Gender in Disaster Management Ninil Jannah @ Perkumpulan Lingkar, 27 April 2019 [email protected] Indikator Capaian Belajar • Menjelaskan konsep ‘gender’ • Menjelaskan ‘masalah gender’ • Menemukenali potensi isu gender dalam manajemen bencana Pengantar Gender • Konsep Gender: mengacu pada peran dan tanggung jawab sebagai perempuan dan sebagai laki-laki yang diciptakan dan diinternalisasi dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam budaya masyarakat dimana kita hidup termasuk harapan-harapan, sikap, sifat, perilaku bagaimana menjadi seorang laki2 dan bagaimana menjadi seorang perempuan (culturally learned and assigned behaviour) • Secara historis, perhatian terhadap relasi gender telah didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi serta situasi perempuan karena perempuan biasanya lebih tidak diuntungkan daripada laki-laki SEKS (jenis kelamin) • konstruksi biologis • Universal • tidak dapat diubah • merupakan kodrat 5 Gender dan Jenis Kelamin • Konsep seks (jenis kelamin) Laki–laki adalah manusia dengan penis - Perempuan adalah manusia dengan vagina. Alat tersebut secara biologis melekat pd manusia jenis laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan • Konsep gender Perempuan - Lembut, cantik, emosional, keibuan dll. Laki-laki Kuat, rasional, jantan ,perkasa. Ciri sifat ini dapat dipertukarkan. Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural Gender Sebagai Alat • Gender juga sebuah alat analisis yang dapat digunakan untuk membedah kasus untuk memahami lebih dalam hubungan sebab akibat yang menghasilkan kenyataan. Analisis gender menganalisis hubungan-hubungan kuasa dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan manusia. Melalui analisis gender kita dapat menelaah ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh bangunan peradaban dan kebudayaan manusia. Masalah Gender 1. Pelabelan negatif atau stereotype • Perempuan seringkali dilabeli dengan sifat lemah lembut, sementara laki-laki dianggap kuat. Pelabelan ini membuat perempuan selalu ditempatkan dalam kondisi yang lemah, tidak berdaya dan tidak bisa menjadi pemimpin. Sementara laki-laki dianggap bisa menolong dirinya sendiri dan menjadi pemimpin. 2. Penomorduaan atau Subordinasi • Terdapat anggapan di mana satu jenis kelamin lebih penting dibanding jenis kelamin yang lain. Sejak dulu, ada pandangan bahwa perempuan lebih rendah dibanding laki-laki Masalah Gender 3. Peminggiran ekonomi atau marginalisasi • Proses peminggiran mengakibatkan salah satu jenis kelamin terabaikan dalam akses sumberdaya. 4. Beban ganda atau double burden • Salah satu jenis kelamin seringkali harus memerankan beberapa pekerjaan/beban sekaligus. Masalah Gender 5. Kekerasan atau violence • Perempuan dapat mengalami berbagai macam kekerasan mulai dari kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan), psikologis (ancaman, pembatasan kegiatan), seksual (pelecehan seksual, perkosaan), maupun ekonomi (menjadi korban trafikingperdagangan perempuan dan anak, dilacurkan dll) Kesetaraan Gender • kesetaraan antara perempuan dan laki-laki mengacu pada pelaksanaan hak, barang-barang yang dihargai secara sosial, kesempatan, sumber daya dan penghargaan secara sama antara perempuan dan laki-laki dari berbagai usia dan tanpa memandang orientasi seksual • Bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama tetapi bahwa pelaksanaan hak, kesempatan, dan peluang hidup mereka tidak diatur atau dibatasi oleh apakah dia terlahir sebagai seorang perempuan atau lakilaki Gender dalam Penanggulangan Bencana Situasi Dampak Bencana (1) Masalah-masalah yang sering dihadapi (IASC, 2006) • akses yang tidak setara terhadap bantuan • diskriminasi dalam pemberian bantuan • relokasi yang dipaksakan • kekerasan berbasis seksual dan gender • hilangnya dokumentasi; • rekrutmen anak-anak ke dalam pasukan tempur • pemulangan atau pemukiman kembali yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti Situasi Dampak Bencana (2) • Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi, tsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin puting beliung. • Dengan demikian sejumlah besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam ini atau akibat munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi lagi di masa depan. • Pengalaman menunjukkan walaupun pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural mungkin sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin lamanya situasi pengungsian berlangsung. Diskusi • Laki-laki/Perempuan - Dalam Penanggulangan Bencana ‘siapa’ termasuk kelompok rentan’? Mengapa? (singkat) • Bagaimana Laki-Laki dan Perempuan ‘menerima’ akibat bencana? (sama atau tidak, gambarkan/jelaskan melalui matrik berikut) ASPEK BENTUK PEREMPUAN Keparahan Fisik-Biologis Sosial Ekonomi Sebab LAKI-LAKI Keparahan Sebab Diskusi • Contoh • Bagaimana Laki-Laki dan Perempuan ‘menerima’ akibat bencana? (sama atau tidak, gambarkan) ASPEK BENTUK AKIBAT PEREMPUAN Keparahan Fisik-Biologis Cacat/meninggal dunia Lebih banyak LAKI-LAKI Sebab di rumah, akses perto-longan darurat lebih terbatas Keparahan Lebih sedikit dari perempuan Sebab di tempat kerja, public - akses perto-longan darurat lebih banyak Gender dan Penanggulangan Bencana • Perempuan yang suaminya meninggal harus mengambil peran gender laki-laki, sementara laki-laki yang istrinya meninggal harus mengambil peran gender istrinya. • Meskipun laki-laki dan perempuan mengalami kerentanan yang berbeda, tetapi sebagian besar perempuan, terutama dari kalangan miskin, lanjut usia, dari kelompok minoritas sosial dan suku minoritas, memiliki strategi penanganan terbatas dan berisiko paling tinggi terkena dampak bencana alam. Data (1) • UN Office of the Special Envoy for Tsunami Recovery (UNSETR) tentang bencana tsunami tahun 2004, yang menunjukkan bahwa korban meninggal dengan jumlah terbesar berasal dari kelompok perempuan, dan anak perempuan (UNSETR, 2005) • Analisis dari London School of Economics di 141 negara pada tahun 2008 juga menunjukkan bahwa ketika terjadi bencana, jumlah korban perempuan relatif lebih besar hingga empat kali lipat, jika dibandingkan dengan jumlah korban laki-laki • Korban perempuan umumnya terperangkap di dalam rumah ketika bencana datang, karena aktivitas domestik yang tengah mereka lakukan. Laki-laki, di sisi lain, umumnya tengah melakukan aktivitas di ranah publik – aktivitas di luar rumah – ketika bencana datang; sehingga kesempatan mereka untuk menyelamatkan diri relatif lebih besar, jika dibandingkan dengan perempuan (UNIFEM, 2005) Data (2) • Oxfam melaporkan, pada beberapa kasus, pakaian yang panjang dan besar yang digunakan oleh perempuan penganut salah satu agama tertentu turut menghambat perempuan untuk menyelamatkan diri, ketika bencana terjadi. Pakaian yang sama juga membatasi gerak perempuan saat berlari ke tempat yang lebih tinggi atau saat memanjat pohon (Oxfam 2005) • Perempuan kerap menjadi korban – bahkan menjadi korban meninggal – karena mereka enggan meninggalkan rumahnya tanpa menutupi kepala mereka, sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut (UNIFEM, 2005) Data (3) • Dalam beberapa kasus, ketika gelombang tsunami menerjang, korban – termasuk perempuan – berada dalam kondisi tanpa pakaian. Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh UNSETR, korban perempuan yang sudah dalam kondisi tanpa pakaian menolak untuk naik ke atas perahu karet, karena tidak mau diselamatkan oleh laki-laki (UNSETR, 2005) • Hambatan kultural yang melarang perempuan untuk belajar berenang turut merugikan perempuan. Banyak perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban tenggelam, ketika bencana terjadi (Oxfam, 2005). Sebaliknya, belenggu tersebut tidak dialami oleh laki-laki, sehingga banyak laki-laki yang berhasil selamat dari bencana karena mereka memiliki kemampuan berenang, dan mampu menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi (UNIFEM, 2005b; Pittaway, Bartolomei dan Rees, 2007) Data (4) • Hingga tahun 2013, sekitar 35 persen perempuan dari jumlah total perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual (UN Women, 2018) • Menurut laporan Komnas Perempuan pada tahun 2002, terdapat beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi darurat kemanusiaan; di antaranya adalah kasus kekerasan yang terjadi pada konflik Aceh tahun 19891998 - setidaknya terdapat 20 kasus perkosaan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh personel militer, pasukan keamanan, serta masyarakat umum • Pada tahun 2006, laporan dari Community Support Center(CSC) kepada UNFPA Indonesia menunjukkan bahwa selama respon tsunami di Aceh, terdapat setidaknya 97 kasus Kekerasan Berbasis Gender. Selain itu, dalam laporan final untuk respon bencana gempa di Padang tahun 2010, UNFPA Indonesia juga menyatakan bahwa terdapat 3 kasus perkosaan di tenda pengungsian korban gempa Padang, Sumatera Barat (KPPPA, 2017) Pelabelan negatif atau stereotype ~ Penanggulangan Bencana • Pelabelan ini membuat perempuan selalu ditempatkan dalam kondisi yang lemah, tidak berdaya dan tidak bisa menjadi pemimpin. Sementara laki-laki dianggap bisa menolong dirinya sendiri dan menjadi pemimpin. • Partisipasi perempuan dalam peta penanggulangan bencana tidak banyak, dan kalau pun ada, seringkali posisinya ditempatkan untuk merawat orang-orang yang terluka, mengurus dapur umum dan mengurus ketersediaan makanan. • Sementara laki-laki memegang peran strategis, mengendalikan posko, mendapatkan akses bantuan dan berhubungan dengan pihak luar. • Perempuan juga lebih banyak disalahkan sebagai penyebab terjadinya bencana dibandingkan laki- laki. Penomorduaan atau Subordinasi ~ Penanggulangan Bencana - Dalam situasi bencana perempuan menjadi dirugikan karena kebutuhan-kebutuhannya sebagai perempuan seringkali terabaikan. - Dalam pembagian bantuan khusus ‘ibu-ibu/perempuan’ misalnya, bantuan yang datang justru yang berkaitan dengan kegiatan domestik seperti alat memasak. Kebutuhan khusus perempuan seperti misalnya pembalut, celana dalam dan alat-alat kesehatan reproduksi lainnya seringkali tidak ada. Seolah-olah semakin menguatkan pandangan bahwa tugasnya perempuan adalah memasak. Peminggiran ekonomi atau marginalisasi ~ Penanggulangan Bencana - Dalam situasi bencana, perempuan seringkali tidak bisa mengakses bantuan karena dianggap bukan pencari nafkah utama atau kepala keluarga. Situasi ini sangat tidak menguntungkan terutama bagi perempuan yang harus menjadi kepala keluarga baik sebelum atau sesudah bencana terjadi. - Proses ini semakin mengakibatkan kehidupan perempuan semakin berat karena semua hal yang berkaitan dengan akses bantuan atau sumberdaya misalnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan atau kredit modal usaha harus seijin dan sepengetahuan laki-laki/suaminya atau ayahnya. Beban ganda atau double burden ~ Penanggulangan Bencana - Dalam situasi bencana, perempuan seringkali mengalami beban ganda. - Perempuan hampir mengerjakan 80% pekerjaan rumah tangga mulai dari menyediakan makanan, mengurus anak, merawat orang sakit dan lanjut usia, tetapi di sisi lain, perempuan juga dibebani untuk mencari kayu bakar, air bersih dan mencari bantuan. - Beban domestik ditambah dengan beban-beban lainnya bagi perempuan dalam situasi seperti ini sangatlah berat, semua serba terbatas dan semua harus dilakukan yang menambah tingkat kelelahan dan stres seorang perempuan. Kekerasan atau violence ~ Penanggulangan Bencana • Dalam situasi bencana, di mana keadaan sangat tidak stabil, tingkat stres tinggi, keadaan serba terbatas, sarana MCK yang semi terbuka, ketiadaan kamar ganti, tempat pengungsian yang relatif terbuka dan tidak adanya bilik mesra membuat perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan. • Dalam banyak kasus kekerasan yang ditemukan, lokasi kejadiannya bisa di tempat umum misalnya tempat-tempat pengungsian atau dalam rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga). Pelakunya pun bisa siapa saja, suami, ayah, pacar, relawan kemanusiaan, sesama pengungsi, maupun aparat pemerintah. Analisa Gender – Penanggulangan Bencana • memeriksa relasi antara perempuan dan laki-laki dan akses mereka terhadap dan kontrol atas sumber daya, peran mereka dan hambatan yang mereka hadapi • diintegrasikan dalam kajian kebutuhan penanggulangan bencana dan dalam semua kajian sektor atau analisa situasi untuk memastikan bahwa ketidakadilan berbasis gender dan ketidaksetaraan tidak diperburuk oleh intervensi program dan memungkinkan kesetaraan dan keadilan yang lebih besar dalam relasi gender Pengarusutamaan Gender • proses mengkaji implikasi bagi perempuan dan laki-laki atas aksi yang direncanakan, termasuk perundang-undang, kebijakan atau program, di semua bidang dan pada semua tingkatan • strategi untuk menjadikan perhatian dan pengalaman perempuan serta laki-laki sebagai dimensi integral dari rencana, implementasi, pengawasan, dan evaluasi • kebijakan dan program di semua bidang politik, ekonomi dan sosial sehingga perempuan dan laki-laki memperoleh manfaat yang sama dan tidak mengabadikan ketidaksetaraan Ninil Jannah [email protected] Perkumpulan Lingkar Jl. Banteng Perkasa 40, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta Tel: +62 274 886 320 Email: [email protected] Terimakasih