LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 25 Tutor : dr. Kms. Ya’kub Rahardiyanto, Sp.PK,M.Kes Disusun oleh: Kelompok B4 Kelas Beta 2016 Ima Suryani (04011181621222) Nendy Oktari (04011181621223) Ahmad Ghozian Adani (04011281621087) Pahrul Rozi (04011281621095) Retno Putri Nusantari (04011281621096) Debby Ariansyah (04011281621097) Chindy Putri Oktrisna (04011281621103) Aulia Qudusi Ramadhani (04011281621105) Melissa Shalimar Lavinia G (04011281621107) Anisah Rizqa Syafitri (04011281621115) Arindi Maretzka (04011281621117) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN AJARAN 2019/2020 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 25” sebagai tugas kompetensi kelompok. Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terima kasih kepada : 1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial, 2. dr. Kms. Ya’kub Rahardiyanto, Sp.PK, M.Kes selaku tutor kelompok B4, 3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Beta 2016. Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan. Palembang, 15 Agustus 2019 Kelompok B4 iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................... ii KEGIATAN DISKUSI....................................................................................... iii SKENARIO B BLOK 25................................................................................... 1 I. KLARIFIKASI ISTILAH....................................................................... 2 II. IDENTIFIKASI MASALAH ................................................................ 3 III. ANALISIS MASALAH......................................................................... 4 IV. SINTESIS............................................................................................... 24 V. KERANGKA KONSEP......................................................................... 51 VI. KESIMPULAN...................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 iv KEGIATAN DISKUSI Tutor : dr. Kms. Ya’kub Rahardiyanto, Sp.PK, M.Kes Moderator : Anisah Rizqa Syafitri Sekretaris 1 : Aulia Qudusi Ramadhani Sekretaris 2 : Retno Putri Nusantari Presentan : Pelaksanaan : 12 dan 14 Agustus 2019 13.00 -15.30 WIB Peraturan selama tutorial: - Tidak ada forum dalam forum - Fokus pada proses tutorial - Mengangkat tangan apabila ingin mengutarakan pendapat, lalu menunggu hingga dipersilahkan oleh moderator - Gadget dapat digunakan apabila dibutuhkan v SKENARIO B BLOK 25 TAHUN 2019 Yudi, anak laki-laki umur 2 tahun, BB 12 kg, TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH karena mengalami kesulitan bernafas. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak. Pada penilaian umum terlihat : Anak sadar, menangis terus dengan suara sesekali terdengar parau. Masih bisa ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak diperiksa, anak berontak dan langsung menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak mottled. Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas. Terdengar stridor inspirasi. Kemudian dokter melakukan survey primer. Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring dalam batas normal. Respiratory rate: 45x/menit. Nafas cuping hidung (+), gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, tampak retraksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas vasikuler. Tidak terdengar ronkhi. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung dalam batas normal, wheezing jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat nadi radialis kuat. Laju Nadi 135x/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, capillary refill time <2 detik. Tidak ditemukan kelainan pada survey disability. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak menolak, menghindar serta berontak. 1 I. Klarifikasi istilah No 1 Istilah Mottled Pengertian : Bintik atau bercak dengan berbagai warna atau corak. 2 Batuk terdengar kasar, : Suara udara melewati pita suara pada laring seperti anjing menyalak. yang mengalami pembengkakan atau jalan nafas lain di sekitar. 3 Suara parau : Suara serak atau kasar. 4 Sianosis : Diskolorasi kebiruan dari kulit dan membrane mukosa akibat konsentrasi hemoglobin tereduksi yang berlebihan dalam darah. 5 Stridor inspirasi : Suara kasar atau serak bernada tinggi atau rendah yang muncul saat inspirasi akibat penyemmpitan atau terhalangnya sebagian saluran nafas atas. 6 Tonsil T1/T1 : Pembesaran tonsil dengan ukuran batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai seperempat jarak anterior sampai uvula. 7 Nafas cuping hidung : Pelebaran cuping hidung ketika bernafas dan merupakan suatu tanda adanya kesulitan bernafas. 8 SpO2 : Saturasi oksigen; pengukuran seberapa banyak hemoglobin yang terikat dengan oksigen dibandingkan dengan hemoglobin yang tidak terikat dengan oksigen. 9 Capillary refill time : Tes yang dilakukan cepat pada daerah kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi). 10 Sungkup rebreathing : Teknik pemberian oksigen konsentrasi tinggi, dimana CO2 dihirup kembali. 11 Wheezing : Suara pernafasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di akhir ekspirasi. 2 12 Ronkhi : Suara tambahan yang dihasilkan aliran udara melalui saluran nafas yang berisi sekret atau eksudat akibat saluran nafas yang menyempit. 13 Nafas vasikuler : Bunyi nafas normal pada paru selama ventilasi. 14 Survey disability : Pemeriksaan neurologis yang terdiri dari alert, verbal stimuli response, painful, atau unresponsive disertai pemeriksaan kesadaran atau GCS. II. Identifikasi Masalah 1. Yudi, anak laki-laki umur 2 tahun, BB 12 kg, TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH karena mengalami kesulitan bernafas. 2. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak. 3. Pada penilaian umum terlihat : Anak sadar, menangis terus dengan suara sesekali terdengar parau. Masih bisa ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak diperiksa, anak berontak dan langsung menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak mottled. Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas. Terdengar stridor inspirasi. 4. Kemudian dokter melakukan survey primer. Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring dalam batas normal. Respiratory rate: 45x/menit. Nafas cuping hidung (+), gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, tampak retraksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas vasikuler. Tidak terdengar ronkhi. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung dalam batas normal, wheezing jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat nadi radialis kuat. Laju Nadi 135x/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, capillary refill time <2 detik. Tidak ditemukan kelainan pada survey disability. 3 5. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak menolak, menghindar serta berontak. III. Analisis masalah 1. Yudi, anak laki-laki umur 2 tahun, BB 12 kg, TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH karena mengalami kesulitan bernafas. a. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pernafasan pada anak? Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua bagian, yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan dihangatkan dan dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trakea, melalui bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus alveolaris sampai alveolus. Antara trakea dan kantong alveolar terdapat 23 kali percabangan saluran udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksi yang meyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar. Bagian ini terdiri atas bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Tujuh percabangan berikutnya merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana proses pertukaran gas terjadi, terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus. 4 Gambar 1. Struktur anatomi saluran pernafasan trakea hingga alveolus. Adanya percabangan saluran udara yang majemuk ini meningkatkan luas total penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil berkurang ke nilai yang sangat rendah. Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan endotel kapiler sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 µm. Tiap alveolus dilapisi oleh 2 jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1 merupakan sel gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2 (pneumosit granuler) lebih tebal, banyak mengandung badan inklusi lamelar dan mensekresi surfaktan. Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan. 5 Gambar 2. Tabel signifikansi jalan nafas bayi. b. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan Yudi? Kejadian distress pernapasan untuk anak usia 0,5-5 tahun berjumlah 12,8 insiden per 100.000 orang/tahun. Perbandingan lakilaki dan perempuan, 63%:54%. Perbedaan mortalitas keduanya tidak signifikan. Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan remaja usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratorik atas. Hampir 15%pasien sindrom croup 6 mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif di Belgia mendapatkanbahwa 16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami minimal satu kali episode croup, sedangkan 5% mengalami croup berulang (sedikitnya 3 episode). c. Apa kemungkinan penyebab dari kesulitan bernafas pada Yudi? Kesulitan bernapas (distres pernapasan) disebabkan oleh infeksi berbagai virus, seperti parainfluenza tipe 1 dan 3 virus, influenza A dan B, adenovirus, respiratory syncytial virus dan metapneumovirus yang menyebabkan inflamasi umum pada saluran pernapasan dan edema mukosa saluran napas atas. Hal ini akan menimbulkan obstruksi saluran nafas atas, terutama pada regio subglotis yang menimbulkan manifestasi berupa kesulitan bernafas (Malhotra and Krilov, 2001). Pada kasus terjadi kesulitan bernapas yang disertai demam tidak tinggi, stridor inspirasi, batuk barking yang merupakan tanda dari croup. d. Bagaimana mekanisme kesulitan bernafas yang dialami Yudi? Croup menyebabkan pembengkakan pada laring, trakea, dan bronkus besar karena infiltrasi sel darah putih. Pembengkakan menghasilkan obstruksi jalan nafas parsial yang, jika signifikan, menghasilkan peningkatan pernapasan secara dramatis, dan turbulen yang khas, aliran udara bising yang dikenal sebagai stridor. 7 e. Bagaimana hubungan status gizi Yudi dengan keluhan? Balita dengan status gizi kurang beresiko 5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik (Nasution et al., 2009). Gizi yang baik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap status imunitas dan pemeliharaan kesehatan tubuh anak, status gizi kurang akan menurunkan kekebalan dan memudahkan anak untuk terserang penyakit infeksi khususnya IRA bawah. Oleh karena itu status gizi anak harus selalu dijaga (Arisanti et al., 2015) Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas, dan kerusakan mukosa, perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernafasan disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien terserang infeksi saluran pernafasan (Wilar et al., 2006). Gambar 3. Grafik weight-for length anak laki-laki WHO. Pada kasus, tumbuh kembang Yudi baik berdasarkan berat dan tinggi badannya, sehingga infeksi croup yang dialami Yudi bukan karena status gizi yang buruk. 8 f. Bagaimana tatalaksana awal yang dilakukan pada kasus? Penilaian awal: PAT Appearance : tidak ada kelainan Breathing : peningkatan usaha napas yang ditandai dengan adanya, retraksi, dan napas cuping hidung Circulation : tidak ada kelainan Kasus merupakan moderate respiratory distress (takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung), bukan failure karena belum ada tanda hipoksemia (bayi masih rewel), sianosis ataupun gejala kardiovaskular. Tatalaksana awal: • Posisikan anak pada posisi senyaman mungkin untuk memperbaiki jalan nafas. • Tenangkan anak misalnya dengan cara membacakan cerita • Bila anak rewel minta ibu untuk membantu memasangkan selang oksigen ke anaknya. Berikan O2 100% dengan sungkup 6L/menit atau anak dipangku ibu dan oksigen di hamburkan di depannya • Pemberian oksigen diatur supaya anak tidak rewel. Primary assessment Airwayà Jalan napas yang baik untuk oksigenasi dan ventilasi. Penilaian : terdapat stridor à obstruksi pada saluran nafas Management : tempatkan anak pada posisi yang nyaman Penanganan mengoptimalkan dengan: • Meletakkan kepala secara “SNIFFING POSITION” (posisi menghirup): kepala anak digerakkan kearah depan dan atas dengan manuver chin lift dan jaw thrust. • Membersihkan rongga mulut dan orofaring. Kepala dimiringkan ke kiri. 9 • Pada anak tidak sadar perlu mempertahankan jalan nafas secara mekanik yaitu oral airways yang dimasukkan secara langsung dan gentle dengan bantuan spatula lidah. Bisa juga Intubasi orotraceal untuk trauma kepala berat, dan krikotiroidotomi. Breathingà Evaluasi pernafasan. Penilaian : retraksi suprasternal dan sela iga, dan nafas cuping hidung à peningkatan usaha bernapas Management : berikan oksigen dengan cara blow- by tehnique. Circulation dan disability normal. 2. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas tidak tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak. a. Apa makna klinis dari kalimat di atas? Panas tidak terlalu tinggi menandakan adanya infeksi virus, tiga hari sebelumnya menandakan suatu kondisi yang akut, dan batuk kasar seperti anjing menyalak merupakan suatu tanda dan gejala croup. Gejala tiga hari sebelumnya menandakan suatu kondisi akut. Panas tidak tinggi disertai batuk pilek menandakan adanya infeksi virus pada traktus respiratorius. Batuk terdengar kasar seperti anjing menyalak menandakan adanya infeksi dari penyakit seperti laringitis difteri, laringitis, laringotrakheitis akut, dan croup spasmodik. b. Bagaimana mekanisme batuk yang terdengar kasar, seperti anjing menyalak? Infeksi virus - virus menempel di jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet pada laring - reseptor batuk merangsang saraf afferent - pengiriman stimulus ke pusat batuk (dorsal medula oblongata) - merangsang saraf motorik - menghasilkan reflek batuk. 10 Infeksi tadi menyebabkan terjadinya diffuse peradangan yang menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran napas. Edema pada kolumna subglotis yang terjadi menyebabkan penyempitan saluran penafasan inilah yang menyebabkan suara batuk yang dihasilakn seperti anjing menyalak. c. Bagaimana hubungan keluhan tiga hari sebelumnya dengan keluhan yang dialami sekarang? Keluhan 3 hari yang lalu merupakan keluhan yang terjadi pada fase prodromal croup. Fase prodromal croup meliputi hidung tersumbat, demam ringan, dan kemungkinan faring hiperemis eritematosa. d. Apa kemungkinan penyebab panas tidak tinggi disertai batuk pilek pada kasus? Gejala tersebut disebabkan oleh virus yang menginfeksi saluran pernapasan. Virus yang masuk melalui rongga hidung akan memicu respon tubuh untuk mengeluarkan mukus yaitu pilek. Bila virus sudah menyebar mencapai laring, akan terjadi reaksi inflamasi. Hal ini dapat mengaktivasi reseptor batuk. Respon inflamasi tersebut memicu pengeluaran pirogen endogen dalam usaha makrofag melawan virus dan menyebabkan demam. Reaksi inflamasi di bagian laring terutama area subglotik akan menyebabkan obstruksi sehingga terjadi kesulitan bernafas. • Virus masuk melalui rongga hidungà respon protektif à pengeluaran mucus à pilek • Virus menyebar ke bagian laring akan menyebabkan reaksi inflamasià aktivasi reseptor batuk à batuk. • Mikroorganisme menginfeksiàmakrofag menghasilkan pirogen endogen (IL-1, TNF, IL-6, INF) à merangsang endotel hipotalamusàmenghasilkan asam arakidonat à memicu pengeluaran PGE2 (dibantu oleh enzim COX) à memengaruhi 11 termostat hipotalamus à peningkatan set point suhu tubuh à demam. • Lowgrade fever karena penyebab infeksi adalah virus. 3. Pada penilaian umum terlihat : Anak sadar, menangis terus dengan suara sesekali terdengar parau. Masih bisa ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak diperiksa, anak berontak dan langsung menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak mottled. Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas. Terdengar stridor inspirasi. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan umum di atas? Hasil Interpretasi Anak sadar Normal, tidak ada penurunan kesadaran Anak menangis terus Tidak normal, suara parau yang terdengar saat dengan suara sekali-kali menangis dan stridor inspirasi menunjukkan terdengar parau Terdengar penyempitan saluran udara pada orofaring, stridor subglotis atau trakea. inspirasi Bibir dan mukosa tidak Normal, tidak ada hipoperfusi jaringan sianosis Kulit tidak pucat dan tidak mottled Napas terlihat dengan usaha napas cepat peningkatan Tidak normal, menandakan bahwa pernapasan tidak dapat sistim mempertahankan oksigenasi dan atau ventilasi. Peningkatan usaha napas adalah upaya untuk mempertahankan fungsi tersebut saat terjadi gangguan sistim pernapasan. Takipnu merupakan tanda yang paling sering dijumpai. Tabel 2. Interpretasi hasil pemeriksaan umum. b. Bagaimana mekanisme abnormalitas hasil pemeriksaan umum di atas? 12 • Suara parau Infeksi respirasi, terutama virus bermula di dalam nasofaring dan menyebar ke epitelium respirasi laring dan trakea. Inflamasi difus, eritema, dan edema berkembang di dinding trakea, dan mobilitas pita suara terganggu. Bagian trakea di bawah laring (trakea subglotis) merupakan bagian tersempit saluran napas atas anak. Area ini dikelilingi kartilago yang kaku, dimana setiap pembengkakan pada regio tersebut menyempitkan saluran napas dan merestriksi aliran udara secara signifikan. Hal ini menimbulkan stridor inspirasi yang dapat terdengar, sementara pembengkakan pita suara dapat menimbulkan suara parau. Dengan perkembangan penyakit, lumen trakea menjadi makin terobstruksi oleh eksudat fibrinosus dan pseudomembran. Potongan histologis laring dan trakea menunjukkan edema dengan infiltrasi seluler histiosit, limfosit, sel plasma dan leukosit polimorfonuklear (Malhotra dan Krilov, 2001). • Anak berontak dan langsung menangis Hal ini menunjukan kalau anak dalam keadaan sadar, respon verbalnya baik. Namun, sebaiknya kita tidak membuat anak menangis karena pada saat anak menangis semakin besar energy yang diperlukan untuk bernafas, anak bisa bertambah sesak. • Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas Invasi virus di mukosa laring à inflamasi, edema à penyempitan saluran napas à kesulitan bernapas à kompensasi napas cepat dan peningkatan usaha napas (work of breathing) yang ditandai dengan retraksi suprasternal dan intercostal 13 • Terdengar stridor inspirasi Tabel 3. Gejala croup. Ø Infeksi pada laring dan trakea à inflamasi, eritema, dan edema struktur terkaità mengganggu gerakan plica vocalis. Ø Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah laring (subglottic trachea). Ø Spasme dan edema à obstruksi parsial saluran napas atas à meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewatàmelewati plica vocalis dan arytenoepiglottic foldsà menggetarkan struktur tersebut à terdengar stridor 4. Kemudian dokter melakukan survey primer. Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan faring dalam batas normal. Respiratory rate: 45x/menit. Nafas cuping hidung (+), gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, tampak retraksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas vasikuler. Tidak terdengar ronkhi. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung dalam batas normal, wheezing jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat nadi radialis kuat. Laju Nadi 135x/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, capillary refill time <2 detik. Tidak ditemukan kelainan pada survey disability. 14 a. Bagaimana interpretasi hasil survey primer di atas? Parameter Kasus Normal Interpretasi Jalan napas Halangan Tidak terlihat Tidak terlihat Normal lendir dan benda lendir dan benda asing asing Tonsil T1/T1 T1/T1 Normal Faring Normal Normal Normal Positif Negatif Abnormal Simetris Simetris Normal Usaha napas Napas cuping hidung Gerakan dinamis dinding dada Retraksi suprasternal dan Negatif Abnormal sela iga Suara Vesikular Vesikular Normal Suara Ronki, wheezing Ronki, wheezing Normal napas (-) (-) 95% 94-100% Normal Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada Normal Kuat Kuat Normal napas tambahan SpO2 Sirkulasi Bunyi jantung Bising jantung Nadi brakialis 15 Nadi Kuat Kuat Normal Laju nadi 135x/menit 90-150x/menit Normal CRT <2 menit <2 menit Normal Warna Merah muda Merah muda Normal Negatif Negatif Normal radialis kulit Disability Tabel 4. Terpretasi hasil survey primer. b. Bagaimana mekanisme abnormalitas hasil survey primer di atas? • Takipneu Pada kasus terjadi edema laring yang menyebabkan jalan napas tertutup. Akibatnya terjadi gangguan pertukaran gas di paruparu yang menyebabkan kadar CO2 di dalam tubuh naik. Tubuh melakukan kompensasi berupa peningkatan laju pernapasan untuk meningkatkan pertukaran gas di paru-paru dan menurunkan kadar CO2 dalam tubuh. • Napas Cuping Hidung Obstruksi jalan napas menyebabkan tubuh melakukan kompensasi berupa peningkatan usaha napas. Saat terjadi peningkatan usaha napas, tubuh memperluas nares (bukaan hidung) sehingga jalan napas menjadi lebar. Terjadilah manifestasi napas cuping hidung. • Retraksi Suprasternal dan Sela Iga Retraksi terjadi ketika tekanan negatif paru-paru tidak tercukupi oleh aliran udara pada saluran napas sehingga bagian dinding dada yang tidak ditopang oleh tulang akan tertarik masuk ke dalam rongga dada. c. Bagaimana gambaran klinis hasil survey primer di atas? 16 Gambar 4. Retraksi suprasternal. Gambar 5. Retraksi intercostal. d. Bagaimana cara pemeriksaan survey disability pada kasus? Survei disabilitas dilakukan dengan meilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon terhadap nyeri, atausama sekali tidak sadar. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan mengukur dengan Glasgow Coma Scale. A = awake V = respon bicara (verbal) P = respon nyeri U = tidak ada respon 5. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak menolak, menghindar serta berontak. a. Bagaimana indikasi pemberian O2 dengan sungkup rebreathing? Menurut American Collage of Chest Physicans and National Heart Lung and Blood Institute, rekomendasi pemberian terapi oksigen adalah pada beberapa keadaan sebagai berikut: Indikasi yang direkomendasikan a. Cardiac respiratory arrest dan respiratory arrest b. Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg, SaO2 <90%) c. Hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mmHg) d. Curah jantung rendah dan asidosis metabolic (Bikarbonat <18 mmol/L) e. Distress respirasi(RR>24/menit) Indikasi yang masih dipertanyakan 17 a. Infark miokardial tanpa komplikasi b. Sesak napas tanpa hipoksemia c. Sickle Cell Crisis d. Angina Tabel 5. Indikasi pemberian terapi O2. Oksigen nasal 1-2 liter Sungkup muka 3-5 liter Rebreathing Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi daripada sungkup muka sederhana yakni 60-80% dengan aliran oksigen 812L/menit. Indikasi penggunaan adalah pada pasien dengan tekanan karbondioksida rendah, karena pada sungkup rebreathing udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi sehingga konsentrasi karbondioksida lebih tinggi daripada sungkup sederhana. b. Apa saja jenis pemberian O2 pada anak? Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan oleh kondisi pasien yang akan diberikan terapi oksigen (O2). Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2) hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (O2) (FiO2) udara inspirasi. b. Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2). c. Tahanan terhadap pernapasan mininal d. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen (O2). e. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien. Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) sistem arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Pada sistem arus rendah, sebagian dari volume tidal berasal dari udara 18 kamar. Alat ini memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) 21%-90%, tergantung dari aliran gas oksigen (O2) dan tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung dan oksigen (O2) transtrakeal. Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml pada orang dewasa dan pola napasnya teratur. Pada sistem arus tinggi, adapun alat yang digunakan yaitu sungkup venturi yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang tetap. Keuntungan dari alat ini adalah fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang diberikan stabil serta mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan tidak nyaman bagi pasien. Sungkup muka dengan kantong penampung. Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung yang seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2), yaitu sungkup muka partial rebreathing dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan plastik namun perbedaan di antara kedua jenis sungkup muka tersebut terkait dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di antara sungkup dan kantong penampung. Sungkup muka partial rebreathing tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat katup satu arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara yang terdapat pada kantong penam-pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh sungkup.5 Sungkup muka dengan kantong 19 penam-pung dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup muka nonrebreathing. Kedua jenis sungkup muka ini sangat dianjurkan penggunaannya pada pasien-pasien yang membutuhkan terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon monoksida (CO). Gambar 6. Sungkup muka partial rebreathing dan nonrebreathing. c. Bagaimana prinsip pemberian O2 dengan sungkup rebreathing pada kasus? Aliran oksigen pada partial rebreathing mask sebesar 6-12 L/min. pemberian oksigen hingga anak mampu menjaga nilai SaO2 > 90% pada suhu ruangan. Bila anak sudah stabil dan membaik, lepaskan oksigen selama beberapa menit. Jika nilai SaO2 tetap berada di atas 90%, hentikan pemberian oksigen, namun periksa kembali setengah jam kemudian dan setiap 3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen, untuk memastikan anak benar- benar stabil. Bila pulse oxymetry tidak tersedia, lama waktu pemberian oksigen dapat dipandu melalui tanda klinis yang timbul pada anak), walaupun hal ini tidak begitu dapat diandalkan. 20 d. Bagaimana indikasi pemberhentian pemberian O2 dengan sungkup rebreathing pada kasus? Bertujuan mempertahankan saturasi oksigen > 90%. Indikasi pemberian terapi oksigen jika (a) retraksi dinding dada; (b) frekuensi napas lebih dari 70x/menit. Jika anak sudah stabil dan saturasi oksigen diatas 90%, hentikan pemberian oksigen namun periksa kembali setengah jam kemudian dan setiap 3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen untuk memastikan anak benar-benar stabil. e. Bagaimana evaluasi dan monitoring terapi oksigen? • Jika tersedia, pemberian oksigen harus dipandu dengan pulse oxymetry. Berikan oksigen pada anak dengan kadar SaO2 < 90%, dan naikkan pemberian oksigen untuk mencapai SaO2 hingga > 90%. Jika pulse oxymetry tidak tersedia, kebutuhan terapi oksigen harus dipandu dengan tanda klinis, yang tidak begitu tepat. • Persediaan oksigen harus tersedia setiap waktu. Sumber oksigen untuk rumah sakit rujukan tingkat pertama, umumnya adalah silinder/tabung oksigen dan konsentrator oksigen. Alat-alat ini harus diperiksa kompatibilitasnya. • Bila persediaan oksigen terbatas, prioritas harus diberikan untuk anak dengan pneumonia sangat berat, bronkiolitis, atau serangan asma yang: mengalami sianosis sentral, atau tidak bisa minum (disebabkan oleh gangguan respiratorik). • Jika persediaan oksigen banyak, oksigen harus diberikan pada anak dengan salah satu tanda berikut: tarikan dinding dada bagian bawah yang dalam, frekuensi napas 70 kali/menit atau lebih, merintih pada setiap kali bernapas (pada bayi muda), dan ada anggukan kepala (head nodding). • Pantau anak sedikitnya setiap 3 jam untuk mengidentifikasi dan memperbaiki masalah yang terjadi, meliputi: 21 o Nilai SaO2 menggunakan pulse oxymetry o Kateter nasal atau prongs yang bergeser o Kebocoran sistem aliran oksigen o Kecepatan aliran oksigen tidak tepat o Jalan napas anak tersumbat oleh lendir/kotoran hidung (bersihkan hidung dengan ujung kain yang lembap atau sedot perlahan). o Distensi lambung (periksa posisi kateter dan perbaiki, jika diperlukan). • Bila anak sudah stabil dan membaik, lepaskan oksigen selama beberapa menit. Jika nilai SaO2 tetap berada di atas 90%, hentikan pemberian oksigen, namun periksa kembali setengah jam kemudian dan setiap 3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen, untuk memastikan anak benarbenar stabil. Pemantauan terapi oksigen dapat dilakukan dengan memperhatikan keadaan fisik pasien, penilaian analisa gas darah dan pulse oximetry. Apabila kondisi anak membaik dan stabil serta saturasi oksigen sudah mencapai 90%, oksigen dilepaskan selama beberapa menit dan jika nilai saturasi oksigen tetap berada di atas 90% hentikan pemberian oksigen dengan tetap follow up setiap setengah jam atau 3 jam dengan menggunakan pulse oxymetry. Pada dasarnya, pemberian terapi oksigen harus berkesinambungan sampai kondisi pasien mengalami perbaikan. Penghentian terapi oksigen seara tiba-tiba dapat menyebabkan hilangnya cadangan oksigen tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan di alveolar. f. Bagaimana sikap dan perlakuan dokter jaga dalam menghadapi pasien anak yang tidak kooperatif pada kasus ini? • Anak yang tidak kooperatif tidak seharusnya dipaksa agar mau mengenakan sungkup. Dokter bisa membiarkan sang anak mengekspresikan perasaannya 22 • Sungkup oksigen dapat diarahkan di depan wajah anak tanpa dipasangkan sehingga anak dapat menghirup oksigen tanpa merasa tidak nyaman. • Beri kontrol anak atas pengobatan. Misalnya, anak yang memutuskan apakah akan duduk di kursi atau pangkuan untuk proses penyuntikan. Hal ini mungkin akan menurunkan sakit dibanding anak yang tidak diberi pilihan. • Nafas yang dalam dan stabil dapat membantu mengurangi rasa sakit dan mendapatkan kendali diri. • Alihkan perhatian anak dari rasa sakit. Berbicara, video game, latihan pernapasan, meniup gelembung, televisi, musik, buku pop-up, membaca dan dibaca adalah semua pengalih perhatian. • Dokter juga dapat membantu dengan memfokuskan perhatian anak pada aktivitas sebelumnya yang sudah dikenal, atau membaca cerita favorit. • Beri sentuhan yang menenangkan seperti membelai, memegang, menggoyang, membelai, berpelukan dan memijat. • Saat anak kooperatif, dokter dapat memberi afirmasi positif seperti, “Kamu hebat.” g. Apa komplikasi pemberian oksigen yang tidak tepat? - Keracunan O2 Dapat terjadi bila O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu yang relatif lama. Keaddan ini dapat merusak strukstur jaringan paru seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan terganggu. - Depresi ventilasi Pemberian O2 yang tidak di monitor dengan konsentrasi dan aliran yang tepat dengan retensi CO2 yang dapat menekan ventilasi - Dapat menimbulkan kebakaran dan peledakan - Terjadi aspirasi bila muntah 23 - Penumpukan CO2 bila aliran O2 diberikan lebih rendah dari ketentuan masing-masing alat - Apabila neonatus dengan distress napas bayi diterapi dengan konsentrasi tinggi, mereka mungkin mengalami fibrosis di belakang lensa mata yang menyebabkan kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan menjadi PO2 arteri < 140 mmHg Hipotesis Yudi, anak laki-laki, usia 2 tahun, mengalami kegawatan nafas suspek croup. IV. Sintesis 1. Respiratory Distress a. Diagnosis banding No 1 Penilaian Status mental Tonus otot/ posisi tubuh Gerakan dada Upaya napas Distress Nafas Sadar, agitasi, melawan Normal, posisi tripod Gagal Nafas Henti Nafas Agitasi hebat atau Tidak responsif kurang responsive Normal atau Atonia hipotonia Ada Ada Tidak ada Meningkat Tidak ada 5 Warna kulit Kemerahan pucat 6 Tindakan Pendekatan segera, bekerja dengan tingkat sedang, bantu anak dalam posisi nyaman, beri O2 tanpa menyebabkan agitasi, pengobatan berdasarkan evaluasi Sangat meningkat diselingi periode apnea Pucat, berbercak (mottled) atau sianosis Gerak cepat, buka saluran nafas, hisap lendir, berikan O2, segera berikan bantuan ventilasi tekanan positif bila pasien tidak membaik, pengobatan 2 3 4 atau Sianosis Segera buka saluran nafas, hisap lendir, berikan O2, segera berikan bantuan ventilasi tekanan positif, nilai ulang ada/kembalinya nafas spontan, pengobatan 24 selanjutnya. berdasarkan evaluasi selanjutnya Tabel 6. Diagnosis banding respiratory distress. berdasarkan evaluasi selanjutnya b. Definisi Distress pernapasan merupakan suatu keadaan sistem respirasi melakukan kompensasi untuk memperbaiki pertukaran gas yang menurun dalam paru serta mempertahankan oksigenasi dan ventilasi. c. Etiologi Perubahan Fisiologis Volume Tidal ↑ Frekuensi Pernapasan Sedikit ↑ Temuan Lain ↓ ↑ Penyakit obstruktif jalan nafas atas Normal ↓ Penyakit obstruktif jalan nafas bawah Normal atau ↓ Bervariasi Mendengkur, pernapasan paksa pada inspirasi Inspirasi memanjang, pernapasan paksa pada inspirasi Ekspirasi memanjang, pernapasan paksa pada ekspirasi dan sering pada inspirasi Mungkin ada tanda kelemahan otot lain Tanpa tanda distress Hipoksemia, asidemia, demam, peningkatan metabolism Penyakit restriktif Penyakit ↓ neuromuscular Gangguan Normal pengendalian atau ↓ Tabel 7. Etiologi respiratory distress. ↑ ↓ - d. Patofisiologi Distres pernapasan dapat disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas atau bawah atau gangguan parenkim paru. Obstruksi jalan napas atas yang paling sering terjadi pada bayi dan anak dikarenakan perbedaan anatomi dan fisiologi sistem respirasi pada anak. Tanda obstruksi jalan napas atas komplit adalah tidak dapat bicara, menangis atau batuk.. 25 Manifestasi obstruksi jalan napas atas juga termasuk napas cuping hidung, snoring, gurgling, drooling, disfagia, serak, stridor, retraksi, dan pergerakan paradoksikal dada/abdomen. Stridor merupakan suara napas abnormal (high-pitched) yang dihasilkan oleh aliran udara turbulen melalui jalan napas yang mengalami obstruksi parsial pada tingkat supraglotis, glotis, subglotis, trakea, dan bronkus. Udara menghasilkan tekanan yang sama di semua arah, namun ketika udara bergerak secara linier, udara akan menghasilkan tekanan ke arah depan dan menurunkan tekanan lateral. Hal ini sesuai dengan prinsip Bernoulli “as the velocity of flow through a collapsible tube increases, the pressure that holds the tube open decreases”. Ketika udara melewati jalan napas yang fleksibel pada anak, tekanan lateral untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dapat menurun dan menyebabkan jalan napas cenderung kolaps. Proses ini dapat menyebabkan aliran udara menjadi turbulen sehingga menghasilkan stridor. Retraksi mengindikasikan adanya peningkatan usaha napas yang terjadi ketika compliance paru menurun atau resistensi jalan napas meningkat. Peningkatan resistensi jalan napas dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan negatif intrapleura. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan napas akan menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan interkostal, subkostal, fossa supraclavivula, dan suprasternal. Napas cuping hidung adalah tanda sensitif akan adanya distres pernapasan. Pengembangan cuping hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi. e. Manifestasi Klinis Distres pernapasan merupakan kesulitan untuk bernapas secara subjektif. Manifestasi dari distres pernapasan dapat dinilai dengan 26 objektif dimana terdapat satu atau lebih gejala yaitu perubahan pola pernapasan (cepat, lambat, lemah, atau tidak ada), peningkatan usaha napas, dan retraksi dinding dada. Pada anak, manifestasi awal distres pernapasan adalah takipneu. Takipneu tanpa tanda lain distres pernapasan lain adalah bagian dari upaya kompensasi sitem pernapasan terhadap asidosis metabolik, seperti pada: syok, ketoasidosis diabetikum, diare dengan dehidrasi, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi napas yang sangat lambat dan ireguler pada anak sakit gawat akut adalah tanda klinis yang menghawatirkan dan biasanya adalah penyebab tersering penurunan frekuensi napas. Perlambatan frekuensi napas atau iregularitas napas merupakan pertanda perburukan klinis. Pada anak dengan peningkatan kerja napas sering ditandai dengan napas cuping hidung, retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal. Tanda tersebut dijumpai pada obstruksi jalan napas atau penyakit alveolar. Meningkatnya kerja napas akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot pernapasan yang akhirnya akan meningkatakan produksi karbon dioksida. Anggukan kepala ke atas saat inspirasi (head bobbing), merintih (runting), stridor, ekspirasi memanjang adalah tanda gangguan mekanika pernapasan. Adanya head bobbing menandakan adanya peningkatan usaha napas. Retraksi dada disertai dengan distensi abdomen menandakan adanya obstruksi jalan napas bagian atas (seesaw respiration). Pola pernapasan mata gergaji disebut juga pernapasan abdominal, pola pernapasan ini tidak efisien karena volume tidal tidak adekuat dan mudah menyebabkan kelelahan. Merintih terjadi karena penutupan glotis lebih awal dan kontraksi diafragma yang terlambat waktu ekspirasi. Penutupan glotis tersebut dibutuhkan sebagai mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kapasitas residufungsional paru dengan demikian dapat mencegah kolaps alveolus dan mencegah kehilangan volume paru. Merintih biasanya terjadi pada edema paru, pneumonia, penyakit membran hialin, dan atelektasis. Stridor (inspiratoir) adalah tanda obstruksi jalan nafas bagian atas (ekstratorakal) misalnya obestruksi oleh oledah yang besar, 27 laringomalasia, paralisis pita suara, hemangioma, tumor jalan napas, kista, infeksi jalan napas atas, edema jalan napas atas, dan aspirasi benda asing. Ekspirasi memanjang yang dsertai wheezing adalah tanda obstruksi jalan napas bawah (intratorakal) seperti pada asma, bronkitis, edema paru, dan benda asing intratorakal. Distres pernapasan dapat diawali dengan derajat ringan hingga terjadi gagal napas. Derajat distres pernapasan dapat dilihat pada tabel berikut: Mild • Takipneu • Dispneu atau sesak napas • Takipneu Moderate • Retraksi dinding dada minimal • Napas cuping hidung • Takipneu (>70x/menit) • Episode apneu/bradipneu/pernapasan ireguler Severe • Retraksi subkostal • Head bobbing (keterlibatan otot sternocleidomastoideus) • Sianosis • Distres pernapasan + sianosis atau tanda hipoksemia pada sistem saraf pusat dan/atau kardiovaskular Respiratory Failure • Tanda hipoksemia sistem saraf pusat: restlessness, penurunan kesadaran, somnolen, kejang, dan koma • Tanda hipoksemia kardiovaskuler: takikardi, bradikardi, hipotensi, dan henti jantung Tabel 8. Derajat distress pernafasan. 28 2. Croup a. Diagnosis banding Tabel 9. Diagnosis banding croup. Usia Kategori sering terjadi Epiglotitis 1-8 akut tahun Riwayat penyakit dahulu dan Sesak dan Prodormal Awitan Gejala dan batuk demam menggong keluarga Tidak ada gong Coryza Cepat (4- Ya, (kadang) 12 jam) Tidak ada biasanya 39,5C Laringitis Semua Imunisasi (-) Biasanya Lambat Ya, difteri usia atau (2-3 hari) biasanya tidak faringitis adekuat Laringitis Anak Tidak ada Ada 37,8-39,4 Biasanya Variasi 12 Ya, 37,8- dan hidung jam-4 hari pada dewasa tersumbat adenovirus atau coryza dan 39,4. Ada virus influenza, biasanya minimal pada infeksi virus lain Laringotra 3 bulan- Riwayat Biasanya Sedang, Ya, kheitis 3 tahun coryza tetapi bervariasi bervariasi 37,8-40,5 akut keluarga croup Ada 12- 48 jam Croup 3 bulan - Mungkin Biasanya Progresif Viral 3tahun coryza 12 riwayat keluarga Ya, Ada jam-7 bervariasi hari 37,8 - 40,5 Mendadak Tidak ada croup Croup 3 bulan - Riwayat Coryza ada 29 spasmodik 3tahun keluarga minimal croup, selalu malam biasanya terdapat serangan sebelumnya Benda Semua Biasanya asing usis riwayat Tidak ada Biasanya Tidak mendadak kecuali makan ada Biasanya tidak ada infeksi sekunder Edema Semua Riwayat angioneuro usia alergi, tik akut riwayat Alergi kulit Cepat Tidak ada Tidak ada ada kadangkadang serangan sebelumnya b. Algoritma diagnosis Gambar 7. Algoritma diagnosis croup. 30 Diagnosis croup umumnya bisa ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat. Gejala croup cukup khas, sehingga cukup mudah dibedakan dari diagnosis bandingnya. • Anamnesis Gejala klinis awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor inspiratoir. Bila terjadi obstruksi, stridor akan makin berat tetapi dalam kondisi yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Juga perlu ditanyakan: • Riwayat infeksi atau alergi. • Riwayat penyakit keluarga, terutama rhinitis alergi, dermatitis alergi, urtikaria, asma. • Riwayat pengobatan. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan adanya retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial. Bila anak mengalami hipoksia, anak akan tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. • Pemeriksaan Fisik Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan tanda klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area 31 laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan. Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk lima faktor: tingkat kesadaran, sianosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17. • Pemeriksaan Penunjang Croup pada umumnya merupakan diagnosis klinis, dengan petunjuk diagnostik berdasarkan pada anamnesis dan temuan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. • Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium jarang memberikan kontribusi bermakna dalam mengkonfirmasi diagnosis. Jumlah sel darah lengkap (CBC) biasanya nonspesifik, walaupun jumlah sel darah putih (WBC) dan selisihnya mungkin menyarankan etiologi viral dengan limfositosis. Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. Mengidentifikasi etiologi virus spesifik (misalnya, jenis virus parainfluenza) melalui pencucian dengan hidung biasanya tidak diperlukan, namun mungkin berguna untuk menentukan kebutuhan isolasi di tempat perawatan di rumah sakit atau, dalam kasus influenza A, untuk memutuskan apakah terapi antiviral harus dimulai. Pengukuran gas darah arterial (arterial blood gas/ABG) tidak diperlukan dan tidak mengungkapkan hipoksia atau hiperkarbia, kecuali jika terjadi kelelahan pernapasan. • Laringoskopi Laringoskopi sebaiknya dihindari kecuali pada keadaan yang tidak biasa (misalnya, perjalanan penyakit tidak khas, anak memiliki gejala yang 32 menunjukkan gangguan anatomis atau bawaan yang mendasarinya). Prosedur ini juga mungkin diperlukan bagi pasien dengan trakeitis bakteri untuk mendapatkan kultur yang diperlukan, dalam upaya untuk menyesuaikan pengobatan antibiotik dengan benar. Prosedur lain yang mungkin diindikasikan dan memerlukan bimbingan otolaringologist pediatrik adalah sebagai berikut: o Laringoskopi langsung, jika anak tidak dalam keadaan tertekan akut o Laringoskopi serat optik. o Bronkoskopi (untuk kasus croup rekuren untuk menyingkirkan gangguan saluran napas). o Pemeriksaan radiologis. • Radiologi Diagnosis croup utamanya ditegakkan berdasarkan presentasi klinis. Pemeriksaan radiologi jarang bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, namun dapat digunakan pada keadaan dimana dicurigai ada penyakit lain. Foto polos dapat memverifikasi diagnosis atau gangguan lain yang menyebabkan stridor yang menyerupai croup. Foto servikal lateral dapat membantu mendeteksi diagnosis klinis seperti benda asing yang tertelan, benda asing esofagus, stenosis subglotis kongenital, epiglotitis, abses retrofaringeal atau trakeitis bakteri (trakea yang menebal). Hal yang terpenting, croup adalah diagnosis klinis. Foto polos anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher secara klasik menunjukkan steeple sign (juga dikenal sebagai tanda titik pensil), yang menandakan penyempitan subglotis, sedangkan foto polos servikal lateral dapat menunjukan kondisi hipofaring yang membesar (balon) selama inspirasi. Namun, temuan x-ray ini mungkin tidak terlihat pada hingga 50% anak-anak dengan gejala klinis croup. Pasien harus dipantau saat pemeriksaan radiologis, karena progresivitas obstruksi jalan napas dapat terjadi dengan cepat. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut: 33 o Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compangcamping. o Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal. o Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol. Gambar 8. Algoritma tatalaksana croup. 34 c. Definisi Laringotrakeitis atau Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. d. Epidemiologi Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan−6 tahun, dengan puncaknya pada usia 1−2 tahun. Akan tetapi, croup dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3−6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori-atas. Hampir 15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. e. Etiologi Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia. 35 f. Patofisiologi Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas. g. Patogenesis Seperti infeksi laringotrakeitis, respiratori pada umumnya, laringotrakeobronkitis, dan infeksi virus pada laringotrakeobronko- pneumonia dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas. h. Manifestasi klinis Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12−72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. 36 Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring,suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong. i. Klasifikasi Secara umum croup dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu : 1. Viral croup: ditandai oleh gejala prodromal infeksi respiratori; gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3−5 hari. Beberapa penulis menyebutkan kelompok ini Laringotrakeobronkitis 2. Spasmodic croup: spasmodic cough, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal; anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang tidur; serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali. Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori. 1. Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada. 2. Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory distress). 3. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas. 4. Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadangkadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi. 37 j. Tatalaksana Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi. • Epinefrin Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan. Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup sedang—berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin. • Kortikosteroid Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan–sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo. • Intubasi endotrakeal Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi lain. • Antibiotik Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien 38 diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup. k. Komplikasi Komplikasi pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat. Pneumonia karena virus, yang timbul pada 1-2% anak yang menderita croup. Pneumonia akibat virus parainfluenza dan pneumonia bakterial sekunder umumnya timbul pada pada pasien yang memiliki kondisi imunokompromais. l. Edukasi dan Pencegahan Edukasi 1. memberitahukan kepada Pencegahan orang tua dengan 1. Meberikan vaksin Hemophillus menjaga kondisi anak dengan baik mulai dari Influenza (Hib), difteri dan mencukupi makan dan minum sehari-hari serta campak pada anak-anak segera ke dokter jika mendapati gejala penyakit 2. Mengajarkan etika batuk dan 2. Menjelaskan kepada orang tua pasien supaya bersin pada anak mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter 3. Menjauhkan anak dari kontak hingga tuntas dan kontrol kembali ke dokter ketika keluarga obat habis atau terjadi perburukan kondisi atau orang yang memiliki keluhan atau penyakit 3. Menjauhkan anak dari asap rokok atau polutan yang sama lain, buat suasana sekitar anak senyaman mungkin 4. Kondisikan anak agar tenang dan jangan menangis 5. Menjauhkan anak dari anggota keluarga atau orang yang lain dengan gejala yang sama 6. Edukasikan kepada orang tua, tentang warning sign sesaat sebelum anak dipulangkan 39 Tabel. 10 Edukasi dan pencegahan pada Crop (Feierabend RH, Shahram MN, Hoarsenes in adlut. Am Fam Physician, 2009) m. Indikasi rujukan Sebagian besar croup termasuk dalam derajat ringan dan sedang, serta umumnya membaik dengan sendirinya (self limited), sehingga cukup dengan rawat jalan . Namun sebagian kecil dengan derajat berat dapat mengalami obstruksi respiratori atas berat hingga mengalami gagal napas. Kurang dari 15% anak yang memerlukan rawat inap dan hanya 15% yang memerlukan intubasi. Anak dengan derajat croup berat atau ancaman gagal napas ini yang memerlukan rujukan ke fasilitas medis yang lebih tinggi. Pada kelompok ini, henti napas dapat terjadi mendadak saat episode batuk yang hebat. n. Prognosis Ad vitam : bonam Ad fungtionam : bonam Ad Sanationam : dubia – bonam Jika spasmodik bisa berulang apabila ada pemicu, dan jarang terjadi pada viral croup. o. Kompetensi dokter umum Pseudo Croup acute epiglotitis: 3A Terapi oksigen: 4A Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. 40 3. Kegawatdaruratan anak a. PAT (Assessment) Penilaian kegawatdaruratan pasien dimulai dari mengamati pasien secara umum. Teknik penilaian PAT dilakukan tanpa memegang anak dan disesuaikan dengan perkembangan. Dengan melihat dan mendengar, pemeriksa dapat mendapatkan kesan akan kegawatan anak. Dengan PAT anak dapat dinilai tingkat keparahan kondisinya, membantu menentukan urgensi untuk perawatan, dan mengidentifikasi secara umum masalah fisiologis yang dialami. Tiga komponen PAT yaitu Appearance (penampilan anak), Work of Breathing (upaya napas), dan Circulation to Skin (sirkulasi kulit). 1. Penampilan anak Penampilan anak seringkali merupakan cerminan kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain dapat pula mempengaruhi penampilan anak seperti hipoglikemi, keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat. Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘ticles’ meliputi penilaian tonus (T= tone), interaktisi (I= interactiveness), 41 konsolabilitas (C= consolability), cara melihat (L= look/gaze) dan berbicara atau menangis (S= speech/cry) Karakteristik Hal yang dinilai Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh? Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara mempengaruhinya? Apakah ia mau bermain dengan mainan atau alat pemeriksaan? Apakah anak tidak bersemangat saat berinteraksi dengan orang tua/ pengasuh? Consolabillity Apakah ia dapat ditenangkan orang tua atau pengasuh atau pemeriksa? Apakah anak menangis terus atau tampak agitasi sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut? Look/Gaze Apakah ia dapat memfokuskan penglihatan? Apakah pandangannya kosong? Speech/Cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat? Apakah suaranya lemah? Tabel 11. Penilaian dengan metoda ‘Ticles’ (TICLS) 2. Upaya napas Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi gangguan oksigenasi dan ventilasi. Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi tubuh yang khas, retraksi, cuping hidung. Karakteristik Hal yang dinilai Suara napas yang tidak normal Mengorok, parau, stridor, merintih, menangis Posisi tubuh yang tidak normal Sniffing, tripoding, menolak berbaring, head bobbing Retraksi Supraklavikula, interkosta, subternal Cuping hidung Napas cuping hidung 42 Tabel 12. Penilaian Upaya Napas. 3. Sirkulasi kulit Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah jantung dan perfusi ke organ vital. Hal yang dinilai antara lain pucat, mottling, sianosis Karakteristik Hal yang dinilai Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena kurangnya aliran darah ke darah tersebut Mottling Kulit berbecak kebiruan akbiat vasokontriksi Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru Tabel 13. Penilaian sirkulasi kulit Penilaian ke 3 hal ini, tanpa menyentuh anak, telah dapat memberikan gambaran kasar tentang kegawatan anak dengan cepat. Secara ringkas penggunaan PAT dapat dilihat apda gambar di bawah ini. Gawat Napas Penampilan N Upaya napas ↑ Sirkulasi kulit (N) Gagal Napas Penampilan ↓ Upaya napas ↑/↓ Sirkulasi kulit N/↓ Syok Penampilan ↓ Upaya napas N 43 Sirkulasi kulit ↓ Gangguan metabolik, gangguan primer susunan syaraf pusat atau intoksikasi Penampilan ↓ Upaya napas N Sirkulasi kulit N Gambar: Metoda PAT b. Survei Primer Survei primer disebut juga dengan Survei ABCDE. Teknik ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada anak. Komponen pemeriksaan antara lain: § A= Airway § B= Breathing § C= Circulation § D= Disability § E= Exposure 1. Airway (jalan napas) Sekalipun dengan teknik ‘PAT’ telah diketahui adanya obstruksi jalan napas, namun derajat obstruksi perlu lebih terinci, antara lain untuk tindakan resusitasi. Menilai jalan napas (airway) pada anak dengan kesadaran menurun dilakukan dengan teknik ‘look, listen, feel’ yaitu membuka jalan napas dengan posisi sniffing, lalu melihat pengembangan dada sambil mendengar suara napas dan merasakan udara yang keluar dari hidung/mulut. Penilaian jalan napas diekspresikan sebagai: § Jalan napas bebas 44 § Jalan napas masih dapat dipertahankan § Jalan napas harus dipertahankan dengan intubasi § Obstruksi total jalan napas Gambar 9. Teknik ‘look, listen, feel’ 2. Breathing (kinerja napas) Kinerja napas dinilai dengan menghitung frekuensi napas, menilai upaya napas dan penampilan anak. Sesuai tingkat tumbuh kembang anak, frekuensi normal berbeda-beda dengan perubahan usia. Frekuensi napas juga dipengaruhi oleh berbagai keadaan. Pernapasan yang cepat dapat terjadi pada demam, nyeri, ketakutan/kecemasan, atau emosi yang meningkat. Pernapasan yang lambat dapat terjadi pada anak yang kelelahan akibat gawat napas yang tidak segera ditolong. Karena itu dalam menilai upaya napas perlu diperhatikan nilai ekstrim. Frekuensi napas di atas 60 kali/menit untuk semua usia, apalagi disertai retraksi dan kesadaran menurun sangat mungkin menandakan gagal napas. Freksuensi napas kurang dari 20 kali/menit untuk anak di bawah 6 tahun dan 15 kali/menit untuk anak kurang dari 15 tahun juga harus mendapat perhatian khusus. Tabel 14. Frekuensi pernapasan normal sesuai usia Usia Frekuensi pernapasan (pernapasan/menit) < 1 th 30 – 40 2 – 5 th 20 – 30 5 – 12 th 15 – 20 >12 th 12 – 16 45 Penilaian upaya napas dilakukan dengan melihat, mendengar, juga menggunakan stetoskop dan alat pulse-oxymetry bila ada. Interpretasi suara napas abnormal dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Suara Penyebab Contoh diagnosis Stridor Obstruksi jalan napas Croup, benda asing, abses atas retrofarings Obstruksi jalan napas Asthma, benda asing, bawah bronkiolitis Meningitis Merintih (grunting) Oksigenasi tidak adekuat Kontusi paru, pneumonia, pada ekspirasi tenggelam, IRDS Ronkhi basah pada Cairan lendir atau darah inspirasi dalam jalan napas Suara napas tidak § Obstruksi jalan napas ada dengan upaya Pneumonia, kontusi paru § total berat, pneumotoraks, napas yang meningkat Benda asing asthma hemotoraks § Gangguan transmisi suara § Efusi pleura, pneumonia, pneumotoraks Tabel 15. Interprestasi suara napas abnormal Pulse oxymetry merupakan alat sederhana untuk menilai kinerja napas. Pembacaan di atas saturasi 94% secara kasar dapat menunjukkan kecukupan oksigenasi. Pembacaan di bawah 90% pada anak dengan oksigen 100% dapat menunjukkan bahwa anak memerlukan ventilator. Interpretasi pulseoxymetry harus dilakukan bersama dengan penilaian upaya napas, frekuensi napas dan penampilan anak. Anak dengan gangguan napas kadang-kadang masih dapat mempertahankan kadar oksigen darah dengan work of breathing yang meningkat. Sementara anak dengan kelainan jantung bawaan biru dapat menunjukkan saaturasi yang rendah tanpa distress napas. 46 3. Circulation (sirkulasi) Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung denyut jantung, perfusi organ dan tekanan darah. Takikardi dapat merupakan tanda awal hipoksia atau perfusi yang buruk. Namun dapat juga terjadi pada demam, nyeri, ketakutan, dan emosi yang meningkat. Bradikardi dapat memerikan indikasi hipoksia atau iskemia. Perfusi organ dapat dinilai dengan menilai denyut nadi perifer, capillary refill time dan tingkat kesadaran. Produksi urine juga merupakan indikator yang baik, namun biasanya kurang diperhatikan orang tua. Perhatikan kualitas nadi. Bila nadi brakial kuat, biasanya anak tidak mengalami hipotensi. Bila denyut nadi perifer tidak teraba, cobalah meraba di femoral atau karotis. Tidak adanya denyut nadi sentral merupakan indikasi untuk segera dilakukan tindakan pijat jantung. Capillary refill time normal kurang dari 2-3 detik. Namun demikian capillary refill time dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya suhu udara yang dingin. Umur Sebaran normal ( denyut/menit) < 3 bulan 85 – 200 3 bulan – 2 tahun 100 – 190 2 – 10 tahun 60 – 140 Tabel 16. Nilai normal denyut jantung sesuai usia Tekanan darah dipengaruhi ukuran manset. Lebar manset yang benar adalah dua pertiga panjang lengan atas. Pemeriksaan tekanan darah membutuhkan kooperasi anak. Tekanan darah tinggi pada anak yang tidak berkooperasi baik mungkin dapat menyesatkan. Namun tekanan darah rendah menandakan syok. Formula tekanan darah sistolik terendah: Tekanan Sistolik minimal= 70 + 2 x umur (dalam tahun) 47 4. Disability (status neurologik) Evaluasi neurologik meliputi fungsi korteks dan batang otak. Fungsi korteks dinilai dengan skala ‘AVPU’ Anak dengan penurunan skala AVPU pasti disertai kelainan penampilan pada skla PAT. Anak dengan sakit atau cedera sedang dapat mengalami gangguan penampilan pada skala PAT, namun mempunyai skala AVPU pada tingkat A (A= Alert). Kategori ‘Alert’ Rangsang Tipe respon Lingkungan normal Sesuai Reaksi Interaksi normal untuk tingkat usia ‘Verbal’ Perintah sederhana § Sesuai atau rangsang suara § Tidak sesuai ‘Pain’ Nyeri § Sesuai § Bereaksi terhadap nama § Tidak spesifik/ bingung § Menghindar rangsang § Tidak sesuai § Mengeluarkan suara tanpa tujuan atau dapat melokali-sasi nyeri § Patologis § Posture ‘Unresponsive’ Tak ada respon yang dapat dilihat terhadap semua rangsang Tabel 17. Skala ‘AVPU’ Skala lain yang banyak digunakan untuk menilai fungsi korteks adalah skala koma Glasgow. Penggunaan skala koma Glasgow untuk pasien gawat di lapangan seringkali di anggap tidak praktis dan kontroversial. Untuk mengevaluasi fungsi batang otak dilakukan pemeriksaan pola napas sentral, postur tubuh (dekortikasi/deserebrasi/flacid), pupil dan reaksinya terhadap cahaya serta evaluasi syaraf kranial lain. Refleks pupil dapat menjadi tidak normal akibat hipoksia, obat-obatan, kejang atau herniasi batang otak. Penilaian lebih lanjut dilakukan atas gerakan motorik. Perhatikan gerakan-gerakan asimetrik, kejang, posture atau flasiditas. Pemeriksaan neurologis lebih lengkap dilakukan pada tahap pemeriksaan tambahan. 48 5. Exposure (paparan) Untuk melengkapi perlu juga dinilai hal lain yang dapat langsung terlihat, contoh: ruam akibat morbili, hematoma akibat trauma dsb. Ketika melakukan pemeriksaan jagalah agar anak (terutama bayi) tidak kedinginan. c. Survei Sekunder Survei Sekunder adalah pemeriksaan dari kepala ke ujung pasien secara rinci, untuk menentukan tingkat cedera. Ini terjadi setelah situasi yang mengancam jiwa telah dikendalikan. d. Survei Tersier Survei ini dilakukan 24 jam pasca cedera. Survey ini berupa pemeriksaan kepala hingga ujung yang komprehensif untuk menentukan cedera yang tidak ditemukan pada saat survei awal. e. PEWS Pediatric Early Warning Score (PEWS) merupakan salah satu alat atau sistem skoring menggunakan karakteristik pasien yang dapat mendeteksi perburukan klinis pada anak di ruang rawat inap. Sistem skoring Pediatric Early Warning Score difokuskan pada tiga komponen penilaian yaitu perilaku, status kardiovaskular, dan status respirasi. Komponen perilaku yang merupakan kriteria pengamatan penting, karena sering kali merupakan tanda awal syok/gangguan kardiovaskular dan pada umumnya orang tua juga dapat mengenali. Perubahan perilaku yang diamati diberi skor sesuai seperti yang diamati sehingga anak yang tidak tertarik pada lingkungannya akan mendapat skor tiga (letargi). Warna dan waktu pengisian kapiler dipilih untuk menilai komponen kardiovaskular dibandingkan tekanan darah arteri. Kedua tanda-tanda tersebut digunakan karena tidak semua staf terampil dalam menilai waktu pengisian kapiler. Komponen pernapasan dinilai bersama dengan kebutuhan oksigen yang merupakan indikator fisiologis penting pasien sakit kritis. Penilaian tanpa peralatan khusus, hal ini menghilangkan ketergantungan pada ketersediaan monitor saturasi. Penilaian rerata parameter pernapasan digunakan untuk meningkatkan sensitivitas. 49 Pediatric Early Warning Score mempunyai skor total antara 0-13, skor total ≥ 4 atau skor 3 pada salah satu domain PEWS, hal ini mencerminkan nilai kritis yang membutuhkan tindakan konsultatif. Pada tahun 2007, dilakukan evaluasi sistem skoring yang telah dimodifikasi dari PEWS yaitu Pediatric Advance Warning Score (PAWS) dan kemampuan untuk mengidentifikasi pasien dengan kelainan jantung, pasca bedah dan medis. Tabel 18. Pediatric Early Warning Score Tabel 19. Pediatric Advance Warning System Setiap skor diberi kode warna • Hijau = skor 0-2 • Oranye = skor 4 • Kuning = skor 3 50 • Merah = skor 5 atau lebih Kode warna yang diperoleh akan menentukan tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan jenjang kompetensi ditempat masing-masing. V. Kerangka Konsep Yudi, anak laki-laki 2 tahun, mengalami infeksi virus Inflamasi di laringotrakeobronkus Demam febris Batuk & pilek Edema parsial di saluran pernafasan atas Obstruksi jalan nafas Airway: Breathing: • Sesak • Stridor inspirasi • Batuk terdengar kasar (barking cough) • Takipnea • Retraksi suprasternal & intercostal • Nafas cuping hidung VI. Kesimpulan Yudi, anak laki-laki usia 2 tahun, mengalami distres pernafasan et causa croup. 51 DAFTAR PUSTAKA Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Firman Sakti Wibawanto. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Hal 1-17. Bakhtiar. 2016. Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis dan Tatalaksana Croup pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 16 Nomor 3. Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI: 2008. Hal. 320-328 Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2014. Current Evidences in Pediatric Emergencies Management. (https://fk.ui.ac.id/wpcontent/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdf diakses 12 Agustus 2019). Feierabend RH, Shahram MN, 2009. Hoarsenes in adultt. Am Fam Physician. Hiebert JC, Zhao YD, Willis EB. 2016. Bronkhoscopy finding in recurrent croup: a sytematic review and meta-analisis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. hal. 86-90. Guidelines for the diagnosis and management of croup. 2008. Alberta Medical Association. 2011. IDAI. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis akut): Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: IDAI. IDAI. 2013. Kurva Pertumbuhan WHO (http://www.idai.or.id/professionalresources/growth-chart/kurva-pertumbuhan-who, diakses pada 26 September 2017) Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2017. Tindakan Darurat pada Gawat Napas Bayi dan Anak. (http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/03/PGD02_Gawat-Napas-edit-1-Q.pdf diakses 12 Agustus 2019). I Putu Gede Nova Indra Maya.2017. Terapi oksigen. Hal1-27 Indonesian, J. O. C. (2016) ‘Acute respiratory distress syndrome. Introduction’, Indonesian Journal of Chest, 3(4), pp. 54–56. doi: 10.1016/S02105691(06)74495-3. 52 Kliegman, R. M., Stanton, B. M. D., St. Geme, J., Schor, N. F. Behrman, R. E. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics E–Book: “Language Developmental and Communication Disorder”. Elsevier Health Sciences Leaver, S. K. and Evans, T. W. (2007) ‘Acute respiratory distress syndrome Acute respiratory distress syndrome’, The Lancet, 6736(April 2008), pp. 1–7. doi: 10.1136/bmj.39293.624699.AD. Malhotra, A. and Krilov, L. R. (2001) ‘Viral Croup’, Pediatrics in Review, 22(1), pp. 5–11. Matthay MA, Zemans RL. The Acute Respiratory Distress Syndrome: Pathogenesis and Treatment. Annu Rev Pathol. 2011;6:147-63. Pierrakos C, Karanikolas M, Scoletta S, Karamouzos V, Velissaris D. Acute Respiratory Distress Syndrome: Pathophysiology and Theurapeutic Options. J Clin Med Res. 2011;4(1):7-16. Pudjiadi, A. H., Latief, A., & Budiwardhana, N. (2013). Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (Vol. kedua, pp. 77–81). Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pulungan, A. B., Hendarto, A. and Dkk (2014) Current Evidences in Pediatric Emergencies Management, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2012. Buku ajar Respirologi anak. Rajapaksa S, Starr M. 2010. Croup assessment and management. Austr Fam Physician. 38 (5) : 280-2. Rismala, Dewi. 2016. Pediatric Early Warning Score: Bagaimana Langkah Kita Selanjutnya?. (https://saripediatri.org/index.php/sari- pediatri/article/download/50/31 diakses 13 Agustus 2019). Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. (Perhimpunan Respirologi Indonesia); 2013. Bandung: PERPARI The Pediatric Acute Lung Injury Consensus Conference Group., 2015. Pediatric Acute Respiratory Distress Syndrome: Consensus Recommendations From the Pediatric Acute Lung Injury Consensus Conference. Pediatr Crit Care Med, 16(5), pp. 428-439. 53 Tim Editor. 2016 Acute Respiratory Distress Syndrome. Indonesia Journal of Chest Critical Emergency Medicine. Vol 3. No 2. World Health Organization. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anakdi-rumah-sakit diakses 12 Agustus 2019). Zoorob R, Sidani M, Murray J. 2011. Croup: An Overview. American Family Physicia. 83 (9). hal. 1067-1072. 54