BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Defenisi Kanker Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat merusak sel dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian. Karena sifatnya demikian “ganas” (tumbuh tak terkendali dan berakibat kematian), maka kanker juga disebut sebagai penyakit keganasan, dan sel kanker disebut juga sel ganas. Semua sel tubuh dapat terkena kanker, kecuali rambut, gigi dan kuku (Hendry,dkk 2007). Kanker merupakan penyakit atau kelainan pada tubuh sebagai akibat dari sel-sel tubuh yang tumbuh dan berkembang abnormal, diluar batas kewajaran dan sangat liar. Keadaan kanker terjadi jika sel-sel normal berubah dengan pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga tidak dapat dikendalikan oleh tubuh dan tidak berbentuk. Kanker dapat terjadi disetiap bagian tubuh. Bila kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah diketahui dan diobati. Namun bila terjadi di dalam tubuh, kanker itu akan sulit diketahui dan kadang-kadang tidak memiliki gejala. Kalaupun timbul gejala, biasanya sudah stadium lanjut sehingga sulit diobati (Iskandar, 2007). Universitas Sumatera Utara Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh membutuhkannya seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati. Sebaliknya, sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi kelebihan sel-sel baru. Kanker dapat tumbuh di semua sel jaringan tubuh, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis kanker menurut sel atau jaringan asalnya. Keadaan ini yang menyebabkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhannya maupun reaksi terhadap pengobatan (Delimartha, 2003). 2.1.2. Mekanisme terjadinya kanker Sebagian besar bukti mengisyaratkan bahwa pembentukan kanker merupakan suatu proses bertingkat yang membutuhkan lamanya waktu laten, yang disebut teori inisiasi-promosi pada karsinogenesis. Sel-sel kanker terbentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses kompleks yang disebut transformasi yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi (Iskandar, 2007). Teori inisiasi-promosi menyatakan bahwa langkah pertama karsinogenesis adalah mutasi menetap dari DNA sel selama transkripsi DNA. Agar kanker dapat terbentuk dari kejadiaan awal ini atau mutasi menetap ini, maka harus ada interaksi yang berlangsung lama bagi sel tersebut dengan berbagai zat promoter. Zat-zat promoter adalah zat yang merangsang reproduksi dan pembelahan sel. Jadi, banyaknya penyebab Universitas Sumatera Utara inisiasi, adanya berbagai promoter, factor keturunan, umur dan lingkungan semua itu berperan dalam pembentukan kanker (Iskandar, 2007). Pada tahap inisiasi atau pengenalan terjadi suatu perubahan menetap tertentu dalam bahan genetik sel yang memancing sel bakal menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran), atau sinar ultraviolet matahari. Namun, tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen (Iskandar, 2007). Promosi merupakan proses induksi tumor pada sel yang sebelumnya telah diinisiasi atau diinduksi oleh zat kimia. Bahkan gangguan fisik menahun pun bisa membuat sel menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan. Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan (gabungan dari sel yang peka dan suatu karsinogen) (Iskandar, 2007). Dalam suatu proses di mana sebuah sel normal menjadi sebuah sel ganas, pada akhirnya gen DNA (desoksiribonukleik acid) dari sel tersebut akan mengalami perubahan. Perubahan dalam bahan genetic sel sering sulit ditemukan, tetapi terjadinya kanker kadang dapat diketahui dari adanya suatu perubahan dalm ukuran atau bentuk dari satu kromosom tertentu. Semakin sering DNA membelah dan ditranskripsi, semakin besar Universitas Sumatera Utara kemungkinan terjadinya suatu kesalahan, dan kesalahan yang tidak terdeteksi akan bermutasi dan diwariskan (Iskandar, 2007). 2.1.3. Faktor-Faktor penyebab kanker Karsinogen secara umum dapat diartikan sebagai penyebab yang dapat merangsang pembentukan kanker. Beberapa karsinogen yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker sebagai berikut. a. Senyawa kimia (zat karsinogen), dalam hal ini adalah zat pewarna, zat pengawet, bahan tambahan pada makanan dan minuman. b. Faktor fisika, dalam hal ini adalah bom atom dan radioterapi agresif (radiasi sinar pengion). c. Virus, beberapa jenis virus berhubungan erat dengan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab kanker atau virus onkogenik. d. Hormon, dalam hal ini adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh yang berfungsi mengatur kegiatan alt-alat tubuh. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormone tertentu secara berlebihan dapat menimbulkan kanker pada organ tubuh yang dipengaruhinya (Delimartha, 2003). Universitas Sumatera Utara 2.1.4. Pertumbuhan dan penyebaran (Metastasis) Kanker tumbuh dan berkembang secara bertahap. Pertumbuhannya dimulai ketika satu sel dari sekian banyak sel normal tiba-tiba mengalami mutasi genetik. Sel tersebut kemudian berkembang dan membelah diri. Beberapa tahun kemudian, sel tersebut mengalami mutasi lagi yang menyebabkan pertumbuhan dan ukuran sel menjadi abnormal. Keadaan ini disebut fase dysplasia. Fase dysplasia terus berkembang mulai dari dysplasia ringan, sedang, berat, dan akhirnya akan menjadi kanker in situ, yaitu kanker yang belum menembus batas jaringan tempat kanker tersebut tumbuh. Beberapa tahun kemudian, sel kanker dapat menembus jaringan basal dan menyusup ke jaringan sekitarnya. Keadaan ini dinamakan kanker invasive . Sel kanker juga dapat melepaskan diri dari tempat asalnya dan menembus pembuluh darah atau pembuluh getah bening. Kemudian bersama dengan aliran darah atau getah bening, sel kanker terbawa kebagian lain dari tubuh. Ditempat yang baru, sel-sel kanker akan tumbuh dengan sifat-sifat yang sama dengan kanker induknya. Penyebaran kanker ke jaringan tubuh yang lainnya ini dinamakan anak sebar (metastasis) (Delimartha, 2003). 2.1.5. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker adalah infeksi, terutama pada pengidap kanket stadium lanjut. Infeksi terjadi akibat kekurangan protein dan zat gizi lainnya (mengingat umumnya nafsu makan pasien kanker menurun) serta penekanan system imun yang sering terjadi Universitas Sumatera Utara setelah pengobatan konvensional. Infeksi juga dapat disebabkan karena hormone-hormon yang dihasilkan akibat stress yang berkepanjangan pad pasien kanker. Hormon yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya penekanan system kekebalan yang disebut imunosupresi. Hormon-hormon tersebut di antaranya adalah adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang pelepasan kortisol dari kelenjar korteks adrenal. Infeksi terjadi juga pada pembedahan (Iskandar, 2007). 2.2.1. Defenisi kemoterapi Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi sel kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang diinfuskan ke pembuluh darah. Jadi, obat kemoterapi menyebar ke seluruh jaringan tubuh, dapat membasmi sel-sel kanker yang sudah menyebar luas di seluruh tubuh. Karena penyebaran obat kemoterapi luas, maka daya bunuhnya luas, efek sampingnya biasanya lebih berat dibandingkan dua modalitas pengobatan terdahulu (Hendry,dkk 2007). Obat kemoterapi secara umum disebut sitostatika, berefek menghambat atau membunuh semua sel yang sedang aktif membelah diri.Jadi, sel normal yang aktif membelah atau berkembang biak juga terkena dampaknya, seperti sel akar rambut, sel darah, sel selaput lendir mulut,dll.Sel tubuh tersebut adalah yang paling parah terkena efek samping kemoterapi, sehingga dapat timbul kebotakan, kurang darah, sariawan, dll (Hendry,dkk 2007). Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu, pemberian obat sitostatik (berupa obat medis ataupun obat herbal) harus dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman untuk mencegah timbulnya efek samping yang serius, dan bila terjadi efek samping dapat segera diatasi atau diobati (Hendry, dkk 2007). Agar sel tubuh normal mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya, maka pemberian kemoterapi biasanya harus diberi jedah (selang waktu) 2-3 minggu sebelum dimulai lagi pemberian kemoterapi berikutnya (Hendry,dkk 2007). 2.2.2. Prinsip kerja pengobatan kemoterapi Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan meracuni atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar, atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker. Kemoterapi kadang-kadang merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker. Kemoterapi bersifat sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin suddah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (Iskandar, 2007). Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap pasien, kadangkadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbedabeda tergantung jenis kankernya (Iskandar, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Obat kemoterapi pada kanker Dua atau lebih obat sering digunakan sebagai suatu kombinasi. Alasan dilakukannya terapi kombinasi adalah untuk menggunakan obat yang bekerja pada bagian yang berbeda dari proses metabolisme sel, sehingga akan meningkatkan kemungkinan dihancurkannya jumlah sel-sel kanker. Selain itu, efek samping yang berbahaya dari kemoterapi dapat dikurangi jika obat dengan efek beracun yang berbeda digabungkan, masing-masing dalam dosis yang lebih rendah dari pada dosis yang diperlukan jika obat itu digunakan tersendiri (Iskandar, 2007 ). Obat-obat dengan sifat yang berbeda digabungkan, misalnya obat yang membunuh sel-sel tumor dikombinasikan dengan obat yang merangsang system kekebalan terhadap kanker (Iskandar, 2007). 2.2.3.1 Alkylating agents Alkylating memengaruhi molekul DNA, yaitu mengubah struktur atau fungsinya sehingga tidak dapat berkembang biak. Contoh lain obat golongan ini adalah busolvon dan cisplatin. Obat ini biasanya digunakan dengan kasus leukemia, limfoma non-Hodgkin, myeloma multiple dan melanoma malignan. Efek sampingnya adalah mual; muntah; rambut rontok; iritasi kandung kemih (sistitis) disertai terdapatnya darah dalam dalam air kemih; jumlah sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit menurun; jumlah sperma berkurang (pada pria mungkin terjadi kemandulan yang menetap) (Indrawati, 2009). Universitas Sumatera Utara 2.2.3.2 Obat antimetabolit Antimetabolit adalah zat yang bisa menghambat enzim-enzim yang diperlukan untuk memproduksi basa yang menjadi bahan penyusun DNA. Antimetabolit dan juga asam folat dapat mencegah terjadinya pembelahan pada sel kanker. Contoh dari obat ini antara lain adalah: Methotrexate, Floxuridine, Plicamycin, Mercaptopurine, Cytarabine dan Flourouracil (Indrawati, 2009). Antimetabolit adalah sekumpulan obat yang memengaruhi sintesis (pembuatan) DNA atau RNA dan mencegah perkembangbiakan sel. Obat golongan ini menimbulkan efek yang sama dengan alkylating agents. Efek samping tambahan terjadinya ruam kulit, warna kulit menjadi lebih gelap (meningkatkan pigmentasi), atau gagal ginjal. Contoh obat ini adalah methotrexate dan gemcitabine yang digunakan pada kanker leukimia serta tumor payudara, ovarium dan saluran pencernaan (Iskandar, 2009). 2.2.3.3 Antibiotik antitumor Obat ini juga memengaruhi DNA dan mencegah tumor berkembang biak dan dengan cara kimiawi mencegah produksi enzimenzim serta mengubah membran sel. Contohnya adalah Pleomycin dan Idarubicin yang digunakan untuk berbagai macam jenis kanker (Iskandar, 2007). Universitas Sumatera Utara Efek sampingnya sama dengan alkylating agents. Kepada penderita leukimia limfoblastik akut dapat diberikan asparagin diperlukan oleh leukimia untuk melangsungkan pertumbuhanny (Iskandar, 2007). Efek sampingnya berupa reaksi alergi yang bisa berakibat fatal, hilangnya nafsu makan, mual, muntah, demam, kadar gula darah tinggi (Iskandar, 2007). 2.2.3.4 Senyawa-senyawa Alami Ada beberapa senyawa alami yang dapat mengikat DNA (dengan sebuah proses yang disebut sebagai “interkalasi”) sehingga menimbulkan kerusakan pada krosom dari sel kanker dan menghambat pembelahan sel kanker. Contoh dari senyawa semacam ini adalah dactinomycin, mitomycin, doxorubicin, mithromycin, daunorubicin dan bleomycin (Indrawati, 2009). 2.2.3.5 Analog Platinum Analog platinum adalah senyawa-senyawa yang mengandung unsur logam platinum. Senyawa-senyawa ini bekerja dengan cara membentuk rantai silang antara DNA dengan platinum sehingga sel kanker tidak dapat melakukan pembelahan dengan benar dan proses perkembangbiakannya menjadi terhambat. Contohnya adalah carboplatin, cisplatin dan oxaliplatin (Indrawati, 2009). Universitas Sumatera Utara 2.2.4. Efek Samping Kemoterapi Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit. Pada umumnya anti kanker menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit (Nafrialdi dan Sulistia, 2007). Terapi dengan sitostatika menyebabkan mielosupresi sehingga dapat menimbulkan risiko infeksi (neutropenia) dan perdarahan (trombositopenia). Kerusakan pada membran mukosa menyebabkan nyeri pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu kemotaksis yang menimbulkan mual dan muntah. Semua kemoterapi bersifat teratogenik. Beberapa obat menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal (cisplatin) dan saraf (vinkristin). Perawatan 13 suportif dengan antagonis 5HT3, 5 Hidroksitriptamin (serotonin) dan steroid lebih mengatasi rasa mual (Davey, 2006). 2.3.1. Mual dan muntah Penyakit sistemik banyak yang disertai mual dan muntah. Pada penderita kanker, mual dan muntah merupakan keluhan yang sering dijumpai, baik itu disebabkan oleh pemberian kemoterapi, radioterapi, maupun akibat perluasan dari kankernya (Pazdur, 2003). Universitas Sumatera Utara Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot perut yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong untuk keluar melalui mulut baik dengan maupun tanpa disertai mual terlebih dahulu Mual dan muntah sering muncul bersama dalam berbagai kondisi, termasuk menjadi efek samping yang umum terjadi pada penggunaan obat anti neoplastik.. Mual dan muntah yang terjadi setelah dilakukan kemoterapi dikenal sebagai Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) (Pazdur, 2003). Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi terapi pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi serta menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker. Selain itu mual muntah yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi. Muntah yang bekepanjangan dapat menyebabkan esophageal, kerusakan gastric dan pendarahan (Pazdur, 2003). Demikian pula pada penderita kanker dapat disertai mual dan muntah yang pada umumnya disebabkan efek samping dari pengobatan yang diberikan, seperti pemberian sitostatika, analgetika opiate dan radiasi. Mual dan muntah yang terjadi pada penderita yang mendapt sitostatika umumnya terjadi 1-2 jam setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung selama 24 jam (Hood, 1995). Universitas Sumatera Utara Keadaan ini disebut reaksi akut, namun demikian dapat juga terjadi reaksi lambat, yaitu mual dan muntah terjadi beberapa hari setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung beberapa hari. Penderita yang mual tidak selalu disertai dengan muntah (Hood, 1995). Mual adalah suatu gejala penyakit yang ditandai perasaan tidak suka terhadap makanan, rasa tidak enak pada daerah lambung dan ada keinginan untuk muntah. Muntah adalah suatu gejala penyakit yang ditandai adanya pengeluaran isi lambung melalui mulut. Akhir-akhir ini banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui mekanisme dan pengelolaan penderita mual muntah akibat kemoterapi maupun akibat stadium akhir dari kankernya (Hood, 1995). Terdapat variasi individu mengenai mual dan muntah dimana factor psikiis mempunyai peranan yang penting. Mual dan muntah merupakan efek samping yang menakutkan bagi penderita dan keluarganya sehingga kadang-kadang penderita menolak pengobatan lanjutan. Dengan adanya masalah tersebut tindakan pencegahan dan pengobatan mual dan muntah merupakan hal penting dalam pengolahan penderita kanker (Hood, 1995). Mual dan muntah adalah efek samping yang seringkali dialami oleh banyak orang yang menerima kemoterapi. Beberapa jenis obat juga seringkali menimbulkan efek samping seperti ini. Ada beberapa obat antimual (antiemetik) yang sudah tersedia untuk membantu mengurangi gejala ini, namun demikian efek samping semacam ini adalah masalah yang harus dicarikan solusinya agar proses kemoterapi dapat dijalani dengan Universitas Sumatera Utara lebih lancar bagi para pasien. Orang yang mengalami gejala ini tentu saja harus berusaha untuk tetap makan dan sebaiknya pasien mendapatkan semua dukungan dan pertolongan yang bisa diberikan sebisa mungkin untuk meningkatkan nafsu makannya. Pada kemoterapi yang dilakukan dalam siklus 21 hari, muntah dan mual akan terjadi selama beberapa hari setelah menerima obat, tapi biasanya gejala itu akan hilang dalam waktu seminggu setelah menerima obat (Indrawati, 2009). 2.3.1. Etiologi dan patofisiologi. Mual dan muntah adalah manifestasi dini yang sering ditemukan dari toksisitas obat kemoterapi. Etiologi mual dan muntah dari banyak masalah yang berbeda, oleh karena itu pengatasannya juga berbeda, bisa sederhana atau bisa juga kompleks (Dipiro and Thomas, 2005). Pengontrolan mual dan muntah dibutuhkan sebagai salah satu pertimbangan penting pada pengobatan kanker dan terapi suportif (Pazdur, 2001). Mual berhubungan dengan pergerakan lambung, yaitu pergerakan yang sulit pada rongga perut dan otot-otot di rongga dada. Muntah adalah pengeluaran paksa isi dalam perut dengan kekuatan penuh, disebabkan oleh gerakan peristaltik kembali Gastro Intestinal, gerakan ini memerlukan koordinasi kontraksi dari otot perut, pylorus dan antrum, kenaikan cardiagastric, menurunkan tekanan dan dilatasi esophageal (Dipiro dan Taylor, 2005). Selain disebabkan oleh kemoterapi kanker, mual dan muntah dapat disebabkan oleh obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan Universitas Sumatera Utara elektrolit, uremia, obat (digitalis, opium) dan metastase otak (Anonim, 2007). 2.3.2. Mekanisme mual muntah Refleks yang menyebabkan muntah disebabkan oleh stimulasi dari reseptor pada CNS dan atau gastrointestinal. Area reseptor ini mengirim pesan 14 pada pusat muntah pada medulla, yang kemudian berkoordinasi dengan aksi muntah (Pazdur, 2001). Muntah yang diinduksi oleh berbagai zat kimia, obat sitostatik dan radiasi diperantai melalui CTZ (Schein, 1997). Chemoreceptors trigger zone (CTZ) juga berlokasi di medulla, berperan sebagai chemosensor dan diarahkan pada darah dan CSF. Area ini kaya akan berbagai reseptor neurotransmitter (Pazdur, 2001). Contoh dari reseptor-reseptor tersebut antara lain reseptor kolinergik dan histamin, dopaminergik, opiate, serotonin, neurokinin dan benzodiazepine. Agen kemoterapi, metabolitnya, atau komponen emetik lain menyebabkan proses muntah melalui salah satu atau lebih dari reseptor tersebut (Dipiro dan Taylor, 2005). Mual dan muntah terjadi akibat adanya kerusakan pada kantong kemih dan ginjal sehingga kotoran-kotoran kimia sel kanker yang mati oleh obat kemoterapui atau radiasi tidak dapat dikeluarkan.maka, penting untuk memastikan konsumsi air minum atau cairan yang banyak setelah tindakan kemoterapi dilakukan. Universitas Sumatera Utara 2.3.3. Tipe mual dan muntah akibat kemoterapi empat susunan emetogenik pada pemberian obat sitostatika antara lain: 1) Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika tanpa pengobatan antiemetik. 2) Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi 2-6 hari setelah terapi. 3) Mual muntah yang berkelanjutan, biasanya untuk obat sitostatika emetogenik sedang, dapat menyebabkan mual muntah selama 2-3 hari. 4) Antisipator mual muntah, terjadi pada pasien yang merasa mual atau rasa tidak enak diperut dan cemas, padahal obat sitostatika belum diberikan (Jeffery dkk., 1998). 2.3.4. Karakteristik Pasien dan Emesis a. Riwayat emesis tidak terkontrolEmesis yang sulit dikontrol sebelum penggunaan kemoterapi akan menyebabkanpasien lebih sulit untuk mengontrol emesisnya saat dilakukan kemoterapi walaupunsudah diberikan antiemesis, terutama untuk emesis yang bersifat akut. b. Pernah mengonsumsi alcohol.Emesis akan lebih mudah muncul pada pasien yang biasa menggunakan alcohol dalam dosis tinggi (>100 g/ hari). Semakin banyak alkohol yang dikonsumsi makan risiko kejadian emesis akan semakin tinggi. c. Usia. Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol emesis padapasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda Universitas Sumatera Utara biasanya ada kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik akut. d. Jenis kelamin. Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari pada laki–laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan frekuensi pemberiannya. e. Motion sickness Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah mengalami mual muntah akibat kemoterapi (Solimando,2003). 2.3.5. Terapi Mual Dan Muntah Secara garis besar terapi yang digunakan meliputi 2 macam, yaitu : 1. Terapi farmakologi dengan antiemetic. Antiemetik yang biasa digunakan dalam terapi CINV yaitu : A. Fenotiazin Obat ini merupakan lini pertama yang digunakan dalam penanganan mualdan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade reseptor dopamin di area postrema (CTZ dan pusat muntah) digunakan untuk mengobati mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas ringan. Fenotiazin yang diberikan secara IV memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan pemberian secara peroral. Contoh obat golonganini misalnya : proklorperazin, klorpromazin, perphenazine, thiethylpirazine danpromethazine. Efek Universitas Sumatera Utara samping yang sering timbul adalah sedasi, akathisia, hipotensi, dan reaksi diastonik. B. Kortikosteroid Kortikosteroid khususnya deksametason digunakan untuk mencegah mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas sedang hingga berat.Mekanisme kerjanya belum diketahui pasti, namun diduga karena mampu menyebabkan perubahan permeabilitas sel dan mampu menghambat prostaglandin. Efek samping yang sering muncul adalah insomnia dan perut terasa terbakar. C. Metoklopramid Metoklopramid merupakan antiemetik pilihan kedua dalam penangananmual dan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah denganmemblokade reseptor dopaminergik di CTZ dan dapat digunakan untuk segala macam klasifikasi dari mual muntah akibat kemoterapi. Efek samping yang sering muncul adalah diare, reaksi ekstrapiramidal, sedasi, dan hipotensi. D. Antagonis reseptor neurokinin Obat golongan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan SSRI dan kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda, misalnya aprepitan. Universitas Sumatera Utara E. SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitor) Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade fase CINV akut, sehingga digunakan sebagai terapi standar CINV, PONV, RINV, dengan efek samping yang ringan, misalnya ondansentron, granisentron, palonosentron,dolasentron. Untuk terapi pencegahan karena pemakaian obat dengan emetogenisitas yang tinggi maka pemakaian obat ini dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Efikasi penggunaan obat ini dapat mencapai 30–50% pada pasien yang menggunakan cisplatin, sedangkan untuk obat-obatan kemoterapi lainnya efektivitas obat ini dapat mencapai 70%. Efek samping yang paling sering muncul dalam penggunaan obat golongan ini adalah pusing, konstipasi, meningkatkan enzim di hati, dan meningkatkan interval konduksi jantung. F. Antikolinergik Alkaloid seperti skopolamin dan atropin memiliki efektivitas sebagai antiemetik dengan cara menghambat reseptor kolinergik pusat. Efek samping yang sering muncul adalah pandangan kabur, mulut kering, sedasi, dan lain-lain. Contoh obat golongan ini adalah buclizin, meklizin. G. Antihistamine Obat ini bekerja dengan memblok reseptor H di otak dan telinga tengah. Efek samping yang paling sering timbul adalah kantuk, mulut Universitas Sumatera Utara kering, dan sedasi. Contoh obat golongan ini adalah difenhidramin, dan hidroksizin. H. Benzodiazepin. Mekanisme antiemetik dari obat golongan ini belum dapat diketahui secara pasti. Efek samping yang paling sering dari obat ini adalah sedasi, pandangan kabur, dan amnesia. Lorazepam merupakan yang paling sering digunakan dari golongan ini, walaupun midazolam dan diazepam juga dapatdigunakan. Benzodiazepin biasanya digunakan untuk aktivitas emetogenik yangringan atau dipilih sebagai terapi profilaksis dalam penanganan mual dan muntah akut dan antisipatif (Dipiro, 2009). 2.3.6. Pendekatan yang perlu dilakukan dalam penanganan mual dan muntah 1. Pencegahan lebih baik diberikan pada pasien yang mengalami mual dan muntah yang akut. Sedangkan untuk pasien yang mengalami mual muntah kategori menengah hingga berat dapat diberikan antiemetik. Hal ini tergantung pada pemilihan antiemetik dan rute pemberian. Perlakuan sebaiknya diberikan 1 jam hingga 5 menit sebelum kemoterapi dilakukan. 2. Dosis dan frekuensi pemberian diberikan secara individual berbeda bagi tiap kondisi pasien dengan jadwal yang tetap. 3. Jika pasien tidak mengalami mual setelah 24 jam, maka terapi antiemetik dapatdiberikan bila diperlukan. Pasien dianjurkan untuk Universitas Sumatera Utara menggunakan jadwal yang tetap dimulai dari gejala mual yang pertama kali muncul hingga 24 jam setelah pasien tidak lagi mengalami mual. 4. Dosis dapat diturunkan tergantung daya toleransi pasien. 5. Regimen kombinasi sebaiknya diberikan untuk mengoptimalkan terapi walaupun harus menggunakan dua golongan obat yang berbeda. 6. Sedapat mungkin hindari penggunaan dua obat atau lebih yang berasal dari kategori farmakologi yang sama. 7. Mual dan muntah antisipatif dapat diminimalisir dengan cara menggunakan terapi profilaksis yang efektif dalam menangani mual sejak siklus pertama kemoterapi. 8. Jika mual dan muntah antisipatif ini terus berkembang, pasien dapat menerima obat – obat ansiolitik. 9. Untuk mual dan muntah kategori menengah, steroid dan penghambat reseptor dopamin (seperti metoklorpramid, proklorperazin, thiethylpirazine) dapat menjadi regimen yang paling efektif. 10. Untuk mual dan muntah kategori berat, steroid dan penghambat reseptor serotonin (seperti: dolasetron, granisetron, ondansetron) dapat menjadi regimen yang paling dianjurkan. 11. Penghambat reseptor dopamin dapat diberikan apabila penghambat reseptor serotonin tidak dapat diberikan. 12. Antiemetik lainnya biasanya digunakan sebagai terapi inisiasi dan akan lebih baik bila dikombinasikan dengan agent yang efektif dalam Universitas Sumatera Utara penanganan mual dan muntah sehingga bisa dilakukan sebagai terapi lini kedua ataupun ketiga. 13. Obat –obatan golongan penghambat reseptor serotonin lebih efektif bila digunakan sebagai terapi profilaksis dari pada pemakaian obat yang diberikan bila perlu dalam penanganan emesis. 14. Obat – obatan golongan penghambat reseptor serotonin memiliki dosis optimal yang apabila diberikan lebih tinggi tidak dapat memberikan efek antiemetiko (Solimando, 2003). 2.3.7. Upaya Penanggulangan Mual & Muntah Menurut dr. Noorwati ada beberapa cara mengatasi efek samping kemoterapi mual dan muntah, diantaranya: a. Makan dan minum sedikit tapi sering. b. Minum setiap muntah. c. Hindari makanan yang berbau, berminyak, berlemak, berbumbu, pedas, terlalu manis, panas, dan beraroma sitrus. d. Makan makanan yang dingin, kering dan pada temperatur ruangan. e. Minum teh beraorama mint atau jahe. Adapun menurut RS. Dharmais Pusat Kanker Nasional (2009) mengemukakan beberapa cara untuk mengatasi efek samping kemoterapi, yakni : 1. Mual dan muntah a. Hampir 80% pasien Universitas Sumatera Utara b. Anti mual: Zofran, Narfos, Kytril, Primperan, Ativan dll. c. Waspada tanda dehidrasi 2. Penurunan jumlah sel darah merah (RBC) a. Menyebabkan kekurangan Oksigen, kelemahan b. Hgb 9.5-10 gm/dl perlu supplemen zat besi c. Hgb ≤ 8 gm/dl perlu transfusi d. Epogen untuk merangsang produksi RBC 3. Penurunan jumlah sel darah putih (WBC/ Lekosit) a. Resiko tinggi terhadap infeksi b. Growth Factor (GCSF): leukokine/ granocyte untuk merangsang pembentukan Lekosit c. Ruang/kamar terpisah dari orang yang menderita infeksi (FLU atau penyakit menular lainnya) d. Cuci tangan dengan benar e. Ukur suhu tubuh tiap 4-6 jam f. Perhatikan: demam, tanda infeksi spt batuk/pilek dan jumlah lekosit dalam darah g. Batasi pengunjung h. Hindari tanaman hidup i. Makanan: buah berkulit, dimasak matang, hindari makanan mentah/lalap Universitas Sumatera Utara 4. Penurunan jumlah trombosit a. Observasi adanya perdarahan di urine/kotoran b. Hindari penyuntikan secara secara langsung c. Gunakan pencukur elektrik d. Hindari penggunaan kateter dan termometer dubur e. Hindari trauma mulut dengan penggunaan sikatgigi lembut, hindari penggunaan dental gloss dan jangan makan permen yang keras f. Batasi pergerakan/ aktifitas berlebihan untuk mencegah perdarahan otak 5. 6. g. Jika perlu gunakan "stool softeners" untuk menghindari mengejan h. Tranfusi trombosit jika medis mengindikasikan Mukositis a. Perlukaan pada dinding rongga mulut/saluran cerna b. Kumur2 dengan ½ NS dan ½ peroxide setiap 12 jam c. Obat Topical analgesic d. Hindari mouthwash yang mengandung alkohol e. Hindari makanan yang pedas dan keras f. Monitor status nutrisi pasien Rambut Rontok a. 2-3 minggu setelah pengobatan b. Semua rambut termasuk alis dan bulu mata c. 4-8 minggu setelah pengobatan akan tumbuh kembali Universitas Sumatera Utara 7. d. Pergunakan wig/ kerudung/ topi e. Perawatan kulit kepala tidak berlebihan Gangguan Saraf Tepi a. Kebas dan kesemutan di jari tangan dan kaki b. Hati-hati : gangguan keseimbangan dan jatuh c. Alat bantu/ pendamping Universitas Sumatera Utara