Uploaded by User9006

step step analisa fundamental

advertisement
Step #1 Analisa Fundamental – Growing Companies
Zomi Wijaya / January 27, 2017
Dalam menganalisa saham, (sebagai seorang Value Investor) saya memiliki beberapa kriteria dalam memilih saham yang akan saya paparkan dalam artikel-artikel
saya.
Kriteria #1 Net Sales & Net Profit Growth
Langkah awal dalam menilai sebuah saham adalah apakah perusahaannya untung atau tidak. Kalau misalnya perusahaan rugi, untuk apa kita invest di
perusahaan tersebut (logika yang sangat sederhana). Mari kita lihat data laporan keuangan ICBP dan SIDO berikut:
Nah jika kita lihat (bagian yang di lingkari) dari laporan keuangan kuartal III tahun 2016 ICBP memiliki laba sebesar 2.832.080 x 1.000.000 = 2,83 Triliun
Rupiah dan Laba SIDO hingga kuartal III adalah 351.929 x 1.000.000 = 352 Miliar Rupiah. Sesuai dengan data analisa kita, kita tahu bahwa kedua perusahaan
tersebut mencetak laba (profit) hingga laporan keuangan kuartal III ditulis.
To be noted, ada 2 hal yang wajib teman-teman perhatikan dalam menganalisa laporan keuangan sebuah perusahaan:
1. Perhatikan kata-kata “disajikan dalam”, ada perusahaan yang menggunakan rupiah penuh, ribuan, jutaan dan juga dollar US. Sehingga data yang tersejadi
harus dikalikan dengan nominal aslinya. Contohnya: perusahaan batu bara membukukan laba bersih 1.000.000, dan disajikan dalam dollar. Sehingga kita perlu
mengkalikannya dengan kurs pada saat ini: 1.000.000 x 14.000 = 14.000.000.000, sehingga labanya dalam rupiah adalah sebanyak 14 Miliar.
2. Gunakan “laba bersih yang dapat didistribusikan kepada pemilik entitas induk”. Alasannya adalah karena, laba bersih tersebut yang benar-benar kita dapatkan
sebagai pemegang saham perusahaan. Contohnya simpelnya seperti ini: Bank ABC, memiliki anak usaha Bank ABC Syariah dengan porsi kepemilikan saham 80%.
Singkat cerita, ABC Syariah membukukan keuntungan 100 miliar. Sesuai dengan treatment akuntansi, karena Bank ABC adalah pemegang saham utama ABC
Syariah, maka seluruh keuntungan ABC Syariah akan di masukkan ke total laba bersih Bank ABC. Padahal kita mengetahui laba ABC Syariah yang benar-benar
dimiliki oleh Bank ABC adalah 80% x 100 Miliar = 80 Miliar. Nah, yang 80 Miliar itulah yang dimasukkan kepada pemilik entitas induk, sisanya sebanyak 20 Miliar
akan masuk ke kepentingan non pengendali.
Setelah kita mengetahui sebuah perusahaan membukukan keuntungan, selanjutnya adalah memperhatikan laba bersihnya. Perusahaan yang baik adalah
perusahaan yang memiliki kenaikan profit secara konsisten, disarankan minimal 5 tahun bertutut-turut. Kenapa 5 tahun? karena biasanya 5 tahun adalah waktu
yang pas untuk menilai sebuah perusahaan stabil atau tidak. Salam siklus 5 tahun biasa ada tahun dimana ekonomi lesu sehingga terlihat bahwa jika perusahaan
masih bisa mencetak laba dalam situasi ekonomi lesu berarti perusahaan tersebut Excellent! (logicnya kira-kira seperti ini “waktu ekonomi lesu saja masih bisa
meningkatkan laba bersih apa lagi saat ekonomi bertumbuh”). Berikut kita lihat data dari laporan Keuangan tahun 2015 ICBP (atas) dan SIDO (bawah):
Setelah melihat data di atas kita dapat menyimpulkan bahwa 2 perusahaan baik ICBP dan SIDO merupakan perusahaan yang sangat konsisten dalam mencetak
laba. Tetapi, tentu kita harus mencoba untuk menganalisa lebih detail, mana perusahaan yang lebih baik di antara 2 perusahaan tersebut yang lebih baik.
Langkah ketiga adalah memastikan kenaikan net profit (laba bersih) yang diikuti oleh net sales / revenues (penjualan). Hal ini juga penting karena net
profit “bisa “secara kreatif dimanipulasi oleh perusahaan. Sedangkan penjualan sangat sulit untuk di manipulasi. Jika sebuah perusahaan melaporkan adanya
kenaikan pendapatan dengan angka penjualan yang stagnan atau turun, tetapi laba bersih meningkat secara drastis hal tersebut patut dipertanyakan. Salah satu
contohnya adalah, perusahaan bisa menjual aset perusahaan (pabrik, tanah, mesin, dll) yang digunakan untuk mencetak laba perusahaan. Sehingga
kemampuan laba perusahaan di masa yang akan datang berpotensi turun. Hal ini bisa dilakukan dalam metode akuntansi laporan keuangan, sehingga penjualan
aset tersebut masuk kedalam bagian laba bersih, tetapi tidak tercatat di sales atau laba kotor (gross profit). Mari kita lihat penjualan dari ICBP (atas) dan SIDO
(bawah):
Jika kita melihat ICBP dan SIDO dalam sales terlihat bahwa ICBP lebih baik karena sales / laba kotor terus meningkat selama 5 tahun berturut-turut. Sedangkan
SIDO memiliki penjualan yang tidak konsisten dan cenderung menurun. Saya juga sebenarnya tidak tau pasti kenapa penjualan SIDO menurun. Asumsi saya
adalah “seiring dengan bertumbunya generasi millennial, tren orang-orang mulai beralih dari jamu ke obat modern”. Akhir kata saya tidak merekomendasikan
teman-teman harus membeli saham ICBP atau SIDO, karena mungkin saja ternyata saham SIDO bertumbuh lebih besar dari pada ICBP. Tetapi kalau saya sendiri
harus memilih antara 2 perusahaan tersebut maka saya akan memilih ICBP (berdasarkan kriteria #1).
Step #2 Analisa Fundamental – Financial Leverage
Zomi Wijaya / March 13, 2017
Kriteria #2 Good Debt !
Well, setelah sebelumnya di analisa fundamental yang pertama, kita melihat Profit dari sebuah perusahaan selanjutnya di artikel kedua ini kita akan
melihat Hutang sebuah perusahaan. Hutang sebuah perusahaan sendiri secara umum dibagi menjadi 2 yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang.
Sebuah perusahaan textile memiliki aset 1 Milyar untuk produksi 100.000 pakaian setiap tahunnya dan mendapatkan laba bersih sebesar 500 Juta. Selanjutnya
perusahaan tersebut mendapatkan permintaan tambahan untuk memproduksi 200.000 pakaian / tahun untuk pasar di Indonesia. Sedangkan kapasitas produksi
perusahaan hanya bisa 100.000 pakaian / tahun, karena itu untuk bisa memproduksi 200.000 pakaian / tahun, perusahaan membutuhkan modal usaha
tambahan sebesar 1 Milyar untuk pemebelian mesin, penambahan tenaga kerja dan lain-lain.
Oke sekarang mari kita lihat 2 skenario apabila perusahaan textile tersebut tidak berhutang dan berhutang.


Skenario 1 (Tidak berhutang): perusahaan textile tersebut tidak akan berkembang dan hanya memiliki labar bersih sebesar 500 juta saja setiap tahunnya seperti
sedia kala.
Skenario 2 (Berhutang): perusahaan textile tersebut berhutang dan mendapatkan modal tambahan dalam bentuk hutang sebesar 1 Milyar dengan bunga 20%
pertahun dalam jangka waktu 2 tahun. Dengan modal tambahan tersebut perusahaan bisa memproduksi lebih banyak pakaian sehingga laba perusahaan
meningkat menjadi 1 Milyar. Laba tersebut lalu dipotong bunga pinjaman sebesar 20% per tahun = 20% x 1 Milyar = 200 juta + beban pokok 500 juta. Sehingga
laba bersih perusahaan menjadi 1 Milyar – 700 Juta = 300 juta (untuk tahun 1 dan 2). Tahun ketiga perusahaan tidak perlu membayar hutang karena sudah lunas,
sehingga laba bersih menjadi sebesar 1 Milyar.
Jika kita bandingkan dengan tabel laba perusahaan selama 5 tahun kedepan kira-kira seperti ini:
hasilnya adalah dengan skenario mengambil hutang, perusahaan textile tersebut dapat meningkatkan produksi sehingga perusahaannya bertumbuh dan
mencetak laba lebih besar di masa yang akan datang.Ok, saya udah menjelaskan efek positif hutang, tetapi perusahaan yang memiliki hutang terlalu besar juga
tidak baik secara fundamental. So, bagaimana cara melihat kewajaran hutang sebuah perusahaan? berikut adalah analisanya:
DER (Debt to Equity Ratio) < 1
DER = Total Liabilities / Total Equity
Kriteria dalam menilai hutang sebuah perusahaan adalah dengan melihat Debt to Equity Ratio (DER). DER dengan angka dibawah 1 atau 100% berarti bahwa
perusahaan memiliki hutang yang lebih kecil dari modal (ekuitas) yang dimilikinya. Dengan hutang yang wajar sebuah perusahaan lebih kebal terhadap faktorfaktor eksternal, seperti kenaikan suku bunga dan krisis.
Perusahaan dengan DER > 1 berati perusahaan terlalu agresif dalam berhutang. Hutang yang besar akan menimbulkan beban berupa bunga yang akan
memangkas laba. Ada 3 masalah dalam hutang yang terlalu besar:
1. Pertama, apabila daya beli masyarakat turun atau ekonomi sedang tidak berjalan dengan baik maka pendapatan perusahaan akan berkurang dan manajemen
harus bekerja mati-matian untuk membayar bunga hutang ataupun pokoknya.
2. Masalah kedua adalah apabila suku bunga acuan naik, maka bunga kredit pun ikut naik. Umumnya banyak perusahaan-perusahaan default pada era kenaikan
suku bunga acuan.
3. Ketiga adalah apabila bentuk hutang perusahaan dalam dollar dan pendapatan perusahaan dalam rupiah. Ketika rupiah melemah terhadap dollar, bunga serta
nilai hutang perusahaan dapat meningkat secara signifikan.
Sekarang kita melihat laporan keuangan dari perusahaan Telekomunikasi Indonesia (TLKM):
Jika kita melihat laporan keuangan TLKM, kita mendapatkan data:


Jumlah Ekuitas yang dapat didistribusikan kepada pemilik entitas induk – bersih = 83.619
Jumlah Liabilitas = 75.111
4x Net Profit > Long-Term Debt
Langkah kedua menilai hutang sebuah perusahaan apakah konservatif atau tidak adalah membandingkan hutang jangka panjang dengan laba bersih perusahaan
tersebut. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang bisa melunasi hutang jangka panjangnya dalam waktu 4 tahun atau kurang. Mari kita lihat laporan
keuangan TLKM:
data yang didapat dari LK kuartal III TLKM:


Laba Bersih = 14.732 x 4/3 = 19.649 (angka 4/3 karena menggunakan laporan keuangan kuartal 3, dan kita harus menyetahunkan laba bersihnya)
Liabilitas Jangka Panjang = 34.319
dari data di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dengan laba bersihnya, TLKM bisa melunasi hutang jangka panjangnya kurang dari 2 tahun.
Dengan menggunakan rasio DER dan membandingkan hutang jangka panjang vs laba TLKM, maka saya dapat menyimpulkan bahwa pada saat ini hutang TLKM
masih sangat wajar dan konservatif.
Dalam menganalisa rasio hutang seperti Debt to Equity Ratio, sebaiknya kita membandingkan perusahaan dalam industri yang sejenis. Karena tidak semua
industri applicable untuk kriteria good debtyang saya bahas ini, kita harus menggali lebih dalam tentang hutang perusahaan terutama dalam industri Properti,
Perbankan, Perkreditan dan Konstruksi. Penyebabnya adalah bisnis dari masing-masing industri memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk analisa industri, saya
akan membuat artikel khusus sendiri kedepannya. Semoga teman-teman mendapatkan
“I do not like debt and do not like to invest in companies that have too much debt, particularly long-term debt. With long-term debt, increases in interest rates can
drastically affect company profits and make future cash flows less predictable.“ – Warren Buffett
Tagged TLKM
Step #3 Analisa Fundamental – Price to Earning Ratio
Zomi Wijaya / April 3, 2017
Untuk artikel kali ini penulis ingin menganalisa 2 perusahaan Konstruksi BUMN yang menurut saya paling menarik, yaitu, WSKT (Waskita Karya) dan PTPP (PP
Konstruksi) menggunakan Laporan Keuangan Tahunan 2016 dan Laporan Tahunan 2016
Buat teman-teman yang ingin membaca artikel ini, sebaiknya baca dlu artikel saya sebelumnya http://zomiwijaya.com/step-1-analisafundamental/ dan http://zomiwijaya.com/step-2-analisa-fundamental/.
Di artikel kali ini saya ingin mulai membahas tentang rasio-rasio keuangan dalam menilai sebuah saham apakah saham tersebut murah (Under Value) atau
mahal (Over Value) dan apakah perusahaan tersebut bertumbuh dengan cepat (Fast Growers) atau bertumbuh dengan lambat (Slow Growers). Rasio yang saya
bahas kali ini adalah Earning per Share (EPS), Price to Earning Ratio (PER) dan Price/Earnings to Growth Ratio (PEG).
Oke, mari kita bahas satu-satu:
Earning per Share
EPS = Net Income / Share outstanding
Rasio EPS digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Semakin besar rasio ini akan semakin baik. EPS merupakan salah satu rasio penting
yang akan kita gunakan untuk menghitung PER dan PEG. EPS yang bertumbuh setiap tahunnya berarti perusahaan tersebut sedang berkembang.
Mari Kita Melihat dan Menghitung EPS dari PTPP dan WSKT
Laporang Keuangan 2017 PTPP:
Laporan Keuangan 2017 WSKT:
Dari data di atas kita mengetahui bahwa







Jumlah Saham Beredar PTPP = 6.199.897.354
Laba Bersih PTPP = 1.023.369.469.788
Sehingga EPS dari PTPP = Net Income / Share Outstanding
EPS = 165,06
Jumlah Saham Beredar WSKT = 13.573.280.580
Laba Bersih WSKT = 1.713.260.616.725
Sehingga EPS dari WSKT = Net Income / Share Outstanding

EPS = 126,22
Data EPS ini sangatlah penting, karena data ini akan kita kembangkan lebih dalam untuk menghitung rasio Price to Earning Ratio dan Price / Earning Growth Ratio.
Price to Earning Ratio
PER = Harga Saham / EPS
PER digunakan untuk menganalisa apakah saham saat ini dihargai mahal (Over Value) atau dihargai murah (Under Value). Pada umumnya perusahaan yang
murah adalan perusahaan yang memiliki PER < 10.
PER adalah salah satu rasio yang paling sering dipakai dalam analisis fundamental. Dimana di rasio ini kita membandingkan harga pada saat ini dengan laba per
saham. Saham dengan PER 20x memberikan informasi kepada kita bahwa berdasarkan harga yang kita beli, dibutuhkan waktu 20 tahun untuk mengembalikan
modal pembelian kita (jika diasumsikan di masa mendatang tidak ada pertumbuhan laba). Langkah paling bijak adalah menggunakan PER untuk
membandingkan saham yang ada di dalam satu sektor seperti yang sedang kita lakukan, yaitu membandingkan perusahaan di industri Jasa Konstruksi.
PER yang semakin tinggi mengindikasikan harganya saat ini mahal, PER rendah berarti harga pada saat ini murah. Tetapi hati-hati dengan PER negatif, berarti
perusahaan tersebut merugi. Mari kita menghitung PER dari perusahaan PTPP dan WSKT:






PER PTPP = Harga Saham saat ini / EPS
PER = 3310 / 165,06
PER = 20,05x
PER WSKT = harga Saham saat ini / EPS
PER = 2370 / 126,22
PER = 18,77x
Dari data di atas kita melihat bahwa WSKT memiliki valuasi yang lebih murah di bandingkan PTPP.
Alangkah baiknya apabila kita menggali lebih dalam tentang PER perusahaan dengan memperhatikan PEG.
Price / Earning Growth Ratio
PEG = PER / EPS Growth
PEG digunakan untuk menganalisa apakah saham murah atau mahal dan bertumbuh atau tidak.
PEG sendiri merupakan rasio rahasia yang digunakan oleh seorang investor terkenal yaitu Peter Lynch, yang banyak dibahas di dalam bukunya, yaitu One Up on
Wallstreet. PEG adalah pengembangan dari PER, dimana kita mengkombinasikan pertumbuhan EPS dan PER perusahaan.
Dalam banyak kasus menganalisa saham, biasanya perusahaan dengan pertumbuhan tinggi akan memiliki PER yang tinggi juga. PER tinggi menyebabkan
saham terlihat mahal dibanding perusahaan sejenis, padahal belum tentu perusahaan yang memiliki PER lebih rendah itu lebih baik. Karena itu dengan PEG ini
dimana PER dibagi dengan tingkat pertumbuhan EPS akan menghasilkan rasio yang lebih rasional untuk membandingkan perusahaan tersebut.
Sama seperti PER, semakin kecil rasio PEG berarti perusahaan tersebut semakin murah. Selain murah, berarti perusahaan juga sedang bertumbuh.
Mari kita lihat PEG dari PTPP dan WSKT menggunakan rumus excel:
Okey, kenapa saya kasih hasil langsung? karena ngitung PEG lumayan ribet kalo saya jelasin 1-1 melalui artikel di website. Tapi saya akan memberi langkahlangkah cara menghitungnya:
1. Teman-teman buka laporan tahunan perusahaan terbaru. Cari kata kunci laba per saham (EPS) biasanya perusahaan menyediakan data EPS 5 tahun terakhir di
laporan tahunan, kalau tidak ada terpaksa teman harus menghitung sendiri EPS 5 tahun terakhir dari laporan keuangan perusahaan terdahulu.
2. Untuk menghitung Growth EPS = {[EPS (t) – EPS (t-1)] / EPS (t)} * 100%
3. Untuk menghitung Growth EPS 5 tahun
 EPS Growth = (Growth EPS (t) + Growth EPS (t-1) + Growth EPS (t-2) + Growth EPS (t-3) + Growth EPS (t-4)) / 5
4. Setelah mendapatkan hasilnya teman bisa langsung menggunakan rumus PEG = Current PER / EPS Growth
5. Langkah bijak terakhir adalah mencari perusahaan yang memiliki PEG < 1, dan membandingkan PEG dengan perusahaan sejenisnya.
Back to topic, jika kita melihat hasil di atas kita akan melihat bahwa PEG dari WSKT lebih bagus (karena lebih kecil) dibandingkan PTPP, yang berarti
perkembangan WSKT lebih pesat. Kebetulan dalam 2 saham di atas baik PER maupun PEG perusahaan WSKT lebih kecil dibandingkan PTPP. Sehingga, dapat kita
simpulkan bahwa harga saham WSKT lebih murah dibandingkan PTPP. Tetapi dalam satu kasus teman-teman akan menemukan dimana perusahaan memiliki
PER rendah dengan PEG tinggi, dan kompetitornya memiliki PER tinggi dengan PEG rendah.
Menurut Peter Lynch sendiri, lebih baik memilih saham dengan PEG yang lebih rendah walaupun PERnya lebih tinggi. Nah bagaimana menurut teman-teman
mendengar pendapat Peter Lynch?
Step #4 Analisa Fundamental – Price to Book Value Ratio
Dalam artikel ini saya hanya akan membahas tentang 1 rasio, yaitu Price to Book Value Ratio (PBV).
Sebelum pembahasan PBV, saya ingin teman-teman mengerti Book Value. Book Value atau Nilai buku adalah nilai yang dinyatakan dari sebuah aset perusahaan
dikurangi utang perusahaan (disebut juga ekuitas).
Apabila teman-teman banyak membaca laporan yang ditulis oleh Warren Buffett dan buku Benjamin Graham, pasti sering mendengar pembahasan mengenai
PBV. Rasio ini digunakan untuk menganalisa apakah sebuah perusahaan under value atau over value. Rasio PBV yang semakin kecil berarti saham tersebut
semakin murah dan begitupun sebaliknya.
PBV digunakan dengan cara membandingkan harga perusahaan saat ini dengan nilai ekuitasnya (Book Value). Jika PBV memiliki rasio 0,5, maka ketika kita
membeli sebuah perusahaan dengan harga 100.000 Rupiah kita mendapatkan book value sebesar 200.000 Rupiah. Sehingga bisa dikatakan saham tersebut under
value. Perusahaan yang murah adalah perusahaan yang memiliki PBV < 1.
Lalu bagaimana cara menghitung PBV?
PBV = Harga / Book Value per Share (BVPS)
atau
PBV = Market Cap. / Ekuitas
Oke, untuk teman-teman jangan bingung dengan 2 rumus di atas karena sebenarnya 2-2nya sama aja.
BVPS = Ekuitas / Jumlah Saham Beredar
Market Cap. = Harga Saham x Jumlah Saham Beredar
Mari kita coba analisa 2 perusahaan ASGR dan MTDL:
ASGR
MTDL
oke dari 2 data di atas kita bisa menghitung:









PBV ASGR =
PBV = Market Cap. / Ekuitas
PBV = (Harga x Jumlah Saham Beredar) / Ekuitas
PBV = (1900 x 1.348.780.500) / 1.166.306.000.000
PBV = 2,2
PBV MTDL =
PBV = Market Cap. / Ekuitas
PBV = (Harga x Jumlah Saham Beredar) / Ekuitas
PBV = (645 x 2.376.172.964) / 1.300.558.000.000

PBV = 1,17
Dari perbandingan dia perusahaan di atas kita melihat bahwa PBV MTDL lebih kecil, yang berarti ketika kita membeli saham MTDL di harga 645 maka kita
membeli sedikit di atas nilai bukunya. Berbeda dengan ASGR yang PBVnya berada di angka 2,2x harga sahamnya, jauhberada di atas book valuenya. Berdasarkan
analisa value investing tentunya saham MTDL terlihat lebih murah dibandingkan ASGR.
Untuk sekedar catatan, teman-teman harus hati-hati dengan nilai PBV sendiri, karena kita harus mengerti jenis book value perusahaan tersebut. Contohnya jika
sebuah perusahaan tekstil memiliki sejumlah kain dengan book value 50 ribu rupiah, tetapi kenyataannya harganya mungkin hanya laku 20 ribu rupiah di pasaran.
Menurut Peter Lynch, book value yang semakin dekat dengan produk akhir, semakin sulit menentukan nilainya. Mungkin kita tahu harga kapas, tetapi berapa
nilai dari baju yang berwarna pink? kita tahu harga kulit tetapi berapa harga dompet warna hijau?
Dalam menganalisa PBV, kita juga harus melihat faktor kualitatif sebuah perusahaan. Contohnya adalah ASGR, walaupun PBV dari ASGR lebih tinggi, tetapi dia
adalah anak usaha dari grup Astra. Dimana tentunya semua perusahaan milik Astra kemungkinan besar menggunakan jasa ASGR. Contoh lainnya adalah Merek
Dagang (Brand Image) seperti Indomie, Indomie memiliki merek yang kuat di Indonesia, bahkan kita pasti ingat dengan lagunya “Indomie Seleeeraku~” yang
tidak terhitung dalam Book Value. Begitupun dengan Hak Paten, Data, Pelanggan Setia serta aset-aset kualitatif lainnya yang tidak termasuk dalam Book
Value tetapi perlu kita perhitungkan.
Back to PBV, rasio ini sangat bagus untuk menganalisa murah dan mahalnya sebuah perusahaan. Bahkan Warren Buffett sangat sering membahas tentang PBV ini
di dalam laporan tahunan perusahaannya (Berkshire Hathaway). Akan tetapi tentunya analisa PBV sebaiknya tidak dilihat hanya dengan kacamata kuda saja.
Kita juga perlu memperhatikan analisa-analisa fundamental yang sempat kita bahas sebelumnya, serta faktor-faktor kualitatif mengenai perusahaan
tersebut. Saya sendiri akan buat artikel bagaimana kita menganalisa dengan menggabungkan rasio-rasio yang telah kita pelajari.
Step #5 Analisa Fundamental – Return on Equity
Zomi Wijaya / July 7, 2017
Untuk artikel kali ini penulis ingin menganalisa perusahaan Unilever (UNVR) menggunakan Laporan Tahunan 2016.
Dalam Analisa Fundamental yang kelima ini saya akan membahas tentang Return on Equity (ROE).
Sebelum mulai pembahasan ROE, saya ingin teman-teman menjawab pertanyaan saya terlebih dahulu:
“Bayangkan apabila anda ditawari untuk menjadi investor oleh 2 perusahaan yang sama-sama menjual mie instan. Perusahaan A membutuhkan modal sebesar
100 juta rupiah dengan return setiap tahunnya 20 juta rupiah. Perusahaan B membutuhkan modal yang sama sebesar 100 juta rupiah, dan return setiap tahunnya
50 juta rupiah. Nah teman-teman pilih yang mana?”
Tentunya kita pasti memilih Perusahaan B, dimana dalam jangka waktu 2 tahun kita sudah bisa balik modal. Sebenarnya dalam menjawab pertanyaan di atas,
teman-teman telah mempraktikan rasio ROE yang akan kita bahas nanti. Mari kita lanjut ke pembahasan mengenai ROE ini sendiri.
ROE adalah rasio yang menunjukan imbal hasil keuntungan yang dihasilkan perusahaan, berdasarkan modalnya. Cara mendapatkan ROE adalah membagi Laba
Bersih dengan Ekuitasnya. Semakin besar ROE berarti perusahaan tersebut semakin efektif menggunakan modalnya untuk mencetak keuntungan (which is very
good).
Mari kita menghitung Perusahaan A dan B di atas
ROE A = Laba Bersih / Ekuitas * 100%
= 20 / 100 * 100% = 20%
ROE B = Laba Bersih / Ekuitas * 100%
= 50 / 100 * 100% = 50%
Jika sebuah perusahaan memiliki ROE 20% apa artinya? itu artinya perusahaan mencetak laba sebesar 20% dari modal awal yang disetor oleh pemilik
perusahaan terebut. Sehingga setelah 5 tahun perusahaan tersebut akan Break Even Point (BEP). Begitupun dengan ROE 50% berarti perusahaan akan BEP
dalam waktu 2 tahun.
Standar ROE saya sendiri adalah 15%, why? alasannya karena ketika kita membeli saham, berarti kita membeli bisnisnya. Apakah anda mau memiliki
perusahaan yang memiliki return hanya 6% setahun, sedangkan anda bisa mendepositokan uang anda di bank dengan bunga 7% setahun?
Mari kita Studi Kasus perusahaan UNVR, saya harap teman-teman ikut membaca LT dari UNVR:
Berdasarkan LT UNVR tahun 2016 kita bisa melihat ROE Unilever sangat tinggi yaitu sebesar 134,1%. Sehingga menurut saya saham ini layak untuk dikoleksi,
tetapi tunggu dulu. Untuk meminimalisir risiko saya sangat menyarankan agar kita lebih cermat menganalisa ROE sebuah perusahaan. Bagaimana caranya? letsgo!
CERMAT DALAM MEMILIH PERUSAHAAN:
ROE yang Konsisten
Kenapa Konsisten? itu berarti perusahaan dapat mempertahankan labanya. Teman-teman juga perlu memperhatikan apabila sebuah perusahaan memiliki
lonjakan ROE yang sangat tinggi hanya dalam 1 periode tertentu. Kita harus analisis dari mana pendapatan perusahaan tersebut, yang menyebabkan ROE
menjadi tinggi. Saya sering kali melihat bahwa perusahaan ROEnya menjadi tinggi, tetapi hasil dari menjual asetnya yang digunakan untuk menghasilkan laba.
Sehingga untuk tahun kedepannya biasanya akan membukukan laba yang lebi kecil dibandingkan tahun ini. Selain itu juga ROE yang konsisten ini tidak bisa
diaplikasikan terhadap perusahaan komoditas.
www.idx.co.id
Berdasarkan data di atas, ROE UNVR sangatlah stabil dimana ROEnya selalu berada di atas 150%.
Net Profit Margin yang Tinggi
Oke, langkah kedua adalah memiliki Net Profit Margin (NPM) yang tinggi. Fungsi dari NPM adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih.
NPM sendiri rumusnya = Net Profit / Revenue
Semakin tinggi NPM itu berarti semakin bagus karena berarti perusahaan memiliki marjin yang tinggi. Dengan NPM yang tinggi sebuah perusahaan lebih bisa
mempertahankan ROEnya.Perusahaan dengan NPM yang rendah tentunya tidak bisa bermain di harga produk/jasanya. Situasi yang mungkin terjadi terhadap
perusahaan yang memiliki NPM yang rendah kira-kira seperti ini:
Anggaplah ada 2 buah Perusahaan mie instan. Perusahaan A memiliki NPM sebesar 10% dan perusahaan B memiliki NPM sebesar 2%. Tiba-tiba terjadi krisis
ekonomi, karena penjualan yang terus menurun kedua perusahaan tersebut terpaksa harus memangkas harga produknya yang menyebabkan NPM kedua
perusahaan tersebut turun sebesar 5%. Perusahaan A dengan margin 10% masih tetap untung karena memiliki NPM 5%, tetapi Perusahaan B dengan margin 2%
akan babak belur, dimana NPM menjadi -3%. Bayangkan saja apabila anda berinvestasi di perusahaan B, semakin banyak perusahaan tersebut menjual
produknya berarti perusahaan tersebut semakin merugi.
Dari data di atas kita bisa melihat bahwa profit margin dari UNVR juga tinggi, serta stabil dimana UNVR bisa mempertahankan NPM di atas 16% setiap
tahunnya. Nah berdasarkan analisa saham yang telah kita singgung di atas, kita bisa menilai bahwa UNVR adalah perusahaan yang bagus dimana memiliki ROE
yang tinggi, stabil serta memiliki NPM yang cukup tinggi juga.
Berhubung yang kita bahas di atas adalah cara menganalisa perusahaan yang bagus atau jelek. Sepertinya sudah jelas bahwa UNVR ini perusahaan yang ga
cuma bagus, tapi sangat bagus! Tetapi teman-teman perlu hati-hati karena sebagai Value Investor, pertanyaan berikutnya adalah apakah kita layak membeli
perusahaan UNVR di harga pada saat ini?
Margin of Safety – The Core of Value Investing
Zomi Wijaya / March 25, 2018
Warren Buffett, investor terkaya di dunia pernah berkata bahwa ada tiga kata terpenting dalam berinvestasi. Tiga kata tersebut adalah ‘Margin of Safety‘ atau
kerap disebut sebagai Margin Keamanan. Di artikel kali ini saya ingin fokus membahas mengenai Margin of Safety (Mos), bagaimana kita menerapkannya dalam
berinvestasi saham di Indonesia.
Sebelum masuk mengenai MoS sendiri, teman-teman perlu memahami perbedaan antara Price and Value(Harga dan Nilai). Mari kita lihat apa kata Warren Buffett
mengenai Price and Value:
Menurut Warren Buffett sendiri, Harga adalah apa yang kita bayar, sedangkan nilai adalah apa yang kita dapatkan. Tidak penting apakah membeli kaos kaki
ataupun saham, Buffett menyukai barang bagus yang sedang terdiskon. Apabila kita aplikasikan dengan MoS, maka kita akan mendapatkan rumus sebagai
berikut:
*Value di atas adalah Intrinsic Value (Nilai Intrinsik) & Price adalah Market Price (Harga Pasar)
Dalam dunia saham, semakin tinggi Margin of Safety maka semakin rendah risiko kita berinvestasi di saham tersebut. Mari kita menghitung Margin of
Safety menggunakan book value sebuah perusahaan:
Perusahaan dengan kode saham AUTO (Astra Otoparts Tbk.) memiliki Book Value per Share (BVPS) sebesar 2.027,5 Rupiah, sedangkan harga saham AUTO yang
diperdagangkan saat ini hanya 1600 / Lembar Saham. Sehingga Margin of Safety AUTO adalah:
Yes, MoS saham AUTO berdasarkan book valuenya adalah sebesar 21,1%. Benjamin Graham (penemu MoS) memiliki kriteria, hanya membeli saham yang
memiliki tingkat MoS minimal sebesar 33%. Oke, mungkin teman-teman bertanya apakah menghitung MoS cukup menggunakan book value / PBV
saja? nope.. Value dalam rumus MoS tersebut adalah Intrinsic Value, dimana masing-masing Investor di dunia bisa memiliki jawaban yang berbeda (walaupun
tidak mungkin selisih jauh) dalam menilai Intrinsic Value sebuah perusahaan. Salah satu nilai yang saya gunakan di atas adalah Book Value, sedangkan kita juga
perlu mempertimbangkan unsur lainnya. Seperti rasio PER, DER, ROE, etc. Wah pusing dong kalau gitu mengukur MoS? saya pribadi mengkategorikan 4 saham
yang menjanjikan MoS yang tinggi:
1. Ideal Stock
Ideal Stock adalah saham yang sangat ideal, karena lolos dalam semua kualifikasi standar kita dalam berinvestasi saham. Mari kita lihat contoh saham berikut:
saya mencontohkan saham EKAD, karena saham ini adalah salah satu saham ideal yang cocok menjadi salah satu pertimbangan saham untuk berinvestasi.
Saham EKAD memiliki rasio-rasio yang cukup ‘sexy’ apabila kita melihat sebagai Value Investor. Rasio tersebut adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
GPM EKAD 30%
PER 5,6 (PER < 10)
PBV 0,8 (PBV < 1)
PEG 0,3 (PEG < 1)
ROE 14% (ROE > 12%)
DER 0,2 (DER < 1)
Stable and understandable Business (http://zomiwijaya.com/ekadharma-international-ekad-rajanya-lakban/)
Yeap, everything seems so attractive, jadi EKAD adalah salah satu ideal stock menurut saya. Apabila teman-teman menemukan saham lainnya seperti EKAD, feel
free to contact me here http://zomiwijaya.com/kontak/
2. Leading Stock
Yang kedua adalah Leading Stock. Leading Stock adalah perusahaan terbaik dan termurah di industrinya. Dimana dengan pilihan terbaik kita, berarti kita sudah
meminimalisir risiko dalam berinvestasi (which means higher MoS). Di bawah saya mencontohkan perbandingan rasio perusahaan sektor konstruksi BUMN:
Nah berdasarkan analisa yang saya buat dari 4 perusahaan BUMN (based on latest financial statement both companies) saya menyimpulkan bahwa berdasarkan
kinerja keuangan, saya paling menyukai saham WSKT, kedua PTPP, lalu WIKA dan terakhir adalah ADHI. Why?
WSKT memiliki GPM tertinggi dibandingkan kompetitornya dengan valuasi yang murah berdasarkan PER dan PEG, serta memiliki ROE yang tertinggi dibandingkan
kompetitornya. Untuk menganalisa Leading Stock kita harus benar-benar menganalisa perusahaan yang sejenis (apple to apple), jangan pernah
membandingkan saham batu-bara dengan saham perbankan karena tentunya kinerjanya akan benar-benar berbeda.
3. Cash Stock
Cash Stock adalah perusahaan yang memiliki Cash lebih besar dari Market Capitalizatonperusahaan tersebut. Cash yang dimaksud disini adalah kas yang dapat
dicairkan dalam waktu 1 tahun atau kurang (tabungan, deposito, etc). Mari kita lihat contoh perusahaan PNIN (PT. Paninvest Tbk) :
Pada tanggal 1 January 2018 PNIN memiliki Nilai Perusahaan / Market Cap. sebesar 3,58 triliun, sedangkan perusahaan ini memiliki Cash sebanyak 5,8 Triliun
!!! Apakah worth it untuk membeli saham senilai 3,58 triliun untuk mendapatkan cash sebesar 5,8 Triliun, belum termasuk aset-asetnya seperti gedung, laba
bersihnya, brand imagenya and so on? Hanya saya pikir sekarang sedikit terlambat untuk mengoleksi saham PNIN, karena harganya sudah
mencerminkan cash yang dimiliki saham ini, walaupun menurut saya saham ini tetap masih undervalue. *FYI sulit mencari saham-saham yang memiliki Cash >
Market Cap. tetapi saat ini masih ada perusahaan dengan kriteria Cash Stock
4. Value Stock Discount to Subsidiary
Kriteria saham terakhir ini sebenarnya aga sedikit ‘spekulasi’. Value stock discount to subsidiary ini adalah perusahaan induk yang harganya sudah terdiskon jauh /
tertinggal dibandingkan anak perusahaannya. Bagaimana cara melihatnya, mari kita langsung lihat contoh realnya INDF vs ICBP:
For Your Information, ICBP (Indofood Consumer Branded Products Tbk.) adalah anak perusahaan yang sahamnya sebanyak 80,53% dimiliki oleh INDF (Indofood
Sukses Makmur Tbk.) dan ‘seharusnya’ Nilai Perusahaan / Market Cap. INDF lebih tinggi dibandingkan ICBP. Tetapi karena Mr. Market bergerak tidak
rasional, Market Cap. ICBP 100,15 Triliun jauh lebih tinggi bandingkan INDF yang hanya sebesar 61,46 Triliun. Mari kita lihat gambar berikut:
Nah berdasarkan analisa saya, INDF sekarang sudah terdiskon sebanyak 23,8% dibandingkan ICBP.Padahal Apabila kita perhatikan gambar di atas, bisnis INDF
tidak hanya ICBP. INDF juga memiliki perusahaan SIMP, LSIP, Boga Sari dan bisnis distribusi, sehingga seharusnya nilai perusahaan INDF lebih tinggi
dibandingkan ICBP. Saya tidak mengatakan bahwa saham INDF sudah murah dan layak untuk di beli pada saat
Download