Uploaded by Emy Utari

BAB 1 PROGRESS

advertisement
TELAAH KRITIS PRINSIP BIAYA HISTORIS SAK EMKM
BERDASARKAN FALSAFAH PASSEMANDARAN
DALAM MENINGKATKAN RELEVANSI
(STUDI PADA CAFE TOSIL)
(Kasmawati/90400116107)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau dikenal dengan istilah UMKM diakui
sebagai salah satu penyumbang kontribusi yang nyata bagi perekonomian Indonesia
(Ariani dan Utomo, 2017). Dapat dilihat ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada
tahun 1997-1998 yang mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat terpuruk. Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menyelamatkan ekonomi bangsa dari
keterpurukan karena mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi (Gunartin, 2017;
Niode, 2009; Kurniawan dan Fauziah, 2014). Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) yang sangat besar dalam perekonomian perlu mendapat perhatian khusus dari
pemerintah karena salah satu kendala yang dihadapi adalah terjebak dalam keterbatasan
modal (Dewi dkk., 2018). Pemerintah dalam hal ini harus terus mendukung dalam hal
permodalan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar perannya sebagai
pilar membangun ekonomi bangsa dapat berjalan secara optimal. Keterbatasan modal
terjadi karena rata-rata pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sulit untuk
mendapat akses modal ke perbankan dan hanya menggunakan uang pribadi mereka sebagai
modal usaha. Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memang memiliki
prospek bisnis yang baik dan potensi untuk berkembang, tetapi akses sumber pendanaan
masih sangat sulit terutama pada lembaga keuangan (Diana, 2018; Putra, 2018).
Sulitnya akses modal disebabkan beberapa pelaku UMKM belum menyusun
laporan keuangan sesuai standar yang ada, padahal syarat utama memperoleh kredit dari
perbankan adalah adanya laporan keuangan yang disusun sesuai standar yang berlaku
(Warsadi dkk., 2017). Banyaknya pelaku UMKM yang belum menyusun laporan keuangan
sesuai standar membuat mereka susah mendapat akses modal ke lembaga perbankan
(Janrols, 2018). Penyusunan laporan keuangan sangat penting bagi pelaku usaha, karena
dengan laporan keuangan bisa memudahkan dalam memperoleh kredit dari pihak bank
(Divianto dan Febrianty, 2017). Laporan keuangan sesuai standar dapat memudahkan
pengusaha untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari perusahaan mereka serta dapat
mengukur kinerja dalam menjalankan usahanya. Selain itu, pengusaha juga dapat
mengetahui sumber dan penggunaan dana usaha sehingga bisa mengevaluasi kinerja
keuangan (Ismadewi dkk., 2017; Rahmayuni, 2017; Ramadhan dan Syarfan, 2016). Terkait
dengan hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi yang
menaungi seluruh akuntan di Indonesia telah mengesahkan Exposure Draft Standar
Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (ED SAK EMKM) sebagai
standar yang baru dalam pencatatan laporan keuangan bagi UMKM dalam rapatnya
tanggal 24 Oktober 2016. Standar Akuntansi Keuangan EMKM berlaku efektif mulai
Januari 2018 dan harus diterapkan oleh pelaku UMKM dalam penyusunan laporan
keuangan. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (SAK
EMKM) merupakan standar keuangan terbaru yang disusun untuk memenuhi kebutuhan
pelaporan keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (EMKM). Penyusunan SAK
EMKM dibuat secara sederhana agar mudah dipahami oleh pelaku UMKM.
Penerapan SAK EMKM sampai pada saat ini dinilai masih kurang efektif. Hal
tersebut disebabkan karena kurangnya kesadaran pelaku UMKM bahwa penyusunan
laporan keuangan itu sangat penting, apalagi sebagian besar pelaku UMKM berlatar
belakang pendidikan bukan dari jurusan akuntansi sehingga kompetensi yang mereka
miliki sangat kurang dan selalu menganggap akuntansi itu rumit (Hetika dan Mahmudah,
2018; Dewi dkk., 2018). Kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang SAK EMKM juga
menjadi kendala terhambatnya implementasi SAK EMKM. Menurut Firdaus dan
Wondabio (2017) masih banyak UMKM belum mengetahui bahwa ada standar yang
mengatur penyusunan laporan keuangan UMKM. Mengingat jumlah besar UMKM dalam
negeri, tetapi tidak sebanding dengan program sosialisasi yang dilakukan oleh Dewan
Standar Akuntansi Keuangan, sehingga informasi yang diterima juga tidak merata.
Beberapa UMKM yang telah mengikuti pelatihan penyusunan laporan keuangan
berdasarkan SAK EMKM juga masih mengakui bahwa akuntansi terlalu rumit untuk
diterapkan. Selain itu, Keterbatasan waktu juga menjadi kendala dalam menerapkan SAK
EMKM karena sebagian besar pemilik modal UMKM melakukan pencatatan sekaligus
menjalankan usaha, sehingga menurut mereka penyusunan laporan keuangan sesuai
standar memerlukan banyak waktu. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Paramitha
dkk. (2017) yang mengatakan bahwa waktu merupakan salah satu faktor yang sangat
diperhitungkan dan diperhatikan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk mengukur efisiensi
dari suatu pelaksanaan kegiatan. Keterbatasan waktu terjadi karena beberapa pelaku
ekonomi yang melakukan pencatatan, juga harus bertugas untuk kegiatan produksi dan
mengelola usahanya. Membuat laporan keuangan yang sesuai standar itu pasti memerlukan
waktu yang lebih dalam pengerjaannya. Bahkan beberapa pelaku UMKM masih banyak
yang tidak mengetahui akun-akun apa saja yang terdapat dalam laporan keuangan (Salmiah
dkk., 2018). Bagi mereka pencatatan keuangan itu tidak terlalu penting karena transaksinya
sangat mudah untuk diingat dan diprediksi berdasarkan pengalaman (Sanjaya dkk., 2017).
Laporan keuangan sangat berperan penting dalam rangka akses modal ke lembaga
perbankan karena sebagian besar pihak bank mensyaratkan laporan keuangan untuk
melihat kelayakan pemberian kredit (Ningtyas, 2017; Trisomantagani dkk., 2017). Namun
pada kenyataannya, banyak calon debitur yang mengajukan kredit tanpa berdasarkan
kualitas laporan keuangan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prajanto dan Septriana
(2018) yang mengatakan bahwa besaran pencairan kredit yang diberikan oleh perbankan
cenderung tidak dipengaruhi oleh kualitas laporan keuangan, hal ini terlihat pada hasil
pengujian yang menunjukkan pengaruh negatif. Besaran kredit yang diberikan oleh
perbankan cenderung dipengaruhi oleh besaran jaminan dan skala bisnis. Melihat besarnya
biaya yang dikeluarkan dalam menyusun standar namun tidak sebanding dengan hasil yang
diharapkan. Hal ini tentu menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah yang tujuan
sebenarnya untuk mempermudah pelaku UMKM dalam menyusun laporan keuangan.
Namun, hal ini justru dianggap sebagai sesuatu yang rumit bagi para pelaku UMKM
karena keterbatasan SDM yang mempunyai keahlian dalam bidang akuntansi.
Menurut Samsiah dan Lawita (2017) standar akuntansi untuk UMKM yang dibuat
oleh IAI memang memiliki alasan yang baik di balik itu. Namun, fakta bahwa masyarakat
yang akan mematuhi standar tersebut memiliki pengetahuan terbatas sehingga membawa
dampak negatif bagi penerapan standar yang efektif. Kurangnya SDM yang mempunyai
keahlian dalam bidang akuntansi serta minimnya pengetahuan tentang standar yang
berlaku menjadi penghambat terimplementasinya SAK EMKM secara efektif (Barus dkk.,
2018; Sholikin dan Setiawan, 2018). Para pelaku UMKM kurang menyadari akan
pentingnya laporan keuangan bahkan mereka selalu terpaku pada anggapan akuntansi itu
sangat rumit dan susah untuk dipahami. Mereka lebih memilih membuat catatan sederhana
yang menurutnya mudah dimengerti, bahkan dalam pengambilan keputusan bisnisnya
mereka hanya meramal berdasarkan pada pengalamannya saja.
SAK EMKM sebenarnya disusun secara sederhana dan mudah dipahami bagi
pelaku UMKM. Dilihat dari segi teknikal, SAK EMKM murni menggunakan dasar
pengukuran biaya historis sehingga pelaku UMKM cukup mencatat nilai aset dan
liabilitasnya sesuai dengan biaya perolehannya (Astriani dkk., 2017).
Menurut hasil
penelitian Hartono (2015) penggunaan historical cost dalam penyusunan laporan keuangan
adalah pelaporan informasi keuangan yang didasarkan atas harga perolehan, dimana aktiva,
utang, modal dan seluruh hasil usaha perusahaan dilaporkan berdasarkan nilai saat
terjadinya transaksi. Konsep historical cost berdasar pada transaksi yang sesungguhnya
bukan berdasar pada kemungkinan, dan juga lebih relevan dalam pengambilan keputusan
ekonomi (Sonbay, 2010). Namun, hasil penelitian Nugrahani (2014) mengatakan bahwa
seiring dengan kondisi pasar yang semakin dinamis dan berkembang sangat cepat,
akhirnya konsep historical cost dianggap tidak relevan dalam mengukur realitas ekonomi.
Diterapkannya prinsip biaya historis dalam laporan keuangan SAK EMKM justru
menimbulkan rasa ketidakadilan antara nasabah dengan pihak bank dalam mengajukan
kredit ke lembaga perbankan. Pihak bank akan menilai aset atau jaminan berdasarkan nilai
yang tertera dalam laporan keuangan sehingga jika harga pasar aset tersebut naik maka
pihak bank akan tetap menilai berdasarkan harga perolehannya. Prinsip historical cost
tidak bisa mencerminkan kondisi perusahaan secara realistis. Hal ini disebabkan karena
angka-angka historis yang diakui berdasarkan harga perolehan didalam laporan keuangan
menjadi tidak relevan karena harga yang selalu berubah (Hartono, 2015; Meythi dan
Teresa, 2012). Tentu hal tersebut akan merugikan pihak nasabah karena seharusnya bank
mengukur aset berdasarkan nilai sekarang agar jaminannya bernilai tinggi. Apabila
penyajian laporan keuangan menggunakan pengukuran biaya historis maka penilaiannya
hanya berdasar pada harga perolehan awal saja. Prinsip biaya historis dianggap kurang
relevan dalam mengetahui kondisi ekonomi yang sebenarnya karena prinsip ini hanya
mengukur transaksi yang telah selesai dan tidak mengakui perubahaan nilai riil yang terjadi
(Nugrahani, 2014).
Melihat fenomena yang terjadi menggambarkan bahwa penerapan SAK EMKM
berbasis prinsip biaya historis dinilai kurang adil antara pelaku UMKM dan pihak
perbankan. Pada dasarnya, standar yang diterbitkan harus memerhatikan
nilai-nilai
keadilan karena keadilan merupakan hal yang paling penting dan menjadi dasar lahirnya
sebuah standar (Ruman, 2012). Sama halnya dengan SAK EMKM ditetapkan dengan
menganut prinsip biaya historis yang didalamnya terindikasi ketidakadilan. Ketidakadilan
yang dimaksud adalah bagaimana segala sesuatu harus dipertimbangkan secara matang,
standar yang diterapkan harus berdasar asas keadilan. Penerapan prinsip biaya historis
yang dinilai tidak adil antara nasabah dan pihak bank, maka diperlukan adanya peran
budaya apalagi Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya. Kekayaan budaya
memiliki aspek dan nilai yang sakral sehingga dapat diimplementasikan dalam segala
aspek kehidupan termasuk implementasi prinsip biaya historis dalam laporan keuangan
SAK EMKM yang dapat diinternalisasikan kedalam nilai budaya passemandaran. Nilai
budaya passemandaran berasal dari suku Mandar. Suku Mandar sendiri dulunya menjadi
bagian dari Sulawesi Selatan, tetapi pada tahun 2006 daerah suku Mandar terpisah dari
Sulawesi Selatan menjadi sebuah provinsi tersendiri dibagian barat Sulawesi. Untuk
menjadi orang Mandar, seseorang wajib mengenal inti dari nilai passemandaran yang
merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (tiga dasar
kebijakan) yang terdiri atas: Mesa ponge‘pallangga (aspek ketuhanan), da’dua tassisara,
(aspek hukum dan demokrasi) dan tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek keadilan
dan aspek persatuan) yang mengandung karra'arrang tandidappai (keadilan tanpa takaran)
dan Buttu tandira'bai (tegaknya hukum secara utuh) (Idham, 2007). Diterapkannya nilai
budaya passemandaran dalam penyusunan laporan keuangan SAK EMKM akan menekan
indikasi ketidakadilan apabila prinsip biaya historis diberlakukan.
SAK EMKM disusun untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan Entitas
Mikro, Kecil, dan Menengah (EMKM). Penyusunan SAK EMKM dibuat secara sederhana
agar mudah dipahami oleh pelaku UMKM. Dilihat dari segi teknikal, SAK EMKM murni
menggunakan dasar pengukuran biaya historis sehingga pelaku UMKM cukup mencatat
nilai aset dan liabilitasnya sesuai dengan biaya perolehannya (Astriani dkk., 2017).
Pengukuran berbasis prinsip biaya historis dinilai kurang efisien karena prinsip historical
cost tidak bisa mencerminkan kondisi perusahaan secara realistis. Hal ini disebabkan
karena angka-angka historis yang diakui berdasarkan harga perolehan didalam laporan
keuangan menjadi tidak relevan karena harga yang selalu berubah (Hartono, 2015; Meythi
dan Teresa, 2012). Pengukuran berbasis prinsip biaya historis dalam laporan keuangan
juga dianggap kurang tepat dalam rangka pengajuan kredit ke perbankan. Pihak bank akan
menilai aset atau jaminan berdasarkan nilai yang tertera dalam laporan keuangan sehingga
jika harga pasar aset naik maka pihak bank akan tetap menilai berdasarkan harga
perolehannya. Hal ini tentu merugikan pihak nasabah karena seharusnya aset dinilai
berdasarkan nilai sekarang untuk meningkatkan besarnya jumlah kredit yang diperoleh.
Oleh karena itu, budaya ditawarkan sebagai solusi untuk mengembalikan esensi keadilan
yang seharusnya terkandung dalam tiap regulasi yang diberlakukan.
B. Rumusan Masalah
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau dikenal dengan istilah UMKM diakui
sebagai salah satu penyumbang kontribusi yang nyata bagi perekonomian Indonesia
(Ariani dan Utomo, 2017). Peran UMKM yang sangat besar dalam perekonomian perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena salah satu kendala yang dihadapi para
pelaku UMKM adalah terjebak dalam keterbatasan modal (Dewi dkk., 2018). Hal tersebut
disebabkan karena para pelaku UMKM belum melakukan penyusunan laporan keuangan
sesuai standar yang berlaku. Merujuk pada hal itu maka Ikatan Akuntan Indonesia
menerbitkan SAK EMKM sebagai pedoman bagi pelaku UMKM agar mereka dapat
menyusun laporan keuangan yang berkualitas. Namun pada realitanya, penerapan SAK
EMKM masih menuai pro dan kontra salah satunya terkait prinsip historical cost yang
digunakan.
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun maka permasalahan dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana level efektivitas penerapan SAK EMKM sampai saat ini?
2.
Bagaimana persepsi para pelaku UMKM terhadap diberlakukannya SAK EMKM
dalam pembukuan laporan keuangan?
3.
Bagaimana budaya passemandaran dalam menyesuaikan prinsip historical cost
dengan nilai-nilai didalamnya?
4.
Bagaimana nilai-nilai budaya passemandaran memberikan solusi atas ketidakadilan
yang ada dalam prinsip historical cost?
5.
Bagaimana relevansi laporan keuangan ditingkatkan dengan prinsip keadilan yang
ada dalam budaya passemandaran?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun maka adapun tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan penerapan SAK EMKM sampai saat
ini.
2.
Untuk mengetahui pertimbangan para pelaku UMKM dalam menerapkan SAK
EMKM pada pembukuan laporan keuangan.
3.
Untuk mengetahui kesesuaian antara prinsip historical cost dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya passemandaran.
4.
Untuk mengetahui solusi dalam mengatasi ketidakadilan pada prinsip historical
cost dengan berdasar pada nilai-nilai budaya passemandaran.
5.
Untuk mengetahui peranan prinsip keadilan yang terkandung dalam budaya
passemandaran dalam meningkatkan relevansi laporan keuangan.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoretis; Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
mengenai pentingnya suatu prinsip keadilan dalam menerbitkan sebuah standar
demi terwujudnya pelaksanaan standar yang efisien. Berdasarkan teori keadilan dari
Plato (360 SM) yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato
mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang
orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are controlled by
reasson”. Menurut Plato, keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan
hukum tetapi keadilan merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang
membuat dan menjaga kesatuannya. Dari ungkapan diatas, Plato memandang suatu
masalah yang memerlukan pengaturan dan undang-undang harus mencerminkan
rasa keadilan, sebab bagi Plato hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata
untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan yang paling
pokok adalah untuk membimbing masyarakat mencapai keutamaan sehingga layak
menjadi warga negara dari negara yang ideal. Keadilan terwujud dalam suatu
masyarakat
bilamana
setiap
anggota
melakukan
secara
baik
menurut
kemampuannya dan fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya. Begitupun
dengan nilai budaya yang terkandung dalam budaya passemandaran yang
didalamnya terdapat Mesa ponge‘pallangga (aspek ketuhanan), da’dua tassisara,
(aspek hukum dan demokrasi) dan tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek
keadilan dan aspek persatuan) yang mengandung karra'arrang tandidappai
(keadilan tanpa takaran) dan Buttu tandira'bai (tegaknya hukum secara utuh)
(Idham, 2007). Diterapkannya nilai budaya passemandaran dalam penyusunan
laporan keuangan SAK EMKM akan menekan indikasi ketidakadilan apabila
prinsip biaya historis diberlakukan. Menurut hasil penelitian Ruman (2012)
mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, dan bahkan menjadi dasar bagi lahirnya berbagai insitusi sosial
yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah insitusi hukum. Tujuan
pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat.
Maka dari itu, semua tindakan untuk mempertahankan kebahagiaan masyarakat
adalah adil (Dwisvimiar, 2011).
2.
Manfaat Praktis; Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
para pihak terkait khususnya para pelaku UMKM dalam menyajikan laporan
keuangan agar bisa menghasilkan informasi keuangan yang lebih jelas dan relevan
dalam rangka pengambilan keputusan. Terkhusus bagi pihak bank itu sendiri
penelitian ini memberikan manfaat agar mereka bisa menilai laporan keuangan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya agar tidak ada indikasi ketidakadilan dalam
pemberian kredit antara pihak bank dan calon debitur. Penelitian ini juga
diharapkan mampu memberi masukan kepada penyusun SAK EMKM agar terus
diadakan perbaikan-perbaikan baik dalam hal penyesuaian standar akuntansi
keuangan sesuai dengan kebutuhan entitas mikro, kecil, dan menengah maupun
dalam tahapan pengenalan kepada pelaku UMKM.
3.
Manfaat Regulasi; Penelitian ini diharapkan mampu menyempurnakan peraturan
yang mewajibkan entitas mikro, kecil, dan menengah untuk melakukan pencatatan
akuntansi yang baik. Kewajiban melakukan pencatatan akuntansi bagi usaha kecil
dan menengah sebenarnya telah tersirat dalam Undang-Undang UKM Nomor 9
Tahun 1995. Sebagaimana yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 29 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro agar lembaga ini
melakukan dan memelihara pencatatan dan/pembukuan keuangan yang sesuai
dengan SAK yang berlaku. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut,
maka EMKM mendapatkan jaminan keadilan usaha, meningkatkan kedudukan,
peran dan potensi dalam mewujudkan ekonomi, pemerataan dan peningkatan
pendapatan rakyat. Namun, menurut beberapa hasil penelitian hal tersebut masih
sebatas regulasi saja tanpa realitas yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani dan Utomo, M. N. 2017. Kajian Strategi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) di kota Tarakan. Jurnal Organisasi dan Manajemen, 13(2):
99-118.
Astriani, N. K. D., N. T. Herawati, dan P. E. D. M. Dewi. 2017. Eksistensi Pencatatan
Keuangan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (SAK
EMKM) pada Usaha Kopi Luwak di Desa Demulih Kecamatan Susut Kabupaten
Bangli. E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha, 8(2): 1-12.
Barus, I. N. E., A. Indrawaty, dan D. Solihin. 2018. Implementasi SAK EMKM (Entitas
Mikro, Kecil, dan Menengah) pada UMKM Borneo Food Truck Samarinda
Community. Research Journal and Business Management, 2(2): 176-183.
Dewi, A. C., Suparti, dan N. Restuningdiah. 2018. The Analysis of Accounting System
Formulation Based on SAK EMKM. International Journal of Business, Economics
and Law, 16(5): 229-234.
Diana, N. 2018. Financial Accounting Standards for Micro, Small, dan Medium Entities
(SAK EMKM) Implementation and Factors That Affect It. Scientific Journal of
Accounting and Management, 15(2): 50-59.
Divianto dan Febrianty. 2017. Pengaruh Pemahaman Pelaku UKM dalam Menyusun
Laporan Keuangan terhadap Implementasi Laporan Keuangan Berdasar SAK
ETAP dengan Persepsi Pelaku UKM sebagai Moderating Variable. International
Journal of Social Science and Business, 1(3): 166-176.
Dwisvimiar, I. 2011. Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum. Jurnal Dinamika
Hukum, 11(3): 522-531
Firdaus, R. dan L. S. Wondabio. 2017. Financial Report for Micro, Small, and Medium
Enterprise According to Financial Accounting Standards: Case Study Rafita Cake.
Advances in Economics, Business and Management Research, 55(6): 174-178.
Gunartin. 2017. Penguatan UMKM sebagai Pilar Membangun Ekonomi Bangsa. EDUKA
Jurnal Pendidikan, Hukum dan Bisnis, 1(V): 59-74.
Hartono, A. 2015. Deviasi atas Relevansi Konsep Laporan Keuangan Historical Cost dan
Current Cost dengan Konsep Akuntansi Syariah terhadap Pengambilan Keputusan.
Jurnal Ekulilibrium, 10(1): 1-13.
Hetika dan N. Mahmudah. 2018. Penerapan Standar Akuntansi Entitas Mikro, Kecil, dan
Menengah (SAK EMKM) dalam Menyusun Laporan Keuangan. Jurnal Bisnis
Terapan, 2(1): 81-104.
Idham. 2007. Sosialisasi Nilai Budaya Mandar (Studi Kasus pada Generasi Muda di Kec.
Balanipa Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat). Jurnal Al-Qalam, (XX):
115-131.
Ismadewi, N. K., N. T. Herawati, dan A. T. Atmaja. 2017. Penyusunan Laporan Keuangan
Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah
(SAK EMKM) pada Usaha Ternak Ayam Boiler (Study Kasus pada Usaha I Wayan
Sudiarsa Desa Pajahan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan). E-Journal S1 Ak
Universitas Pendidikan Ganesha, 8(2): 1-11.
Janrols, V. S. E. 2018. Analisis Persepsi Pelaku UMKM dan Sosialisasi SAK EMKM
terhadap Diberlakukannya Laporan Keuangan yang Berbasis SAK EMKM. Jurnal
Akuntansi Keuangan dan Bisnis, 11(1): 97-105.
Kurniawan, F. D. dan L. Fauziah. 2014. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jurnal Kebijakan dan
Manajemen Publik, 2(2): 103-220.
Meythi dan S. Teresa. 2012. Historical Cost dan General Price Level Accounting: Analisis
Relevansi Indikator Keuangan. Jurnal Akuntansi, 4(2): 115-134.
Ningtyas, J. D. A. 2017. Penyusunan Laporan Keuangan UMKM Berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (SAK EMKM) (Study
Kasus di UMKM Bintang Malam Pekalongan). Riset dan Jurnal Akuntansi, 2(1):
11-17.
Niode, I. Y. 2009. Sektor UMKM di Indonesia: Profil, Masalah, dan Strategi
Pemberdayaan. Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis OIKOS-NOMOS, 2(1): 1-10.
Nugrahani, C. 2014. Fair Value dan Potensi Fraud. Kiat Bisnis, 5(5): 325-333.
Paramitha, P. F. U., G. A. Yuniarta, dan N. T. Herawati. 2017. Penerapan Pencatatan
Akuntansi Keuangan pada Industri Kecil Rumahan Berdasarkan SAK-EMKM
(Study Kasus pada Pembuatan Tas Kain Bali di Banjar Dauh Uma Bitera,
Kabupaten Gianyar, Bali). E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha, 8(2):
1-10.
Prajanto, A. dan I. Septriana. 2018. Implementasi Penerapan SAK EMKM serta
Dampaknya pada Kualitas Pelaporan Keuangan UMKM (Study Kasus pada
UMKM Se Kota Semarang). Aset, 20(2): 79-89.
Putra, Y. M. 2018. Pemetaan Penerapan Standar Akuntansi Keuangan EMKM pada
UMKM di Kota Tangerang Selatan. Komunikasi Ilmiah Akuntansi dan Perpajakan,
11(2): 201-216.
Rahmayuni, S. 2017. Peranan Laporan Keuangan dalam Menunjang Peningkatan
Pendapatan pada UKM. Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan, 1(1): 93-99.
Ramadhan, K. D. dan L. O. Syarfan. 2016. Analisis Laporan Keuangan dalam Mengukur
Kinerja Perusahaan pada PT. Ricky Kurniawan Kertapersada (Makin Group)
Jambi. Jurnal Valuta, 2(2): 190-207.
Ruman, Y. S. 2012. Keadilan Hukum dan Penerapannya dalam Pengadilan. Keadilan
Hukum, 3(2): 345-353.
Salmiah, N., S. T. Nanda, dan I. Adino. Pemahaman Pelaku UMKM terhadap SAK
EMKM (Survey pada UMKM yang Terdaftar di Dinas Koperasi dan UKM Kota
Pekanbaru). Akuntansi Dewantara, 2(2): 194-204.
Samsiah, S. dan N. F. Lawita. 2017. Review the Readiness of MSMEs in Indonesia
Compliance with Accounting Standards Micro, Small, and Medium Enterprise
(SAK EMKM). Jurnal Akuntansi dan Ekonomika, 7(2): 115-120.
Sanjaya, I. P. S., H. S. Dharma, A. G. Brata, dan S. A. Pramana. 2017. Accounting and
Small An Medium-Sized Enterprises: Case from the Members of the Ex-Migrant
Worker Cooperation of Kulon Progo in Daerah Istimewa Yokyakarta Indonesia.
International Journal of Accounting and Financial Management Research, 7(5): 110.
Sholikin, A. dan A. Setiawan. 2018. Kesiapan UMKM terhadap Implementasi SAK
EMKM (Study UMKM di Kabupaten Blora). Journal of Islamic Finance and
Accounting, 1(2): 35-50.
Sonbay, Y. Y. 2010. Perbandingan Biaya Historis dan Nilai Wajar (Historical Cost versus
Fair Value). Kajian Akuntansi, 2(1): 1-8.
Trisomantagani, K. A., N. P. Yasa, dan G. A. Yuniarta. 2017. Persepsi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah terhadap Kesiapan dalam Menerapkan SAK EMKM. EJurnal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha, 8(2): 1-11.
Warsadi, K. A., N. T. Herawati, dan I. P. Julianto. 2017. Penerapan Penyusunan Laporan
Keuangan pada Usaha Kecil Menengah Berbasis Standar Akuntansi Keuangan
Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Mama Jaya. E-Journal S1 Ak
Universitas Pendidikan Ganesha, 8(2): 1-11.
Download