1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia (Megadiversity Countries) (LIPI, 2013). Penyebaran berbagai spesies tumbuhan di Indonesia berdasarkan wilayah biogeografi terdiri atas tujuh wilayah utama, yaitu Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (BAPPENAS, 1993). Dari beberapa pulau, Pulau Sumatera memiliki jumlah jenis flora dan fauna endemik terbesar ketiga dari lima pulau besar di Indonesia pada beberapa taksa terpilih (Roos et al,. 2004). Indonesia juga dikenal sebagai salah satu mega biodiversity country gudangnya tumbuhan obat. Saat ini diketahui sekitar 9.600 spesies dari 30.000 jenis flora berkhasiat obat yang ada di hutan tropika Indonesia. Dari jumlah tersebut 283 spesies telah tercatat sebagai tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional (Kusuma dan Zaky, 2005). Keanekaragaman hayati (biodiversity) dapat diartikan sebagai keanekaragaman kimiawi (Chemodiversity) yang merupakan keanekaragaman senyawa-senyawa metabolit sekunder. Sumber alam hayati ini adalah keunikan, keunggulan dan harta bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia melalui penyediaan bahan-bahan kimia yang khas Indonesia yang berguna dalam bioindustri, agroindustry dan industri lainnya (Achmad, 2000). Senyawa metabolit sekunder mempunyai lebih dari satu gugus fungsi sehingga tumbuhan tersebut menunjukkan banyak kegunaan dan bioaktivitas karena dapat berinteraksi dengan lebih dari satu molekul target. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada makhluk hidup khususnya tumbuhan merupakan ciri adaptasi yang dibentuk atau dimodifikasi oleh seleksi alam selama evolusi. Menurut analisis filogenetik dan sistematik yang didasarkan pada karakter makroskopi dan mikroskopi menyatakan bahwa senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam satu anggota famili tumbuhan mempunyai struktur senyawa yang hampir sama (Wink, 2003). Salah satu senyawa metabolit sekunder adalah senyawa alkaloid dan flavonoid dengan berbagai keanekaragaman struktur, penyebarannya dialam serta mempunyai aktivitas biologisnya yang sangat penting. Alkaloid adalah senyawa siklik yang mengandung atom nitrogen yang penyebarannya terbatas pada orgnisme hidup. Efek fisiologis yang kuat dan selektifitas senyawa alkaloid menyebabkan senyawa alkaloid tersebut sangat bermanfaat dalam hal pengobatan (Marek, 2007). Sidaguri adalah tumbuhan yang berasal dari famili Malvaceae, marga sida. Tumbuhan sidaguri dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama daerah 2 Saliguri (Minangkabau), Sidaguri (Melayu), Sidaguri (Jawa tengah), sidagori (sunda), Taghuri (Madura), Kahindu (Sumba), Hutu gamo (Halmahera),Digo (Ternate), serta nama asing yellow barleria. Tumbuhan sidaguri tumbuh liar di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan tempat tempat dengan sinar matahari cerah atau sedikit terlindung. Tumbuhan ini tersebar pada daerah tropis di seluruh dunia dari dataran rendah sampai 1.450 m dpl. Tumuhan ini merupakan tanaman semak yang tersebar luas di hutan tropis dengan tinggi mencapai 2 meter (Dalimarta, 2003). Berdasarkan hasil penelitian (Lenny et al., 2010) terkait senyawa metabolit sekunder dari tanaman sidaguri yang dimaksud dalam penelitian ini, dapat diketahui nama latin spesies tanaman tersebut adalah Sida rhombifolia L. Ciri morfologi dari tanaman sidaguri adalah dapat tumbuh sampai 2 meter dengan cabang kecil. Daun tunggal; bentuk bulat telur atau lanset, tepi bergerigi ujung meruncing pertulangan menyirip, panjang 1-1,4 cm dan lebar 11,5 cm. Umumnya berbentuk jajaran genjang bagian bawah berwarna hijau pucat atau abu-abu. Bunga tunggal berwarna kuning cerah mekar saat pukul 12.00 dan layu sekitar 3 jam kemudian. Buah dengan 8-10 kendaga diameter 6-7 mm (Dalimarta, 2003). Komposisi metabolit sekunder pada daun tumbuhan sidaguri ini adalah flavonoid, alkaloid, leukoantosionidin dan steroid atau triterpenoid (Depkes RI, 2005). Dari metabolit ini, senyawa fenolik seperti flavonoid yang terkandung dalam tanaman biasanya bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antivirus, antijamur dan antibakteri (Singh et al., 2011; Saeed et al., 2015; Dongamanti et al., 2015). Flavonoid juga dapat digunakan sebagai obat yang berguna dalam menyembuhkan penyakit seperti diare. Selain itu, tanaman ini memiliki sifat antikoagulan, anti-inflamasi, anti-parasit, antioksidan dan antimikroba. (Mustafa et al., 2010; Fratiwi, 2015). Ditinjau dari manfaat dan khasiat yang banyak terdapat pada tumbuhan sidaguri, maka perlu diteliti lebih dalam mengenai kandungan senyawa metabolit yang terkandung bahkan senyawa-senyawa baru yang terkandung yang kemunginan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia kedepannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa metabolit sekunder pada daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) di Sumatera Utara yang berpotensi dijadikan sebagai obat herbal. 1.2. Rumusan Masalah Sidaguri (Sida rhombifolia L.) merupakan tumbuhan semak yang tersebar luas di hutan tropis yang mempunyai manfaat dan khasiat yang banyak, antara lain untuk mengatasi: influenza, demam, radang amandel (tonsilitis), difteri, TBC kelenjar (scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit kuning (jaundice), malaria, batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah darah, terlambat haid, dan cacingan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa 3 bagian tumbuhan sidaguri sangat berpotensi dalam menurunkan kadar asam urat baik daun, batang, maupun akar. Kandungan metabolit sekunder pada sidaguri terdiri atas alkaloid, flavonoid, dan terpenoid yang biasanya bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antivirus, antijamur dan antibakteri. Selain itu, tanaman ini memiliki sifat anti-koagulan, anti-inflamasi, anti-parasit, antioksidan dan antimikroba. Namun, khasiat sidaguri sampai saat ini belum banyak diketahui oleh masyarakat dan hanya terbatas pada masyarakat tertentu saja (seperti Melayu) yang biasa menjadikan daunnya sebagai rebusan untuk mengobati asam urat, sehingga perlu adanya eksplorasi lebih lanjut dan mendalam tentang kandungan senyawa tumbuhan sidaguri untuk mengoptimalkan potensi khasiat yang ada pada tumbuhan ini. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh data kuantitatif senyawa-senyawa metabolit sekunder pada daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) 2. Mengetahui potensi, khasiat, dan manfaat pada senyawa-senyawa yang terdapat pada daun tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) 1.4. Urgensi Penelitian Sidaguri (Sida rhombifolia L.) merupakan tumbuhan liar termasuk semak yang umum dijumpai di tepi jalan, di pekarangan rumah, halaman berumput, hutan, ladang, dan tempat yang ternaungi atau sedikit cerah. Namun, sidaguri dengan kandungan khasiat dan manfaatnya sampai saat ini belum banyak diketahui oleh masyarakat akan potensi senyawa lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat, karena tidak sedikit masyarakat yang menganggap tumbuhan ini tergolong tumbuhan liar semak yang tidak penting. Penelitian ini memiliki urgensi untuk dilakukan dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang potensi dan khasiat serta manfaat dari tumbuhan sidaguri yang dapat dijadikan gudang obat herbal terkhusus pada organ daun dari tumbuhan ini. Selain itu tumbuhan sidaguri juga belum terlalu banyak dibudidayakan di Indonesia, oleh karenanya tumbuhan sidaguri masih banyak tumbuh secara liar. Proses regenerasi tumbuhan sidaguri secara alami dengan cara tumbuhnya tunastunas baru dari kecambah yang dihasilkan tumbuhan induknya. Bagian dari tumbuhan sidaguri yang dapat dimanfaatkan sebagai obat yaitu: akar, batang dan, daun (Tersono, 2006) 1.5. Luaran Penelitian Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Menghasilkan karya ilmiah dalam bentuk jurnal yang akan di terbitkan di Jurnal…. 2. Menghasilkan data kuantitatif berupa kandungan seyawa metabolit sekunder pada sidaguri 4 1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengetahuan mengenai kandungan senyawa metabolit sekunder yang ada pada daun sidaguri (Sida rhombifolia L.) sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menyusun penelitian lebih lanjut tentang senyawa-senyawa baru pada daun sidaguri yang dapat berpotensi sebagai obat herbal. Hasil penelitian ini juga menjadi langkah strategi konservatif dan efisien dalam menjaga sidaguri (Sida rhombifolia L.) di Sumatera Utara dari kelangkaan terlebih lagi kepunahan yang diakibatkan kurang memadainya informasi kepada masyarakat tentang khasiat sidaguri. 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Sidaguri (Sida rhombifolia L.) Sidaguri (Sida rhombifolia L.) merupakan tanaman tropis yang tersebar luas di dunia terutama di hutan tropis dengan habitat semak atau herba yang termasuk kedalam famili Malvaceae (Dalimarta, 2003). Ciri morfologi (Makroskopis) dari tanaman Sidaguri (Sida rhombifolia L.) adalah termasuk tanaman semak dengan tinggi tanaman dapat mencapai 2 meter. Daunnya tunggal, berseling, bentuk jantung, ujung bertoreh, pangkal tumpul, tepi bergerigi, berbulu rapat, pertulangan menjari, dan berwarna hijau Batangnya berkayu, berbentuk bulat, percabangan simpodial, dan berwarna putih kehijauan.. Bunganya tunggal, berbentuk bulat telur, terdapat di ketiak daun, berwarna hijau, mahkota bunga berwarna kuning, Bijinya bulat, kecil, dan berwarna hitam. Akarnya tunggang, dan berwarna putih (Izzah, 2010). Sedangkan menurut (Dalimarta, 2003) sidaguri merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan cabang kecil. Daun tunggal; bentuk bulat telur atau lanset, tepi bergerigi ujung meruncing pertulangan menyirip, panjang 1-1,4 cm dan lebar 1-1,5 cm. Umumnya berbentuk jajaran genjang bagian bawah berwarna hijau pucat atau abu-abu. Bunga tunggal berwarna kuning cerah mekar saat pukul 12.00 dan layu sekitar 3 jam kemudian. Buah dengan 8-10 kendaga diameter 6-7 mm. Sida rhombifolia L. merupakan jenis sidaguri yang mudah ditemukan, diantara semua bagian dari tumbuhan ini, akarnya adalah sumber bahan baku obat penting. Tanaman ini memiliki rasa manis, sedikit pedas dan sejuk. Dalam pengobatan, sidaguri digunakan sebagai antiradang, meluruhkan kencing, dan menghilangkan rasa sakit (Utami, 2003). Berdasarkan Integrated Taxonomy Information System (2016), tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) memiliki klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Viridiplantae Divisi : Tracheophyta Sub divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malvales Suku : Malvaceae Genus : Sida Spesies : Sida rhombifolia L 6 Gambar 1. Tanaman sidaguri (Sida rhombifolia L.) Secara mikroskopis (anatomi) pada penampang melintang melalui tulang daun tampak epidermis atas terdiri dari satu lapis sel, bentuk empat persegi panjang. Pada epidermis atas terdapat rambut penutup bentuk bintang yang tediri dari 3- 8 sel. Epidermis bawah terdiri dari satu lapis sel, bentuk empat persegi panjang; pada pandangan tangensial berbentuk poligonal, dinding samping agak berkelok-kelok; rambut penutup serupa dengan rambut penutup pada epidermis atas; stomata tipe anomositik dengan 3-4 sel tetangga. Jaringan palisade terdiri dari selapis sel silindrik panjang berisi banyak butir klorofil. Jaringan bunga karang terdiri dari sel dengan ukuran tidak sama, kadang-kadang terdapat ruang antar sel, mengandung butir hijau daun; pada jaringan bunga karang terdapat rongga lisigen. Beberapa sel parenkim berisi kristal kalsium oksalat berbentuk roset. Pada tulang daun tampak sel kolenkim di bawah epidermis atas dan bawah. Di antara floem dan parenkim terdapat serbuk sklerenkim; berkas pengangkut tipe kolateral. Serbuk berwarna hijau kecoklatan. Fragmen pengenal adalah rambut penutup bentuk bintang, fragmen mesofil, fragmen epidermis dengan stomata dan kristal kalsium oksalat berbentuk roset (Anonim, 1995). 2.2. Kandungan Fitokimia Sidaguri Beberapa penelitian telah melaporkan berbagai kandungan fitokimia pada berbagai bagian dari tanaman Sida rhombifolia terutama pada bagian daunnya. Secara umum, daunnya mengandung alkaloid, kalsium oksalat, tanin, saponin, fenol, asam amino, dan minyak atsiri. Batang Sidaguri mengandung kalsium oksalat dan tanin. Sementara bagian akar mengandung alkaloid, steroid, dan efedrine. Telah dilakukan isolasi dan identifikasi campuran steroid, Porphyrins, flavon, dan Indoquinolon alkaloid pada ekstrak etanol bagian tanaman daun dan batang sidaguri (Iswantini, 2003). Sementara itu hasil penelitian (Lenny et al., 2010) dengan menggunakan skrining fitokimia dan analisis spektrum FT-IR dan spektrum 1H-NMR, menunjukkan ekstrak tanaman sidaguri mengandung senyawa alkaloid yang bermanfaat dalam hal pengobatan. Alkaloid juga dapat menghambat nyeri pada sistem saraf pusat pada hipotalamus. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Sutradhar et al., 2006) yang berhasil mengisolasi senyawa alkaloid 7 5’hydroxymethyl-1´-(1,2,3,9-tetrahydropyrolo [2,1-b] quinazolin-1-yl)-heptan-1one) dan diuji aktivitas antiinflamasinya terhadap tikus yang telah diinduksi karagenin, hasil menunjukkan efek hambat rasa nyeri yang ditimbulkan tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol positif (P < 0,05). Alkaloid dan efedrine yang terkandung dalam sidaguri tidak bisa sembarangan dalam penggunaannya, anak-anak dan wanita hamil yang menyusui tidak dianjurkan menggunakannya (Djauhariya, 2004). Penelitian lainnya mengenai aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh tumbuhan sidaguri oleh Iswantini dkk., (2009) menunjukkan ekstrak metanol-air (9:1) herba sidaguri (Sida rhombifolia L.) dapat penghambatan xantin oksidase yang dilakukan secara in vitro yaitu sampai 55% dan dapat menurunkan kadar asam urat. Menurut Mohamed dkk., (2005) bahwa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak sidaguri memiliki efek inhibitor xantin oksidase sehingga dapat mengurangi produksi asam urat. Uji penghambatan kinetik dari berbagai fraksi ekstrak flavonoid sidaguri dapat menghambat xantin oksidase secara kompetitif dan memiliki efek penghambatan sebesar 79,1% yang lebih baik daripada kontrol positif (allopurinol) pada dosis 300 mg/L (Iswantini et al., 2009). Beberapa senyawa alami lain yang terdapat pada sidaguri seperti flavonoid telah dilaporkan sebagai inhibitor dari XO dan golongan senyawa ini memiliki janji untuk penggunaan yang lebih besar dalam pengobatan asam urat. Allopurinol, theaflavin, theaflavin-3-gallic theaflavin-3-3'-digallic. Epigallocatechin 3- gallic dan asam galat telah dilaporkan sebagai inhibitor untuk XO melalui mekanisme inhibitor kompetitif (Lin et al., 2002). Flavonol crisin, luteolin, caempherol, kuercetin, myricetin dan isorhamnetin, serta epicatechin, epigallocatechin dan gallic epicatechin dari teh dilaporkan menghambat. XO oleh mekanisme inhibitor nonkompetitif. The Materia Medica Indonesia mencatat kehadiran rhombiffolina alkaloid di Sida rhombifolia L. yang bisa menghambat aktivitas XO. Flavonoid ekstrak kasar Sida rhombifolia L ditunjukkan untuk menghambat XO hingga 55% dan untuk menurunkan asam urat (Iswantini et al., 2009). 2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim, 1986). Ekstraksi dilakukan untuk menyari zat –zat berkhasiat atau zat –zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat–zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya (Harbone, 1987).Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, 8 dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Anonim, 1986). Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa kering, kental, dan cair (Anonim, 1979) yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Anonim, 2000). Tujuan pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat di simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi (Anief, 1997). 2.3 Maserasi Merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat –zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1985). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana dan digunakan untuk simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berlanjut sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila cairan penyari yang digunakan adalah air maka untuk mencegah timbulnya kapang dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian (Anonim, 1986). Semakin besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap simplisia, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1994). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan yang digunakan sederhana, dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna, juga adanya kejenuhan konsentrasi di dalam larutan penyari, di mana konsentrasi di dalam simplisia dengan di dalam penyari sama (Dinda, 2008). Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam dengan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti penyari malam dan lain-lain (Anonim, 1986). Cara ekstraksi maserasi ini dilakukan 3 x 24 jam, hal ini dilakukan supaya senyawa yang terkandung dalam herba tertarik (Runadi, 2007). 9 BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan adalah ekstrak kental daun sidaguri yang diperoleh dari hasil ekstraksi simplisia dengan larutan penyari etanol. Bahan lain yang digunakan antara lain yaitu etanol teknis 90% (Merck), Pereaksi Mayer, Pereaksi Dragendorf, serbuk Mg, larutan HCl pekat, dan aquadest. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, ayakan, timbangan analitik, oven, timbangan, alat-alat gelas dan kertas saring Whatman No. 4. 3.2. Studi Literatur Informasi mengenai tumbuhan Sidaguri (Sida rhombifolia L.)terlebih dahulu dicari melalui literatur (dari internet , baik itu hasil penelitian, jurnal, prosiding, berita) dan juga informasi masyarakat secara langsung. 3.3. Pembuatan Simplisia (Anonim, 1985) 3.3.1. Pengambilan Sampel Metode yang di gunakan adalah metode explorasi. Setiap bertemu dengan sampel (Sida rhombifolia L.) maka akan di ambil sampel daun sebanyak 1kg dengan urutan daun ke 3-5 dari ujung ranting. 1) Sortasi basah Sampel yang telah diambil sebanyak 1 kg kemudian dipisahkan dari tanah atau pengotor lainnya yang ikut terbawa. 2) Pencucian Setelah sortasi basah, dilakukan pencucian dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada RK. Rimpang yang telah dicuci bersih lalu diangin-anginkan agar kering. 3) Perajangan Sampel yang telah kering, dirajang dengan pisau dipisahkan organ daun dari tumbuhan kemudian tahap pengeringan. 4) Pengeringan Sampel daun tersebut lalu dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutupi kain hitam agar tidak merusak kandungan dalam sampel yang bersifat fotodegradasi. Sampel dijemur dan tidak lupa untuk dibolak-balik agar pengeringan merata. Pengeringan dihentikan bila sampel kering, yaitu dengan ditandainya sampel tersebut mudah dipatahkan. Biasanya lama pengeringan ini berlangsung 1 hari. 5) Sortasi kering 10 Sampel yang telah kering tersebut dipisahkan dari benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman asing lainnya yang tidak diinginkan yang masih tertinggal. 6) Pembuatan serbuk simplisia Sampel yang telah kering kemudian di blender untuk mendapatkan serbuk Simplisia sidaguri yang telah kering diserbuk dengan mesin penyerbuk dan diayak dengan ayakan 8/14 sehingga didapatkan serbuk yang homogen. Serbuk kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang kedap udara (Anonim, 1985; Bermawie, 2005). 3.3.2. Pembuatan Ekstrak Daun Sidaguri Dengan Metode Maserasi Ditimbang ±100 g serbuk kering Sidaguri dan dimasukkan ke dalam maserator/wadah tertutup ditambah etanol 95 % dengan perbandingan (1:2). Ekstraksi dilakukan selama tiga hari (3x24 jam), setiap 24 jam sekali pelarut diganti dengan pelarut yang baru, prosedur per harinya adalah bahan dalam wadah digojog dengan alat maserasi yang telah diatur untuk menggojog selama 6 jam, kemudian alat dengan otomatis berhenti, kemudian bahan didiamkan sampai mencapai waktu 24 jam. Selain dengan cara itu, pengadukan dapat dilakukan dengan cara manual yaitu pengadukan secarah jarum jam per 24 jam sekali. Setelah itu hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam wadah dengan cara disaring dengan kain katun/kertas saring agar serbuk tidak ikut masuk ke dalam wadah tertentu. Setelah tiga kali penggantian pelarut, hasil ekstraksi yang telah ditampung dalam wadah tertentu yang berwujud ekstrak cair kemudian dikentalkan dengan VRE untuk mendapatkan ekstrak kental (EK) daun Sidaguri. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali. 3.3.3. Pengentalan Ekstrak Daun Sidaguri Ekstrak cair yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan metode maserasi dikentalkan dengan menggunakan VRE pada suhu 500C dan tekanan 72 mbar, kemudian hasil berupa ekstrak cair, dikentalkan menggunakan oven pada suhu 40°C. 3.4. Pemeriksaan Senyawa Metabolit Sekunder a) Pemeriksaan Alkaloid Sebanyak 0,5 ml ekstrak ditambah 0,5 ml HCl 1% ditambah 1-2 tetes dragendrof, jika mengandung senyawa alkaloid (+) larutan akan berwarna jingga. b) Pemeriksaan Flavonoid Sebanyak 0,5 ml ekstrak ditambah 0,1 gr Mg ditambah 5 tetes HCl pekat. Jika mengandung senyawa flavonoid (+) larutan akan berwarna merah. c) Pemeriksaan Saponin 11 Sebanyak 0,5 ml ekstrak ditambah 100 ml aquadest panas, kemudia diaduk selama 10 menit. Jika mengandung senyawa Saponin (+) larutan akan berbuih (ada indikasi busa). 12 BAB 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN 4.1. Anggaran Biaya No Jenis Pengeluaran 1 Perlengkapan yang di perlukan 2 Bahan Habis Pakai 3 Perjalanan 4 Lain-lain Jumlah Biaya (Rp) Rp 3.150.000,Rp 4.375.000,Rp 3.100.000,Rp 1.875.000,Rp.12.500.000 4.2. Jadwal Kegiatan Bulan No. Jenis Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Persiapan Diskusi 1. Studi Literatur Presurvey Pelaksanaan 2 3 4 Pengumpulan Data Interpretasi Data Dan Analisis Data Membuat Laporan Seminar/ Publikasi 13 DAFTAR PUSTAKA Achmad, S.A, 2000, Pemberdayaan Sumber Alam Hayati, Workshop Pengembangan Sumber Daya Alam Manusia Dalam Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati, Padang. Dalimarta, S., 2003, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid ke-2, Cetakan ke-1, Swadaya, Jakarta. Dalimarta, S. 2003. Atlas Tumbuhan obat Indonesia jilid 3. Jakarta: Puspa Swara. Depkes RI. 2005. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Wink, M., 2003, Evolution of Secondary Metabolites from an Ecological and Molecular Phylogenetic Perspective, Phytochemistry 64, 3-19. Lin, C.M., C.S. Chen, C.T. Chen, Y.C. Liang and J.K. Lin. 2002, Molecular modeling of flavonoids that inhibits xanthine oxidase. Biochem. Biophys. Res. Commun. 294:167-72. Iswantini, D. and L. Darusman, 2003. Effect of Sidaguri extract as an uric acid lowering agent on the activity of xanthine oxidase enzyme. Proceedings of the International Symposium on Biomedicines. Bogor, Indonesia :Biopharmaca Research Center.