PEDOMAN MANAJEMEN RESIKO PUSKESMAS TANAH KALI KEDIDINDING SURABAYA PEMERINTAH KOTA DINAS KESEHATAN UPT. PUSKESMAS TANAH KEDINDING SURABAYA 0 B A B I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Puskesmas sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dasar merupakan ujung tombak terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Puskesmas berfungsi sebagai pusat pembangunan wilayah berwawasan kesehatan, pusat pelayanan kesehatan perorangan primer, pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer dan pusat pemberdayaan masyarakat. Sebagai unit pelayanan kesehatan memiliki berbagai potensi bahaya yang berpengaruh buruk pada tenaga kesehaan dan non kesehatan yang bekerja di Puskesmas, pasien, pengunjung dan masyarakat disekitarnya. Potensi bahaya tersebut meliputi golongan fisik, kimia, biologi, ergonomic dan psikososial. Khususnya golongan biologi merupakan bahaya potensia yang paling sering menyebabkan gangguan kesehatan di Puskesmas. Potensi bahaya golongan biologis tersebut antara lain virus, bakteri, jamur, protozoa, parasit dan hewan pengerat. Virus dan bakteri merupakan potensi bahaya yang paling sering mengancam pada petugas Puskesmas. Hal tersebut terkait dengan masih tingginya prevalensi berbagai penyakit yang disebabkannya yakni TB Paru, Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV?AIDS yang dapat menular dari pasien ke petugas Puskesmas selama menjalankan pekerjaan. Penyakit-penyakit tersebut digolongkan dalam penyakit akibat kerja (PAK). Kewaspadaan Universal atau “Universal Precaution” merupakan upaya pencegahan infeksi yang telah mengalami perjalanan panjang, dimulai sejak dikenalnya infeksi nosokomial ( Infeksi yang ditimbulkan dari tindakan medis yang terus menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan pasien. Penerapan Universal Precaution pada setiap pasien dapat menggantikan sebagian tindakan isolasi yang berlaku selama ini, namun untuk kasus-kasus tertentu isolasi masih diperlukan misalnya untuk pasien yang diduga atau diketahui terinfeksi oleh kuman pathogen yang dapat menular melalui udara, droplet (isolasi Respiratorik atau kontak (isolasi Kontak), dan juga tidak berlaku untuk kasus-kasus yang memerlukan isolasi ketat. Sehingga pada tahun 1994 Universal Precaution dikembangkan sebagai upaya pencegahan infeksi di puskesmas yang berupa penerapan dua tingkatan kewaspadaan, yaitu: 1. Standard Precaution atau Kewaspadaan Standar, sebagai kewaspadaan tingkat pertama, yang merupakan kombinasi antara universalPrecaution (UP) secara garis besar dengan body substance isolations (BSI) yang menekankan kewaspadaan terhadap bahan-bahan berupa darah, semua cairan tubuh, secret, ekskret (tanpa memandang apakah dia mengandung darah atau tidak), kulit dan mukosa yang tidak utuh. Selanjutnya disebut juga sebagai Universal Precautions ataau dikenal sebagai Kewaspadaan Universal yang bersifat umum dan diterapkan kepada semua pasien tanpa memandang status diagnosisnya. 1 2. Transmision Based Precaution, kewaspadaan tingkat kedua yaitu kewaspadaan terhadap infeksi berdasarkan cara penularan, dirancang sebagia tambahan dari kewaspadaaan universal tersebut diatas bila diperlukan dan untuk diterapkan kepada pasien yang terbukti dan diduga berpenyakit menular yang secara epidemiologis bermakna mengidap kuman pathogen atau terinfeksi oleh kuman pathogen yang memerlukan kewaspadaan secara khusus lebih dari kewaspadaan universal untuk mencegah transmisi silangnya. Dikenal tiga jenis Kewaspadaan khusus tersebut, yaitu: a. Kewaspadaan terhadap penularan melalui udara ( airborne precautions) b. Kewaspadaan terhadap penularan melalui percikan (droplet precautions) c. Kewaspadaan terhadap Penularan melalui kontak (contact precautions) Alasan dasar penerapan Kewaspadaan Universal adalah bahwa HIV/AIDS telah menjadi ancaman global. Ancaman penyebaran HIV menjadi lebih tinggi karena pengidap HIV tidak menampakkan gejala. Setiap hari ribuan anak berusia kurang dari 15 tahun dan per 4000 penduduk berusia 15-49 tahun terinfeksi HIV. Dari keselurahan kasus baru 95% terjadi dinegara-negara berkembang yang belum mampu menyelenggarakan kegiatan penanggulangan yang memadai. Penyakit hepatitis B dan C keduanya potensial untuk menular melalui tindakan pada pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa menurut data PMI angkat kesakitan hepatitis B di Indonesia pada pendonor sebesar 2,08%, pada tahun 1998 dan angka kesakitan hepatitis C di masyarakat menurut perkiraan 2,1%. Kedua penyakit ini sering tidak dapat dikenali secara kliinis karena tidak menimbulkan gejala. Hasil survey tentang upaya pencegahan infeksi di Puskesmas (Bachrun,2000), menunjukkan masih ditemukannya beberapa tindakan petugas yang potensial meningkatkan penularan penyakit kepada diri mereka, pasien yang dilayani dan masyarakat luas, yakni : 1. Cuci tangan yang tidak benar 2. Penggunaan sarung tangan yang tidak tepat 3. Penutupan kembali jarum suntik secara tidak aman 4. Pembuangan peralatan tajam secara tidak aman 5. Teknik dekontaminasi dan sterilisasi peralatan tidak tepat 6. Praktek kebersihan ruangan yang belum memadai. Hal tersebut dapat saja meningkatkan resiko petugas kesehatan tertular karena tertusuk jarum atau terpajan darah/cairan tubuh yang terinfeksi. Sementara pasien dapat tertular melalui peralatan yang terkontaminasi atau menerima darah atau produk darah yang mengandung virus. 2 1.2 TUJUAN 1. UMUM Menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat dan produktif untuk petugas Puskesma, pasien, pengunjug/pengantar pasien, masyarakat dan lingkungan sekitar Puskesmas 2. KHUSUS a. Terbentuknya kelompok kerja atau tim sebagai penanggung jawab kegiatan Manajemen Resiko di Puskesmas b. Teridentifikasinya potensi bahaya/resiko dan cara pengendaliannya c. Tersusunnya rencana kerja Manajemen Resiko di Puskesmas d. Terlaksananya kegiatan Manajemen Resiko di Puskesmas e. Terlaksananya monitoring dan evaluasi kegiatan Manajemen Resiko di Puskesmas. 1.3 SASARAN Sasaran pedoman Manajemen Resiko di Puskesmas adalah petugas Puskesmas dan Pengguna jasa Puskesmas. 1.4 RUANG LINGKUP 1. Pengenalan potensi baha di Puskesmas dan masalah kesehatan yang ditimbulkannya. 2. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Puskesmas 3. Standard Precaution di Puskesmas 4. Indikator keberhasilan 1.5 PENGERTIAN 1. Bahaya adalah suatu potensi yang dapat menimbulkan kerugian, gangguan kesehatan, cidera, kerusakan property dan lingkungan atau kerugian dalam produksi 2. Kesehatan kerja adalah suatu layanan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajad kesehatan (fisik, mental dan sosial) yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dari resiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu ingkungan kerja yang adaptasi antara pekerjaan dengan manusia, dan manusia dengan jabatannya. (ILO/WHO 1995) 3. Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian atau peristiwa dengan unsure-unsur tidak diduga, tidak dikehendaki, tidak disengaja, terjadi dalam hubungan kerja, menimbulkan trauma/rudapaksa, kecacatan dan kematian disamping itu menimbulkan kerugian dan/atau kerusakan properti 3 4. Kesehatan dan Keselamatan kerja adalah upaya memberikan jaminan kesehatan, keselamatan dan peningkatan derajad kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. 5. Manajemen Resiko adalah proses pengendalian resiko secara berkelanjutan mulai dari identifikasi, penilaian resiko, penetapan program pengendalian, pelaksanaan program pengendalian, monitoring dan evaluasi. 6. Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kota Surabaya yang merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di wilayah kerjanya. 7. Penyakit Akibat Kerja adalah setiap penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. 8. Penilaian Resiko adalah proses perkiraan kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan disertai perkiraan besarnya akibat dalam jangka waktu tertentu. 9. Resiko adalah kesempatan untuk terjadi cidera/kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi dari kemungkinan dan akibat. 10. Resiko kesehatan adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki oleh suatu bahan, proses atau kondisi untuk menimbulkan kesakitan, gangguan dan penyakit akibat kerja yang dipengaruhi oleh magnitude of hazard (konsentrasi & dosis), efek rating( tingkat dampak: Fatality, very serious, serious, moderate, lov, trivial), probabilitas (kemungkinan), frekwensi pajanan, durasi pajanan. 11. Standar Prosedur Operasional (SPO/SOP) adalah standar pelaksanaan pekerjaan baik secara resmi maupun tidak resmi oleh manajemen tentang tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan pekerja sebagai acuan dalam bekerja. 12. Standar Precaution adalah pengurangan terjadinya penyakit infeksi yang disebabkan penularan kontak langsung terhadap bahan infeksius maupun alat yang tidak steril atau mengandung bahan infeksius. 13. Tenaga Kesehatan Kerja adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dibidang kesehatan kerja serta memiliki kemampuan yang meliputi pengetahuan dan atau keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan pelatihan kompetensi dalam bidang kesehatan kerja dan bidang-bidang lain serta memenuhi kode etik yang bersifat melayani masyarakat berkaitan dengan pekerja yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan kerja. 4 B A B II KEWASPADAAN UNIVERSAL (UNIVERSAL PRECAUTION) DI PUSKESMAS Kewaspadaan Universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan. Upaya lain yang merupakan komponen pengendalian infeksi di sarana pelayanan adalah surveilans, penanggulangan KLB, pengembangan kebijakan dan prosedur kerja serta pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan dalam hal pencegahan infeksi yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Penerapan kewaspadan Universal didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Kewaspadaan standar merupakan suatu upaya pencegahan terhadap penularan infeksi Hepatitis B Virus (HBV), Hepatitis C Virus (HCV) dan Human Immuno Virus (HIV) secara parentral melalui membrane mukosa, permukaan kulit yang tidak intak, dengan memperlakkukan semua darah, sekret vagina, air mani, cairan amnion dan cairan tubuh lain terkecuali feces, urin, keringat, dahak, ingus, air mata, muntahan tanpa campuran darah dari semua pasien sebagai sumber yang potensial untuk menularkan infeksi tanpa memperhatikan diagnosis maupun resiko yang ada pada pasien tersebut. Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal pelayanan kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu: 1. Cuci tangan untuk mencegah infeksi silang. 2. Pemakaian alat pelindung di antaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain. 3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai 4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan. 5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan. 2.1 CUCI TANGAN Mikroorganisme pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu flora risidien dan flora transien. Flora residen adalah mikroorganisme yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis, yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Hidupnya terbesar di kuku dan garis tangan, bisa menyebabkan infeksi bila masuk ke dalam tubuh manusia. Flora transien yang juga disebut juga flora kontaminasi, jenisnya tergantung dari lingkungan tempat bekerja, termasuk darah atau cairan tubuh yang terinfeksi, tahan hidup selama 24 jam, hidup disekitar kuku dan merupakan penyebab terjadinya HAIs. 5 Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun dan deterjen. Oleh karena itu cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada pada tangan sehhingga penyebaran penyakit dapat dikurangi. Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Jenis cuci tangan sendiri dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu: 1. Cuci tangan higienik atau rutin : mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun atau deterjen dengan Ph 7 (netral) selama 40 – 60 detik ( Hand Wash (HW)), pada kondisi tidak tersedia air dan tangan dalam keadaan tidak kotor oleh darah atau tidak kotor oleh bahan organiknya lainnya, cuci tangan dapat menggunakan larutan gliserin dan alkohol 60-90% selama 20 – 30 detik (Hand Rub (HR)). Komposisi Hands Rub : 100ml Alkohol 70% + 1-2ml gliserin 10%. 2. Cuci tangan Aseptik : Cuci tangan dengan menggunakan bahan/obat antiseptic selama 60 detik, dan dilakukan sebelulm tindakan non bedah yang memerlukan tindakan aseptik. 3. Cuci tangan bedah (Surgical handscrub) : Membersihkan tangan kuku dan lengan menggunakan sabun antiseptik (4% chlorhexidine atau detergen yang mengandung povidone iodine 0,75% selama 3-5 menit ( 5 menit untuk pencucian pertama dan 3 menit untuk setiap pencucian berikutnya). Posisi tangan lebih tinggi dari siku dan jangan menutup kran dengan tangan yang sudah dicuci. INDIKASI CUCI TANGAN Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diperkirakan mungkin akan terjadi perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan yang kemungkinan terjadi pencemaran, seperti : 1. Sebelum melakukan tindakan, misalnya memulai pekerjaan, saat akan memeriksa pasien, saat akan memakai sarung tangan steril atau sarung tangan yang telah didesiinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk melakukan suatu tindakan, saat akan memakai peralatan yang telah di DTT, saat akan melakukan injeksi dan saat hendak pulang ke rumah. 6 2. Setelah melakukan tindakan, yang kemungkinan terjadi pencemaran, misalnya: setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat-alat bekas pakai dan bahan-bahan lain yang berisiko terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya.. Setelah membuka sarung tangan (cuci tangan sesudah membuka sarung tangan perlu dilakukan karena ada kemunkinan sarung tangan berlubang atau robek), setelah dari toilet/kamar kecil, setelah bersin atau batuk. SARANA CUCI TANGAN. 1. Air Mengalir Sarana utama untuk cuci tangan adalahair mengalir dengan saluran pembangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran ar mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi dipermukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung, namun cara mengguyur dengan gayung memiliki resiko cukup besar untuk terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung atau perckan air bekas cucian kembali ke bak penampurng air bersih. 2. Sabun dan Deterjen Bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terbawa oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, namun dilain pihak dengan seringnya menggunakan sabun atau deterjen makalapisan lemak kulit akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme 3. Larutan Antiseptik Larutan antiseptic atau disebut juga antimikroba topikal, dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptic tersebut dan reaksi kulit masing-masing individu. 7 Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman transient. Kriteria memilih antiseptik adalah sbb: a) Memilliki efek yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negative, virus lipofilik, basilus, tuberculosis, fungi, endospora) b) Efektifitas c) Kecepatan aktifitas awal d) Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan e) Tidak mengiritasi kulit f) Tidak menyebabkan alergi g) Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang h) Dapat diterima secara visual maupun estetik PROSEDUR CUCI TANGAN (Berdasarkan World Health Organization) 1. Cuci Tangan Higienis ( Hands Wash (HW) & Hands Rub (HR)) a. Basuh tangan dengan air (HW) b. Tuangkan sabun secukupnya (HW) / Larutan Alkohol & glycerin (HR) c. Ratakan dengan kedua telapak tangan d. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya (HW & HR) e. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari (HW & HR) f. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan salling mengunci (HW & HR) g. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya (HW & HR) h. Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya (HW & HR) i. Gosok Pergelangan tangan dengan menggunakan tangan kanan dan lakukan sebaliknya (HW & HR) j. Bilas kedua tangan dengan air (HW) k. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue sampai benar-benar kering (HW) l. Gunakan handuk / tissue tersebut untuk menutup kran air (HW) m. Tangan telah bersih dan kini sudah aman (HW & HR) PERINGATAN : Kenakan sarung tangan setelah tangan benarbenar telah kering, jangan kenakan sarung tangan saat tangan masih basah. 8 2. Cuci Tangan Aseptik Cuci tangan Aseptik biasanya dilakukan saat akan melakukan tindakan aseptic pada pasien atau saat akan kontak dengan penderita pada keadaan tertentu misalnya penderita dengan imunitas rendah. Persiapan dan prosedur pada cuci tangan aseptic sama dengan persiapan dan prosedur pada cuci tangan higienis hanya saja bahan deterjen atau sabun diganti dengan antiseptic dan setelah mencuci tangan tidak boleh menyentuh bahan yang tidak steril. 3. Cuci Tangan Bedah 1. Nyalakan kran air kemudian basahi tangan dan lengan bawah dengan air 2. Letakkan sabun antiseptic dibagian telapak tangan yang telah basah, buat busa secukupnya tanpa percikan 3. Sikat bagian bawah kuku dengan sikat lembut 4. Buat gerakan mencuci tangan seperti cuci tangan biasa dengan waktu yang lebih lama, gosok tangan dan lengan satu persatu secara bergantian dengan gerakan melingkar 5. Sikat lembut hanya digunakan untuk membersihkan kuku saja bukan untuk menyikt kullit yang lain oleh karena dapat melukainya. Untuk menggosok kulit dapat digunakan spons steril sekali pakai. 6. Proses cuci tangan bedah berlangsung selama 3 – 5 menit dengan prinsip sependek mungkin tapi cukup memadai untuk mengurangi jumlah bakteri yang menempel di tangan. 7. Selama cuci tangan jaga agar letak tangan lebih tinggi dari siku agar air mengallir dari arah lengan ke wastafel 8. Jangan sentuh wastafel, kran atau gaun pelindung 9. Keringkan tangan dengan lap steril 10. Gosok dengan alcohol 70% atau campuran alcohol 70% dan Chlorhexidin 0,5% selama 5 menit dan keringkan kembali 11. Kenakan gaun pelindung dan sarung tangan steril PERINGATAN : Kenakan sarung tangan setelah tangan benarbenar telah kering, jangan kenakan sarung tangan saat tangan masih basah. 2.2 PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, secret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan beresiko mencakup tindakan 9 rutin, tindakan bedah, otopsi atau perawatan gigi dimana menggunakan bor dengan kecepatan putar yang tinggi. Jenis-jenis Alat Pelindung 1. Sarung tangan 2. Pelindung wajah/masker/kaca mata 3. Penutup kepala 4. Gaun pelindung (Baju/celemek/schort) 5. Sepatu Pelindung (Sturdy foot wear) INDIKASI PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG Tidak semua alat pelindung tubuh harus dipakai, jenis pelindung tubuh yang dipakai tergantung pada jenis tindakan atau kegiatan yang akan dikerjakan. Sebagai contoh, untuk tindakan bedah minor (misalnya vasektomi, memasang/mengangkat implant) cukup memakai sarung tangan steril atau DTT saja. Namun untuk kegiatan operatif di kamar bedah, atau melakukan pertolongan persalilnan, sebaiknya semua pelindung tubuh dipakai oleh petugas untuk mengurangi kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh lainnya. 1. Sarung Tangan Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, secret, eksreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien, dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan tubuh, secret, ekskreta, dan benda yang terkontaminasi. Dikenal tiga jenis sarung tangan, yaitu: a. Sarung Tangan bersih, adalah sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tiggi, dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung tangan steril. b. Sarung tangan steril, adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi. c. Sarung tangan rumah tangga, Sarung tangan yang terbuat dari latex atau vinil yang tebal, seperti sarung tangan yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga. Digunakan pada waktu membersihkan alat kesehatan dan permukaan meja kerja. Sarung tangan ini dapat digunakan lagi setelah dicuci dan dibilas bersih. 10 INDIKASI PEMAKAIAN SARUNG TANGAN Sarungan tangan harus selalu dipakai pada saat melakukan tindakan yang kontak atau diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi Perlu diperhatikan pada waktu memeriksa, gunakan pasangan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, segera lepas sarung tangan apabila telah selesai dengan satu pasien dang anti sarung tangan yang lain apabila akan mengangani pasien lain. Hindari kontak pada benda-benda lain selain yang berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan, misalnya membuka pintu selagi masih memakai sarung tangan dsb. Tidak dianjurkan menggunakan sarung tangan rangkap bila tidak benar-benar diperlukan karena tidak meningkatkan perlindungan, bahkan akan meningkatkan resiko kecelakaan karena menurunkan kepekaan taktil (raba). Kadang-kadang perlu dipakai sarung tangan ganda pada keadaan khusus, seperti pada : 1. Tindakan yang memakan waktu lama (lebih dari 60 menit) dan atau melakukan tindakan operasi diarea sempit dengan kemungkinan besar robekan sarung tangan oleh alat tajam seperti jarum, gunting atau penjepit 2. Tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan tubuh yang banyak seperti operasi Caesar, persalinan dll. 3. Bila memakai sarung tangan pakai ulang yang seharusnya sekali pakai Sarung tangan tidak perlu dikenakan untuk tindakan tanpa kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh lain. Contoh: memberi makan pasien, membantu minum obat, membantu jalan, dll. PROSEDUR PEMAKAIAN SARUNG TANGAN STERIL PERSIAPAN: 1. Pilih jenis sarung tangan sesuai jenis tindakan 2. Kuku dijaga agar selalu pendek 3. Lepas cincin dan perhiasann lain 4. Cuci tangan sesuai prosedur standar Prosedur : 1. Cuci tangan 2. Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung tangan. Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT) 3. Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain untuk membuka pembungkus sarung tangan, letakkan sarung tangan dengan bagian telapak tangan menghadap ke atas 11 4. Ambil salah satu sarung dengan memegang pada sisi sebelah dalam lipatannya, yaitu bagian yang akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai. 5. Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke lantai, sehingga bagian lubang jari-jari tangannya terbuka. Masukkan tangan (jaga sarung tangan supaya tetap tidak menyentuh permukaan) 6. Ambil sarung tangan ke dua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatan, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai. 7. Ambil sarung tangan ke dua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatan, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai 8. Pasang sarung tangan yang kedua cara memasukkan jari-jari tangan yang belum memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi sarung tangan sehingga terasa pas dan enak di tangan. PROSEDUR MELEPAS SARUNG TANGAN PERSIAPAN 1. Larutan Klorin 0,5% dalam wadah yang cakup besar 2. Sarana cuci tangan 3. Kantung penampung limbah medis. Prosedur 1. Masukkan sarung tangan yang masih dipakai ke dalam larutan klorin, gosokkan untuk mengangkat bercak atau cairan tubuh lainnya yang menempel 2. Pegang salah satu sarung tangan pada lipatan lalu tarik kea rah ujung jari-jari tangan sehingga bagian dalam dari sarung pertama menjadi sisi luar. 3. Jangan dibuka sampai terlepas sama sekali, biarkan sebagian masih berada pada tangan sebelum melepas sarung tangan yang kedua. Hal ini penting untuk mencegah terpajannya kulit tangan yang terbuka dengan permukaan sebelah luar sarung tangan. 4. Biarkan sarung tangan yang pertama disekitar jari-jari, lalu pegang tangan yang ke dua pada lipatannya lalu tarik ke arah ujung jari hingga bagian dalam sarung tangan menjadi sisi luar 5. Pada akhir setelah hamper diujung jari, maka secara bersamaan dan dengan sangat hati-hati sarung tangan tadi dilepas 6. Perlu diperhatikan bahwa tangan yang terbuka hanya boleh menyentuh bagian dalam sarung tangan. 12 7. Cuci tangan setelah sarung tangan dilepas, ada kemungkinan sarung tangan berlubang namun sangat kecil dan tidak terlihat. Tindakan mencuci tangan setelah melepas sarung tangan ini akann memperkecil resiko terpajan. 2. PELINDUNG WAJAH (MASKER DAN KACAMATA) Pelindung waja terdiri dari dua macam pelindung yaitu masker dan kacamata, dengan berbagai macam bentuk, yaitu ada yang terpisah dan ada pula yang menjadi satu. Pemakaian pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut dan mata selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain, termasuk tindakan bedah, persalinan dan perawatan gigi. Jenis alat yang digunakan meliputi masker, kacamata atau pelindung wajah digunakan sesuai kemungkinan percikan darah selama tindakan berlangsung. Masker, kacamata dan pelindung wajah digunakan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu lapangan dan ketajaman pandangan. Petugas yang melaksanakan tindakan berisiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya harus memperhatikan perlunya perlindungan maksimal, lapangan pandangan dan kenyamanan kerja. Petugas yang menggunakan masker dan kacamata/pelindung wajah akan terlindung oleh infeksi yang ditularkan lewat darah/cairan tubuh lain serta infeksi yang ditularkan lewat udara. 3. PENUTUP KEPALA Tujuan pemakain penutup kepala adalah mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada dirambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat/daerah steril dan juga sebaiknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari percikan bahanbahan dari pasien. Pada keadaan tertentu misalnya pada saat tindakan bedah dan tindakan persalinan petugas maupun pasien harus menggunakan penutup kepala yang menutupi kepala dengan baik. 4. GAUN PELINDUNG ( Baju/celemek/schort) Gaun pelindung atau jubah atau celemek merupakan salah satu pakaian kerja. Seperti diketahui bahwa pakaian kerja dapat berupa seragam kerja, gaun bedah, jas laboratorium dan celemek. Jenis bahan dapat berupa bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju atau seragam. 13 Dari berbagai aspek, gaun dibagi menjadi gaun yang kedap air dan gaun tidak kedap air serta gaun pelindung steril dan non steril. Gaun pelindung steril dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya pada saat melakukan pembedahan, sedang gaun pelindung non steril (bersih) dipakai di berbagai unit yang beresiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar bedah, ruang rawat intensif (ICU), rawat darurat dan kamar bayi. Gaun pelindung dapat dibuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat juga terbuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat dipakai sekali saja (disposable). Gaun pelindung kedap air dapat pula dibuat dari bahan yang dapat dicuci melalui proses dekontaminasi dan dapat dipakai ulang, seperti misalnya plastik. Biasanya dipakai sebagai pelapis di bagian dalam gaun pelindung steril tidak kedap air, untuk mencegah tembusnya cairan tubuh kepada pemakai. 5. SEPATU PELINDUNG (Sturdy foot wear) Sepatu khusus digunakan oleh petugas yang bekerja di ruang tertentu misalnya: ruang bedah, gawat darurat, ruang Persallinan (VK), laboratorium, petugas sanitasi. Sepatu hanya dipakai di ruang tersebut dan tidak boleh dipakai ke ruang lainnya. Tujuan pemakaian adalah melindungi kaki petugas dari tumpahan.percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan. Sepatu harus menutupi seluruh ujung dan telapak kaki dan tidak dianjurkan untuk menggunakan sandal atau sepatu terbuka. Sepatu khusu sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan tahan tujukan misalnya karet atau plastik. 2.3 PENGELOLAAN ALAT KESEHATAN PASCA PAKAI Pengelolaan alat-alat bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukkan kedalam jaringan dibawah kulit harus dalam keadaan steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 (empat) tahap kegiatan, yaitu : a. DEKONTAMINASI Adalah menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi pengelolaan alat kesehatan bekas pakai atau pengelolaan pencemaran lingkungan. Tujuannya untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda, misalnya HIV, HBV dan kotoran lain yang tidak tampak, sehingga dapat melindungi petugas maupun pasien. 14 Dekontaminasi menggunakan bahan desinfektan, yaitu suatu bahan atau larutan kimia yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati, dan tidak digunakan untuk kulit dan jaringan mukosa. Dalam memilih cara dekontaminasi diperlukan 3(tiga) macam pertimbangan, yaitu keamanan, efikasi (efektifitas) dan efisien. Keamanan dan efektifitas merupakan pertimbangan utama. Di Indonesia yang sering digunakan adalah larutan Chlorin dengan konsenstrasi 0,5% atau 0,05% sesuai dengan intensitas cemaran dan jenis alat atau permukaan yang akan didekontaminasi, dengan cara merendam peralatan selama 10 menit. b. PENCUCIAN Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses disinfeksi atau sterilisasi selanjutnya menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengaruhi fungsinya atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk ke dalam tubuh pasien. Pada pencucian digunakan deterjen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain, jaringan, bahan organic dan kotoran betul-betul hilang dari permukaan alat tersebut. Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan darah, misalnya kursi roda, tensi meter, infuse pump, dsb., cukup dilap dengan larugan deterjen, namun apabila jelas terkontaminasi dengan darah maka diperlukan disinfektan. c. Sterilisasi atau DTT Adalah suatu mikroorganisme proses dari alat untuk menghilangkan kesehatan kecuali sebagian endospora atau bakteri semua dan direkomendasikan pada peralatan yang kontak dengan darah atau jaringan bawah kulit. Proses ini dapat dilakukan dengan uap panas bertekanan tinggi (Autoclave) /secara fisik atau bahan kimia Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan Pemanasan basah dengan mengguanakan uap panas bertekanan tinggi (Autoclave), s terilisasi terjadi melalui koagulasi dan denaturasi protein, dengan susu 1210 Celcius selama 20-30 menit, dihitung sejak tercapainya suhu 1210Celsius., Pemanasan Kering (dryheat) menggunakan oven, sina infra merah, steril terjadi melalui proses oksidasi dan denaturasi protein, pemanasan dengan oven dibutuhkan panas setinggi 1500-1700 Celsius dengan waktu yang lebih lama dari autoclave. Sebagai gambaran untuk mematikan spora dibutuhkan waktu 2jam dengan suhu 1800Celsius, Radiasi dengan menggunakan sinar Gamma, namun cara ini tidak sesuai untuk sterilisasi skala kecil seperti di Rumah Sakit apalagi di Puskesmas, Penyaringan/filtasi 15 merupakan cara yang dipakai untuk larutan yang tidak tahan panas seperti serum, plasma atau vaksin. Sterilisai secara kimia yang sering digunakan adalah Larutan Glutaraldehid 2% yang digunakan untuk merendam alat kesehatan selama 810jam, dan Gas Etilen Oksida (ETO), adalah gas racun yang efektif untuk dipakai sebagai bahan sterilisasi, dibutuhkan penghawaan dengan siklus 16 jam. d. PENYIMPANAN Penyimpanan yang baik pada prinsipnya sama dengan sterilisasi karena akan tetap menjamin peralatan tersebut steril. Cara penyimpatan alat tersebut meliputi : Peralatan di bungkus, Pembungkusan peralatan bertujuan untuk menjaga tetap sterilnya peralatan. Umur steril (shelf life) peralatan sangant dipengaruhi oleh packing, handling, jumlah petugas yang menangani packng, keberhasilan, kelembaban dan suhu penyimpanan, selama peralatan masih terbungkus, semua alat steril dianggap tetap steril, tergantung ada atau tidaknya kontaminasi. Peralatan tidak dibungkus, Peralatan yang tidak dibungkuks harus segera digunakan setelah dikeluarkan. Alat yang tersimpan pada wadah steril dan tertutu apabila yakin tetap steril, paling lama 1 minggu, tetapi kalau ragu-ragu harus disterilkan kembali. Jangan menyimpan alat dalam larutan, misalnya scalpel dan jarum penjahit luka. Simpanlah alat dalam keadaan kering. Mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak pada larutan antiseptic maupun desinfektan, sehingga dapat mengontaminasi alat dan menyebabkan infeksi. 2.4 PENGELOLAAN JARUM DAN ALAT TAJAM Benda tajam sangat berisiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infek HIV, hepatitis B dan C di sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan oleh alat tajam lainnya. Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai (disposable used), dengan demikian jarum suntik bekas tidak boleh digunakan lagi. Perlu diperhatikan, ketika menggunakan jarum suntik atau benda tajam lainnya, setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak pembukaan kemasan, penggunaan, dekontaminasi hingga ke penamppungan sementara yang berupa wadah tahan tusukan. Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan wadah limbah tajam/tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan. Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai ke dalam tutupnya. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut 16 melainkan langsung saja dibuang ke tempat penampungan sementaranya, tanpa menyentuh atau memanipulasi. Pecahan kaca dikategorikan sebagai benda tajam. Potensial menyebabkan perlukaan yang akan memudahkan kuman masuk ke dalam aliran darah. Untuk itu perlu diperlukaan secara hati-hati dengan cara pembuangan yang aman, seperti, menggunakan sarung tangan tebal pada saat membersihkannya, ditambah dengan penggunaan kertas Koran dan kertas tebal untuk mengumpulkan dan meraup pecahan gelas tersebut. Untuk membawa pecahan gelas dianjurkan dengan cara membungkusnya dalam gulungan kertas yang digunakan untuk meraup sebelumnya dan memasukkannya ke dalam kardus dan diberi label hati-hati pecahan kaca. 2.5 PENGELOLAAN LIMBAH DAN SANITASI RUANGAN Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan limbah padat. Limbah padat biasa disebut juga sampah, tidak semua sampah puskesmas berbahaya. Petugas yang menangani sampah ada kemungkinan terinfeksi, terutama disebabkan karena luka benda tajam yang terkontaminasi. Limbah yang berasal dari puskesmas/sarana kesehatan secara umum dibedakan atas : 1. Limbah rumah tangga, limbah non medis, yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh sehingga disebut sebagai risiko rendah, sampah jenis ini dapat langsung dibuang melalui pelayanan pengelolaan sampah kota. 2. Limbah medis, yaitu bagian dari sampah puskesmas/sarana kesehatan yang berasal dari bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien yang dikatagorikan sebagai limbah berisiko tinggi dan bersifat berpotensi menularkan penyakit. Limbah medis dapat berupa : a. Limbah klinis: darah/cairan tubuh lainnya, mengandung darah kering seperti perban, kassa dan benda-banda dari ruang tindakan, sampah organik misalnya jaringan, potongan tubuh dan placenta, benda-benda tajam bekas pakai, misalnya jarum suntik, jarum jahit, pisau bedah, tabung darah, pipet atau jenis gelas lainnya yang bersifat infeksius (contoh : sediaan hapusan darah) Cara penanggulangan limbah klinis : sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir/pembakaran (Incenerator) semua jenis limbah klinis ditampung dalam kantong kedap air, biasanya berwarna kuning, ikat secara rapat kantong yang sudah berisi 2/3 penuh. b. Limbah Laboratorium : limbah yang berasal dari laboratorium dikelompokkan sebagai limbah beresiko tinggi. Cara penanganan limbah laboratorium: o Sebelum keluar dari ruang laboratorium dilakukan sterilisasi dengan otoklaf selanjutnya ditangani secara prosedur pembuangan limbah klinis o Cara penanganan terbaik untuk limbah medis adalah dengan incenerasi o Cara lain adalah menguburnya dengan metode kapurisasi 17 3. Limbah berbahaya, adalah limbah kimia yang mempunyai sifat beracun. Limbah jenis ini meliputi produk pembersih, disinfektan, obat-obatan sitotoksik dan senyawa radio aktif. 18 B A B III KESELAMATAN PASIEN Keselamatan pasien Puskesmas adalah suatu system dimana puskesmas membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak sengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera(KTC), dan Kejadian Potensial Cedera (KPC) dengan rincian definisi sebagai berikut: 1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. 2. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien 3. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. 4. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cederra, tetapi belum terjadi insiden 5. Kejadian Sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius. 6. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut pelaporan insiden adalah suatu system untuk mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran Dalam rangka melaksanakan tugas, tim Manajemen Resiko Puskesmas memiliki peran dan fungsi adalah sebagai berikut ; a. Mengembangkan program keselamatan pasien di Puskesmas sesuai dengan kekhususan Puskesmas Tanah Kalikedidinding sebagai Puskesmas Rawat Inap & Persalinan b. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit c. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit 19 d. Bekerjasama dengan bagian pendidikan dan pelatihan Puskesmas untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien Puskesmas e. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta pengembangan solusi untuk pembelajaran. f. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada Kepala Puskesmas dalam rangka pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Puskesmas g. Membuat laporan kegiatan kepada kepala Puskesmas A. STANDAR KESELAMATAN PASIEN Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera maka diperlukan standar keselamatan pasien puskesmas yang merupakan acuan bagi puskesmas untuk melaksanakan kegiatannya. Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan di puskesmas dan penilaiannya dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Puskesmas Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu: 1. Hak pasien 2. Mendidik pasien dan keluarga 3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan 4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien 5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut: Standar I. Hak pasien Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden. Kriteria: 1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan. 2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan. 3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden. 20 Standar II. Mendidik pasien dan keluarga Standar: Puskesmas harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriteria: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di puskesmas harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat : 1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur. 2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga. 3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti. 4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan. 5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Puskesmas. 6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa. 7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan Standar: Puskesmas Takal menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria: 1. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari puskesmas. 2. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar. 3. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya. 4. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. 21 Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Standar: Puskesmas harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriteria: 1. Puskesmas Takal harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan puskesmas, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktorfaktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Puskesmas”. 2. Puskesmas Takal harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan. 3. Puskesmas Takal harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi. 4. Setiap puskemas harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin. Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien Standar: 1. Kepala Puskesmas mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Puskesmas“. 2. Kepala Puskesmas menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden. 3. Kepala Puskesmas mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4. Kepala Puskesmas mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5. Kepala Puskesmas mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja Puskesmas dan keselamatan pasien. Kriteria: 1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien. 22 2. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden. 3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen puskesmas terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien. 4. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis. 5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan. 6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”. 7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam puskesmas dengan pendekatan antar disiplin. 8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja puskesmas dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut. 9. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja puskesmas dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya. Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien Standar: 1. Puskesmas memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas. 2. Puskesmas menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien. Kriteria: 1. Puskesmas harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing. 2. Puskesmas Takal harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden. 23 3. Puskesmas Takal harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien Standar: 1. Puskesmas merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria: 1. Puskesmas Takal perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien. 2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada. 24 B. SASARAN KESELAMATAN PASIEN Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di Puskemas yang diakred2itasi oleh Komisi Akreditasi Puskesmas. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007). Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam Pkeselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut : SASARAN I : KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN Standar SKP I Puskesmas mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. Maksud dan Tujuan : Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi dihampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di puskesmas, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: 1. Untuk identifikasi pasien sebagai individu yangakan menerima pelayanan atau pengobatan. 2. Untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda di puskesmas, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I 25 1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. 2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. 3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. 4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur. 5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF Standar SKP II Puskesmas mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan. Maksud dan Tujuan : Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan. Puskesmas secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti situasi gawat darurat di UGD. Elemen Penilaian Sasaran II: 1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. 2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah. 3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan 26 4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI (HIGH-ALERT) Standar SKP III Puskesmas mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan : Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kPEedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Puskesmas secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di puskesmas. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati. Elemen Penilaian Sasaran III 1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. 2. Implementasi kebijakan dan prosedur. 3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. 27 4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT PASIEN Standar SKP IV Puskesmas mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepatprosedur, dan tepat- pasien. Maksud dan Tujuan Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu yang menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di puskesmas. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Puskesmas perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di puskesmas dan harus dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk: 1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar. 2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan 3. melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant2 yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat 28 sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist. Elemen Penilaian Sasaran IV 1. Puskesmas menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan. 2. Puskesmas menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia,tepat, dan fungsional. 3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/timeout” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan. 4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. SASARAN V : PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN Standar SKP V Puskesmas mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan Tujuan : Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan internasional. Puskesmas mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit. 29 Elemen Penilaian Sasaran V 1. Puskesmas mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHOPatient Safety). 2. Puskesmas menerapkan program hand hygiene yang efektif. 3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. SASARAN VI : PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH Standar SKP VI Puskesmas mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Maksud dan Tujuan : Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, puskesmas rawat inap Takal perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan puskesmas. Elemen Penilaian : 1. Puskesmas menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain. 2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. 3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan. 4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit. BAB IV PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO I. MANAJEMEN RISIKO LINGKUNGAN 30 A. DEFINISI Manajemen risiko lingkungan di Puskesmas adalah penerapan manajemen risiko dengan tujuan meminimalkan dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat dari aktifitas atau kegiatan pelayanan kesehatan pada pasien terhadap pasien, pengunjung, petugas maupun lingkungan di Puskesmas. B. RUANG LINGKUP PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO LINGKUNGAN Lingkup pelaksanaan manajemen risiko lingkungan di Puskesmas meliputi : - Penilaian persyaratan bangunan, sarana prasarana dan kondisi lingkungan Puskesmas - Identifikasi risiko kondisi lingkungan yang berdampak pada pasien, petugas dan lingkungan sekitar Puskesmas - Tatalaksana penerapan manajemen risiko lingkungan - Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan Penerapan manajemen risiko lingkungan di Puskesmas Tanah Kalikedinding meliputi: - Sarana dan prasarana bangunan Puskesmas - Sarana prasarana fasilitas Puskesmas termasuk rasio jumlah pasien dan toilet, dsb - Sarana prasarana fasilitas Puskesmas termasuk rasio jumlah karyawan dan toilet, dsb - Tata ruang dan penetapan zona risiko - Pemantauan kualitas lingkungan termasuk suplai air bersih, keadaan udara, penghawaan, kebisingan, pencahayaan, kelembaban, kelicinan lantai, pegangan untuk lansia - Pemantauan fasilitas sanitasi Puskesmas 1) Toilet dan Kamar Mandi, 2) Pembuangan sampah, 3) Penyediaan air minum dan air bersih, 4) Hygiene dan sanitasi makanan 5) Pengolahan limbah, 6) Pengolahan limbah medis 7) Pengelolaan linen 8) Pengendalian serangga dan binatang pengganggu 9) Dekontaminasi dan sterilisasi 10) Promosi hygiene dan sanitasi 31 C. PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO LINGKUNGAN DI PUSKESMAS Manajemen risiko lingkungan di Puskesmas diterapkan pada seluruh kegiatan yang menimbulkan dampak risiko terhadap lingkungan yaitu: 1. Kegiatan pelayanan klinis di Puskesmas 2. Kegiatan pelayanan kesehatan di Pustu, Poskeskel, Posyandu, Pusling, Posbindu, Kegiatan screening. 3. Kegiatan pasien/pengunjung Puskesmas 4. Kegiatan karyawan/ staf Puskesmas Kegiatan penerapan manajemen risiko lingkungan a. Penilaian persyaratan bangunan, sarana dan prasarana Puskesmas - Bangunan Puskesmas terdiri dari bangunan dengan konstruksi kuat, atap tidak bocor, lantai tidak licin, permukaan dinding kuat dan rata serta menggunakan bahan bangunan yang tidak membahayakan tidak banjir. - Lingkungan Puskesmas tidak panas, ventilasi cukup, pencahayaan cukup, seluruh ruangan tidak lembab dan tidak berdebu. - Terdapat fasilitas pemadam kebakaran dan petunjuk jalur evakuasi dan pintu darurat jika terjadi kecelakaan - Rasio kecukupan toilet karyawan mengikuti indeks perbandingan jumlah karyawan dengan toilet yaitu 1:20 artinya setiap penambahan 20 karyawan harus ditambah I toilet dan 1 kamar mandi. - Tata ruang o Zona ruang dengan Risiko rendah : meliputi ruang administrasi TU, Ruang Kepala Puskesmas, Ruang pertemuan, ruang penyimpanan rekam medis bersatu dengan loket (unit pendaftaran), ruang penyimpanan obat, dapur dan Musholla. Risiko sedang: meliputi poli rawat jalan (selain poli P2) , poli KIA Risiko tinggi: meliputi Poli P2, Laboratorium, UGD dan tempat penampungan limbah/sampah medis, Poli Gigi. o Penataan ruangan memperhatikan zona risiko penularan b. Identifikasi risiko kondisi lingkungan Setiap unit kerja melakukan identifikasi risiko kondisi lingkungan antara lain: 1. Sarana o Kerusakan bangunan atau sarana prasarana o Fasilitas sanitasi seperti wastafel buntu, air tidak lancar, sampah medis tidak tersedia, toilet rusak, jenis kran bertangkai panjang. 2. Kondisi pencahayaan, penghawaan, kelembaban, kebisingan peralatan. 3. Kebersihan ruangan dan fasilitas 32 4. Limbah: jadwal pengambilan limbah, paparan limbah pada lingkungan. c. Tatalaksana penerapan manajemen risiko lingkungan 1. Toilet dan Kamar Mandi, o Tersedia sabun cair o Dinding dalam keadaan bersih o Lantai kedap air, tidak licin dan mudah dibersihkan o Terpisah antara toilet laki laki dan perempuan o Bak air dalam keadaan bersih dan tidak ada jentik o Ada pegangan untuk lansia o Closet duduk untuk pasien lansia o Terpisah antara karyawan dan pasien 2. Pembuangan sampah, o Tersedia fasilitas tempat sampah medis dan non medis setiap ruangan o Tempat sampah pedal dan tertutup o Sampah/ limbah non medis padat ditampung dalam kantong warna hitam. Sampah medis ditampung dalam kantong warna kuning. o Sampah setiap hari dibuang di tempat penampungan sampah sementara 3. Penyediaan air minum dan air bersih, o Tersedia air bersih o Tersedia air minum untuk karyawan sesuai kebutuhan 4. Hygiene dan sanitasi makanan o Kebersihan peralatan makan di Puskesmas o Kebersihan peralatan dapur o Kebersihan tempat cuci peralatan dapur dan makan 5. Pengolahan limbah o Limbah cair ditampung dalam septic tank khusus 6. Pengolahan limbah medis o Limbah medis tajam ditampung dalam safety box o Limbah medis padat ditampung dalam tempat sampah medis dengan kantong warna kuning o Limbah medis padat selanjutnya ditampung pada penampungan sementara untuk dikirim ke tepat pemusnahan 7. Pengelolaan linen o Dilakukan pemisahan linen yang infeksius dan non infeksius o Linen / kain yang terkontaminasi dilakukan proses desinfeksi o Linen / kain secara berkala dikumpulkan dan dikirim ke tempat pencucian o Penyimpanan linen dalam lemari dipisah antara linen infeksius dan non infeksius 33 8. Pengendalian serangga dan binatang pengganggu o Dilakukan pengamatan terhadap serangga nyamuk, kecoa, ulat tanaman dan tikus o Kebersihan ruangan dijaga untuk mencegah binatang pengganggu o Dilakukan pemberantasan jika terdapat binatang pengganggu 9. Dekontaminasi dan sterilisasi o Seluruh peralatan yang terkontaminasi dilakukan proses dekontaminasi dan sterilisasi o Proses dekontaminasi dilaksanakan segera setelah proses pelayanan, sterilisasi dilakukan di sterilisator. 10. Promosi hygiene dan sanitasi o Tersedia promosi untuk menjaga kebersihan ruangan, membuang sampah, kebersihan kamar mandi cara mencuci tangan, dan etika batuk. d. Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan dilaksanakan oleh petugas sanitasi dan dibantu oleh cleaning service. D. DOKUMENTASI Seluruh kegiatan manajemen risiko lingkungan didokumentasikan dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas. (Data Terlampir) II. MANAJEMEN RISIKO LAYANAN KLINIS A. DEFINISI 34 Manajemen risiko merupakan proses identifikasi, evaluasi, mengendalikan dan meminimalkan risiko dalam suatu organisasi secara menyeluruh. Manajemen risiko layanan klinis adalah suatu pendekatan untuk mengenal keadaan yang menempatkan pasien pada suatu risiko dan tindakan untuk mencegahterjadinya risiko tersebut. Manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas dilaksanakan untuk meminimalkan risiko akibat adanya layanan klinis oleh tenaga kesehatan di Puskesmas yang dapat berdampak pada pasien maupun petugas. Tujuan utama penerapan manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas adalah untuk keselamatan pasien dan petugas dari penularan penyakit.Penyusunan panduan manajemen risiko layanan klinis bertujuan untuk memberikan panduan bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paling aman untuk pasien, pengunjung dan petugas puskesmas. B. RUANG LINGKUP PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO LAYANAN KLINIS Manajemen risiko layanan klinis mencakup adanya prosedur untuk mencegah kejadian yang membahayakan (preventing harm) dan prosedur untuk meminimalkan risiko (patient safety). Lingkup penerapan manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas Tanah Kalikedinding meliputi: 1. Risiko yang berhubungan dengan pasien/pengunjung Puskesmas 2. Risiko yang berhubungan dengan petugas kesehatan 3. Risiko yang berhubungan dengan staf Puskesmas lainnya 4. Risiko yang berhubungan dengan peralatan kesehatan dan properti Puskesmas lainnya Penerapan manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas Tanah Kalikedinding dilaksanakan di unit pelayanan yang menyelenggarakan layanan klinis yaitu: 1. Loket Pendaftaran dan Rekam Medis 2. Poli Umum 3. Poli Anak 4. Poli KIA/KB 5. Poli Gigi 6. Poli Battra 7. Poli Pencegahan Penyakit (P2) 8. UGD 9. Laboratorium 10. Kamar Obat 35 Ruang lingkup penerapan manajemen risiko pelayanan klinis juga dilaksanakan di jaringan pelayanan Puskesmas Tanah Kalikedinding yang melaksanakan layanan klinis seperti pemeriksaan, pengobatan dan tindakan termasuk imunisasi. Jaringan pelayanan Puskesmas yang dimaksud meliputi: Puskesmas Pembantu (Pustu), Poskeskel, Posyandu, Pusling dan Posbindu. . C. PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO LAYANAN KLINIS Proses penerapan manajemen risiko layanan klinis meliputi kegiatan: 1. Identifikasi risiko Masing-masing unit pelayanan dan jaringan Puskesmas menyusun daftar risiko yang berpotensi membahayakan pasien dan petugas yang bisa didapatkan dari: - Hasil temuan pada audit internal - Keluhan pasien/pelanggan Puskesmas - Adanya insiden atau kejadian berbahaya yang pernah terjadi di unit pelayanan tersebut Contoh daftar risiko pada layanan klinis di Puskesmas: Unit Layanan Risiko Loket Pendaftaran dan Rekam Medis Kesalahan pemberian identitas rekam medis - Kesalahan pengambilan kartu rekam medis - Kartu rekam medis tidak ditemukan - Kartu berobat tidak dibawa beserta kelengkapannya (KTP, KK) Poli umum, Poli Anak dan UGD Laboratorium Kesalahan diagnosis - Kesalahan identifikasi pasien/salah orang - Kesalahan pemberian terapi - Kesalahan pemberian resep - Kesalahan tindakan yang menimbulkan perlukaan - Monitoring pengobatan atau tindakan yang kurang baik - Insiden tertusuk jarum bekas pakai - Limbah medis tercecer - Paparan dengan luka terbuka atau cairan tubuh pasien - Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri - Menggunakan peralatan tidak steril - Kegagalan pengambilan sampel sehingga menimbulkan perlukaan 36 Unit Layanan Kamar Obat Risiko - Kesalahan pengambilan sampel - Kesalahan pemberian label sampel laboratorium - Kesalahan penulisan hasil pemeriksaan laboratorium - Hasil pemeriksaan hilang - Sampel rusak atau hilang - Insiden tertusuk jarum bekas pakai - Limbah medis tercecer - Paparan dengan luka terbuka atau cairan tubuh pasien - Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri - Menggunakan peralatan tidak steril - Alat rusak / error - Aliran listrik padam - Kesalahan membaca resep - Kesalahan pemberian obat - Kesalahan dosis/formula obat - Kesalahan edukasi cara minum/pemakaian obat - Kesalahan identifikasi pasien - Kesalahan penulisan label - Pemberian obat rusak - Kesalahan pengambilan obat - Temperatur kamar obat tidak sesuai Daftar risiko yang telah teridentifikasi, dicatat dalam formulir identifikasi manajemen risiko Puskesmas dan dilaporkan kepada Tim Mutu Puskesmas. 2. Analisis risiko (Risk Assessment) Daftar risiko yang telah diidentifikasi kemudian dilakukan analisis oleh Tim Mutu. Analisis risiko dilakukan dengan cara menilai tingkat kegawatan dari risiko (severity assessment) dan dengan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) seperti dalam Formulir berikut: Formulir Analisis FMEA Risiko Pelayanan Klinis Puskesmas per bulan 37 FAIL FREKUE URE No (Kega PENYE EFE galan/ BAB K Kesala RPN NSI KEGAW AHAN (OC TERJAD ATAN TERDET C x INYA (SV) EKSI SV x (DT) DT) 10 100 (OCC) han) KEMUD Poli Petuga Petugas Tertul 1x Umu s masih m tertusu 10 VALI SOL DASI USI SOLU SI Kep Pemeri ar atuh ksaan melaks penya an lab k anakan kit terha setelah jarum recappi dari dap windo suntik ng pasie SOP w n period Keterangan: - Rentang nilai OCC mulai 0-10; dimana 0= tidak mungkin terjadi dan 10 = sangat sering terjadi - Rentang nilai SV mulai 0-10; dimana 0=tidak gawat dan 10=sangat gawat - Rentang nilai DT mulai 0-10; dimana 0=mudah dideteksi dan 10=sangat sulit dideteksi 3. Evaluasi risiko Evaluasi risiko dilakukan pada kasus yang terpilih berdasarkan kegawatan risiko.Evaluasi dilakukan dengan mencari penyebab masalah menggunakan Analisis Akar Masalah (RCA/Root Cause Analysis) kemudian ditentukan apakah memerlukan tindakan perbaikan (treatment) ataukah tidak. 4. Tindakan atau perbaikan Jika diperlukan tindakan perbaikan maka Tim Mutu merekomendasikan rencana tindakan perbaikan dan monitoring terhadap tindakan perbaikan.Setiap tindakan perbaikan dikonsultasikan kepada Kepala Puskesmas dan dikomunikasikan kepada petugas Puskesmas lainnya. D. DOKUMENTASI Seluruh kegiatan manajemen risiko layanan klinis didokumentasikan dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas.(Terlampir) 38 39 III. MANAJEMEN RISIKO PELAKSANAAN PROGRAM A. DEFINISI Manajemen risiko pada pelaksanaan program Puskesmas merupakan upaya untuk mengidentifikasi, menganalisa dan meminimalkan dampak atau risiko atas pelaksanaan program Puskesmas. B. RUANG LINGKUP Manajemen risiko pelaksanaan Program Puskesmas meliputi risiko : - Risiko pelaksanaan program terhadap masyarakat sasaran - Risiko pelaksanaan program terhadap lingkungan - Risiko pelaksanaan program terhadap petugas pelaksana program Tempat pelaksanaan program dan sasaran program termasuk pada pelaksanaan kegiatan Posyandu balita dan Posyandu lansia C. PENERAPAN Penerapan manajemen risiko pelaksanaan program meliputi kegiatan 1. Identifikasi risiko Risiko yang dapat timbul karena pelaksanaan program antara lain: Contoh Identifikasi resiko kegiatan/Pelayanan Program: Program Risiko Posyandu Balita - Kesalahan penentuan kebutuhan imunisasi - Kesalahan cara pemberian imunisasi - Kesalahan waktu pemberian imunisasi - Kesalahan jenis imunisasi - Kesalahan dosis vaksin - Insiden kegagalan pemberian imunisasi - Insiden efek samping imunisasi - Ceceran limbah medis - Insiden petugas tertusuk jarum - Insiden balita terluka pada proses penimbangan menggunakan dacin Posyandu Lansia - Kesalahan cara penimbangan - Kesalahan pencatatan hasil pengukuran dan pemeriksaan - PMT tidak sesuai dengan ketentuan - Kesalahan identifikasi - Kesalahan pemeriksaan dan diagnosis 40 Program Risiko - Insiden perlukaan karena penggunaan alat periksa - Kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium - Insiden perlukaan karena pemeriksaan laboratorium - Insiden tertusuk jarum - Insiden kontak dengan cairan tubuh penderita - Tidak menggunakan APD - Kesalahan pemberian obat - Kesalahan dosis obat - PMT tidak sesuai untuk Lansia - PMT tidak sesuai dengan ketentuan 2. Analisis risiko 3. Evaluasi risiko Risiko yang teridentifikasi dianalisi menggunakan formulir FMEA dan analisis penyebab dengan menggunakan metode RCA (Root Caused Analysis).Tingkat risiko yang memiliki nilai yang tinggi merupakan prioritas untuk dilakukan pemecahan masalah. Identifikasi risiko dilaporkan kepada Tim Mutu Puskesmas 4. Tindakan perbaikan Jika diperlukan tindakan perbaikan maka Tim Mutu merekomendasikan rencana tindakan perbaikan dan monitoring terhadap tindakan perbaikan. Setiap tindakan perbaikan dikonsultasikan kepada Kepala Puskesmas dan dikomunikasikan kepada petugas Puskesmas lainnya D. DOKUMENTASI Seluruh kegiatan manajemen risiko layanan klinis didokumentasikan dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas.(Terlampir) 41 B A B V P E N U T U P Demikian Pedoman Manajemen Resiko Puskesmas Tanah Kali Kedinding disusun dengan harapan bahwa pedoman ini dapat dijadikan pedoman dan acuan para petugas tenaga medis, dan tenaga non medis yang saling bekerjasama dalam malaksanakan tugas dan tanggung jawab di Puskesmas Perawatan Tanah Kali Kedinding dengan harapan dapat memberikan peningkatan pelayanan klinis medis kepada masyarakat meminimalisie resikoresiko yang belum terjadi, kemungkinan terjadi, sedang terjadi dan yang telah terjadi. Dalam penyusunan pedoman ini penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang ditemui, untuk itu mohon kiranya masukan, kritikan dan saran yang baik dan membangun guna terwujudnya pedoman Manajemen Resiko Puskesmas Tanah Kali Kedidinding ini yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan namun manusia mempunyai kewajiban melakukan yang sebaik-baiknya pekerjaan yang telah ditekuni dan menjadi tanggung jawab seluruh tenaga medis dan tenaga medis dalam bekerja di Puskesmas Tanah Kali Kedinding. Demikian semoga penyusunan Pedoman Pelayanan Klinis ini bermanfaat bagi kita semua, amiin…amiin..amiin..ya rabbal alamiiiinn… PUSKESMAS TAKAL YESS….YYEESSSS…YYYYEEEEEESSSSSSS…. 42 DAFTAR PUSTAKA 1. Bina Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Standar Puskesmas, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013 2. Dirjen Bina Kesehatan Kerja & Olah Raga, Dirjen Bina Gizi & KIA, Pedoman Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Puskesmas, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. 3. Dirjen P2M & PL, Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan, Depatemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010 4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1087/MENKES/SK/VIII/2010, tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010 5. Peratuan Menteri Kesehatan No. 73 TAHUN 2013, tentang Jabatan Fungsional Umum di Lingkungan Kementrian Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013 6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691/MENKES/PER/VIII/2011, tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004 43