Apakah yang dimaksud dengan “protective” dan “empowering”? Berawal dari pertanyaan apakah cara kita sebagai orangtua dalam melindungi anak, membuat anak tidak memperoleh keterampilan yang baik untuk menjadi mandiri dan berani bereksplorasi. Lalu, juga muncul pertanyaan lanjutan, apa yang dimaksud dengan anak yang mandiri dan berani bereksplorasi? Bagaimana orangtua dapat membantu anak memiliki keterampilan ini, yang tentunya menjadi tujuan pengasuhan kita bersama. Berikut ini adalah catatan dari obrolan bersama Psikolog Tari Sandjojo pada talkshow “Protective VS Empowering Parents” Sabtu, 9 Mei 2015, di Rumah Main Cikal Bintaro. 1. Apa tujuan pengasuhan ortu? Kemandirian dan keberanian anak dalam bereksplorasi dan mencoba hal baru adalah tujuan pengasuhan yang ingin dicapai oleh semua ortu, baik saat anak telah melewati masa usia dini, saat masa pra remaja, remaja dan juga dewasa dan kelak menjadi orangtua juga seperti kita. 2. Pencapaian tujuan pengasuhan ini membutuhkan proses yang tentunya dapat dimulai sejak dini, dengan dukungan yang tepat dari orangtua. 3. Protective parents, atau orangtua yang ingin melindungi anak dari situasi yang tidak enak, tentunya adalah sikap yang alami, namun apakah sikap tersebut tepat dalam situasi yang dibutuhkan anak? 4. Melindungi anak dalam konteks keamanan tentunya sangat penting, terutama saat anak berada dalam usia yang secara tahap perkembangan belum bisa melindungi diri sendiri. Misalnya, boleh main sepeda tapi hanya di jalanan di depan rumah. Atau kalau menyeberang jalan harus ditemani oleh orangtua. 5. Melindungi anak dalam konteks kemandirian, membutuhkan orangtua yang apresiatif terhadap pencapaian-pencapaian kecil dalam keseharian anak. 6. Pada anak usia dini, misal di usia 2 tahun, apakah kita memberikan cukup banyak kesempatan pada anak untuk mandiri saat makan? Memberikan anak kesempatan untuk makan mandiri meski berantakan dan kemudian ia belajar dari situasi ini? Dan yang paling penting, apakah kita menunjukkan penghargaan atas kemampuan yang ditunjukannya tersebut? 7. Pada saat anak menginjak usia 4-5 tahun, apakah kita cukup memberikan otoritas pada anak untuk mencoba mandi sendiri dan belajar dari situasi mandi yang tidak bersih dan bersih? 8. Pada saat anak masuk usia sekolah, di masa mereka sedang belajar bertanggungjawab dengan barang-barang pribadi dan tugas-tugasnya, apakah kita “melindungi” anak dari kesalahan dengan cara mengambilkan PR yang tertinggal di rumah atau membiarkan anak menjalani konsekuensi dan belajar situasi ini? 9. Saat anak sudah cukup bersar di usia 8-10 tahun, apakah kita sudah mulai memberikan tanggung jawab lebih besar yang berkaitan dengan lebih banyak orang misalnya: ia bertanggung jawab membereskan belanjaan bulanan dan memasukkannya ke dalam lemari hingga rapi? 10. Empowering parents adalah orangtua yang memberikan power atau otoritas kepada anak dan membuatnya percaya atas kekuatan dan keberdayaan dirinya. 11. Salah satu ciri utama empowering parents adalah menyadari pentingnya anak memiliki persepsi yang baik atas dirinya. Anak memiliki kepercayaan diri yang baik untuk mau mencoba hal-hal yang “sulit”. 12. Persepsi baik anak atas dirinya salah satunya diperoleh dari respon tepat orangtua saat anak gagal dan berhasil. Tidak sekedar memuji (“Pinter deh” atau “Hebat!”), tapi mengelaborasi perilakunya, misalnya, “Terimakasih ya sudah berusaha membersihkan bekas tumpahan air di meja” atau “Enak ya kalau mainan selalu dikembalikan ke tempatnya, gampang kan nyarinya?” 13. Hukuman dan ceramah panjang lebar untuk anak yang melakukan kesalahan tidak membantu proses belajar, karena ia akan memiliki persepsi buruk atas dirinya. Dukungan dibutuhkan agar anak mau mencoba lagi. 14. Pujian yang spesifik pada usaha anak saat ia berhasil, membuat anak memiliki persepsi baik atas usahanya dan tidak ragu mengulanginya lagi serta berpotensi untuk mencoba hal yang lebih sulit lagi karena memiliki kepercayaan diri. 15. Kepercayaan orangtua atas kemampuan anak untuk mandiri sangat bergantung dari halhal kecil yang dibangun sejak dini. Perlu orangtua yang percaya bahwa anaknya bisa sebelum anak percaya dirinya bisa.