggungjawab siswa diharapkan mempunyai sebuah beban yang harus
mereka pikul dan untuk kemudian membawanya ke aktifitas yang positif seperti
OSIS, Pramuka, PMR, dll.
f. Orang tua memberikan perhatian yang semestinya kepada anak
Untuk mencegah adanya miss comunication maka peran orang tua dalam hal ini yaitu
memberikan perhatian kepada anak, orang tua juga harus memberikan keterbukaan
kepada anak untuk tidak segan menyatakan keluh kesahnya kepada orang tua baik jika
terdapat masalah maupun hal yang menggembirakan. Sehingga orang tua dapat secara
tidak langsung mengontrol emosi siswa agar tetap stabil dan tidak mudah lari ke hal
yang negatif seperti tawuran.
g. Instituti dan orang tua jangan terlalu menekan siswa dengan berbagai peraturan
yang berlebihan
Pihak – pihak yang secara langsung berhubungan dengan anak sepatutnyalah harus
bisa berinteraksi tanpa harus memberi tekanan yang berlebih seperti suatu pencapaian
prestasi dan telalu ketatnya sebuah peraturan sehingga anak tidak bisa menyalurkan
bakat kreatifitasnya sehingga mencari tempat di mana mereka bebas menyalurkan
aspirasinya tanpa harus ada tekanan dengan melakukan hal-hal yang negatif.
h. Lingkungan masyarakat perlu dibangun sarana organisasi yang menampung
aspirasi & semangat muda
Lingkungan masyarakat yang menjadi lingkungan yang secara langsung berinteraksi
dengan anak, maka dalam lingkungan tersebut haruslah tersedianya saran dimana
anak dapat menyalurkan ide, gagasan, kreatifitas dan emosi yang membangun
sehingga tercipta suatu bentuk kegiatan yang positif yang dapat menjauhkannya ke
hal yang negatif. Seperti sebuah lembaga organisasi yang legal dari pemerintah
sekitar.
Dengan berbagai terobosan-terobosan baru dalam hal kegiatan menanggulangi
tawuran pelajar antar sekolah secara perlahan akan menciptakan persepsi di mana tawuran itu
adalah kegiatan yang sia-sia sehingga tidak layak ikut serta. Sehingga secara berkelanjutan
permasalahan tawuran akan menghilang atau setidaknya berkurang dan lama-kelamaan
tawuran akan segera punah dari dunia pelajar indonesia.
4.
Simpulan
Fenomena tawuran pelajar baik dalam lingkungan sekolah, antar sekolah sering
terjadi dengan aksi brutal dan anarkhis. Kekerasan pelajar tersebut seakan seperti virus yang
ganas. Tawuran pelajar yang mewarnai dunia pendidikan memberikan ketakutan, kepanikan,
dan histeria sosial. Persitiwa tawuran yang terjadi seperti data yang diperoleh dari KPAI yang
telah diulas sebelumnya memakan korban jiwa, rusaknya fasilitas publik
Peristiwa tersebut telah mencoreng wajah pendidikan nasional. Seperti yang telah
kita ketahui bahwa tujuan dari pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan menjadi warga bangsa yang
bertanggung jawab.
Sekolah sebagai insitusi memiliki peranan yang jauh lebih luas dari pada sekedar
tempat belajar (Tuwah dan Solehun, 2012: 117). Berdiri dan diselenggarakannya sebuah
sekolah, pada dasarnya didukung dan dijiwai oleh kebudayaan. Norma-norma atau nilai
kebersamaan yang menjiwai kebudayaan yang mendukungnya itu, harus dijadikan landasan
bagi sekolah mewujudkan peranannya, yang sekaligus ciri khusus yang membedakan dari
lembaga-lembaga lain yang terdapat dalam masyarakat.
Sistem sosial, sekolah merupakan komponen-komponen sosial integral yang saling
berintegrasi dan memiliki kiprah yang bergantung antar satu sama lain. Zamroni dalam
Ravik Karsidi (2005: 59). Sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki
unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintah, warga
masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Keberadaan
guru, siswa, kepala sekolah, psikologi atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas,
administrator merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan
menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi
pendidikan formal..
Apabila komponen saling berkaitan tidak mampu menjalankan fungsi atau beberapa
komponen terganggu atau rusak tentu akan mempengaruhi. Karena itu keterlibatan semua
komponen untuk berperan secara bersama-sama untuk menerapakan pendidikan karakter
didalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Melalui pendidikan
karakter diharapkan mampu untuk mengurangi timbulnya perilaku dan tindakan kekerasan,
kebencian, dendam, dan hubungan senior dan junior yang ada pada kegiatan Masa Orientasi
Sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Rizka.2013. Komunikasi Senior dan Junior Pada Kelompok Pelajar Dalam Upaya
Mempertahankan Budaya Tawuran, Laporan penelitian Fakultas Universitas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Amin, Mochamad Sohliqul.2015. Analisis Sosiologis perkelahian Antar Geng Motor Di
Kecamatan Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. eJournal Sosiologi Konsentrasi.
Volume 3 No.1 Tahun 2015.
Anjari, Wahri. 2012. Tawuran pelajaran Dalam Presfektif Kriminologis, Hukum Pidana, dan
Pendidikan. Widya (Majalah), Edisi 29 No.324 Bulan September-Oktober Tahun
2012.
Bank Data KPAI. 2016. Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Tahun
2011-2016.Bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasusberdasarkan-klaster –perlindungan-anak-2011-2016.
Azis,A. 2014. Tawuran Pelajar. (http://boedioetomo145.blogspot.co.id/2014/01/pengertiantawuran.html).
Haryudi. 2018. Pelajar Tewas Saat Tawuran, Disdik Bogor Sebut Urusan Provinsi.
(https://metro.sindonews.com/read/1270502/170/pelajar-tewas-saat-tawuran-disdikbogor-sebut-urusan-provinsi-1514905113). 2 Januari 2018.
Haryudi. 2018. Balas Dendam, Puluhan Pelajar Serang SMK Yafis Bogor.
(https://metro.sindonews.com/read/1273202/170/balas-dendam-puluhan-pelajarserang-smk-yafis-bogor-1515759334), 12 Januari 2018.
Herieningsih, Sri. 2014. Analisis Framing Berita Tawuran Antar Pelajar di Harian Kompas.
Jurnal Ilmu Sosial Volume 13 No. 1 Februari 2014.
Idi, Abdullah.2014. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta:
Rajawali Pers
Idi, Abdullah.2015. Etika Pendidikan: Keluarga, Sekolah, dan, Masyarakat. Jakarta:
Rajawali Pers
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press dan LPP UNS
Kurniawan, Rois. 2015. Tawuran, Prasangka Terhadap Kelompok Siswa Sekolah Lain, Serta
Konformitas pada Kelompok Teman Sebaya. Jurnal Proyeksi Volume 4 (2).
Mappa, Muslim. 2016. Begal Motor Sebagai Perilaku Menyimpang. Jurnal Equilibrium
Pendidikan
Sosiologi.Volume
IV
No.
1
Mei
Tahun
2016,
(https://media.neliti.com/media/publications/60848-ID-begal-motor-sebagai-perilakumenyimpang.pdf)
Soekanto,Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Solehun dan Tuwah. 2012. Pendidikan Karakter, Antara Harapan dan Kenyataan.
Jogjakarta: Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan.
Suyanto, Bagong dan Narwoko, J. Dwi. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.