Uploaded by safitrierivaa

Revisi Overdosis Narkotika

advertisement
Kasus 3 :
Tuan P, 24 tahun, dibawa ke IGD oleh keluarga karena ditemukan tidak sadar di dalam kamar
tidurnya sekitar 1 jam yang lalu. Dari pengkajian awal didapatkan data GCS 3, E1M1V1,
tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 108x/ menit, frekuensi nafas 12x/menit dan
dangkal. Kulit pasien dan akral teraba dingin serta terlihat sianosis, pupil miosis dan tidak
reaktif. Terlihat banyak bekas suntikan pada lengan kiri pasien.
A. Jelaskan Istilah-istilah pada Kasus
1. Tidak Sadar dengan Nilai GCS 3 (E1 M1 V1)
GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan instrumen penilaian kesadaran. Nilai
GCS ditentukan dengan cara berikut ini:
Respon
Nilai
Respon Membuka Mata (Eye)
-
Spontan
4
-
Terhadap
3
perintah/pembicaraan
-
Terhadap rangsangan nyeri
2
-
Tidak membuka mata
1
Respon Motorik (M)
-
Sesuai perintah
6
-
Mengetahui lokalisasi nyeri
5
-
Reaksi menghindar
4
-
Reaksi fleksi dekortikasi
3
-
Reaksi ekstensi deserebrasi
2
-
Tidak berespon
1
Respon Verbal (V)
-
Dapat berbicara dan
5
memiliki orientasi baik
-
Dapat berbicara, namun
4
disorientasi
-
Berkata-kata tidak tepat dan
3
tidak jelas
-
Mengeluarkan suara tidak
2
jelas
-
Tidak bersuara
1
Berdasarkan penilaian di atas, pasien dengan GCS 3 diartikan sebagai koma.
(N: 15 (sadar)) (Aprilia, Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun,
2015).
Mekanisme Koma
Kesadaran diatur oleh ARAS (ascending reticular activating system)
dan kedua hemisfer otak. Jaras saraf pada ARAS menghubungkan batang otak
dengan korteks serebri. Batang otak berperan penting dalam mengatur kerja
jantung, pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur.
Gambar 1. Anatomi Otak
Koma dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik.
Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat
seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik,
intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan
intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi
sistem saraf pusat, seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan
psikogenik. (Aprilia & Wreksoalmojo, Pemeriksaan Neurologis pada
Kesadaran Menurun, 2015).
Kesadaran ditentukan oleh interaksi antara ARAS dengan korteks
serebri. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras
sensoris dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak
sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar. Koma
disebabkan karena kegagalan difus metabolisme saraf. Fungsi sistem aktivasi
retikular dapat terganggu oleh lesi struktural fokal di otak atau proses difus.
Obat-obatan dan toksin (opiat, antidepresan, hipnotik, alkohol) dapat
menyebabkan penurunan kesadaran akibat dari proses difus. (Ginsberg, 2005)
Interpretasi Koma pada Overdosis Opioid
Intoksikasi obat atau keracunan obat adalah dalah satu penyebab dari
penurunan kesadaran karena adanya zat kimia (racun) yang masuk menganggu
proses fisiologis. Salah satu aksi racun yaitu racun saraf, racun saraf beraksi di
sistem saraf pusat. Gejala yang ditimbulkan biasanya sakit kepala, sianosis,
pupil miosis, ngantuk, pusing, delirium, stupor, koma dan kejang. (Safitrih,
2015).
Gambar 3. Mekanisme Koma pada Opioid
Salah satu penyebab koma adalah intoksisitas opioid. Opioid
mengganggu pemancaran jaras-jaras sensoris secara difus pada ARAS yang
menhubungkan batang otak ke korteks serebri, sehingga kortek serebri
mengalami komaatau penurunan kesadaran.
2. Tekanan Darah 100/70 mmHg dan HR: 108x/menit
Alat klinis yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah
sphygmomanometer. Kategori hasil pemeriksaan tekanan darah terdiri dari 4
menurut The Joint National Committe VII (JNC-VII):
Klsifikasi
Tekanan Tekanan
Sistolik Tekanan
Darah
(mmHg)
(mmHg)
Normal
<120
<80
Pre- Hipertensi
120 – 139
80 - 89
Hipertensi Stage 1
140 – 159
90 - 99
>160
>100
Diastolik
Hipertensi Stage 2
Berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah di atas maka didapatkan
hasil bahwa pasien mengalami hipotensi atau tekanan darah rendah (TD:
100/70 mmHg. Sedangkan hasil pemeriksaan nadi/arteri:
Jumlah frekuensi nadi/menit pada dewasa (N: 60-100x/menit). Pada pasien
dengan tanda gelaja yang sudah disebutkan di atas mengalami takikardia.
Yaitu bila frekuensi nadi > 100 kali/menit.
Mekanisme Hipotensi dan Takikardi
Jantung merupakan organ yang berfungsi memompa darah keseluruh
tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme sistim
saraf otonom. Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim
saraf simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf
yang bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik.
Respon stress psikis atau disebut juga ‘fight of flight response’ memberikan
umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling
utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun. Sedangkan
sistim saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama pada
organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistim organ lainnya.
Hipotensi adalah kondisi dimana tekanan darah (rasio tekanan sistolik
dan tekanan diastolik) lebih rendah dari nilai normal. Hipotensi terjadi ketika
tidak seimbangnya kapasitas vaskuler darah dan volume darah, atau jantung
terlalu lemah untuk menghasilkan tekanan darah yang mendorong darah ke
seluruh tubuh. Pada tekanan darah yang terlalu rendah dapat menyebabkan
masalah yang mengancam nyawa, karena akan terjadi penurunan aliran darah
yang membawa nutrisi dan oksigen pada organ vital seperti jantung dan otak .
Jantung yang berdetak terlalu cepat dapat membuat tekanan darah
menjadi turun karena tidak ada waktu untuk jantung mengisi diantara setiap
denyut (diastole). Otot jantung yang rusak/ lemah tidak dapat memompa darah
secara adekuat sehingga sulit untuk mempertahankan tekanan darah. Selain itu
katup jantung yang memungkinkan darah mengalir satu arah, apabila
mengalami kegagalan dapat menyebabkan darah mundur kembali lagi ke
atrium sehingga darah yang mengalir ke tubuh menjadi sedikit dan
menyebabkan hipotensi (Rampengan, 2014).
Interpretasi Hipotensi dan Takikardi pada Overdosis Opioid
Konsumsi opioid dalam dosis yang besar dan tidak terkontrol
(overdosis) dapat berpengaruh pada saraf otonom yang mengatur sistem
kardiovaskuler. Opioid dapat menghambat tonus simpatis dan meningkatkan
tonus parasimpatis.
Meningkatnya aktivitas tonus parasimpatis
dapa
menyebabkan hipotensi berat bahkan sampai syok.
Opioid juga dapat menyebabkan vasodilatasi melalui penekanan pusat
vasomotor di batang otak. Vasodilatasi juga terjadi langsung pada pembuluh
darah dan menyebabkan penurunan preload dan afterload yang berakibat pada
penurunan tekanan darah (hipotensi). Dilatasi atau penurunan tahanan pada
arteri perifer dan vena yang berlebihan menyebabkan sistim darah kembali,
sehingga pengisian jantung menjadi berkurang. Akhirnya menyebabkan
volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak mencukupi
untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Hal ini jika berlangsung terlalu lama
maka akan menyebabkan syok yang ditandai dengan penurunan kesadaran
(koma), akral dingin, depresi nafas, pupil meiosis, dan sirkulasi jaringan
perifer
tidak
normal.
Sebagai
kompensasi
untuk
mempertahankan
homeostatisnya maka jantung akan meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
dan frekuensi jantung sehingga isi volume sekuncup jantung dapat kembali
normal. Frekuensi jantung yang meningkat tersebut dapat kita dideteksi
sebagai takikardi. Sehingga pada kasus-kasus hipotensi sering dijumpai pula
pasien dengan nadi lebih cepat (>100/mnt/ takikardi) (Melati, Sari, Claudia, &
Faradia, 2016).
3. Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal
Paru-paru merupakan alat pernapasan yang kerjanya dikontrol oleh
otak pada bagian medulla oblongata. Di dalam paru-paru akan terjadi
pertukaran O2 dengan CO2 melalui mekanisme difusi. Mekanisme difusi ini
dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial antara darah yang
terdapat pada alveolus dengan udara yang masuk melalui saluran pernapasan.
Frekuensi pernapasan 12x/menit dan dangkal termasuk tanda ketidak
normalan system pernapasan. Hal ini bisa diakibatkan oleh banyak factor
seperti, penyakit, overdosis obat, aktivitas, posisi, dsb. Kondisi tersebut
diistilahkan sebagai bradipneu, dimana frekuensi napas tidak adekuat/ kurang
dari normal. Hal ini akan membahayakan organ lain, karena suplai O2 dapat
terganggu dan tidak adekuat terutama ke bagian perifer dengan ditandai akral
dingin dan pucat/ kebiruan (Mutakin, 2007).
4. Interpretasi Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal pada Overdosis
Opioid
Opioid memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas berat yang
tergantung pada dosis dan rute pemberian. Efek toksik terkait dengan tindakan
yang berbeda dari obat ini pada reseptor opiat di SSP. Respon klinis analgesia,
euforia, depresi pernafasan, dan miosis diyakini hasil dari pendudukan preseptor.
Efek dari konsumsi opioid berlebih (overdosis) maka salah satunya
akan merusak sistem respirasi yang terdapat pada efek reseptor µ2. Hal
tersebut karena adanya kerusakan system saraf pada bagian medula oblongata
sebagai pengatur pernapasan. Hal ini dikarenakan menurunya kadar asetil
kolin pada neuron di pusat pernafasan medulla sehingga respon terhadap Co2
menurun (Angkejaya, 2018). Berikut mekanismenya (Amin, 2006): overdosis
opioid  kerusakan system saraf pernapasan (medulla oblongata) karena
reseptor Mu2 (µ2)  penurunan respon pernapasan  kegagalan pernapasan
ventilasi  hipoventilasi alveoli-gangguan difusi alveoli  PCO2 meningkat
 depresi pusat pernapasan  hipoventilasi (kompensasi takipneu) 
bradipnea (RR 12x, dangkal)
Kulit dan Akral Dingin dan Terlihat Sianosis
Pada pengkajian pada tangan, perlu dilihat salah satu bentuk temuan
yang berhubungan dengan gangguan jantung yaitu akral dingin. Hal itu sangat
berguna karena untuk mengetahui apakah seseorang dalam kondisi syok atau
tidak. Pada kondisi syok kardiogenik, tangan akan terasa sangat dingin akibat
sistem saraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi. Kulit akan
tampak pucat dan terasa dingin karena pembuluh darah perifer mengalami
vasokonstriksi dan kadar hemoglobin yang tereduksi meningkat sehingga
mekanisme sianosis akan mengikuti selanjutnya. (Muttaqin, Pengantar Asuhan
Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskular: Pengantar dan Teori,
2012)
Sianosis adalah perubahan warna kulit dan membrane mukosa menjadi
kebiruan akibat konsentrasi hemoglobin tereduksi yang berlebihan dalam
darah (Fauci, Kasper, & Longo, 2000). Jumlah normal hemoglobin tereduksi
dalam jaringan kapiler adalah 2,5g per 100ml. Pada orang dengan konsentrasi
hemoglobin yang normal, sianosis akan
pertama kali terdeteksi pada
kejenuhan oksigen sekitar 75% dan PaO2 50mmHg atau kurang (Silbernagl &
Lang, 2003). Adanya warna kebiruan pada sianosis adalah sebagai akibat dari
peningkatan kadar hemoglobin terinduksi atau devirat hemoglobin di dalam
pembuluh darah kecil pada daerah tersebut. Untuk deteksi klinis akurat
mengenai derajat dan adanya sianosis sulit ditunjukan oleh oksimetri (Fauci,
Kasper, & Longo, 2000). Terdapat dua tipe sianosis, yaitu sianosis sentral dan
sianosis perifer.
a. Sianosis Sentral
Pada sianosis sentral, terdapat penurunan jumlah saturasi
oksigen atau derivat hemoglobin yang abnormal. Biasanya sianosis
sentral terlihat terutama di bantalan kuku, wajah, bibir, dan lidah.
Adanya penurunan saturasi oksigen merupakan tanda dari
penurunan tekanan oksigen dalam darah. Penurunan tersebut dapat
diakibatkan oleh penurunan laju oksigen tanpa adanya kompensasi
yang cukup dari paru-paru untuk menambah jumlah oksigen
tersebut (James, Jay, & Hein, 2007)
b. Sianosis Perifer
Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan tekanan
oksigen yang menurun pada ujung vena sistem kapiler. Penyebab
sianosis primer adalah vasokontriksi generalisasi yang terjadi
akibat terkena air dan udara dingin. (AS Fauci, 2000)
Interpretasi Kulit serta Akral Dingin dan Sianosis pada Overdosis Opioid
Pada kasus, sianosis dapat terjadi karena adanya depresi pernapasan
yang disebabkan oleh kerusakan syaraf yang mengatur pernafasan di medulla
oblongata. Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan menurunnya
tekanan oksigen pada ujung vena sistem kapiler menyebabkan kulit kebiruan.
Adanya sianosis disertai dengan akral yang teraba dingin dikarenakan
vasokonstriksi kulit sebagai mekanisme kompensasi agar aliran darah dapat
dialihkan dari kulit ke bagian yang lebih vital seperti sistem saraf pusat
(medulla oblongata) yang mengalami gangguan. (Fauci, Kasper, & Longo,
2000)
5. Pupil Miosis Tidak Reaktif
Pupil normal berdiameter sekitar 2-6 mm. Rata-rata diameter pupil 3 ½
mm. Miosis adalah keadaan pupil yang sempit. Miosis terjadi dalam keadaan
tidur, koma, dan tekanan intrakranial yang tinggi. Iritasi pada saraf
okulomotoris membangkitkan miosis. Dapat juga dijumpai akibat paralisis
saraf simpatetik bagian torakal atas. Penyebab pupil yang miosis diantaranya
yaitu: sindrom horner (jaras okulosimpatis), pupil argyll robertson, lesi pons,
dan narkotika (Muttaqin, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Persarafan, 2008).
Pupil kecil dan tidak reaktif menunjukkan adanya gangguan batang
otak. Reaksi pupil (konstriksi dan dilatasi) diatur oleh sistim saraf simpatis
(midriasis) dan parasimpatis (miosis). Tidak adanya refleks pupil terhadap
cahaya, cenderung disebabkan kelainan struktural yang mempengaruhi derajat
kesadaran. Adapun serabut-serabut parasimpatis berasal dari midbrain dan
menuju pupil melalui saraf okulomotorius (Nervus III). (Trihono, 2012)
Interpretasi Pupil Miosis Tidak Reaktif
Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N.III.
Miosis akibat pemberian opioid disebabkan akibat kerja langsung opioid
terhadap nukleus otonom nervus okulomotorik (Edinger Westphal). Miosis
digunakan sebagai indikator adanya paparan opioid. Penurunan diameter pupil
daerah membatasi rentang mekanik iris dan mengurangi intensitas fluks
cahaya retina. Amplitudo refleks cahaya menurun sangat erat kaitannya
dengan penurunan ukuran pupil pada saat stimulus cahaya (dibawa oleh
administrasi remifentanil).
Gambar 4. Mekanisme Pupil
Mata Miosis
Pusat saraf yang mengontrol ukuran pupil dan refleks pupil pada manusia.
Struktur berwarna adalah pusat saraf pusat dan jalur yang memodifikasi
refleks cahaya pupil. Edinger Westphal (EW) Neuron nukleus adalah sel-sel
pacu yang dimodifikasi oleh input rangsang dan penghambatan. Opioid
memblokir penghambatan inti EW. Tanda bintang hijau (*) menunjukkan
lokasi di mana hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu
refleks cahaya, meskipun analisis kami menunjukkan bahwa efek opioid pada
refleks cahaya terutama merupakan fungsi ukuran pupil. * = lokasi di mana
hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu refleks cahaya. IN =
neuron penghambatan (Rollins, 2014).
6. Banyak Bekas Suntikan Pada Lengan Kiri Pasien
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien menginjeksikan obat mengandung
opioid secara intramuskular berkali-kali.
B. Sebutkan Data-data Pengkajian yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut/Dilengkapi
pada Kasus
1. Riwayat
Pengkajian riwayat untuk menangani keracunan atau overdosis.
Riwayat yang diperhatikan untuk diidentifikasi yaitu, obat atau racun, waktu
dan lama pajanan, penanganan pertama yang diberikan sebelum sampai di
rumah sakit, alergi, dan proses penyakit yang mendasari. Informasi riwayat
dapat diperoleh dari keluarga, teman, atau orang yang menemukan. Informasi
tambahan dapat diperoleh dari pakaian dan benda dari pasien.
Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan
tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya,
dalam jumlah berlebih secara kurang teratur, dan berlangsung cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental, dan kehidupan
sosialnya (Martono, 2008). Perlu diwaspadai tanda dan gejala orang yang
sudah keceanduan terhadap narkoba (opioid) dilihat dari kesehariannya,
sebagai beikut:
Tanda-tanda kelainan fisik dan emosional:
1. Teman/kelompok sering berganti-ganti.
2. Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti.
3. Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol, mariyuana, dan rokok
dari nafas atau badan.
4. Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat dijelaskan.
5. Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid (ketakutan dan
curiga), destruktif (merusak), tampak cemas.
6. Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang seharusnya.
7. Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan.
8. Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis.
9. Kadang tampak depresi, mudah sedih dan tertekan.
10. Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan mencuri.
11. Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa punya uang lebih.
12. Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada dasarnya pemeriksaan fisik umum pada kasus toksikologi adalah sama
dengan pemeriksaan fisik pada kasus lainnya. Berikut adalah pemeriksaan
fisik umum pada pasien overdosis:
1. Keadaan umum: kesadaran menurun
2. Pernafasan: nafas tidak teratur
3. Kardiovaskuler: hipertensi atau hipotensi, nadi aritmia
4. Persarafan: kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran,
kelemahan, paralise
5. Gastrointestinal: muntah, diare
6. Integumen: berkeringat
7. Muskuloskeletal: kelelahan, kelemahan
8. Integritas ego: gelisah, pucat
9. Eliminasi: diare
10. Selaput lendir: hipersaliva
11. Sensori: mata mengecil/membesar, pupil miosis (Mansjoer, 2009).
Selain dengan pemeriksaan head to toe, pemeriksaan fisik pada pasien
overdosis dapat dilakukan dengan menggunakan toksidroma. Toksidroma atau
tanda gejala overdosis atau keracunan dapat membantu mengidentifikasi racun
obat yang terpajan pada pasien. Toksidroma membantu untuk menegakkan
diagnosa dan mengetahui/ menentukan obat – obatan (toksik) yang telah
terpajan ke tubuh pasien (Morton., dkk, 2008).
Sindrom Toksik (Toksidroma) (Hudak, 1996)
Sindrom
Kolinergik
Penyebab – penyebab umum
Gejala gejala
TTV
menurun,
berlebihan,
salivasi Insektisida
emesis
diaforesis,
deresi
pusat,
fasikulasi
pulmonal,
dan
lakrimasi, karbamat, fisostigmin, beberapa
urinasi,
saraf
organofosfat
otot,
dan jamur
sistem
fasikulsiedema
miosis,
bradikardi, dan kejang.
Opiate
/ TTV
hipnotik sedatif
menurun,
koma, Narkotik,
depresi pernapasan, miosis, barbiturat,
hipotensi,
benzodiazepin,
etanol,
klodinin,
bradikardi, metaqualon
penurunan
bising
usus,
edema pulmonal
Antikolinergik
Delirium,
kering,
ruam Antihistamin, atropin, agen anti
kulit, pupil melebar, suhu depresan, beberapa tanaman dan
tinggi,
retensi
penurunan
bising
urin, jamur
usus,
takikardi, kejang
Simpatomimetik Delusi, paranoia, takikardi, Kokain, teofilin, kafein, LSD,
hiperensi, midriasis, kejang
Gejala
amfetamin, fenipropanolamin
putus Diare, midriasis, takikardi, Alkohol, barbiturat, narkotik,
obat
halusinasi, kram
benzodiazepin.
Pengamatan Keracunan Opioid (Hudak, 1996):
Bahan
Pengkajian
Diagnostik Intervensi
Uraian
Skin urin/ Perawatan suportif:
Upaya untuk
keperawatan
Opioid
Tanda-tanda
vital: hipotensi, plasma
1. Jalan napas
mendapatkan
bradikardi,
Gas-gas
2. Sirkulasi
riwayat
penurunan
darah
3. Pernapasan
lengkap
pernapasan,
arteri
Pencegahan absorbsi:
hipotermia,.
Kardiovaskular:
Bradikardi
Neurologi:
pupil pin point,
koma,
depresi
pernapasan,
kejang
tentang takar
1. Lavage
lajak,
rute
2. Obat arang
pemajanan,
3. Katartik
kuantitas, tipe
Pemantauan jantung
obat
Penatalaksanaan
digunakan,
gejala putus obat
Antidote: Naloxone
Evaluasi
terhadap
yang
riwayat
kecanduan.
edema pulmonal.
3. Pemeriksaan Toksikologi
Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnosa klinis, dimana
diagnosa ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan intervensi yang cepat dan
tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman kegagalan pengobatan (kematian)
dapat dihindarkan. Terdapat dua instrumen yang dapat dilakukan dalam
menegakkan diagnosa dari suatu kasus keracunan, yaitu (Clarmann, 1987):
a. Melalui gejala-gejala klinis, dimana gejala ini dapat dibedakan
menjadi:
1. Sympthom, biasanya symthom dapat diamati oleh manusia dengan
menggunakan panca indranya. Sympthom ini pada umumnya
dijadikan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada
keracunan.
2. Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan
alat-alat tertentu, seperti rontgen, laboratorium, dan sebagainya.
3. Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang
ditimbulkan. Proses dapat diamati sediri oleh dokter dan perawat
atau diperoleh dari informasi pasien atau pendampingnya.
b. Melalui Analisis Racun (analisis toksikologi)
Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa
yang spesifik dan terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan
diagnosa akhir pada kasus keracunan. Dari pengalaman, Clarmann
menemukan, bahwa sekitar 20% dari kasus instoksikasi, diagnosa akhir
ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. Dengan kata lain, hampir
satu dari setiap lima kasus keracunan adalah salah diagnosa jika
diagnosa hanya didasarkan pada gejala klinis saja.
Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif
maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan
bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh
instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh
informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan
interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin. Untuk
mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan
analisis toksikan yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari
perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah
toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi. Secara
umum dapat disimpulkan, bahwa manfaat analisis toksikologi klinik
adalah:
a. Indentifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum
melakukan terapi yang spesifik dan terarah
b. Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi
instoksikasi
c. Untuk memastikan atau menjamin diagnosa klinis.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan pemakaian narkoba (opioid) pada seorang individu,
pemeriksaan seringkali dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis
seperti darah, urin, cairan oral, keringat ataupun rambut. Berikut adalah
beberapa pemeriksaan yang dilakukan:
1) Pemeriksaan Urin, Skrining dan Konfirmatori
Urin merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk
pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar
dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah
mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. (Dasgupta, 2007)
Pemeriksaan narkoba dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan
konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada
obat pada golongan yang besar atau metobolitnya dengan hasil
presumptif positif atau negatif. Pada pemeriksaan skrining, metode
yang
sering
digunakan
adalah
immunoassay
dengan
prinsip
pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan di luar laboratorium dengan
metode onsite strip test maupun di dalam laboratorium dengan metode
ELISA (enzyme linked immunosorbent assay).
Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil
positif pada pemeriksaan skrining. Metode konfirmasi yang sering
digunakan adalah gas chromatography / mass spectrometry (GC/MS)
atau liquid chromatography/mass spectrometry (LC/MS) yang dapat
mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat bereaksi
silang dengan substansi lain.
Pada pemeriksaan narkoba baik untuk skrining maupun
konfirmasi, telah ditetapkan standar cutoff oleh NIDA untuk dapat
menentukan batasan positif pada hasil pemeriksaan. Pada tabel berikut
disampaikan kadar cutoff pemeriksaan narkoba untuk skrining maupun
konfirmasi.
Tabel.1
Obat
Kadar Skrining
Kadar Konfirmasi
(ng/mL)
(ng/mL)
THC
50
15
Metabolit Kokain
300
150
Metabolit Opiat
300 atau 2000
300 atau 2000
Morfin
-
300 atau 2000
Kodein
-
300 atau 2000
25
25
1000
500
-
500
Phenicyclidin
Amfetamin
Metamphetamin
(Dasgupta, 2007)
Waktu deteksi obat dalam urin tergantung berbagai kondisi termasuk
waktu paruh obat. Pada tabel berikut disampaikan durasi deteksi obat
dalam urin:
Tabel. 2
Obat
Durasi Deteksi dalam Urin
Amfetamin dan
1-2 hari
metamfetamin
Barbiturat
1-3 hari
Benzodiazepin
Sampai 21 hari
Kanabinoid
Sampai 60 hari
Kokain
1-3 hari
Methadon
1-3 hari
Opiat
1-3 hari
(Lum 2006)
Pada pemeriksaan dengan metode immunoassay dapat menyebabkan
positif palsu karena reaksi silang dengan substansi lain. Berbagai
substansi yang dapat menyebabkan reaksi silang pada pemeriksaan
skrining disampaikan pada tabel berikut:
Jenis Obat
Opiat
Phencyclidine
Faktor Pengganggu
Quinolon (levofloxacin, ofloxacin)
Antidepresan venlafaxine, dextromethorphan,
dyphenhydramin, ibuprofen
Methadon
THC
Antipsikotik atipik quetiapin
Antiretroviral efaviren, proton inhibitor
(pantoprazole)
Amfetamin
Pil diet (clobenzorex), promethazin, imetamphetamin (otc nasal
inhaler), pseudoephedrin, ranitidin, thioridazin
Benzodiazepin
Oxaprozin, sertraline (zoloft)
2) Rapid Test
Dalam pemeriksaan narkoba ada beberapa cara salah satunya dengan
menggunakan Rapid Test. Rapid Test ini menggunakan Strip/Stick
Test dan Card Test.
a. Strip/Stick Test
Dalam pemeriksaan Strip/Stick Test tersebut ada yang
menggunakan 3 parameter yaitu Amphetamine (AMP),
Marijuana
(THC),
Morphine
(MOP),
dan
ada
yang
menggunakan 6 parameter yaitu Amphetamine (AMP),
Methamphetamine
(METH),
Cocaine
(COC),
Morphine
(MOP), Marijuana (THC), dan Benzidiazephine (BZO).
Dengan sampel urin teknik ini memiliki sensitivitas sesuai
dengan standard Nasional Institute on Drug Abuse (NIDA,
sekarang SAMHSA), dan dengan spesifisitas 99,7%.
Jika pada pemeriksaan Strip/Stick Test ini menggunakan
metode imunokromatografi kompetitif kualitif yang ditandai
hasil positif dengan terbentuk hanya 1 garis yaitu pada area
control, dan hasil negative dengan terbentuk 2 garis yaitu pada
area control dan test, dan invalid apabila terbentuk garis pada
test atau garis tidak terbentuk sama sekali. Perlu diingat untuk
pemeriksaan ini, pembacaan hasil harus dilakukan saat 5 menit
dan tidak boleh melebihi 10 menit karena akan terbentuk hasil
yang positif palsu.
b. Card Test
Card Test ini sama dilakukan seperti Strip/Stick Test
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Yang membedakan, jika
Strip/Stick Test ini dicelupkan pada wadah yang sudah diisi
dengan urin, sedangkan pada Card Test ini urin yang diteteskan
pada zona sample sekitar 3-4 tetes urin.
3) Tes Darah
Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti
Strip/Stick dan Card Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna
narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena
biasanya
pemakaian
narkoba
dalam
jangka
panjang
dapat
menyebabkan terjadinya hepatomegali. (Reisfield GM, 2009)
4) Pemeriksaan EKG
EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi.
Bradikardi dan AV block dapat terjadi pada pasien yang keracunan α
agonis, antiaritmia, β blocker, calcium channel blocker, obat
kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat), glikosida jantung,
litium, magnesium, atau trisiklik antidepresan. Pemanjangan QRS dan
interval QT dapat disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat
membran aktif.
C. Jelaskan Kasus Apa Yang Kemungkinan Pada Pasien
Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan penyebab
yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Misalnya bila ditemukan
penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan
manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada, aritmia yang mengancam nyawa
orang dewasa yang menunjukkan gejala klinis di lingkungan yang mengandung
bahan kimia, tingkah laku aneh atau kelainan neurologis dengan kausa yang sulit
diketahui.
Pada simtomalogi opiat, tanda dan gejala yang sering ditemukan antara lain:
koma, depresi pernapasan, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru,
bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat).
Melihat dari tabel toksidroma, gejala klinis di atas masuk pada golongan obat
opiat.
Sindrom
Opiate
hipnotik sedatif
Penyebab – penyebab umum
Gejala gejala
/ TTV
menurun,
koma, Narkotik,
depresi pernapasan, miosis, barbiturat,
hipotensi,
penurunan
benzodiazepin,
etanol,
klodinin,
bradikardi, metaqualon
bising
usus,
edema pulmonal
Jadi, kasus yang terjadi pada pasien adalah keracunan obat opioid (overdosis).
D. Jelaskan Patofisiologi Kasus Tersebut Dalam Bentuk Pathway (terlampir)
Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan
visceral. Didalam susunan saraf pusat opioid berefek di beberapa daerah termasuk
korteks, hipokampus, talamus, hipotalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik,
locus coreleus, daerah periakuaduktal, medulla oblongata dan medulla spinalis.
Didalam sistem saraf visceral opioid bekerja pada pleksus myenterikus dan
pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi Dalam overodosis opioid
respirasi akan sangat tertekan pada tingkat serendah-rendahnya 2-4 per menit.
Ketika ada konsentrasi tinggi obat di medulla dan batang otak, ada penurunan
sensitivitas pusat pernafasan otak untuk peningkatan karbon dioksida, dan di
medulla ada depresi irama pernafasan.
Depresi pernafasan disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di
batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah injeksi
intravena atau 30 menit setelah injeksi sub kutan atau intramuskular. Respirasi
kembali normal dalam 2-3 jam. Depresi pernafasan dengan overdosis akut akan
lebih parah ketika disertai dengan hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh dilatasi
arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme
stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin. Hipotensi biasanya terjadi pada
tahap akhir keracunan dan akibat dari hipoksia. Pada kasus overdosis opioid
biasanya mengalami pengecilan pada pupil yang disebut juga miosis. Miosis
terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westtphal N.III. Namun juga
terdapat pada beberapa kasus overdosis pupil tidak dapat mengecil hal ini
dikarenakan adanya perubahan asfiksia akibat penurunan pertukaran oksigen paru.
E. Susun Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul Beserta Intervensinya.
Urutkan Sesuai Prioritas dan Rasionalisasi dari Setiap Intervensi yang
Disusun
I. ANALISA DATA
NO
HARI/TGL
1.
Selasa,
DATA FOKUS
13 DO :
November
-
klien 12x/menit
-
Selasa,
Depresi
Frekuensi nafas pusat
2018
2.
MASALAH
Ketidakefektifan
pola
nafas
pernafasan
(00032)
Hipoksia
Ketidakefekifan
Nafas dangkal
13 DO :
November
ETIOLOGI
-
Kulit
2018
perfusi jaringan
pasien
perifer (00204)
dingin
-
Akral
pasien
teraba dingin
-
Terlihat
sianosis
-
Frekuensi nafas
12x/menit dan
dangkal
3.
Selasa,
13 DO :
November
-
2018
-
Perubahan
Penurunan curah
Takikardi
frekuensi
jantung (00029)
(108x/menit)
jantung
Hipotensi
(100/70
mmHg)
-
Sianosis
TTD
4.
Selasa,
13 DO:
November
-
2018
-
Gangguan
Penyalahgunaan
Pernapasan
perfusi
zat
klien
jaringan
bradipnea
serebral
GCS= 3 (E1
V1 M1)
-
Pupil
mata
miosis
dan
reaktif
-
TD:
100/70
mmHg
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan Depresi Pusat
Pernafasan
b.
Ketidakefekifan perfusi jaringan perifer (00204) berhubungan dengan
Hipoksia
c.
Penurunan curah jantung (00029) berhubungan dengan Perubahan
Frekuensi Jantung
d.
Gangguan perfusi jaringan serebral (00201) berhubungan dengan
Penyalahgunaan zat
III. PERENCANAAN KEPERAWATAN
NO
HARI/TGL
1
Selasa,
DX.KEP
13 Ketidakefekti
TUJUAN
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas (3140)
November
fan pola nafas keperawatan
2018
(00032)
selama
b.d jam,
3x24
-
diharapkan
Depresi pusat ketidakefektifan pola nafas
pernafasan
TTD
INTERVENSI
-
Frekuensi
(041501)
dari
-
-
pernafasan
(041502)
klien
fisioterapi
dada,
sebagaimana
Auskultasi
suara
nafas,
catat
area
yang
-
Kelola
pengobatan
aerosol,
sebagaimana
inspirasi Monitor Pernafasan (3350)
(041503) dari deviasi
ringan
Lakukan
mestinya
Kedalaman
cukup
sebagiamana
suara tambahan
ringan
-
(OPA),
ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya
dari
deviasi berat menjadi
oropharyngeal
mestinya
-
Irama
Masukan alat nasopharyngeal airway (NPA)
mestinya
deviasi berat menjadi
ringan
memaksimalkan
Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial pasien
atau
pernafasan
klien
untuk
untuk memasukan alat membuka jalan nafas
Status Pernafasan (0415)
-
pasien
ventilasi
klien dapat berkurang dengan
kriteria hasil :
Posisikan
berat
-
menjadi
Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
-
Monitor pola nafas (misalnya., bradipneu,
-
Kepatenan jalan nafas
takipneu, hiperventilasi, pernafasan kusmaul,
(041532) dari deviasi
pernafasan 1:1, apneustik respirasi biot, dan
cukup
pola ataxic)
berat
menjadi
-
ringan
Status
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
Pernafasan:
keberadaan suara nafas tambahan
Pertukaran Gas (0402)
-
Saturasi
oksigen
-
(040211) dari deviasi
berat ke deviasi normal
-
Auskultasi suara nafas setelah tindakan, untuk
dicatat
-
Catat perubahan saturasi O2, volum tidal akhir
Klien yang mengalami
CO2, dan perubahan nilai analisa gas darah
sianois
dengan tepat
cukup
-
Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi
dari
deviasi
berat
menjadi
-
Monitor
secara
ketat
pasien-pasien
yang
normal
beresiko tinggi mengalami gangguan respirasi
Klien yang mengalami
(opioid)
penurunan
dari
kesadaran
deviasi
berat
menjadi ringan
2.
Selasa,
13 Ketidakefekif
Setelah dilakukan tindakan Manajemen syok (4250)
November
an
perfusi keperawatan
selama
2018
jaringan
jam,
perifer
ketidakefektifan
3x24
-
diharapkan
perfusi
Monitor tanda- tanda vital, tekanan darah, dan
status mental
-
Monitor tekanan oksimetri sesuai kebutuhan
(00204)
Hipoksia
b.d jaringan
berkurang
perifer
dapat
dengan
kriteria
-
kebutuhan
-
hasil :
a. Perfusi Jaringan : Perifer
- Suhu
kulit
pada
ekstremitas
dari
deviasi cukup berat
menjadi
normal
normal
- Pengisian
kapiler
pada ujung kaki dan
tangan dari deviasi
berat menjadi normal
normal
- Tekanan darah klien
dari deviasi sedang
menjadi normal
b. Status Sirkulasi (0410)
-
Saturasi
oksigen
dari deviasi berat
Ambil gas darah arteri dan monitor oksigenasi
jaringan
-
(0407)
Berikan oksigen/ ventilasi mekanik sesuai
Berikan cairan IV kristaloid dan koloid sesuai
kebutuhan
-
Monitor EKG sesuai kebutuhan
menjadi normal
-
Capillary refill time
klien dari deviasi
cukup berat menjadi
normal
-
Tingkat
kesadaran
berubah dari berat
menjadi ringan
3.
Selasa,
13 Penurunan
Setelah dilakukan tindakan Pengaturan hemodinamik (4150)
November
Curah
keperawatan
2018
Jantung
jam, diharapkan penurunan
(00029)
b.d curah
selama
jantung
Perubahan
berkurang
dengan
Frekuensi
hasil:
Jantung
a. Keefektifan
3x24
dapat
Tekanan
-
Pompa
sistol
-
Sianosis
hilang
pada
kulit
Monitor pengisian kapiler, warna ekstermitas,
suhu, dan adanya edema
-
Tinggikan kepala
-
Berikan
dan diastol naik menjadi
normal
Monitor curah jantung, indeks kardiak, indeks
kerja stroke ventrikuler
-
darah
Monitor dan catat tekanan darah , denyut
jantung, irama, dan denyut nadi
kriteria
Jantung (0400):
-
-
obat
inotropik
positif
dan
obat
kontraktilitas
-
Berikan obat vasodilator atau vasokonstriktor
-
Jaga keseimbangan cairan dengan emberian IV
atau diuretik.
b. Status Sirkulasi (0401):
-
Tekanan
nadi
Manajemen asam basa (1910)
turun
-
menjadi normal
4.
Selasa,
13 Gangguan
keseimbangan asam basa (AGD)
-
PaCO2 turun
-
-
Saturasi oksigen normal
perfusi
keperawatan
2018
jaringan
jam, diharapkan gangguan
serebral
b.d klien dapat berkurang dengan
obat
Monitor AGD
Setelah dilakukan tindakan Pengaturan hemodinamik (4150) :
November
keracunan
Ambil spesimen darah untuk mendapatkan
selama
3x24
kriteria hasil :
-
Nilai rata-rata tekanan
darah
kembali
ke
normal (040617)
-
Pupil mata reaktif
-
GCS
klien
dari
3
menjadi 14
-
Frekuensi napas menjadi
normal (15x/menit)
-
Melakukan
penilaian
terhadap
status
secara
komprehensif
hemodinamik
seperti
pengukuran tekanan darah
-
Monitor dan catat tekanan darah
-
Monitor adanya tanda dan gejala masalah pada
status perfusi
F. Rasionalisasai intervensi
No
Diagnosa keperawatan
1.
Ketidakefektifan
nafas
(00032)
Rasionalisasi
Intervensi
pola Manajemen
Jalan
- Supaya dapat memberikan alat bantuan nafas yang tepat
b.d Nafas (3140)
Depresi pusat pernafasan
-
-
Posisikan
pasien
- Untuk mengetahui apakah ada suara tambahan pada nafas klien
memaksimalkan
- Agar pasien diberikan obat sesuai dosis (misal nalorphine)
ventilasi
- Untuk memantau proses pernafasan pada klien
Identifikasi
- Agar dapat memantau perkembangan kelainan pola nafas
kebutuhan
aktual/
potensial
pasien
memasukan
alat membuka jalan
nafas
Masukan
alat
airway (NPA) atau
oropharyngeal
(OPA), sebagiamana
mestinya
Lakukan
- Untuk memantau bagian yang masih mengalami penurunan atau
tidak ada ventilasi suara nafas
- Agar dapat di tangani tenaga medis kembali apabila ada yang turun/
naik
- Untuk memantau pasien-pasien yang beresiko agar segera ditangani
nasopharyngeal
-
- Agar dapat mengelola kepatenan jalan nafas
untuk
untuk
-
- Agar jalan nafas pasien tidak terganggu
fisioterapi
tenaga medis
dada,
sebagaimana
mestinya
-
Auskultasi
suara
nafas, catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya
suara
tambahan
-
Kelola
pengobatan
aerosol, sebagaimana
mestinya
Monitor
Pernafasan
(3350)
-
Monitor
kecepatan,
irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
-
Monitor pola nafas
(misalnya.,
bradipneu, takipneu,
hiperventilasi,
pernafasan kusmaul,
pernafasan
1:1,
apneustik
respirasi
biot, dan pola ataxic)
-
Auskultasi
nafas,
suara
catat
area
dimana
terjadi
penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan
keberadaan
suara
nafas tambahan
-
Auskultasi
suara
nafas
setelah
tindakan,
untuk
dicatat
-
Catat
perubahan
saturasi O2, volum
tidal akhir CO2, dan
perubahan
analisa
gas
nilai
darah
dengan tepat
-
Monitor secara ketat
pasien-pasien
beresiko
yang
tinggi
mengalami gangguan
respirasi
2.
Ketidakefekifan
perfusi Manajemen Syok (4250 )
jaringan perifer (00204)
-
- Mengetahui dan mengupayakan TTV klien tetap stabil
Monitor tanda- tanda - Mengetahui kadar oksigen dalam darah pasien
vital, tekanan darah, - Mendukung suplai oksigen agar pernfasan klien adekuat
b.d Hipoksia
dan status mental
-
tekanan - Memenuhi kebutuhan cairan klien agar tidak dehidrasi
Monitor
oksimetri
sesuai - Mengukur aktivitas listrik jantung apakah ada kelainan atau tidak
kebutuhan
-
- Memantau perubahan pada warna kulit dan suhu kulit
Berikan
oksigen/ - Memantau sirkulasi dengan melihat perubahan warna kulit
ventilasi
mekanik
sesuai kebutuhan
-
- Mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan pH darah
Ambil
arteri
gas
dan
darah
monitor
oksigenasi jaringan
-
Berikan
cairan
IV
kristaloid dan koloid
sesuai kebutuhan
-
Monitor EKG sesuai
kebutuhan
3.
Penurunan
Jantung
Perubahan
-
Curah Pengaturan
(00029)
b.d Hemodinamik (4150)
Frekuensi
-
Jantung
Monitor
tekanan
dan
irama,
nadi
catat
darah
denyut
dan
-
,
jantung,
-
Mengetahui perfusi aliran darah di bagian ekstermitas
denyut
-
Melancarkan aliran darah ke bagian ekstermitas atau bagian yang
jauh dari jantung
Monitor
curah
-
Untuk meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung
jantung,
indeks
-
Untuk meningkatkan tekanan darah dengan cara kontriksi
kardiak, indeks kerja
stroke ventrikuler
-
Mengetahui curah jantung, indeks kardiak, indeks kerja stroke
ventrikuler dan perubahannya
nadi
-
Mengetahui perubahan tekanan darah, denyut jantung, irama, dan
Monitor
pengisian
kapiler,
warna
ekstermitas,
suhu,
dan adanya edema
pembuluh darah perifer
-
Untuk memenuhi cairan agar tidak terjadi dehidrasi atau syok.
Pemberian diuretik untuk menjaga keseimbangan cairan agar
tidak terjadi edema
-
Untuk mengetahui adanya asidosis atau alkalosis
-
Untuk mengontrol oksigen, karbondioksida, dan PH dalam darah
-
Tinggikan kepala
-
Berikan
obat
inotropik positif dan
obat kontraktilitas
-
Berikan
obat
vasokonstriktor
-
Jaga
keseimbangan
cairan
emberian
dengan
IV
atau
diuretik.
Manajemen Asam Basa
(1910)
-
Ambil
spesimen
darah
untuk
mendapatkan
keseimbangan
asam
basa (AGD)
4.
Selasa,
2018
13
Monitor AGD
November Pengaturan
hemodinamik (4150) :
-
Melakukan penilaian
- Untuk mengetahui status hemodinamik
- Untuk memantau tekanan darah klien
- Untuk memantau apakah ada gangguan status perfusi
secara komprehensif
terhadap
status
hemodinamik seperti
pengukuran
tekanan
darah
-
Monitor
dan
catat
tekanan darah
-
Monitor adanya tanda
dan gejala masalah
pada status perfusi
Daftar Pustaka
Amin, Z. P. (2006). Gagal Napas Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
1. . Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Angkejaya, O. W. (2018). Opioid. 11.
Aprilia, M. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun. CDK-233 vol. 42 no.
10, 780-786.
Aprilia, M., & Wreksoalmojo, B. R. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran
Menurun. Jakarta: Universitas Atmajaya.
AS Fauci, K. D. (2000). Prinsi Prinsi Penyakit dalam Volume 1 Edisi 13. Jakarta: EGC.
Clarmann, M. (1987). Klinisch-toxikologische gische Analytik - gegenwaertiger Stand der
Forderung fuer die Zukunft.
Dasgupta. (2007). The Effects of Adulterants and Selected IngestedCompounds on DrugsofAbuse Testing in Urine. Am J Clin Pathol, 128:491-503.
Fauci, A., Kasper, D., & Longo, D. (2000). Harisson, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam
(13 ed., Vol. 1). (A. H. Asdie, Penerj.) Jakarta: EGC.
Ginsberg, L. (2005). Lecture Notes Neurologi edisi 8. Jakarta: Erlangga.
Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update
dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 178-182.
Hudak, C. (1996). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC.
James, T. W., Jay, N. C., & Hein, J. W. (2007). Cardiovascular Medicine. London: SpringerVerlag.
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Martono, L. H. (2008). Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Melati, A. C., Sari, A. P., C. L., & F. R. (2016). OPIOID dalam Praktik Anastesia dan Terapi
Intensif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
Mutakin, A. (2007). Medikal bedah, Askep dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Kardiovaskular: Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Rampengan, S. H. (2014). Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: FKUI.
Reisfield GM, G. B. (2009). 'False-positive’ and ‘false-negative’ test resultsin clinical urine
drug testing. Bioanalysis, 937–952.
Rollins. (2014). Pupillary Effects of High-dose Opioid Quantified with Infrared Pupillometry.
Anesthesiology V 121 • No 5, 1037-1044.
Safitrih, L. (2015). Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2003). Teks dan Altas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Trihono, P. d. (2012). Kegawatan pada Bayi dan Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM.
Download