Kasus 3 : Tuan P, 24 tahun, dibawa ke IGD oleh keluarga karena ditemukan tidak sadar di dalam kamar tidurnya sekitar 1 jam yang lalu. Dari pengkajian awal didapatkan data GCS 3, E1M1V1, tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 108x/ menit, frekuensi nafas 12x/menit dan dangkal. Kulit pasien dan akral teraba dingin serta terlihat sianosis, pupil miosis dan tidak reaktif. Terlihat banyak bekas suntikan pada lengan kiri pasien. A. Jelaskan Istilah-istilah pada Kasus 1. Tidak Sadar dengan Nilai GCS 3 (E1 M1 V1) GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan instrumen penilaian kesadaran. Nilai GCS ditentukan dengan cara berikut ini: Respon Nilai Respon Membuka Mata (Eye) - Spontan 4 - Terhadap 3 perintah/pembicaraan - Terhadap rangsangan nyeri 2 - Tidak membuka mata 1 Respon Motorik (M) - Sesuai perintah 6 - Mengetahui lokalisasi nyeri 5 - Reaksi menghindar 4 - Reaksi fleksi dekortikasi 3 - Reaksi ekstensi deserebrasi 2 - Tidak berespon 1 Respon Verbal (V) - Dapat berbicara dan 5 memiliki orientasi baik - Dapat berbicara, namun 4 disorientasi - Berkata-kata tidak tepat dan 3 tidak jelas - Mengeluarkan suara tidak 2 jelas - Tidak bersuara 1 Berdasarkan penilaian di atas, pasien dengan GCS 3 diartikan sebagai koma. (N: 15 (sadar)) (Aprilia, Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun, 2015). Mekanisme Koma Kesadaran diatur oleh ARAS (ascending reticular activating system) dan kedua hemisfer otak. Jaras saraf pada ARAS menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak berperan penting dalam mengatur kerja jantung, pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur. Gambar 1. Anatomi Otak Koma dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat, seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik. (Aprilia & Wreksoalmojo, Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun, 2015). Kesadaran ditentukan oleh interaksi antara ARAS dengan korteks serebri. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar. Koma disebabkan karena kegagalan difus metabolisme saraf. Fungsi sistem aktivasi retikular dapat terganggu oleh lesi struktural fokal di otak atau proses difus. Obat-obatan dan toksin (opiat, antidepresan, hipnotik, alkohol) dapat menyebabkan penurunan kesadaran akibat dari proses difus. (Ginsberg, 2005) Interpretasi Koma pada Overdosis Opioid Intoksikasi obat atau keracunan obat adalah dalah satu penyebab dari penurunan kesadaran karena adanya zat kimia (racun) yang masuk menganggu proses fisiologis. Salah satu aksi racun yaitu racun saraf, racun saraf beraksi di sistem saraf pusat. Gejala yang ditimbulkan biasanya sakit kepala, sianosis, pupil miosis, ngantuk, pusing, delirium, stupor, koma dan kejang. (Safitrih, 2015). Gambar 3. Mekanisme Koma pada Opioid Salah satu penyebab koma adalah intoksisitas opioid. Opioid mengganggu pemancaran jaras-jaras sensoris secara difus pada ARAS yang menhubungkan batang otak ke korteks serebri, sehingga kortek serebri mengalami komaatau penurunan kesadaran. 2. Tekanan Darah 100/70 mmHg dan HR: 108x/menit Alat klinis yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah sphygmomanometer. Kategori hasil pemeriksaan tekanan darah terdiri dari 4 menurut The Joint National Committe VII (JNC-VII): Klsifikasi Tekanan Tekanan Sistolik Tekanan Darah (mmHg) (mmHg) Normal <120 <80 Pre- Hipertensi 120 – 139 80 - 89 Hipertensi Stage 1 140 – 159 90 - 99 >160 >100 Diastolik Hipertensi Stage 2 Berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah di atas maka didapatkan hasil bahwa pasien mengalami hipotensi atau tekanan darah rendah (TD: 100/70 mmHg. Sedangkan hasil pemeriksaan nadi/arteri: Jumlah frekuensi nadi/menit pada dewasa (N: 60-100x/menit). Pada pasien dengan tanda gelaja yang sudah disebutkan di atas mengalami takikardia. Yaitu bila frekuensi nadi > 100 kali/menit. Mekanisme Hipotensi dan Takikardi Jantung merupakan organ yang berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme sistim saraf otonom. Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon stress psikis atau disebut juga ‘fight of flight response’ memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun. Sedangkan sistim saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai sistim organ lainnya. Hipotensi adalah kondisi dimana tekanan darah (rasio tekanan sistolik dan tekanan diastolik) lebih rendah dari nilai normal. Hipotensi terjadi ketika tidak seimbangnya kapasitas vaskuler darah dan volume darah, atau jantung terlalu lemah untuk menghasilkan tekanan darah yang mendorong darah ke seluruh tubuh. Pada tekanan darah yang terlalu rendah dapat menyebabkan masalah yang mengancam nyawa, karena akan terjadi penurunan aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen pada organ vital seperti jantung dan otak . Jantung yang berdetak terlalu cepat dapat membuat tekanan darah menjadi turun karena tidak ada waktu untuk jantung mengisi diantara setiap denyut (diastole). Otot jantung yang rusak/ lemah tidak dapat memompa darah secara adekuat sehingga sulit untuk mempertahankan tekanan darah. Selain itu katup jantung yang memungkinkan darah mengalir satu arah, apabila mengalami kegagalan dapat menyebabkan darah mundur kembali lagi ke atrium sehingga darah yang mengalir ke tubuh menjadi sedikit dan menyebabkan hipotensi (Rampengan, 2014). Interpretasi Hipotensi dan Takikardi pada Overdosis Opioid Konsumsi opioid dalam dosis yang besar dan tidak terkontrol (overdosis) dapat berpengaruh pada saraf otonom yang mengatur sistem kardiovaskuler. Opioid dapat menghambat tonus simpatis dan meningkatkan tonus parasimpatis. Meningkatnya aktivitas tonus parasimpatis dapa menyebabkan hipotensi berat bahkan sampai syok. Opioid juga dapat menyebabkan vasodilatasi melalui penekanan pusat vasomotor di batang otak. Vasodilatasi juga terjadi langsung pada pembuluh darah dan menyebabkan penurunan preload dan afterload yang berakibat pada penurunan tekanan darah (hipotensi). Dilatasi atau penurunan tahanan pada arteri perifer dan vena yang berlebihan menyebabkan sistim darah kembali, sehingga pengisian jantung menjadi berkurang. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Hal ini jika berlangsung terlalu lama maka akan menyebabkan syok yang ditandai dengan penurunan kesadaran (koma), akral dingin, depresi nafas, pupil meiosis, dan sirkulasi jaringan perifer tidak normal. Sebagai kompensasi untuk mempertahankan homeostatisnya maka jantung akan meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan frekuensi jantung sehingga isi volume sekuncup jantung dapat kembali normal. Frekuensi jantung yang meningkat tersebut dapat kita dideteksi sebagai takikardi. Sehingga pada kasus-kasus hipotensi sering dijumpai pula pasien dengan nadi lebih cepat (>100/mnt/ takikardi) (Melati, Sari, Claudia, & Faradia, 2016). 3. Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal Paru-paru merupakan alat pernapasan yang kerjanya dikontrol oleh otak pada bagian medulla oblongata. Di dalam paru-paru akan terjadi pertukaran O2 dengan CO2 melalui mekanisme difusi. Mekanisme difusi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial antara darah yang terdapat pada alveolus dengan udara yang masuk melalui saluran pernapasan. Frekuensi pernapasan 12x/menit dan dangkal termasuk tanda ketidak normalan system pernapasan. Hal ini bisa diakibatkan oleh banyak factor seperti, penyakit, overdosis obat, aktivitas, posisi, dsb. Kondisi tersebut diistilahkan sebagai bradipneu, dimana frekuensi napas tidak adekuat/ kurang dari normal. Hal ini akan membahayakan organ lain, karena suplai O2 dapat terganggu dan tidak adekuat terutama ke bagian perifer dengan ditandai akral dingin dan pucat/ kebiruan (Mutakin, 2007). 4. Interpretasi Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal pada Overdosis Opioid Opioid memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas berat yang tergantung pada dosis dan rute pemberian. Efek toksik terkait dengan tindakan yang berbeda dari obat ini pada reseptor opiat di SSP. Respon klinis analgesia, euforia, depresi pernafasan, dan miosis diyakini hasil dari pendudukan preseptor. Efek dari konsumsi opioid berlebih (overdosis) maka salah satunya akan merusak sistem respirasi yang terdapat pada efek reseptor µ2. Hal tersebut karena adanya kerusakan system saraf pada bagian medula oblongata sebagai pengatur pernapasan. Hal ini dikarenakan menurunya kadar asetil kolin pada neuron di pusat pernafasan medulla sehingga respon terhadap Co2 menurun (Angkejaya, 2018). Berikut mekanismenya (Amin, 2006): overdosis opioid kerusakan system saraf pernapasan (medulla oblongata) karena reseptor Mu2 (µ2) penurunan respon pernapasan kegagalan pernapasan ventilasi hipoventilasi alveoli-gangguan difusi alveoli PCO2 meningkat depresi pusat pernapasan hipoventilasi (kompensasi takipneu) bradipnea (RR 12x, dangkal) Kulit dan Akral Dingin dan Terlihat Sianosis Pada pengkajian pada tangan, perlu dilihat salah satu bentuk temuan yang berhubungan dengan gangguan jantung yaitu akral dingin. Hal itu sangat berguna karena untuk mengetahui apakah seseorang dalam kondisi syok atau tidak. Pada kondisi syok kardiogenik, tangan akan terasa sangat dingin akibat sistem saraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi. Kulit akan tampak pucat dan terasa dingin karena pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi dan kadar hemoglobin yang tereduksi meningkat sehingga mekanisme sianosis akan mengikuti selanjutnya. (Muttaqin, Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskular: Pengantar dan Teori, 2012) Sianosis adalah perubahan warna kulit dan membrane mukosa menjadi kebiruan akibat konsentrasi hemoglobin tereduksi yang berlebihan dalam darah (Fauci, Kasper, & Longo, 2000). Jumlah normal hemoglobin tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5g per 100ml. Pada orang dengan konsentrasi hemoglobin yang normal, sianosis akan pertama kali terdeteksi pada kejenuhan oksigen sekitar 75% dan PaO2 50mmHg atau kurang (Silbernagl & Lang, 2003). Adanya warna kebiruan pada sianosis adalah sebagai akibat dari peningkatan kadar hemoglobin terinduksi atau devirat hemoglobin di dalam pembuluh darah kecil pada daerah tersebut. Untuk deteksi klinis akurat mengenai derajat dan adanya sianosis sulit ditunjukan oleh oksimetri (Fauci, Kasper, & Longo, 2000). Terdapat dua tipe sianosis, yaitu sianosis sentral dan sianosis perifer. a. Sianosis Sentral Pada sianosis sentral, terdapat penurunan jumlah saturasi oksigen atau derivat hemoglobin yang abnormal. Biasanya sianosis sentral terlihat terutama di bantalan kuku, wajah, bibir, dan lidah. Adanya penurunan saturasi oksigen merupakan tanda dari penurunan tekanan oksigen dalam darah. Penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh penurunan laju oksigen tanpa adanya kompensasi yang cukup dari paru-paru untuk menambah jumlah oksigen tersebut (James, Jay, & Hein, 2007) b. Sianosis Perifer Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan tekanan oksigen yang menurun pada ujung vena sistem kapiler. Penyebab sianosis primer adalah vasokontriksi generalisasi yang terjadi akibat terkena air dan udara dingin. (AS Fauci, 2000) Interpretasi Kulit serta Akral Dingin dan Sianosis pada Overdosis Opioid Pada kasus, sianosis dapat terjadi karena adanya depresi pernapasan yang disebabkan oleh kerusakan syaraf yang mengatur pernafasan di medulla oblongata. Berkurangnya aliran darah yang melewati kulit dan menurunnya tekanan oksigen pada ujung vena sistem kapiler menyebabkan kulit kebiruan. Adanya sianosis disertai dengan akral yang teraba dingin dikarenakan vasokonstriksi kulit sebagai mekanisme kompensasi agar aliran darah dapat dialihkan dari kulit ke bagian yang lebih vital seperti sistem saraf pusat (medulla oblongata) yang mengalami gangguan. (Fauci, Kasper, & Longo, 2000) 5. Pupil Miosis Tidak Reaktif Pupil normal berdiameter sekitar 2-6 mm. Rata-rata diameter pupil 3 ½ mm. Miosis adalah keadaan pupil yang sempit. Miosis terjadi dalam keadaan tidur, koma, dan tekanan intrakranial yang tinggi. Iritasi pada saraf okulomotoris membangkitkan miosis. Dapat juga dijumpai akibat paralisis saraf simpatetik bagian torakal atas. Penyebab pupil yang miosis diantaranya yaitu: sindrom horner (jaras okulosimpatis), pupil argyll robertson, lesi pons, dan narkotika (Muttaqin, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan, 2008). Pupil kecil dan tidak reaktif menunjukkan adanya gangguan batang otak. Reaksi pupil (konstriksi dan dilatasi) diatur oleh sistim saraf simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis). Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya, cenderung disebabkan kelainan struktural yang mempengaruhi derajat kesadaran. Adapun serabut-serabut parasimpatis berasal dari midbrain dan menuju pupil melalui saraf okulomotorius (Nervus III). (Trihono, 2012) Interpretasi Pupil Miosis Tidak Reaktif Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N.III. Miosis akibat pemberian opioid disebabkan akibat kerja langsung opioid terhadap nukleus otonom nervus okulomotorik (Edinger Westphal). Miosis digunakan sebagai indikator adanya paparan opioid. Penurunan diameter pupil daerah membatasi rentang mekanik iris dan mengurangi intensitas fluks cahaya retina. Amplitudo refleks cahaya menurun sangat erat kaitannya dengan penurunan ukuran pupil pada saat stimulus cahaya (dibawa oleh administrasi remifentanil). Gambar 4. Mekanisme Pupil Mata Miosis Pusat saraf yang mengontrol ukuran pupil dan refleks pupil pada manusia. Struktur berwarna adalah pusat saraf pusat dan jalur yang memodifikasi refleks cahaya pupil. Edinger Westphal (EW) Neuron nukleus adalah sel-sel pacu yang dimodifikasi oleh input rangsang dan penghambatan. Opioid memblokir penghambatan inti EW. Tanda bintang hijau (*) menunjukkan lokasi di mana hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu refleks cahaya, meskipun analisis kami menunjukkan bahwa efek opioid pada refleks cahaya terutama merupakan fungsi ukuran pupil. * = lokasi di mana hiperkarbia, hipoksia, dan opioid berpotensi mengganggu refleks cahaya. IN = neuron penghambatan (Rollins, 2014). 6. Banyak Bekas Suntikan Pada Lengan Kiri Pasien Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien menginjeksikan obat mengandung opioid secara intramuskular berkali-kali. B. Sebutkan Data-data Pengkajian yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut/Dilengkapi pada Kasus 1. Riwayat Pengkajian riwayat untuk menangani keracunan atau overdosis. Riwayat yang diperhatikan untuk diidentifikasi yaitu, obat atau racun, waktu dan lama pajanan, penanganan pertama yang diberikan sebelum sampai di rumah sakit, alergi, dan proses penyakit yang mendasari. Informasi riwayat dapat diperoleh dari keluarga, teman, atau orang yang menemukan. Informasi tambahan dapat diperoleh dari pakaian dan benda dari pasien. Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih secara kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental, dan kehidupan sosialnya (Martono, 2008). Perlu diwaspadai tanda dan gejala orang yang sudah keceanduan terhadap narkoba (opioid) dilihat dari kesehariannya, sebagai beikut: Tanda-tanda kelainan fisik dan emosional: 1. Teman/kelompok sering berganti-ganti. 2. Pasangan/pacar yang juga sering berganti-ganti. 3. Tercium bau-bauan aneh seperti bau alkohol, mariyuana, dan rokok dari nafas atau badan. 4. Perubahan perilaku dan mood yang tidak dapat dijelaskan. 5. Sering melawan aturan, bersikap negatif, paranoid (ketakutan dan curiga), destruktif (merusak), tampak cemas. 6. Tidak pernah tampak kegembiraan seperti yang seharusnya. 7. Selalu tampak lelah/hiperaktif yang berlebihan. 8. Penurunan/peningkatan berat badan yang drastis. 9. Kadang tampak depresi, mudah sedih dan tertekan. 10. Seringkali menipu, berbohong atau kedapatan mencuri. 11. Mengaku memerlukan uang/sebaliknya merasa punya uang lebih. 12. Umumnya penampilannya kotor dan tidak terurus. 2. Pemeriksaan Fisik Pada dasarnya pemeriksaan fisik umum pada kasus toksikologi adalah sama dengan pemeriksaan fisik pada kasus lainnya. Berikut adalah pemeriksaan fisik umum pada pasien overdosis: 1. Keadaan umum: kesadaran menurun 2. Pernafasan: nafas tidak teratur 3. Kardiovaskuler: hipertensi atau hipotensi, nadi aritmia 4. Persarafan: kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise 5. Gastrointestinal: muntah, diare 6. Integumen: berkeringat 7. Muskuloskeletal: kelelahan, kelemahan 8. Integritas ego: gelisah, pucat 9. Eliminasi: diare 10. Selaput lendir: hipersaliva 11. Sensori: mata mengecil/membesar, pupil miosis (Mansjoer, 2009). Selain dengan pemeriksaan head to toe, pemeriksaan fisik pada pasien overdosis dapat dilakukan dengan menggunakan toksidroma. Toksidroma atau tanda gejala overdosis atau keracunan dapat membantu mengidentifikasi racun obat yang terpajan pada pasien. Toksidroma membantu untuk menegakkan diagnosa dan mengetahui/ menentukan obat – obatan (toksik) yang telah terpajan ke tubuh pasien (Morton., dkk, 2008). Sindrom Toksik (Toksidroma) (Hudak, 1996) Sindrom Kolinergik Penyebab – penyebab umum Gejala gejala TTV menurun, berlebihan, salivasi Insektisida emesis diaforesis, deresi pusat, fasikulasi pulmonal, dan lakrimasi, karbamat, fisostigmin, beberapa urinasi, saraf organofosfat otot, dan jamur sistem fasikulsiedema miosis, bradikardi, dan kejang. Opiate / TTV hipnotik sedatif menurun, koma, Narkotik, depresi pernapasan, miosis, barbiturat, hipotensi, benzodiazepin, etanol, klodinin, bradikardi, metaqualon penurunan bising usus, edema pulmonal Antikolinergik Delirium, kering, ruam Antihistamin, atropin, agen anti kulit, pupil melebar, suhu depresan, beberapa tanaman dan tinggi, retensi penurunan bising urin, jamur usus, takikardi, kejang Simpatomimetik Delusi, paranoia, takikardi, Kokain, teofilin, kafein, LSD, hiperensi, midriasis, kejang Gejala amfetamin, fenipropanolamin putus Diare, midriasis, takikardi, Alkohol, barbiturat, narkotik, obat halusinasi, kram benzodiazepin. Pengamatan Keracunan Opioid (Hudak, 1996): Bahan Pengkajian Diagnostik Intervensi Uraian Skin urin/ Perawatan suportif: Upaya untuk keperawatan Opioid Tanda-tanda vital: hipotensi, plasma 1. Jalan napas mendapatkan bradikardi, Gas-gas 2. Sirkulasi riwayat penurunan darah 3. Pernapasan lengkap pernapasan, arteri Pencegahan absorbsi: hipotermia,. Kardiovaskular: Bradikardi Neurologi: pupil pin point, koma, depresi pernapasan, kejang tentang takar 1. Lavage lajak, rute 2. Obat arang pemajanan, 3. Katartik kuantitas, tipe Pemantauan jantung obat Penatalaksanaan digunakan, gejala putus obat Antidote: Naloxone Evaluasi terhadap yang riwayat kecanduan. edema pulmonal. 3. Pemeriksaan Toksikologi Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnosa klinis, dimana diagnosa ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan intervensi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Terdapat dua instrumen yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari suatu kasus keracunan, yaitu (Clarmann, 1987): a. Melalui gejala-gejala klinis, dimana gejala ini dapat dibedakan menjadi: 1. Sympthom, biasanya symthom dapat diamati oleh manusia dengan menggunakan panca indranya. Sympthom ini pada umumnya dijadikan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada keracunan. 2. Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan alat-alat tertentu, seperti rontgen, laboratorium, dan sebagainya. 3. Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang ditimbulkan. Proses dapat diamati sediri oleh dokter dan perawat atau diperoleh dari informasi pasien atau pendampingnya. b. Melalui Analisis Racun (analisis toksikologi) Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa yang spesifik dan terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan diagnosa akhir pada kasus keracunan. Dari pengalaman, Clarmann menemukan, bahwa sekitar 20% dari kasus instoksikasi, diagnosa akhir ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. Dengan kata lain, hampir satu dari setiap lima kasus keracunan adalah salah diagnosa jika diagnosa hanya didasarkan pada gejala klinis saja. Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin. Untuk mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi. Secara umum dapat disimpulkan, bahwa manfaat analisis toksikologi klinik adalah: a. Indentifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang spesifik dan terarah b. Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi c. Untuk memastikan atau menjamin diagnosa klinis. 4. Pemeriksaan Laboratorium Untuk menentukan pemakaian narkoba (opioid) pada seorang individu, pemeriksaan seringkali dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti darah, urin, cairan oral, keringat ataupun rambut. Berikut adalah beberapa pemeriksaan yang dilakukan: 1) Pemeriksaan Urin, Skrining dan Konfirmatori Urin merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. (Dasgupta, 2007) Pemeriksaan narkoba dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada golongan yang besar atau metobolitnya dengan hasil presumptif positif atau negatif. Pada pemeriksaan skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan di luar laboratorium dengan metode onsite strip test maupun di dalam laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada pemeriksaan skrining. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas chromatography / mass spectrometry (GC/MS) atau liquid chromatography/mass spectrometry (LC/MS) yang dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat bereaksi silang dengan substansi lain. Pada pemeriksaan narkoba baik untuk skrining maupun konfirmasi, telah ditetapkan standar cutoff oleh NIDA untuk dapat menentukan batasan positif pada hasil pemeriksaan. Pada tabel berikut disampaikan kadar cutoff pemeriksaan narkoba untuk skrining maupun konfirmasi. Tabel.1 Obat Kadar Skrining Kadar Konfirmasi (ng/mL) (ng/mL) THC 50 15 Metabolit Kokain 300 150 Metabolit Opiat 300 atau 2000 300 atau 2000 Morfin - 300 atau 2000 Kodein - 300 atau 2000 25 25 1000 500 - 500 Phenicyclidin Amfetamin Metamphetamin (Dasgupta, 2007) Waktu deteksi obat dalam urin tergantung berbagai kondisi termasuk waktu paruh obat. Pada tabel berikut disampaikan durasi deteksi obat dalam urin: Tabel. 2 Obat Durasi Deteksi dalam Urin Amfetamin dan 1-2 hari metamfetamin Barbiturat 1-3 hari Benzodiazepin Sampai 21 hari Kanabinoid Sampai 60 hari Kokain 1-3 hari Methadon 1-3 hari Opiat 1-3 hari (Lum 2006) Pada pemeriksaan dengan metode immunoassay dapat menyebabkan positif palsu karena reaksi silang dengan substansi lain. Berbagai substansi yang dapat menyebabkan reaksi silang pada pemeriksaan skrining disampaikan pada tabel berikut: Jenis Obat Opiat Phencyclidine Faktor Pengganggu Quinolon (levofloxacin, ofloxacin) Antidepresan venlafaxine, dextromethorphan, dyphenhydramin, ibuprofen Methadon THC Antipsikotik atipik quetiapin Antiretroviral efaviren, proton inhibitor (pantoprazole) Amfetamin Pil diet (clobenzorex), promethazin, imetamphetamin (otc nasal inhaler), pseudoephedrin, ranitidin, thioridazin Benzodiazepin Oxaprozin, sertraline (zoloft) 2) Rapid Test Dalam pemeriksaan narkoba ada beberapa cara salah satunya dengan menggunakan Rapid Test. Rapid Test ini menggunakan Strip/Stick Test dan Card Test. a. Strip/Stick Test Dalam pemeriksaan Strip/Stick Test tersebut ada yang menggunakan 3 parameter yaitu Amphetamine (AMP), Marijuana (THC), Morphine (MOP), dan ada yang menggunakan 6 parameter yaitu Amphetamine (AMP), Methamphetamine (METH), Cocaine (COC), Morphine (MOP), Marijuana (THC), dan Benzidiazephine (BZO). Dengan sampel urin teknik ini memiliki sensitivitas sesuai dengan standard Nasional Institute on Drug Abuse (NIDA, sekarang SAMHSA), dan dengan spesifisitas 99,7%. Jika pada pemeriksaan Strip/Stick Test ini menggunakan metode imunokromatografi kompetitif kualitif yang ditandai hasil positif dengan terbentuk hanya 1 garis yaitu pada area control, dan hasil negative dengan terbentuk 2 garis yaitu pada area control dan test, dan invalid apabila terbentuk garis pada test atau garis tidak terbentuk sama sekali. Perlu diingat untuk pemeriksaan ini, pembacaan hasil harus dilakukan saat 5 menit dan tidak boleh melebihi 10 menit karena akan terbentuk hasil yang positif palsu. b. Card Test Card Test ini sama dilakukan seperti Strip/Stick Test yang sudah dijelaskan sebelumnya. Yang membedakan, jika Strip/Stick Test ini dicelupkan pada wadah yang sudah diisi dengan urin, sedangkan pada Card Test ini urin yang diteteskan pada zona sample sekitar 3-4 tetes urin. 3) Tes Darah Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti Strip/Stick dan Card Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena biasanya pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali. (Reisfield GM, 2009) 4) Pemeriksaan EKG EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan AV block dapat terjadi pada pasien yang keracunan α agonis, antiaritmia, β blocker, calcium channel blocker, obat kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat), glikosida jantung, litium, magnesium, atau trisiklik antidepresan. Pemanjangan QRS dan interval QT dapat disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat membran aktif. C. Jelaskan Kasus Apa Yang Kemungkinan Pada Pasien Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Misalnya bila ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada, aritmia yang mengancam nyawa orang dewasa yang menunjukkan gejala klinis di lingkungan yang mengandung bahan kimia, tingkah laku aneh atau kelainan neurologis dengan kausa yang sulit diketahui. Pada simtomalogi opiat, tanda dan gejala yang sering ditemukan antara lain: koma, depresi pernapasan, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat). Melihat dari tabel toksidroma, gejala klinis di atas masuk pada golongan obat opiat. Sindrom Opiate hipnotik sedatif Penyebab – penyebab umum Gejala gejala / TTV menurun, koma, Narkotik, depresi pernapasan, miosis, barbiturat, hipotensi, penurunan benzodiazepin, etanol, klodinin, bradikardi, metaqualon bising usus, edema pulmonal Jadi, kasus yang terjadi pada pasien adalah keracunan obat opioid (overdosis). D. Jelaskan Patofisiologi Kasus Tersebut Dalam Bentuk Pathway (terlampir) Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan visceral. Didalam susunan saraf pusat opioid berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus, talamus, hipotalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medulla oblongata dan medulla spinalis. Didalam sistem saraf visceral opioid bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi Dalam overodosis opioid respirasi akan sangat tertekan pada tingkat serendah-rendahnya 2-4 per menit. Ketika ada konsentrasi tinggi obat di medulla dan batang otak, ada penurunan sensitivitas pusat pernafasan otak untuk peningkatan karbon dioksida, dan di medulla ada depresi irama pernafasan. Depresi pernafasan disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah injeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi sub kutan atau intramuskular. Respirasi kembali normal dalam 2-3 jam. Depresi pernafasan dengan overdosis akut akan lebih parah ketika disertai dengan hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin. Hipotensi biasanya terjadi pada tahap akhir keracunan dan akibat dari hipoksia. Pada kasus overdosis opioid biasanya mengalami pengecilan pada pupil yang disebut juga miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westtphal N.III. Namun juga terdapat pada beberapa kasus overdosis pupil tidak dapat mengecil hal ini dikarenakan adanya perubahan asfiksia akibat penurunan pertukaran oksigen paru. E. Susun Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul Beserta Intervensinya. Urutkan Sesuai Prioritas dan Rasionalisasi dari Setiap Intervensi yang Disusun I. ANALISA DATA NO HARI/TGL 1. Selasa, DATA FOKUS 13 DO : November - klien 12x/menit - Selasa, Depresi Frekuensi nafas pusat 2018 2. MASALAH Ketidakefektifan pola nafas pernafasan (00032) Hipoksia Ketidakefekifan Nafas dangkal 13 DO : November ETIOLOGI - Kulit 2018 perfusi jaringan pasien perifer (00204) dingin - Akral pasien teraba dingin - Terlihat sianosis - Frekuensi nafas 12x/menit dan dangkal 3. Selasa, 13 DO : November - 2018 - Perubahan Penurunan curah Takikardi frekuensi jantung (00029) (108x/menit) jantung Hipotensi (100/70 mmHg) - Sianosis TTD 4. Selasa, 13 DO: November - 2018 - Gangguan Penyalahgunaan Pernapasan perfusi zat klien jaringan bradipnea serebral GCS= 3 (E1 V1 M1) - Pupil mata miosis dan reaktif - TD: 100/70 mmHg II. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan Depresi Pusat Pernafasan b. Ketidakefekifan perfusi jaringan perifer (00204) berhubungan dengan Hipoksia c. Penurunan curah jantung (00029) berhubungan dengan Perubahan Frekuensi Jantung d. Gangguan perfusi jaringan serebral (00201) berhubungan dengan Penyalahgunaan zat III. PERENCANAAN KEPERAWATAN NO HARI/TGL 1 Selasa, DX.KEP 13 Ketidakefekti TUJUAN Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas (3140) November fan pola nafas keperawatan 2018 (00032) selama b.d jam, 3x24 - diharapkan Depresi pusat ketidakefektifan pola nafas pernafasan TTD INTERVENSI - Frekuensi (041501) dari - - pernafasan (041502) klien fisioterapi dada, sebagaimana Auskultasi suara nafas, catat area yang - Kelola pengobatan aerosol, sebagaimana inspirasi Monitor Pernafasan (3350) (041503) dari deviasi ringan Lakukan mestinya Kedalaman cukup sebagiamana suara tambahan ringan - (OPA), ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya dari deviasi berat menjadi oropharyngeal mestinya - Irama Masukan alat nasopharyngeal airway (NPA) mestinya deviasi berat menjadi ringan memaksimalkan Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial pasien atau pernafasan klien untuk untuk memasukan alat membuka jalan nafas Status Pernafasan (0415) - pasien ventilasi klien dapat berkurang dengan kriteria hasil : Posisikan berat - menjadi Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas - Monitor pola nafas (misalnya., bradipneu, - Kepatenan jalan nafas takipneu, hiperventilasi, pernafasan kusmaul, (041532) dari deviasi pernafasan 1:1, apneustik respirasi biot, dan cukup pola ataxic) berat menjadi - ringan Status penurunan atau tidak adanya ventilasi dan Pernafasan: keberadaan suara nafas tambahan Pertukaran Gas (0402) - Saturasi oksigen - (040211) dari deviasi berat ke deviasi normal - Auskultasi suara nafas setelah tindakan, untuk dicatat - Catat perubahan saturasi O2, volum tidal akhir Klien yang mengalami CO2, dan perubahan nilai analisa gas darah sianois dengan tepat cukup - Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi dari deviasi berat menjadi - Monitor secara ketat pasien-pasien yang normal beresiko tinggi mengalami gangguan respirasi Klien yang mengalami (opioid) penurunan dari kesadaran deviasi berat menjadi ringan 2. Selasa, 13 Ketidakefekif Setelah dilakukan tindakan Manajemen syok (4250) November an perfusi keperawatan selama 2018 jaringan jam, perifer ketidakefektifan 3x24 - diharapkan perfusi Monitor tanda- tanda vital, tekanan darah, dan status mental - Monitor tekanan oksimetri sesuai kebutuhan (00204) Hipoksia b.d jaringan berkurang perifer dapat dengan kriteria - kebutuhan - hasil : a. Perfusi Jaringan : Perifer - Suhu kulit pada ekstremitas dari deviasi cukup berat menjadi normal normal - Pengisian kapiler pada ujung kaki dan tangan dari deviasi berat menjadi normal normal - Tekanan darah klien dari deviasi sedang menjadi normal b. Status Sirkulasi (0410) - Saturasi oksigen dari deviasi berat Ambil gas darah arteri dan monitor oksigenasi jaringan - (0407) Berikan oksigen/ ventilasi mekanik sesuai Berikan cairan IV kristaloid dan koloid sesuai kebutuhan - Monitor EKG sesuai kebutuhan menjadi normal - Capillary refill time klien dari deviasi cukup berat menjadi normal - Tingkat kesadaran berubah dari berat menjadi ringan 3. Selasa, 13 Penurunan Setelah dilakukan tindakan Pengaturan hemodinamik (4150) November Curah keperawatan 2018 Jantung jam, diharapkan penurunan (00029) b.d curah selama jantung Perubahan berkurang dengan Frekuensi hasil: Jantung a. Keefektifan 3x24 dapat Tekanan - Pompa sistol - Sianosis hilang pada kulit Monitor pengisian kapiler, warna ekstermitas, suhu, dan adanya edema - Tinggikan kepala - Berikan dan diastol naik menjadi normal Monitor curah jantung, indeks kardiak, indeks kerja stroke ventrikuler - darah Monitor dan catat tekanan darah , denyut jantung, irama, dan denyut nadi kriteria Jantung (0400): - - obat inotropik positif dan obat kontraktilitas - Berikan obat vasodilator atau vasokonstriktor - Jaga keseimbangan cairan dengan emberian IV atau diuretik. b. Status Sirkulasi (0401): - Tekanan nadi Manajemen asam basa (1910) turun - menjadi normal 4. Selasa, 13 Gangguan keseimbangan asam basa (AGD) - PaCO2 turun - - Saturasi oksigen normal perfusi keperawatan 2018 jaringan jam, diharapkan gangguan serebral b.d klien dapat berkurang dengan obat Monitor AGD Setelah dilakukan tindakan Pengaturan hemodinamik (4150) : November keracunan Ambil spesimen darah untuk mendapatkan selama 3x24 kriteria hasil : - Nilai rata-rata tekanan darah kembali ke normal (040617) - Pupil mata reaktif - GCS klien dari 3 menjadi 14 - Frekuensi napas menjadi normal (15x/menit) - Melakukan penilaian terhadap status secara komprehensif hemodinamik seperti pengukuran tekanan darah - Monitor dan catat tekanan darah - Monitor adanya tanda dan gejala masalah pada status perfusi F. Rasionalisasai intervensi No Diagnosa keperawatan 1. Ketidakefektifan nafas (00032) Rasionalisasi Intervensi pola Manajemen Jalan - Supaya dapat memberikan alat bantuan nafas yang tepat b.d Nafas (3140) Depresi pusat pernafasan - - Posisikan pasien - Untuk mengetahui apakah ada suara tambahan pada nafas klien memaksimalkan - Agar pasien diberikan obat sesuai dosis (misal nalorphine) ventilasi - Untuk memantau proses pernafasan pada klien Identifikasi - Agar dapat memantau perkembangan kelainan pola nafas kebutuhan aktual/ potensial pasien memasukan alat membuka jalan nafas Masukan alat airway (NPA) atau oropharyngeal (OPA), sebagiamana mestinya Lakukan - Untuk memantau bagian yang masih mengalami penurunan atau tidak ada ventilasi suara nafas - Agar dapat di tangani tenaga medis kembali apabila ada yang turun/ naik - Untuk memantau pasien-pasien yang beresiko agar segera ditangani nasopharyngeal - - Agar dapat mengelola kepatenan jalan nafas untuk untuk - - Agar jalan nafas pasien tidak terganggu fisioterapi tenaga medis dada, sebagaimana mestinya - Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan - Kelola pengobatan aerosol, sebagaimana mestinya Monitor Pernafasan (3350) - Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas - Monitor pola nafas (misalnya., bradipneu, takipneu, hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernafasan 1:1, apneustik respirasi biot, dan pola ataxic) - Auskultasi nafas, suara catat area dimana terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara nafas tambahan - Auskultasi suara nafas setelah tindakan, untuk dicatat - Catat perubahan saturasi O2, volum tidal akhir CO2, dan perubahan analisa gas nilai darah dengan tepat - Monitor secara ketat pasien-pasien beresiko yang tinggi mengalami gangguan respirasi 2. Ketidakefekifan perfusi Manajemen Syok (4250 ) jaringan perifer (00204) - - Mengetahui dan mengupayakan TTV klien tetap stabil Monitor tanda- tanda - Mengetahui kadar oksigen dalam darah pasien vital, tekanan darah, - Mendukung suplai oksigen agar pernfasan klien adekuat b.d Hipoksia dan status mental - tekanan - Memenuhi kebutuhan cairan klien agar tidak dehidrasi Monitor oksimetri sesuai - Mengukur aktivitas listrik jantung apakah ada kelainan atau tidak kebutuhan - - Memantau perubahan pada warna kulit dan suhu kulit Berikan oksigen/ - Memantau sirkulasi dengan melihat perubahan warna kulit ventilasi mekanik sesuai kebutuhan - - Mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan pH darah Ambil arteri gas dan darah monitor oksigenasi jaringan - Berikan cairan IV kristaloid dan koloid sesuai kebutuhan - Monitor EKG sesuai kebutuhan 3. Penurunan Jantung Perubahan - Curah Pengaturan (00029) b.d Hemodinamik (4150) Frekuensi - Jantung Monitor tekanan dan irama, nadi catat darah denyut dan - , jantung, - Mengetahui perfusi aliran darah di bagian ekstermitas denyut - Melancarkan aliran darah ke bagian ekstermitas atau bagian yang jauh dari jantung Monitor curah - Untuk meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung jantung, indeks - Untuk meningkatkan tekanan darah dengan cara kontriksi kardiak, indeks kerja stroke ventrikuler - Mengetahui curah jantung, indeks kardiak, indeks kerja stroke ventrikuler dan perubahannya nadi - Mengetahui perubahan tekanan darah, denyut jantung, irama, dan Monitor pengisian kapiler, warna ekstermitas, suhu, dan adanya edema pembuluh darah perifer - Untuk memenuhi cairan agar tidak terjadi dehidrasi atau syok. Pemberian diuretik untuk menjaga keseimbangan cairan agar tidak terjadi edema - Untuk mengetahui adanya asidosis atau alkalosis - Untuk mengontrol oksigen, karbondioksida, dan PH dalam darah - Tinggikan kepala - Berikan obat inotropik positif dan obat kontraktilitas - Berikan obat vasokonstriktor - Jaga keseimbangan cairan emberian dengan IV atau diuretik. Manajemen Asam Basa (1910) - Ambil spesimen darah untuk mendapatkan keseimbangan asam basa (AGD) 4. Selasa, 2018 13 Monitor AGD November Pengaturan hemodinamik (4150) : - Melakukan penilaian - Untuk mengetahui status hemodinamik - Untuk memantau tekanan darah klien - Untuk memantau apakah ada gangguan status perfusi secara komprehensif terhadap status hemodinamik seperti pengukuran tekanan darah - Monitor dan catat tekanan darah - Monitor adanya tanda dan gejala masalah pada status perfusi Daftar Pustaka Amin, Z. P. (2006). Gagal Napas Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. . Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Angkejaya, O. W. (2018). Opioid. 11. Aprilia, M. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun. CDK-233 vol. 42 no. 10, 780-786. Aprilia, M., & Wreksoalmojo, B. R. (2015). Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun. Jakarta: Universitas Atmajaya. AS Fauci, K. D. (2000). Prinsi Prinsi Penyakit dalam Volume 1 Edisi 13. Jakarta: EGC. Clarmann, M. (1987). Klinisch-toxikologische gische Analytik - gegenwaertiger Stand der Forderung fuer die Zukunft. Dasgupta. (2007). The Effects of Adulterants and Selected IngestedCompounds on DrugsofAbuse Testing in Urine. Am J Clin Pathol, 128:491-503. Fauci, A., Kasper, D., & Longo, D. (2000). Harisson, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13 ed., Vol. 1). (A. H. Asdie, Penerj.) Jakarta: EGC. Ginsberg, L. (2005). Lecture Notes Neurologi edisi 8. Jakarta: Erlangga. Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 178-182. Hudak, C. (1996). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC. James, T. W., Jay, N. C., & Hein, J. W. (2007). Cardiovascular Medicine. London: SpringerVerlag. Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI. Martono, L. H. (2008). Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarga. Jakarta: Balai Pustaka. Melati, A. C., Sari, A. P., C. L., & F. R. (2016). OPIOID dalam Praktik Anastesia dan Terapi Intensif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestologi dan Terapi Intensif Indonesia. Mutakin, A. (2007). Medikal bedah, Askep dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, A. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskular: Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika. Rampengan, S. H. (2014). Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: FKUI. Reisfield GM, G. B. (2009). 'False-positive’ and ‘false-negative’ test resultsin clinical urine drug testing. Bioanalysis, 937–952. Rollins. (2014). Pupillary Effects of High-dose Opioid Quantified with Infrared Pupillometry. Anesthesiology V 121 • No 5, 1037-1044. Safitrih, L. (2015). Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Silbernagl, S., & Lang, F. (2003). Teks dan Altas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC. Trihono, P. d. (2012). Kegawatan pada Bayi dan Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.