TUGAS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER MONITORING FARMASI KLINIK KASUS PASIEN CHF, AMI, ATRIAL FIBRILATION DAN HIPOTENSI DI BANGSAL ASOKA Disusun oleh: Sukmawati Marjuki I4C018093 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PERIODE AGUSTUS - SEPTEMBER 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan terapi obat (PTO) dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki (Departemen Kesehatan RI, 2009). CHF atau Congestive Heart Failure merupakan suatu kondisi kronis ketika jantung tidak memompa darah sebagaimana mestinya, sering disebut dengan gagal jantung. Gagal jantung merupakan penyakit dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju dan berkembang termasuk Indonesia. Gejala mencakup sesak napas, kelelahan, kaki bengkak, dan denyut jantung yang cepat (Perki, 2015). Atrial Fibrilasi (AF) merupakan suatu keaadan dimana denyut jantung tidak teratur dan sering kali cepat yang umumnya menyebabkan aliran darah tidak lancar. Atrial Fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi Atrial Fibrilasi mencapai 1-2% dan mengalami peningkatan dalam 50 tahun mendatang. Atrial Fibrilasi menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas yang tinggi termasuk stroke, gagal jantung dan penurunan kualitas hidup, pasien dengan diagnosa AF memiliki resiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF (Perki, 2014). AMI atau Acute Myocardial Infarction merupakan kondisi dimana ada suatu peyumbatan aliran darah ke otot jantung, sering disebut dengan sindrom koroner akut ataupun serangan jantung. Sindrom koroner akut merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Gejala dapat berupa rasa sesak atau nyeri di dada, leher, punggung, atau lengan, serta kelelahan, limbung, detak jantung abnormal, dan kecemasan (Perki, 2015). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Congestive Heart Failure (CHF) Congestive Heart Failure (CHF) adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung dapat timbul dari gangguan apa pun yang mengurangi pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan / atau kontraktilitas miokard (disfungsi sistolik) (Dipiro, 2015). Sedangkan menurut Perki (2015) gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. a. Etiologi CHF atau gagal jantung disebabkan oleh beberapa gangguan disfungsi sistolik atau disfungsi diatolik. Penyebab disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) adalah berkurangnya massa otot (misalnya infark miokard), kardiomiopati dilatasi, dan hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel dapat disebabkan oleh tekanan berlebih (seperti Hipertensi sistemik atau paru dan stenosis katup aorta atau pulmonal) atau volume berlebih (misalnya regurgitasi katup, pirau, keadaan keluaran tinggi). Penyebab disfungsi diastolik (pembatasan pengisian ventrikel) adalah peningkatan kekakuan ventrikel, hipertrofi ventrikel, penyakit miokard infiltratif, iskemia miokard dan MI, stenosis katup mitral atau trikuspid, dan penyakit perikardial (misalnya, perikarditis dan tamponade perikardial) (Dipiro, 2015). b. Patofisiologi Jantung yang memiliki mekanisme adaptasi untuk mempertahankan kinerja jantung secara keseluruhan. Ketika fungsi jantung berkurang setelah cedera miokard, jantung bergantung pada mekanisme kompensasi: (1) takikardia dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf simpatis; (2) mekanisme Frank-Starling, di mana peningkatan preload meningkatkan volume stroke; (3) vasokonstriksi; dan (4) hipertrofi ventrikel dan remodeling. Meskipun mekanisme kompensasi ini awalnya mempertahankan fungsi jantung, mereka bertanggung jawab atas gejala gagal jantung dan berkontribusi terhadap perkembangan penyakit (Dipiro, 2015). Dalam model neurohormonal Gagal Jantung, kejadian awal (misalnya, MI akut) menyebabkan penurunan curah jantung; keadaan gagal jantung kemudian menjadi penyakit sistemik yang perkembangannya dimediasi sebagian besar oleh neurohormon dan faktor autokrin / parakrin. Zat-zat ini termasuk angiotensin II, norepinefrin, aldosteron, peptida natriuretik, arginin vasopresin, peptida endotelin, dan biomarker sirkulasi lainnya (misalnya, protein C-reaktif) (Dipiro, 2015). c. Klasifikasi gagal jantung kongetif (CHF) Klasifikasi gagal jantung kongetif (CHF) berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), yaitu sebagai berikut : d. Tatalaksana Terapi Tujuan dari terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas (dengan meringankan gejala dan tanda, memperbaiki kualitas hidup, menghilangkan edema dan retensi cairan, mengurangi kelelahan dan sesak nafas), serta pencegahan terjadinya kerja jantung yang memburuk (Perki,2015). Tatalaksana terapi CHF berdasarkan American Heart Association sebagai berikut (Yancy et al., 2013) : Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan CHF berdasarkan kalsifikasi chf, sebagai berikut (Perki,2015) : a. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) ACEI dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan karena terjadi perburukan gagal jantung. ACEI dapat menyebabkan memperburuk fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angiodema, oleh karena itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Mekanisme kerja ACEI dapat menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Indikasi pemberian ACEI yaitu untuk fraksi ejeksi ventrikel kiri≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala. Dengan kontraindikasi yaitu Riwayat angioedema, Stenosis renal bilateral, Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, Serum kreatinin > 2,5 mg/dL, dan Stenosis aorta berat. b. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) ARB memiliki mekanisme kerja dengan memblokade reseptor AT1 sehingga dapat menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na dan cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular. ARB memiliki efek yang hampir sama dengan ACEI. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk. Indikasi pemberian ARB yaitu Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI. Kontraindikasi pemberian ARB yaitu Sama seperti ACEI, kecuali angioedema, Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI. c. Beta Bloker Beta bloker bekerja memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan karena terjadi perburukan gagal jantung. Beta bloker diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Indikasi pemberian Beta Bloker yaitu untuk Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA), ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat). Beta Bloker dikontraindikasikan yaitu Asma, Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit). Efek samping yang tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian beta bloker :Hipotensi simtomatik, Perburukan gagal jantung dan Bradikardia. d. Diuretik Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Dengan mekanisme kerja diuretik dengan meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida, sehingga menurunkan volume darah dan cairan estraseluler. e. Antagonis Aldosteron Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor. Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu untuk Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu dengan Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, Serum kreatinin> 2,5 mg/dL, Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium dan Kombinasi ACEI dan ARB. Efek tidak menguntungkan :Hiperkalemia, Perburukan fungsi ginjaldan Nyeri dan/atau pembesaran payudara. f. Digoksin Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat. Pada pasien gagal jantung simtomatik,fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus. Berikut merupakan tabel dosis obat-obat yang digunakan dalam pengobatan gagal jantung, sebagai berikut : 2.2 Acute Myocard Infarction (AMI) Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala klinis yang menggambarkan kondisi iskemik miokard akut. Nyeri dada adalah gejala utama yang dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal, namun klasifikasi selanjutnya didasarkan pada gambaran elektrokardiografi (EKG). Terdapat dua klasifikasi pasien SKA berdasarkan gambaran EKG yaitu infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung. Terapi awal yang diberikan pada pasien SKA yaitu Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Berikut merupakan tabel jenis dan dosis antiplatelet yang digunakan untuk AMI : STEMI dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya gagal jantung, fibrilasi atrium dan hipotensi. 2.3 Atrial Fibrilasi Atrial Fibrilasi (AF) merupakan suatu keaadan takiaritmia superventrikular yang khas, dengan aktivitas atrium tidak terkoordinasi sehingga memperburuk kerja atrium. Tanda dan gejala terjadinya AF dapat dilihat pada elektrokardiogram (EKG) ditandai dengan tidak konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentukdan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, AF biasanya disusul olehrespons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.AF berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Perki, 2014). Patofisiologi pada AF terjadi pada Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung yang memiliki peran dengan terjadinya peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal), terjadi perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Pada Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas AF selama hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan periode refrakter dengan penurunan (down regulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya AF. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika miofibri (Perki,2014). Gejala dari atrial fibrilasi adalah dengan terjadinya peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada (Perki, 2014). Pada pasien AF dengan gagal jantung dengan terapi antagonis kanal kalsium yang memiliki sifat inotropiknegatif sebaiknya dihindari. Untuk kendali laju jantung pada AFsebaiknya menggunakan obat penyekat beta dan bila perlu dapat ditambahkan digitalis (Perki, 2014). Berikut merupakan tabel rekomendasi terapi untuk mengobati AF pada pasien gagal jantung : 2.4 Hipotensi Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output. Alur terapi pada gagal jantung dengan adanya edema paru akut. BAB III PEMBAHASAN Kasus Tn. S umur 49 Tahun masuk IGD pada tanggal 3 Agustus 2019 dengan keluhan sesak sejak 5 hari yang lalu pada malam hari dan saat beraktivitas, nyeri dada dan mual. Pasien merupakan rujukan RS Goeteng perawatan hari keempat. Diagnosa awal di IGD adalah CHF, AMI, AF dan Hipotensi. Kondisi saat di IGD : TD : 80/50 mmHg Nadi : 70 x/ menit RR : 22 x/menit Suhu : 36,3 C Di IGD di terapi dengan : IVFD RL 20 TPM, INJ Dobutamin 5 meq/kgBB/min, INJ Furosemid 20 mg 3 x 1 amp (diberikan bila TDS>100 mmHg), INJ Ranitidine 2 x 50 mg , Aspilet 80 mg 1 x 1 tab, CPG 75 mg 1 x 1 tab, Digoxin 0,25 mg 1 x1 tab dan curcuma 3 x 1 tab. RPD : Obat saat ini : - A. Rekonsiliasi RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Nama : Tn. S Nomor RM : 0 2 1 RM 0 7 6 0 2 Tanggal lahir / Umur : 27-09-1970/ 49 th Ruang : Asoka Kelas : I / II / III / Utama / VIP / VVIP L/P REKONSILIASI OBAT Saat ADMISI (penggunaan obat resep/non resep sebelum admisi Ya/Tidak, Alergi : Dari :RSUD Goeteng No Nama Obat (contoh : Inj ranitidine 50 mg) Jml Obat Aturan Pakai/ Terakir Pemberian Tindak Lanjut Aturan Pakai ole DPJP Ket. Perubahan 20 tpm Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) Inj. Omeprazole 2 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 3 Inj. Ondansentron 2 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 4 Inj. Furosemide 3 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 5 6 7 8 9 10 11 12 Inj. Cefotaxime Inj. SNMC Miniaspi CPG ISDN Spironolactone Bisoprolol Curcumex Saat Transfer 1 Inf. Komafusin Hepar 2 No 3 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 x 2 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 3 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 3 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) (Dari Ruang : IGD) (Ke : Asoka) Tanggal : 3/08/2019 Nama Obat (contoh : Inj ranitidine 50 mg) Aturan Pakai Tindak Lanjut Aturan Pakai ole DPJP 20 tpm Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 5meq/KgBB/mi n Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 1 Inf. RL 2 Inj. Dobutamin 3 Inj. Furosemide 20 mg 3 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 4 Inj. Ranitidine 50 mg 2 x 1 amp Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) Keterangan Perubahan 8meq/KgBB/m in 5 Aspilet 80 mg 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 6 CPG 75 mg 1 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) 7 8 Digoxin 0,25 mg Curcuma 1 x 1 tab 3 x 1 tab Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) Lanjut/Ada Perubahan/Stop*) A. RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO INSTALASI FARMASI Nomor RM : Nama : Tn. Slamet 2 0 1 RM 0 7 6 1 0 2 Tgl lahir/Umur : 27/09/ 1970/49 th BB : 60kg; TB : 170 cm; Kamar : Asoka (8) RPM : Sesak sejak 5 hari YLL (malam dan aktivitas), Nyeri dada, Mual RPD : Diagnosis : CHF, AF, AMI, Hipotensi Merokok : - batang/hr Kopi : - gelas/hr; Lainnya : Rjukan RSUD Goeteng perawatan hari ke-4 Alergi : PEMANTAUAN TERAPI OBAT (1) Diisi oleh Apoteker yang merawat : Parenteral Laboratorium Rutin Keluhan Tanda Vital Parameter / Tgl Tekanan Darah (mm Hg) Nadi (kali per menit) Suhu Badan (oC) Respirasi (kali per menit) Sesak Nafas Nyeri dada Nyeri ulu hati Tangan Linu BAB sedikit keras Mual Laboratorium Rutin / Tanggal Trombosit SGOT SGPT Ureum Terapi (Nama obat, kekuatan) Inj. Dobutamine Inj.Furosemide Inj. Ranitidine Nilai Normal 3/8/19 IGD 4/8/19 Asoka 120/ 80 80/50 110/70 70 60100x/menit 36,5 - 37,5 1620x/menit Nilai Normal 150000440000 15-37 16-63 14,98-38,52 Aturan pakai 5 meq/ kgBB/min 3 x 1 Amp 2 x 50 mg 5/8/19 Asoka 110/70 6/8/19 Asoka 110/70 7/8/19 Asoka 120/80 8/8/19 Asoka 130/80 76 76 78 57 57 36,3 37 37 37 37 20 37 20 22 20 20 20 ++ + + + + - + + + + - + + + + + - + + - - - - - - - 428 1108 56,31 - - - - - √ 8meq/kg BB/min √ √ √ - - √ √ √ √ √ √ 3/8/19 95000 √ √ √ √ Oral I.V.F.D Aspilet 80 mg Clopidogrel Digoxin Curcuma Spironolactone 25 mg 1x1 tab 1x1 tab 1x1 tab 3x1 tab 1-0-0 √ √ √ √ √ √ √ √ √ stop √ √ √ √ √ √ √ √ - - √ √ √ Infus RL 20 tpm √ √ √ √ √ Pemeriksaan Penunjang : USG terdapat efusi pleura √ √ √ √ √ B. Asuhan Kefarmasian Nama : Tn. W RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO INSTALASI FARMASI Nomor RM : 0 Tgl lahir/Umur : 15-12-1941/77th BB : kg; TB : cm; 2 RM 0 8 8 3 1 0 Kamar : Asoka 5 PEMANTAUAN TERAPI OBAT (2) Diisi oleh Apoteker yang merawat Tanggal 3/08/201 9 Subjektif Sesak Nafas, Nyeri dada, Mual Objektif Diagnosa CHF, AF, AM, Hipotensi TD = 80/50 mmHg Nadi = 70 kali/menit Respirasi = 22 kali/menit Hasil lab SGOT = 428 SGPT = 1108 Ureum = 56,31 Kalium = 3,9 Terapi = Inj. Dobutamin Inj. Furosemide, Inj. Ranitidin, Aspilet, Clopidogrel, Digoksin, Curcuma, Infus RL Asuhan Kefarmasian Assessment Planning Terdapat DRP Monitoring efek samping potensial ADR obat digoksin (Pusing, - Interaksi antara Diare, Sakit kepala, Mual, furosemide dan Muntah) digoksin yang dapat Monitoring efek samping menyebabkan furosemid (hypokalemia, meningkatnya efek gangguan elektrolit, digoksin dehidrasi, hipotensi, - Interaksi antara peningkatan kreatinin darah) dobutamine dan Monitoring kadar kalium furosemide dapat darah dan elekrolit lainnya menyebabkan resiko hipokalemia - Interaksi antara aspirin dan digoksin dapat menyebabkan resiko hiperkalemia 5/08/201 9 Sesak nafas, Nyeri dada, Nyeri ulu hati, 6/08/201 9 Sesak nafas, Nyeri dada, Nyeri ulu hati, BAB sedikit keras 8/08/201 9 sore Pasien pulang dengan kondisi dan Diagnosa = CHF, AF, AMI TD = 110/70 mmHg Nadi = 76 kali/menit Respirasi = 20 kali/menit Hasil lab SGOT = 428 SGPT = 1108 Ureum = 56,31 Kalium = 3,9 Terapi = Inj. Dobutamin Inj. Furosemide, Inj. Ranitidin, Aspilet, Digoksin, Curcuma, Spironolactone, Infus RL Diagnosa = CHF, AF, AMI TD = 110/70 mmHg Nadi = 78 kali/menit Respirasi = 20 kali/menit Hasil lab SGOT = 428 SGPT = 1108 Ureum = 56,31 Kalium = 3,9 Terapi = Inj. Furosemide, Inj. Ranitidin, Aspilet, Digoksin, Curcuma, Spironolacton,I nfus RL Obat pulang : Furosemid 1-00, Ranitidine 2x1 tab, Miniaspi 1x80 Terdapat DRP potensial ADR - Interaksi antara spironolactone dan aspirin dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia - Interaksi antara spironolactone dan digoxin dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia - Monitoring kadar kalium darah dan elekrolit lainnya Terdapat DRP Indikasi Rekomendasi pemberian belum diterapi laksatif untuk mengurangi - Pasien menderita beban jantung (karena CHF dan mengeluh mengejan) Laxadin syr 15 BAB sedikit. Belum mL sehari sekali. diberikan terapi untuk mengatasi BAB keras keluhan yang sudah membaik mg, Digoxin 1x1 tab, Curcuma 3x1 tab, Spironolactone 25 mg 1-0-0 Tn. S datang ke IGD RSMS pada tanggal 3 Agustus 2019 dengan keluhan sesak napas sejak 5 hari sebelum akhirnya masuk Rumah Sakit, sesak terjadi saat malam hari dan beraktivitas, nyeri dada dan mual. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Goeteng perawatan hari keempat. Pasien dirujuk ke RSMS dengan kondisi Tekanan Darah 80/50 mmHg, Nadi 70 kali/menit, suhu 36,3°C dan pernafasan 22 kali/menit. Di IGD pasien mendapatkan terapi infus RL 20 TPM, injeksi dobutamine 5 meq/kgBB/min, injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, injeksi Furosemid 3x1 amp, aspilet 80mg 1 x 1 tab, Clopidogrel 75 mg 1 x 1 tab, Digoxin 0,25 mg 1 x 1 tab dan Curcuma 3 x 1 tab. Diagnosa dokter : CHF, AMI, AF dan Hipotensi. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa SGOT tinggi 428, SGPT tinggi 1108, dan Ureum darah tinggi 56,31. Pada tanggal 4 Agustus 2019 pasien dipindahkan ke bangsal asoka dan mendapatkan terapi infus RL 20 TPM, injeksi dobutamine 8 meq/kgBB/min, injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, injeksi Furosemid 3x1 amp, aspilet 80mg 1 x 1 tab, Clopidogrel 75 mg 1 x 1 tab, Digoxin 0,25 mg 1 x 1 tab dan Curcuma 3 x 1 tab. Terapi pertama yang diberikan yaitu injeksi dobutamine 5 meq/kgBB/min. Dobutamine merupakan agen inotropik positif. Dobutamine adalah agonis reseptor β1 dan β2 dengan beberapa efek agonis α1, sehingga memiliki efek inotropik yang kuat tanpa menghasilkan perubahan signifikan dalam denyut jantung. Pemberian Dobutamine akan meningkatkan cardiac output , tekanan darah, denyut jantung serta menurunkan resitensi vaskular perifer. Dosis pemberian dobutamine sudah tepat, yaitu dosis pada hari pertama (IGD) 5 meq/kgBB/min dan pada hari selanjutnya ditingkatkan menjadi 8 meq/kgBB/min. Pada hari ketiga (tanggal 5 Agustus 2019) dosis kembali diturunkan menjadi 5 meq/kgBB/min dan selanjutnya pemberian dihentikan. Terapi kedua yang diberikan adalah injeksi furosemide 3 x 1 Amp, furosemide merupakan obat golongan loop diuretik dengan mekanisme dapat meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga dapat menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Injeksi furosemid juga diindikasikan untuk mengatasi CHF pada pasien yang kemungkinan stage B-D karena pasien mengalami keterbatasan aktivitas fisik dan nyaman pada saat beristirahat. Manfaat terapi diuretik yaitu dapat mengurangi edema pulmo dan perifer. Pemberian forusemide pada hari pertama tanggal 3 Agutus 2019 hanya diberikan bila tekanan darah sistolik pasien lebih dari 100 mmHg. Hal ini dikarenakan pasien mengalami hipotensi dengan tekanan darah 80/50 mmHg sehingga pemberian furosemide tidak dilakukan apabila tekanan daah sistolik kurang dari 100 mmHg. Dosis pemberian furosemide sudah sesuai yaitu 20 mg tiap 8 jam. Tetapi perlu dilakukan monitoring karena adanya potensial ADR antara furosemide dan dobutamine. Pemberian furosemide dan dobutamine secara bersamaan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipokalemia. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring kadar kalium dalam darah selama penggunaan kedua obat tersebut. Selain itu, dikarenakan salah satu efek samping furosemide adalah hipotensi dan kondisi pasien yang mengalami hipotensi maka perlu dilakukan monitoring tekanan darah setiap saat. Terapi ketiga yang diberikan adalah ranitidine 2 x 50 mg. Ranitidine merupakan obat golongan H2 reseptor antagonis yang menghambat reseptor H2 di sel parietal lambung sehingga menyebabkan terhambatnya sekresi asam lambung. Ranitidine selain berperan sebagai Stress ulcer prophylaxis juga bermanfaat untuk mencegah efek samping dari penggunaan kombinasi Clopidogrel dan aspirin yang dapat menyebabkan perdarahan di lambung. Terapi keempat yang diberikan yaitu aspirin 80 mg setiap hari. Aspirin dosis rendah merupakan agen antiplatelet yang diberikan untuk mengatasi Sindrom Koroner Akut. Aspirin adalah obat golongan NSAID yang digunakan sebagai agen antiplatelet yang memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin oleh siklooksigenase, dan menghambat agregasi trombosit. Dimana digunakan sebagai antitrombolitik untuk Sindrom Koroner Akut (peningkatan segmen ST infark miokard [STEMI], angina tidak stabil [UA]/ peningkatan segmen non-ST-segmen infark miokard [NSTEMI]). Dosis pemberian 80 mg setiap hari sudah sesuai dengan dosis yang digunakan terapi pemeliharaan yaitu 75-162 mg. Tetapi perlu dilakukan monitoring kadar kalium dalam darah karena adanya potensial ADR antara aspirin dan digoxin yang dapat menyebabkan resiko hiperkalemia. Terapi kelima yang diberikan yaitu Clopidogrel 75 mg setiap hari. Clopidogrel merupakan inhibitor ADP. Clopidogrel memblokir subtipe reseptor ADP (reseptor P2Y12) pada trombosit dan mencegah terikatnya ADP pada reseptor dan sehingga mengurangi terjadinya agregasi platelet. Pada pasien dengan STE MI yang tidak menjalani terapi reperfusi baik dengan PCI primer atau fibrinolisis, clopidogrel adalah inhibitor P2Y12 yang dipilih untuk ditambahkan ke aspirin dan harus dilanjutkan setidaknya selama 14 hari (dan hingga 1 tahun). Dosis pemberian clopidogrel sudah sesuai dengan dosis pemeliharaan yang digunakan bersamaan dengan aspirin sebagai terapi dual antiplatelet, yaitu 75 mg setiap hari. Terapi keenam yang diberikan adalah digoksin tablet 0,25 mg 1 x 1 tab, yang mana pemberian digoksin biasanya diberikan pada pasien CHF disertai AF dan pada pasien yang diberikan Beta bloker sudah tidak berefek, dan pemberian digoksin sudah tepat. Tetapi pemberian digoksin bersamaan dengan furosemide injeksi terdapat Potensial ADR interaksi antara kedua obat tersebut yang dapat menyebabkan hipokalemia sehingga dapat meningkatkan efek digoksin, jadi perlu dimonitoring efek samping dari digoksin yaitu pusing, diare, sakit kepala, mual, dan muntah. Selain itu juga terdapat potensial ADR interaksi digoksin dan aspirin yang dapat meneyebabkan resiko hiperkalemia sehingga perlu dipantau kadar kalium dalam darah. Terapi terakhir yang diberikan adalah Spironolakton tablet 25 mg setiap pagi. Spironolakton merupakan antagonis aldosteron dengan mekanisme meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal, spironolakton diberikan untuk mengurangi hilangnya kalium melalui urin yang mana dapat mengatasi efek samping dari furosemide yaitu hipokalemia sehingga dapat menyeimbangkan kembali kalium. Dosis pemberian spironolaktone untuk pasien CHF sudah sesuai yaitu 25 mg setiap hari. Tetapi terdapat adanya beberapa potensial ADR, yaitu interaksi spironolakton dan digoksin serta interaksi spironolakton dan aspirin yang dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia sehingga perlu dipantau kadar kalium dalam darah. Pada tanggal 7 Agustus 2019 pasien mengeluhkan BAB yang sedikit keras sejak tanggal 6 Agustus 2019. Pasien yang mengalami CHF sebaiknya tidak melakukan aktivitas yang menambah beban kerja jantung seperti mengejan karena dapat memperburuk kondisi pasien. Oleh karena itu sebaiknya pasien diberikan laksatif (stool softener) untuk mengatasi keluhan tersebut sehingga bebena kerja jantung tidak berat. Laksatif yang dapat diberikan kepada pasien yaitu Laxadin syr 15 mL sehari sekali. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Pasien Tn. S dirujuk ke RSMS dengan problem medik sesuai diagnosa CHF, AMI, AF dan Hipotensi. Pemberian obat pada tanggal 3 – 2 Agustus 2019 yaitu infus RL 20 TPM, injeksi dobutamine 5 meq/kgBB/min, injeksi Ranitidin, injeksi Furosemid, aspilet, Clopidogrel, Digoxin dan Curcuma. Lalu pada tanggal 5 Agustus pemberian Clopidogrel dihentikan dan mulai diberikan Spironolactone. Pemberian obat-obat tersebut dapat menimbulkan DRP potensial ADR yaitu interaksi obat. Untuk itu perlu dilakukan monitoring terhadap kadar kalium dan elektrolit lainnya dalam darah. Selain itu juga perlu dilakukan monitoring terhadap efek samping obat seperti mual, muntah, perdarahan gastrointestinal, dan hipotensi. DAFTAR PUSTAKA DiPiro, Joseph T.,Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L. Michael Posey. 2012. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach Nine Edition. Mc Graw Hill Medical. USA. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Sindrom Koroner Akut, edisi ketiga.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, edisi pertama.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta. PERKI. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Yancy. CW. 2013. Guideline for The Management of Heart Failure. American Heart Association.