Uploaded by Ikek Stanza

ANALISIS KASUS

advertisement
ANALISIS KASUS
Anak laki-laki usia 12 tahun 10 bulan dengan diagnosis Ketoasidosis diabetik e.c.
Diabetes Melitus Tipe 1 + oral moniliasis + gizi buruk. Dari anamnesis didapatkan keluhan
utama sesak napas dan keluhan tambahan sulit makan karena bercak putih di mulut.
Dari anamnesa awal didapatkan adanya keluhan sesak napas, bernapas cepat, lemas,
sulit makan karena bercak putih di rongga mulut, mual, nyeri perut, dan pusing. Pasien sudah
terdiagnosis diabetes melitus sejak Desember 2017. Dari anamnesa didapatkan beberapa
gejala klinis khas ketoasidosis diabetik seperti sesak napas, napas cepat, pusing, mual, dan
nyeri perut. Pada asidosis terjadi pelepasan keton dan glukosa secara berlebih dalam urin
yang ikut membawa garam sodium dan potasium keluar bersama urin (osmotic diuresis). Saat
kadar potasiun dan sodium dalam tubuh menurun, terjadi ketidakseimbangan yang
mempengaruhi otot-otot saluran cerna sehingga menimbulkan gejala nyeri perut, mual, dan
muntah. Tidak ditemukan gejala edema atau efusi pleura pada pasien ini. Riwayat konsumsi
minuman beralkohol disangkal. BAB dan BAK biasa. Bercak putih di sekitar rongga mulut
disebabkan oleh infeksi jamur (candidiasis) yang sering ditemukan pada penderita diabetes
melitus.
Pada anamnesis didapatkan penderita merupakan anak yang diinginkan oleh kedua
orang tua, berasal dari keluarga yang harmonis, memiliki tingkat pendidikan yang cukup,
penderita segera dibawa ke Rumah Sakit saat orang tua merasa anaknya sesak napas.
Penderita juga rutin kontrol dirumah sakit untk penyakit diabetes yang dideritanya. Riwayat
orang tua ataupun keluarga lainnya menderita diabetes melitus disangkal, tidak anggota
keluarga dengan riwayat atopi atau penyakit autoimun. Riwayat ibu penderita mengonsumsi
alkohol, jamu, atau obat-obatan disangkal. Asupan nutrisi saat kehamilan terkesan cukup
dengan asupan gula tidak berlebihan.
Riwayat nutrisi penderita sejak lahir sampai sekarang normal dengan kualitas dan
kuantitas yang baik. Pasien rutin makan tiga kali sehari sebanyak satu porsi lengkap dengan
lauk dan sayuran. Makanan kecil sebanyak dua kali sehari diantara makan besar. Penderita
lahir dengan berat badan lahir sesuai umur kehamilan. Bert badan saat ini 20 kg dan tinggi
135 cm. Penderita saat ini menderita gizi buruk. Organ kelamin penderita dalam batas
normal. Rambut pubis ada (jarang). Status pubertas penderita dalam batas normal (G2P1).
Riwayat perkembangan penderita saat lahir tampak sama dan sesuai dengan teman
seusianya. Penderita juga dapat berkomunikasi baik dengan keluarga ataupun dengan orangorang yang dikenalnya. Riwayat nilai mata pelajaran sekolah relatif baik. Penderita tidak
pernah tinggal kelas. Penderita masih mengikuti kegiatan fisik seperti olahraga, namun sejak
terdiagnosis diabetes melitus pada desember 2017 penderita hanya mengikuti olahraga ringan
seperti senam. Interaksi penderita dengan teman sebaya dan teman sekelas baik. Tidak ada
riwayat tindakan kekerasan atau bullying pada penderita.
Pada saat dilakukan pemeriksaan anak dalam keadaan compos mentis, tampak sakit
sedang. Napas penderita tampak cepat dan dalam (kussmaull). Napas cepat dan dalam pada
penderita dapat diakibatkan oleh infeksi pada sistem pernapasan atau asidosis metabolik
akibat KAD. Infeksi pada sistem pernapasan disingkirkan karena tidak ditemukannya riwayat
demam, batuk, dan pilek sebelumnya pada penderita. Napas cepat dan dalam (kusmaull) pada
pasien ini disebabkan oleh kondisi ketoasidosis. Saat tubuh gagal memproduksi insulin, tubuh
tidak memproduksi gula dalam jumlah yang cukup sehingga tercipta kondisi dehidrasi yang
ekstrim. Tubuh berkompensasi dengan mengalihkan sumber energi ke lemak daripada gula.
Saat lemak dipecah melalui proses katabolisme, terjadi pelepasan keton yang akan
meningkatkan keasaman darah. Kondisi asiditas yang tinggi dalam darah mempengaruhi
sistem pernapasan dan menyebabkan timbulnya kondisi hiperventilasi sebagai kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan CO2 lebih banyak dengan tujuan menurunkan kadar pH dalam
darah. Beberapa gejala lain dapat timbul sebagai efek dari pernapasan kussmaull, seperti sakit
kepala, mual, pusing, dan takikardia. Pada pemeriksaan fisik lainnya juga ditemukan bahwa
faring penderita tidak hiperemis dengan tonsil T1-T1 tenang. Pada pemeriksaan fisik paru
penderita juga tidak ditemukan adanya bunyi napas tambahan. Namun ditemukan adanya
retraksi dinding dada akibat meningkatnya usaha napas pada penderita. Asidosis metabolik
pada penderita dapat disebabkan oleh ketoasidosis, namun masih dipikirkan adanya penyebab
lain seperti gagal ginjal, ATR, rabdomiolisis masif, dan intokikasi alkohol. Namun pada
penderita tidak ditemukan adanya sembab pada wajah dan tungkai, tidak ada gangguan
berkemih atau kemih berbusa atau merah, tidak ditemukan adanya riwayat trauma dan
konsumsi minuman beralkohol.
Rongga mata penderita tampak cekung dan mukosa bibir tampak kering. Dicurigai
kondisi diakibatkan oleh dehidrasi atau status gizi penderita yang buruk. Namun dalam
anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat muntah atau BAB cair. Kondisi dehidrasi pada
penderita juga dapat diakibatkan akibat BAK berlebih. Tingginya kadar keton dalam darah
(ketonemia) menyebabkan tingginya kadar gula dalam urin. Hal ini menyebabkan lebih
banyaknya cairan yang ikut diekskresikan oleh ginjal akibat penarikan yang berlebih,
sehingga terjadi kondisi poliuria. Kondisi poliuria dengan mual dan muntah diperparah
dengan kondisi penderita yang masih belum dapat menyesuaikan intake oral yang lebih
banyak dapat memicu terciptanya kondisi dehidrasi.
Terdapat bercak-bercak putih dengan tepi kemerahan dalam rongga mulut penderita.
Bercak putih diduga infeksi jamur yang disebabkan oleh diabetes melitus dan higienitas yang
buruk. Pada kondisi hiperglikemia kronis dapat memicu mediator inflamasi sistemik yang
dapat memicu reaksi peradangan lokal termasuk di periodontal. Pengeluaran mediator
inflamasi sistemik ini juga dapa menurunkan reson jaringan dalam mensirkulasi insulin dan
menurunkan pengambilan glokas oleh sel sehingga kembali menyebabkan kondisi
hiperglikemi. Kondisi hiperglikemi menetap mempengaruhi komposisi biokimia saliva yang
secara drastis menurunkan aliran dan produksi saliva oleh kelenjar ludah. Kondisi ini
mempengaruhi pH rongga mulut dan berefek pada lebih mudahnya berkembangnya beberapa
patogen seperti jamur. Dari beberapa laporan didapatkan bahwa disfungsi saliva selain diduga
berhubungan dengan komplikasi diabetes, juga bisa diakibatkan oleh faktor usia dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Namun faktor usia dipandang tidak relevan dengan usia
penderita dan dari anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat konsumsi obat-obat yang bisa
mempengaruhi disfungsi saliva (antikolinergik, antihistamin, antihipertensi, antidepresan,
antipsikosis, antiemetik, antiparkinson, dan antispasmotik.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan adanya nyeri tekan pada regio epigastrik.
Nyeri perut pada pasien ini diduga akibat dekompensasi metabolik sebagai respon dari
kondisi metabolik asidosis pada penderita seperti yang sudah dijelaskan diatas. Namun perlu
juga dipikiran akibat lain seperti infeksi peritoneal dan intoksikasi alkohol atau obat-obatan
pada pasien ini. Dalam anamnesis, riwayat konsumsi alkohol dan obat-obatan disangkal.
Tidak ditemukannya riwayat nyeri perut sebelumnya, muntah-muntah, demam, dan gangguan
pada defeksasi dapat menyingkirkan dugaan infeksi pada pasien ini. Bising usus pada pasien
dalam batas normal. Hepar dan lien tidak teraba.
Penilaian awal yang menunjang diagnosis pada pasien ini adalah ditemukannya
riwayat klinis poliuri, penurunan berat badan, nyeri perut, kelelahan/kelemahan, mual dan
pusing yang menjadi ciri khas pada pasien KAD. Dari pemeriksaan fisik juga ditemukan
beberapa gejala khas seperti tanda-tanda dehidrasi (mukosa kering dan rongga mata cekung),
napas cepat dan dalam (kusmaull), nafas bau keton, pusing, dan perasaan mual. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya ketonuria dan acidemia.
Pada pasien ini, anak mendapat tatalaksana awal sesuai dengan diagnosis
ketoasidosis. Pasien mendapat O2 sungkup NRM 10-12 L/mnt untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan memperbaiki sirkulasi penderita. Selanjutnya penderita di rehidrasi dengan Nacl
0,9% + Kcl 10 meq dengan kecepatan 87,5 ml/jam. Rehidrasi dilakukan untuk mengatasi atau
mencegah kondisi dehidrasi pada penderita. Pemberian NaCl berdasarkan terjadinya
ketidakseimbangan ektrolit akibat penurunan kadar natrium dalam darah yang disebabkan
penarikan berlebihan akibat kondisi hiperglikemi serta terjadi pengeluaran natrium yang
berlebihan dalam urin. Perlu dilakukan pemeriksaan berkala natrium dalam darah.
Peningkatan kadar natrium dalam darah menandakan teratasinya kondisi hiperglikemi.
Peningkatan kadar natrium dalam darah tidak menjadi penanda perburukan/kondisi hipertoni.
Kegagalan peningkatan kadar natrium dalam darah atau malah terjadi penurunan lebih jauh
pada kadar natrium dapat menjadi penanda impending edema serebral. Namun kenaikan yang
terlalu mendadak juga bisa mengindikasikan terjadinya edema serebral akibat kompensasi
kehilangan cairan berlebih lewat urin.
Penambahan KCl pada NaCl dengan pertimbangan ketidakseimbangan elektrolit
akibat pembuangan berlebih lewat urin, yang juga bisa disebabkan oleh efek samping
pemberian insulin intravena. Anak-anak dengan ketoasidosis mengalami defisit kalium
sebanyak 3-6 mmol/kgBB. Kehilangan terjadi paling banyak dari jalur intraselular. Kalium
intrasel menurun akibat pergantian ion transeluler yang disebabkan hipertonisitas atau
peningkatan osmolalitas plasma akibat penarikan cairan dan kalium ke esktrasel. Penurunan
juga dapat terjadi akibat kondisi glikogenolisis dan proteolisis akibat defisiensi insulin yang
menyebabkan pengeluaran klaium dari sel. Kalium juga dapat hilang akibat muntah dan
diuresis berlebih. Pemberian kalium harus dilakukan sebelum meulai terapi insulin intravena.
Mempertahankan keseimbangan cairan dan mempertahankan keseimbangan elektrolit sangat
esensial untuk menjaga perfusi jaringan yang adekuat. Pertimbangan lain adalah untuk
mencegah terjadinya edema serebral akibat tidak stabilnya natrium channel dan pompa
natrium di membran seluler.
Pada pasien ini diberika drip insulin 50 iu dalam nacl 0,9% 500 ml dengan kecepatan
20 ml/jam (0,1 iu insulin/KgBB/jam). Ketoasidosis disebabkan oleh penurunan efektifitas
insulin yang bersirkulasi dalam darah. Pemberian insulin penting untuk mengembalikan
metabolisme selular kembali normal dan untuk menormalkan konsentrasi gula darah dan
menekan lipoisis dan ketogenesis. Telah terbukti bahwa insulin intravena dalam dosis rendah
aman dan efektif untuk digunakan. Pemberian insulin intravena diberikan 1-2 jam setelah
awal rehidrasi. Pemberian insulin sebelum rehidrasi tida disarankan karena tidak efektif dan
mungkin meningkatkan risiko dari edema serebral. Penurunan atau penghentian inulin
intravena dipertimbangan dengan melihat respon sensitifitas pasien terhadap insuin dengan
melakukan pengecekan gula darah secara berkala. Pengecekan gula darah lewat darah perifer
juga diperlukan untuk mengontrol kemungkinan terjadinya hipoglikemi sebagai efek samping
pemberian insulin.
Pemberian cairan per-oral dilakukan hanya bila adanya peningkatan kondisi klinis
yang substansial. Penurunan jumlah cairan intravena kembali ke kebutuhan cairan harian
normal dilakukan bila pemberian cairan via oral ditoleransi dengan baik. Target cairan tidak
melebihi 1,5-2 kali kebutuhan cairan harian. Pembatasan cairan dilakukan 48-72 jam sejak
awal rehidrasi. Saat ketoasidosis teratasi dan intake oral ditoleransi dengan baik, psien
direncanakan pemberian insulin subkutan menggantikan insulin intravena. Untuk
menghindari hiperglikemi berulang, pemberian insulin subkutan pertama dberikan 15-30
menit (rapid acting insulin) atau 1-2 jam (insulin reguler) sebelum insulin intravena
dihentikan. Hal ini dilakukan untuk menberikan waktu yang cukup sebelum insulin subkutan
diabsorbsi. Perencanaan pemberian insulin subkutan sudah direncanakan sejak awal terapi
dengan mempertimbangan peningkatan kondisi pasien selama terapi awal.
Pada tatalaksana lanjutan, pasien diberikan antibiotik amoksisilin dan nystatin drop.
Pertimbangan pemberian antibiotik sebagai profilaksis adalah adanya kecurigaan terhadap
infeksi bakteri sebagai salah satu pemicu ketoasidosis pada pasien diabetes melitus. Pada
pemriksaan darah rutin penderita didapatkan hasil leukoit 38.200 dan LED 77. Peningkatan
leukosit dan LED dicurigai sebagai kompensasi infeksi bakteri. Peningkatan LED juga dabat
dipikirkan sebagai reaksi peradangan pada pasien. Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan
kultur darah dan kultur urin untuk mencari fokus innfeksi serta psien dikonulkan ke divisi
infeksi.
Pemberian nystatin drop pada pasien sebagai tatalaksana awal oral moniliasis. Oral
moniliasis dapat diakibatkan menurunnya aliran saliva dan perubahan pH dalam rongga
mulut yang memberi kesempatan bagi patogen seperti jamur untuk berkembang. Pada pasien
didapatkan kondisi oral moniliasis yang berlang. Perlu dipertimbangkan adanya kondisi
infeksi jamur sistemik. Pasien dikonsulkan ke divisi infeksi untuk evaluasi candidiasis.
Pasien mendapatkan fluconazole sebagai pengganti nystatin drop pada hari ke-empat
perawatan. Dilakukan kultur darah untuk melihat kemungkinan adanya infeksi jamur sistemik
pada penderita.
Pada pasien ditemukan kondisi gizi buruk. Dilakukan diet khusus
Download